A. Pengertian Profesionalisme
• Profesionalisme (profésionalisme) ialah sifat-sifat (kemampuan, kemahiran, cara
pelaksanaan sesuatu dan lain-lain) sebagaimana yang sewajarnya terdapat pada
atau dilakukan oleh seorang profesional. Profesionalisme berasal dari kata
profession yang bermakna berhubungan dengan profesi dan memerlukan
kepandaian khusus untuk menjalankannya.
• Profesionalisme, yang berarti seluruh Pegawai harus bekerja dengan tuntas dan
akurat berdasarkan kompetensi terbaik dan penuh tanggung jawab serta
komitmen yang tinggi;
A. Pendahuluan
TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) atau dalam bahasa Inggris ICT
(Information and communication technology) saat ini sangat mempengaruhi
kehidupan manusia dalam berbagai aspek. Semakin tinggi kemampuan dalam
memanfaatkan TIK, akan semakin tinggi pula kemampuan bersaing dalam
kehidupan. Teknologi komunikasi yang terus mengalami kemajuan akan
mempengaruhi pola komunikasi masyarakat nantinya.
B. Pengertian Informasi
Informasi adalah data yang diolah menjadi bentuk yang berguna untuk membuat
keputusan. Informasi berguna untuk pembuat keputusan karena informasi
menurunkan ketidakpastian (atau meningkatkan pengetahuan) Informasi menjadi
penting, karena berdasarkan informasi itu para pengelola dapat mengetahui
kondisi obyektif perusahaannya.
b. Dampak Negatif
Dalam bidang sosial, pesatnya teknologi komunikasi menyebabkan banyaknya
kejadian yang tidak diinginkan, seperti :
1. Berubahnya bentuk komunikasi yang tadinya berupa face to face menjadi
tidak. Hal inidapat menyebabkan komunikasi menjadi hampa.
2. Seseorang yang terus menerus bergaul dengan komputer akan cenderung
menjadiseseorang yang individualis.
3. Adanya peluang masuknya hal-hal yang berbau pornografi, pornoaksi,
maupun kekerasan.
4. Memperparah kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat antara orang
kaya dan orangmiskin.
5. Maraknya cyber crime yang terus membayangi seperti carding, ulah
cracker, manipulasi data dan berbagai cyber crime yang lainnya.
6. Interaksi anak dan komputer yang bersifat satu (orang) menghadap satu
(mesin) mengakibatkan anak menjadi tidak cerdas secara sosial (Paul C
Saettler dari California State University, Sacramento).
Ilmu sosial dan budaya dasar berbeda dengan pengetahuan budaya. Ilmu budaya
dasar dalam bahasa Inggris disebut basic humanities. Pengetahuan budaya dalam
bahas inggris disebut dengan istilah the humanities. Pengetahuan budaya mengkaji
masalah nilai-nilai manusia sebagai mahluk berbudaya (homo humanus). Sedangkan
ilmu sosial dan budaya dasar bukan hanya ilmu tentang budaya, melainkan mengenai
pengetahuan dasar dan pengertian umum tentang konsep-konsep yang
dikembangkan untuk mengkaji masalah-masalah sosial manusia dan kebudayaannya.
A. Radikalisme
Radikalisme adalah satu paham aliran yang menghendaki perubahan secara
drastis dalam penjelasan lebih lanjut, aliran paham politik dimaksud menghendaki
pengikutnya perubahan yang ekstrem sesuai dengan pengejawantahan paham
mereka anut. Sementara itu radikalisme menurut pengertian lain adalah inti dari
perubahan itu cenderung menggunakan kekerasan. Esensi radikalisme adalah
konsep sikap jiwa dalam mengusung perubahan. Sementara itu Radikalisme
menurut Wikipedia adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang
yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis
dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Radikalisme merupakan fakta sosial
yang spektrumnya merentang dari lingkungan makro (global), lingkungan messo
(nasional) maupun lingkungan mikro (lokal).
Apabila dilihat dari sudut pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham
keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan
fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari
paham/aliran tersebut menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda
paham/aliran untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan
dipercayainya untuk diterima secara paksa. Adapun yang dimaksud dengan
radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan
kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka.
Dawinsha mengemukakan definisi radikalisme menyamakannya dengan teroris.
Tapi ia sendiri memakai radikalisme dengan membedakan antara keduanya.
Radikalisme adalah kebijakan dan terorisme bagian dari kebijakan radikal tersebut.
Definisi Dawinsha lebih nyata bahwa radikalisme itu mengandung sikap jiwa yang
membawa kepada tindakan yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan
kemapanan dan menggantinya dengan gagasan baru. Makna yang terakhir ini,
radikalisme adalah sebagai pemahaman negatif dan bahkan bisa menjadi
berbahaya sebagai ekstrim kiri atau kanan.
B. Faktor Radikalisme
Memiliki paham radikal belum tentu seseorang terjerumus pada aksi teror.
Namun, perlu diingat bahwa memiliki paham radikal sudah sangat rentan untuk
melangkah pada aksi teror jika didukung oleh faktor yang dapat memicu. Ada
beberapa faktor yang menyebabkan proses radikalisasi berjalan dari intoleransi,
radikalisme ke terorisme. Faktor-faktor tersebut:
1. Pertama, Faktor domestik, yakni kondisi dalam negeri yang semisal kemiskinan,
ketidakadilan atau merasa kecewa dengan pemerintah.
2. Kedua, faktor internasional, yakni pengaruh lingkungan luar negeri yang
memberikan daya dorong tumbuhnya sentimen keagamaan seperti
ketidakadilan global, politik luar negeri yang arogan, dan imperialisme modern
negara adidaya.
3. Ketiga, faktor kultural yang sangat terkait dengan pemahaman keagamaan
yang dangkal dan penafsiran kitab suci yang sempit dan leksikal (harfiah).
E. Anti Radikalisme
Upaya menentang segala bentuk radikalisme merupakan bagian dari reaksi anti
radikalisme. Semangat anti radikalisme muncul sebagai bagian dari resistensi
masyarakat. Radikalisme dan anti radikalisme saling berkaitan secara dialektis.
Meskipun keduanya merupakan sesuatu yang paradoks, namun selalu menyatu
(Kusmanto et al., 2015). Anti radikalisme juga sering diartikan sebagai gerakan anti
kekerasan yang biasanya gerakannya berdasarkan sila-sila pancasila yang sangat
menentang adanya sebuah radikalisme atau gerakan perpecahan antar bangsa.
Berikut adalah upaya lain yang dapat dilakukan untuk melakukan gerakan anti
radikalisme menurut Rani (2017):
1. Kekuatan ideologi dan psikologi
Menanamkan kembali nilai-nilai dasar pancasila pada kehidupan
berbangsa dan bernegara merupakan tanggungjawab serta kewajiban kita
bersama. Kehidupan bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai
keagamaan, kemanusiaan, persatuan, kemusyawaratan, dan keadilan. Terhadap
nilai-nilai Pancasila seharusnya dapat kita hayati, fahami dan amalkan dalam
kehidupan sehari-hari, tidak hanya untuk diri kita sendiri tetapi juga demi
terwujudnya lingkungan yang tertib, aman, nyaman, dan tenteram.
Mempertahankan kekuatan ideologi dapat kita lakukan dengan tetap berpegang
teguh pada ajaran Ketuhanan, hakikatnya tidak ada satupun ajaran Tuhan yang
mengajarkan kepada kita untuk berbuat radikal dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sehingga dengan mengamalkan nilai-nilai ajaran Tuhan, kita akan
dapat terhindar dari perbuatan radikalisme yang merusak persatuan dan
kesatuan negara Indonesia.
2. Kekuatan politik
Suprastruktur dan infrastruktur politik harus dapat bekerjasama dan
memiliki kekuatan yang seimbang agar dapat menjaga stabilitas politik negara.
Melalui pranata-pranata politik, masyarakat ikut berpartisipasi dalam kehidupan
politik nasional. Dalam era reformasi saat ini, masyarakat memiliki peran yang
sangat besar dalam mengontrol jalannya politik. Terhadap kebijakan-kebijakan
politik yang dibuat atau akan dibuat oleh pemerintah harusnya juga
mempertimbangkan dari segi aspek tindakan radikal dalam lingkungan sosial
masyarakat. Pemerintah harus bisa menghadirkan kebijakan-kebijakan yang
tegas agar dapat membentuk tatanan kehidupan yang anti radikalisme. Sehingga
dengan keberadaan kebijakan tersebut kita semua dapat mewujudkan tujuan
nasional dalam menjaga ketertiban umum. Kebijakan-kebijakan yang dibuat
tersebut tidak hanya dibuat oleh pemerintah pusat, tetapi bisa saja dilakukan
oleh pemerintah daerah bahkan desa. Terhadap kebijakan yang dibuat itu harus
bersendikan pada nilai-nilai pancasila agar dapat diterima oleh masyarakat.
Sehingga masyarakat responsif dalam menjalankan kebijakan tersebut.
Kebijakan yang mengatur tentang radikalisme harusnya sudah ada di tiap-tiap
daerah, kebijakan tentang radikalisme tersebut harus disesuaikan dengan nilai-
nilai kearifan lokal setempat agar sejalan dengan adat dan budaya masyarakat.
3. Kekuatan sosial-budaya
Nilai-nilai kearifan lokal juga dapat dijadikan aspek pencegahan
radikalisme di Indonesia. Tatanan nilai yang lahir dan merupakan warisan para
leluhur juga turut serta mempengaruhi perilaku moral etis bangsa dalam
kehidupan sehari-hari. Meskipun bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang
majemuk, bukan berarti menjadikan perbedaan itu sebagai alasan untuk tidak
bersatu tetapi justru dengan perbedaan yang ada dapat menyatukan bangsa
Indonesia dalam semangat kebhinnekaan. Bangsa Indonesia yang bersifat
magismetafisis sangat patuh terhadap nilai-nilai leluhur, tentunya nilai-nilai
leluhur yang diwarisi tersebut sudah disaring dan dipilah mana yang patut untuk
dilaksanakan dan mana yang tidak patut untuk dilaksanakan. Sehingga terhadap
nilai-nilai yang patut itulah yang berkembang dan terus diwarisi menjadi ciri
khas bangsa Indonesia dalam budaya dan adat istiadat. d. Kekuatan pertahanan
dan keamanan Perlu disadari bersama bahwa menciptakan perdamaian tidak
hanya merupakan cita-cita negara, tetapi juga cita-cita bangsa Indonesia. Sikap
anti radikalisme merupakan bentuk sikap menjaga pertahanan keamanan. Maka
dari itu, dibutuhkan penguatan-penguatan dari aspek pertahanan keamanan
seperti jiwa patriotisme yang bersendikan pada ideologi bangsa. Penguatan-
penguatan sikap bela negara juga menjadi prioritas penting yang harus
ditanamkan dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
4. Pendidikan Multikultural
Pendidikan Multikultural masih diartikan sangat ragam dan belum ada
kesepakatan, apakah pendidikan multikultural tersebut berkonotasi pendidikan
tentang keragaman budaya, atau pendidikan untuk membentuk sikap agar
menghargai keragaman budaya. Kamanto Sunarto menjelaskan bahwa
pendidikan multikultural biasa diartikan sebagai pendidikan keragaman budaya
dalam masyarakat, dan terkadang juga diartikan sebagai pendidikan yang
menawarkan ragam model untuk keragaman budaya dalam masyarakat, dan
terkadang juga diartikan sebagai pendidikan untuk membina sikap siswa agar
menghargai keragaman budaya masyarakat.
Selain konsepsi yang telah dinyatakan oleh Rani (2017) di atas, terdapat upaya
lain untuk mendukung gerakan anti radikalisme. Salah satunya dengan melakukan
upaya pencegahan di bangku pendidikan formal, misalnya saja perguruan tinggi.
Perguruan tinggi merupakan satuan penyelenggara pendidikan tinggi sebagai
tingkat lanjut dari jenjang pendidikan menengah di jalur pendidikan formal. Hal ini
sesuai dengan pengertian perguruan tinggi dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 Pasal
19 Ayat 1 yang menyatakan bahwa perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan
setelah pendidikan menengah mencakup program pendidikan diploma, sarjana,
magister, spesialis, dan doktor. Peserta didik dilingkungan Perguruan Tinggi disebut
dengan mahasiswa. Lingkungan kampus dan mahasiswa sebenarnya lingkungan
yang tertutup untuk kegiatan yang bersifat radikal. Seperti diketahui bahwa
sebenarnya lingkungan kampus merupakan tempat dimana sivitas akademika
menimba ilmu dan pengetahuan, tempat pengkajian kegiatan ilmiah, serta kegiatan
akademik dan non akademik mahasiswa yang bersifat positif. Paham radikal
mampu masuk ke lingkungan kampus dikarenakan adanya organisasi-organisasi
yang ada lingkungan kampus dan diikuti oleh beberapa mahasiswa. Mahasiswa
yang belum memiliki pemahaman kuat terhadap nilai dan norma tentunya akan
mudah terpengaruh terhadap paham radikal atau radikalisme. Maka dari itu,
mahasiswa menjadi sasaran empuk bagi para penganut radikalisme. Semakin
maraknya paham radikalisme yang diikuti dengan aksi anarkis termasuk terorisme,
menuntut lembaga perguruan tinggi agar paham tersebut tidak ikut mempengaruhi
kegiatan pendidikan di perguruan tinggi apalagi mempengaruhi mahasiswa. Maka
dari itulah, dilakukan berbagai bentuk kegiatan preventif (pencegahan) sebagai
upaya dari perguruan tinggi untuk mencegah radikalisme yaitu sebagai berikut.
1. Penguatan pendidikan karakter melalui Pendidikan Kewarganegaraan dan
Pendidikan Pancasila. Sebagai mata kuliah umum yang wajib diampu oleh
mahasiswa, Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Pancasila mampu
menanamkan rasa nasionalisme terhadap mahasiswa sehingga mahasiswa
memiliki dasar nilai dan moral untuk berperilaku secara baik. Selain itu,
Pancasila merupakan filter bagi mahasiswa untuk menyaring mana pengaruh
yang baik dan buruk.
2. Pendidikan Agama. Sebagai negara dan bangsa yang unik karena keragaman
agama dan budaya, sangat perlu penanaman eksistensi religius pada diri
mahasiswa. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahaman akan toleransi
antar umat beragama. Jika rasa toleransi sudah tertanam pada diri mahasiswa,
maka mustahil muncul paham radikal apalagi sikap anarkis seperti terorisme.
3. Pendidikan Karakter. Pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan
guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu
membentuk watak peserta didik. Hal ini meliputi keteladanan bagaimana
perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru
bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Berdasarkan grand design yang
dikembangkan Kemendiknas tersebut, secara psikologis dan sosial kultural
pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh
potensi individu manusia (kognitif, afektif, konaktif, dan psikomotorik) dalam
konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan
berlangsung sepanjang hayat.