Anda di halaman 1dari 4

M A F I A T A N A H

Oleh: KBP Dr Hadi Utomo.,SH., M.Hum.,M.Han.

A. PENGANTAR

Membahas persoalan pertanahan memang seakan tidak pernah usai, hal


tersebut disebabkan oleh beberapa hal yang salah satunya adalah faktor
meningkatnya kebutuhan ekonomis akan tanah dan berbanding terbalik dengan
ketersediaan jumlah tanah yang sifatnya cendrung statis. Kondisi faktual
tersebut setidaknya telah mementaskan berbagai kegiatan aka demis yang
mengulas, membahas dan mengkaji tentang sengketa, konflik dan perkara
pertanahan guna mencari solusi penyelesaiannya.

Lebih jauh, meskipun para pakar menyatakan bahwa pem bidangan hukum
yang menjadi cakupan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah meliputi; Hukum Perdata dan Hukum
Administrasi Negara saja (Boedi Harsono, 2008:9), namun jika ditilik kembali
kepada kronologis terjadinya sengketa, konflik dan perkara pertanahan maka
tidak menutup kemungkinan ketika membahas UUPA juga bertalian dengan pemba-
hasan Hukum Pidana.

B. PEMBAHASAN

Istilah ”Perbuatan Pidana atau ”Tindak Pidana” sering diartikan


sebagai sebuah ”Kejahatan” yang di dalamnya terdapat delik yaitu; sebuah
tindakan yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh
seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat di hukum
(Leden Marpaung, 2005: 8).

Bertalian dengan kejahatan terhadap tanah, maka yang dimaksud di sini


adalah kejahatan yang berhubungan dengan hak-hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 jo. Pasal 53 UUPA. Dari segi pengertian, istilah
hak atas tanah ditafsirkan juga sebagai hak pengua saan atas tanah yang
berisikan rangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang
haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki (Boedi Harsono,
2008:24).

Merujuk pada literatur yang pernah ada, terdapat sedikitnya 3 kelompok


kejahatan terhadap tanah berdasarkan waktu terjadinya perbuatan kejahatan
tersebut, yaitu; (1) Pra-Perolehan, (2) Menguasai Tanpa Hak dan (3) Mengakui
Tanpa Hak (Anonim dalam Aloysius Mudjiyono dan Mahmud Kusuma, 2014: 4). Dari
segi substansi, uraian kelompok kejahatan terhadap tanah tersebut di atas
antara lain:

Pertama, Pra-Perolehan; merupakan rangkaian perbuatan yang dilakukan


sebelum diperoleh/didapatkannya suatu hak atas tanah. Pada kelompok
tindak pidana ini, maka unsur utama dan penting untuk dite mukan adalah
adanya perbuatan melanggar dan/atau menyalahi hukum yang dila kukan
pelaku dalam upaya membuktikan adanya hubungan hukum antara pelaku
dengan bidang tanah yang dikuasainya;

Kedua, Menguasai Tanpa Hak; menggambarkan adanya hubungan hukum yang


tidak sah antara pelaku dengan tanah yang dikuasainya. Ada penegasan
kata ”tanpa hak” dalam penguasaan tanah yang dilakukan pelaku,
sehingga menunjukan adanya pihak lain yang memiliki hak atas tanah
dimaksud;

Ketiga, Mengakui Tanpa Hak; bisa jadi secara fisik bidang tanah
dimaksud belum dikuasai oleh pelaku, namun secara pengakuan, pelaku
telah mengakui bahwa hanya dialah yang memiliki hak atas tanah tersebut
sehingga memungkinkan pihak yang menguasai bidang tanah meng alami
kerugian atas pengakuan pelaku tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, maka merujuk pada Buku II dan Buku III
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), ada beberapa delik pidana yang
cendrung terjadi dalam konteks kejahatan terhadap tanah,
diantaranya; Pertama, delik pidana berkaitan dengan Pra-Perolehan Hak Atas
Tanah berupa; pemalsuan surat dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara (Pasal
263), pemalsuan surat-surat autentik dengan ancaman hukuman 8 tahun penjara
(Pasal 264) dan menggunakan atau menyuruh menggunakan keterangan palsu dalam
akta autentik dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara (Pasal
266). Kedua, delik pidana berkaitan dengan Menguasai Tanpa Hak sebagaimana
diatur pada Pasal 385 KUHP dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara.
Dan Ketiga, delik pidana berkaitan dengan mengakui tanpa hak sebagai mana
diatur dalam Pasal 167 dan 168 KUHP dengan ancaman hukuman penjara maksimal
1 tahun 4 bulan lamanya.

Selain itu, juga terdapat beberapa pasal dalam KUHP yang bertalian
dengan kejahatan terhadap tanah di antaranya; menggeser atau bahkan
menghilangkan patok tanda batas bidang tanah dengan ancaman huku man 2 tahun
4 bulan penjara (Pasal 389), pegawai negeri yang karena jabatannya memaksa
pihak lain untuk menguntungkan dirinya sendiri (terkait dengan hak atas
tanah) dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara (Pasal 425). Dan pasal-pasal
lainnya yang terdapat dalam KUHP terkait dengan kejahatan terhadap tanah .

Di samping KUHP, masih terdapat beberapa instrumen hukum lain yang


dapat dikaitkan dengan kejahatan terhadap tanah, seperti; Undang -Undang
Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin, Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta yurisprudensi yang berkaitan
dengan kejahatan terhadap tanah.

Dasar hukum sebagi acuan tindak pidanapertanahan dan tentang mafia tanah
adalah :

1. Pasal 242 KUHP tentang Sumpah palsu di pengadilan;


2. Pasal 167 KUHP tentang Memasuki Perkarangan Tanpa Izin yang Berhak;
3. Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Surat;
4. Pasal 264 KUHP tentang Pemalsuan akta autentik;
5. Pasal 266 KUHP tentang Memasukkan keterangan palsu kedalam akta
autentik;
6. Pasal 385 KUHP tentang Penggelapan hak atas tanah barang-barang
bergerak/penyerobotan tanah.

C. KESIMPULAN

1. Mafia tanah merupakan praktek persekutuan jahat yang tumbuh subur


karena rendahnya pengawasan publik dan minimnya penegakan hukum. Modus
mafia tanah diantaranya melakukan konspirasi instansi yang menerbitkan
surat bukti hak, merekayasa perkara, dan berpura-pura melakukan
transaksi jual-beli;
2. Tidak sedikit masyarakat yang belum faham terhadap kemungkinan
terjadinya kejahatan terhadap tanah. Oleh karenanya, melalui kegiatan
diskusi webiner ini diharapkan mampu membuka cakrawala berfikir guna
meningkatkan wawasan dan pengetahuan hukum bagi masyarakat luas dalam
kaitan untuk menjaga hak-haknya atas tanah. Satu kata kunci yang ter-
penting untuk mewujudkan kepastian hukum hak atas tanah bagi masyara-
kat adalah dengan sesegera mungkin melakukan pendaftaran atas tanah-
tanah yang secara sah dan nyata dikuasai oleh yang bersangkutan kepada
institusi yang berwenang (BPN) guna memperkecil kemungkinan terjadinya
tindak kejahatan terhadap tanah yang dimilikinya. Semoga
bermanfaat!!! ***

Anda mungkin juga menyukai