Anda di halaman 1dari 58

STIKes HORIZON KARAWANG

PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DENGAN EFIKASI DIRI

TENTANG PENANGANAN PERTOLONGAN PERTAMA PADA

CEDERA PADA PENGURUS PMR DI SMAN 6 KARAWANG

NUR SETIANINGSIH

NIM: 0433131420119018

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

STIKes HORIZON KARAWANG

Jln. Pangkal Perjuangan Km. 1 By Pass Karawang 41316

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cedera adalah kerusakan fisik yang terjadi ketika tubuh manusia mengalami penurunan
energi secara tiba-tiba dengan ukuran yang melebihi batas toleransi fisiologis, atau
disebabkan oleh kekurangan satu atau lebih unsur elemen (WHO, 2014). Cedera adalah
gangguan pada tubuh yang menyebabkan nyeri, panas, kemerahan, bengkak, dan
ketidakmampuan otot, tendon, ligamen, sendi, atau tulang untuk berfungsi dengan baik
akibat penggunaan yang berlebihan akibat gaya pada tubuh, atau cedera berupa luka
tertutup dan terbuka (Simatupang,N,2016).

Menurut World Health Organization (WHO), cedera mengakibatkan 5,8 juta kematian
di seluruh dunia, dengan lebih dari 3 juta di negara berkembang. Saat ini, cedera
merupakan bahaya kesehatan di semua negara, dan menurut penelitian, cedera
menyebabkan 7% kematian di seluruh dunia, dan angka ini diperkirakan akan terus
meningkat. Selain itu, cedera mengakibatkan sekitar 16% berkurangnya masa hidup
disebabkan dengan kecacatan (disability-adjusted life years/DALYs), dimana 12,8%
disebabkan oleh kecelakaan dan 3,2% karena cedera yang disengaja.

Menurut laporan WHO tahun 2011, kecelakaan mengakibatkan patah tulang pada
tungkai bawah pada 40% kasus, hingga 1,3 juta orang ditemukan mengalami cedera
fisik, dan lebih dari 5 juta orang meninggal akibat kecelakaan. Hasil Riskesda skala
nasional tahun 2013 menunjukkan bahwa kecelakaan sekolah juga tergolong sering
terjadi, proporsi kecelakaan didominasi oleh luka sayat/lecet dan memar 70,9%,
keseleo 27,5% dan cedera patah tulang 23,2%.

Cedera merupakan masalah kesehatan yang belum mendapatkan penanganan yang


serius, meskipun telah mempengaruhi sekitar 4,7 juta orang di seluruh dunia. Dampak

1
yang dirasakan anatara lain : meningkatnya angka kecacatan, penurunan produktivitas
dan tingginya biaya perawatan. Cedera juga menjadi penyebab tertinggi ketiga dari
kunjungan ke pelayanan kesehatan khususnya pelayanan rawat jalan di rumah sakit
(Hoque, Islam, Salam, & Rahman, 2017). Di Indonesia, tingkat cedera adalah 9,2%,
dan jenis yang paling umum adalah lecet/memar (64,1%) (RISKESDAS, 2018). Cedera
dapat terjadi pada siapa saja, tanpa memandang usia, dan salah satu kelompok yang
rawan cedera adalah usia sekolah.

Menurut laporan dari RISKESDAS (2013) angka kejadian cedera proporsi tempat
terjadinya yaitu di sekolah sebanyak 5,4%, dan pada tahun 2018 angka kejadian cedera
sekolah sebanyak 6,5%, hal ini menyebabkan angka kejadian cedera di lingkungan
sekolah mengalami peningkatan karena kondisi yang tidak aman dan kurangnya
pemahaman dan kemampuan tentang konsep bahaya dan tindakan pertolongan pertama
(Kucschithawati, Magetsari, & Ng, 2007).

Cedera biasanya terjadi karena ada penyebab yang disengaja yaitu bunuh diri,
kekerasan dalam rumah tangga, penyerangan, tindakan pelecehan, dan penyebab yang
tidak disengaja seperti jatuh, terbakar/tersiram air panas, bencana alam, kecelakaan lalu
lintas, dan kecelakaan kerja (RISKESDAS,2013). Cedera yang tidak disengaja
mencapai hampir 90% kasus dan cedera merupakan penyebab utama kematian bagi
anak-anak berusia 10-19 tahun dan mewakili lebih dari 95% kematian di negara
berpenghasilan rendah dan menengah (Kemenkes, 2013: 10).

Timbulnya cedera ini diperlukan upaya yang harus dilakukan dalam penanganan
cedera tersebut yaitu pertolongan pertama, adanya pertolongan pertama ini
berpengaruh dalam cedera karena dapat meminimalisasikan dampak cedera agar tidak
sampai berkembang ke tahap yang lebih serius, pertolongan pertama yang dilakukan
harus sesuai dengan kebutuhannya agar dapat memberikan penanganan yang baik,
cepat dan tepat.

Susilowati (2015) mengatakan pertolongan pertama ialah orang yang menyampaikan


bantuan atau pertolongan pada orang yang terjadi kecelakaan atau cedera. Byraktar,

2
Celik, Unlu & Bulut (2009) juga menegaskan bahwa pertolongan pertama juga dapat
mencegah terjadinya cedera yang lebih parah. Penelitian yang dilakukan Wei, Chen,
Li, Ma et al (2015) mengatakan bahwa manajemen pertolongan pertama yang tepat
bisa mengurangi cedera lanjutan dan menghasilkan prognosis korban membaik.

Upaya dalam melakukan pertolongan pertama dibutuhkan tingkat pengetahuan tentang


hal tersebut. Pengetahuan atau kognitif merupakan hal yang sangat penting dalam
pembentukan tindakan seseorang (overt behavior). Adanya pengalaman dan suatu
penelitian dari Muniage Galih (2015) yang telah terbukti, dijelaskan bahwa jika
perilaku yang didasari dengan pengetahuan maka akan lebih bertahan lama dari pada
perilaku yang tidak didasari dengan pengetahuan. Pengetahuan dasar dan pemahaman
terkait pertolongan pertama sangat penting untuk individu agar dapat memberikan
perawatan darurat jika terjadi kedaruratan medis, bisa jadi pengetahuan dasar dan
pemahaman pertolongan pertama tersebut dapat menyelamatkan nyawa dan
meminimalisir terjadinya cedera dan keparahan akibat cedera yang ditimbulkan
(Semwal et al, 2017: 2934).

Jurnal mengenai kurangnya pengetahuan tantang pertolongan pertama pada cedera


yaitu tingkat pengetahuan anggota palang merah remaja (PMR) tentang pertolongan
pertama pada cedera saat ini masih rendah (Retno et al., 2020). Rendahnya
pengetahuan anggota PMR akan menjadi masalah besar, karena mereka adalah orang
pertama yang menjadi penolong di lingkungan sekolah sebelum korban dirujuk ke
fasilitas kesehatan selanjutnya. Pengetahuan yang kurang tentang penanganan
pertolongan pertama mengakibatkan penolong cenderung menghindar atau
memberikan pertolongan yang tidak tepat (Sandika et al., 2018). Pengetahuan
penanganan pertolongan pertama memiliki fungsi yang penting dalam keberhasilan
pemberian pertolongan pertama. Kesalahan dalam prosedur yang didasari oleh
pengetahuan dan motivasi dapat mengakibatkan kecelakaan atau memperburuk
keadaan korban (Khasanah, 2021).

Pertolongan pertama pada cedera ditingkat sekolah dapat dilaksanakan oleh semua
orang disekolah tersebut. Salah satu organisasi yang mewadahi adalah organisasi PMR.

3
Korban luka sangat membutuhkan pertolongan pertama dengan cepat dan tepat, karena
dapat meminimalkan kejadian yang lebih serius seperti kecacatan bahkan kematian,
oleh karena itu perlunya pengetahuan dasar tentang pertolongan pertama di sekolah
melalui kegiatan PMR.

PMR adalah wadah kegiatan anak usia remaja di sekolah atau lembaga pendidikan
normal pendidikan dalam palang merah melalui program ekstrakurikuler (PMI, 2013).
Munandar (2008) mengatakan bahwa salah satu fungsi utama dari PMR adalah
memberikan pertolongan pertama saat terjadi cedera di lingkungan sekolah. Menurut
(Jannah & Sontani, 2018) tugas Palang Merah Remaja (PMR) adalah belajar berlatih
untuk menambah ilmu pengetahuan dan keterampilan, serta menjadi contoh dalam
kehidupan sehari-hari di kalangan remaja-remaja lainnya. Tujuan pelaksanaan kegiatan
PMR adalah mencerdaskan generasi muda dalam kegiatan - kegiatan yang positif dan
memperkuat kualitas generasi muda serta mengembangkan karakter dan keterampilan
individu (Maelani, 2018).

Menurut Athorid (2016) peran PMR sangat penting karena mereka merupakan satu-
satunya tenaga kesehatan di sekolah. Setiap anggota PMR harus memahami
pertolongan pertama yang meliputi : Pengetahuan dasar pertolongan pertama, anatomi
fisiologis, penilaian pasien, cedera, patah tulang, luka bakar, sakit mendadak, peran
PMR pada pelayanan pertolongan pertama.

Kepercayaan diri atau efikasi diri untuk menolong juga merupakan hal yang harus
dimiliki oleh anggota PMR disamping pengetahuan. Efikasi diri adalah kemampuan
untuk percaya (Ambarika, 2017). Alasan siswa untuk tidak membantu karena efikasi
diri mereka yang rendah dan mereka merasa tidak mampu (Monika dan Adman, 2017).

Menurut penelitian Bandura (La’ade, 2020) hanya orang-orang tertentu saja yang dapat
dan berani memberikan pertolongan pertama pada cedera, karena memiliki
pengetahuan tentang pertolongan pertama dan tingkat kepercayaan atau self efficacy
yang tinggi untuk mengobati luka tersebut. Terdapat keterkaitan antara pengetahuan
dengan efikasi diri dikatakan bahwa efikasi diri berhubungan dengan tingkat

4
pengetahuan seseorang. Ketika seseorang tidak memiliki informasi yang cukup tentang
bagaimana menyelesaikan masalah, mereka cenderung menghindari masalah
(Indrawati et al., 2019).

Hasil penelitian pendukung lainnya (Putri et al., 2022) menunjukkan bahwa mayoritas
responden (52%) memiliki informasi yang cukup dan efikasi diri yang tinggi. Hasil uji
statistik menunjukkan p-value = < 0,001 yang berarti terdapat hubungan yang kuat ke
arah positif. Semakin tinggi tingkat pengetahuan, maka semakin tinggi efikasi diri
dalam memberikan pertolongan pertama pada cedera. Demikian pula (Kusuma et al.,
2020) hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan Spearmen's rank test
diperoleh p-value = 0,001 <; α=0,05 yang artinya ada hubungan yang signifikan antara
keterampilan pertolongan pertama dengan efikasi diri anggota PMR. Nilai korelasinya
adalah 0,459 yang berarti semakin tinggi tingkat pengetahuan pertolongan pertama
pada cedera maka semakin tinggi efikasi diri anggota PMR.

Salah satu faktor yang mempengaruhi efikasi diri adalah pengetahuan. Ketika
seseorang individu memiliki rendah pengetahuan, memiliki efikasi diri yang rendah
dan berusaha menghindari masalah yang dihadapinya, maka orang tersebut juga tidak
berusaha untuk meningkatkan kemampuanya dalam menghadapi masalah yang ada,
seperti memberikan perolongan pertama pada cedera yang harus dilakukan (Halawa,
2020). Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi bisa mempengaruhi efikasi diri yang
mengacu pada kemampuan individu untuk menilai tindakan yang dilakukannya
(Ambarika, 2017).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 25 Januari
2023 di SMAN 6 Karawang, setelah mewawancarai pada 10 orang pengurus PMR
mengatakan sering terjadi cedera disekolah dan bentuk lukanya antara lain yang terjadi
yaitu cedera tergores, memar, robek, terkilir hingga fraktur. Cedera yang parah
biasanya pengurus PMR yang bertanggung jawab membawa ke puskesmas terdekat di
sekolahnya. Dari ke 8 orang tersebut mengatakan tentang pengetahuan cedera masih
banyak anggota PMR yang tidak sepenuhnya mengerti cara memberikan pertolongan
pertama saat terjadinya cedera dan masih belum memiliki kepercayaan diri untuk

5
menolong korban cedera dilingkungan sekolah. Sedangkan ke 2 orang sisanya
mengatakan bahwa dirinya memiliki pengetahuan pertologan pertama pada cedera dan
penanganannya serta memiliki kepercayaan diri. Adanya dampak yang akan terjadi jika
penanganan pertolongan pertama pada cidera tidak dilakukan secara tepat dan benar
dan juga membuat korban cidera semakin parah. Berdasarkan penelitian diatas maka
peneliti tertarik melakukan penelitian ''Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Efikasi
diri tentang Penanganan Pertolongan Pertama pada Cedera pada Pengurus PMR di
SMAN 6 Karawang.

B. Rumusan Masalah

Cedera adalah kerusakan fisik yang terjadi ketika tubuh manusia tiba-tiba mengalami
penurunan energi dalam jumlah yang melebihi ambang batas toleransi fisiologis atau
akibat dari kurangnya satu atau lebih elemen penting. Upaya yang dilakukan untuk
mengurangi terjadinya cedera yaitu melakukan pertolongan pertama untuk menolong
korban cedera dilingkungan sekolah. Pertolongan pertama dilakukan apabila seseorang
memiliki pengetahuan dan memiliki perilaku efikasi diri untuk menolong korban
cedera tersebut dilingkungan sekolahnya. Berdasarkan studi pendahuluan yang
dilakukan peneliti pada tanggal 25 januari 2023 di SMAN 6 Karawang, setelah
dilakukan wawancara pada 10 orang pengurus PMR mengatakan sering terjadi cedera
disekolah dan bentuk cedera yang terjadi yaitu seperti luka tergores, memar, luka
robek, terkilir hingga patah tulang. Cedera yang parah biasanya ditangani oleh
pengurus PMR yang bertanggung jawab membawa ke puskesmas terdekat di
sekolahnya. Dari ke 8 orang tersebut mengatakan tentang pengetahuan cedera masih
banyak pengurus PMR yang belum mengetahui bagaimana cara penanganan
pertolongan pertama saat terjadi cedera dan masih belum sepenuhnya memiliki
perilaku efikasi diri untuk menolong korban cedera dilingkungan sekolah. Sedangkan
ke 2 orang sisanya mengatakan bahwa dirinya memiliki pengetahuan pertologan
pertama pada cedera dan penanganannya serta memiliki perilaku efikasi diri, adanya
dampak yang akan terjadi jika penanganan pertolongan pertama pada cidera tidak
dilakukan secara tepat dan benar dan juga membuat korban cidera semakin parah,

6
berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka rumusan masalah penelitian ini
apakah terdapat Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Efikasi diri tentang
Penanganan Pertolongan Pertama Pada Cedera Pada Pengurus PMR di SMAN 6
Karawang ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan pertolongan pertama pada cedera


dengan efikasi diri dalam penanganan pada anggota PMR

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik dari responden : Usia, jenis kelamin, dan


pendidikan
b. Mengidentifikasi tentang tingkat pengetahuan
c. Mengidentifikasi efikasi diri pengurus PMR
d. Mengidentifikasi hubungan tingkat pengetahuan dengan pertolongan pertama
dengan efikasi diri

D. Manfaat penelitian

1. Peneliti

Penelitian ini ilmu pengetahuan hubungan tingkat pengetahuan tentang

pertolongan pertama pada cedera dengan efikasi diri dalam penanganan pada

pengurus PMR ditingkat SMA

7
2. Akademisi

Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan informasi tambahan, dan sebagai

referensi untuk karya ilmiah dalam tugas dan di luar itu.

3. Mahasiswa

Studi penelitian ini bisa menjadi sumber informasi bagi mahasiswa, untuk

memungkinkan mahasiswa menyelidiki hubungan antara tingkat pengetahuan

pertolongan pertama pada cedera dengan efikasi diri dalam penanganan pada

pengurus PMR.

4. Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi peneliti selanjutnya

mengenai hubungan tingkat pengetahuan pertolongan pertama pada cedera

dengan efikasi diri dalam penanganan pada pengurus PMR. Selain itu,

penelitian ini juga dapat menjadi referensi bagi peneliti yang ingin

mengembangkan penelitian ini

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Tingkat Pengetahuan


1. Pengertian pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil berupa pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari
interaksi dengan lingkungan, yang terjadi melalui persepsi dan perasaan melalui alat
indera manusia. (Sugiharto, 2012:105) menjelaskan konsep pengetahuan merupakan
informasi yang diterima seseorang dalam interaksi dengan lingkungan. Pengetahuan
merupakan cara untuk mengatasi berbagai masalah kehidupan yang dialami manusia,
tidak secara sistematis ditujukkan oleh penjelasan, penalaran dan pemahaman manusia
kepadanya (Slameton, 2010:27). Sementara itu, menurut (Notoatmodjo, 2007:139)
pengetahuan adalah hasil dari mengetahui setelah manusia memiliki indera seperti
penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan peradaban terhadap suatu
objek tertentu. Menurut uraian para ahli di atas, bisa diartikan bahwa pengetahuan
merupakan suatu hasil kesimpulan dari penjelasan dan pemahaman terhadap hal-hal
yang dihadapi oleh manusia.

2. Tingkat Pengetahuan

Tingkat pengetahuan bisa diketahui melalui aturan tingkat pengetahuan yang berlaku
atau dengan memahami Taksonomi. Taksonomi merupakan bahasa dari Yunani kata
tassein yaitu artinya klasifikasi dan nomos artinya aturan jadi Taksonomi artinya
klasifikasi yang berhirarki aturan aturan kepada sesuatu atau prinsip yang didasari dari
klasifikasi (Notoatmodjo,2007:35). Semua hal yang bergerak, benda yang berdiam
tempat dan peristiwa sampai kepada kemampuan dari berfikir bisa di klasifikasikan
oleh beberapa skema taksonomi.

Menurut (Notoatmodjo, 2007: 140-142) dijelaskan ada pembagian klasifikasi tingkat


pengetahuan yaitu :

9
a. Mengetahui (know)
Mengetahui adalah kemampuan menghafal dan mengulang materi atau sesuatu
yang telah diperoleh atau dipelajari sebelumnya, oleh karena itu mengetahui
adalah tingkat pengetahuan dasar di klasifikasi tingkatan pengetahuan.
b. Memahami (comprehension)
Memahami adalah kemampuan untuk menerangkan hal materi yang sudah
dipelajari.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi merupakan kemampuan untuk menggunakan materi yang sudah
dipelajari pada peristiwa atau kejadian yang dialami sebenarnya.
d. Analisis (analysis)
Analisis merupakan kemampuan untuk menganalisis materi yang masuk
kedalam bagian yang masuk dari suatu struktur dan ada kaitannya satu sama
lain.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis adalah kemampuan dalam menghubungkan bagian dari suatu bentuk
kedalam kesatuan dari bagian keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi adalah kemampuan untuk melakukan penilaian atau evaluasi pada
suatu objek ataupun materi untuk perbaikan.

Tingkat pengetahuan adalah sesuatu tingkatan yang bisa diukur seperti


tingkatan pengetahuan bisa di cari tahu menggunakan wawancara dengan
responden tentang topik yang akan dicari. Menurut (Notoatmodjo, 2007: 142)
wawancara dengan menggunakan pertanyaan tentang topik yang ingin diukur
dari bahasan adalah cara yang digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan.
Menurut (Arikunto 2010: 125) untuk mengukur tingkatan pengetahuan bisa
dilaksanakan menggunakan wawancara untuk mencari jawaban bahasan yang
akan diukur.

10
Selain itu menurut (Arikunto 2010: 126-127) menjelaskan bahwa pertanyaan
ada yang subjektif dan objektif yang bisa digunakan untuk mengukur tingkat
pengetahuan berikut penjelasannya yaitu :

1) Subjektif
Pengukuran tingkat pengetahuan melalui pertanyaan subjektif adalah
pertanyaan yang umumnya berupa uraian atau essai dan penilaian
pertanyaan subjektif ini hasil ukurnya akan berbeda - beda.
2) Objektif
Pengukuran tingkat pengetahuan melalui pertanyaan objektif adalah
pertanyaan yang hasil ukurnya pasti. Pertanyaan biasanya berupa
pilihan ganda atau benar atau salah.

3. Pengukuran Pengetahuan

Pengetahuan bisa diukur melalui wawancara yang berisi pernyataan bahasan yang
ingin di ukur dari responden (Notoatmodjo, 2007). Pengukuran pengetahuan ini
dikaitkan dengan tingkat pengetahuan pengurus PMR di sekolah untuk mengetahui
tingkat pengetahuan dalam melakukan penanganan pertolongan pertama pada cedera.
Rumus mengukur tingkat pengetahuan menurut (Arikunto, 2010) yaitu :

P = f/N × 100%

Keterangan :

P : Persentase

f : frekuensi item soal benar

N : Jumlah soal

Kategori tingkat pengetahuan :

1) Kurang (Skor < 55%)


2) Cukup (Skor 56%-75%)

11
3) Baik (Skor 76%-100%)

4. Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Faktor - faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut (Notoatmodjo, 2007)

a. Pendidikan
Tingkat dari pendidikan berpengaruh terhadap respon dari sesuatu yang
terjadi, biasanya orang yang berpendidikan akan berikir lebih raisonal dan
juga berfikir apa yang akan didapat terhadap informasi yang terjadi dari
luar. Pendidikan merupakan pelajaran yang diberikan oleh seseorang
kepada orang lain untuk menuju tujuan yang akan dicapai. Pendidikan bisa
memepengaruhi tindakan seseorang mulai dari perilaku, pola hidup serta
pandangan dalam kesehatan.
b. Paparan Media Massa
Informasi kini hadir bagi masyarakat yang bisa diakses atau didapatkan
melalui media cetak ataupun media elektronik, dari banyaknya media yang
menyebar informasi masyarakat lebih sering terpapar dari pada orang yang
tidak pernah terpapar informasi media. Artinya informasi yang terpapar
oleh media massa mempengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki
seseorang.
c. Ekonomi
Usaha seseorang dalam mencukupi kebutuhannya biasanya status
ekonominya baik dan akan lebih mudah tercukupi kebutuhan primer
maupun sekunder dibandingkan seseorang yang status ekonominya rendah,
artinya ekonomi berpengaruh pada pengetahuan seseorang dalam suatu hal.
d. Hubungan sosial
Manusia merupakan makhluk sosial yang berinteraksi satu sama lain.
Individu bisa berinteraksi dengan berkelanjutan akan lebih besar bisa
terpapar informasi. Hubungan sosial dapat mempengaruhi komunikasi
individu untuk merespon informasi dari media, artinya hubungan sosial

12
juga mempengaruhi tingkatan pengetahuan pada seseorang mengetahui
suatu hal.
e. Pengalaman
Pengalaman tentang sasuatu hal yang terjadi oleh seseorang dalam
kehidupannya mempengaruhi tingkat pengetahuan dan biasanya seseorang
yang lebih banyak kegiatan tentang pendidikan lebih luas informasi yang
didapat dari pengalaman tersebut dan akan luas juga pemikiran yang
didapat oleh seseorang dalam menangani suatu hal.

B. Konsep Penanganan Pertolongan Pertama


1. Pengertian Penanganan Pertolongan Pertama

Menurut (Nurhanifah, 2017) penanganan pertolongan pertama pada cedera adalah


upaya yang dilakukan pertama kali dalam menghadapi korban cedera sebelum dibawa
ke pealayanan kesehatan untuk ditangani oleh dokter serta paramedic. Sedangkan
menurut (Khan, et, al, 2010) penanganan pertolongan pertama pada cedera
merupakan penanganan yang tujuanya untuk meminimalisir sakit pada korban cedera
hingga pertolongan dari paramedic atau perawat datang.

Menurut (Zanifar, et, al, 2003) pertolongan pertama meliputi perawatan darurat yang
didasari oleh tindakan mencegah kematian, kerusakan maupun timbulnya komplikasi
dan mengurangi rasa sakit sebelum petugas dari kesehatan datang. Selain itu menurut
penjelasan yang di terangkan oleh (Mohammad, 2005) pertolongan pertama adalah
tindakan segera yang diberikan oleh korban cedera. Pada proses penanganan akan
dilakukan oleh seseorang penolong yang pertama kali datang yang memiliki keahlian
dalam melakukan pertolongan pertama. Pemberian tindakan ini tidak sembarang
orang bisa melakukannya hanya orang yang terlatih supaya penanganan yang
diberikan tepat dan keadaan korban tidak memburuk.

13
2. Tujuan Penanganan Pertolongan Pertama

Menurut (Mohamad, 2005) berikut adalah tujuan penanganan pertolongan pertama


yang dilakukan saat terjadinya cedera yaitu :

a. Menolong nyawa korban.


b. Meminimalisir adanya kecacatan pada korban.
c. Membantu korban mengurangi rasa sakit sampai proses penyembuhan
tercapai.

Berikut ini adalah beberapa kewenangan penolong yang harus dilakukan dalam
penanganan pertolongan pertama pada korban yaitu :

a. Melindungi diri serta korban dan area lingkungan untuk menolong. Sebab
melindungi keselamatan adalah hal yang terpenting dalam penyelamatan
korban.
b. Mencapai jangkauan area korban. Pada peristiwa cedera kemungkinan
penolong harus memindahkan korban lain untuk dapat menjangkau korban.
Dalam kasus kecelakaan atau musibah kemungkinan penolong harus
memindahkan korban lain untuk dapat menjangkau korban lebih parah.
c. Menangani suatu hal yang bisa mengancam nyawa korban.
d. Bertanggung jawab kepada korban hingga paramedic sampai ditempat dan
mengalihkan penananganan.
e. Melakukan tindakan penanganan segera dengan tepat sesuai kebutuhan
korban.
f. Ikut membantu penolong lainya untuk memberikan penanganan.
g. Menjaga privasi keadaan korban.
h. Berkontribusi dengan para penolong dengan paramedik.
i. Membantu korban dibawa ke pelayanan kesehatan.

Saat penolong melakukan penanganan penolong harus menyiapkan alat


pelindung diri (APD). Penolong korban cedera bisa terpapar oleh penyakit yang
ditularkan oleh korban. Menurut (Mohamad, 2005) media penularan penyakit

14
yang ditularkan oleh korban cedera adalah darah maupun cairan tubuh pada
korban. Penyakit yang bisa menular diantaranya adalah hepatitis, tuberkulosis
(TBC), human immunodeficiency virus/ immunodeficiency syndrome
(HIV/AIDS). Fungsi lain dari APD adalah mencegah penolong agar terhindar
dari luka saat melakukan tindakan penanganan.

Macam - macam APD :

1) Handscoon latex / Sarung tangan lateks


Untuk mencegah adanya rembesan darah ataupun cairan tubuh yang
mengenai kulit penolong dibutuhkan sarung tangan/ handscoon lateks.
Jika keadaan tidak memungkinkan sebaiknya sarung tangan lateks
digunakan terlebih dahulu sebelum menggunakan sarung tangan kerja..
2) Goggle glass / Kacamata goggle.
Kacamata goggle ini berfungsi melindungi mata penolong dari cairan
darah korban, mencegah penolong dari cedera maupun kemasukan
benda asing pada mata.
3) Hazmat /Baju pelindung.
Baju pelindung/ hazmat biasanya digunakan pada saat adanya wabah
besar seperti pandemi covid-19 fungsinya untuk mencegah penularan
dari cairan tubuh korban melalui pakaian penolong .
4) Masker
Masker digunakan saat penolong melakukan penanganan agar penolong
tidak tertular oleh penyakit korban melalui udara.
5) Helm.
Helm digunakan saat menolong korban di area yang rawan seperti
bangunan yang runtuh, tanah longsor dan sebagainya.

15
3. Tahapan melakukan Penanganan Pertolongan Pertama

Penolong diharuskan mengetahui tahapan yang akan di berikan kepada korban


Menurut (Tilong, 2004) Tahapan penolong untuk melakukan penanganan kepada
korban cedera yaitu:

a. Tidak panik
Tugas seorang penolong saat di tempat korban cedera adalah tidak
panik. Segera berikan penanganan pada korban cedera dengan tepat dan
tenang agar korban tidak mendapatkan hasil yang tidak diinginkan.
Misalkan peristiwa yang terjadi itu massal atau besar, penolong
mengutamakan korban yang terdampak cedera yang lebih parah dan
mengarahkan korban yang cedera ringan untuk bisa mengobati sesama
korban agar tidak mengalami cedera yang lebih parah.

b. Memastikan situasi dan kondisi lokasi aman

Sebelum menolong korban, sebaiknya anda memastikan bahwa lokasi


benar-benar aman bagi penolong, orang-orang sekitar lokasi kejadian,
dan korban itu sendiri. Periksa segala sesuatu yang yang dapat
mengancam keselamatan. Gunakan pelindung diri yang ada, seperti
sarung tangan dam masker untuk mencegah faktor resiko infeksi
menular. Jangan mengambil resiko untuk menjadi korban berikutnya.

c. Membawa korban ketempat yang aman

Jauhkan korban dari sumber kecelakaan, untuk mencegah terjadinya


kecelakaan ulang yang akan memperparah kondisi korban. Misalnya,
saat ada di lokasi longsor, jauhkan dari tempat yang kira-kira akan
terjadi longsor susulan. Dengan menjauhkan korban dari lokasi, dapat
memberikan pertolongan dengan tenang dan jauh dari kecelakaan lain
yang mungkin terjadi berikutnya.

16
d. Memeriksa tingkat kesadaran korban

Periksa kesadaran korban dengan cara memanggil namanya jika kenal


atau teriak agak keras di dekat telinga korban. Jika tidak ada respon
juga, tepuk pundak korban perlahan namun tegas. Berikan rangsangan
nyeri misalnya mencubit bagian telinga korban. Jika korban masih
tidak ada respon, segera panggil bantuan medis dan lakukan tahap
selanjutnya, karena masih mempunyai waktu untuk menunggu bantuan
medis datang.

e. Menghentikan pendarahan korban

Pendarahan yang keluar dari pembuluh darah besar dapat membawa


kematian hanya dalam waktu 3 sampai 5 menit. Untuk itu, jika ada luka
dengan intensitas darah yang sangat deras, segera tutup luka dengan
menggunakan sapu tangan atau kain bersih. Kalau lokasi luka
memungkinkan, letakan bagian pendarahan lebih tinggi dari pada
bagian tubuh.

f. Memperhatikan adanya shock pada korban

Korban ditelentangkan dengan bagian kepala diletakan lebih rendah


dari anggota tubuh yang lain. Apabila korban muntah-muntah dalam
keadaan setengah sadar telungkupkan dengan letak kepala lebih rendah
dari bagian tubuh lainnya. Cara ini juga dilakukan untuk korban-korban
yang dikhawatirkan akan tersedak muntahan, darah dan air ke dalam
paru-parunya. Apabila penderita mengalami Cidera didada dan
penderita mengalami sesak nafas, Tetapi masih sadar letakan pada
posisi setengah duduk.

g. Jangan terburu - buru memindahkan korban

Korban tidak boleh dipindahkan dari tempat sebelum dapat di pastikan


jenis dan tingkat cedera yang dialaminya, kecuali bila tempat

17
kecelakaan tidak memungkinkan bagi korban untuk dibiarkan di tempat
tersebut. Apabila korban hendak diusung terlebih dahulu, pendarahan
harus dihentikan serta tulang-tulang yang patah dibidai. Ketika
mengusung korban, usahakan supaya kepala korban tetap terlindung
dan jangan sampai saluran pernapasan tersumbat oleh kotoran atau
muntahan.

h. Membawa korban ke pelayanan kesehatan

Setelah dilakukan pertolongan pertama, mungkin pertolongan medis


segera datang. Jika tidak, segera bawa korban ke sentral pengobatan,
puskesmas, atau rumah sakit. Serahkan keputusan selanjutnya kepada
dokter atau tenaga medis yang kompeten.

C. Konsep Cedera
1. Pengertian Cedera

Cedera adalah kerusakan fungsi serta struktur dari anatomi normal yang disebabkan
oleh kondisi patologis menurut (Poter&Perry, 2005). Cedera adalah kerusakan fisik
seseorang yang terjadi ketika tubuh secara tiba-tiba mengalami penurunan energi
yang melebihi tingkat toleransi fisiologis atau disebabkan oleh kekurangan satu atau
lebih dari fungsi penting misal oksigen menurut (WHO,2014). Menurut penelitian
dari organisasai (European Child Safety Alliance, 2014) dan (California Injury
Prevention Network, 2012) dijelaskan luka cedera yang dialami oleh anak dapat
dibedakan menjadi cedera yang tidak disengaja dan cedera yang disengaja. Menurut
beberapa pengertian yang telah dijelaskan di atas bahwa cedera merupakan kerusakan
dari struktur atau fungsi tubuh yang disebabkan oleh trauma atau tekanan fisik atau
kimiawi.

18
2. Konsep Klasifikasi Cedera

Setelah dijelaskan tentang pengertian cedera menurut beberapa ahli berikut adalah
klasifikasi cedera menurut (Hardianto, 2005) :

a. Berdasarkan tingkatan ringan beratnya luka cedera di kelompokan menjadi


sebagai berikut :
1) Cedera Ringan

Cedera ringan adalah cedera yang tidak parah yang timbul pada jaringan
tubuh seperti kelemahan otot. Cedera ringan umumnya tidak perlu diobati
akan sembuh dengan sendirinya.

2) Cedera Berat
Cedera berat adalah cedera yang parah, yaitu rusaknya jaringan pada tubuh
seperti otot yang robek/ligamen maupun fraktur.
Berikut adalah macam - macam cedera berat :
a) Kehilangan substansi atau kontinuitas
b) Kerusakan serta robeknya pembuluh darah
c) Mengalami peradangan yang ditandai dengan panas, kemerahan,
bengkak, nyeri serta tidak bisa digunakan secara normal.

b. Cedera pada bagian jaringan bisa di kategorikan yaitu :

1) Cedera pada jaringan lunak


a) Cedera bagian kulit
Cedera yang umumnya terjadi adalah cedera lecet, robek, serta
cedera tusukan.
b) Cedera bagian otot/tendon dan ligamen
(1) Cedera otot atau strain merupakan cedera yang biasanya
terjadi pada otot dan tendon. Penyebabnya adalah lebihnya
regangan. Gejala yang di timbulkan seperti nyeri

19
terlokalisasi, bengkak, kekakuan serta adanya lebam
disekitar daerah yang cedera.

(2) Terkilir atau biasanya disebut keseleo atau sprain merupakan


cedera peregangan, robeknya bagian ligamen serta jaringan
fibrosa yang menghubungkan tulang serta sendi. Gejala
yang ditimbulkan adalah nyeri, bengkak, lebam dan sulitnya
bergerak dengan bagian yang cedera.

2) Cedera pada jaringan keras


Cedera yang terdapat pada bagian tulang, sendi bersamaan dengan
cedera pada bagian jaringan lunak yaitu :
a) Patah tulang atau disebut juga sebagai fraktur merupakan luka pada
struktur jaringan pada bagian tulang yang disebabkan oleh trauma
atau ketidakmampuan tulang yang diterimanya. Bentuk dari patah
tulang bermacam - macam seperti retak hingga hancur
Cedera fraktur atau patah tulang dikelompokan menjadi dua yaitu:

(1) Fraktur Tertutup

Cedera fraktur yang tertutup adalah kondisi patah tulang


yang tidak terdapat hubungan antara tulang dengan bagian
luar.

(2) Fraktur Terbuka

Cedera pada fraktur yang terbuka adalah kondisi patah


tulang yang menonjol ke bagian luar. Hal ini sangat
berbahaya karena adanya resiko infeksi dari luar ke dalam.

b) Cedera pada sendi tulang atau disebut juga dislokasi


yaitu tidak normalnya tempat bagian dari tulang
dengan sendi umumnya cedera ini timbul bersamaan
dengan cedera terkilir atau sprain.

20
3. Penyebab Cedera

Menurut (Kliegman, 2007) penyebab dari timbulnya cedera pada anak usia sekolah
yaitu seperti faktor usia, jenis kelamin, lingkungan serta sosial ekonomi. Menurut
(Sumargi,2007) Kekuatan anak untuk memahami pengetahuan yang dilihat sangat
terbatas rendahnya pemahaman ini banyak anak yang tidak bisa mengurangi serta
mencegah bahaya akibatnya anak kurang menjaga diri dari cedera. Beberapa penyebab
yang terjadi pada cedera adalah rendahnya pengawasan orang tua serta kurangnya
pengetahuan penanganan cedera. Menurut penelitian dari (Morrongiello, Walpoe, &
Mc Arthur, 2009) tingginya angka kejadian cedera pada anak laki - laki dibandingkan
dengan anak perempuan, biasanya orang tua lebih memperhatikan anak perempuannya
dibanding anak laki-laki. Menurut peneliti (Kuschiwati dan Magetsari 2007) dijelaskan
juga bahwa anak laki- laki lebih sering terjadi cedera dengan patah tulang, terkilir dan
juga luka robek. Sedangkan anak perempuan lebih sering cedera tergigit dan masuknya
benda asing.

4. Penanganan Cedera
Penanganan cedera dapat di bagi menjadi berikut :
1. Luka lecet atau tergores (ekskoriasi)
Menurut (Potter & Perry, 2005) membersihkan bagian yang luka dapat
dianjurkan dengan cairan normal saline atau biasa disebut (NaCl)
(NaCl) adalah cairan fisiologis yang tujuannya meningkatkan jaringan
epitel, setelah dibersihkan kemudian tutup bagian luka dengan kassa
dan plaster.
2. Luka robek (laserasi)
Menurut (Junaidi, 2011) menjelaskan bahwa luka robek biasanya
dibutuhkan jahitan. Penanganan pertama dilakukan pembersihan
kemudian untuk mencegah infeksi luka ditutup dengan kassa lalu bawa
korban ke pelayanan kesehatan.

21
3. Luka tusukan (punctum)
(Junaidi, 2011) mengatakan jika ditusuk lalu terkena pembuluh darah
besar penolong lakukan tindakan menutup pendarahan terlebih dahulu.
Kemudian bagian yang luka ditutup lalu bawa korban ke pelayanan
kesehatan.
4. Cedera bagian otot dan terkilir (sprain dan strain)
Menurut Millar (2014) tindakan penanganan pertolongan pertama pada
cedera sprain dan strain ini dengan menggunakan PRICE yaitu :
a. Protection (Proteksi atau perlindungan)
Dalam proteksi ini tujuannya untuk mencegah cedera bertambah
serta mengurangi gerakan otot yang cidera tindakan proteksi ini
bisa dilakukan dengan air splint dan ankle brace.
b. Resting (Berstirahat)
Mengistirahatkan tubuh setelah cedera yaitu selama kebutuhan
tujuannya agar cedera tidak bertambah parah serta
mengistirahatkan jaringan untuk pulih kembali.
c. Ice (Kompres menggunakan es)
Kompres es ini tujuannya meminimalisir pembengkakan pada
bagian yang terkena cedera. Cara pemberian kompres es yaitu
masukan es ke tempat seperti kantong es jika tidak memungkinkan
balutlah es dengan kain kemudian kompres pada bagian cedera
selama 20 menit setiap 2 jam. Gejala yang umumnya ditimbulkan
adalah rasa nyeri, bengkak, kemerahan serta rasa panas.
d. Compression (Memberi tekanan)
Balutan dari kompresi ini tujuannya mengurangi distensi pada
bagian yang cedera untuk mengurangi pembengkakan balutan
kompresi ini dilakukan dengan alat perban elastis atau kinesio tape
pada bagian cedera. Perlu diperhatikan saat dilakukan balutan
kompresi agar tidak terlalu kencang.

22
e. Elevation (Elevasi)
Elevasi adalah megangkat atau meninggikan bagian yang cedera
dari permukaan jantung tujuannya untuk membantu meminimalisir
pembengkakan dan tekanan dan aliran darah ke bagian cedera.
f. Support (Bantuan)
Bantuan yang dimaksud adalah menggunakan alat bantu pada
bagian yang cedera tujuannya mencegah gerakan otot yang
berlebihan bertujuan untuk mencegah pergerakan otot yang
berlebihan dan mencegah cedera semakin parah.
5. Patah tulang (Fraktur)
Menurut Mansjoer (2000) penanganan tindakan patah tulang ini banyak
dilakukan perubahan salah satunya menggunakan traksi serta tindakan
non invasif lainnya. Berikut ada berberapa mobilisasi yang tepat untuk
digunakan yaitu :
a. Traksi
Traksi adalah suatau tahanan yang dipakai dengan alat lain untuk
menangani kerusakan atau cedera pada tulang dan otot. Traksi
bertujuan untuk menanganai patah tulang, dislokasi serta spasme
otot untuk mempercepat kesembuhan. Traksi menggunakan
sebuah beban untuk memopang gerakan tetapi dijaman sekarang
sudah tidak digunakan. Traksi pada model longitudinal diperlukan
24 jam mengatasi spasme otot dan mengurangi pemendekan, serta
fragmen harus ditopang bagian posterior untuk mencegah
lengkungan. Pada anak - anak traksi digunakan dengan cedera
fraktur pada femur berat kurang dari 12kg. Pada korban cedera
yang gemuk dianjurkan beban yang lebih besar.
b. Operasi pembedahan
Tindakan pembedahan yaitu fiksasi interna merupakan
penempatan piringan atau batang logam pada pecahan-pecahan

23
tulang. Fiksasi interna adalah pengobatan terbaik untuk patah
tulang pada pinggul dan patah tulang disertai komplikasi.
c. Balut bidai
Balut bidai atau pembidaian merupakan suaru cara penanganan
pertolongan pertama pada cedera sistem muskuloskeletal untuk
mengistirahatkan bagian tubuh yang cedera dengan suatu alat keras
didaerah sekeliling tulang.
d. Menggunakan Gips
Gips merupakan suatu bubuk campuran yang digunakan untuk
membungkus secara keras pada daerah yang mengalami patah
tulang. Pemasangan gips bertujuan untuk menyatukan kedua
bagian tulang yang patah agar tak bergerak sehingga dapat
menyatu dan fungsinya pulih kembali dengan cara mengimobilisai
tulang yang patah tersebut.
e. Waktu penyembuhan patah tulang
Penyembuhan fraktur dibantu oleh pembebanan fisiologis pada
tulang, sehingga dianjurkan untuk melakukan aktifitas otot dan
pertahanan beban secara lebih awal. Tujuan ini tercakup dalam tiga
keputusan yang sederhana: reduksi, mempertahankan dan lakukan
latihan.

5. Pencegahan Cedera

Dalam masalah penanganan mengenai cedera terutama pada disekolah bisa di kurangi
menurut (WHO,2008) 6 prinsip pencegahan cedera di seluruh dunia yaitu perturan
undang undangan serta modifikasi lingkungan, modifikasi produk, mendukung home
visit serta mempromosikan alat keamanan dan edukasi. Menurut (Barrios Jones &
Gallagher, 2007) menerangkan bahwa warga sekolah berhak mencegah terjadinya
cedera pada anak, warga sekolah terutama guru berperan aktif membuat kewenangan
tentang pencegahan cedera disekolah. Dijelaskan juga menurut (Barrios Jones &

24
Gllagher, 2007) warga sekolah terutama guru disekolah harus memberikan
pengawasan yang cukup ketika anak - anak berolahraga, bermain di sekolah dan
membuat lingkungan yang aman, dan juga bekerjasama dengan petugas kesehatan
untuk dibentuk kader Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Kader UKS ini digunakan
untuk melatih kemampuan anak - anak untuk mencegah cedera dilingkungan sekolah
serta memberi pengetahuan tentang penanganan pertolongan pertama pada cedera.

6. Peran Kader UKS

Menurut (Effendi, 2009) di jelaskan bahwa UKS adalah kegiatan yang dilaksanakan
oleh masyarakat di sekolah dengan sasarannya anak - anak di lingkungan sekolah. UKS
berfungsi sebagai organisasi yang menerangkan pengetahuan tentang menjaga
kebersihan diri, penanganan cedera serta pendidikan seksual yang sehat. Pelatihan
kader UKS dilakukan oleh sekolah melalui program UKS yang bekerja sama dengan
dinas kesehatan dan petugas kesehatan setempat.

Pelatihan kader UKS disekolah bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan. Sikap dan
keterampilan siswa dalam rangka pelaksanaan program UKS. Metode pelatihan yang
digunakan adalah metode ceramah, tanya jawab, simulasi, curah pendapat,
peragaan/demonstrasi, penugasan/pelatihan diruang UKS maupun dilapangan. Pelatih
adalah petugas kesehatan serta guru UKS (Depkes, 2006). Peranan UKS adalah sebagai
salah satu modal dasar pembangunan nasional adalah sumber daya mausia yang
berkualitas yaitu manusia indonesia yang sehat fisik, mental, sosial serta memiliki
produktivitas yang optimal dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan secara
terus menerus yang dimulai sejak dalam kandungan, balita, usia sekolah sampai usia
lanjut (Effendi, 2009).

D. Konsep Efikasi Diri


1. Pengertian Efikasi diri

Pengertian dari efikasi diri adalah kesimpulan dari pembahasan kognitif sosial yang di
jelaskan oleh Albert Bandura yang menekankan sebuah peran belajar secara
observasional, pengalaman sosial dan timbal balik pengembangan kepribadian..

25
Pengertian efikasi diri menurut Bandura yaitu keyakinan seseorang dalam
kemampuannya untuk melakukan sesuatu bentuk kontrol kepada suatu fungsi
seseorang tersebut dan kejadian dilingkungannya. Menurut (Bandura, 1994:2)
menggambarkan efikasi sebagai penentu bagaimana orang berfikir, merasa,
memotivasi diri, serta berperilaku.

Efikasi diri adalah salah satu aspek pengetahuan diri yang berpengaruh dalam
kehidupan manusia. Sebab efikasi diri mempengaruhi seseorang individu dalam
menentukan tindakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan serta hal perkiraan yang
akan terjadi. Efikasi diri adalah keyakinan seseorang dapat memahami kondisi serta
hasil positif. Menurut penjelasan dari (Santrock, 2007:286) mengatakan efikasi diri
berpengaruh terhadap tindakan dalam berperilaku.

Sedangkan menurut (Judge dan Erez, dalam Ghufron, 2010:) mengatakan bahwa
efikasi diri bisa mengarahkan perilaku seseorang dengan berbeda - beda diantara
individu dengan kemampuan yang sama karena efikasi diri mempengaruhi pilihan,
tujuan, penyelesaian masalah, juga kegigihan dalam berusaha. Seseorang dengan
efikasi diri adalah seseorang yang percaya jika mereka mampu melakukan sesuatu
untuk berubah di peristiwa yang terjadi di lingkungannya, selain itu seseorang yang
efikasi dirinya rendah adalah seseorang yang beranggapan bahwa tidak mamou
mengerjakan sesuatu yang ada di lingkungannya. Pada kondisi sulit seseorang dengan
efikasi diri yang tinggi berusaha lebih giat untuk menangani masalah yang ada.

2. Aspek-aspek Efikasi Diri


Badura menerangkan didalam (Ghufron, 2010:88), self efikasi atau efikasi diri dalam
setiap diri seseorang berbeda - beda anatara individu dengan individu lainnya menurut
aspek tersebut ada 3 aspek - aspek efikasi diri yaitu :

a. Aspek tingkat (level)

Aspek pada tingkat ini berhubungan dengan tingkat kesulitan tugas ketika
seseorang itu rasa mampu melakukannya. Dan jika seseorang tersebut
diberikan tugas yang disusun dari tingkat kesulitannya maka efikasi diri

26
seseorang tersebut akan terbatas pada tugas yang mudah, sedang dan sulit
sesuai dengan kemapuannya untuk memenuhi tuntutan dari perilaku yang
dibutuhkan dari berbagai tingkat. Aspek tingkatan ini berimplikasi
terhadap pemilihan tingkah laku yang mereka rasa mampu dilakukan dan
menghindar dari tingkah laku yang dirasa diluar batas kemampuan.

b. Kekuatan (strength)

Aspek kekeuatan ini berhubungan dengan tingkat dari kekuatan terhadap


keyakinan atau harapan seseorang tentang kemampuannya. Harapan
seseorang yang tidak kuat dapat digoyahkan oleh pengalaman yang tidak
diberi pendukung. Dan sebaliknya jika harapan seseorang yang diberi
pendorong akan mempengarhui seseorang mempertahankan usahanya
walaupun kurangnya penunjang melalui pengalaman. Aspek tersebut
umumumnya berhubungan langsung dengan aspek pada tingkatan atau
level, jadi artinya semakin tinggi tingkatan atau level dalam kesulitan
semakin rendahnya keyakinan untuk menyelesaikan.

b. Generalisasi (geneality)

Aspek generalisasai yaitu aspek yang berhubungan dengan besarnya


perilaku individu yang merasa yakin atas kemampuan yang dimilikinya.
Aspek ini berkaitan dengan tingkah laku yang mana individu merasa yakin
akan kemampuannya. Apakah kegiatan yang dilakukan terbatas dan kondisi
dan situasi yang tertentu atau serangkaian kegiatan yang bermacam -
macam. Menurut (Bandura, 2006 307-319) yang berjudul guide for
constructing self efficacy scales menjelaskan 3 aspek ini efektif
menjelaskan efikasi seseorang. Pada pengertian yang telah dijelaskan
diatas, bisa disimpulkan bahwa aspek yang membangun efikasi diri dalam
seseorang adalah aspek tingkatan, aspek kekuatan serta aspek generalisasi.

27
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efikasi Diri

Efikasi diri pada seseorang bisa ditanamkan dan di ajarkan dengan 4 hal menurut
Bandura dalam ( Jess Feist & Feist, 2010:213-215) berikut 4 hal yang mempengaruhi
efikasi diri :

a. Mastery Experience (Pengalaman menguasai sesuatu)

Mastery experience atau pengalaman menguasai sesuatu adalah


kemampuan masalalu. Secara umum pengalaman yang tinggi biasanya bisa
menaikan efikasi diri seseorang individu sedangkan pengalaman yang
rendah akan menurunkan efikasi diri seseorang. Efikasi diri yang sudah
tinggi dan berkembang melalui proses dari pengalaman yang berhasil, efek
tidak positif dari tidak berhasil akan berkurang. Ketidakberhasilan
seseorang juga bisa ditangani melalui memotivasi dirinya jika seseorang
menghadapi masalah yang sulit.

b. Modeling social (Pengamatan model)

Pengamatan terhadap keberhasilan orang lain dengan kemampuan yang


sebanding dalam mengerjakan suatu tugas akan meningkatkan efikasi diri
pada individu dalam mengerjakan tugas yang sama. Begitu pula sebaliknya,
pengamatan terhadap kegagalan orang lain akan menurunkan penilaian
individu mengenai kemampuannya dan individu akan mengurangi usaha
yang dilakukannya.

c. Pengaruh sosial

Individu diarahkan berdasarkan saran, nasihat, dan bimbingan sehingga


dapat meningkatkan keyakinannya tentang kemampuan-kemampuan yang
dimiliki dapat membantu tercapainya tujuan yang diinginkan. Individu yang
diyakinkan secara verbal cenderung akan berusaha lebih keras untuk
mencapai suatu keberhasilan. Namun pengaruh persuasi tidaklah terlalu
besar, dikarenakan tidak memberikan pengalaman yang dapat langsung

28
dialami atau diamati individu. Pada kondisi tertekan dan kegagalan yang
terus-menerus, akan menurunkan kapasitas pengaruh sugesti dan lenyap
disaat mengalami kegagalan yang tidak menyenangkan.

d. Fisik dan Emosi

Emosi yang kuat biasanya akan mengurangi performa, saat seseorang


mengalami ketakutan yang kuat, kecemasan akut, atau tingkat stres yang
tinggi, kemungkinan akan mempunyai ekspetasi efikasi yang rendah.

4. Fungsi Efikasi Diri

Efikasi diri memiliki fungsi yang mempengaruhi seseorang menurut (Bandura, 1997)
yaitu :

a. Efikasi diri sebagai Kognitif

Menurut penjelasan Bandura pengaruh efikasi diri dalam kognitif seseorang


bermacam - macam. Proses dari kognitif ini ialah proses seseorang untuk
berfikir yang isinya meliputi perolehan, pengorganisasian serta penggunaan
informasi. Dari banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh manusia biasanya
diawali dengan fikiran. Seseorang yang mempunyai efikasi diri yang tinggi
lebih banyak memikirkan dirinya tentang keberhasilan hidup. Sedangkan
seseorang yang efikasi dirinya tidak tinggi lebih banyak memikirkan
ketidakberhasilan dan membuat terhalangnya kesuksesan yang akan
didapat.

b. Efikasi diri sebagai Motivasi

Efikasi diri membuat peran yang kruasial dalam mengatur motivasi diri
seseorang. Banyak dari manusia yang termotivasi melalui kognitif.
Seseorang yang memeberikan motivasi bagi dirinya sendiri dan
mengarahkan perlakuan diri dengan memikirkan tindakan sebelumnya.
Kepercayaan diri pada kemampuan dalam seseorang bisa berpengaruh
terhadap motivasi dalam sesuatu hal yaitu membuat keputusan untuk

29
mencapai tujuan yang telah ditentukan, seberapa banyak upaya yang
dilakukan, seberapa lama diri seseorang menyelesaikan masalah yang sulit
dan seberapa kuat diri seseorang mengahadapi proses kegagalan yang terjadi
dalam kehidupan.

c. Efikasi diri sebagai Afeksi

Dalam efikasi diri terdapat proses afeksi, proses afeksi adalah proses
pengaturan perasaan dan respon emosional. Efikasi diri memiliki
kemampuan mengatur diri atau koping diri dalam mengatasi beban fikiran
atau stres dan juga depresi yang dialami oleh situasi yang sulit, tertekan dan
bisa berpengaruh dalam tingkat motivasi seseorang. Efikasi memegang
kendali atas peran kecemasan seseorang efeknya seseorang bisa mengontrol
tekanan stres yang terjadi. Uraian tersebut sesuai dengan penjelasan dari
Bandura yaitu efikasi mengatur perilaku diri untuk mengindar dari rasa
cemas. Kuatnya efikasi diri seseorang semakin besar tindakan seseorang
mengatasi kondisi dan situasi yang sulit. Keyakinan seseorang bisa
mengontrol kondisi dan situasi yang menekan dirinya, tidak memikirkan
kegagalan. Sedangkan seseorang yang tidak bisa mengatasi situasi yang sulit
akan menderita kecemasan yang tinggi.

d. Efikasi diri sebagai selektif

Selektif berpengaruh pada pilihan tujuan yang akan dilakukan oleh


seseorang. Seseorang menghindari kegiatan yang dirasa telah melampaui
batas kemampuanya, tetapi dirinya sudah melewati kegiatan yang
menantang dirinya dan lebih memilih kondisi yang dirinya mampu
mengatasi kondisi yang terjadi. Perilaku seseorang ini dapat menguatkan
kemampuan, keinginan dan jaringan sosial di dalam kehidupan seseorang
yang tentunya berpengaruh dalam arah perkembangan personal. Hal yang
terjadi ini disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada dalam lingkungan yang
dilanjutkan untuk meningkatkan tingkat kemampuan, nilai-nilai dan minat-

30
minat tersebut dalam waktu yang lama setelah faktor-faktor yang
mempengaruhi keputusan keyakinan telah memberikan pengaruh awal.

E. Konsep Palang Merah Remaja

1. Pengertian Palang Merah Remaja (PMR)

Menurut pengertian yang dijelaskan oleh (Susilo julianto, 2008) PMR merupakan
tempat pengembangan dan pembinaan anggota remaja PMI yang disebut PMR. PMI
terdapat di berbagai daerah seluruh Indonesia, dengan anggotanya lebih dari tiga juta
orang anggota. PMR adalah salah satu binaan oleh PMI untuk diberi tugas melakukan
kegiatan dalam kemanusiaan dalam kesehatan serta siaga bencana dan melakukan
edukasi dalam prinsip yang mendasar dalam gerakan PMR, bulan sabit merah
inernasional dan juga mengembangkan organisasi PMI. Ekstrakulikuler disekolah
salah asatunya adalah PMR.

Organisasi PMR yang ada disekolah ini bergerak dalam bidang kepalang merahan,
kemanusiaan, yang menjadikan tempat yang berguna untuk mengembangkan remaja
dengan tujuannya membangun karakter dari anggota PMR dengan pedoman tribakti
PMR serta prinsip-prinsip kepalang merahan yang tujuannya menjadikan remaja yang
peduli terhdap sesama, menjadikan relawan yang ikhlas menolong tanpa membedakan
ras, suku, agama serta status sosial. Sedangkan pengertian menurut (Gunawan,
2012:247) mengatakan bhawa PMR merupakan tempat atau organisasi yang membantu
siswa mengembangkan karakter kepalang merahan yaitu mengatur anggota PMR agar
memahami serta berperilaku sesuai prinsip gerakan kepalang merahan serta bulan sabit
merah, didalam pengembangan karakter dialkukan dengan keahlian skill atau
keterampilan skill yang interaktif yang bertujuan memaksimalkan pengetahuan serta
kemampuan skill dan juga perilaku sikap anggota PMR yang positif.

31
2. Sejarah terbentuknya PMR

PMR dibentuk oleh peristiwa perang dunia pertama tahun 1914 - 1918 pada
Tebentuknya Palang Merah Remaja dilatar belakangi oleh terjadinya perang dunia 1
(1914-1918) pada waktu itu Australia sedang mengalami peprangan. Karena Palang
Merah Australia kekurangan tenaga untuk memberikan bantuan, akhirnya
mengerahkan anak-anak sekolah supaya turut membantu sesuai dengan
kemampuannya. Mereka diberikan tugas-tugas ringan seperti mengumpulkan
pakaian-pakaian bekas dan majalah-majalah serta koran bekas. Anak-anak tersebut
tehimpun dalam suatu badan yang disebut Palang Merah Pemuda (PMP) kemudian
menjadi Palang Merah Remaja (PMR).

Pada tahun 1919, pada pertemuan federasi Palang Merah Internasional, diputuskan
bahwa gerakan Palang Merah Muda harus menjadi bagian dari Perhimpunan Palang
Merah dan Bulan Sabit Merah. Negara-negara lain kemudian menyusul. Pada tahun
1960 sebagian besar dari 145 Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
memiliki Palang Merah Remaja. Di Indonesia, pada Kongres IV PMI di Jakarta pada
bulan Januari 1950, PMI mendirikan Palang Merah Pemuda di bawah pimpinan Ibu
Siti Dasimah dan Paramita Abdurahman. Pada tanggal 1 Maret 1950 Palang Merah
Muda di Indonesia resmi berdiri (Muktie, 2011).

3. Visi Misi dan Tujuan Palang Merah Remaja

Visi dan Misi PMR yang tercantum dalam kepengurusan PMR adalah sebagai berikut :

a. Visi PMR

PMR sebagai generasi muda kader PMI mampu dan siap menjalankan
kegiatan sosial kemanusiaan sesuai dengan prinsip- prinsip Dasar Palang
Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional.

32
b. Misi PMR

1) Membangun karakter kader muda PMI sesuai dengan Prinsip Gerakan


Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional serta Tri Bakti
PMR.

2) Menanamkan jiwa sosial kemanusiaan.

3) Menanamkan rasa kesukarelaan.

c. Tujuan PMR

Tujuan keseluruhan Palang Merah Remaja (PMR) adalah agar PMI


memiliki struktur, sistem dan kapasitas PMR dan relawan yang memadai
untuk meningkatkan kualitas pembinaan kepemudaan dan memberikan
pelayanan sosial kemanusiaan yang berkualitas. Tujuan khusus adalah
sebagai berikut :

1) Memberikan arah bimbingan dan pengembangan PMR dan Relawan


secara konsisten serta berkesinambungan.

2) Menjamin eksistensi PMR dan Relawan PMI sebagai bagian integral dari
Palang Merah Indonesia.

4. Ruang Lingkup Palang Merah Remaja

Menurut (Susilo Julianto, 2008) Ruang lingkup kegiatan Palang Merah Remaja
(PMR) dikenal dengan sebutan Tri Bakti PMR, adapun ruang lingkup tersebut
mengandung arti sebagai berikut:

a. Tingkatkan keterampilan untuk hidup sehat, pelatihan yang diperlukan


terkait dengan kebersihan dan kesehatan, pertolongan pertama, kesehatan

33
remaja dan kesiapsiagaan bencana. Cara ini dapat memperkuat nilai
karakter bersih dan sehat.
b. Berbakti dan berkarya pada pengabdian Masyarakat yang dibutuhkan untuk
kemampuan anggotanya adalah kepemimpinan, gerakan Palang Merah,
sanitasi dan kesehatan, P3K, kesehatan remaja. Tindakan tersebut dapat
memperkuat nilai-nilai karakter kepemimpinan, kepedulian, kreativitas,
dan kerja sama.
c. Untuk memperkuat persahabatan nasional dan internasional kemampuan
yang diperlukan adalah kepemimpinan dan gerakan Palang Merah.
Sehingga dapat mempertegas nilai kepribadian yang ramah dan ceria.
Berdasarkan deklarasi ini, kegiatan Palang Merah Remaja membantu orang
lain dan masyarakat di bidang sosial dan kesehatan.

5. Prinsip-prinsip Palang Merah Remaja

Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah memiliki landasan dan tujuan
operasional yang sama. Dalam menjalankan misinya, gerakan tidak boleh
dipengaruhi oleh kepentingan apapun. Oleh karena itu, penting adanya prinsip-prinsip
fundamental yang dapat dijadikan pedoman dan landasan etis bagi kehidupan
organisasi yang diakui dan dihormati secara internasional. Pada tahun 1921, Komite
Palang Merah Internasional atau ICRC berusaha menyusun Prinsip-Prinsip Mendasar
yang dianggap perlu sebagai landasan bagi segala tindakan gerakan.

Naskah ini menjadi prinsip dasar pendirian Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit
Merah Internasional yang diproklamirkan pada tahun 1965 pada Konferensi
Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah di Wina, Australia yaitu:

a. Kemanusiaan

Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah lahir dari keinginan untuk
memberikan bantuan tanpa pandang bulu kepada mereka yang terluka dalam
pertempuran dan untuk mencegah serta meringankan penderitaan sesama

34
manusia dimanapun. Tujuannya adalah untuk melindungi kehidupan dan
kesehatan dan untuk memastikan rasa hormat terhadap kemanusiaan.
Gerakan ini mempromosikan saling pengertian, persahabatan, kerja sama,
dan perdamaian di antara orang-orang.

b. Kesamaan

Gerakan ini membantu orang-orang yang menderita tanpa membeda-bedakan


mereka dari kebangsaan, ras, agama, status sosial, atau pendapat politik.
Tujuannya hanya untuk meringankan penderitaan individu sesuai kebutuhan
dengan mengutamakan kondisi yang paling sulit.
c. Kenetralan
Gerakan ini tidak memihak atau berpartisipasi dalam konflik politik, ras dan
agama atau ideologis.
d. Kemandirian

Gerakan ini bersifat mandiri. Meskipun setiap asosiasi nasional mendukung


pemerintah dalam bidang kemanusiaan dan harus mematuhi undang-undang
yang berlaku di negaranya, namun gerakan tersebut bersifat independen dan
harus memastikan kegiatannya sesuai dengan prinsip dasar gerakan.

e. Sukarela

Gerakan ini dibentuk dengan sukarela membantu sesama tanpa ada maksud
mendapatkan keuntuntungan apapun

f. Kesatuan

Suatu negara hanya dapat memiliki satu asosiasi nasional dan hanya dapat
memilih salah satu simbol yang digunakan. Palang Merah atau Bulan Sabit
Merah. Kegiatannya bersifat terbuka serta melaksanakan tugas kemanusiaan
di seluruh negara yang bersangkutan.

35
g. Universal

Gerakan ini bersifat universal. Gerakan ini hadir diseluruh dunia. Setiap
asosiasi negara memiliki status yang sama dan hak kewajiban yang sama
untuk saling membantu.

6. Manajemen Palang Merah Remaja


Menurut (Susilo, 2014) menerangkan bahwa ada tahap manajemen dalam Palang
Merah Remaja yaitu :

a. Perekrutan

Rekrutmen berarti menambah jumlah anggota dan kelompok PMR. Melalui


proses promosi, pendaftaran dan wawancara, Rekrutmen mengajarkan
kepada anak muda bahwa dengan bergabung dengan PMI mereka dapat
melakukan sesuatu yang benar-benar ingin mereka lakukan. Rekrutmen
dilakukan setidaknya setahun sekali pada bulan Juli-Agustus selama Bulan
Rekrutmen Nasional dan untuk merayakan Konvensi Pemuda Internasional
dan Hari PMR (12 Agustus). Tujuan promosi adalah:

1) Sekolah (SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA atau sederajat)


dan luar sekolah

2) Remaja berusia 10-17 Adapun anggota PMR yaitu:

a) Anggota Remaja Pmi berusia 10-12 tahun atau


setingkat SD/MI/ sederajat dapat bergabun g sebagai
anggota PMR Mula.

b) Anggota Remaja PMI berusia 12-15 tahun atau


setingkat SMP/MTs/sederajat dapat bergabung
sebagai anggota PMR Madya

36
c) Anggota Remaja PMI berusia 15-17 tahun atau
setingkat SMU/SMK/MA/sederajat dapat bergabung
sebagai anggota PMR Wira.

b. Proses pelatihan

Proses pelatihan dapat dilakukan oleh cabang PMI atau unit PMR sesuai
dengan kurikulum yang telah ditetapkan. Waktu pelaksanaan disesuaikan
dengan kalender pelatihan, terintegrasi dengan kegiatan tertentu dan waktu
yang disepakati antara kantor PMI, fasilitator/pelatih dan anggota PMR. Di
awal pelatihan, seluruh anggota PMR mendapatkan informasi tentang
cakupan materi dan tujuan yang dapat dicapai. Pada fase ini, trainer dan
fasilitator mengidentifikasi anggota yang baru pertama kali bergabung
dengan PMR dan anggota yang melanjutkan keanggotaannya (misalnya
anggota PMR yang mulai bergabung dengan PMR Tengahan). Anggota yang
baru bergabung mengikuti proses pelatihan dari awal, sedangkan yang tetap
menjadi anggota dapat ikut serta sebagai pendamping untuk membantu
temannya memahami materi. Sistem penghargaan, pengakuan, pemantauan
dan evaluasi pengetahuan, keterampilan, pemahaman dan sikap dirancang
dalam bentuk persyaratan kompetensi PMR.

c. Tri bakti PMR

Pelatihan ini digunakan untuk menguatkan karakter untuk melaksanakan


tugas dari Tri Bakti PMR yaitu :

1) Meningkatkan keterampilan hidup sehata melalui


pendidikan kebersihan dan kesehatan, pertolongan
pertama, kesehatan remaja dan kesiapsiagaan bencana.

2) Melayani seta berkarya kepada masyarakat melalui


pelatihan kepemimpinan, gerakan palang merah ,
kebersihan dan kesehatan, pertolongan pertama,
kesehatan remaja.

37
3) Memperkuat persahabatan nasional dan internasonal
melalui kemimpinan dan gerakan palang merah.

d. Pengakuan dan penghargaan

Pengakuan dan penghargaan tersebut dimaksudkan untuk mendorong PMR


tetap bersama PMI, memberikan kebanggaan dan kesadaran akan kualitas diri
mereka, bahwa selagi masih remaja, mereka dapat melayani kemanusiaan,
membangun kepercayaan dan komitmen serta berkembang. Kualitas dari
Palang Merah.

e. Monitoring dan evaluasi

Monitoring dan evaluasi bertujuan untuk mengukur keberhasilan proses


pelatihan dan pengembangan PMR guna menyusun usulan perubahan atau
perbaikan. PMI perlu mengetahui apakah anggota PMR telah memenuhi hak
dan kewajibannya dengan baik, sedangkan anggota PMR juga perlu
mengetahui apakah dia telah memenuhi kewajibannya dengan baik.

Monitoring dan evaluasi merupakan proses yang berkesinambungan dan


dibangun di sepanjang siklus. Kebutuhan waktu PMI untuk memonitor
operasionalnya, meningkatkan kualitas dan merespon kebutuhan merupakan
bagian dari tahapan monitoring dan evaluasi yang jika tidak dilaksanakan
akan mencerminkan ketidakpedulian PMI terhadap kualitas anggota,
operasional dan Dr. Bakti terbukti. sedang dan telah dilaksanakan.

Monitoring dan evaluasi dilakukan secara bertahap dari pemerintah pusat ke


daerah minimal satu tahun sekali, dari PMI daerah ke cabang minimal dua
kali setahun dan dari PMI cabang ke unit PMR minimal satu bulan sekali. Ada
beberapa hal yang perlu diketahui tentang Teori Palang Merah Remaja:

38
1) Pertolongan Pertama

a) Informasi medis dasar

b) Informasi Pertolongan Pertama

c) Dasar Hukum Pertolongan Pertama

d) Persetujuan bantuan

e) Tugas penolong pertama

f) Kualitas asisten pertama

g) Alat pelindung diri

2) RSPS (Remaja Sehat Peduli Sesama)

a) Definisi kebersihan

b) Definisi kesehatan

c) Manfaat menjaga kebersihan dan kesehatan

d) Pentingnya nutrisi

e) Jenis makanan

f) Nutrisi

g) Definisi diet seimbang

h) Rumus IMT

i) Pola hidup bersih dan sehat

3) PRS (Pendidikan Remaja Sebaya)

a) Pengertian pendidikan remaja sebaya

b) Pemahaman teman sebaya

39
c) Cara kaum muda memposisikan diri sebagai
pendamping kaum muda lainnya

d) Definisi pendidikan sebaya remaja

e) Tahapan pelaksanaan PRS

f) Berbagai referensi di daerah

g) Pentignya kasih sayang dalam keluarga

h) Faktor pendukung dan penghambat kehidupan


keluarga

4) Materi gerakan

a) Tri bakti palang merah

b) Persyaratan federasi nasional

c) Lambang kepalang merahan dan bulan sabit


merah

d) Fungsi simbolik

e) Penyalahgunaan lambang

5) Kesiapsiagaan bencana

a) Definisi bencana

b) Musim bencana

c) Jenis bencana

d) Peralatan kesiapsiagaan bencana

6) Donor Darah

a) Definisi donor darah

b) Macam - macam donor darah

40
c) Persyaratan dan ketentuan donor darah

d) Perbedaan donor darah

e) Kesertaan dalam peran PMR pada donor darah

7) Kepemimpinan

a) Karakter pengurus

b) Metode komunikasi

c) Unsur-unsur komunikasi

41
F. Kerangka Teori

Bagan 1.1 Kerangka Teori

Tingkat pengetahuan palang merah Pengetahuan yang kurang terhadap


remaja (PMR) mengenai penanganan pertolongan pertama
penanganan pertolongan pertama mengakibatkan kecenderungan untuk
pada cedera saat ini masih rendah. menghindar atau memberikan kesalahan
dalam penanganan pertolongan pertama
(Retno et al., 2020).
(Sandika, 2018)

Efikasi diri untuk menolong


merupakan hal yang harus dimiliki
oleh anggota PMR disamping
pengetahuan. Efikasi diri adalah
kemampuan untuk percaya diri.
(Ambarika, 2017)

- Usia

- Jenis Kelamin

- Pendidikan

Keterangan :
: Diteliti dan dihubungkan

: Diteliti tetapi tidak dihubungkan

42
BAB III
KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Menurut (Notoatmodjo, 2018), kerangka konsep penelitian adalah metode yang


digunakan untuk menjelaskan hubungan atau keterkaitan antar variabel yang diteliti.
Berdasarkan prinsip teori yang telah dijelaskan, peneliti ingin mengetahui
''hubungan tingkat pengetahuan dengan efikasi diri tentang penanganan pertolongan
pertama pada cedera pada pengurus PMR di SMA Karawang''

Bagan 2.1 Kerangka Konsep

Variabel Bebas (Independen) Variabel Terikat (Dependen)

Tingkat Pengetahuan Penanganan Pertolongan pertama

pada cedera pada pengurus PMR


Efikasi Diri

- Usia

- Jenis Kelamin

- Pendidikan

Keterangan :
: Diteliti dan dihubungkan

: Diteliti tetapi tidak dihubungkan

43
B. Variabel Penelitian

Variabel penelitian menurut Sugiyono (2020) adalah suatu karakteristik atau


atribut dari individu atau organisasi yang dapat diukur atau di observasi yang
mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dijadikan
pelajaran dan kemudian ditarik kesimpulannya. Variabel dalam penelitian ini
terdiri dari variabel bebas (independent variabel) dan variabel terikat
(dependent variabel). Menurut Sugiyono (2019) Variabel independen adalah
variabel- variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya
atau timbulnya variabel dependen (terikat). Menurut Sugiyono (2019) Variabel
dependen sering disebut sebagai variabel output, kriteria dan konsukuen. Dalam
bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel terikat.Variabel terikat
merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya
variabel bebas. Variabel bebas (independent variabel) di dalam penelitian ini
yaitu tingkat pengetahuan dengan efikasi diri, dan juga penanganan pertolongan
pertama pada cedera pada pengurus PMR sebagai variabel terikat (dependent
variabel).

C. Hipotesis

Menurut (Notoatmodjo,2018) Hipotesis adalah tanggapan awal terhadap


rumusan masalah penelitian. Sedangkan menurut (Muh. Fitrah & Lutfiyah,
2017) hipotesis dapat didefinisikan sebagai hubungan dua variabel yang dapat
diprediksi secara logis yang dinyatakan sebagai pernyataan yang dapat di uji.
Berdasarkan kerangka konsep penelitian hipotesis penelitian adalah :
1. H0 (Hipotesis Nol /Nihil): Tidak ada hubungan tingkat pengetahuan dengan
efikasi diri tentang penanganan pertolongan pertama pada cedera pada
pengurus PMR di SMAN 6 Karawang
2. Ha (Hipotesis Alternatif) Ada hubungan tingkat pengetahuan dengan efikasi
diri tentang penanganan pertolongan pertama pada cedera pada pengurus PMR
di SMAN 6 Karawang

44
D. Definisi Operasional

Definisi operasional menjelaskan cara yang digunakan dalam penetapan batas-


batas terhadap variabel yang akan diteliti supaya variabel yang akan diteliti bisa
diukur dengan instrumen atau alat ukur variabel tersebut (Notoatmodjo, 2018).
Definisi operasional penelitian ini akan diuraikan dalam tabel berikut:

45
Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
Variabel Terikat (Dependen)
1. Penanganan Kurangnya informasi Kuesioner Mengisi kuesioner 1. Pernyataan Ordinal
pertolongan tentang pemberian dengan menjawab positif:
pertolongan pertama 12 soal dengan Benar: 1 Salah:
pertama pada
pada cedera skala ukur 0 2.Pernyataan
cidera menyebabkan guttman, memilih negatif:
kecenderungan untuk pernyataan yang Benar: 0 Salah:
menghindari atau benar atau salah. 1
memberikan
pertolongan yang
tidak tepat (Sandika,
2018)

Variabel Terikat (Independen)


2. Tingkat Rendahnya tingkat Kuisioner Mengisi kuesioner Skala ukur Ordinal
pengetahuan
Pengetahuan dengan menjawab dengan kriteria :
PMR tentang
penanganan 20 soal multiple 1. Sangat Tinggi
pertolongan pertama
choice dengan = 76-100
pada cedera. (Retno,
2020) nilai 1 setiap 2. Tinggi = 51-
jawaban benar. 75

46
3. Rendah = 26-
50
4.Sangat
Rendah = 0-25
3. Self efficacy / Self efficacy atau Kuisioner Mengisi kuisioner Pertanyaan
efikasi diri untuk dengan menjawab positif :
Efikasi diri
menolong adalah 20 pertanyaan. 1. SS: 4
sesuatu hal yang Kuisioner terdiri
2. S: 3
dimiliki oleh
dari 10 pertanyaan 3. TS: 2
anggota PMR
disamping positif dan 10 4.STS:1
pengetahuan. Efikasi Pertanyaan
pertanyaan
diri adalah negatif :
kemampuan diri negatif. 1. SS: 1
untuk percaya 2. S: 2
(Ambarika, 2017)
3. TS: 3
4.STS:4

47
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Metode kuantitatif digunakan dalam perancangan penelitian ini, yaitu jenis penelitian
yang kekhususannya merupakan dasar yang sistematis, terencana, dan terstruktur
dengan jelas untuk membuat rencana penelitian (Sugiyono, 2013). Menurut pengertian
(Sugiyono, 2013) serta dengan menggunakan rancangan penelitian cross-sectional
yaitu suatu jenis penelitian dimana variabel-variabel yang meliputi faktor risiko dan
variabel faktor efek diobservasi sekaligus pada waktu yang sama dengan tujuan untuk
mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan efikasi diri tentang penanganan
pertolongan pertama pada cidera pada pengurus PMR di SMAN 6 Karawang.
Pengamatan analitik adalah suatu penelitian untuk menjelaskan keadaan atau situasi,
karena peneliti hanya mengamati tanpa harus berhadapan dengan obyek peneliti.

B. Waktu serta tempat penelitian

1. Waktu
Penelitian ini dilakukan pada siswa PMR di SMAN 6 Karawang waktu
penyebaran kuisioner sampai dengan pengolahan data dilakukan pada bulan
pada tanggal 2023
2. Tempat
SMAN 6 Karawang

48
C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi
Populasi penelitian adalah seluruh objek atau topik penelitian yang akan diteliti
menurut (Notoatmodjo, 2018). Penelitian ini menggunakan populasi yang
diteliti yaitu siswa PMR di SMAN 6 Karawang dengan populasi 30 orang.
2. Sampel

Sampel termasuk dalam beberapa karakteristik populasi yang digunakan untuk


penelitian. Sampel adalah objek penelitian yang dianggap dapat mewakili
seluruh populasi (Notoatmojo, 2018). Teknik pengambilan sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling. (Sugiono, 2014)
mengatakan bahwa total sampling merupakan teknik pengambilan sampel yang
menggunakan semua anggota populasi sebagai sampel. Sampel digunakan bila
jumlah populasi relatif kecil. Total sampling diartikan juga dengan sensus,
dimana semua anggota populasi digunakan sebagai sampel (Prof. Dr. Sugiono,
2015). Dari penjelasan diatas maka teknik sampel yang digunakan untuk
penelitian yaitu 30 responden siswa PMR SMAN 6 Karawang.

D. Etika Penelitian

Etika penelitian merupakan etika yang bisa diterapkan pada semua kegiatan penelitian
yang melibatkan peneliti, lembaga penelitian (objek penelitian), dan masyarakat yang
terkena dampak hasil penelitian (Notomonjo, 2018). Secara umum, ada empat prinsip
penelitian
1. Memuliakan martabat manusia (honoring human dignity), para peneliti
memperhatikan hak subjek penelitian untuk memperoleh penjelasan
mengenai tujuan penelitian dan memberikan kebebasan kepada subjek
untuk memberikan atau tidak memberikan informasi (berpartisipasi).
2. Menghargai privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respecting privacy
and confidentiality) Peneliti harus menjaga kerahasiaan identitas subjek

49
penelitian dan tidak boleh mengungkapkannya. Peneliti dapat
menggunakan kode pengganti untuk mengidentifikasi responden..
3. Keadilan dan ketebukaan (respect for justice an inclusiveness) adalah
prinsip yang menjamin bahwa semua subjek penelitian diperlakukan dan
diuntungkan secara adil. Sementara itu, prinsip keterbukaan menuntut
agar peneliti menjelaskan prosedur dan hasil penelitian dengan jelas dan
terbuka kepada semua pihak yang berkepentingan.
4. Membuat keseimbangan antara keuntungan dan kerugian (balancing
harms and benefits) harus dilakukan dalam penelitian. Tujuan penelitian
harus memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat umum dan
subjek penelitian khususnya, sementara peneliti harus mengurangi
dampak yang merugikan subjek.

E. Alat Pengumpulan Data

Mengumpulkan informasi akan dijalankan dengan menggunakan bantuan instrumen


formulir tanya jawab. yang sudah baku data tingkat pengetahuan, efikasi diri dan
penanganan pertolongan pertama pada cidera. Yang disebar menggunakan lembar
kuesioner yang terdapat beberapa pertanyaan tertulis yang diberikan pada partisipan
untuk mengumpulkan informasi data yang diperlukan oleh peneliti.
a. Kuisioner Demografi
Digunakan untuk mengetahui karakteristik responden meliputi indentitas
pengurus PMR meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan (kelas).
b. Kuisioner Penanganan Pertolongan Pertama pada Cidera
Digunakan untuk mengukur seberapa jauh bagaimana cara penanganan
pertolongan pertama pada cidera. Megisi kuisioner dengan menjawab 12 soal
dengan skala ukur guttman, memilih pernyataan yang benar atau salah. Dalam
penilaian kuesioner ini, digunakan alternatif penilaian dengan nilai 1 yang
berarti benar dan 0 yang berarti salah. Sedangkan pada penyataan negatif,
jawaban salah dinilai 1 dan jawaban benar dinilai 0. Kuesioner ini telah diuji

50
reabilitas dan validitas dengan nilai Reliability Cronbach’Alpha mencapai
0,985, sehingga tidak perlu dilakukan pengujian kevaliditas ulang oleh peneliti.
c. Kuisioner Tingkat Pengetahuan
Digunakan untuk menilai tingkat pemahaman dari pengetahuan responden
terhadap penanganan cidera. Mengisi kuisioner dengan menjawab 20 soal
multiple choice dengan nilai 1 setiap jawaban benar Sangat Tinggi jika nilainya
76-100, Tinggi jika nilainya 51-75, Rendah 26-50, Sangat Rendah jika nilainya
0-25.
d. Kuisioner Efikasi diri
Digunakan sebagai penilaian Efikasi diri responden terhadap pertolongan
pertama pada korban cidera. Mengisi kuisioner dengan menjawab 20
pertanyaan yaitu dari 10 soal positif atau favoorable(F) dan 10 soal negatif atau
unfavorable (Uf) skor untuk pertanyaan F: 4 poin sangat setuju (SS), 3 poin
setuju (S), 2 poin tidak setuju (TS), 1 poin sangat tidak setuju (STS). Skor
pertanyaan Uf adalah 4 poin sangat tidak setuju (STS), 3 poin tidak setuju (TS),
2 poin setuju (S), dan 1 poin sangat setuju (SS).

F. Uji Validitas dan Reabilitas


1. Uji Validitas

Uji validitas merupakan suatu indeks yang menunjukan alat ukur itu benar- benar
mengukur apa yang kita ukur. Uji validitas dilakukan untuk mengukur valid
tidaknya kuesioner. Artinya, uji validasi dilakukan untuk melihat seberapa baik
data yang terdapat dalam pertanyaan dapat mengukur validitas kuesioner. Suatu
angket dikatakan valid jika pertanyaan dalam angket tersebut dapat mengatakan
sesuatu yang diukur oleh angket tersebut (Notoadmojo, 2018).

Perhitungan validitas tersebut diukur dengan rumus :

𝑛 (∑𝑋𝑌 )−(∑𝑋∑𝑌)
Rumus r =
√[𝑛∑𝑥 2 −(∑𝑥)2 ][𝑛 ∑𝑌 2 −(∑ 𝑌)2 ]

51
Keterangan :
r : Koefisien Validitas yang dicari
∑ XY : Jumlah perkalian variabel X dan Y
∑X : Jumlah skor dalam variable X
∑ X2 : Jumlah dari kuadrat X
∑Y : Jumlah skor dalam variable Y
∑ Y2 : Jumlah dari kuadrat Y
n : Banyak data/responden
Kriteria instrumen dikatakan valid apabila r hitung lebih besar dari r tabel
dan sebaliknya apabila r hitung lebih kecil dari pada 0,553 maka instrumen
dikatakan tidak valid (Notoatmojo, 2018).
2. Uji Reliabilitas
Uji Reliabilitas merupakan penanda sejauh mana suatu instrumen pengukur
dapat diandalkan dalam memberikan hasil tes. Hal ini menunjukkan bahwa
hasil pengukuran tetap konsisten atau stabil ketika dilakukan pengukuran
beberapa kali pada fenomena yang sama, menggunakan instrumen pengukur
yang sama (Notoatmodjo, 2018). Pengukuran reabilitas dapat dilakukan
dengan metode one shot, yaitu melakukan pengukuran sekali dan
membandingkan hasilnya dengan pertanyaan lain atau mengukur korelasi
antara jawaban pada pertanyaan. SPSS menyediakan fitur untuk mengukur
keandalan dengan uji statistik Cronbach Alpha (α) (Ghozali, 2012).

Rumus Alpha Cronbach

𝑘 ∑σt2
𝑟𝑖 = ( (1 − )
𝑘 − 1) ∑t2

Keterangan :
ri = Reliabilitas instrumen
k = Banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
∑σt2 = Jumlah varians butir

52
∑t2 = Varians total
Menurut (Donsu, 2016) bisa dikatakan reliabel jika nilai alpha ˃ 0,60

G. Pengolahan data

Pada studi penelitian ini, peneliti mengolah data dengan menggunakan kuesioner.
Adapun rencana langkah dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut :

1. Persiapan administratif
a. Pengumpulan data dilakukan setelah sidang proposal dan setelah
mendapat persetujuan dari kedua pembimbing.
b. Melakukan pendekatan dan penjelasan kepada calon responden yang
bersedia dipersilahkan untuk mengisi kuesioner.
2. Pelaksanaan kegiatan
a. Peneliti memberikan penjelasan mengenai cara pengisian kuesioner
yang akan diberikan kepada responden.
b. Memberikan waktu yang cukup kepada responden untuk mengisi
kuesioner dan memebrikan kesempatan kepada mereka untuk
mengajukan pertanyaan jika ada yang kurang jelas
c. Setelah responden menjawab seluruh pertanyaan dalam kuesioner,
peneliti akan mengumpulkan data dan melakukan pemeriksaan ulang
untuk memastikan kelengkapan data yang terkumpul.
d. Tanda terima kasih atas partisipasi responden mengenai cara pengisian
kuesioner.
Mengolah data dengan menggunakan software atau computer.

H. Pengolahan Data

Informasi yang terkumpul selanjutnya akan diolah dengan 4 proses


(Notoatmodjo, 2018)::
1. Editing (Penyuntingan)

53
Setelah melakukan pengematan dari lapangan, dilakukan penyuntingan
untuk melakukan pengecekan dan perbaikan pada isisan formulir.
2. Coding (Pengkodean)
Pengkodasian atau pengkodean adalah proses mengubah data berbentuk
kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan.
3. Data input (Memasukan data)
Informasi atau data yang berupa kode (angka atau huruf) dimasukan kedalam
program software komputer.
4. Data Cleansing (Pembersihan data)
Data dari setiap sumber atau responden yang telah di masukan di periksa
untuk menemukan kemungkinan kesalahan kode, ketidaklengkapan dan
sebagainya.

I. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menggambarkan ciri-ciri dari setiap variabel
penelitian. Pada umumnya, dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi
frekuensi dan presentasi dari setiap variabel. (Notoatmodjo, 2018). Uji
normalitas KS (Kolmogorov smirnov) untuk menentukan cut of point
menggunakan nilai mean/median.

54
Tabel 4.1
Analisis Univariat
Variabel Analisis Data
Jenis Kelamin Frekuensi dan presentasi.
Usia Frekuensi dan presentasi.
Lama menjadi pengurus PMR Frekuensi dan presentasi.
Penanganan pertolongan pertama Frekuensi dan presentasi.
Tingkat pengetahuan Frekuensi dan presentasi.
Efikasi Diri Frekuensi dan presentasi.

2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan dilakukan terhadap dua variabel yang diduga
berhubungan atau kolerasi (Notoatmodjo, 2018). Uji bivariat pada penelitian
ini menggunakan chi square test. Uji chi square test ini digunakan untuk
menganalisa keterkaitan kategorik dengan kategorik. Dalam penelitian ini
dilakukan uji bivariat untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan
efikasi diri tentang penanganan pertolongan pertama pada cidera pada pengurus
PMR di SMAN 6 Karawang. Tetap menggunakan batas signifikansi 0,05,
keputusan statistik diambil dengan membandingkan nilai p-value dengan nilai
α 0,05 dengan ketentuan :

a. Bila p value < nilai α, maka ada hubungan antara variabel


independent dengan variabel dependen
b. Bila p value > nilai α, maka tidak ada hubungan antara variabel
independent dengan variabel dependen.
1. Rumus Untuk melihat kemaknaan perhitungan statistic antara 2
variabel digunakan batas kemaknaan 0,05% (95%) (p < 0,05).

55
Rumus chi square test:
X2 = ∑ (0- E)2
E

Keterangan :
X2 : chi square
O : frekuensi observasi
E : frekuensi harapan

Tabel 4.2
Analisis Bivariat
Variabel Independen Variabel Dependen Cara Uji
Tingkat Pengetahuan Penanganan pertolongan Uji Chi-Square

pertama pada cidera


Efikasi diri

2. Persyaratan pengujian chi squre

Untuk melaksanakan pengujian ini, ada beberapa ketentuan yang


harus terpenuhi :

a. Tidak ada hitungan aktual atau F0 dengan nilai 0 dakam sel.


Selain itu jika tabel kontingensi hanya 2x2.
b. Tidak boleh ada frekuensi harapan atau expected count (fh)
kurang dari 5 dalam satu sel pun.
c. Jika tabel memiliki bentuk lebih dari 2×2, baik itu 2×3 atau lebih,
tidak boleh ada sel dengan expected count (fh) kurang dari 5
lebih dari 20%.

56
3. Cara menghitung rumus chi square :
a. Memasukkan formulasi hipotesisnya (H0 dan Ha)
b. Menghitung frekuensi observasi (O) dalam tabel silang
c. Menghitung ekspektasi luaran harapan masing – masing sel d)
Menghitung X2 dengan aturan yang berlaku.
d. Menghitung p value dengan menbandingkan nilai X 2 dengan
tabel kai kuadrat.
4. Odds Ratio (OR)
Odds ratio ini digunakan untuk menetapkan besarnya risiko
terjadinya efek pada kasus.

Rumus Odds Ratio :


𝐴𝐷
OR = 𝐵𝐶

Keterangan:

OR : Estimasi odds ratio

AD : Jumlah kasus (lama) yang-terpajan

BC : Jumlah kontrol (subjek sehat) yang tak-terpajan

(Harlan J, 2018).

Ketentuan odds ratio:


OR = 1 artinya tidak ada
OR > 1 artinya ada risiko
OR < 1 artinya ada proteksi (risiko terbalik)

57

Anda mungkin juga menyukai