Anda di halaman 1dari 3

#Bagian 18.

Orang pertama yang tiba dirumah Panji adalah Yovan, ia memasukan motornya kedalam bagasi
milik Panji. Saat masuk ke dalam rumah Panji ia disambut dengan ruangan yang sepi dan dingin,
seperti tak ada orang dirumah, Yovan menutup kembali pintu dan menghampiri sofa untuk
menyimpan tas dan helm yang sedari tadi ia jinjing. Tuan rumah masih tak terlihat
keberadaannya, “Panji! Ji, dimana lu?” Panggilannya itu tak ada jawaban, tiba-tiba dari arah
belakang tepatnya di dapur jeritan ayam terdengar nyaring, saat Yovan mulai mendekati
sumber suara Panji datang dangan membawa pisau yang sudah berlumur darah, wajah dan
bajunya pun terdapat bercakan darah. Yovan terkejut dengan munculnya Panji yang tiba-tiba
terlebih lagi ditangannya kini ada pisau dengan warna merah yang sangat pekat.

Yovan mundur beberapa langkah untuk menjauhi Panji, Panji menatap bingung kearah Yovan
dan melangkah mendekat, “Lu kenapa deh?” Yovan memiringkan kepalanya, “Yang harusnya
nanya kenapa itu gue, lu ngapain bawa pisau berdarah gitu? Ngeri anjing!” Panji melirik pisau
ditangannya itu kemudian tertawa, “Oh ini, gue abis potong ayam, tapi gatau cara motong yang
bener, jadinya nyiprat ke mana-mana, kenapa? Lu takut kah?” Panji mendekat ke arah Yovan,
“Harusnya lu udah terbiasa sama pisau berdarah gini kan?” Panji meninggalkan Yovan yang
diam mematung, Panji pergi membersihkan dirinya dan memanaskan air, “Kalau airnya
mendidih bawa kebelakang buat cabutin bulu ayamnya, gue mau bersihin yang dibelakang”
Panji memepuk punggung Yovan dan meninggalkannya.

Beberapa saat setelah itu Arung dan Victor datang bersamaan, keduanya langsung masuk dan
medapati Yovan sedang duduk di ruang tengah sedang menonton televisi dengan kripik
singkong dipelukannya, “Van, Panji mana?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Victor, Arung
langsung ikut bergabung dengan Yovan dab membawa kue coklat yang ada didepannya itu. “Di
dapur lagi masak ayam” Jawab Yovan tanpa melirik ke arah lawan bicaranya, Victor pergi ke
dapur untuk melihat Panji.

“Tumben” Arung melirik ke arah Yovan karena ia yakin Yovan sedang berbicara padanya, karena
disana tak ada lagi orang selain mereka berdua, “Tumben apaan? Apanya yang tumben?” Yovan
melirik kearah Arung, “Lu sama Victor tumben banget akur, bukannya biasanya berantem mulu
ya?” Arung tertawa dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Yovan. “Ya gimana ya, kita satu
kelas juga jadi ngga enak banget kalau berantem terus. Belum lagi gue kan ketua kelas, harus
punya hubungan baik sama semua anak kelas. Lu kenapa tiba-tiba nanya begitu?” Yang ditanya
hanya menggeleng, “Penasaran aja sih, menurut lu mayat hidupnya siapa?” Arung melirik
dengan tatapan tajam ke arah Yovan dengan sebelah alisnya ia angkat, “Ini daritadi lu nanya hal
yang ngga jelas mulu dah”
“Itu pertanyaan jelas loh, Rung. Kalau menurut gue sih si Panji ya soalnya tadi waktu gue sampe
duluan, gue liat dia bawa pisau serem banget deh seriusan, kaya mau bunuh orang” Jelas Yovan
yang hanya dibalas gelengan dari Arung, “Gua malah curiga sama lu, Van” Arung dan Yovan
kompak melirik kearah sumber suara, itu Dewa yang baru saja sampai. Ia menghampiri Arung
juga Yovan, “Gua lebih curiga sama lu, Van. Soalnya dari awal kita masuk kelas pun lu udah
nuduh banyak orang, biasanya orang yang salah itu lebih banyak berbicara dan nyalahin orang
buat nutupin kesalahannya sendiri” Yovan memasang wajah kesal, Arung hanya
memperhatikan pertengkaran mereka tanpa ada niat untuk melerai.

“Tapi kalau menurut gua biasanya orang yang salah itu bukan orang yang banyak bicara tapi
sebaliknya, orang yang salah biasanya paling sedikit bicara karena engga mau terlihat
mencolok” Ucapan itu bukan berasal dari ketiga lelaki yang ad di ruang tengah, melainkan dari
mulut Victor yang baru saja keluar dari arah dapur bersama sang tuan rumah, Panji. “Loh lu lagi
ngomongin diri sendiri kah?” Dewa menyeringai ke arah Victor.

“Udah anying, malah berantem. Masa mau nginep malah berantem gini sih, engga enak banget
nanti suasana nya. Udah-udah baikan” Panji berucap dengan membawa ayam goreng tepung
yang sudah ia buat tadi. Semuanya sudah berkumpul di ruang tengah dengan memakan ayam
buatan Panji itu, suasana nya memang tak seakur teman baik pada umumnya namun tak
sekacau tadi juga. Mereka mulai menonton sepak bola, bermain playstation dan masih banyak
hal lainnya yang mereka lakukan bersama.

Malam hari pun menyapa mereka semua, mereka memutuskan untuk tidur di dalam satu
kamar yaitu kamar milik Panji yang memang terbilang cukup luas. “Ini kita ngga tidur di ruang
tengah aja gitu, sambil nobar? Disini bosen banget, nying” Keluh Yovan tak di dengar oleh yang
lain, Victor dan Dewa sudah menutup mata mereka, Arung dan Panji sibuk dengan ponsel
masing-masing. Yovan menghembuskan napasnya kasar karena ucapannya itu diabaikan. Yovan
beranjak dari posisinya, “Mau kemana lu?” Tanya Arung, Yovan hendak membuka pintu dan
melirik untuk menjawab “Nyebat”

“Yok bareng, ditaman belakang tapi” Ujar Panji yang di angguki oleh Yovan. “Ikut ga, Rung?”
Yang ditanya hanya menggeleng sebagai jawabannya, Arung kembali fokus pada ponsel yang
ada ditangan nya. Yovan dan Panji meninggalkan Arung yang masih terjaga sendiri di dalam
kamar itu. Keduanya sudah sampai di taman belakang rumah Panji, tujuan mereka adalah
tempat duduk yang berada di samping pohon besar. Udara malam memang cocok dengan
nikotin yang sekarang berada di jari Yovan untuk menghangatkan badan, meraka mulai
menghirup rokokny, “Sejak kapan nyebat, Ji?” Tanya Yovan dengan pandangan yang melihat
langit hitam, “Sejak Imat mati, gue stress banget waktu itu ternyata kutykan kelas kita itu
beneran ada gue selalu takut buat berangkat sekolah setelah kerjadian itu, gue takut kalau gue
yang selanjutnya” Ucap Panji dengan mengisap rokoknya, “Jadi sekarang lu lagi takut?” Panji
mengangguk.

“Gue tadi denger obrolan lu sama Arung di ruang tengah, lu curiga sama gue, Van?” Ucapannya
itu mendapat lirikan dari Yovan, Yovan diam tak menjawab. Hembusan napas berat keluar dari
mulut Yovan, “Awalnya iya, tapi setelah denger kalau lu sendiri mendrita gini kayanya emang
bukan lu deh” Panji melirik dan menyeringai, “Kalau ternyata bener gimana?” Yovan tersenyum
tipis dan menepuk pundak Panji, “Bunuh ayam aja lu gabisa apalagi bunuh manusia, gue masuk
ambil kopi dulu deh” Yovan meninggalkan Panji ditaman seorang diri.

Panji menghisap rokoknya sambil sesekali melihat awan, ia mendengar sesuatu dari arah pintu,
“Van? Cepet amat ambil kopinya” Tak ada jawaban, saat dilirik pun tak ada siapa-siapa disana.
“Yovan woi anjing, ngga lucu woi” Tetap tak ada balasan disana. Panji membuang rokok yang
ada ditanganya dan mencoba mendekati sumber suara, saat dirinya menyalakan senter dan
mengarahkannya ke samping, ia melihat seorang dengan pakaian serba hitam dan topeng di
mukanya, seseorang itu tertawa sambil mendekatkan dir pad Panji.

“Sekarang giliran lu, Panji Madhava” Suaranya disamarkan tapi ini seperti suara laki-laki. Panji
mundur perlahan saat orang itu maju selangkah, orang bertopeng itu berlari kearah Panji dan
mulai mencekik Panji dengan sangat keras, “Mati, mati, mati, lu harus mati Panji! Ini waktu
paling tepat buat membunuh seseorang, karena saat ini sang korban sedang ketakutan tentang
ajalnya” Seorang yang dibalik topeng itu pun tertawa dan memperkuat crkikannya hingga Panji
kehilangan kesadarannya.

Anda mungkin juga menyukai