Anda di halaman 1dari 5

“Kamu makan sedikit sekali.

Rain meletakkan setengah ketoprak yang ada di piringnya ke piring Jo. Entah angin dari mana Jo
dengan acak memilih ketoprak untuk sarapan. Rain yang sudah kenyang malah ikut dipesankan
makanan oleh Jo dan alhasil Rain menyerahkan setengah isi piringnya ke piring Jo.

“Aku udah kenyang.” kata Rain dengan ketus.

Jo tidak lagi mengajak Rain bicara saat wajah Rain sudah di tekuk. Jo menikmati ketopraknya dengan
santai. Ia juga menambah satu piring lagi dan membuat Rain melongo.

“Kamu gak makan apa-apa disana ?”

“Makan. Nafsu makanku juga seperti ini disana.”

“Ketoprak ini gak sehat loh. Banyak kacangnya, ada micinnya.”

“Sesekali lah. Tempat abang ini di jamin sehat kok.”

Rain menyudahi makannya setelah meneguk air putih hangat. Ia menunggu Jo makan sambil
memainkan ponselnya. Sesekali ia memberikan tisu untuk Jo yang kali ini berkeringat lebih banyak.

“Jangan banyak-banyak makan sambalnya.” Peringat Rain saat melihat Jo menuangkan sesendok
sambal ke piring.

“Lagi butuh yang segar-segar Rain.”

“Itu pedas Jo, bukan segar.”

Jo tidak menanggapi Rain. Ia melanjutkan makan dan selesai setelah 20 menit berjuang
menghabiskan ketoprak pedas. Rain menyodorkan segelas air putih ke Jo yang di terima dan
langsung diteguk habis.

“Kamu kenapa sih ? Ada masalah ? Tumben banget makan pedas gini. Biasanya ngomel kalau aku
yang makan pedas.”

Jo berdiri dari kursinya menuju ke samping gerobak untuk membayar tanpa menjawab pertanyan
Rain. Rain mengikuti Jo dan terlebih dahulu ke parkiran. Rain melihat Jo menyusulnya dengan
membawa sebungkus ketoprak. Rain tidak habis pikir, hari ini sepertinya menu makan pagi sampai
siang Jo adalah ketoprak.

Jo membuka pintu mobil dan masuk disusul Rain. Mereka kembali berkendara ke kediaman Johan.
Rain yang memang menjanjikan diri untuk menginap hingga hari Selasa pada Jennya terpaksa pulang
bersama Jo.

“Aku mau mandi dulu terus tidur.”

Rain mengangguk. Ia juga butuh istirahat. Sabtu pagi yang biasa ia gunakan untuk bersantai ria,
malah ia habiskan untuk menjemput dan menemani Jo. Jadi, Rain merebahkan tubuhnya ke kasur
lalu memejamkan mata.
***

“Rain.”

Rain semakin membenamkan kepalanya ke bantal saat mendengar panggilan Jo. Sekilas tadi dia lirik
jam di dinding masih pukul sebelas siang. Dan Jo sudah berisik menggedor pintu Rain. Padahal Jo
bisa saja langsung masuk karena pintunya tidak di kunci.

“Rain.”

“Aduh. Masuk aja Jo.”

Rain mendengar pintu dibuka dengan kasar lalu selimutnya tersibak dan aroma parfum Jo langsung
masuk ke hidungnya. Rain membuka mata dan melihat Jo yang sudah rapi. Rambutnya yang masih
basah.

“Bangun. Ayok makan.”

Rain menarik selimut tanpa memperdulikan Jo. Terjadilah adegan tarik menarik selimut. Dan yang
memenangkan pertarungan ini adalah Jo. Jo melempar selimut ke bawah tempat tidur lalu menarik
tangan Rain agar duduk. Jo pun ikut duduk di hadapan Rain.

Rain terpaksa membuka lebar matanya dan mencubit pipi Jo dengan keras. Jo tidak merasa sakit, ia
malah tertawa melihat wajah cemberut Rain.

“Cepat tua kamu kalau cemberut terus.”

“Kamu jadi penyebabnya.”

“Bangun lah. Cuci muka dulu. Kita ke luar cari makan.”

Rain menggerakkan kakinya sembarang tanda tidak mau. “Aku kenyang Jo. Serius. Aku gak mau
makan. Aku cuma mau tidur aja.”

“Tidur aja nanti habis makan.”

Rain menarik tangan Jo agar kembali duduk di hadapannya. “Kamu kenapa ?”

“Gak apa-apa. Cuma lapar aja.”

“Kamu pasti ada masalah. Kamu tidak biasanya seperti ini.”

“Serius. Aku lapar.”

Rain malah mundur untuk bersandar ke headboard lalu menepuk tempat kosong di sebelahnya. Jo
yang melihat itu mengikuti mau Rain. Ia naik ke kasur dan duduk di samping Rain. Setelah Jo duduk,
Rain mengambil remot televisi dan menyalakannya. Ia pun merebahkan kepalanya di bahu Jo.
Mencari posisi nyaman untuk menonton.

“Aku juga rindu.” Kata Rain pelan.


“Apa ?”

“Tidak ada siaran ulang.”

Jo terkekeh lalu merangkul bahu Rain erat. Tak lupa Jo mengecup dahi Rain lalu fokus pada televisi.

“Banyak makanan di kulkas ku.”

“Di apartemen ?”

“Iya.”

“Kok bisa ? Kamu masak terus ?”

Rain menggeleng. “Beli cemilan kamu sama Bima. Kalian pergi, jadi gak ada yang makan.”

“Yuk ke aparteme kamu.” kata Jo bersemangat.

Rain mencubit perut Jo karena bertingkah implusif. “Capek.”

“Kamu beneran gak lapar ?”

“Kamu beneran lapar ?” tanya Rain balik.

Rain menegakkan tubuhnya lalu menatap Jo dalam. Ada aneh dengan nafsu makan Jo.

“Kamu sakit selama disana ?”

“Iya.”

“Astaga.”

Jo memeluk Rain dengan erat. Menopangkan dagunya di dagu Rain. Tangan besarnya melingkar di
pinggang Rain yang ramping.

“Aku beneran rindu Rain. Lebih rindu dari pada saat kamu di Belanda.”

“Aneh.” Kata Rain lalu tertawa.

Ia membalas pelukan Jo sama eratnya. Mereka berdua tidak sadar jika ada yang memperhatikan dari
celah pintu yang tidak tertutup rapat. Dua pasang mata yang melihat adegan pelukan itu tersenyum
senang. Mereka kompak pergi sebelum Rain dan Jo menyadari kehadiran mereka.

“Aku masakin aja mau ?” tawar Rain.

“Mau.”

Rain turun dari ranjang lalu membenarkan ulang ikatan rambutnya sebelum keluar dari kamar.

“Loh, Mami sama Papi udah pulang ?”

“Udah. Dari tadi.”

“Katanya mau makan siang. Ini belum jam makan siang loh.”
Jenny yang sedang mengeluarkan sop dari wadah plastic ke mangkuk saji mengangguk.

“Memang. Kami cuma brunch aja tadi. Ngopi-ngopi cantik.”

Rain menggelengkan kepalanya heran. Sahabat ibunya ini memang agak nyentrik. Dokter cantik yang
suka membuat gayanya sendiri. Bermulut tajam tapi di sukai pasien-pasiennya.

“Loh, Papi mau kemana ?”

“Nonton futsal.”

“Siang gini ?”

“Sampe di lapangan juga udah sore.”

Rain menyalami dan mengantar Johan keluar rumah lalu menutup pintu pagar. Setelah itu kembali
ke dalam rumah dan langsung ke meja makan. Ternyata sudah ada Jo yang sedang menyendokkan
nasi, begitu juga dengan Jenny.

Rain segera duduk di samping Jo dan menerima suapan dari Jo. Ia memang sedang tidak berselera
makan. Makanya saat Jo menyuapinya untuk yan g ke empat, Rain menolak dan langsung meminum
air.

“Kenyang.”

“Coba Mami periksa deh. Kayaknya ada yang salah dengan Rain. Dari pagi gak selera makan terus.”

Jenny langsung mengerutkan dahinya tanda khawatir.

“Sehat Mam. Serius. Cuma lagi datang bulan aja, jadi perutnya kurang nyaman.”

“Tetap makan ya Rain.”

“Siap Mam.”

Rain memperhatikan sepasang ibu dan anak yang sedang menikmati sop kambing dan lalapan yang
ada di meja makan. Mereka berdua adalah orang terpenting di hidup Rain. Jenny yang menggantikan
sosok Arina. Yang memberitahunya segala macam tentang wanita karena Arina sudah meninggalkan
Rain sejak Rain masih belia. Jo yang bertingkah seperti kakak untuk Rain. Yang menggantikan Jonnah
saat Jonnah tidak bisa menjemput atau mengantar Rain. Bahkan Jo bisa membentak Rain jika Rain
sudah terlalu sudah di atur. Dan Johan juga memperlakukan Rain sama seperti anak mereka sendiri.

Hidupnya tergolong beruntung walau tanpa ibu. Rain masih bisa menerima banyak kasih sayang dari
semua kerabat yang memang menyayangi ibunya dan dirinya. Terpikir di benaknya untuk
memaafkan Armar dan kembali ke pelukan Armar. Menjadi putri manja Armar. Tapi kembali lagi,
Rain tidak bisa melupakan wajah kesakitan Arina. Dan tidak ada Armar di sisi mereka. Hanya ada
Amanda yang seorang dokter tapi berdiri kaku tanpa melakukan pertolongan apapun.

“Kamu mikirin apa ?” tanya Jo yang baru menyelesaikan makannya.

“Gak ada.”
“Bohong.”

“Kalau Rain bilang tidak ada ya tidak ada dong Jo. Masa kamu paksa-paksa Rain.” tegur Jenny
membela Rain.

Rain menjulurkan lidahnya untuk meledek Jo. Ia puas jika sudah dibela oleh Jenny atau Johan.

Jo dengan gemas mengacak rambut Rain lalu pergi ke dapur membawa piring kotor miliknya dan
Jenny. Rain tertawa senang melihat Jo. Ia bisa melihat punggung tegap itu bergerak statis karena
mencuci piring. Satu yang membuat Rain salut terhadap didikan Jenny dan Johan. Sepasang anak
mereka, mampu melakukan hal yang sama. Mulai dari mencuci baju, membersihkan rumah hingga
memasak. Baik laki-laki maupun perempuan sama rata, tidak dibeda-bedakan.

“Minggu kamu ada acara sayang ?”

Anda mungkin juga menyukai