Anda di halaman 1dari 14

“Eomma,” panggil Lauren lembut pada Taeyeon, yang tengah sibuk menyiapkan alat-alat tulis dan

buku bergambar milik Lauren dan menyusunnya dengan rapi di dalam tas merah muda milik si kecil.
Lauren baru saja menyelesaikan sarapannya dan duduk di atas sofa di samping ibunya.

“Sudah selesai? Eomma akan ambil mantel sebentar dan kita bisa berangkat,” ujar Taeyeon.

“Aku ingin bertanya sesuatu, eomma,” ungkap Lauren.

“Eoh? Mwondae?” tanya Taeyeon. Ia menghadapkan tubuh serta wajahnya pada Lauren dengan
ekspresi penasaran.

“Hanya pertanyaan yang hampir tiap hari kuajukan pada eomma,” jawab Lauren dengan cengiran
lebar di wajah cantiknya. “Appa… Kapan kembali? Kapan appa kembali dari pekerjaannya, eomma?
Apa Appa masih sangat sibuk? Apa dia masih belum berkeinginan untuk pulang dan bertemu dengan
kita? Bermain bersamaku?”

Senyum ceria dan ekspresi penasaran yang tadi ditunjukkan oleh Taeyeon pada anak semata
wayangnya sirna dalam sekejap begitu mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir mungil putrinya.
Kedua mata bening Taeyeon perlahan meredup, air mukanya berubah sendu dan ia menatap wajah
Lauren dengan perasaan yang sangat bersalah, bimbang dan gelisah.

Lauren benar. Ini adalah pertanyaan yang sering kali ia lontarkan pada Taeyeon. Pertanyaan yang
hampir tiap hari ia tanyakan di saat ia merindukan ayahnya. Di saat fikiran polosnya bertanya-tanya
seperti apa sosok ayahnya, seperti apa rupanya. Di saat ia membutuhkan figur itu untuk memeluknya
dan bermain bersama dengannya.

Tetap, jawaban dari Taeyeon tetaplah sama. Gadis itu duduk lebih dekat pada Lauren dan ia
memangku gadis kecilnya seraya menyisiri rambut panjang itu dengan sangat lembut.

“Appa masih belum bisa kembali dalam waktu dekat ini, Laurennie,” jawab Taeyeon. “Pekerjaannya
sangat berat, jauh, dan dia juga sangat dibutuhkan di sana. Dia tidak mudah untuk melakukan
perjalanan pulang seperti orang kebanyakan. Karena itulah kita juga tidak mudah bertemu
dengannya. Tapi percayalah, seperti yang selalu eomma katakan padamu, dia akan kembali, boo. Dia
akan pulang dan bertemu denganmu. Dia akan kembali, memelukmu, menciummu, dan
memanjakanmu. Appa akan pulang, meskipun itu membutuhkan waktu yang agak lama. Dan eomma
berharap kau mau menunggunya,”
“Aku akan menunggunya,” jawab Lauren pelan. Ia menengadahkan wajahnya menatap Taeyeon.
“Aku pasti akan menunggunya. Dan jika hari itu tiba, maukah eomma menunjukkan padaku yang
mana orangnya? Kau tahu aku belum pernah melihat wajahnya sama sekali,”

“Tidak perlu repot-repot karena dia tahu bagaimana wajah putri kecilnya yang sangat cantik,” jawab
Taeyeon. Ia memeluk Lauren dengan sangat erat lalu memcium ubun-ubun kepala gadis itu.

“Eomma, bagaimana wajahnya?” tanya Lauren lagi.

“Dia sangat tampan,” jawab Taeyeon pelan. “Nah, bagaimana kalau sekarang kau memakai
sepatumu lalu tunggu eomma di depan? Eomma akan ke kamar sebentar,”

“Ne!” seru Lauren dengan rasa semangat dan keceriaannya yang selalu muncul setiap kali Taeyeon
memberitahukan kalau ayahnya adalah sosok yang sangat tampan. Gadis kecil itu langsung
mengambil tasnya, memakainya, lalu berlari kecil untuk mengambil sepatunya yang ia letak di dalam
rak sepatu di depan pintu apartemen.
Taeyeon tersenyum kecil melihat tingkah lucu malaikat kecilnya. Ia menghela nafas panjang dan
membuangnya dengan berat hati. Walau bagaimanapun juga ia tetap merasa sangat bersalah pada
Lauren. Gadis kecil itu tersenyum ceria tanpa tahu apa-apa. Selalu mendengarkan dan mengiyakan
apa yang Taeyeon katakan tentang ayahnya tanpa tahu yang sebenarnya.

Bagaimana mungkin Taeyeon sanggup mengatakan pada Lauren untuk tidak perlu berharap terlalu
besar pada ayah kandungnya? Untuk tidak lagi mengingat ataupun menanyakan keberadaannya?
Bagaimana mungkin Taeyeon bisa dengan teganya mengatakan pada Lauren bahwa ia ingin hidup
berdua saja dengan Lauren, tanpa perlu didampingi oleh ayahnya ataupun dengan laki-laki lain, saat
Lauren sangat merindukan pelukan dan kasih sayang seorang ayah yang tidak pernah dia dapatkan
sejak ia dilahirkan ke dunia ini.

Taeyeon tidak bisa berbohong kepada Lauren dengan mengatakan kalau ayahnya sudah tidak ada
karena kecelakaan dan sebagainya. Karena ayahnya memang masih hidup sampai sekarang.
Bagaimana kalau suatu saat nanti dia benar-benar akan kembali dan menyatakan dirinya adalah
ayah Lauren? Lauren akan membencinya dan dia tidak sanggup untuk kehilangan malaikat kecilnya.

Taeyeon memang sulit percaya kalau laki-laki itu akan kembali. Dia pernah berjanji untuk kembali tapi
Taeyeon memutuskan untuk tidak memercayainya. Sosok laki-laki seperti itu, yang hidupnya hanya
diwarnai oleh uang, kekuasaan, dan wanita, sulit untuk Taeyeon percayai. Namun, di dalam hati
kecilnya, ia masih sangat berharap agar laki-laki itu memenuhi janjinya dan bertemu dengan Lauren.

Karena yang Taeyeon utamakan hanya satu, yaitu kebahagiaan putri kecilnya.

~~~

From : Kwon Jiyong


Aku sudah menjemput Lauren dan kami berada di café di samping gedung kondo Youngbae. Kami sedang
menikmati ice cream, eomma. See you, then.

Taeyeon menghela nafas kasar dan ia membanting ponselnya di atas meja makan dengan geram. Ini
sudah entah keberapa kalinya Lauren diajak pergi makan dan jalan-jalan dengan Jiyong di saat
dirinya sedang bekerja di kondo Youngbae. Hal itu membuat Taeyeon sedikit risih dan kesal
sekaligus pada laki-laki itu. Jiyong seakan-akan berbuat seenaknya pada Lauren, mengajak gadis
kecilnya jalan-jalan kemanapun dia suka dan makan makanan apapun yang ingin Lauren makan.

“Waeyo?” tanya Youngbae. Ia baru saja keluar dari kamarnya dan mendapati Taeyeon sedang
menggerutu kesal di dalam dapur.

“Ah, itu…,” gumam Taeyeon. “

“Lauren pergi bersama Jiyong lagi?” tanya Youngbae langsung.

“Ne, oppa,” jawab Taeyeon dengan nada suara pasrah.

“Kau cemburu?” tanya Youngbae. Dia hanya bercanda, tapi raut wajahnya sangat serius sekali,
membuat Taeyeon gelagapan. “Pada anakmu sendiri?”

“Aniya!” seru Taeyeon cepat. “Tentu saja tidak. Kenapa aku harus cemburu? Aku hanya kesal dia
mulai rutin menjemput dan mengajak Lauren pergi jalan-jalan. Orang-orang di sekolah mengira dia
adalah ayah Lauren, dan guru-gurunya beranggapan dia pacarku. Tiap kami bertiga jalan bersama
juga banyak yang mengira aneh-aneh. Oppa, kau tahu aku tidak suka dianggap seperti itu oleh
orang-orang,”

“Tapi Lauren bahagia dengan apa yang dilakukan Jiyong, ‘kan? Princess-ku jadi banyak tersenyum
karena Yong ahjussi,” ujar Youngbae.
“Arra. Aku juga bisa melihat kebahagiaan yang terpancar di kedua mata Lauren setiap kali ada
Jiyong. Dan tingkahnya yang manja dan penuh semangat, yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
Lauren berubah seperti anak-anak pada umumnya. Ceria, hiperaktif, banyak omong, dan masih
banyak lagi setiap dia berada dalam gendongan Jiyong,” sambung Taeyeon.

“Lalu? Kau tahu alasan dia seperti itu karena apa, ‘kan? She need her daddy, Taeyeon-ah. Selama lima
tahun. Lima tahun dia melihat dunia ini tapi dia belum pernah sekalipun melihat ayahnya. Lima tahun
dia disayangi oleh ibunya tapi dia tidak mendapatkan kehangatan ayahnya. Dia pernah trauma, dia
pernah mengalami rasa sakit yang tidak pernah dialami oleh anak seumurannya. Dia bersikap
dewasa dan tidak sesuai dengan usianya karena kau mengajarkan dia bagaimana kejamnya dunia
ini. Dia beranjak dewasa lebih cepat karena tidak ada figur ayah dalam hidupnya selama ini. Karena
sosok seorang ayahlah yang seharusnya ada di sampingnya, melindunginya dan menjaganya dengan
penuh cinta,”
Taeyeon menatap Youngbae dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca. “Oppa…,”

“Kau tidak akan memberitahuku siapa dan di mana ayah Lauren, ‘kan?” sela Youngbae. “Apa belum
cukup kebohongan yang selama ini kau ucapkan pada Lauren? Apa kau fikir Lauren akan selalu
menerima kenyataan bahwa ayahnya akan kembali seperti yang selama ini kau janjikan? Seorang
anak yang cerdas seperti Lauren akan selalu mengingat perkataanmu, Taeyeon-ah, dan dia akan
menyadari cepat atau lambat jika semua ucapanmu selama ini hanyalah bualan semata,”

“Aku percaya ayahnya akan kembali, oppa. Aku percaya,” ujar Taeyeon dengan tegas. “Aku percaya
dia sebagai sosok ayah Lauren, bukan sebagai yang lain. Tapi untuk saat ini, mianhae oppa. Aku
belum bisa menceritakan apa-apa padamu tentang ayah Lauren. Aku belum siap,”

“Kalau kau memilih untuk percaya, baiklah. Aku akan ikut percaya. Jadi, tidak ada salahnya
membiarkan dia bersama dengan Jiyong sampai ayah kandungnya kembali, ‘kan?” tanya Youngbae.

“Tentu saja salah, oppa. Jiyong tidak akan selamanya ada di samping anakku. Dia punya
kehidupannya sendiri. Dia tidak akan selamanya ada untuk mewarnai hari-hari Lauren. Sebelum
semuanya terlambat, sebelum Lauren terlalu nyaman ada di dekat Jiyong, tidak seharusnya aku
membiarkan mereka terlalu sering bersama,” jelas Taeyeon.

“Lauren itu mirip dengan Jiyong, kurasa kau sudah tahu ini. Dia membutuhkan Jiyong, Taeyeon-ah.
Dia membutuhkan Jiyong untuk memperbaiki dirinya. Ketika ayahnya memang benar-benar akan
kembali suatu hari nanti, dia bisa pergi dari Jiyong dan menikmati kenyamanan yang sebenarnya
dengan ayahnya sendiri,” tentang Youngbae.
“Dia tidak akan bisa lepas jika Lauren akhirnya akan bergantung pada Jiyong, oppa,” lirih Taeyeon.

“Akhirnya kau mengerti maksud Jiyong, ‘kan Taeng?” tanya Youngbae. Dahi Taeyeon mengernyit
bingung. “Seperti itulah dia kepadamu. Awalnya dia membutuhkanmu dan lama-lama dia
menggantungkan semuanya padamu, termasuk hatinya. Dia memang tulus and he meant it saat dia
mengatakan dia menyukaimu. Karena kau adalah kebutuhan sekaligus keinginannya. Dia ingin
menunjukkan maksudnya lewat Lauren. Apa kau paham?”
Taeyeon diam. Ia tahu maksud dari perkataan Youngbae. Ia mengerti. Namun, lidahnya terasa kelu
untuk mengucapkan maksud kata-kata itu.

“Lauren membutuhkan Jiyong, Jiyong membutuhkanmu. Itu artinya kau harus memiliki keduanya.
Jiyong dan Lauren,” lanjut Youngbae. “Itulah maksud Jiyong. Kenapa kau tidak mencoba membuka
kesempatan sekali lagi untuk seorang Kwon Jiyong? Aku tahu aku tidak seharusnya menawarkan hal
ini. Aku tahu kau tidak akan suka. Tapi, tidakkah kau sadar Taeng, kalau kalian bertiga mempunyai
benang kebahagiaan jika kau merajutnya dengan kepercayaan? Aku sahabat kecilnya Jiyong, aku
tahu di mana saat dia serius dan saat dia bercanda. Aku tidak pernah melihatnya menatap seseorang
dengan pancaran cinta yang tulus selain kepadamu. Jika suatu saat nanti dia melukaimu, kau boleh
membunuhku, Taeng. Kau boleh melakukan apa saja padaku, bahkan menuntutku sekalipun,”

“Oppa,” panggil Taeyeon dengan suara pelan. Ia menatap dalam-dalam kedua mata Youngbae, dan
laki-laki itu dapat melihat luka yang sangat dalam di dalam kedua mata Taeyeon. “Mungkin kau
memang tahu siapa itu Kwon Jiyong. Mungkin kau tahu dia serius dan tulus padaku. Tapi ada
beberapa hal yang kau tidak tahu tentangku, oppa. Itu sebabnya, jebal, jangan katakan apapun
padaku mengenai kepercayaan dan harapan. Karena itu mustahil untuk kudapatkan,”

“Taeyeon-ah,” lirih Youngbae. Ia tertegun dan merasa bersalah. Bersalah karena ia sadar ia
seharusnya tidak mngucapkan hal itu pada Taeyeon, seharusnya ia tidak memaksa gadis itu. Dan
seharusnya ia menyadari jika dia memang tidak mengenal 100 persen siapa itu Kim Taeyeon.
“Mianhae, aku tidak bermaksud… Kau tahu, aku seperti ini karena terlalu menyayangimu dan
Lauren,”

“Tapi kau juga harus ingat, oppa bahwa apa yang terbaik menurutmu, belum tentu akan
menghasilkan hal yang baik ke depannya,” sela Taeyeon. “Aku tahu kau sangat menyayangiku dan
Lauren, tapi aku tidak ingin menyakiti banyak hati ke depannya,”

“Banyak hati?” tanya Youngbae. “Taeyeon-ah, mungkin memang benar, aku tidak tahu apa-apa
tentangmu. Tapi, jebal. Jangan terlalu menyembunyikan banyak rahasia dalam dirimu. Karena
yakinlah, apa yang menjdadi rahasia yang selama ini kau tumpuk, suatu hari nanti akan meledak
dengan sendirinya, di waktu yang kita tidak tahu baik atau buruk, di saat yang tepat atau bahkan tidak
tepat, sehingga lebih banyak hati yang akan tersakiti nantinya,”

“Karena itulah aku ingin rahasia-rahasiaku ini bisaku jaga sampai aku mati nanti, oppa. Akan lebih
baik kalau aku saja yang merasa sakit di sini,” jawab Taeyeon dengan senyuman sendu yang ia
tunjukkan di wajah cantiknya.

Youngbae menatap Taeyeon dengan pandangan sedih. Walaupun tidak tahu apa lagi yang
disembunyikan gadis itu, tapi Youngbae merasakan luka yang begitu dalam, lebar, dan perih
terpancar dalam kedua mata bening Taeyeon. Dari sanalah Youngbae tahu betapa rapuhnya
Taeyeon sebenarnya, betapa gadis itu ingin direngkuh dan didekap dengan penuh kasih sayang, tapi
tak bisa. Karena ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya.

Youngbae mengangkat tangan kanannya dan mengelus puncak kepala Taeyeon dengan sangat
lembut, seperti yang selama ini dilakukannya pada Lauren saat gadis kecil itu sedang sedih.

“Kau tahu kau berhak mendapatkan kebahagiaan juga, Taengoo-ah. Akulah orang pertama yang
akan mengejar dan mendapatkannya untukmu, percayalah,” ungkap Youngbae. Ia tersenyum sangat
manis pada Taeyeon.

Sedangkan Taeyeon, yang mendapatkan begitu banyak perhatian dari Youngbae serta dukungan
penuh, hanya bisa menangis dan terisak pelan. Ia tidak tahu kenapa dia bisa secengeng ini hanya
karena mendengar kata-kata dari laki-laki itu, padahal ia juga sudah sering mendengarnya dari
sahabat-sahabatnya yang lain.

Kenapa? Apakah karena ia ingin sekali berharap bisa mendapatkan kebahagiaannya kali ini? Atau
karena sudah banyak sekali rahasia dan luka yang ia pendam sendiri selama ini?
Youngbae tidak akan menarik kata-katanya. Ia akan mendapatkan kebahagiaan gadis itu.
Kebahagiaan Taeyeon bermula dari sebuah harapan. Dan dia tahu dari mana dia akan mendapatkan
harapan tersebut.

Dan Youngbae percaya ia tidak pernah menyesal ketika dia berharap pada Kwon Jiyong.

~~~

“Apa yang sedang kau gambar, babygirl?” tanya Jiyong pada Lauren yang sejak setengah jam lalu
sibuk menggambar di sebuah kertas kosong yang Jiyong minta pada salah
satu waitress di café tersebut atas permintaan Lauren sendiri. Dan selama itu pulalah Lauren
mengacuhkan pertanyaan yang setiap kali Jiyong lontarkan.
Lauren masih diam tidak menjawab. Bukannya merasa kesal atau tersinggung, Jiyong tertawa sambil
mengacak-acak rambut lembut Lauren dengan gemas. Ia teringat dengan ibu dari gadis belia itu.

“Kau mirip sekali dengan eomma. Selalu fokus dengan apa yang sedang ia kerjakan dan… tidak
pernah menggubrisku,” ungkap Jiyong.

“Ne, ahjussi,” jawab Lauren tiba-tiba sembari tersenyum sangat lebar. Kedua pipi gembilnya yang
merona mengembang dengan imutnya. “Aku berusaha menggambar diriku, eomma, dan appa,”

“Appa?” ulang Jiyong. Kedua alisnya hampir menyatu saking terhenyaknya dirinya. “Lauren appa?”

“Ne! Nae appa!” seru Lauren gembira. Ia menunjukkan hasil gambarnya pada Jiyong. Jiyong
mengambilnya dan ia mengamati gambar anak kecil itu. Sepasang laki-laki dan perempuan yang
sedang menggandeng kedua tangan anak mereka yang berdiri di tengah-tengah. Sebuah gambar
yang menunjukkan keluarga yang bahagia.

“Tergambar dengan sangat baik sekali, babygirl. Kau berbakat jadi pelukis, kurasa,” puji Jiyong. “Ini
appa? Boleh aku tahu appa berada di mana sekarang?”
“Eomma bilang appa tengah bekerja sekarang. Di tempat yang sangat jauh sekali, itu sebabnya
ahjussi tidak melihatnya di dalam rumahku. Appa belum pernah pulang ke rumah, sekalipun belum
pernah. Tapi eomma berjanji kalau appa pasti akan kembali dari tempat kerjanya,” jelas Lauren.
Kedua mata cokelat gelapnya berbinar-binar.

“Belum pernah pulang ke rumah sekalipun? Tapi dia sering mengabarimu, ‘kan? Mengabari eomma?”
tanya Jiyong. Ia tidak bisa mengontrol rasa penasarannya yang terlalu tinggi jika itu menyangkut
Taeyeon.

Lauren menggelengkan kepalanya pelan. Binar di wajahnya memudar dan Jiyong jelas sekali
menemukan jawabannya. “Aku bahkan tidak pernah mengetahui bagaimana wajahnya, ahjussi,”

“Waeyo?” tanya Jiyong cepat.

“Eomma bilang ia tidak mempunyai foto appa dan tidak bisa menghubunginya. Eomma bilang ia tidak
memiliki hubungan lagi dengan appa karena mereka sudah berpisah. Tapi eomma juga mengatakan
kalau appa pasti akan datang menemui kami. Appa berjanji seperti itu dan untungnya, eomma
percaya,” lanjut Lauren. “Kalau eomma percaya, aku pasti juga akan percaya,”

“Ah, mereka sudah berpisah,” gumam Jiyong. Ia mengusap-usap ubun-ubun kepala Lauren sambil
tersenyum sendu. “Tapi apa eomma sering bercerita tentang appa? Misalnya bagaimana wajahnya?
Sifatnya?”
“Eomma mengatakan appa sangat tampan. Tampan sekali. Istilahnya aku versi laki-laki, ahjussi. Aku
sangat cantik, jadi kalau versi laki-laki sangat tampan,” jawab Lauren senang.

Jiyong tertawa kecil. “Ne, dia pasti sangat tampan. Lauren appa. Tapi kalau dibandingkan denganku,
mana yang lebih tampan?”

Lauren terdiam sejenak sambil berfikir keras. Bibir mungilnya mengerucut dan dahinya berkerut.
“Tentu saja ahjussi. Karena aku juga belum tahu bagaimana wajah appa,”

“Kalau kau bertemu dengan appa suatu saat nanti, yakinlah aku lebih tampan dari appa,” ujar Jiyong
dengan kepercayaan dirinya yang tinggi.

“Laurennie,” sapa seorang gadis yang suara indahnya sudah tidak asing lagi di kedua telinga Jiyong,
Taeyeon. Gadis itu duduk di samping Lauren dan mengecup ubun-ubun gadis kecilnya dengan
sayang. “Sudah kenyang?”

“Ne! Ahjussi membiarkanku makan sesukanya!” jawab Lauren senang.

“Lain kali jangan minta yang aneh-aneh ataupun hal-hal yang menyulitkan Yong ahjussi, ne?” tegur
Taeyeon. “Jiyong-ssi kau juga jangan mengabulkan apapun yang diminta atau yang diinginkan
Lauren jika dia tidak membutuhkannya. Kau bisa mengajarkannya cara memboros,”

“Wae? Aku hanya mentraktirnya makan saja. Dia gadis kecil yang butuh banyak asupan gizi karena
itu akan membantu pertumbuhan otaknya,” jawab Jiyong.

“Bukan hanya hari ini saja. Contohnya kemarin dan beberapa hari yang lalu, kau membelikannya
barang-barang yang tidak dia butuhkan sama sekali tanpa persetujuanku,” sambar Taeyeon.

“Okay, lain kali aku akan minta persetujuanmu,” potong Jiyong cepat. Ia agak heran dengan sikap
dingin gadis itu yang tiba-tiba saja bangkit. Buruknya, ia yang kena imbas dari sikap gadis itu. “Apa
kau sedang dalam masa periodemu?”
“Mwo” tanya Taeyeon bingung.

“Kau tiba-tiba saja marah padaku. Jadi, aku menyimpulkan mungkin ini yang sering ditakuti Youngbae
setiap kali Hyorin noona sedang PMS,” jelas Jiyong sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Aniya, aku sedang tidak dalam masa periodeku dan bukan karena itu aku kesal padamu jika aku
memang sedang PMS. Aku hanya tidak ingin Lauren menjadi boros dengan mudah meminta ini-itu
padahal dia tidak membutuhkannya. Dan aku juga tidak ingin dia ketergantungan padamu,” sanggah
Taeyeon.

“Sepertinya aku mengerti arah pembicaraanmu,” gumam Jiyong tajam. Wajah cerianya memudar dan
ia menatap Taeyeon dengan pandangan yang sulit diartikan. “Aku tidak merasa keberatan jika ia
tergantung padaku. Dan aku tidak merasa itu menjadi suatu masalah yang besar,”
“Aku sangat keberatan dan itu juga menjadi masalah yang besar untukku,” jawab Taeyeon sengit.

“Eomma,” panggil Lauren lembut, yang membuat perdebatan kecil di antara Jiyong dan Taeyeon
terhenti seketika. “Aku menggambar ini,”

Lauren menunjukkan gambar yang ia buat beberapa menit yang lalu pada Taeyeon. Taeyeon
tersenyum lebar dan ia mengambil gambar tersebut. Senyumnya perlahan menghilang dan ia
menatap Lauren dengan pandangan bimbang.

“Ige…,”

“Keluarga,” jawab Lauren pelan. Matanya yang bulat kembali berbinar. “Itu aku, eonma, dan appa,”

“Kau menggambar dengan sangat baik, boo,” puji Taeyeon. “Tapi appa…,”
“Aku menggambarnya dengan membayangkan wajah Yong ahjussi. Appa sangat tampan, dan Yong
ahjussi adalah orang yang sangat tampan. Wajah mereka pasti tidak beda jauh,” jawab Lauren lagi.

“Ne, kau benar, babyboo…,”


“Itu tidak benar,” sela Jiyong cepat. “Little girl, bukannya tadi kau bilang aku adalah laki-laki yang
lebih tampan dari siapapun?”
“Sebelum aku bertemu dengan appa, ahjussi orang yang paling tampan. Se-be-lum,” jawab Lauren
sambil menjulurkan lidahnya dan detik berikutnya ia langsung tertawa.

“Dasar anak nakal. Sini kau,” ujar Jiyong. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya dan mencubit kedua
pipi gembil Lauren dengan gemas. Lauren hanya menunjukkan cengiran lebarnya, kelihatan sama
sekali tidak merasa kesakitan dengan tindakan Jiyong.

Taeyeon menatap interaksi yang terjadi antara Lauren dengan Jiyong dengan tatapan sendu.
Fikirannya kembali berkecamuk dan hatinya terasa remuk. Putri semata wayangnya benar-benar
menikmati hari-harinya dengan Jiyong. Putrinya berubah menjadi lebih ceria dan cerewet di saat
bersamaan jika Jiyong ada di sampingnya.
Taeyeon ingin sekali melihat ribuan ekspresi yang ditunjukkan Lauren seperti sekarang ini untuk
selamanya. Ia ingin melihat keaktifan gadis kecil itu. Namun, apakah ia harus mengandalkan Jiyong
selamanya juga? Tidak mungkin. Tidak mungkin Jiyong berada di sisi Lauren untuk selamanya,
bahkan jika dalam jangka panjang. Tidak akan mungkin. Inilah hal yang Taeyeon takuti dari awal ia
memerhatikan kedekatan keduanya.

Takut kebutuhan Lauren akan sosok ayah menjadi ketergantungan pada Jiyong.

“Kenapa kau tidak mencoba membuka kesempatan sekali lagi untuk seorang Kwon Jiyong?”
“…Ma? Eomma?” panggil Lauren dengan menaikkan volume suaranya beberapa oktaf saat fikiran
Taeyeon melayang ke mana-mana.
“Ne?” tanya Taeyeon, bingung seperti orang linglung.

“Kau sakit?” tanya Jiyong.

“Aniya, ah mungkin iya. Jadi, bisakah kita pulang sekarang? Bolehkan, Laurennie?”

“Ne, kajja kita pulang ahjussi,” ajak Lauren. Ia menggenggam tangan kanan Taeyeon dan tersenyum
manis pada ibunya. “My superhero tidak boleh sakit,”
Taeyeon tersenyum dan ia hendak mengambil tas sekolah Lauren, tapi Jiyong sudah mengambilnya
lebih dulu dan memakaikannya di punggungnya.

“Kajja,” ajak Jiyong sambil menggenggam pergelangan tangan kanan Lauren yang mungil. Lauren
mengangguk senang dan ia juga menggandeng tangan Taeyeon.

Melihat senyuman sumringah putri kecilnya yang cantik, mau tidak mau Taeyeon juga ikut tersenyum
senang. Apapun yang membuat Lauren tersenyum, Taeyeon pasti merasakan hal yang sama. Ia
hanya tidak ingin senyuman serta kebahagiaan yang terpancar di dalam kedua mata Lauren
meredup.

~~~
“Nah Laurennie, beritahu ahjussi jika sakit eomma bertambah serius, eoh? Kau sudah punya nomor
ponselku, ‘kan? Aku akan selalu menanti panggilanmu, little girl,” ujar Jiyong. Ia membungkukkan
sedikit tubuhnya untuk mencium dahi Lauren singkat dan mengusap pelan ubun-ubun kepala Lauren.
“Roger, ahjussi!” seru Lauren.
“Laurennie, masuklah ke dalam dulu. Eomma mau memberi salam perpisahan pada ahjussi,” pinta
Taeyeon pada Lauren.

Lauren mengangguk paham. “Seperti ciuman perpisahan? Seperti yang eomma lakukan setiap kali
mengantarku sekolah?”

“Ani…,”

“Ne, seperti itu, Laurennie. Bukankah kita berdua anak eomma yang paling manja dan suka dicium?”
sela Jiyong sembari melemparkan senyuman mesumnya pada Taeyeon dan beberapa detik
kemudian, ia tersenyum lebar pada Lauren.

“Ya,” desis Taeyeon sambil memukul punggung Jiyong agar Lauren tidak mengetahui tindakannya.
Jiyong mengaduh pelan dan kedua hazelnya menatap kesal pada Taeyeon. “Ahga, bisakah setelah
itu kau mencuci tangan dan kakimu?”

Lauren kembali menganggukkan kepalanya. Ia berbalik dan membuka pintu apartemennya lalu
masuk ke dalam. Setelah Lauren masuk, Taeyeon menghadapkan wajahnya kembali pada Jiyong.

“Kau benar-benar mau memberiku ciuman perpisahan?” tanya Jiyong.

“Aku sedang tidak dalam mood bercanda saat ini, Jiyong-ssi,” gumam Taeyeon pelan.
“Dan aku juga sedang tidak bercanda sama sekali Kim Taeyeon-ssi,” balas Jiyong dengan
wajah innocent-nya.
“Ada yang ingin aku bicarakan padamu,” tukas Taeyeon.

“Nado,” balas Jiyong lagi.

“Ini mengenai Lauren,”

“Nado,”

“Apa yang ingin kau bicarakan tentang Lauren denganku?” tanya Taeyeon penasaran.

“Kita mungkin bisa membicarakannya besok pagi, kau tidak perlu bekerja. Aku membebaskanmu satu
hari,” jawab Jiyong.

“Aku tetap akan melakukan tugasku seperti biasanya, tenang saja,” tolak Taeyeon.

“Arraseo. Kalau begitu aku pulang?” tanya Jiyong.

“Kau bertanya?”

“Aku hanya berharap kau mencegahku dan mengajakku masuk ke rumahmu, hanya untuk duduk
sambil basa-basi?”

“Kau tahu aku sedang tidak enak badan,” sanggah Taeyeon.


Jiyong menghela nafas pendek dan ia mengedikkan kedua bahunya. “Sampai bertemu besok,”

Taeyeon hendak membalas sapaan dari Jiyong ketika ia merasakan bibir laki-laki itu menempel
singkat di bibirnya. Hanya sedetik. Berikutnya Jiyong menarik kembali dirinya dan ia tersenyum pada
gadis itu. Sedangkan Taeyeon, ia hanya mampu membelalakkan kedua matanya, terkejut setengah
mati.

“Aku pergi,” pamit Jiyong. Ia melambaikan tangannya lalu berbalik pergi meninggalkan Taeyeon. Laki-
laki itu tersenyum puas sebelum ia masuk ke dalam lift menuju parkiran mobil.

Taeyeon menarik nafasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan-lahan, berharap


jantungnya kembali berdetak normal. Tubuhnya mendadak panas-dingin dan ia hanya bisa
menyandarkan punggungnya di dinding apartemen. Kepalanya tertunduk dalam-dalam,
menyembunyikan rona merah di wajahnya yang kentara sekali.

Seharusnya hal itu tidak boleh terjadi.

~~~

“Apa kau tidak bisa duduk di sini saja? Di sampingku?” tanya Jiyong dengan ekspresi heran pada
Taeyeon. “Apa kau ingin kita mengobrol dengan cara berteriak-teriak, begitu? Atau menggunakan
telepon benang seperti anak kecil?”
“Aku takut kau akan melakukan hal yang aneh-aneh lagi,” tukas Taeyeon cepat. Ia melirik Jiyong
tajam, yang sudah duduk dengan nyaman di sofa mewahnya, sedangkan gadis itu hanya berdiri di
dekat pintu kondo.

“Apa maksudmu?” tanya Jiyong bingung.

“Kejadian kemarin,” desis Taeyeon gusar. Wajahnya mendadak merona merah dan ia tampak sangat
menggemaskan untuk Jiyong, membuat laki-laki itu terkikik pelan.

“Yang mana?” tanya Jiyong, pura-pura tidak tahu dan Taeyeon bersumpah ingin sekali meninju wajah
sok innocent-nya itu.
“Ah, molla!” seru Taeyeon. Ia sedikit memghentakkan kakinya menuju sofa dan duduk di samping
Jiyong, dengan jarak yang lumayan jauh. “Jangan mendekat atau aku akan mengundurkan diriku dari
pekerjaan ini,”

“Woah, tidak kooperatif sekali,” ujar Jiyong dengan nada pura-pura tersinggung. “Aku sudah
membayar gajimu untuk bulan depan ingat? Jangan memaksaku untuk melaporkanmu ke polisi
dengan alasan pelanggaran dan pemalsuan dokumen…”

“Kurasa tidak ada hubungannya dengan pekerjaan ini,” sela Taeyeon cepat.

“Aku tidak peduli. Aku bisa melakukan apapun. Naneun Kwon Jiyong imnida, ingat?”

“Aku merasa menyesal melakukan pekerjaan sialan ini,” umpat Taeyeon.

“Kata-katamu sangat kasar,” tegur Jiyong dengan wajah bak seorang manusia tanpa dosa yang baru
pertama kali mendengar sebuah umpatan kasar. “Kuharap uri Laurennie tidak pernah
mendengarnya,”

“Ah,” potong Taeyeon. “Tentang Lauren, apa yang ingin kau bicarakan padaku?”
“Bagaimana denganmu?”

“Kau duluan,”

“Arra. Aku hanya ingin bertanya tentang Lauren appa,” ujar Jiyong pelan dan hati-hati. Ia berhenti
sejenak sebelum akhirnya melanjutkan. “Aku sudah mendengarnya dari Lauren kalau kau berjanji
bahwasanya Lauren appa akan datang menemuinya suatu hari nanti, sedangkan dia sama sekali
belum mengetahui bagaimana wujud rupa sang ayah sejak ia dilahirkan di muka bumi ini. Aku jamin,
bahkan saat kau melahirkan dia tidak ada di tempat, ‘kan?

“Keurigo,” lanjut Jiyong. “Kau salah besar jika menjanjikan hal gila seperti itu pada Lauren. Dia
memang masih kecil, tapi dia sudah mampu berfikir dengan logika sekaligus hatinya, mengingat dia
lebih dewasa dari umurnya, dia akan terus mengingat janjimu, menagihnya setiap dia ingat, dan akan
terus seperti itu sampai dia menyadari jika janjimu hanyalah omong kosong belaka,”

“Apa maksudmu kalau ayahnya tidak akan datang? Dia berjanji padaku, bukan denganmu,” sanggah
Taeyeon tajam. “Aku mengerti arah pembicaraanmu dan kutegaskan sekali lagi, Lauren appa akan
datang menemuinya suatu hari nanti, memanjakannya, dan menyayanginya lebih dari siapapun di
dunia ini. Aku percaya itu, aku percaya pada janjinya walaupun dia tidak pernah menampakkan
batang hidungnya di hadapanku,”
“Dia pasti laki-laki yang brengsek,” desis Jiyong. Emosinya mendadak naik mendengar penuturan
Taeyeon yang memercayai seseorang yang bahkan tidak pernah memperlihatkan dirinya. “Dia tidak
ada saat kau berjuang keras melahirkan anaknya, dia tidak mengabarimu apa-apa, tidak
menghubungi Lauren, minimal bertanya bagaimana keadaannya. Dia hanya bersembunyi di suatu
tempat dan kita tidak tahu kapan dia akan muncul. Dia hanya berjanji, dan kau sanggup memegang
janjinya? Memercayainya?”

“Mungkin perkataanmu benar,” lirih Taeyeon. “Tapi apa yang kupercayai, tidak akan ada yang mampu
mengganggu gugatnya. Aku tetap akan memercayainya, wae? Karena dia adalah Lauren appa,”

“Kau sangat mencintainya? Pasti,” tukas Jiyong. “Dia itu siapa? Suamimu? Aku yakin tidak. Kalian
pasti hanya…,”

Jiyong mendadak terdiam, merasa sudah terlalu jauh dengan rencana pembahasannya. One night
stand. Hal itu memang seringkali mengganggu fikirannya, seringkali menggagalkan fokusnya dan ia
ingin secepat mungkin bertanya pada Taeyeon. Namun, tidak secepat ini juga. Karena jika memang
itu benar, dia tidak tahu siapa yang lebih sakit mendengar jawabannya.
“Mwo? One night stand, begitukan?” tanya Taeyeon pelan. Kedua matanya mendadak berair. “Kalau
memang iya, kau mau mengatakan kalau aku ini adalah perempuan jalang yang bermuka polos?
Gwaenchanna, kau bisa mengatakannya lebih kejam dari itu. Karena apa? Aku bahkan sudah
mendengar lebih banyak dari itu. Dan kau bukan siapa-siapa untukku, aku tidak akan merasa terluka
atau sakit hati,”
“Aku tidak akan mengatakan apa-apa, Kim Taeyeon,” sanggah Jiyong tajam. Kedua tangannya
terkepal erat dan ia berusaha keras menahan amukannya. “Jika memang seperti itu, kau sudah tahu
kalau dia laki-laki brengsek yang tidak akan mudah menepati janjinya…,”

“Aku tetap tidak akan mengubah keputusan yang kubuat sendiri,” sela Taeyeon. “Apa urusanmu? Aku
ingin percaya padanya dan kau tidak berhak melarangku,”

“Hal itu hanya akan menyakiti Lauren, Taeyeon-ah! Kau seharusnya tahu apa akibatnya jika apa yang
kau percayai itu hanyalah bullshit! Lauren yang akan tersakiti. Dia akan terus menagih janjimu dan
ketika dia tumbuh sebagai remaja, dia akan tahu kalau ibunya adalah seorang pembohong kejam. Dia
begitu menginginkan ayahnya di dekatnya. Dia sangat membutuhkan figur itu dan kau berbohong
dengan mudahnya hanya untuk menyenangkannya? Batinnya sudah terluka dan aku sangat paham
bagaimana rasa sakitnya,”
“Kenapa kau berkata seperti itu? Seolah-olah kau tahu betul siapa aku. Kau tidak tahu, Jiyong-ssi,
sama sekali tidak tahu apa-apa. Aku tidak pernah berbohong apapun pada Lauren! Aku tahu kalau
appanya akan datang, aku tahu dan aku yakini hal itu! Kalau kau tidak tahu apa-apa, tolong jangan
buka mulutmu hanya untuk menuduhku macam-macam,”

“Aku hanya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Lauren…,”

“Neo mwondae?” tanya Taeyeon langsung. “Kau siapa seenaknya bicara seperti itu untuk putriku?
Dia anakku dan hanya aku yang akan melindunginya. Hanya aku. Dan kau tidak berhak untuk
mencampuri hidup kami berdua,”

“Kau mulai lagi,” lirih Jiyong. “Aku sudah pernah mengatakannya padamu, ‘kan?”

“Ne,” jawab Taeyeon. Ia bangkit dari sofa dan sembari ia menghapus air matanya, ia kembali berujar.
“Dan semua hal yang kau lakukan itu percuma, semua sia-sia saja. Berhenti mendekati anakku hanya
untuk mendapatkan simpatiku. Berhenti bersikap seolah-olah kau ini adalah ayahnya hanya untuk
mendapatkan hati dan perhatiannya. Berhenti memberikannya harapan palsu jika kau tidak mampu
untuk melakukannya selamanya. Jangan pernah berharap aku akan percaya padamu,”

Jiyong menggeram marah dan ia ikut berdiri, menghadap Taeyeon. “Aku tulus menyayanginya. Dia
butuh aku, dan aku membutuhkanmu. Aku menyayanginya karena sebagian diriku ada padanya. Dia
membutuhkanku karena sebagian dirimu berhasil masuk ke dalam diriku. Aku tidak ingin melepaskan
kalian. Kenapa kau tidak paham juga?!”

“Lakukanlah itu dengan kekasihmu! Lauren sudah punya ayahnya sendiri. Jebal, jangan hancurkan
hubungan kami seperti halnya niatmu yang ingin menghancurkan hubunganmu sendiri. Lauren
memang membutuhkan sosok ayah, tapi tidak berarti itu harus dirimu! Begitu juga denganku. Kau
bisa mendapatkannya dengan kekasihmu, atau kalau tidak kau masih bisa mencari yang lain ‘kan?
Bukankah hal itu mudah untukmu? Lauren tidak butuh sosok ayah seperti dirimu, Kwon Jiyong,”

Taeyeon tahu kalau Jiyong mungkin akan menamparnya atau bahkan memukul wajahnya. Tapi dia
tidak peduli. Rasa sakitnya hanya sebentar, tidak akan lama. Sedangkan jika ia terus berharap pada
laki-laki itu dan akhirnya tersakiti juga, ia yakin sakitnya akan terus membekas sampai ia meninggal
dunia nanti. Karena semakin ia berharap, semakin besar perasaan cintanya untuk Jiyong.

Alih-alih menampar atau memukul wajah Taeyeon, Jiyong mencengkeram kasar lengan kanan gadis
itu dan menariknya mendekat pada dirinya. Ditangkupnya rahang gadis itu lalu dilumatnya kuat bibir
mungil milik Taeyeon.

Kedua mata Taeyeon terbelalak lebar, ia shock mendapatkan serangan tiba-tiba seperti itu dari
Jiyong. Ia tidak siap dengan apa yang terjadi saat ini. Sama sekali tidak siap sehingga tubuhnya
mendadak linglung dan hampir terjatuh. Dengan sigap Jiyong menahan tubuh gadis itu, memeluknya
semakin erat dan tetap menciumi bibir Taeyeon tanpa sedikitpun mengurangi ritme kasarnya.
Ia begitu frustrasi. Frustrasi karena Taeyeon sama sekali tidak memercayai dirinya, at least, mencoba
percaya. Tapi ia justru percaya dengan laki-laki yang sudah meninggalkan dirinya dengan Lauren.
Memikirkan hal itu membuat ubun-ubun kepala Jiyong kembali panas. Ia mendorong kuat tubuh
lemas Taeyeon hingga punggungnya menabrak pintu kondo tanpa melepas pagutannya. Ia ingin
Taeyeon juga merasakan betapa frustrasinya dia, betapa kecewanya dia dengan pemikiran gadis itu.

Taeyeon menutup matanya rapat-rapat dan berusaha mendorong kedua bahu Jiyong dengan kuat.
Kedua pergelangan tangannya terasa lemah. Ia lalu memukul-mukul dada laki-laki itu, yang justru
malah semakin menempel di tubuhnya. Semua hal dilakukan Taeyeon, menarik kerah kemeja Jiyong,
mendorong tubuhnya, bahkan memberontak minta dilepaskan.
Saat nafas Taeyeon sudah hampir habis, Jiyong menggit bibir bawah gadis itu dengan geram sampai
menimbulkan luka dan berdarah. Taeyeon menjerit kesakitan tapi jeritannya tertahan karena saat ia
membuka mulutnya tanpa disengaja, Jiyong langsung melilitkan lidahnya dengan lidah gadis itu,
mengaduk-aduk isinya dengan tak sabaran sampai-sampai Taeyeon harus tersedak dengan air
liurnya sendiri.

Cengkeraman Taeyeon di kemeja Jiyong semakin kuat karena ia tidak tahan lagi untuk menahan
nafasnya. Ia sudah membuka mulut untuk mencari udara tapi Jiyong kembali menahannya dengan
bermain di dalam mulut gadis itu. Apa laki-laki itu berniat ingin membunuhnya dengan cara gila
seperti ini?

Menyadari tingkah Taeyeon yang kewalahan, Jiyong melepas kulumannya di bibir Taeyeon dan
mereka berdua terengah-engah layaknya habis lari berkilo-kilo meter jauhnya. Meskipun ia sudah
melepas ciumannya, tapi Jiyong tetap merapatkan tubuhnya pada tubuh Taeyeon. Nafasnya
tersengal-sengal dan Taeyeon dapat merasakan nafas hangat Jiyong menggelitiki leher jenjang gadis
itu.

Selain mengambil nafas dalam-dalam, Taeyeon juga terisak. Ia tidak tahu kenapa hal ini bisa terjadi,
seharusnya ia bisa mengantisipasinya. Ia merutuki dirinya sendiri yang terlalu lemah, bodoh, dan
semacamnya. Hal ini justru semakin menyakiti perasaannya.

“Kau tidak bisa seperti ini,” isak Taeyeon. Ia kembali mendorong tubuh Jiyong untuk menjauh darinya.
Tapi tetap saja hasilnya nihil. Kekuatannya menghilang entah ke mana. Seharusnya ia bisa
menampar laki-laki itu.

“Wae?” bisik Jiyong di telinga kanan Taeyeon. “Kenapa kau tidak bisa sekali saja membuka
kesempatan untukku? Kenapa laki-laki itu justru bisa mendapatkan kepercayaanmu?”

“Karena yang kau lakukan itu semua sia-sia dan aku sudah mengatakannya tadi!” seru Taeyeon.
“Sekarang lepaskan aku…,”

“Fu*k!” maki Jiyong dan ia kembali meraup bibir merah yang ada di hadapannya itu. Sama kuatnya
dengan yang pertama. Sama dalamnya dengan yang pertama. Namun, jauh lebih liar, lebih agresif
lagi dari yang pertama. Jiyong terus mengulum bibir itu dan tak hentinya memaksan Taeyeon untuk
mengikuti tempo ciuman paksanya tanpa peduli dengan tindakannya yang selanjutnya.
Ia tidak peduli, bahkan jika ia sampai kelepasan sekalipun.

Tapi apa dia sanggup menyakiti hati gadis itu lebih dalam lagi? Sebuah ingatan menghantam orak
Jiyong, membentur akal sehatnya. Jika ia melakukan hal yang lebih, memaksa gadis itu untuk
melangkah lebih jauh, bukankah ia lebih brengsek dari laki-laki itu? Bukankah itu artinya ia telah
mengorek kembali luka lama dalam hidup Taeyeon dan kembali menakuti gadis itu?

Sadar dengan tindakan bodohnya, Jiyong melepas ciuman panasnya dan sedikit memberi jarak pada
tubuh mereka berdua. Dilihatnya Taeyeon kembali menangis dengan bibir merah ranumnya yang
berkilat akibat saliva mereka berdua yang sudah tercampur baur.

Jiyong merutuki dirinya, mengumpat keras di dalam hatinya. Ia ingin mengeluarkan suaranya, ingin
minta maaf atas perbuatan lancangnya. Namun, ia hanya diam. Tubuh serta bibirnya tidak bekerja
sesuai keinginannya. Yang ia lakukan hanyalah terdiam menatap gadis cantik itu.

“Apa kau sudah merasa senang?” lirih Taeyeon setelah tangisnya mereda. Ditatapnya Jiyong dengan
pandangan benci, membuat perut Jiyong bergejolak tak nyaman. “Sudah puas memperlakukanku
sama seperti para wanitamu itu? Kau sudah merasa menang, ‘kan?”
Jiyong diam tidak menjawab. Ia hanya terus menatap nanar pada Taeyeon, merasa semakin terluka
dengan tuduhan gadis itu. Nyatanya, dalam pandangan Taeyeon, laki-laki itu sama sekali tidak
memiliki rasa bersalah. Dan itu membuat Taeyeon semakin membencinya.

PLAK!
Satu tamparan keras mengenai pipi kiri Jiyong, menyebabkan rasa panas menjalari wajah laki-laki itu.

“Kau pantas mendapatkannya dan aku pantas untuk mengundurkan diri. Terima kasih atas semua
kebaikan yang kau berikan untukku selama aku bekerja padamu, Kwon Jiyong-ssi. Selamat tinggal
dan aku berharap ini terakhir kalinya aku bertemu denganmu,”

Taeyeon melepas apronnya, mencampakkannya ke lantai dan ia mengambil tasnya di atas salah satu
sofa. Lalu dengan cepat ia membuka pintu kondo Jiyong dan keluar menuju entah ke mana. Pergi,
dan Jiyong yakin gadis itu takkan mau lagi kembali ke kondonya, bahkan hanya untuk melihat sekilas
saja tidak akan mau.

Kenyataan yang ia hadapi jauh lebih membuatnya sakit daripada tamparan keras Taeyeon tadi.
Gadis itu tidak akan kembali lagi. Meskipun Jiyong memohon padanya, memelas untuknya, gadis itu
tidak akan menoleh lagi ke arahnya. Walaupun Jiyong mengabarkan kematiannya, Taeyeon tidak
akan menghentikan langkahnya untuk menjauhi laki-laki itu.

Karena Jiyong tahu, ia sudah merusak dan menghancurkan hati seseorang yang begitu rapuh. Ia
sudah merusak segalanya, semuanya. Untuk pertama kalinya, ia menyesal sudah membuat seorang
perempuan menangis.

-To Be Continued-

Anda mungkin juga menyukai