Anda di halaman 1dari 4

Hera menggeleng dalam pelukan Akra. Akra tetap memeluk Hera hingga tenang.

Hera melepaskan
pelukannya setelah ia bisa mengontrol emosi dan tangisnya. Setelah itu dia menatap Akra dengan mata
yang sendu.

“Aku gak mohon –mohon untuk gak ditinggalkan. Tapi, terima kasih mau bertahan denganku.”

“Maaf pernah melukaimu.”

“Dimaafkan dengan penebusan seumur hidup.”

“Siap Nyonya.”

Mereka tertawa bersama. Akra mengulah dengan meminta makan lagi dan Hera hanya bisa menggeleng
kepala lalu pergi ke dapur. Beruntung di kulkas masih ada persediaan milo cheesecake yang dibuat Hera
kemaren. Hera memotong dengan potongan besar untuk Akra. Lalu membawanya ke halaman belakang.
Akra menyambut senang potongan besar cheesecake tersebut. Lucunya lagi, Akra tidak menawari Hera
sesendok pun. Ia melahapnya sendiri.

“Perut kamu udah mulai menyaingiku loh ini.” Kata Hera sambil menyentuh perut Akra.

“Salah kamu.”

Hera tertawa lagi. Memang ia punya andil juga. Ia selalu memasakkan Akra makanan kesukaan suaminya
itu, bahkan membekali Akra dengan cemilan-cemilan sehat yang ia buat seminggu sekali. Akra pun
sekamin sering makan di jam-jam yang tidak logis. Hera sudah melarangnya dan berakhir wajah
cemberut Akra hingga pagi hari.

Akra berdalih karena ia yang mengalami ngidamnya Hera. Dan ini semua akan hilang saat Hera
melahirkan nanti. Akra juga berjanji akan berolahraga kembali. Kegiatan yang sudah lama ia tinggalkan
sejak mengalami morning sickness.

“Besok kamu ada kegiatan ?”

“Tidak ada. Aku udah off dari semuanya.”

“Bagus. Memang kamu itu harus isitrahat saja di rumah.”

“Iya, coba kamu yang istirahat terus dirumah. Pasti bosan.”

“Kalau Haura sudah lahir, pasti gak akan bosan.”

“Lihat aja nanti.”

***

“Tante gak nyangka akan bisa lihat kamu lagi, Sayang.” kata Insyira menyambut Akra dan Hera.
Insyira berdiri di depan pintu rumah menyambut semua orang yang datang ke syukuran dia dan Rico.
Akra dan Hera yang datang lebih awal dari jam yang seharusnya di sambut hangat oleh Insyira. Akra
memeluk ibu sahabatnya itu dengan erat. Begitu juga dengan Hera. Walau tidak mengenal dekat Insyira,
Hera bisa melihat pancaran cahaya keibuan di mata Insyira.

Insyira menyuruh asistennya untuk mengeluarkan hadiah yang di bawa Akra dan Hera dari mobil. Lalu
memarahi Akra dan Hera karena membawa banyak hadiah. Ia sampai memukul bahu Akra. Lebih baik
hadiahnya untuk bayi di kandungan Hera saja. Hera tertawa melihat suaminya mengaduh kesakitan
karena ulah Tiffany.

“Saya yang beli Tante. Senang aja berbagi kebahagiaan.”

“Terima kasih banyak ya sayang. Masuk gih, Rico dan Amber ada di dalam.”

Akra menggandeng Hera ke dalam rumah dan disambut hangat beberapa keluarga Rico yang mengenal
Akra. Akra menyuruh Hera untuk duduk di sofa di dekat ranjang bayi. Dekorasi ruangan ini sangat
memanjakan mata. Dominasi warna putih dan ungu. Sangat elegan. Hera melihat Akra berjalan
menjauhinya setelah mendapat informasi jika Rico ada di kamar.

Akra menyusul Rico ke kamar dan ternyata sahabatnya itu sedang memakaikan baju ke Amber. Telaten
sekali, pikir Akra. Karena Akra mengenal Rico yang anti pada bocah-bocah. Tapi lihat saja kini, ia bisa
memakaikan baju bayi ke Amber tanpa membuat Amber menangis.

“Lo benar-benar kelihatan seperti bapak-bapak.” Kata Akra mendekatik ranjang.

Rico menoleh lalu tersenyum. Ia membereskan peralatan ke rak yang sudah di sediakan. Amber sudah
bersih dan wangi. Tadi Amber sempat buang air dan mengotori gaunnya. Makanya Rico mengganti
dengan gaun yang baru. Dan menolak para tantenya yang ingin membantu.

“Gue memang bapak-bapak sekarang.”

“Kelihatan. Tua.”

“Sialan. Sendiri lo ?”

“Sama istri.” Akra menoel pipi Amber dengan lembut.

Bayi berpipi bulat itu sedang membuka matanya lalu entah mengapa ia tersenyum menampilkan gusi-
gusi ompongnya yang menggemaskan.

“Gue bawa ya ?”

“Iya.”

Akra menggendong Amber dengan hati-hati lalu menganyunkannya dengan lembut. Bibir Akra itu
tersenyum berbarengan dengan Rico yang juga sedang memperhatikan putrinya sambil menyusun lotion
dan popok yang tadi dia gunakan. Akra berjalan dengan hati-hati sambil membawa Amber ke luar
kamar.
Hera yang duduk menyamping dari pintu kamar Rico bisa melihat suaminya mendekatinya membawa
bayi mungil yang harumnya sudah memenuhi ruangan. Hera berdiri lalu menyambut hangat Amber.
Cantik, pikir Hera. Dan duplikat Tiffany.

“Cantik sekali kamu Nak.” puji Hera lalu meminta izin untuk menggendong Amber.

“Gak, anak si Rico ini berat, takut kena perut kamu.”

“Bentar aja.”

“Sini, aku aja yang gendong.”

Pasrah. Hera pasrah saja mengikuti Akra duduk. Ia menempeli Akra agar bisa melihat Amber lebih dekat.
Pasangan suami istri itu seakan mendapat mainan baru. Banyak pasang mata yang tersenyum melihat
tingkah mereka berdua. Rico saja menggelengkan kepala. Sedari dulu memang Akra menyukai anak
kecil.

Dibalik senyum Rico melihat Akra dan Hera, ada kesedihan yang terselip. Dia tidak bisa seperti
sahabatnya itu. Ada yang hilang dari dirinya dan Amber. Tidak ada sosok ibu yang turut membesarkan
Amber bersama. Dia mendekati ibunya dan menyambut tamu yang mulai berdatangan. Biarlah Amber di
asuh oleh Akra dan Hera untuk sementara.

“Amber mana ?”

“Sama Akra.”

Mereka tersenyum hangat pada semua tamu, tanpa terkecuali. Akra dan Hera juga seperti bagian
keluarga. Hera terang-terangan melarang jika ada yang hendak mencium Amber atau menyentuh pipi
Amber. Akra sampai heran melihat tingkah istrinya itu.

“Bayi rentan sakit. Belum tentu yang mencium Amber sehat, kalau sakit gimana ? Kasihan Amber.”

Akra setuju dengan sikap protektif istrinya itu.

Kembali lagi pada Rico yang masih tersenyum walau beberapa kali telinganya mendengar cemoohan
orang tentang Amber yang tidak di dampingi sang ibu. Insyira hampir menampar orang-orang yang
membicarakan cucunya dengan hal-hal tidak baik. Rico menahan gelagat ibunya itu. Ia tahu. Jadilah ia
menyuruh ibunya untuk ke dalam bersama dengan Akra dan Hera.

Rico melihat ibunya berjalan menuju ke dalam rumah untuk mencuci tangan sebelum mendekati Akra
dan Hera. Setelah memastikan ibunya bersama sahabatnya, Rico kembali ke teras. Ia melihat sekeliling,
banyak tamu yang sudah hadir dan sebentar lagi acara di mulai.

***

Tiffany melihat keramaian di rumah yang ada di hadapannya ini. Tiffany juga melihat kehadiran Akra dan
Hera yang perutnya sudah tercetak dengan jelas. Ia sudah mengawasi rumah ini sejak pagi. Tapi, ia tidak
melihat Amber sekalipun. Ada rindu yang tiba-tiba datang dan menyeretnya hingga ke rumah ini.
Padahal dia sudah mencoba kabur jauh. Tapi akibat melihat wajah putrinya, ia jadi merasakan hal yang
paling yang dia benci. Rindu.

Tiffany mengendap semakin mendekati ke pintu pagar yang terbuka lebar itu. Ia melihat Rico yang
sedang melihat ke arah dalam rumah. Ada guratan lelah di mata ayah dari anaknya itu. Tidak ada cinta
yang bisa Tiffany rasakan. Selama kabur, Tiffany mencoba menggali rasa yang sekiranya ada untuk Rico.
Tapi tidak bisa ditemukan. Hampa. Tiffany hanya terus memikirkan anaknya. Hanya itu. Banyangan
wajah mungil terus menghantuinya.

“Tiffany.”

Anda mungkin juga menyukai