Anda di halaman 1dari 8

Cerpen

Bakso Pak Karso

“Ayo ikut, Ri,” ajak Tyo. “Aku mau makan bakso pak Karso. Pas mendung begini, enak. Hangat dan
lezat.” Bakso itu memang enak, apalagi bakso bulat besar yang ada isi telurnya. Empuk digigit dan bikin
ketagihan.

Eri menggeleng. “Minggu depan saja aku ikut. Lagipula ini sepatuku basah. Kakiku jadi agak dingin,”
jawab Eri. Ia ingin ikut makan bakso pak Karso, sayang uangnya belum cukup. Sudah seminggu lebih Eri
menabung, rupanya masih kurang sedikit lagi. Ia sudah menghitung tabungannya tadi pagi. Belum cukup.

Eri, Tyo dan teman-temannya baru selesai latihan sepakbola. Di samping lapangan ada warung bakso pak
Karso. Eri suka bakso itu. Apalagi dimakan setelah latihan, wah lezatnya luar biasa.

Eri segera berjalan pulang. Sepatu kanannya berlepotan lumpur. Tadi ia menginjak genangan saat lari
mengejar bola umpan. Sesampainya di rumah, Eri melepaskan sepatunya di teras. Ia akan mencucinya
nanti.

Malam itu ibu memasak tempe yang digoreng dengan tepung. Ada juga tahu goreng dan sayur singkong
yang diberi santan. Ibu memberi campuran ikan teri ke dalam sayur singkong.

Eri mengambil tempe goreng tepung. Ibu menambahkan sayur singkong. Tiba-tiba Eri teringat sepatunya
yang ditinggal di depan teras. Ia segera berlari mengambilnya.

“Ri, makanannya jangan ditinggal,” kak Yogi mengingatkan. Tapi Eri sudah menghilang di pintu depan.
Kak Yogi menggelengkan kepalanya. Kak Yogi itu kakak Eri yang sudah kelas 6 SD.

“Lupa sepatuku tadi. Masih di depan,” kata Eri saat ia kembali ke meja makan.

“Lain kali makanannya ditutup dulu kalau ditinggal,” kak Yogi mengingatkan. Eri hanya meleletkan
lidahnya.

“Ri, tolong ambilkan tahu gorengnya,” ujar kak Yogi. “Sayur singkongnya juga.”

“Kak Yogi, mau ambil ikan terinya kan?” sahut Eri. “Tuh, si Langton sudah nunggu di kaki kak Eri.”
Langton mengeong mendengar namanya dipanggil. Ia menggosokkan badannya di kaki kak Yogi.
Langton itu kucing kesayangan kak Yogi. Warnanya belang hitam dan coklat.
Kak Yogi tertawa nyengir. Ia memisahkan beberapa ikan teri di pinggir piringnya. Ia akan
memberikannya ke Langton nanti.
“Aku suka tempe goreng tepungnya bun,” Eri memperhatikan potongan daun berwarna hijau di
tempenya. “Ini daun bawang ya bun?”
“Tepungnya ditambah irisan daun bawang supaya lebih enak,” jawab bunda tersenyum.
“Daun bawang yang sama seperti di kuah bakso ya bun?” tanya Eri lagi. Bunda mengangguk.
“Daun bawangnya membuat bau tempe ini harum,” Eri membaui tempenya. Ia jadi teringat bakso pak
Karso.
Kak Yogi tertawa melihat tingkah Eri. “Kamu ingin bakso ya?” tanya kak Yogi.
Eri memelototi kak Yogi.
Seminggu kemudian, Eri latihan sepakbola seperti biasa. Tapi kali ini ia lebih gembira dari biasanya.
“Tyo, habis latihan makan bakso, yuk” ajak Eri berbisik. Ia sedang pemanasan. Eri tak ingin suaranya
terdengar Pak Beno, pelatih sepakbola. Tyo hanya mengangguk.

Hari itu porsi latihan sepakbola ditambah 30 menit oleh pak Beno. Ada tambahan latihan passing dengan
bola memantul. Eri agak kewalahan menendang bola yang memantul di depannya. Tendangannya masih
kurang pas.
“Kamu duluan saja, Tyo,” ujar Eri. Ia ingin bisa. “. Aku mau latihan passing ini sedikit lagi.” Akhirnya,
15 menit kemudian, tendangannya sudah tidak melenceng.
Eri tergesa-gesa pergi ke warung bakso itu. Sayang sekali, teman-temannya sudah pulang. Ia agak
kecewa. Tapi itu tak mengurungkan niatnya makan bakso.
“Pak, bakso saya dibungkus saja,” pinta Eri. Ia akan membawanya pulang. Makan bakso di rumah pasti
nikmat, pikir Eri.
“Hmmm…, satu bakso besar isi telur dan 3 bakso biasa,” Eri menggumam sambil menuangkan bakso itu
ke mangkok. Ia membuka bungkusan mi dan daun bawang. “Ini dia daun bawang yang bikin harum.” Ia
lalu meraih bungkusan kuah bakso.

“Ri, ada Tyo dan Hari di depan. Katanya mau buat PR bersama,“ ucap kak Yogi. Ia masuk ke ruang
makan sambil membawa buku cerita barunya.

“Oh iya, memang ada PR,” sahut Eri.

Meeeooong, Langton mengeong di kaki kak Yogi. Kak Yogi lalu mengangkatnya.

“Aku kerjakan PR di ruang tengah ya kak,” kata Eri. “Kak Yogi baca di mana?”

“Gampang, Ri,” jawab kak Yogi.

Eri segera mengajak teman-temannya masuk. Rupanya Tyo dan Hari pulang dan mandi dulu karena
selesai latihan sepakbola badan mereka kotor dan berkeringat.

“Gak enak kalau belajar, kalau badanku basah kena keringat. Gatal. Lengket semua,” ucap Tyo. Eri
mengangguk tertawa. Eri, Tyo dan Hari lalu sibuk mengerjakan PR. Sejam kemudian, Tyo dan Hari
pulang.

Eri masuk ke ruang makan. Ada kak Yogi sedang asyik baca buku.

“Kak, baksoku kok tinggal dua?” Eri terkejut. “Bakso besar yang berisi telurnya gak ada.” Ia mulai
merengut.

“Kok bisa?” kak Yogi ikut mengintip mangkok itu.

“Aku kan susah payah ngumpulin uangnya,” kesal Eri. Sekarang, ia melotot ke kak Yogi.

“Eh, aku gak ngambil Ri,” ucap kak Yogi. “Aku sibuk baca.”

“Tapi kan kak Yogi yang ada di sini. Masa hilang sendiri?” Eri tak percaya.

Bluk…. Ada suara tumbukan lembut di meja. Eri menoleh ke meja. Si Langton memasukkan kaki
depannya ke mangkok bakso. Langton sedang mengambil satu butir bakso. Eri melongo.

“Eh, Langton….Hus… Hus,” kak Yogi mengusir Langton, si kucing, dari meja. Kak Yogi memandang
Eri kasihan.

“Yaaa…. Langton,” Eri sungguh kesal. “Gak jadi makan bakso, kak.” Eri lupa menutup mangkok
baksonya. Eri tersenyum kecut.
Cerpen

Kejutan Untuk Nadia

Nadia memandang lubang di tas sekolahnya. Ia lalu melongok ke bawah meja. Tak lama kemudian,
tangannya dimasukkan ke bawah meja. Ia lalu termenung melihat buku tulisnya. Aduh, kurang 25 menit,
pikirnya. Sekali lagi ia mengaduk-aduk tasnya. Nadia menghela napas. Duh, bagaimana ini, pikirnya.
Keringat dingin mulai mengalir di dahinya. Tangannya juga mulai berkeringat. Nadia gelisah.

“Gak nulis?” bisik Tiara, teman sebangkunya. “Sebentar lagi dikumpul.”

“Pensilku gak ketemu. Jatuh mungkin,” balas Nadia lemas. Ia meremas-remas tangannya.

“Pakai punyaku. Cepat. Masih ada waktu.” Tiara memberikan pensil cadangannya. Ia segera tenggelam
lagi dengan tulisannya.

Nadia agak lega. Ia segera memikirkan tugas puisi hari itu. Waktunya tak banyak lagi. Ia bergegas
mengerjakannya.

Nadia melihat hasil tulisannya. Ia mengerutkan dahinya. Ia berharap puisinya cukup menarik. Ia sungguh
khawatir.

***

Tiga hari kemudian…

“Aduh, pensilku hilang lagi,” keluh Nadia. Padahal lubang di tasnya sudah ditambal. Ia memeriksa
tasnya sekali lagi. Pantas saja, ada lubang baru di tasnya itu. Nanti aku harus menjahitnya lagi, pikir
Nadia. Tapi pensilnya terlanjur hilang.

Bel masuk belum berbunyi. Tiara duduk di sebelahnya. Ia meletakkan tas sekolahnya.

“Nad, ikut aku yuk,” seru Tiara. Ia menarik tangan Nadia keluar kelas. “Lihat, puisimu dipasang di
mading oleh bu Nuri. Puisimu bagus.”

“Eh, dipasang ya?” Nadia memerah mukanya. “Waduh, aku jadi malu.”

“Bagus kok,” puji Tiara. “Buatkan aku puisi Nad. Dua buah ya,” pinta Tiara.

“Puisimu kan bagus juga. Untuk apa minta puisiku,” jawab Nadia geli.

“Ayolah Nad,” rayu Tiara. “Aku ingin puisimu.”

“Untuk apa? Kan sudah tak ada tugas puisi lagi,” tanya Nadia heran. Tiara benar-benar aneh.

“Ayolah… Buatkan…,” rengek Tiara.

“Baiklah,” Nadia menyerah. “Nanti kuberikan kalau sudah jadi.” Nadia tak mengerti. Tiara benar-benar
aneh, pikirnya.

***

Sebulan kemudian, sepulang sekolah, Tiara mengajak Nadia ke rumahnya.

Nadia ingin cepat pulang. Banyak PR untuk besok. Ia ingin segera menyelesaikan tugasnya. Lalu ia akan
menjahit tasnya lagi. Ya, ada lubang kecil lagi di bawah tasnya. Ia tak ingin kehilangan pensil lagi.

“Ini penting,” bujuk Tiara.

Nadia heran. Tapi ia akhirnya menuruti ajakan Tiara. Ia penasaran apa yang sangat penting itu.

“Ini majalah minggu lalu,” Tiara menyodorkan majalah kesukaannya.


“Ini yang penting itu?” Nadia cemberut. Tiara benar-benar aneh.

“Iya, ini,” Tiara yang tak sabar segera membuka halaman tertentu. “Ini kejutan untukmu.” Tiara
menunjuk ke tengah atas halaman.

Nadia melihat ada puisinya di sana, ada namanya. Ia menatap majalah itu tak percaya. Lalu ia menoleh
ke sahabatnya. “Hah, puisiku dimuat,” Nadia memekik terkejut.

“Hi hi hi. Iya, puisimu. Aku mengirimkan puisi yang kau berikan padaku,” kata Tiara.

Nadia tak mendengarnya. Ia sibuk memeriksa halaman majalah itu. Hatinya berdegup kencang. Ia senang
luar biasa. Bangga.

“Ini hadiahnya. Aku memintanya dikirim ke rumahku,” Tiara menyerahkan bungkusan sambil tertawa
senang. “Ayo, dibuka.”

“Ada hadiahnya juga?” seru Nadia tak percaya. Nadia membuka bungkusan itu. Sebuah tas. Hadiahnya
sebuah tas. Nadia memandang tas di tangannya. Lalu ia ganti memandang Tiara.

“Untukku?” Nadia masih tak percaya.

“Ya, tas baru itu hadiah pemuatan puisimu. Pensilmu hilang terus. Pakai tas baru ini supaya pensilnya
gak jatuh lagi,” kata Tiara panjang lebar.

Nadia langsung memeluknya. Senyumnya tak bisa berhenti. Sahabatnya ini memang penuh kejutan.
Cerpen

Pelangi Buat Bunda

Kening Yana berkerut. Dihentakkannya kakinya. Mendung bergayut sedari pagi. Langit kelabu. Siang ini
Yana berjanji untuk datang ke rumah Rani. Yana akan membantu Rani menanam jahe. Tapi Yana takut
nanti hujan deras. Besok tidak mungkin ke rumah Rani.
“Yana jadi pergi ke rumah Rani? Mendungnya gelap sekali. Kelihatannya nanti akan hujan,” suara bunda
mengejutkan Yana. “Ada apa di rumah Rani?” Yana hanya mengangguk penuh rahasia. Bunda
memandangnya dengan heran.

Bunda meneruskan mengaduk-aduk besek rempah-rempah. “Wah…., persediaan jahe habis. Bunda mau
membuat kue jahe. Kalau udara dingin begini, enak makan kue jahe. Itu membuat badan kita jadi
hangat.” Yana membantu bunda mencari, tapi jahenya memang habis. Bunda nampak kecewa.
Siang itu gerimis rintik-rintik. Tik… Tik… Tik… Yana senang mendengar suara jatuhnya air. Rasa gerah
seharian langsung hilang. Yana berlari ke teras rumah. Ia senang dengan aroma udara hujan pertama. Bau
tanah, kata bunda. Musim hujan telah tiba. Matahari bersembunyi malu dibalik mega. Yana memandang
langit penuh asa.

Pandangan Yana beralih ke pojok kanan halaman. Ada sepetak tanah kosong. Yana teringat bungkusan di
dapur. Ia bergegas masuk kembali ke dapur. Dipungutnya bungkusan di atas meja putar. Tunas mangga
pemberian mak Inar. Mak Inar berjualan mangga di pasar. Mangga mak Inar harum dan tidak getir. Yana
suka mangga mak Inar.
“Bunda, bantu Yana menanam tunas ini ya,” ajak Yana.”Cepat bunda, sebelum gerimis lenyap.”
Bergegas mereka menanam tunas itu di pojok halaman. Yana memandang langit, matahari masih terselip
di balik awan.

“Yana…., akar tanaman ini masih kecil dan belum kuat. Tanamannya belum bisa berdiri tegak jadi
tunasnya agak miring,” ucap bunda.
Tanaman mangga itu nampak rapuh. Seakan hendak roboh. Mata Yana berkeliling menyapu halaman.
Yana berlari mengambil ranting kering di bawah pohon rambutan.
“Pakai tongkat saja, bunda.”

Yana menatap tanaman kecil itu dengan cemas. Dibantunya bunda memasang tongkat buat tunas itu.
“Tanamannya seperti pegangan,” Yana memandang dengan serius.
Sayup-sayup terdengar suara roda berputar. Yana menoleh dan melihat payung berwarna perak bergerak
mendekat. Payung itu seperti ada permatanya. Berkelap kelip karena ada bintik-bintik airnya. Dan disusul
ujung gerobak mengintip. Gerobak berwarna biru dengan kayu yang dicat hitam. Kantong-kantong
plastik bergelantungan di depannya. Bi Nunung datang. Dia selalu mengantarkan pesanan ibu setiap hari.
Hujan tak menghalangi kedatangannya.

Bi Nunung muncul di belakang gerobak dagangannya. Badannya tertutup oleh plastik biru terang. Ia
memakai jas hujan. Wajah ramahnya tersembul dari tudung jas hujannya. Aku hampir tak mengenalinya.
Di tangannya terdapat tas belanjaan bunda. Tasnya seperti hampir meledak, menggelembung disana sini.
Iya…. Bunda lebih suka memakai tas kain belanjaannya. Bunda suka mengurangi sampah plastik.
Supaya tidak merusak lingkungan, kata bunda.

Bunda menyambut belanjaannya dari bi Nunung “Terima kasih. Saya kira tidak datang.”
Bi Nunung mengangguk “Banyak belanja titipan hari ini, bu. Jadi ya tetap keliling. Kasihan
langganannya kalau tidak diantar belanjanya.”
Gerobak biru itu melanjutkan perjalanannya menembus gerimis.

“Yana…. Ayo menunggu di teras saja, kalau memang masih mau melihat hujan gerimis ini,” ujar bunda.
Yana mengalihkan pandangannya dari awan dan melangkah menuju teras dengan tergesa. Yana berharap
pelangi muncul. Ia suka warna-warni yang indah itu.

“Tunggu disini ya… Bunda punya sesuatu kejutan buat Yana,” senyum bunda penuh rahasia. Bunda
masuk ke dapur membawa kantong belanjanya.
Sore itu, Yana berdiri di depan pintu putih itu. Tidak ada Rani disitu. Yana kesal. Rani berjanji
menunggunya di depan. Dengan terpaksa diketuknya pintu itu. Yana semakin cemberut, jarinya sakit.
Tiba-tiba pintu itu terbuka. “Ah….., Yana. Masuklah. Aku baru selesai membuat kue.” Baju Rani penuh
dengan tepung. Rani menarik tangan Yana. Tidak dipedulikannya Yana yang cemberut. Rani menyeret
Yana ke dapur. Dengan sedikit meringis menahan sakit, diikutinya Rani.
“Tara……. Ini kue buatanku.” Rani tersenyum lebar.
“Buat sendiri?” Yana terbelalak kagum. Diangkatnya sepotong kue, dihirupnya aromanya. “Wangi. Kue
apa?” Kesalnya berkurang, tapi ia masih cemberut.

“Ini bolu kukus. Ada hijau, oranye, merah dan tentu saja pink. Warna kesukaanku,” Rani tertawa.
“Seperti bunga tulip ya.”
Yana memperhatikan kue itu dengan kening berkerut “Susah gak buatnya?” Sebuah ide terbentuk di
benaknya.
Rani melihat Yana dengan geli “Gampaaang… Gak susah kok.” Sebelum Yana banyak bertanya, Rani
menyeretnya ke halaman belakang. “Ayo… Kita tanam jahenya. Biar bisa buat bolu jahe.”
Sambil tersenyum-senyum Rani menunjukkan pot yang sudah disiapkan. “Ini potnya. Sudah ada
tanahnya.”

“Jahenya mana?” Yana melotot. “Khan mau tanam jahe.”


Rani tergelak-gelak “Iyaaa…. Lupa. Aku memang pelupa.” Rani kembali ke dapur.
Yana sedikit cemberut. Ia mondar-mandir tak sabar menunggu Rani mengambil jahe. Tak lama
kemudian, Rani kembali dengan dua genggam jahe. Mereka sibuk menanam jahe dalam pot.
“Tiap hari harus disiram dua kali. Kalau tidak, nanti jahenya mati,” dengan serius Yana menjelaskan.
“Bagaimana? Jangan lupa.”
“Aduuh…, aku ini pelupa,” jawab Rani tersenyum malu.
Yana mengerutkan keningnya. Aha….., ia teringat tanaman mangganya. Ia mendapat ide.
“Itu ada ranting. Ditanam di sebelah jahe. Buat pengingat.”
Rani masih belum mengerti maksud Yana.

“Aku lihat tadi ada lonceng-lonceng kecil. Itu hiasan tas sekolahmu. Bawa ke sini, ya. Aku dapat ide,”
Yana masih sibuk menanamkan ranting. Walaupun bingung, Rani mengambil hiasan lonceng-
loncengnya. Dia memberikannya ke Yana.
“Nah…. Sekarang pasti gampang mengingatnya,” Yana memandang puas.
Rani tertawa geli. Hi hi hi…… Yana memasang lonceng di pot jahenya. Supaya Rani tidak lupa
menyiramnya.

“Ayo…. Kita pindahkan potnya ke dekat jendela,” Yana mengajak Rani. Berdua mereka mengangkat pot
itu. Rani terkikik geli melihat loncengnya bergerak-gerak. Lucu. Dan….. Ting…Ting…Ting….Ting….
Senyum Rani makin lebar “Waahhh…… merdunya suara lonceng ini. Aku rasa aku akan ingat.”
Yana bangga bisa membantu temannya. Yana senang. Ia tidak ingin tanaman itu mati. Yana suka
tanaman. Rani suka buat kue. Rani yang tidak bisa berhenti tersenyum mengajak Yana makan kue bolu
kukusnya.

“Enak,” Yana memandang bolu kukus itu. Dahinya berkerut. Tanpa sadar Yana memelototi kue itu.
“Ajari aku buat kue. Kue yang indah,” Yana menengok ke Rani.
Rani tersenyum, “Mulai besok ya….. Aku tahu kue yang cocok.”
Yana gelisah. Ia mengintip di jendela. Ah…. Bunda belum datang. Ia berlari ke meja makan. Diintipnya
lagi kotak yang susah payah dibawanya dari rumah Rani.
Tiba-tiba didengarnya suara pagar terbuka. Bunda baru sampai ke pintu dan Yana sudah menariknya ke
dalam.
“Ini buat bunda,” kata Yana tergesa-gesa.

“Harum sekali baunya. Yana buat sendiri?” tanya bunda. Yana mengangguk. Bunda membuka kotak itu
dan tersenyum. Ia memotong kue itu dan melihat dengan takjub.
“Kuenya berwarna warni seperti pelangi. Ini kue yang indah. Hmmm….Ada rasa jahe kesukaan bunda,”
ucap Bunda memejamkan matanya sambil memakan sepotong kue itu.
“Selamat ulang tahun, bunda,” ucap Yana. Bunda memeluknya. Kue pelangi buat bunda. Yana senang
bunda bahagia.
Cerpen

Sepatu Bolong Reno

Olive dan dua temannya tertawa. Ibu jari kaki Reno terlihat keluar dari ujung sepatunya yang bolong.
Bolongnya tepat di jempol kaki kanannya.
Reno tidak memakai kaos kaki. Kulit di sekitar ibu jarinya terlihat kebiruan, karena selalu menendang
bola dengan sepatunya yang bolong.

"Gimana bisa menangin pertandingan kalau pakai sepatu begitu," ledek Irna.

Reno cuma tersenyum masam mendengarnya.

"Kenapa tidak pakai kaos kaki?" Irwan berbisik setelah mereka melewati Olive dan teman-temannya.

"Sudah kesiangan. Ada di dalam tas. Nanti saja dipakai pas latihan," sahut Reno.

"Bolongnya makin lebar," irwan melirik ke bawah.

Reno tidak peduli. Ibu jari kakinya ia putar-putar.

"Sepatuku sudah sedikit sesak. Aku tidak bisa bergerak bebas," bisik Reno ke telinga Irwan. Matanya
mengikuti dua kupu-kupu yang terbang di sekitar tanaman hias di samping lapangan futsal.

Kupu-kupu itu seperti adik dan kakak. Atau seperti ibu dan anak. Seperti ia dan bunda. Seperti ia dan
sepatu futsal pemberian Bunda.

Reno melirik sepatu lusuhnya. Semakin terlihat kecil sekarang. Bunda

memberikannya sebagai hadiah karena berhasil memasukkan gol di hari pertama pertandingan fulsal dua
tahun yang lalu.

"Jangan dipakai lagi," kata Irwan, membawa pergi bola di depannya.

**

Sepatu futsal dari bunda sudah usang. Warnanya tidak lagi secerah taman bunga milik bunda. Setiap
habis dicuci pun bau keringat kaki Reno tidak bisa hilang.

Tadi pagi Olive dan teman-temannya mengolok-olok sepatu lusuh Reno lagi. Olive mengajak teman-
temannya untuk menutup hidung sewaktu Reno lewat.

Reno duduk bersimpuh di depan sepatunya. Sepatu itu selalu mengingatkannya dengan bunda. Setahun
lalu, waktu tim futsal Reno berhasil memenangkan lomba, Bunda mengajaknya membeli sepatu
fulsal baru. Karena senang, Reno tidak bisa diam duduk di belakang bunda. Reno terus bercerita tentang
pertandingan dan keinginannya untuk segera memamerkan sepatu barunya.
Perhatian bunda terbagi antara Reno dan jalan raya. Motor bunda jadi hilang keseimbangan. Bunda jatuh
ke dalam selokan yang kering dan Reno jatuh di jalan aspal yang panas. Bunda menahan sakit. Kaki
bunda keseleo. Bunda duduk dan menanyakan bagaimana keadaan Reno.

"Sepatunya baruku bolong, Bunda. Aku tidak bisa memamerkan ini ke teman-teman,"

Bunda tersenyum lega.

"Nanti kalau Bunda sudah punya uang, kita beli yang baru lagi, ya. Untuk sementara pakai sepatu itu
dulu."

"Tapi bunda...,"

"Sepatu lama juga masih bisa dipakai...,"

Reno diam. Tidak berani membantah Bunda.

"Apa larimu akan lambat dengan sepatu yang bolong?"

Reno menggeleng. "Aku memiliki kaki seperti gurita. Bisa melesat cepat seperti hewan itu biar dengan
dua kaki," kata Reno bersemangat. "Akan aku buat gol-gol mengagumkan dengan sepatu ini."

Bunda tersenyum. Membelai rambut Reno. Nyatanya, sampai hari ini Reno tidak mau mengganti sepatu
futsalnya. Biarpun ia selalu diejek Olive dan teman-temannya. Padahal Bunda sudah membelikan yang
baru lagi.

Sepatu futsal bolong itu sudah menjadi penyemangat. Bunda bilang, kelincahan kaki Reno lebih penting
dari pada sepatunya. Bunda bilang, kaki Reno kuat dan lentur ketika berlari mengejar bola, Kaki Reno
memang seperti kaki-kaki gurita.

Begitu kata Bunda.

Anda mungkin juga menyukai