Anda di halaman 1dari 4

Lelah. Hanya itu yang mampu diucapkan gadis dengan balutan pakaian renang one piece-nya.

Lima
putaran non-stop adalah bukan rekor yang baru pertama kali ia buat. Bukan, ia bukan perenang. Itu
hanya hobi yang menjadi kebiasaan dan akhirnya mendarah daging yang dilakukan saat otaknya dan
raganya tak lagi sinkron dalam memecahkan masalah.

Cukup. Besok ia bisa ketempat ini lagi dan membuat rekor baru yang akan ia pecahkan sendiri.

Saat ia hendak masuk ke flat kecil yang ia huni sendiri, sebuah paket terletak manis didepan pintu
flatnya. Tanpa ia buka dan lihat, ia tahu siapa pengirim paket kecil itu. Armar.

Rain mengambil paket berukuran kecil itu ke dalam flat. Perlahan dibukanya paket kecil itu. Benar,
terdapat nama pengirim dan nama penerima. Ayahnya.

From : Armar R. Clark

To : Fujii Rainy Clark

Xxx, 99-xxx-xxx, Amsterdam.

Kali ini paket kecil itu berisi gelang dengan ukiran nama kecilnya yang mengitari gelang tersebut.
Indah sekali. Rainy.

Entah mengapa ayahnya setuju dengan ibunya saat memberikan nama Rainy untuknya. Alasan
ibunya ialah agar ia terlahir sebagai anak yang menjadi penyejuk didalam keluarga kecil mereka.
Huft. Ia hampir senang saat itu, jika saja kakak lelakinya tidak meledek tentang arti namanya.

"Ma, saat hujan, kita tidak hanya merasakan sejuk. Tetapi, terkadang terjadi hujan yang mengerikan.
Hujan badai. Dan itu memang mirip dengan Rain. Akan ada badai saat dia marah. Hahaha."

Rain tersenyum masam, kapan masa itu kembali lagi ? Ahh...lebih tepatnya, bisakah ia meminta
pada Tuhan untuk mengembalikan kakak dan ibunya ?

Rain menyingkirkan kotak perhiasan itu. Tidak tertarik apalagi tersentuh. Ayahnya memang tidak
berubah. Selalu berusaha merebut hatinya. Rain bukannya tidak tahu jika Ayahnya memata-matai
dirinya. Tapi Rain berusaha tak acuh.

Ia selalu berpikir, tidakkah Ayahnya cukup dengan keluarganya saja. Tidak perlu mengusik
kehidupannya. Ia tidak butuh apa pun. Kehidupan yang dibangunnya sudah cukup kokoh. Tidak perlu
ada angin badai yang menguji kekuatannya.

Tapi yang namanya hidup, memang selalu ada cobaan. Sama seperti hari ini, sejak pagi memang
suasana hatinya sudah tidak nyaman. Dan siang ini, ponselnya terus berbunyi menampilkan nama
Armar. Tentu saja Rain tidak menerima panggilan itu ia mengabaikan sama seperti sebelumnya.

Deringan terakhir berhenti dan tak lama, sebuah pesan masuk dari orang yang sama.

‘Papa ke Belanda besok pagi.’

Rain tak acuh. Mau Ayahnya ke mana ia tidak peduli. Sekalipun ke tempat tinggalnya. Ia hanya cukup
menghindar atau memohon untuk dipekerjakan keluar kota.
***

“Belanda tidak berubah.” Kata Armar pada Danny yang pagi itu menjemputnya.

Danny menyalami adik ibunya ini hangat. Sudah dua tahun tidak berjumpa secara langsung dan
Danny tidak melihat ada perubahan dari Armar.

“Mama sudah pesan Om harus menginap di rumah selama di Belanda.”

Armar memgangguk lalu mengikuti Danny yang akan membawanya ke kediaman adiknya. Sepanjang
jalan, Armar terus bernostalgia. Kota ini kota kelahirannya, juga kota kelahiran anak-anaknya. Dan
kota yang mempertemukannya dengan belahan jiwanya.

“Om sendiri ? Veera dan Tante Amanda gak diajak ?”

“Tante kamu ada operasi minggu ini, Veera juga masih ada ulangan. Lagipula kamu tahu sendiri
alasan mereka tidak ikut selain kegiatan mereka.”

Danny mengangguk mengiyakan. Ia teringat gadis yang pagi ini melemparinya dengan gulungan tisu.
Mereka bertengkar karena Danny memaksa Rain untuk ikut ke bandara. Adu pendapat sudah
menjadi ciri khas mereka. Tapi jangan ditanya tentang kasih sayang. Keduanya akan saling pasang
badan jika salah satu ada yang menyakiti.

“Besok tolong antar Om ke tempat Rain, ya ?” pinta Armar.

Danny mengangguk menyetujui. Ia akan memilih waktu yang tepat agar pamannya ini bisa bertemu
anaknya yang keras kepala.

***

“Aku tidak segan untuk memutuskan hubungan dengamu jika kamu melanggar apa yang sudah
pernah kita sepakati.”

Danny menghela nafas keras mendengar ancaman melalui telepon pintar yang ada ditelinganya.

“Kita ada di pihak ya sama kan ?”

“Aku tidak berpihak pada siapa pun. Netral.” tegas Danny sambil membalik halaman laporan yang
sedang ia baca.

Diseberang sambungan telepn itu, Rain melempar Apple pencil yang ia gunakan untuk mendesain.
Rasa kesalnya menumpuk saat Danny tidak mau sependapat dengannya.

“Oke. Silahkan datang dan hubungan kita semakin buruk, ah, bukan. Jika kamu mau melihat
hubungan kami semakin buruk, silahkan lakukan appaun rencana kalian.”

Danny nyengir lebar mendengar ancaman demi ancaman dari Rain. Ia sangat tahu tabiat sepupunya
ini.

Rain sendiri sudah grasak-grusuk di dimeja kerjanya. Rekan semejanya bahkan tidak bisa
menghentikan Rain. Ini tandanya ada yang mengusik ketenanga Rain.
“Rain. Please, stop rusuh ?” seru rekan kerjanya dengan logat asing yang mengatakan ‘rusuh’ seperti
yang sering Rain katakan.

“Sorry.”

Ia mengambil apple pencil yang tadi dia lempar sembarang dan mulai melanjutkan desain sebuah
rumah yang sempat tertunda.

Sedangkan diseberang sana, di tempat Danny sedang duduk membaca laporannya. Armar tertawa
mendengar gerutuan Danny. Lelaki berusia 28 tahun itu Sednag mengadukan semua tingkah Rain
lada Armar. Tujuannya tentu agar pamannya bisa mengetahui semua keseharian putrinya.

“Rain suka menginap disini kok Om.” Jelas Danny sambil berterima kasih pada ibunya.

“Iya, suka menginap lalu pulang membawa jatah makanan selama seminggu. Minggu depannya
kembali lagi dan begitu seterusnya.” Tutur Anna kesal.

Armar tertawa kecil mendengar keluh kesah adiknya. Ia memang tidak tahu apa pun tentang
putrinya. Terima kaishnya untuk keluarga adiknya tidak akan ada habisnya. Rain tumbuh menjadi
gadis tangguh juga tidak lepas dari pengawasan Anna.

“Jangan beritahu jadwal kepulanganmu. Lusa itu jadwalnya Rain datang untuk mengobrak-abrik
rumah ini.”

Armar menyetujui perkataan Anna. Ia juga sangat ingin bertemu. Tujuannya ke Belanda selain
karena ingin mengunjugi peternakan sapi miliknya dan iparnya juga ingin mengunjungi putrinya yang
lama tak pulang. Jika pun pulang, gadis itu akan memilih untuk menginap di hotel atau di kediaman
sahabatnya.

Jika ada yang ingin menertawakan tentang kehancuran keluarganya, ia tidak akan marah. Ia
mengaku salah karena tidak membiarkan apa yang terjadi dikeluarganya berlarut-larut. Hingga tidak
ada yang bisa diperbaiki lagi. Putrinya menjauh, sejauh yang selalu dilakukan putrinya sejak 16 tahun
lalu.

Hanya empat tahun Setelah kematian istrinya ia masih bisa memeluk tubuh putrinya yang dulu
penurut. Setelahnya, putrinya berubah total. Sejak ia memutuskan untuk menikah dengan sabahat
dari mendiang istrinya. Sejak saat itu, Rain tidak lagi memandangnya dengan hangat.

Dia tak hanya kehilangan jiwa Rain, tapi raganya pun ikut menjauh. Jauh sebanyak mereka
kehilangan.

“Aku ke peternakan.” pamit Armar.

Anna dan Danny memandang sosok tampan walau usianya sudah lebih setengah abad.

“Mama akan memarahi Rain. Lihat saja.”

Danny tertawa mendengar ancaman ibunya. Ia heran, mengapa semua wanita di keluarganya sangat
suka mengancam ?

Anda mungkin juga menyukai