Anda di halaman 1dari 18

PERENCANAAN PAJAK

3.1 Kompetensi Dasar

Setelah mempelajari Bab ini diharapkan, mahasiswa mampu menerapkan strategi yang
tepat untuk melakukan efisiensi pajak, pada saat melakukan pemotongan PPh pasal 21
dan PPh pasal 26

3.2 Pendahuluan

Dengan berlakunya UU nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, pada awal tahun
2009, maka pelaksanaan PPh pasal 21diubah dan disesuaikan dengan UU yang baru.
Adapun dasar hukum pengenaan PPh pasal 21 yang mulai berlaku tahun 2009 adalah:
a. UU nomor 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas UU nomor 6 tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
b. UU nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas UU nomor 7 tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan
c. PMK Nomor 250/PMK.03/2008 tentang besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun
yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan
d. PMK nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk pelaksanaan Pemotongan Pajak atas
Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan , Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi
e. PMK nomor 254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan
Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap
lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan
f. PER Dirjen Pajak nomor 31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tentang Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21dan atau Pajak
Penghasilan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan , Jasa dan Kegiatan Orang
Pribadi yang kemudian direvisi dengan PER Dirjen Pajak nomor 57/PJ/2009

Pemotong PPh Pasal 21

Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh:
a. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau
bukan pegawai;
b. Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain
dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;
d. Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas;
dan
e. Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan
pelaksanaan suatu kegiatan.

3.3 Subjek PPh pasal 21 dan PPh pasal 26

Subjek PPh pasal 21 dan PPh pasal 26 adalah orang pribadi yang menerima penghasilan
yang menjadi objek PPh pasal 21 dan PPh pasal 26, mereka adalah:
a. Pegawai
Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, berdasarkan
perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk
melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan
memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian
pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja, termasuk orang pribadi
yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri. (Pasal 1 angka 9 PER-31/PJ/2012)
b. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya
c. Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pemberian jasa
Penerima penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi:
• selain Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas,
• yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan jasa yang
dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.(Pasal
1 angka 12 PMK-252/PMK.03/2008) meliputi:
1) tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2) pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman
lainnya;
3) olahragawan;
4) penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5) pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6) pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta
pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
7) agen iklan;
8) pengawas atau pengelola proyek;
9) pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi
perantara;
10) petugas penjaja barang dagangan;
11) petugas dinas luar asuransi;
12) distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan
sejenis lainnya;
13) Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap
sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama
d. Mantan pegawai
e. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
keikutsertaannya dalam suatu kegiatan
f. Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu,
termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan,
pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan
sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut.

3.4 Objek PPh Pasal 21

a. penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang
pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan
komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang
sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan teratur, beasiswa, hadiah,
premi asuransi yang dibayar pemberi kerja dan penghasilan teratur lainnya
dengan nama apa pun;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa
produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan
tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang
sifatnya tidak tetap dan yang biasanya dibayarkan sekali dalam setahun;
c. upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan;
d. uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Tunjang Hari Tua (THT),
uang pesangon, dan pembayaran lain sejenis;
e. honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak dalam negeri, termasuk tenaga ahli, pemain musik, pembawa acara,
penyanyi, pelawak, bintang film, olahragawan, penasehat, pengajar, pelatih,
penceramah, moderator, pengarang, peneliti, pemberi jasa dibidang teknik,
kolportir iklan, pengawas, pengelola proyek, pembawa pesanan peserta
perlombaan, petugas penjaja barang dagangan, petugas dinas luar asuransi,
peserta pendidikan, pelatihan, dan pemaganggan;
f. penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dengan nama apa pun yang
diberikan oleh bukan Wajib Pajak.

3.5 Bukan Objek PPh Pasal 21 adalah:

a. pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi


kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
b. penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama
apa pun yang diberikan oleh Pemerintah dan wajib pajak;
c. iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan Menteri Keuangan dan penyelenggara Taspen serta THT
kepada badan penyelenggara Taspen dan Jamsostek yang dibayar oleh
pemberi kerja;
d. penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama
apa pun yang diberikan oleh Pemerintah;
e. kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja.

3.6 Kebijakan Pemotongan PPh Pasal 21

a. PPh Pasal 21 ditanggung oleh karyawan (potong gaji)


Metode ini lazim disebut Metode Gross. Dalam hal ini jumlah PPh pasal 21 yang
terutang akan ditanggung oleh karyawan itu sendiri, sehingga benar-benar
mengurangi penghasilan. Istilah yang sering digunakan adalah PPh pasal 21
dipotong oleh perusahaan
b. PPh Pasal 21 ditanggung oleh perusahaan
Metode ini disebut Metode Net. Dalam hal ini jumlah PPh pasal 21 yang terutang
akan ditanggung oleh perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian gaji yang
diterima oleh karyawan tidak dikurangi PPh pasal 21. Penghitungan PPh pasal 21
tidak dilakukan dengan cara gross up. PPh pasal 21 yang ditanggung perusahaan
tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan perusahaan , karena tidak
diperlakukan sebagai komponen penambah pendapatan dalam SPT PPh pasal 21
c. PPh Pasal 21 diberikan dalam bentuk tunjangan
Metode ini lazim disebut Metode Gross Up. Jika PPh pasal 21 diberikan dalam
bentuk tunjangan, maka tunjangan tersebut akan menambah penghasilan
karyawan dan dikenai PPh pasal 21. Dalam hal ini penghitungan PPh dilakukan
dengan cara Gross Up, dimana besarnya tunjangan pajak sama dengan jumlah
PPh 21 terutang untuk masing-masing karyawan.

Dasar Penghitungan PPh Pasal 21

Dasar Pengenaan Pajak


Penghasilan Kena Pajak
1. Pegawai Tetap
Penghasilan Bruto xxx
Biaya Jabatan xxx
Penghasilan Neto xxx
PTKP xxx
Penghasilan Kena Pajak xxx

2. Penerima Pensiun
Penghasilan Bruto xxx
Biaya Pensiun xxx
Penghasilan Neto xxx
PTKP xxx
Penghasilan Kena Pajak xxx
3. Pegawai Tidak tetap
Penghasilan Bruto xxx
PTKP xxx
Penghasilan Kena Pajak xxx

4. Bukan Pegawai
Yang termasuk bukan pegawai adalah:
• Distributor MLM
• Petugas Dinas luar asuransi
• Penjaja barang dagangan yang tidak berstatus pegawai
• Penerima penghasilan bukan pegawai lainnyayang menerima penghasilan
dari pemotong PPh pasal 21 secara berkesinambungan dalam 1(satu)
tahun kalender

Penghasilan Bruto xxx


PTKP yang dihitung bulanan xxx
Penghasilan Kena Pajak xxx
• Pegawai tidak tetap yang menerima upah harian, mingguan, upah satuan,
borongan sepanjang upah kumulatif yang diterima dalam satu bulan
belum melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak Sendiri

Penghasilan Bruto xxx


Batasan PPh (21) ayat 4 xxx
Penghasilan Kena Pajak xxx

Pengurangan Yang Diperbolehkan


a. Biaya Jabatan
Pengurangan ini diperbolehkan tanpa memandang karyawan tersebut
memiliki jabatan structural atau tidak. Hanya boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto pegawai tetap, karena dianggap sebagai biaya untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dari pekerjaan /
jabatannya
Besarnya biaya jabatan telah ditetapkan sebesar 5% dari penghasilan bruto
dan setinggi-tingginya Rp. 6.000.000 (enam juta rupiah) setahun atau Rp.
500.000 (lima ratus ribu) sebulan
b. Biaya Pensiun
Hanya boleh dikurangkan dari penghasilan bruto seorang pensiunan yang
berupa uang pension yang dibayarkan secara berkala (bulanan) karena
dianggap biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara uang pensiun.

Biaya pensiun telah ditetapkan sebesar 5% dari penghasilan bruto atau


setinggi-tingginya Rp. 2.400.000 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun
atau Rp. 200.000 (dua ratus ribu rupiah) sebulan. Biaya pension yang boleh
diperhitungkan dalam perhitungan PPh pasal 21 pensiunan adalah berdasarkan
bulan perolehan yang sebenarnya. Artinya, batas maksimal biaya pensiun
dihitung berdasarkan bulan perolehan pensiun pada tahun pajak yang
bersangkutan

c. Iuran Yang Terkait Dengan Gaji


Yaitu Iuran yang dibayar oleh pegawai kepada dana pension yang
pendiriannya telah disahkan oleh Kementerian keuangan atau badan
penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang dipersamakan
denga dana pension yang pendiriannya telah disahkan oleh Kementerian
Keuangan.

Catatan:
Pengurangan pengasilan bruto berupa iuran pensiun dan iuran JHT yang
ditanggung atau dibayar sendiri oleh karyawan biasanya hanya diperuntukkan
bagi pegawai tetap, dengan ketentuan:
• Iuran pensiun yang terikat gaji dan dibayarkan pada dana pension yang
pendiriannya telah disahkan oleh Kementerian Keuangan
• Iuran THT kepada badan penyelenggara Taspen dan Jamsostek
d. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dalam penghitungan PPh pasal 21
merupakan batasan penghasilan yang tidak dikenai pajak, bagi orang pribadi
yang berstatus pegawai, baik pegawai tetap, pegawai tidak tetap, pensiunan,
pemagang dan calon pegawai termasuk juga pegawai harian lepas, bahkan
distributor multilevel marketingmaupun kegiatan sejenisnya, dengan
ketentuan yang berbeda-beda.

Besaran PTKP tahun 2016 adalah sebagai berikut:


• Untuk pegawai yang bersangkutan Rp. 54.000.000
• Tambahan untuk pegawai yang kawin Rp. 4.500.000
• Tambahan untuk setiap anggota keluarga
sedarah dan semenda dalam garis
keturunan lurus, serta anak angkat yang
menjadi tanggngan sepenuhnya paling
banyak 3(tiga) orang Rp. 4.500.000

Tarif Pajak:
Tarif pajak pasal 17 UU nomor 36 tahun 2008 yang berlaku mulai 1 Januari 2009
adalah sebagai berikut :
0 sd Rp 50.000.000 5%
Di atas Rp. 50.000.000 sd Rp.
250.000.000 15%
Di atas Rp. 250.000.000 sd Rp.
500.000.000 25%
Di atas Rp. 500.000.000 30%

Catatan:
Mulai 1 Januari 2009, sesuai dengan Pasal 21 ayat (5a) UU PPh tahun 2008, wajib
pegawai yang tidak mempunyai NPWP akan dikenakan tariff pajak 20% lebih
tinggi dari tariff normal yang berlaku.
PPh pasal 21 bersifat final

PPh pasal 21 bersifat final dikenakan kepada:


• Penerima pesangon , uang tebusan pension, THT atau JHT yang dibayarkan
sekaligus (PP nomor 149 tahun 2000)
• Honorarium dan imbalan lain, dengan nama apapun yang diterima oleh
Pejabat Negara, PNS, anggota TNI / POLRI, yang sumber dananya berasal
dari kuangan Negara atau keuangan daerah, kecuali yang dibayarkan kepada
PNS golongan IId ke bawah dan anggota TNI / POLRI berpangkan Pembantu
Letnan Satu ke bawah ata Ajun Inspektur Tingkat Satu ke bawah.
• Penghitungannya dilakukan dengan menerapkan tarip 15% x penghasilan
bruto.

Rekonsiliasi PPh Pasal 21

Untuk meyakinkan bahwa seluruh objek PPh pasal 21 telah dipotong pajaknya, perlu
dilakukan rekonsiliasi antara data laporan keuangan baik yang berasal dari akun
neraca maupun akun biaya. Jika Penghitungan PPh pasal 21 dilakukan oleh Bagian
SDM , maka rekonsiliasi juga harus dilakukan untuk data SDM (Payroll) dengan data
yang ada di bagian akuntansi. Rekonsiliasi ini sangat berguna dalam rangka
pelaksanaan pengendalian dan pembuktian bahwa selirih objek PPh pasal 21 telah
dipotong PPh nya. Hal semacam ini akan memudahkan wajib pajak ketika diperika
oleh petugas pajak nantinya.

Hubungan kerja antar karyawan dan perusahaan berlaku prinsip umum yaitu
taxability – deductibility. Jika bagi karyawan merupakan taxable income, di
perusahaan menjadi deductible expense dan sebaliknya jika bagi karyawan
merupakan non taxable income, maka di perusahaan menjadi non deductible expense.
Perlakuan ini bergantung pada kebijakan yang dipilih perusahaan. Dengan prinsip ini
senantiasa akan terdapat pihak yang dikenai pajak, apakah bagi karyawan dalam
bentuk PPh pasal 21 atau bagi perusahaan dalam bentuk PPh WP Badan.
3.7 Taxabality dan Deductibility Objek PPh Pasal 21

Strategi Memaksimalkan Pengurangan (Maximazing Deductions)

Prinsip Taxability Deductibility adalah prinsip yan menjelaskan tentang pos-pos yang
dapat atau titdak dapat pajak penghasilan (objek pajak dn bukan objek pajak
penghasilan) dan pos-pos yang dapat ata tidak dapat dibiayakan (pengrang
penghasilan bruto), maka pada pihak karyawan merupakan penghasilan yag
dikenakan pajak. Sebaliknya jika pada pihak karyawan pemberian
imbalan/penghasilan tersebut bukan merupakan penghasilan, maka pada pihak
pemberi kerja tidak dapat dibiayakan

Prinsip Taxability Deductibility merupakan prinsip dasar yang lazim diterapkan


dalam perencanaan pajak, yang pada umumnya dilakukan dengan mengubah atau
mengkonversikan penghasilan yang merupakan objek pajak penghasilan menjadi
penghasilan yang bukan objek pajak penghasilan atau sebaliknya mengubah biaya
yang tidak boleh ikurangkan menjadi biaya yang boleh dikurangkan, dengan
konsekuensi adanya perubahan pajak yang terutang akibat adanya pengubahan atau
konversi tersebut. Apakah perubahan jumalah pajak terutang akan menjadi lebih
besar, lebih kecil atau sama dengan sebelumnya, tentunya harus dipertimbangkan
mana yang lebih menguntungkan perusahaan.

Jika kondisi keuangan perusahaan cukup baik, maka perlu dikaji mana yang akan
dipilih. Memberikan tambahan kesejahteraan karyawan dalam bentuk tunjangan
pajak (uang) atau dalam bentuk natura (benefit in kind)

Prinsip Taxability Deductibility Mengenai Imbalan (Natura atau Uang)


Jenis Imbalan Perlakuan Biaya Bagi Perlakuan PPh
Perusahaan / Pemberi Ps 21 Bagi
Kerja Penerima
Imbalan Dalam Bentuk Uang Deductible Taxable
Imbalan Dalam Bentuk Non Deductible Non Taxable
Natura
Penjabaran dalam bentuk natura atau kenikmatan kepada para pegawai:
Pada tahun 2016 PT Makmur Rejo menyediakan dokter dan obat-obatan, secara
Cuma-Cuma untuk perawatan kesehatan para pegawainya, termasuk layanan
melahirkan. Saat itu pegawainya berjumlah 1.000 orang, total ongkos dikeluarkan
selama setahun Rp. 360.000.000 (tiga ratus juta rupiah). Dengan kondisi yang ada
diasumsikan setahun 360 hari dan pegawai mendapat layanan kesehatan setiap hari,
maka rata biaya kesehatan 1.000 orang pegawai per hari adalah sebesar Rp. 1.000 per
orang.

Sebelum Tax Planning:


Berdasarkan pasal 4 ayat 3 huruf d UU Pajak Penghasilan, benefit in kind (biaya
berobat ke dokter dan obat) yang diterima pegawai sebesar Rp. 360.000.000 itu bukan
objek PPh (non taxable). Sebaliknya dari aspek perusahaan yang mengeluarkan biaya,
secara komersial merupakan biaya yang bisa dikurangkan dari laba bruto, namun
secara fiscal pasal 9 UU PPh, merupakan biaya yang tidak boleh dikurangkan dari
laba bruto (non deductible), sehingga harus dilakukan koreksi fiscal.

Konsekuensinya: Dalam koreksi fiskal, biaya tersebut merupakan biaya yang tidak
boleh dikurangkan dari laba bruto, maka akibatnya dalam laba neto fiscal ada
tambahan Rp. 360.000.000, sehingga akan menambah PPh sebesar Rp. 90.000.000
yaitu 25% x Rp 360.000.000

Sesudah Tax Panning:


Dengan mengubah pemberian pada pegawai dari natura menjadi tunjangan kesehatan,
maka secara fiscal (pasal 4 ayat 1 huruf a UU PPh) tunjangan tersebut merupakan
pengasilan yang dikenai PPh, disisi lain pengeluaran perusahaan untuk memberi
tunjangan kesehatan (sesuai dengan pasal 6 ayat 1 UU PP) merupakan biaya yang
diperkenankan dikurangkan dari laba bruto (deductible).

Rekomendasi:
Untk menghindari koreki fiscal maka PT Makmur Rejo untk meningkatkan
kesejahteraan pegawai sebaiknya diberikan dalam bentuk Tunjangan Kesehatan.
Penghematan PPh:
25% x Rp. 360.000.000 = Rp. 90.000.000

Dampaknya:
Karyawan merasa ada tambahan penghasilan rata-rata per orang Rp. 30.000 per bulan,
disisi lain perusahaan tidak terlalu repot menyediakan Klinik, dokter, paramedic, alat
kesehatan dan obat-obatan serta sarana prasarana pendukungnya.

Terapan Tax Planning terkait dengan PPh pasal 21


a. Klausul pajak dalam Perjanjian Kerja
Secara normative UU PPh telah mewajibkan perusahaan pemilik pekerjaan
melaksanakan pemungutan atau pemotongan PPh Pasal 21 dari pihak ketiga.
Namun sering terjadi para pemberi jasa tidak berkenan, dengan alasan pada
klausul perjanjian kerja tidak ada klausul pemotongan PPh oleh Pemilik
Pekerjaan.

Argumen yang diberikan oleh pelaksana pekerjaan memiliki justifikasi hukum


yang kuat, sehingga pemilik pekerjaan harus menanggung pajaknya,
akibatnya akan menambah beban yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Fenomena tersebut sering terjadi dalam pembuatan perjanjian atau Kontrak


Kerja yang tidak mengindahkan aspek perpajakannya. Oleh sebab itu sebelum
Kontrak Kerja ditandatangani harus dipastikan:
• Pemuatan klausul pajak dalam Kontrak Kerja yang mensyaratkan pajak
terutang harus dihitung berdasarkan nilai kontrak (di luarharga pokok
barang), yakni dikenakan dari nilai bruto kontrak dan untuk PPh 21 dan
atau PPh 26, pemberi kerja wajib memotong dari pembayarannya
• Klausul pajak secara eksplisit menyatakan siapa yang harus menanggng
PPh pasal 21 dan/atau PPh pasal 26, sehingga pajak yang terutang dan
pemotongannya didasarkan pada klausul tersebut
b. Pajak ditanggung Pemberi Kerja atau Tunjangan Pajak secara Gross Up
Seringkali dalam Kontrak Kerja ditemukan klausul yang menyatakan: bahwa
nilai kontrak adalah “net” tidak termasuk pajak, atau “pajak ditanggung
pemberi kerja”. Istilah tersebut sebaiknya digunakan secara hati-hati, karena
akan berdampak pada pemotongan pajak dan pembebanan biaya di PPh WP
Badan.
Tidak termasuk pajak, artinya:
Pajak akan menjadi beban pemberi kerja, hal ini akan mengakibatkan PPh
yang ditanggung pemberi kerja tidak dapat dibiayakan pada saat melaporkan
SPT Tahunan PPh WP Badan (non deductible expense)
Agar PPh yang ditaggung pemberi kerja dapat dibiayakan, penghitungan PPh
harus menggnakan metode Gross Up. PPh hasil perhitungan Gross Up
tersebut dimasukan dalam nilai kontrak (termasuk invoice dan faktur) atau
menambah penghasilan dari pihak pelaksana pekerjaan. Dengan kata lain
diberikan tunjangan pajak sebesar PPh yang terutang.

Ilustrasi honorarium pemberian jasa oleh orang pribadi sebagai berikut:

Net (Tidak Gross Up) Gross Up

Nilai Pekerjaan 10.000.000 Nilai Pekerjaan 10.000.000

PPh 5% 500.000 PPh 5% 526.316


Nilai Kontrak
(Net) 10.000.000 Nilai Kontrak (Net) 10.526.316

Catatan:
Tarif honorarium untuk pemberian jasa oleh orang pribadi adalah tariff pasal
17 dari nilai bruto dan PPh yang ditanggung pembei kerja sebesar Rp. 500.000
tanpa Gross Up dan tidak mengubah nilai kontrak, maka sejumlah PPh
tersebut tidak bisa dibiayakan
PPh dihitung dengan metode Gross Up akan menambah nilai kontrak sebesar

5% x Rp. 10.000.000 x 100 = Rp. 526.316


(100-5)
PPh sejumlah Rp. 526.316 menjadi unsur biaya yang bersifat deductible
expenses, karena bagi penerima menjadi unsur penghasilan sebagai objek PPh

c. Pemberian Uang Saku Secara Lump Sum


Masalah prosedur pembayaran uang saku dalam perjalanan dinas, pendidikan
ataupun jenis pengeluaran perusahaan lain nya juga seringkali menimbulkan
aspek pajak berbeda.

Pembayaran secara lump sum akan mengakibatkan PPh pasal 21 dihitung dari
seluruh nilai yang dibayarkan, meskipun didalamnya mungkin terdapat biaya
lainnya isal transportasi dan akomodasi
Pengertian lump sump, perusahaan memberi sekaligus dalam jumlah tertentu
yang meliputi uang saku, transport, akomodasi atau unsur biaya lainnya , tanpa
disertai pertanggungjawabannya dan atas bukti penggunaannya

Prosedur reimbursement, pembayaran disertai dengan kewajiban untuk


mempertanggungjawabkan penggunaan dana dengan meminta bukti
pengeluaran.
Apabila terjadi kelebihan harus dikembalikan ke Perusahaan, apabila terjadi
kekurangan dapat dimintakan kembali (reimbursement). PPh pasal 21 hanya
akan dihitung dari uang saku atau tunjangan berupa uang lain nya yang benar-
benar di terima atau diperoleh karyawan

d. Pemberian Tunjangan Makan atau Menyiapkan Makan Bersama


Sejak berlakunya UU PPh tahun 2000, makanan dan minuman bagi karyawan
sudah boleh dibiayakan di PPh Badan. Perlu dikaji, apakah perusahaan masih
hendak memberikan tunjangan makan atau menyiapkan makan bersama
sebagai pengganti tunjangan makan
Dari sisi PPh Badan dengan asumsi jumlah beban yang sama, keduanya tidak
menimbulkan pegaruh apapun, karena sama-sama bisa dibiayakan (Pasal 9
ayat 1 huruf e UU PPh tahun 2008, tetapi pemberian tunjangan makan akan
mengakibatkan bertambahnya PPh pasal 21.

Apabila hanya dipandang dari sisi fiscal lebih menguntungkan jika disiapkan
makan bersama untuk seluruh karyawan. Tetapi apabila dalam praktiknya
harus menggunakan jasa catering, harus diingat timbulnya kewajiban
pemotongan PPh pasal 23 tarif 2% dari penghasilan bruto

e. Memberikan Tunjangan Kesehatan atau Fasilitas Pengobatan


Untuk biaya kesehatan, perusahaan bisa memilih, memberikan tunjangan
kesehatan , menyediakan fasilitas pengobatan bagi karyawan atau
menggunakan reimbsement biaya pengobatan

Tunjangan kesehatan
Perlakuan pajaknya bersifat taxable deductible, artinya tunjangan kesehatan
merupakan objek PPh pasal 21 bagi karyawan dan merupakan biaya bagi
perusahaan

Fasilitas pengobatan
Perlakuan pajaknya non taxable non deductible, artinya fasilitas pengobatan
merupakan bukan objek PPh pasal 21 bagi karyawan dan merupakan bukan
biaya bagi perusahaan

Reimbusement biaya pengobatan


Perlakuan pajaknya:
Non taxable – non deductible, bila
Persyaratan reimbursement dapat terpenuhi, yaitu tidak boleh ada mark up,
bukti asli diserahkan ke perusahaan, bukti dibuat atas nama perusahaaan
atauatas nama karyawan qq perusahaan dan diatur dalam kontrak kerja antara
perusahaan dengan karyawan
Taxable – deductible, bila
Persyaratan reimbursement tidak dapat terpenuhi. Dalam hal ini esensinya
adalah karyawan menerima uang dari perusahaan yang kemudian digunakan
untuk membayar biaya pengobatan
f. Meminimalkan Tarif Pajak (PPh Pasal 21)
• Pada perusahaan yang PPh badannya tidak dikenakan PPh final,
diupayakan seminimal mungkin memberikan kesejahteraan karyawan
dalam bentuk natura. Sehingga bisa menambah biaya yang bisa
dikurangkan dari penghasilan, untk mereduksi besarnya laba, hasil
akhirnya adalah meminimalkan penghasilan kena pajak.
• Untuk perusahaan yang PPh badannya dikenakan PPh final, memberikan
kesejahteraan karyawan dalam bentuk natura adalah sebagai upaya untuk
menghindari lapisan tarif maksimal atas PPh pasal 21

3.8 Lain-Lain

a. Pemotong Pajak PPh Pasal 21 wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal
21 (KP.PPh.2.1/BP-95) baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya
pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima
uang tebusan pensiun, penerima THT, penerima pesangon, dan penerima dana
pensiun iuran pasti.
b. Pemotong Pajak PPh Pasal 21 wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal
21 tahunan (form 1721-A1 atau 1721-A2) kepada pegawai tetap, termasuk
penerima pensiun bulanan dalam waktu dua bulan setelah tahun takwim berakhir.
c. Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim,
maka Bukti Pemotongan (form 1721-A1 atau 1721-A2 ) diberikan oleh pemberi
kerja selambat-lambatnya satu bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti
bekerja atau pensiun.
d. Penerima penghasilan wajib menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong
Pajak PPh Pasal 21 yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada
permulaan tahun takwim atau pada permulaan menjadi Subyek Pajak dalam
negeri.
e. Untuk melaksanakan kewajiban PPh Pasal 21, Pemotong Pajak PPh Pasal 21 /
pemberi kerja agar menggunakan Buku Petunjuk Pemotongan PPh Pasal 21.

3.9 Rangkuman
PPh pasal 21 dan PPh pasal 26 adalah pajak yang pemungutannya melibatkan pemotong
pajak (withholding system)

Subjek PPh pasal 21 dan PPh pasal 26 adalah orang pribadi yang menerima penghasilan
yang menjadi objek PPh pasal 21 pada umumnya dalah pegawai, penrima pesangon dan
bukan pegawai. Objek PPh pasal 21 berupa penghasilan teratur, penghasilan tidak teratur,
upah, uang tebusan pension, Uang Tabungan Hari Tua, uang pesangon dan pembayaran
lain sejenis. Adapun PPh pasal 26 adalah penghasilan yang diterima oleh subjek pjak luar
negeri dari pemberi kerja di Indonesia.

3.10 Evaluasi
Jawablah pertanyaan berikut dengan lengkap
a. Jelaskan penghasilan yang dicualikan dari objek PPh pasal 21?
b. Siapakah yang menjadi Pemotong PPh Pasal 21?
c. Apa yang saudara ketahui tentang Gross Up System dalam PPh pasal 21? Jelaskan

Anda mungkin juga menyukai