3 Tax Planning PPH Pasal 21-26 A4 31 Agust
3 Tax Planning PPH Pasal 21-26 A4 31 Agust
Setelah mempelajari Bab ini diharapkan, mahasiswa mampu menerapkan strategi yang
tepat untuk melakukan efisiensi pajak, pada saat melakukan pemotongan PPh pasal 21
dan PPh pasal 26
3.2 Pendahuluan
Dengan berlakunya UU nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, pada awal tahun
2009, maka pelaksanaan PPh pasal 21diubah dan disesuaikan dengan UU yang baru.
Adapun dasar hukum pengenaan PPh pasal 21 yang mulai berlaku tahun 2009 adalah:
a. UU nomor 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas UU nomor 6 tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
b. UU nomor 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas UU nomor 7 tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan
c. PMK Nomor 250/PMK.03/2008 tentang besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun
yang dapat dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan
d. PMK nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk pelaksanaan Pemotongan Pajak atas
Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan , Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi
e. PMK nomor 254/PMK.03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan
Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap
lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan
f. PER Dirjen Pajak nomor 31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tentang Tata Cara
Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21dan atau Pajak
Penghasilan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan , Jasa dan Kegiatan Orang
Pribadi yang kemudian direvisi dengan PER Dirjen Pajak nomor 57/PJ/2009
Pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri wajib dilakukan oleh:
a. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran
lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau
bukan pegawai;
b. Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan;
c. Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain
dengan nama apa pun dalam rangka pensiun;
d. Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas;
dan
e. Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan
pelaksanaan suatu kegiatan.
Subjek PPh pasal 21 dan PPh pasal 26 adalah orang pribadi yang menerima penghasilan
yang menjadi objek PPh pasal 21 dan PPh pasal 26, mereka adalah:
a. Pegawai
Pegawai adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, berdasarkan
perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk
melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan
memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian
pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja, termasuk orang pribadi
yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri. (Pasal 1 angka 9 PER-31/PJ/2012)
b. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau
jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya
c. Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
pemberian jasa
Penerima penghasilan Bukan Pegawai adalah orang pribadi:
• selain Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas,
• yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari
Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan jasa yang
dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan.(Pasal
1 angka 12 PMK-252/PMK.03/2008) meliputi:
1) tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
2) pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman
lainnya;
3) olahragawan;
4) penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5) pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6) pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta
pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
7) agen iklan;
8) pengawas atau pengelola proyek;
9) pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi
perantara;
10) petugas penjaja barang dagangan;
11) petugas dinas luar asuransi;
12) distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan
sejenis lainnya;
13) Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap
sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama
d. Mantan pegawai
e. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan
keikutsertaannya dalam suatu kegiatan
f. Peserta kegiatan adalah orang pribadi yang terlibat dalam suatu kegiatan tertentu,
termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan,
pertunjukan, olahraga, atau kegiatan lainnya dan menerima atau memperoleh imbalan
sehubungan dengan keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut.
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang
pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan
komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang
sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan teratur, beasiswa, hadiah,
premi asuransi yang dibayar pemberi kerja dan penghasilan teratur lainnya
dengan nama apa pun;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa
produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan
tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang
sifatnya tidak tetap dan yang biasanya dibayarkan sekali dalam setahun;
c. upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan;
d. uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Tunjang Hari Tua (THT),
uang pesangon, dan pembayaran lain sejenis;
e. honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam
bentuk apa pun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak dalam negeri, termasuk tenaga ahli, pemain musik, pembawa acara,
penyanyi, pelawak, bintang film, olahragawan, penasehat, pengajar, pelatih,
penceramah, moderator, pengarang, peneliti, pemberi jasa dibidang teknik,
kolportir iklan, pengawas, pengelola proyek, pembawa pesanan peserta
perlombaan, petugas penjaja barang dagangan, petugas dinas luar asuransi,
peserta pendidikan, pelatihan, dan pemaganggan;
f. penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dengan nama apa pun yang
diberikan oleh bukan Wajib Pajak.
2. Penerima Pensiun
Penghasilan Bruto xxx
Biaya Pensiun xxx
Penghasilan Neto xxx
PTKP xxx
Penghasilan Kena Pajak xxx
3. Pegawai Tidak tetap
Penghasilan Bruto xxx
PTKP xxx
Penghasilan Kena Pajak xxx
4. Bukan Pegawai
Yang termasuk bukan pegawai adalah:
• Distributor MLM
• Petugas Dinas luar asuransi
• Penjaja barang dagangan yang tidak berstatus pegawai
• Penerima penghasilan bukan pegawai lainnyayang menerima penghasilan
dari pemotong PPh pasal 21 secara berkesinambungan dalam 1(satu)
tahun kalender
Catatan:
Pengurangan pengasilan bruto berupa iuran pensiun dan iuran JHT yang
ditanggung atau dibayar sendiri oleh karyawan biasanya hanya diperuntukkan
bagi pegawai tetap, dengan ketentuan:
• Iuran pensiun yang terikat gaji dan dibayarkan pada dana pension yang
pendiriannya telah disahkan oleh Kementerian Keuangan
• Iuran THT kepada badan penyelenggara Taspen dan Jamsostek
d. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dalam penghitungan PPh pasal 21
merupakan batasan penghasilan yang tidak dikenai pajak, bagi orang pribadi
yang berstatus pegawai, baik pegawai tetap, pegawai tidak tetap, pensiunan,
pemagang dan calon pegawai termasuk juga pegawai harian lepas, bahkan
distributor multilevel marketingmaupun kegiatan sejenisnya, dengan
ketentuan yang berbeda-beda.
Tarif Pajak:
Tarif pajak pasal 17 UU nomor 36 tahun 2008 yang berlaku mulai 1 Januari 2009
adalah sebagai berikut :
0 sd Rp 50.000.000 5%
Di atas Rp. 50.000.000 sd Rp.
250.000.000 15%
Di atas Rp. 250.000.000 sd Rp.
500.000.000 25%
Di atas Rp. 500.000.000 30%
Catatan:
Mulai 1 Januari 2009, sesuai dengan Pasal 21 ayat (5a) UU PPh tahun 2008, wajib
pegawai yang tidak mempunyai NPWP akan dikenakan tariff pajak 20% lebih
tinggi dari tariff normal yang berlaku.
PPh pasal 21 bersifat final
Untuk meyakinkan bahwa seluruh objek PPh pasal 21 telah dipotong pajaknya, perlu
dilakukan rekonsiliasi antara data laporan keuangan baik yang berasal dari akun
neraca maupun akun biaya. Jika Penghitungan PPh pasal 21 dilakukan oleh Bagian
SDM , maka rekonsiliasi juga harus dilakukan untuk data SDM (Payroll) dengan data
yang ada di bagian akuntansi. Rekonsiliasi ini sangat berguna dalam rangka
pelaksanaan pengendalian dan pembuktian bahwa selirih objek PPh pasal 21 telah
dipotong PPh nya. Hal semacam ini akan memudahkan wajib pajak ketika diperika
oleh petugas pajak nantinya.
Hubungan kerja antar karyawan dan perusahaan berlaku prinsip umum yaitu
taxability – deductibility. Jika bagi karyawan merupakan taxable income, di
perusahaan menjadi deductible expense dan sebaliknya jika bagi karyawan
merupakan non taxable income, maka di perusahaan menjadi non deductible expense.
Perlakuan ini bergantung pada kebijakan yang dipilih perusahaan. Dengan prinsip ini
senantiasa akan terdapat pihak yang dikenai pajak, apakah bagi karyawan dalam
bentuk PPh pasal 21 atau bagi perusahaan dalam bentuk PPh WP Badan.
3.7 Taxabality dan Deductibility Objek PPh Pasal 21
Prinsip Taxability Deductibility adalah prinsip yan menjelaskan tentang pos-pos yang
dapat atau titdak dapat pajak penghasilan (objek pajak dn bukan objek pajak
penghasilan) dan pos-pos yang dapat ata tidak dapat dibiayakan (pengrang
penghasilan bruto), maka pada pihak karyawan merupakan penghasilan yag
dikenakan pajak. Sebaliknya jika pada pihak karyawan pemberian
imbalan/penghasilan tersebut bukan merupakan penghasilan, maka pada pihak
pemberi kerja tidak dapat dibiayakan
Jika kondisi keuangan perusahaan cukup baik, maka perlu dikaji mana yang akan
dipilih. Memberikan tambahan kesejahteraan karyawan dalam bentuk tunjangan
pajak (uang) atau dalam bentuk natura (benefit in kind)
Konsekuensinya: Dalam koreksi fiskal, biaya tersebut merupakan biaya yang tidak
boleh dikurangkan dari laba bruto, maka akibatnya dalam laba neto fiscal ada
tambahan Rp. 360.000.000, sehingga akan menambah PPh sebesar Rp. 90.000.000
yaitu 25% x Rp 360.000.000
Rekomendasi:
Untk menghindari koreki fiscal maka PT Makmur Rejo untk meningkatkan
kesejahteraan pegawai sebaiknya diberikan dalam bentuk Tunjangan Kesehatan.
Penghematan PPh:
25% x Rp. 360.000.000 = Rp. 90.000.000
Dampaknya:
Karyawan merasa ada tambahan penghasilan rata-rata per orang Rp. 30.000 per bulan,
disisi lain perusahaan tidak terlalu repot menyediakan Klinik, dokter, paramedic, alat
kesehatan dan obat-obatan serta sarana prasarana pendukungnya.
Catatan:
Tarif honorarium untuk pemberian jasa oleh orang pribadi adalah tariff pasal
17 dari nilai bruto dan PPh yang ditanggung pembei kerja sebesar Rp. 500.000
tanpa Gross Up dan tidak mengubah nilai kontrak, maka sejumlah PPh
tersebut tidak bisa dibiayakan
PPh dihitung dengan metode Gross Up akan menambah nilai kontrak sebesar
Pembayaran secara lump sum akan mengakibatkan PPh pasal 21 dihitung dari
seluruh nilai yang dibayarkan, meskipun didalamnya mungkin terdapat biaya
lainnya isal transportasi dan akomodasi
Pengertian lump sump, perusahaan memberi sekaligus dalam jumlah tertentu
yang meliputi uang saku, transport, akomodasi atau unsur biaya lainnya , tanpa
disertai pertanggungjawabannya dan atas bukti penggunaannya
Apabila hanya dipandang dari sisi fiscal lebih menguntungkan jika disiapkan
makan bersama untuk seluruh karyawan. Tetapi apabila dalam praktiknya
harus menggunakan jasa catering, harus diingat timbulnya kewajiban
pemotongan PPh pasal 23 tarif 2% dari penghasilan bruto
Tunjangan kesehatan
Perlakuan pajaknya bersifat taxable deductible, artinya tunjangan kesehatan
merupakan objek PPh pasal 21 bagi karyawan dan merupakan biaya bagi
perusahaan
Fasilitas pengobatan
Perlakuan pajaknya non taxable non deductible, artinya fasilitas pengobatan
merupakan bukan objek PPh pasal 21 bagi karyawan dan merupakan bukan
biaya bagi perusahaan
3.8 Lain-Lain
a. Pemotong Pajak PPh Pasal 21 wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal
21 (KP.PPh.2.1/BP-95) baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya
pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima
uang tebusan pensiun, penerima THT, penerima pesangon, dan penerima dana
pensiun iuran pasti.
b. Pemotong Pajak PPh Pasal 21 wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal
21 tahunan (form 1721-A1 atau 1721-A2) kepada pegawai tetap, termasuk
penerima pensiun bulanan dalam waktu dua bulan setelah tahun takwim berakhir.
c. Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim,
maka Bukti Pemotongan (form 1721-A1 atau 1721-A2 ) diberikan oleh pemberi
kerja selambat-lambatnya satu bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti
bekerja atau pensiun.
d. Penerima penghasilan wajib menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong
Pajak PPh Pasal 21 yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada
permulaan tahun takwim atau pada permulaan menjadi Subyek Pajak dalam
negeri.
e. Untuk melaksanakan kewajiban PPh Pasal 21, Pemotong Pajak PPh Pasal 21 /
pemberi kerja agar menggunakan Buku Petunjuk Pemotongan PPh Pasal 21.
3.9 Rangkuman
PPh pasal 21 dan PPh pasal 26 adalah pajak yang pemungutannya melibatkan pemotong
pajak (withholding system)
Subjek PPh pasal 21 dan PPh pasal 26 adalah orang pribadi yang menerima penghasilan
yang menjadi objek PPh pasal 21 pada umumnya dalah pegawai, penrima pesangon dan
bukan pegawai. Objek PPh pasal 21 berupa penghasilan teratur, penghasilan tidak teratur,
upah, uang tebusan pension, Uang Tabungan Hari Tua, uang pesangon dan pembayaran
lain sejenis. Adapun PPh pasal 26 adalah penghasilan yang diterima oleh subjek pjak luar
negeri dari pemberi kerja di Indonesia.
3.10 Evaluasi
Jawablah pertanyaan berikut dengan lengkap
a. Jelaskan penghasilan yang dicualikan dari objek PPh pasal 21?
b. Siapakah yang menjadi Pemotong PPh Pasal 21?
c. Apa yang saudara ketahui tentang Gross Up System dalam PPh pasal 21? Jelaskan