Anda di halaman 1dari 32

1.

Pajak Penghasilan Pasal 21


adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau
jabatan, jasa, dan  kegiatan.

2. Pemotong PPh Pasal 21


a. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan.
b. Bendahara pemerintah baik Pusat maupun Daerah
c. Dana pensiun atau badan lain seperti Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), PT Taspen, PT
ASABRI.
d. Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain kepada jasa tenaga ahli, orang pribadi
subjek pajak luar negeri, dan peserta pendidikan, pelatihan dan magang.
e. Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
f.  Penyelenggara kegiatan.

3. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21


a. Pegawai tetap.
b. Tenaga lepas (seniman, olahragawan, penceramah, pemberi jasa, pengelola proyek, peserta
perlombaan, petugas dinas luar asuransi), distributor MLM/direct selling dan kegiatan sejenis.
c. Penerima pensiun, mantan pegawai, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima
Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.
d. Penerima honorarium.
e. Penerima upah.
f.  Tenaga ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai, dan Aktuaris).
g. Peserta Kegiatan.

4. Penerima Penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21


a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang
diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan 
syarat:
- bukan warga negara Indonesia dan
- di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya 
tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;

b. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan
sepanjang bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan
lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.

5. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :


a. penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara teratur berupa
gaji,uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau
anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang  sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi,
tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan
transpot, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, bea siswa, premi
asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun;
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima pensiun atau mantan pegawai secara
tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan
tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap;
c. upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang diterima atau diperoleh pegawai
tidak tetap atau tenaga kerja lepas, serta uang saku harian atau mingguan yang diterima peserta
pendidikan, pelatihan atau pemagangan yang merupakan calon pegawai;
d. uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, uang pesangon dan
pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja;
e. honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi,
bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan
yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, terdiri dari :
1. tenaga ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai, dan Aktuaris)
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan,
sutradara, crew film, foto model, peragawan/ peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan
seniman lainnya;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi,
elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial;
7. agen iklan;
8. pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, dan peserta
sidang atau rapat;
9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan;
10. peserta perlombaan;
11. petugas penjaja barang dagangan;
12. petugas dinas luar asuransi;
13. peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan bukan pegawai atau bukan sebagai calon pegawai;
14. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.
f. Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji dan honorarium atau imbalan
lain yang bersifat tidak tetap yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil serta uang
pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh
pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-anaknya.

6. Tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :


a. pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan,asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
b. penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib
Pajak atau Pemerintah, kecuali diberikan oleh bukan Wajib Pajak selain Pemerintah, atau Wajib Pajak
yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan
berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).
c. iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh
pemberi kerja;
d. zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
e. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu (Psl 3(1) UU PPh). Ketentuannya di atur lebih lanjut
dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 246/PMK.03/2008

Lain-Lain
1. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada
saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima
uang tebusan pensiun, penerima Jaminan Hari Tua, penerima uang pesangon, dan penerima dana
pensiun.
2. Pemotong Pajak PPh Pasal 21 wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 tahunan (form
1721-A1 atau 1721-A2) kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun bulanan dalam waktu 2
(dua) bulan setelah tahun takwim berakhir.
3. Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka Bukti
Pemotongan (form 1721-A1 atau 1721-A2 ) diberikan oleh pemberi kerja selambat-lambatnya satu bulan
setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.
4. Penerima penghasilan wajib menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak PPh Pasal 21
yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim atau pada permulaan
menjadi Subyek Pajak dalam negeri.

Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21

Tarif dan Penerapannya


1. Pegawai tetap, penerima pensiun bulanan, pegawai tidak tetap, pemagang dan calon pegawai serta
distributor MLM/direct selling dan kegiatan sejenis, dikenakan tarif Pasal 17 Undang-undang PPh
dikalikan dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP). PKP dihitung berdasarkan sebagai berikut:
- Pegawai Tetap; Penghasilan bruto dikurangi biaya jabatan (5% dari penghasilan bruto, maksimum Rp
6.000.000,- setahun atau Rp 500.000,- (sebulan); dikurangi iuran pensiun. Iuran jaminan hari tua,
dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
- Penerima Pensiun Bulanan; Penghasilan bruto dikurangi biaya pensiun (5% dari penghasilan bruto,
maksimum Rp 2.400.000,- setahun atau Rp 200.000,- sebulan); dikurangi PTKP.
- Pegawai tidak tetap, pemagang, calon pegawai : Penghasilan bruto dikurangi PTKP yang diterima atau
diperoleh untuk jumlah yang disetahunkan.
- Distributor Multi Level Marketing/direct selling dan kegiatan sejenis; penghasilan bruto tiap bulan
dikurangi PTKP perbulan.

2. Penerima honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain
sebagai imbalan atas jasa dan kegiatan yang jumlahnya dihitung tidak atas dasar banyaknya hari yang
diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan; mantan pegawai yang menerima jasa produksi,
tantiem, gratifikasi, bonus; peserta program pensiun yang menarik dananya pada dana pensiun;
dikenakan tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-undang PPh dikalikan dengan penghasilan bruto

3. Tenaga Ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan,
notaris, penilai dan aktuaris) dikenakan tarif PPh Psl 17 x 50% dari perkiraan penghasilan bruto - PTKP
perbulan

4. Pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, dan calon pegawai, serta pegawai tidak tetap lainnya
yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan dan uang saku harian yang
besarnya melebihi Rp.150.000 sehari tetapi dalam satu bulan takwim jumlahnya tidak melebihi Rp.
1.320.000,- dan atau tidak di bayarkan secara bulanan, maka PPh Pasal 21 yang terutang dalam sehari
adalah dengan menerapkan tarif 5% dari penghasilan bruto setelah dikurangi Rp. 150.000. Bila dalam
satu bulan takwim jumlahnya melebihi Rp.1.320.000,- sebulan, maka besarnya PTKP yang dapat
dikurangkan untuk satu hari adalah sesuai dengan jumlah PTKP sebenarnya dari penerima penghasilan
yang bersangkutan dibagi 360.

5. Penerima pesangon, tebusan pensiun, Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan
sekaligus dikenakan tarif PPh final sebagai berikut:
- 5% dari penghasilan bruto diatas Rp 25.000.000 s.d. Rp. 50.000.000.
- 10% dari penghasilan bruto diatas Rp. 50.000.000 s.d. Rp. 100.000.000.
- 15% dari penghasilan bruto diatas Rp. 100.000.000 s.d.Rp. 200.000.000.
- 25% dari penghasilan bruto diatas Rp. 200.000.000.
Penghasilan bruto sampai dengan Rp. 25.000.000,- dikecualikan dari pemotongan pajak.

6. Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/POLRI yang menerima  honorarium dan imbalan lain yang
sumber dananya berasal dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah dipotong PPh Ps. 21 dengan
tarif 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final, kecuali yang dibayarkan kepada PNS Gol. lId
kebawah, anggota TNI/POLRI Peltu kebawah/ Ajun Insp./Tingkat I Kebawah.

7. PTKP adalah :

Keterangan Setahun
No
1. Diri Wajib Pajak Pajak Orang Pribadi Rp. 15.840.000
2. Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin Rp.   1.320.000,-
3. Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya Rp. 15.840.000,-
digabung dengan penghasilan suami.
4. Tambahan untuk setiap anggota keturunan sedarah Rp.   1.320.000,-
semenda dalam garis keturunan lurus serta anak
angkat yang diatnggung sepenuhnya , maksimal 3
orang untuk setiap keluarga

8. Tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan adalah:


Tarif Pajak
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Sampai dengan Rp. 50.000.000,- 5%
Diatas Rp. 50.000.000,- sampai dengan Rp. 250.000.000,- 15%
Diatas Rp. 250.000.000,- sampai dengan Rp. 500.000.000,- 25%
Diatas Rp. 500.000.000,- 30%

Contoh Penghitungan Pemotongan PPh PasaL 21

1. Penghasilan Pegawai Tetap yang diterima Bulanan


Contoh:
Saefudin adalah pegawai tetap di PT Insan Selalu Lestari sejak 1 Januari 2009. la memperoleh gaji
sebulan sebesar Rp. 2.000.000,- dan membayar iuran pensiun sebesar Rp. 25.000,- sebulan. Saefudin
menikah tetapi belum mempunyai anak (status K/0).

Penghitungan PPh Ps. 21


Penghitungan PPh Ps. 21 terutang
Gaji Sebulan = 2.000.000
Pengh. bruto = 2.000.000

Pengurangan
Biaya Jabatan: = 5%x 2.000.000 = 100.000
Iuran pensiun = 25.000
Total Pengurangan = 125.000
Pengh netto sebulan = 1.875.000
Pengh. Netto setahun 12 x 1.875.000 = 22.500.000
PTKP setahun:
WP sendiri = 15.840.000
Tambahan WP kawin = 1.320.000
Total PTKP = 17.160.000
PKP setahun = 5.340.000
PPh Ps. 21 = 5 % x 5.340.000 = 267.000
PPh Ps. 21 sebulan = 22.250

2. Penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan


Contoh:
Teja status kawin dengan 1 anak pegawai PT. Mulia, pensiun tahun 2009. Tahun 2009 Teja menerima
pensiun sebulan Rp. 2.000.000,-

Penghitungan PPh Ps. 21 :


Pensiun sebulan = Rp. 2.000.000

Pengurangan
Biaya Pensiun 5% x 2.000.000 = Rp. 100.000
Penghasilan Netto sebulan = Rp. 1.900.000
Penghasilan Netto setahun = Rp. 22.800.000
PTKP(K/1) = Rp. 18.480.000
PKP = Rp. 4.320.000
PPh Ps. 21 setahun = 5% x 4.320.000 = Rp. 216.000
PPh Ps. 21 sebulan (Rp. 216.000: 12) = Rp. 18.000

3. Pegawai tetap menerima bonus, gratifikasi, tantiem,Tunjangan Hari Raya atau tahun baru,
premi dan penghasilan yang sifatnya tidak tetap, diberikan sekali saja atau sekali setahun.
Contoh :
Ikhsan Alisyahbani adalah pegawai tetap di PT Tiurmas Lampung Indah. la memperoleh gaji bulan
Desember sebesar Rp. 2.200.000,00 menerima THR sebesar Rp. 600.000,00 dan membayar iuran
pensiun sebesar Rp. 25.000,00 sebulan. Ikhsan Alisyahbani menikah tetapi belum mempunyai anak
(status K/0)

PPh Pasal 21 atas gaji dan THR


Penghasilan Bruto setahun = 12x 2.200.000 = Rp. 26.400.000
THR = Rp. 600.000
Jumlah Penghasilan Bruto Rp. 27.000.000

Pengurangan:
Biaya Jabatan: 5%x 27.000.000 = 1.350.000
Iuran pensiun 12x25.000 = 300.000
Total Pengurangan = Rp. 1.650.000

Penghasilan netto setahun Rp. 25.350.000


PTKP (K/0) setahun = Rp. 17.160.000
PKP setahun = Rp. 8.190.000
PPh Ps. 21 terutang:
5% x 8.190.000 = Rp. 409.500

PPh Pasal 21 atas gaji


Penghasilan Bruto setahun = 12x 2.200.000 = Rp. 26.400.000

Pengurangan:
Biaya Jabatan: 5%x 26.400.000 = 1350.000
Iuran pensiun 12x25.000 = 300.000
Total Pengurangan = Rp. 1.650.000

Penghasilan netto setahun Rp. 24.750.000


PTKP (K/0) setahun = Rp. 17.160.000
PKP setahun = Rp. 7.590.000
PPh Ps. 21 terutang: 5% x 7.590.000 = Rp. 379.500

PPh Pasal 21 atas gaji dan THR - PPh Pasal 21 atas gaji:
= Rp. 409.500,00 - Rp. 379.500,00
= Rp. 30.000,00

4. Penerima Honorarium atau Pembayaran lain.


Contoh :
Ali seorang penceramah memberikan ceramah pada lokakarya dan menerima honorarium Rp.
1.000.000,00. Penghitungan PPh Pasal 21 yang dipotong (tarif Pasal 17) : 5%xRp.1.000.000,00 = Rp.
50.000,00

5. Komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dagangan atau petugas dinas luar asuransi.
Contoh:
Tri seorang penjaja barang dagangan hasil produksi PT Jaya, dalam bulan April 2009 menerima komisi
sebesar Rp. 750.000,00
PPh Pasal 21 = 5% x Rp. 750.000,00 = Rp. 37.500,00

6. Penerima Hadiah atau Penghargaan sehubungan dengan Perlombaan.


Contoh:
Ali pemain tenis yang tinggal di Jakarta, menjadi juara dalam suatu turnamen dan mendapat hadiah Rp.
30.000.000,00  PPh Pasal 21 yang terutang atas hadiah turnamen adalah :
5% x Rp. 30.000.000,- = Rp. 1.500.000,-

7. Honorarium yang diterima tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas.


Contoh :
Gatot seorang arsitek, bulan Maret 2009 menerima honorarium Rp.20.000.000,00 dari PT.Abang
sebagai imbalan atas jasa teknik.

Penghitungan PPh Pasal 21 :


15% x 50% x Rp. 20.000.000,00 = Rp. 1.500.000,00

8. Penghasilan atas Upah Harian.


Contoh :
Eko pada bulan Agustus 2009 bekerja sebagai buruh harian pada PT Dayat Harini Perkasa. la bekerja
sehari sebesar Rp. 120.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang :
Upah sehari = Rp. 120.000,00
Batas Upah harian yang Tidak di potong PPh = Rp. 150.000,00
PKP Sehari = Rp. 0,00
PPh Pasal 21 Sehari = (5% x Rp. 0,00) = Rp. 0,00

9.Penghasilan berupa uang tebusan pensiun, Tunjangan Hari Tua (THT), dan uang pesangon
yang dibayarkan sekaligus oleh Dana Pensiun yang telah disahkan Menteri Keuangan.
Contoh :
Eko bulan Maret 2009 menerima tebusan pensiun dari Dana  Pensiun “ X” Rp. 70.000,000.
Penghasilan Bruto Rp.70.000.000, Dikecualikan dari Pemotongan Rp.25.000.000
Penghasilan dikenakan pajak Rp.45.000.000,
PPh Pasal 21 terutang:
5% x Rp. 45.000.000,00                = Rp. 2.250.000,-
Jumlah PPh Pasal 21 terutang          = Rp. 2.250.000,-
Pajak Penghasilan Pasal 23

Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal,
penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal
21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.

Subjek Pajak atau penerima penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam
negeri dan Bentuk Usaha Tetap.

Pemotong Pajak
 
1. badan pemerintah;
2. subjek pajak badan dalam negeri;
3. penyelenggara kegiatan;
4. Bentuk Usaha Tetap;
5. perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
6. orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23, yaitu :
a. akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali Pejabat Pembuat
Akta Tanah tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan
bebas; atau
b. orang pribadi yagn menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas pembayaran
beruapa sewa.
 
Tarif Dan Objek Pajak
 
1. Sebesar 15% dari jumlah bruto atas :
a. dividen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf "g" Undang-undang PPh;
b. bunga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf "f";
c. royalti;
d. hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Ayat (1) huruf
"e" Undang-undang PPh.
Hadiah dan penghargaan yang dipotong  Pajak Penghasilan 21 adalah hadiah dan
penghargaan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan yang diselenggarakan, misalkan kegiatan olah
raga, keagamaan, kesenian, dan kegiatan lainnya.
Adapun hadiah dan penghargaan yang dipotong  Pajak Penghasilan 23 adalah hadiah dan
penghargaan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam
negeri berkenaan dengan suatu kegiatan yang diselenggarakan.
Sebesar 15% dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh
2.
koperasi.
3. Sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto atas :
a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang dikenakan
PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996;
b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan hukum, jasa
konsultan pajak, dan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) huruf "c"
Undang-undang Pajak Penghasilan, yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atau
Bentuk Usaha Tetap selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.

 
Jenis Jasa Lain Dan Perkiraan Penghasilan Neto Atas Jasa Teknik, Jasa
Manajemen, Dan Jasa Lain
 
No. Perkiraan Penghasilan Jenis Jasa
Neto
1. 50% dari jumlah bruto tidak Jasa profesi, termasuk jasa konsultan hukum dan jasa konsultasi
termasuk PPN pajak
2. 40% dari jumlah bruto tidak a. Jasa teknik dan jasa manajemen
termasuk PPN
b. Jasa perancang/desain :
 Jasa perancang interior dan jasa perancang pertamanan;
 Jasa perancang mesin dan jasa perancang peralatan;
 Jasa perancang alat-alat transportasi/kendaraan;
 Jasa perancang iklan/logo;
 Jasa perancang alat kemasan.
c. Jasa instalasi/pemasangan :
 Jasa instalasi/pemasangan mesin dan jasa
instalasi/pemasangan peralatan;
 Jasa instalasi/pemasangan listrik/telepon/air/gas/TV kabel.
d. Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan :
 Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan mesin dan jasa
perawatan/pemeliharaan/perbaikan peralatan;
 Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan alat-alat
transportasi/kendaraan;
 Jasa perawatan/pemeliharaan/perbaikan  bangunan.
e. Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, tidak termasuk sewa
gudang yang telah dikenakan PPh Final berdasarkan PP Nomor
29 Tahun 1996.
f. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga.
g. Jasa pemanfaatan informasi di bidang teknologi, termasuk jasa
internet.
h. Jasa telekomunikasi yang bukan untuk umum.
i. Jasa akuntansi dan pembukuan.
j. Jasa pengolahan/pembuangan limbah.
k. Jasa penebangan hutan, termasuk land clearing.
l. Jasa pengeboran (jasa drilling) di bidang penambangan minyak
gas dan bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh Bentuk Usaha
Tetap.
m. Jasa penunjang di bidang penambangan migas.
n. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan
selain migas.
o. Jasa perantara.
p. Jasa penilai.
q. Jasa aktuaris.
r. Jasa pengisian sulih suara (dubbing) dan/atau mixing film.
s. Jasa maklon.
t. Jasa rekruitmen/penyediaan tenaga kerja.
u. Jasa sehubungan dengan software komputer, termasuk
perawatan/pemeliharaan dan perbaikan.
3. 26,67% dari jumlah bruto a. Jasa perencanaan konstruksi.
tidak termasuk PPN b. Jasa pengawasan konstruksi
4. 13,33% dari jumlah bruto Jasa pelaksanaan konstruksi
tidak termasuk PPN
5. 10% dari jumlah bruto tidak a. Jasa pembasmian hama
termasuk PPN b. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
 Perkiraan Penghasilan Neto Atas Penghasilan Sewa (Kecuali Persewaan
Tanah/Bangunan) Dan Penggunaan Harta
 
No. Perkiraan Penghasilan Neto Jenis Jasa
1. 20% dari jumlah bruto tidak termasuk Sewa dan penghasilan lainnya sehubungan dengan
PPN pengunaan harta khusus kendaraan angkutan darat.
2. 40% dari jumlah bruto tidak termasuk Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan
PPN penggunaan harta kecuali sewa dan penghasilan lain
sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan
yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat
final.

 Bukan Objek Pajak


 
1. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
2. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usahaa dengan hak opsi;
dividen atau bagian laba yang diterimaa atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak
dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari
3.
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia,
dengan syarat :
  a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
bagi Perseroan Terbatas, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah yang
menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah
  b.
25% dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan
saham tersebut;
bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun pertama sejak
4.
pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha:
bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari badan pasangan usaha
5. yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan
usaha tersebut:
merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-
  a.
sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; dan
  b. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
6. Sisa Hasil Usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
7. bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan. Sesuai Keputusan Menteri Keuangan telah ditetapkan batas jumlah sebesar Rp.
240.000,00 setiap bulan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
Atas bunga simpanan yang jumlahnya di atas Rp. 240.000,00 dipotong PPh Pasal 23 sebesar
15% dari seluruh bunga yang diterima dan bersifat final.

 Saat Terutang, Penyetoran, Dan Pelaporan


 
1. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran
atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan;
Yang dimaksud dengan saat terutangnya penghasilan yang bersangkutan adalah saat
pembebanan sebagai biaya oleh pemotong pajak sesuai dengan metode pembukuan yang
dianutnya.
2. Pajak Penghasilan Pasal 23 harus disetor oleh Pemotong Pajak selambat-lambatnya tanggal 10
takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
3. Pemotong PPh Pasal 23 diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selambat-
lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
4. Pemotong PPh Pasal 23 harus memberikan tanda bukti pemotongan kepada orang pribadi atau
badan yang dibebani membayar Pajak Penghasilan yang dipotong.
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER - 22/PJ/2009

TENTANG

PELAKSANAAN PEMBERIAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DITANGGUNG


PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN PEKERJA PADA PEMBERI KERJA YANG BERUSAHA
PADA KATEGORI USAHA TERTENTU

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009
tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Pekerja Pada Kategori Usaha
Tertentu, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Pelaksanaan Pemberian Pajak Penghasilan
Pasal 21 Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Pekerja Pada Pemberi Kerja yang Berusaha Pada Kategori
Usaha Tertentu;

Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4740); 
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009 tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung


Pemerintah atas Penghasilan Pekerja Pada Kategori Usaha Tertentu;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PELAKSANAAN PEMBERIAN PAJAK


PENGHASILAN PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN PEKERJA PADA
PEMBERI KERJA YANG BERUSAHA PADA KATEGORI USAHA TERTENTU.

Pasal 1

(1) Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah diberikan kepada pekerja yang bekerja pada pemberi kerja
yang berusaha pada kategori usaha tertentu, dengan jumlah penghasilan bruto diatas Penghasilan Tidak Kena
Pajak dan tidak lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dalam satu bulan.
(2) Kategori usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. kategori usaha pertanian termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan, dan kehutanan;
b. kategori usaha perikanan; dan

c. kategori usaha industri pengolahan.

sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.03/2009 tentang Pajak
Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Pekerja Pada Kategori Usaha Tertentu
Pasal 2

(1) Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah wajib dibayarkan secara tunai pada saat pembayaran
penghasilan oleh pemberi kerja kepada pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) sebesar Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan pekerja.
(2) Dalam hal pelaksanaan kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan sehubungan
dengan pekerjaan pemberi kerja :
a. memberikan tunjangan Pajak Penghasilan Pasal 21 kepada pekerja; atau
b. menanggung Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan pekerja.

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditunjang atau ditanggung tersebut tetap harus diberikan kepada pekerja yang
mendapat Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah.
(3) Contoh penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal Pajak ini.

Pasal 3

(1) Pemberi kerja wajib menyampaikan realisasi pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Atas Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) wajib
dibuatkan Surat Setoran Pajak yang dibubuhi cap atau tulisan "PPh PASAL 21 DITANGGUNG
PEMERINTAH EKS PMK NOMOR 43/PMK.03/2009" oleh pemberi kerja.
(3) Formulir dan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilampirkan dalam Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 pada Masa Pajak yang sama.

Pasal 4

(1) Pemberi kerja wajib memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang
atas seluruh penghasilan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Orang Pribadi Tahun Pajak 2009.

Pasal 5

Dalam hal ditemukan ketidakbenaran atas Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah yang dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21, atas Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung
Pemerintah tersebut ditagih kembali kepada pemberi kerja sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pasal 6

Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah berlaku untuk Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang untuk
Masa Pajak Februari 2009 sampai dengan Masa Pajak November 2009 dan dilaporkan paling lama tanggal 20
Desember 2009.

Pasal 7

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan sampai dengan tanggal 31 Desember
2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Maret 2009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

DARMIN NASUTION
NIP 130605098

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 43/PMK.03/2009

TENTANG

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH


ATAS PENGHASILAN PEKERJA PADA KATEGORI USAHA TERTENTU

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 beserta penjelasannya diatur bahwa
dalam keadaan darurat, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR-RI) yang dituangkan dalam Kesimpulan Rapat Kerja Panitia Anggaran DPR-RI dengan
Pemerintah dapat melakukan langkah-langkah berupa penetapan pengeluaran yang belum tersedia
anggarannya atau pengeluaran melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN Tahun 2009;
b. bahwa dalam rangka mengurangi dampak krisis global yang berakibat pada penurunan
kegiatan perekonomian nasional dan untuk mendorong peningkatan daya beli masyarakat pekerja,
Pemerintah telah mengusulkan kepada DPR-RI upaya mengatasi dampak krisis global melalui program
stimulus fiskal;

c. bahwa berdasarkan Kesimpulan Rapat Kerja Panitia Anggaran DPR-RI dengan Pemerintah pada tanggal 23
dan 24 Februari 2009 dengan mendasarkan pada ketentuan sebagaimana tersebut pada huruf a, DPR-RI
telah menyetujui penetapan pagu anggaran dalam rangka pemberian stimulus fiskal berupa Pajak
Penghasilan Pasal 21 ditanggung oleh Pemerintah sesuai usulan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
huruf b;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Pekerja Pada
Kategori Usaha Tertentu;

Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 171, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4920);

3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DITANGGUNG


PEMERINTAH ATAS PENGHASILAN PEKERJA PADA KATEGORI USAHA TERTENTU.

Pasal 1

Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung Pemerintah ditetapkan paling banyak sebesar pagu anggaran Pajak
Penghasilan Pasal 21 berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 dan perubahannya.

Pasal 2

Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah diberikan kepada pekerja yang bekerja pada pemberi kerja yang
berusaha pada kategori usaha tertentu, dengan jumlah penghasilan bruto di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak dan
tidak lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dalam satu bulan.

Pasal 3

Kategori usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah :


a. kategori usaha pertanian termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan, dan kehutanan;
b. kategori usaha perikanan; dan

c. kategori usaha industri pengolahan,

yang rinciannya sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.

Pasal 4  

Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah wajib dibayarkan secara tunai pada saat pembayaran
penghasilan oleh pemberi kerja kepada pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sebesar Pajak Penghasilan
Pasal 21 yang terutang atas penghasilan pekerja.

Pasal 5

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemberian Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung Pemerintah atas
penghasilan pekerja pada pemberi kerja yang berusaha pada kategori usaha tertentu, diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak.

Pasal 6

Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan sampai dengan tanggal 31 Desember 2009.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Maret 2009
MENTERI KEUANGAN
ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


obat2an bukan barang yg dikecualikan dari pengenaan PPN. Selama PKP harus tetap pungut PPN.
Untuk RS perlakuannya agak beda karena melekat pada jasa pelayanan kesehatan yg tidak kena PPN. Maka
selama pasien rawat inap tidak kena PPN. Intinya RS juga jika melewati batas PKP harus mempunya NPPKP dan
PPN yg dipungut hanya untuk pasien rawat jalan dan penjualan bebas.

wajib PKP karena omset nya telah lebih dari 600 juta.. yang 1,8 M itu, batas peredaran bruto untuk penggunaan
norma penghitungan. Malahan, di dalam UU No. 36 Tahun 2008 batasnya sekarang sudah 4,8 M.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000, jasa di bidang pelayanan kesehatan medik
termasuk jenis jasa yang tidak dikenakan PPN (Bukan Jasa Kena Pajak). Jasa tersebut meliputi :

a. Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;


b. Jasa dokter hewan;
c. Jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan fisioterapi;
d. Jasa kebidanan dan dukun bayi;
e. Jasa paramedis dan perawat; dan
f. Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium.

Oleh karena itu, bila rumah sakit semata-mata hanya menyerahkan non JKP, maka badan usaha rumah sakit tidak
wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Akan tetapi pada umumnya rumah sakit juga
menyerahkan obat-obatan yang merupakan Barang Kena Pajak (BKP) kepada pasien. Sesuai dengan Surat Edaran
Dirjen Pajak Nomor: SE-06/PJ.52/2000, khusus penyerahan obat-obatan kepada pasien rawat inap dan pasien
gawat darurat dikecualikan dari pengenaan PPN karena dianggap sebagai bagian dari jasa rumah sakit.

Jika instalasi farmasi atau apotik yang dikelola rumah sakit tersebut menyerahkan obat-obatan kepada pasien
rawat jalan atau pihak lainnya, maka termasuk penyerahan yang dapat dikenakan PPN karena dianggap
melakukan penyerahan BKP. Jika penyerahan BKP (obat-obatan dan lain-lain) yang dilakukan oleh rumah sakit
tersebut melebihi Rp600.000.000,- dalam satu tahun buku, maka rumah sakit tersebut wajib PKP.

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR SE - 06/PJ.52/2000

TENTANG

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENGGANTIAN OBAT DI RUMAH SAKIT

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan banyaknya pertanyaan perihal pengenaan PPN atas penyerahan obat pada unit instalasi
farmasi/apotik di rumah sakit, dengan ini disampaikan penegasan kembali sebagai berikut :

1.Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-21/PJ.52/1998 tanggal 8 September 1998 telah
ditegaskan bahwa instalasi farmasi (kamar obat) merupakan suatu tempat untuk mengadakan dan menyimpan
obat-obatan, gas medik alat-alat kesehatan serta bahan kimia yang bukan berdiri sendiri tetapi merupakan satuan
organik yang tidak terpisahkan dari keseluruhan organisasi Rumah Sakit.
Selanjutnya ditegaskan bahwa penyerahan obat-obatan yang dilakukan oleh instalasi farmasi (kamar obat) tidak
terutang PPN.
2.Dalam kenyataannya instalasi farmasi melayani Rumah Sakit yang terdiri dari pasien rawat inap, pasien rawat
jalan, dan pasien gawat darurat.Mengingat instalasi farmasi melakukan pelayanan kepada pasien rawat jalan
sebagaimana lazimnya sebuah apotik, maka atas penyerahan obat-obatan oleh instalasi farmasi kepada pasien
rawat jalan tetap terutang PPN.

3.Selanjutnya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun
1994, pedagang eceran adalah pengusaha yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan
usaha perdagangan dengan cara :
1. tidak bertindak sebagai penyalur kepada pedagang lainnya;
2. menyerahkan Barang Kena Pajak melalui suatu tempat penjualan eceran seperti toko, kios atau dengan cara
penjualan langsung kepada konsumen akhir atau dari rumah ke rumah;
3. menyediakan Barang Kena Pajak yang diserahkan di tempat penjualan secara eceran tersebut;
4. melakukan transaksi jual beli secara spontan tanpa didahului dengan penawaran tertulis, penawaran, kontrak
atau lelang dan pada umumnya bersifat tunai, dan pembeli pada umumnya datang ke tempat penjualan tersebut
langsung membawa sendiri Barang Kena Pajak yang dibelinya.
4.Dengan demikian apabila apotik atau instalasi farmasi di rumah sakit yang bertindak sebagaimana lazimnya
apotik melakukan penyerahan obat-obatan kepada pasien rawat jalan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam
butir 3, maka Rumah Sakit yang mempunyai instalasi farmasi/apotik tersebut adalah merupakan Pengusaha Kena
Pajak Pedagang Eceran. Selanjutnya Pajak Pertambahan Nilai harus dibayar atas penyerahan obat-obatan kepada
pasien rawat jalan oleh instalasi farmasi/apotik adalah sebesar 2% dari jumlah seluruh penyerahan barang
dagangan.
5.Surat Edaran ini berlaku mulai tanggal 1 April 2000.
Dengan berlakunya Surat Edaran ini maka Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor : SE-21/PJ.52/1998
tanggal 8 September 1998 dinyatakan tidak berlaku lagi.
6.Untuk memudahkan penggunaan Surat Edaran ini, dianjurkan agar pengarsipannya disatukan dengan Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-11/PJ.52/1998 tanggal 27 Mei 1998 dan Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor : SE-17/PJ.52/1998 tanggal 28 Juli 1998.

Demikian untuk mendapat perhatian Saudara guna disebarluaskan pada wilayah kerja Saudara masing-masing.

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

ttd
MACHFUD SIDIK

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
__________________________________________________ _________________________________________
8 Juni 2004

SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR S - 443/PJ.53/2004

TENTANG

PPN JASA GILING DAN PPN OBAT RAWAT JALAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


Sehubungan dengan surat Saudara tanpa nomor tanggal 03 Desember 2003 perihal, PPN Jasa Giling dan PPN
Obat Rawat Jalan dengan ini diberitahukan hal-hal sebagai berikut:
1. Dalam surat Saudara dikemukakan bahwa:
a. Seperti kita ketahui bahwa pabrik gula disamping menggiling tebu sendiri juga menggiling tebu rakyat dengan
pola hasil 65% untuk petani tebu dan 35% untuk pabrik gula sebagai hasil jasa gilingnya. Karena sesuai Surat
Edaran No. SE-23/PJ.51/2000 tentang PPN atas penyerahan gula pasir musim giling 2000 dengan harga prevenue
Rp 2.600 dan hanya untuk produksi tahun 2000.
b. Saudara menanyakan apakah PTPN/Pabrik gula masih harus memungut PPN atas jasa giling untuk musim giling
tahun 2001 dan seterusnya dan kalau memungut dengan harga prevenue berapa. Karena kenyataan untuk musim
giling 2001 dan seterusnya PTPN/Pabrik gula tidak memungut dan menyetor PPN atas jasa giling tersebut dengan
alasan bahwa SE No. SE-23/PJ.51/2000 hanya berlaku untuk musim giling tahun 2000 sedang untuk tahun 2001
dan seterusnya tidak ada aturannya, apakah atas jasa giling untuk tahun 2001 dan seterusnya bila harus
memungut perlu dikoreksi dan dicadangkan sebagai hutang PPN.
c. Sesuai dengan Surat Edaran No. SE-06/PJ.52/2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas penggantian obat
Rumah Sakit menyebutkan bahwa Rumah Sakit bila tidak ada apotiknya hanya ada instalasi farmasi kalau ada
penyerahan obat untuk rawat jalan harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Dan dengan dikeluarkannya
Keputusan Menteri Keuangan No. 251/KMK.03/2002, Keputusan Menteri Keuangan No. 253/KMK.03/2002 dan
diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 402/KMK.03/2002 maka Surat Edaran No. SE-06/PJ.52/2000
dinyatakan tidak berlaku sehingga Rumah Sakit yang ada Instalasi Farmasinya yang menyerahkan obat-obatan
pada pasien rawat jalan harus memungut PPN 10%.
d. Saudara menanyakan mana yang harus dikukuhkan sebagai PKP Rumah Sakitnya atau Yayasan yang mengelola
Rumah Sakit tersebut, bagaimana cara pengkreditan Faktur Pajak Masukannya bila dalam pembelian obat-obatan
tersebut menjadi satu Faktur Pajak bila untuk pembelian obat untuk rawat inap dan rawat jalan, karena Rumah
Sakit sendiri juga kesulitan untuk memisahkan antara stock untuk obat rawat jalan dan rawat inap, dan andaikan
yayasan Rumah Sakit tersebut belum dikukuhkan sebagai PKP apakah juga ada kewajiban menyetorkan PPN nya
bila ada pemakaian obat untuk rawat jalan.

2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun
2000, antara lain mengatur:
a. Pasal 1 angka 14, menyatakan bahwa Pengusaha adalah orang pribadi atau Badan sebagaimana dimaksud
dalam angka 13 yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
b. Pasal 1 angka 15, menyatakan bahwa Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha sebagaimana dimaksud dalam
angka 14 yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan
pajak berdasarkan Undang-undang ini, tidak termasuk pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak.
c. Pasal 1 angka 17, menyatakan bahwa Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai
Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai
dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
d. Pasal 1 angka 19, menyatakan bahwa Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang
diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak
yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
e. Pasal 3A ayat 1, menyatakan bahwa Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 4 huruf a, huruf c, atau huruf f, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak, dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah yang terutang.
f. Pasal 4 huruf a, menyatakan bahwa penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
g. Pasal 4A ayat (3), menyatakan 12 jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, namun jasa giling
tebu tidak termasuk kedalam jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
3. Keputusan Menteri Keuangan No. 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Pedoman
Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang
Terutang Pajak dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak, antara lain mengatur:
a. Pasal 2 ayat 1, Bagi Pengusaha Kena Pajak yang:
a) Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya terdapat penyerahan yang tidak terutang Pajak
Pertambahan Nilai dan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai;
b) Melakukan kegiatan menghasilkan atau memperdagangkan barang dan usaha jasa yang atas penyerahannya
terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, maka Pajak Masukan yang
dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang:
1) nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan
Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
2) digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut tidak
terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maupun untuk unit
kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat
dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang Pajak Pertambahan Nilai terhadap peredaran
seluruhnya;
3) nyata-nyata digunakan untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut
terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan.

b. Pasal 2 ayat 2, Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang
telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) angka 2, wajib menghitung kembali
Pajak Masukan yang telah dikreditkan tersebut dengan rumus sebagai berikut:

X
------ X PM
Y

dengan ketentuan bahwa:


X adalah jumlah peredaran atau penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau yang dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dalam tahun buku yang bersangkutan;
Y adalah jumlah seluruh peredaran dalam tahun buku yang bersangkutan;
PM adalah Pajak Masukan yang telah dikreditkan seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 253/KMK.03/2002 tentang PPN atas penyerahan Barang Dagangan oleh
Pedagang Eceran selain yang Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana telah diubah
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 402/KMK.03/2002, antara lain mengatur:
a. Pasal 1, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Pedagang Eceran Selain yang menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto adalah Pengusaha Orang Pribadi atau Badan yang menyelenggarakan pembukuan
yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaan utamanya adalah melakukan usaha perdagangan dengan cara sebagai
berikut:
1) Menyerahkan Barang Kena Pajak melalui suatu tempat penjualan eceran seperti toko, kios, atau dengan cara
penjualan yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, atau dengan cara penjualan dari rumah ke rumah;
2) Menyediakan Barang Kena Pajak yang diserahkan di tempat penjualan secara eceran tersebut;
3) Melakukan transaksi jual beli secara spontan tanpa didahului penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak
atau lelang dan pada umumnya bersifat tunai, dan pembeli pada umumnya datang ke tempat penjualan tersebut
langsung membawa sendiri Barang Kena Pajak yang dibelinya.
b. Pasal 2, menyatakan bahwa atas penyerahan barang dagangan oleh Pedagang Eceran Selain yang
Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, terutang PPN sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga
jual.

5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 552/KMK.04/2000 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan
Nilai sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 571/KMK.03/2003, diatur bahwa
Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan Penyerahan Barang Kena Pajak dan
atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).

6. Berdasarkan ketentuan pada angka 2, 3 dan 4 serta dengan memperhatikan isi surat saudara pada angka 1,
dengan ini ditegaskan bahwa:
a. Karena Jasa giling tidak termasuk jasa yang tidak dikenakan pajak, maka atas jasa giling untuk musim giling
tahun 2001 dan seterusnya tetap terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar nilai
penggantian. Dalam hal imbalan atas jasa tersebut dalam bentuk natura (bagi hasil gula) maka nilai penggantian
dapat dihitung sebesar nilai hasil yang diterima pada saat imbalan tersebut diterima atau dibayarkan.
b. PTPN atau pabrik gula harus memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan jasa giling
tersebut.
c. Dalam hal instalasi farmasi melakukan penyerahan obat kepada selain pasien rawat inap maka instalasi farmasi
harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Mengingat Instalasi farmasi (kamar obat) merupakan suatu
tempat untuk mengadakan dan menyimpan obat-obatan, gas medik, alat-alat kesehatan serta bah

MOHON KETEGASAN TENTANG SURAT EDARAN DIRJEN PAJAK NOMOR SE-06/PJ.52/2000


Surat Dirjen Pajak : S-431/PJ.52/2003
Tanggal :5/14/2003

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan surat Saudara nomor : XXX tanggal 22 Juli 2002 hal
sebagaimana tersebut pada pokok

surat, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut:

1.Secara garis besar surat tersebut menjelaskan bahwa:

a.Sehubungan dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor


SE-23/PJ.52/2002 tanggal31 Mei 2002 tentang Penyampaian Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 253/KMK.03/2002, Saudara menginformasikan
bahwa telah timbul perbedaan persepsi dilapangan dalam pengenaan PPN untuk
Instalasi Farmasi rumah sakit,

b.Apabila PPN untuk Instalasi Farmasi rumah sakit diterapkan dengan Keputusan
MenteriKeuangan Nomor 253/KMK.03/2002, rumah sakit akan mengalami kesulitan
karena:
1.PPN hanya dikenakan atas penjualan obat kepada pasien rawat jalan,
sedangkan stock barang menjadi satu dengan stock rawat mondok dan gawat
darurat sehingga kesulitan dalam pemisahan stock opname,

2.Penjualan obat banyak bersifat racikan (1/2, ? tablet) yang masing-masing


sisa dapat dipakai untuk rawat jalan atau rawat mondok, dan

3.Apabila PPN ditetapkan menjadi 10% maka akan mengakibatkan kenaikan harga
bagi masyarakat termasuk golongan kurang mampu.

c.Mengingat selama ini PPN atas penggantian obat di rumah sakit mengacu pada
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ.52/2000 tanggal 2 Maret
2000, maka Saudara mengajukan permohonan penegasan agar Institusi Pelayanan
Kesehatan (rumah sakit) tetap menerapkan SE-06/PJ.52/2000 dalam mengenakan
PPN atas penggantian obat di rumah sakit.

2.Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-06/PJ.52/2000


tentang PPN atas Penggantian Obat di Rumah Sakit antara lain diatur:
a.Butir 2, bahwa mengingat instalasi farmasi melakukan pelayanan
kepada pasien rawat jalan sebagai lazimnya sebuah apotik, maka atas
penyerahan obat-obatan oleh instalasi farmasi kepada pasien rawat jalan tetap
terutang PPN,

b.Butir 4, bahwa apabila apotik atau instalasi farmasi di rumah sakit


yang bertindak lazimnya apotik melakukan penyerahan obat-obatan kepada pasien
rawat jalan dengan cara sebagaimana pedagang eceran, maka rumah sakit yang
mempunyai instalasi farmasi/apotik tersebut adalah merupakan Pengusaha Kena
Pajak Pedagang Eceran (PKP PE). Selanjutnya,PPN harus dibayar atas penyerahan
obat-obatan kepada pasien rawat jalan oleh instalasi farmasi/apotik adalah
sebesar 2% dari jumlah seluruh penyerahan barang dagangan.

3.Berdasarkan Pasal I angka 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor :


251/KMK.03/2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor
567/KMK.04/2000 tentang Nilai Lain Sebagai DPP dinyatakan bahwa ketentuan
Pasal 4 yang mengatur penghitungan PPN yang terutang, PKP PE dapat
menggunakan Nilai Lain sebagai DPP dengan cara:
a.PPN yang terutang atas penyerahan BKP oleh PKP PE adalah sebesar 10%
X Harga jual BKP,

b.Jumlah PPN yang harus dibayar oleh PKP PE adalah sebesar 10% X 20% X
jumlah seluruh penyerahan barang dagangan dinyatakan dihapus;

4. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor


253/KMK.03/2002 tentang PPN atas Penyerahan Barang Dagangan Oleh Pedagang
Eceran Selain Yang Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan

Nomor 402/KMK.03/2002 diatur:

a.Pasal 1, bahwa Pedagang Eceran Selain Yang Menggunakan Norma


Penghitungan Penghasilan Neto adalah Orang Pribadi atau Badan yang
menyelenggarakan pembukuan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaan utamanya
adalah melakukan usaha perdagangan dengan cara sebagai berikut:
1.Menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) melalui suatu tempat
penjualan eceran seperti toko, kios, atau dengan cara penjualan yang
dilakukan langsung kepada konsumen akhir, atau dengan cara penjualan dari
rumah ke rumah;
2.Menyediakan BKP yang diserahkan di tempat penjualan secara
eceran tersebut; dan

3. Melakukan transaksi jual beli secara spontan tanpa didahului


dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak atau lelang dan pada
umumnya bersifat tunai, dan pembeli pada umumnya datang ke tempat penjualan
tersebut langsung membawa sendiri BKP yang dibelinya.

b. Pasal 2, bahwa atas penyerahan barang dagangan oleh Pedagang


Eceran Selain Yang Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, terutang
PPN sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga jual.

5. Berdasarkan ketentuan pada butir 2 sampai dengan 4 serta memperhatikan


isi surat Saudara pada

butir 1, maka dengan ini disampaikan bahwa:

a. Dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor


251/KMK.03/2002 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 253/KMK.03/2002
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
402/KMK.03/2002 maka SE-06/PJ.52/2000 sudah tidak relevan lagi,sehingga
permohonan Saudara untuk tetap menerapkan SE-06/PJ.52/2000 dalam mengenakan
PPN atas penggantian obat di rumah sakit tidak dapat dipenuhi.

b. Apotik atau instalasi farmasi di rumah sakit bertindak lazimnya


apotik yang melakukan penyerahan obat-obatan kepada pasien rawat jalan
dengan cara sebagaimana dilakukan olehpedagang eceran. Oleh karena itu, atas
penyerahan obat-obatan kepada pasien rawat jalan terutang PPN 10% dari harga
jual obat.

c. PPN yang disetor ke kas negara adalah selisih antara Pajak


Keluaran yang telah dipungutsebesar 10% pada saat penyerahan obat-obatan
dengan Pajak Masukan pada saat perolehan obat-obatan.

Demikian untuk dimaklumi.

A.n. DIREKTUR JENDERAL

DIREKTUR PPN DAN PTLL,

ttd

I MADE GDE ERATA


Ditjen Pajak ingatkan 10 hal dalam mengisi SPT
Ditulis oleh Bisnis.com   
Tuesday, 22 February 2011
JAKARTA: Direktorat Jenderal Pajak mengingatkan kepada seluruh wajib pajak untuk memperhatikan 10 hal
penting dalam penyampaian SPT tahunan PPh perorangan.

Plt. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak N.E. Fatimah dalam surat pengumuman bernomor
PENG-4/PJ/.09/2011 mengatakan dalam rangka tertib administrasi perpajakan maka wajib pajak perlu diingatkan
kembali tentang hal-hal penting dalam penyampaian SPT tahunan PPH perorangan.

"Masih banyak ditemukan ketidaklengkapan atau kesalahan dalam penyampaian SPT tahunan PPh wajib pajak
orang pribadi," katanya dalam surat itu yang Bisnis peroleh hari ini.

Kesepuluh hal penting itu adalah pertama, NPWP yang diisikan dalam SPT adalah NPWP atas nama wajib pajak
sendiri dan bukan NPWP bendahara pemotong PPh pasal 21 atau NPWP pemberi kerja.

Kedua, wajib pajak perorangan dalam menyampaikan SPT-nya bisa menggunakan salah satu formulir SPT 1770
SS (penghasilan hanya dari satu pemberi kerja dengan jumlah penghasilan bruto tidak lebih dari Rp60 juta),
formulir SPT 1770 S (pekerjaan buruh atau pegawai tanpa batasan penghasilan), atau formulir 1770 (pekerjaan
bebas atau wiraswasta).

Ketiga, penyampaian SPT 1770 SS harus dilampiri dengan bukti potong PPh pasal 21 (1721 A1 atau 1721 A2).
Keempat, setiap wajib pajak perorangan hanya menyampaikan satu SPT dalam satu amplop.

Hal penting kelima adalah wajib pajak dalam menyampaikan SPT-nya harus mengisi identitas dan elemen-elemen
SPT dengan benar, lengkap, dan jelas. Keenam, penulisan identitas pada amplop SPT harus sama dengan identitas
yang terdapat dalam SPT tahunan di dalamnya. Ketujuh, SPT yang disampaikan agar tidak dilipat untuk
memudahkan proses scanning.

Kedelapan, tanda terima SPT yang diberikan adalah sah sepanjang SPT telah disampaikan dengan benar, lengkap,
dan jelas serta ditandatangani. Kesembilan, dorpbox SPT sebagai alternatif tempat penyampaian SPT akan
disediakan di tempat-tempat yang telah ditentukan sampai dengan 31 Maret.

Dan kesepuluh, setelah 31 Maret 2011 wajib pajak diharapkan menyampaikan SPT tahunan secara langsung ke
kantor pajak tempat wajib pajak terdaftar.

Penghasilan Yang Terkena Pajak


Ditulis oleh Indra Riana   
Thursday, 29 May 2008
Anda sudah mengetahui kapan anda harus memiliki NPWP dan bagaimana mendaftarkan diri anda untuk
mendapatkan NPWP. Sekarang saatnya anda memahami yang dimaksud dengan penghasilan menurut pajak.

Penghasilan Menurut Pajak

Undang-undang perpajakan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas,
yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak
tersebut.

Pengertian   penghasilan   dalam   Undang-undang   ini   tidak memperhatikan adanya penghasilan dan sumber
tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai  kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-
sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.

Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis Kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan
menjadi:

- penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari
praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya;

- penghasilan dari usaha dan kegiatan;

- penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak seperti bunga, dividen, royalti, sewa,
keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha, dan lain sebagainya;

- penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, dan lain sebagainya.

Dilihat dari  penggunaannya,  penghasilan  dapat dipakai. untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak.

Karena Undang-undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang
diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan
demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut
dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang diderita di luar
negeri.

Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau
dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan perighasilan lain yang
dikenakan tarif umum.

Penghasilan Yang Menjadi Obyek Pajak

Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apapun, termasuk :

a.   penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji,
upah,tunjangan, honorarium,komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun,atau imbalan dalam bentuk lainnya,kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini;

b.  hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan ,dan penghargaan;

c.  laba usaha ;

d.  keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

     1)  keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,persekutuan,dan badan lainnya sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal

     2)  keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada
pemegang saham, sekutu, atau anggota;

     3)  keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,pemekaran, pemecahan, atau pengambialihan usaha;

    4)  keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan
sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
e.  penerimaaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;

f.  bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

g.  dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang
polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

h.  royalti;i.   sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

j.   penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

k.  keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah;

l.   keuntungan karena sesilisih kurs mata uang asing;

m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

n.  premi asuransi;

o.  iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

p.  tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.

Penghasilan Yang Dikenakan PPh Final

Atas penghasilan sebagaimana di bawah ini, dikenakan pajak final. Yaitu penghasilan berupa:

- Bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya

- Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek

- Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan.

- Penghasilan tertentu lainnya yang pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pajak Atas Hadiah Undian, Hadiah, & Penghargaan
Ditulis oleh Indra Riana   
Monday, 25 February 2008
Akhir-akhir ini marak dimana-mana perusahaan melakukan promosi
dengan memberikan hadiah kepada konsumennya. Bahkan pajak
hadiahnya banyak di jadikan obyek penipuan melalui telepon seluler.
Sebelum anda tertipu sebaiknya pelajari aturan main atas pajak hadiah
ini.

Dalam aturan perpajakan, sebenarnya pajak atas hadiah ini terbagi 3


jenis, yaitu ;

1. Atas Hadiah Undian

Yang dimaksud dengan Hadiah Undian adalah hadiah dengan nama


dan dalam bentuk apapun yang diberikan melalui undian.

Atas penghasilan berupa hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk
apapun dipotong atau dipungut Pajak Penghasilan yang bersifat Final
sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah bruto hadiah undian.
Penyelenggara undian wajib memotong atau memungut Pajak
Penghasilan atas hadiah undian ini. Jadi ingat,apabila anda menerima
hadiah undian, penyelenggaralah yang harus memotong dan
melaporkan pajaknya bukan anda.

Ketentuan lebih lanjut dapat anda lihat pada Peraturan Pemerintah


Republik Indonesia Nomor 132 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan
Atas Hadiah Undian.

2. Atas Hadiah dan Penghargaan

Yang termasuk dalam Kategori ini adalah

 a.   Hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau


penghargaan yang diberikan melalui suatu perlombaan atau adu
ketangkasan;

b.  Hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan Iainnya


adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diberikan sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang
dilakukan oleh penerima hadiah;

c.   Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan


prestasi dalam kegiatan tertentu.

Atas hadiah  atau  penghargaan  perlombaan,  penghargaan,  dan 


hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya
dikenakan Pajak Penghasilan dengan ketentuan sebagai berikut:

 (1)  Dalam hal penerima penghasilan adalah orang pribadi Wajib Pajak
dalam negeri, dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar tarif
Pasal 17 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
undang Nomor 17 Tahun 2000 dari jumlah penghasilan bruto;

(2)  Dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri
selain BUT, dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20%
(dua puluh persen) dari jumlah  bruto  dengan  memperhatikan 
ketentuan  dalam  Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang
berlaku;

(3)  Dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak badan


termasuk BUT, dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23
ayat (1) huruf a angka 4) Undang-undang  Nomor  7  Tahun  1983 
tentang  Pajak  Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, sebesar 15% (lima
belas persen) dari jumlah penghasilan bruto

3. Atas Hadiah Langsung

Hadiah langsung yaitu hadiah dalam penjualan barang atau jasa


sepanjang diberikan kepada semua pembeli atau konsumen akhir tanpa
diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen akhir
pada saat pembelian barang atau jasa.

Atas hadiah langsung ini tidak termasuk dalam pengertian hadiah dan
penghargaan yang dikenakan Pajak Penghasilan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai hadiah ini dapat anda liahat dalam
Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-395/PJ/2001 Tentang Pengenaan
Pajak Penghasilan Atas Hadiah dan Penghargaan.

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR KEP - 395/PJ./2001
TENTANG
PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN ATAS HADIAH DAN
PENGHARGAAN
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang :
a. Bahwa hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan
penghargaan merupakan Objek Pajak
Penghasilan;
b. bahwa untuk kelancaran pelaksanaan pengenaan Pajak Penghasilan
atas hadiah dari undian atau
pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan tersebut, perlu menetapkan
Keputusan Direktur Jenderal
Pajak tentang Pengenaan Pajak Penghasilan Atas Hadiah Dan
Penghargaan;
Mengingat :
1. Undang-undang. Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17
Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
3985);
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 132 Tahun 2000
tentang Pajak Penghasilan Atas
Hadiah Undian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 237, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4040);
3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-545/PJ/2000 tentang
Petunjuk Pelaksanaan
Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21
dan Pasal 26 Sehubungan
Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENGENAAN PAJAK
PENGHASILAN ATAS HADIAH DAN
PENGHARGAAN.
Pasal 1
Dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, yang dimaksud dengan :
a. Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk
apapun yang diberikan melalui undian;
b. Hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau
penghargaan yang diberikan melalui suatu
perlombaan atau adu ketangkasan;
c. Hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya
adalah hadiah dengan nama dan
dalam bentuk apapun yang diberikan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa dan kegiatan yang
dilakukan oleh penerima hadiah;
d. penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan
prestasi dalam kegiatan tertentu.
Pasal 2
(1) Atas hadiah undian dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah
penghasilan bruto dan bersifat final.
(2) Atas hadiah atau penghargaan perlombaan, penghargaan, dan
hadiah sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, dan kegiatan lainnya dikenakan Pajak Penghasilan dengan
ketentuan sebagai berikut
a. Dalam hal penerima penghasilan adalah orang pribadi Wajib Pajak
dalam negeri, dikenakan
Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar tarif Pasal 17 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor
17 Tahun 2000 dari jumlah penghasilan bruto;
b. Dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri
selain BUT, dikenakan Pajak
Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah
bruto dengan
memperhatikan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda yang berlaku;
c. Dalam hal penerima penghasilan adalah Wajib Pajak badan
termasuk BUT, dikenakan
KPP Madya Batam 1
Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 4)
Undang-undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undangundang
Nomor 17 Tahun 2000, sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah
penghasilan
bruto.
Pasal 3
Tidak termasuk dalam pengertian hadiah dan penghargaan yang
dikenakan Pajak Penghasilan adalah hadiah
langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan
kepada semua pembeli atau konsurnen akhir
tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima langsung oleh konsumen
akhir pada saat pembelian barang atau
jasa.
Pasal 4
Pada saat Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku, Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-02/PJ.33/1998 tanggal 16 Maret 1998 tentang Pengenaan Pajak
Penghasilan Atas Hadiah Dan Penghargaan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 5
Keputusan ini berlaku mulai tanggal I Januari 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juni 2001
DIREKTUR JENDERAL,
ttd,
HADI POERNOMO
KPP
Insentif Pajak Bagi Karyawan Bergaji Di Bawah Rp 5 Juta
Ditulis oleh Indra Riana   
Friday, 06 March 2009
          Dalam rangka mengurangi dampak krisis global yang berakibat pada penurunan
kegiatan perekonomian nasional dan untuk mendorong peningkatan daya beli masyarakat
pekerja, pemerintah memberikan insentif berupa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang
ditanggung pemerintah (DTP) yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
43/PMK.03/2009 tanggal 3 Maret 2009. Sedangkan peraturan pelaksananya diatur dalam
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-22/PJ/2009 Tentang Pelaksanaan Pemberian Pajak
Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Atas Penghasilan Pekerja Pada Pemberi Kerja
Yang Berusaha Pada Kategori Usaha Tertentu.

Yang dimaksud dengan Kategori Usaha Tertentu yang PPh Pasal 21 DTP adalah:

1.   Usaha pertanian termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan, dan kehutanan;
(75 sub sektor usaha)

2.   Usaha perikanan ( 19 sub sektor usaha); dan

3.   Usaha industri pengolahan (370 sub sektor usaha).

           Jadi ingat, tidak semua sektor usaha di berikan fasilitas ini, kebanyakan fasilitas
diberikan kepada sektor usaha yang padat karya. Jadi apabila anda karyawan perusahaan
konsultan atau karyawan perusahaan Event Organiser (EO), jangan berharap anda
mendapatkan fasilitas ini. Lihat lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor
43/PMK.03/2009 untuk melihat daftar Kategori Usaha Tertentu ini

PPh Pasal 21 DTP diberikan kepada pekerja yang bekerja pada pemberi kerja yang
berusaha pada kategori tertentu dengan jumlah penghasilan bruto di atas Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) dan tidak lebih dari Rp 5 juta dalam satu bulan. 

           PPh Pasal 21 DTP tersebut harus dibayarkan secara tunai oleh pemberi kerja
kepada pekerja pada saat pembayaran penghasilan sebesar PPh Pasal 21 yang terutang
atas penghasilan pekerja. Dalam hal selama ini pemberi kerja menanggung PPh Pasal 21
pekerjanya, maka PPh Pasal 21 yang ditanggung tersebut harus tetap diberikan kepada
pekerja yang mendapat fasilitas PPh Pasal 21 DTP. Pemberi kerja wajib melaporkan
realisasi pemberian PPh Pasal 21 DTP pekerjanya beserta daftar pekerja yang diberi
fasilitas PPh Pasal 21 DTP kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat pemberi kerja
terdaftar sebagai lampiran SPT Masa PPh Pasal 21.

 Pemberi kerja wajib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 DTP kepada
pekerja sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Selanjutnya pekerja dapat
mengkreditkan PPh Pasal 21 DTP tersebut dengan PPh yang terutang atas seluruh
penghasilan yang dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Tahun
Pajak 2009.

 PPh Pasal 21 DTP berlaku untuk Masa Pajak Pebruari 2009 sampai dengan Masa
Pajak Nopember 2009 yang dilaporkan paling lambat tanggal 20 Desember 2009.

Selamat naik gaji atas tambahan PPh DTP yang dibayarkan secara tunai ini. (IRDS)
Pokok-Pokok Perubahan UU PPh Terbaru
Ditulis oleh Indra Riana   
Friday, 05 September 2008
Sehubungan telah disahkannya UU Pajak Penghasilan (PPh) oleh DPR pada hari Selasa (2/9/2008), yang akan
diberlakukan pada awal tahun 2009. Berikut ini adalah pokok-pokok perubahan yang ada dalam UU PPh tersebut :

1. Penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh)


Penurunan tarif PPh dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tarif PPh yang berlaku di negara-negara tetangga
yang relatif lebih rendah, meningkatkan daya saing di dalam negeri, mengurangi beban pajak dan meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak (WP).

a. Bagi WP orang pribadi, tarif PPh tertinggi diturunkan dari 35% menjadi 30% dan menyederhanakan lapisan tarif
dari 5 lapisan menjadi 4 lapisan, namun memperluas masing-masing lapisan penghasilan kena pajak (income
bracket), yaitu lapisan tertinggi dari sebesar Rp 200 juta menjadi Rp 500juta.

b. Bagi WP badan, tarif PPh yang semula terdiri dari 3 lapisan, yaitu 10%, 15% dan 30% menjadi tarif tunggal
28% di tahun 2009 dan 25% tahun 2010.
Penerapan tarif tunggal dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan prinsip kesederhanaan dan international best 
practice. Selain itu, bagi WP badan yang telah go public diberikan pengurangan tarif 5% dari tarif normal dengan
kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh masyarakat. Insentif tersebut diharapkan dapat mendorong lebih
banyak perusahaan yang masuk bursa sehingga akan meningkatkan good corporate governance dan mendorong
pasar modal sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi perusahaan.

c.Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang
berlaku terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pemberian insentif tersebut dimaksudkan
untuk mendorong berkembangnya UMKM yang pada kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan bagi
perekonomian di Indonesia. Pemberian insentif juga diharapkan dapat mendorong kepatuhan WP yang bergerak di
UMKM.

d. Bagi WP orang pribadi Pengusaha Tertentu, besarnya angsuran PPh Pasal 25 diturunkan dari 2% menjadi 0,75%
dari peredaran bruto. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk membantu likuiditas WP dengan pembayaran
angsuran pajak yang lebih rendah serta memberikan kepastian dan kesederhanaan penghitungan PPh.

e. Bagi WP pemberi jasa yang semula dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto menjadi
2% dari peredaran bruto. Perubahan tarif tersebut dimaksudkan untuk memberikan keseragaman pemotongan pajak
yang sebelumnya ada yang didasarkan pada penghasilan bruto dan sebagian didasarkan pada penghasilan neto.
Dengan metode ini, penerapan perpajakan diharapkan dapat lebih sederhana dan tarif relatif lebih rendah sehingga
dapat meningkatkan kepatuhan WP.

f. Bagi WP penerima dividen yang semula dikenai tarif PPh progresif dengan tarif tertinggi sampai dengan 35%,
menjadi tarif final 10%. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk mendorong perusahaan untuk membagikan
dividen kepada pemegang saham, mendorong tumbuhnya investasi di Indonesia karena dikenakan tarif lebih
rendah dan meningkatkan kepatuhan WP.

2. Bagi WP yang telah mempunyai NPWP dibebaskan dari kewajiban pembayaran fiskal luar negeri sejak 2009,
dan pemungutan fiskal luar negeri dihapus pada 2011. Pembayaran fiskal luar negeri adalah pembayaran pajak di
muka bagi orang pribadi yang akan bepergian ke luar negeri. Kebijakan penghapusan kewajiban pembayaran fiskal
luar negeri bagi WP yang memiliki NPWP dimaksudkan untuk mendorong WP memiliki NPWP sehingga
memperluas basis pajak. Diharapkan pada 2011 semua masyarakat yang wajib memiliki NPWP telah memiliki
NPWP sehingga kewajiban pembayaran fiskal luar negeri layak dihapuskan.

3. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk diri WP orang pribadi ditingkatkan sebesar 20% dari Rp 13,2 juta
menjadi Rp 15,84 juta, sedangkan untuk tanggungan istri dan keluarga ditingkatkan sebesar 10% dari Rp 1,2 juta
menjadi Rp 1,32 juta dengan paling banyak 3 tanggungan setiap keluarga. Hal ini dimaksudkan untuk
menyesuaikan PTKP dengan perkembangan ekonomi dan moneter serta mengangkat pengaturannya dari peraturan
Menteri Keuangan menjadi undang-undang.

4. Penerapan tarif pemotongan/pemungut an PPh yang lebih tinggi bagi WP yang tidak memiliki NPWP.
a. Bagi WP penerima penghasilan yang dikenai pemotongan PPh Pasal 21 yang tidak mempunyai NPWP dikenai 
pemotongan  20% lebih tinggi dari tarif normal.
b. Bagi WP menerima penghasilan yang dikenai pemotongan PPh Pasal 23 yang tidak mempunyai NPWP, dikenai 
pemotongan 100% lebih tinggi dari tarif normal.
c. Bagi WP yang dikenai pemungutan PPh Pasal 22 yang tidak mempunyai NPWP dikenakan pemungutan 100%
lebih tinggi dari tarif normal.

5.Perluasan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dimaksudkan bahwa pemerintah memberikan
fasilitas kepada masyarakat yang secara nyata ikut berpartisipasi dalam kepentingan sosial, dengan
diperkenankannya biaya tersebut sebagai pengurang penghasilan bruto.
a. Sumbangan dalam rangka penganggulangan bencana nasional dan infrastruktur sosial.
b. Sumbangan dalam rangka fasilitas pendidikan, penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia.
c. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga dan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia.

6. Pengecualian dari objek PPh


a. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan
atau bidang penelitian dan pengembangan yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4 tahun tidak
dikenai pajak.
b. Beasiswa yang diterima atau diperoleh oleh penerima beasiswa tidak dikenai pajak.
c. Bantuan atau santunan yang diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak dikenai pajak.

7. Surplus Bank Indonesia ditegaskan sebagai objek pajak.


Aturan ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan terhadap penafsiran yang berbeda tentang surplus BI.
Menurut UU No.7 Tahun 1983 tentang PPh, pengertian penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis
yangditerima atau diperoleh WP dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian surplus BI adalah
tambahan kemampuan ekonomis yang termasuk objek PPh yang diatur dalam UU PPh.

8. Peraturan perpajakan untuk industri pertambangan minyak dan gas bumi,bidang usaha panas bumi, bidang usaha
pertambangan umum termasuk batubara dan bidang usaha berbasis syariah, diatur tersendiri dengan 
PeraturanPemerintah.

Demkian pokok-pokok perubahan yang ada dalam UU PPh baru ini, mudah-mudahan dapat meneingkatkan
kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPnBM) di antaranya mengatur mengenai pembebasan PPN atas produk
makanan dan minuman di restoran.
Namun, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) mengaku
belum mengetahui ketentuan tersebut dalam UU PPN yang baru.

Menurut Ketua Umum GAPMMI Adhi S Lukman, sosialisasi UU tersebut belum sampai kepada asosiasi
pengusaha makanan dan minuman. "Kami akan cek lagi ke instansi pajak," ujar Adhi kepada VIVAnews
di Jakarta, Rabu 14 April 2010.

Apa sebenarnya isi pasal 4A ayat 2 dan 3 UU Nomor 42 Tahun 2009 tersebut. Berikut kutipan dari UU
yang disahkan dan diundangkan pada 15 Oktober 2009 dan mulai berlaku 1 April 2010 tersebut.
Pasal 4A
(2) Jenis barang yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai adalah barang tertentu dalam kelompok
barang sebagai berikut:

 a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.
 b. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak.
 c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya,
meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk
makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atu katering, dan
 d. Uang, emas batangan, dan surat berharga.

(3) Jenis jasa yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa
berikut:

 a. Jasa pelayanan kesehatan medis.


 b. Jasa pelayanan sosial.
 c. Jasa pengiriman surat dengan perangko.
 d. Jasa keuangan.
 e. Jasa asuransi.
  f. Jasa keagamaan.
 g. Jasa pendidikan.
 h. Jasa kesenian dan hiburan.
 i. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan.
 j. Jasa angkutan umum di darat dan air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri.
 k. Jasa tenaga kerja.
 l. Jasa perhotelan.
 m. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum.
 n. Jasa penyediaan tempat parkir.
 o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam.
 p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos.
 q. Jasa boga dan katering.

Anda mungkin juga menyukai