ALUMINIUM HIDROKSIDA
Indikasi:
dispepsia, hiperfosfatemia (lihat 9.5.2.2).
Peringatan:
lihat keterangan di atas; gangguan ginjal (Lampiran 3).
Interaksi:
lihat Lampiran 1 (antasida).
Kontraindikasi:
hipofosfatemia, porfiria.
Dosis:
1-2 tablet dikunyah 4 kali sehari dan sebelum tidur atau bila diperlukan. Suspensi: 1-
2 sachet (7-14 mL), 3-4 kali sehari, anak > 8 tahun: ½ -1 sachet, 3-4 kali sehari.
MAGNESIUM HIDROKSIDA
Indikasi:
dispepsia.
Peringatan:
gangguan ginjal (lampiran 3).
Interaksi:
lihat Lampiran 1 (antasida).
Kontraindikasi:
hipofosfatemia.
Efek Samping:
diare, bersendawa karena terlepasnya karbondioksida.
Dosis:
1-2 tablet dikunyah 4 kali sehari dan sebelum tidur atau bila diperlukan. Suspensi: 5
mL, 3-4 kali sehari.
Kombinasi Mg(OH)2, CaCO3, Famotidin
Indikasi:
untuk mengurangi gejala yang berhubungan dengan kelebihan asam lambung,
gastritis, tukak lambung, tukak duodeni, yang tidak dapat diatasi dengan antasida.
Peringatan:
gangguan ginjal, gangguan hati, hamil, menyusui; tidak dianjurkan digunakan terus
menerus lebih dari 2 minggu kecuali atas petunjuk dokter.
Interaksi:
lihat Lampiran 1 (antasida).
Kontraindikasi:
hipofosfatemia, alergi terhadap famotidin atau antagonis reseptor H2 lainnya.
Efek Samping:
konstipasi, diare, mual, muntah, sakit kepala, pusing, gangguan irama jantung dan
ruam kulit.
Dosis:
Dewasa dan anak di atas 12 tahun: sehari 2 x 1 tablet kunyah, diminum jika timbul
gejala atau 1 jam sebelum makan. Maksimum 2 tablet/hari (2 tablet dalam 24 jam).
Sebaiknya tidak diminum bersama makanan. Tablet dikunyah sebelum ditelan. Untuk
anak < 12 tahun: sesuai petunjuk dokter.
Natrium bikarbonat merupakan antasida yang larut dalam air dan bekerja cepat. Namun dalam
dosis berlebih dapat menyebabkan alkalosis. Seperti antasida lainnya yang mengandung
karbonat, terlepasnya karbon dioksida menyebabkan sendawa. Natrium bikarbonat sebaiknya
tidak diberikan lagi dalam bentuk sediaan tunggal untuk dispepsia, tapi merupakan bagian dari
kombinasi zat aktif untuk pengobatan saluran cerna. Pemberian natrium bikarbonat dan sediaan
antasida dengan kandungan natrium yang tinggi, seperti campuran magnesium trisilikat,
sebaiknya dihindari pada pasien yang sedang diet rendah garam (pada gagal jantung,
gangguan hati dan ginjal).
Antasida yang mengandung bismut (kecuali kelat) sebaiknya dihindari karena bismut
yang terabsorpsi bersifat neurotoksik, menyebabkan ensefalopati, dan cenderung
menyebabkan konstipasi.
1.2 Antispasmodik dan Obat-Obat Lain yang Mempengaruhi Motilitas Saluran Cerna
Antispasmodik merupakan golongan obat yang memiliki sifat sebagai relaksan otot polos. Obat
yang termasuk dalam kelas ini adalah antimuskarinik dan relaksan yang dipercaya bekerja
langsung di otot halus usus. Sifat relaksan otot polos dari senyawa antimuskarinik dan obat
antispasmodik lain mungkin bermanfaat untuk Irritable Bowel Syndrome (IBS) dan penyakit
divertikular.
Meskipun antispasmodik dapat mengurangi spasme usus, tetapi penggunaannya untuk dispepsia
non-tukak, IBS, dan penyakit divertikular tidak bermanfaat. Manfaat klinik antisekresi lambung
obat antimuskarinik konvensional relatif kecil, Sementara efek sampingnya mirip senyawa
atropin. Selain itu, keberadaannya telah digantikan oleh obat-obat antisekresi yang lebih kuat
dan spesifik, yakni antagonis reseptor-H2 histamin dan antimuskarinik selektif pirenzepin.
Antagonis reseptor dopamin metoklopramid dan domperidon (lihat bagian 1.2.3) menstimulasi
(transit) di saluran cerna.
1.2 Antitukak
Tukak peptik dapat terjadi di lambung, duodenum, esofagus bagian bawah, dan stoma
gastroenterostomi (setelah bedah lambung).
Penyembuhan dapat dibantu dengan berbagai cara seperti penghentian kebiasaan merokok dan
minum antasida dan minum obat penghambat sekresi asam, namun sering terjadi kambuh jika
pengobatan dihentikan. Hampir semua tukak duodenum dan sebagian besar tukak lambung
yang tidak disebabkan oleh AINS, penyebabnya adalah bakteri Helicobacter pylori.
Ranitidin bismut sitrat digunakan dalam pengobatan tukak lambung dan duodenum, dan dalam
kombinasi dengan dua antibakteri untuk eradikasi H. pylori (bagian 1.3).
Sukralfat melindungi mukosa dari asam-pepsin pada tukak lambung dan duodenum. Sukralfat
merupakan kompleks aluminium hidroksida dan sukrosa sulfat yang efeknya sebagai antasida
minimal. Obat ini sebaiknya digunakan secara hati-hati pada pasien yang dirawat secara intensif
(Penting: dilaporkan adanya pembentukan bezoar). Sukralfat tidak dianjurkan digunakan pada
anak di bawah usia 15 tahun.
Monografi:
SUKRALFAT
Indikasi:
Peringatan:
gangguan ginjal (hindari bila berat); kehamilan dan menyusui; pemberian sukralfat dan nutrisi
enteral harus berjarak 1 jam
Interaksi:
Lampiran 1 (sukralfat)
PEMBENTUKAN BEZOAR. Adanya laporan mengenai pembentukan bezoar pada penggunaan
sukralfat. Oleh sebab itu penggunaan sukralfat harus berhati-hati pada pasien dengan penyakit yang
serius, terutama jika secara bersamaan juga mendapat nutrisi enteral atau pasien mengalami gangguan
pengosongan lambung.
Efek Samping:
konstipasi, diare, mual, gangguan pencernaan, gangguan lambung, mulut kering, ruam, reaksi
hipersensitifitas, nyeri punggung, pusing, sakit kepala, vertigo, dan mengantuk, pembentukan
bezoar (lihat keterangan di atas).
Dosis:
tukak lambung dan duodenum serta gastritis kronis, 2 g 2 kali sehari (pagi dan sebelum tidur
malam) atau 1 g 4 kali sehari 1 jam sebelum makan dan sebelum tidur malam, diberikan selama
4-6 minggu atau pada kasus yang resisten, bisa hingga 12 minggu; maksimal 8 g sehari;
Profilaksis tukak akibat stres (suspensi), 1 g 6 kali sehari (maksimal 8 g sehari). Anak di bawah
15 tahun, tidak dianjurkan.
Saran: tablet dapat dilarutkan dalam 10-15 mL air, antasida tidak boleh diberikan setengah jam
sebelum atau sesudah pemberian sukralfat.
1.6 Pencahar
1.7 Hemoroid
DIGOKSIN
Indikasi:
Peringatan:
Infark jantung baru; sindrom penyakit sinus; penyakit tiroid; kurangi dosis pada usia lanjut
(lihat lampiran 3); hindari hipokalemia dan pemberian intravena yang sangat cepat (nausea
dan risiko aritmia); gangguan fungsi ginjal; kehamilan (lihat lampiran 2).
Interaksi:
Digoksin dapat diadsorpsi bila diberikan bersama kolestiramin, kolestipol, kaolin/pektin atau
karbo-adsorbens. Karena itu pemberian digoksin harus berjarak paling sedikit 2 jam sebelum
atau sesudah pemberian obat-obat di atas. Pemberian bersama kinidin menaikkan kadar
digoksin plasma sampai sekitar 70-100%. Hal tersebut diperkirakan karena kinidin
mengurangi klirens ginjal dan volume distribusi digoksin (terjadi perpindahan digoksin dari
otot skelet). Dengan demikian dosis digoksin harus dikurangi sampai 50% dan dilakukan
pemantauan kadar digoksin plasma. Verapamil, suatu antagonis kalsium menunjukkan
interaksi yang sama dengan kinidin.
Obat antiaritmia yang lain seperti prokainamid, disopiramid, dan meksiletin tidak
menunjukkan interaksi seperti kinidin, lihat lampiran 1 (Glikosida jantung).
Kontraindikasi:
Blok jantung komplit yang intermiten; blok AV derajat II; aritmia supraventrikular karena
sindrom Wolf-Parkinson-White; takikardi atau fibrilasi ventrikular; kardiomiopati obstruktif
hipertrofik.
Efek Samping:
Biasanya karena dosis yang berlebihan, termasuk anoreksia, mual muntah, diare, nyeri
abdomen, gangguan penglihatan, sakit kepala, rasa capai, mengantuk, bingung, pusing;
depresi; delirium, halusinasi; aritmia, blok jantung; rash yang jarang; iskemi usus;
ginekomastia pada pemakaian jangka panjang; trombositopenia.
Dosis:
oral, untuk digitalisasi cepat: 1-1,5 mg/24 jam dalam dosis terbagi; bila tidak diperlukan
cepat: 250 - 500 mcg sehari (dosis lebih tinggi harus dibagi).
Dosis penunjang, 62,5–500 mcg sehari tergantung pada fungsi ginjal, dan pada fibrilasi
atrial, pada respon denyut jantung. Dosis penunjang biasanya berkisar 125–250 mcg/hari
(pada usia lanjut 125 mcg/hari).
Pada keadaan gawat darurat/akut, dosis muatan diberikan secara infus intravena, 250–500
mcg dalam 15–20 menit, diikuti dengan sisanya dalam dosis terbagi tiap 4-8 jam (tergantung
dari respon jantung) sampai total dosis muatan 0,5–1 mg tercapai. Bila memungkinkan
dilakukan monitoring kadar plasma digoksin, sampel darah diambil paling sedikit 6 jam
setelah suatu dosis diberikan.
2.2 Aritmia
Obat-obat anti aritmia dapat diklasifikasikan secara klinik menjadi kelompok obat untuk aritmia
supraventrikel (misal verapamil), kelompok obat untuk aritmia supraventrikel maupun aritmia
ventrikel (misal disopiramid), dan kelompok obat untuk aritmia ventrikel (misal lidokain).
Obat-obat aritmia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan efeknya pada aktivitas listrik sel
miokard:
Kelas Ia, b, c: obat-obat yang mensta- bilkan membran (misal berturut-turut kinidin, lidokain,
flekainid).
Kelas II : beta-bloker.
Kelas III : amiodaron, dan sotalol (juga kelas II).
Kelas IV : antagonis kalsium (misal verapamil, tapi bukan golongan dihidropiridin).
Klasifikasi terakhir ini (klasifikasi Vaughan Williams) kurang dimanfaatkan dalam praktek
klinik.
Peringatan. Efek inotropik negatif obat-obat antiaritmia cenderung saling memperkuat. Oleh
karena itu perlu perhatian khusus bila obat yang digunakan dua atau lebih, terutama bila fungsi
miokard terganggu. Sebagian besar atau semua obat yang efektif dalam mengatasi aritmia dapat
juga membuat aritmia semakin memburuk pada beberapa kondisi tertentu; selain itu,
hipokalemia meningkatkan efek aritmogenik beberapa obat.
A. Aritmia Supraventrikel
ADENOSIN
Indikasi:
Peringatan:
fibrilasi atau fluter atrium dengan jalur tambahan (konduksi melalui jalur tambahan tersebut
dapat meningkat); transplantasi jantung;
Interaksi:
Kontraindikasi:
blok AV derajat 2 atau 3 dan sindrom gangguan sinus (kecuali bila digunakan pacu jantung);
asma.
Efek Samping:
muka merah (transient), nyeri dada, sesak napas, bronkospasme, rasa tercekik, mual, kepala
terasa ringan, bradikardia berat; gangguan ritme (transient) pada EKG.
Dosis:
injeksi intravena cepat ke dalam vena sentral atau vena perifer yang besar, 3 mg selama 2 detik
dengan pantauan jantung; bila perlu diikuti dengan 6 mg setelah 1-2 menit, dan kemudian 12
mg setelah 1-2 menit lagi; penambahan dosis jangan dilakukan bila terjadi blok AV derajat 2
atau lebih.
Catatan. Dosis 3 mg tidak efektif pada sejumlah pasien, maka dosis awal yang lebih tinggi
kadang-kadang digunakan tapi pasien dengan transplantasi jantung sangat sensitif terhadap efek
adenosin, dan tidak boleh diberi dosis awal yang lebih tinggi. Juga bila perlu memberikan
adenosin bersama dipiridamol, dosis awal adenosin harus dikurangi menjadi 0,5-1 mg.
VERAPAMIL HIDROKLORIDA
Indikasi:
hipertensi.
Peringatan:
diketahui dengan pasti; hati-hati penggunaan pada penderita dengan penurunan transimisi
neuromuskuler. Hati-hati penggunaan pada Blok AV, hipotensi, bradikardi, penurunan fungsi
hepar berat, penyakit di mana transmisi neuromuskular terkena (miastenia gravis, sindroma
Lambert-Eaton, distropi otot Duchene lanjut). Efek verapamil pada konduksi nodus AV dan SA
dapat menyebabkan AV blok dan bradikardia sementara.
Interaksi:
Bila verapamil dikombinasikan dengan obat-obat kardiodepresan atau obat yang menghambat
nodus AV, misal beta bloker, kuinidin, maka dapat menyebabkan sinergisme; Pemberian
bersamaan dengan antihipertensi oral lainnya (seperti vasodilator, penghambat ACE, diuretika,
beta bloker) akan memperkuat efek penurunan tekanan darah; Penggunaan verapamil dapat
meningkatkan kadar plasma karbamazepin sehingga meningkatkan efek samping karbamazepin
seperti diplopia, sakit kepala , ataksia, atau pusing; Penggunaan dengan rifampisin maupun
fenobarbital akan meningkatkan eliminasi verapamil sehingga menurunkan ketersediaan hayati
verapamil oral.
Kontraindikasi:
Penderita hipersensitivitas, syok kardiogenik, infark miokard akut dengan komplikasi, AV blok
tingkat II-III (kecuali pada pasien dengan pacu jantung), sindroma sick sinus (kecuali pada
pasien dengan pacu jantung), gagal jantung kongestif, fluter atau fibrilasi atrium dengan
jalur by pass (misal sindroma Wolf-Parkinson-White, sindroma Lown-Gonong-Levine).
Efek Samping:
efek samping yang umum terjadi adalah: konstipasi, pusing, mual, hipotensi, sakit kepala,
edema, edema paru, fatigue, dispnea, bradikardia, AV blok, rash.
Dosis:
hipertensi, 240-480 mg sehari dalam 2-3 dosis terbagi. Injeksi intravena lambat selama 2 menit
(3 menit pada usia lanjut), 5-10 mg (sebaiknya dengan pemantauan ECG); pada takiaritmia
paroksimal jika perlu 5 mg lagi setelah 5-10 menit.
Angina, 80-120 mm 3 kali sehari; Hipertensi, 40 mg 3 kali sehari untuk penderita dengan
respon meingkat seperti pada penderita usia lanjut dan penurunan fungsi hati; Aritmia,
penderita yang mendapat digitalis: 240-320 mg dalam 3-4 dosis bagi; Penderita yang tidak
mendapat digitalis: 240-480 mg dalam 3-4 dosis bagi.
2.3 Antihipertensi
2.5 Diuretika
2.7 Antiplatelet
2.8 Fibrinolitik
2.10 Hipolipidemik
Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang mempunyai efek farmakologi
atau efek samping yang serupa atau yang berlawanan. Interaksi ini dapat disebabkan karena
kompetisi pada reseptor yang sama, atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem
fisiologik yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diperkirakan berdasarkan sifat farmakologi
obat-obat yang berinteraksi. Pada umumnya, interaksi yang terjadi dengan suatu obat akan
terjadi juga dengan obat sejenisnya. Interaksi ini terjadi dengan intensitas yang berbeda pada
kebanyakan pasien yang mendapat obat-obat yang saling berinteraksi.
Interaksi Farmakokinetik
Yaitu interaksi yang terjadi apabila satu obat mengubah absorpsi, distribusi, metabolisme, atau
ekskresi obat lain. Dengan demikian interaksi ini meningkatkan atau mengurangi jumlah obat
yang tersedia (dalam tubuh) untuk dapat menimbulkan efek farmakologinya. Tidak mudah
untuk memperkirakan interaksi jenis ini dan banyak diantaranya hanya mempengaruhi pada
sebagian kecil pasien yang mendapat kombinasi obat-obat tersebut. Interaksi farmakokinetik
yang terjadi pada satu obat belum tentu akan terjadi pula dengan obat lain yang sejenis, kecuali
jika memiliki sifat-sifat farmakokinetik yang sama .
Mempengaruhi absorpsi
Kecepatan absorpsi atau total jumlah yang diabsorpsi dapat dipengaruhi oleh interaksi obat.
Secara klinis, absorpsi yang tertunda kurang berarti kecuali diperlukan kadar obat dalam plasma
yang tinggi (misal pada pemberian analgesik). Namun demikian penurunan jumlah yang
diabsorbsi dapat menyebabkan terapi menjadi tidak efektif.
Mempengaruhi metabolisme.
Banyak obat dimetabolisme di hati. Induksi terhadap sistem enzim mikrosomal hati oleh salah
satu obat dapat menyebabkan perubahan kecepatan metabolisme obat lainnya secara bertahap,
sehingga menyebabkan rendahnya kadar plasma dan mengurangi efek obat. Penghentian obat
penginduksi tersebut dapat menyebabkan meningkatnya kadar plasma obat yang lainnya
sehingga terjadi gejala toksisitas. Barbiturat, griseofulvin, beberapa antiepilepsi dan rifampisin
adalah penginduksi enzim yang paling penting. Obat yang dipengaruhi antara lain warfarin dan
kontrasepsi oral.
Sebaliknya, saat suatu obat menghambat metabolisme obat lain, akan terjadi peningkatan kadar
plasma, sehingga menghasilkan peningkatan efek secara cepat dan juga meningkatkan risiko.
Beberapa obat yang meningkatkan potensi warfarin dan fenitoin memiliki mekanisme seperti
di atas.
Isoenzim dari sistem sitokrom hepatik P450 berinteraksi dengan sebagian besar obat. Obat dapat bertind
penginduksi, atau penghambat dari isoenzim yang berbeda. Beberapa informasi in-vitro tentang efek obat terha
tersedia, tetapi karena eliminasi obat dapat melalui beberapa jalur metabolisme seperti eliminasi oleh ginjal m
interaksi tidak dapat diprediksi secara tepat berdasarkan data laboratorium tentang isoenzim sitokrom
menampilkan interaksi yang telah dilaporkan pada tenaga kesehatan, kecuali kombinasi dua obat memang
Pada tiap kasus kemungkinan interaksi harus dipertimbangkan jika terjadi efek toksik atau jika aktivitas ob
hilang.
PENTINGNYA INTERAKSI
Banyak interaksi obat tidak berbahaya tetapi banyak juga interaksi yang potensial berbahaya
hanya terjadi pada sebagian kecil pasien. Terlebih, derajat keparahan suatu interaksi bervariasi
dari satu pasien ke pasien lain. Obat-obat dengan indeks terapi sempit (misalnya fenitoin) dan
obat-obat yang memerlukan kontrol dosis yang ketat (antikoagulan, antihipertensi dan
antidiabetes) adalah obat-obat yang paling sering terlibat.
Pasien dengan peningkatan risiko mengalami interaksi obat adalah lansia dan orang-orang
dengan gagal ginjal atau hati.
Interaksi yang tidak ditandai dengan simbol biasanya tidak mempunyai akibat yang serius.
Gangguan metabolisme obat. Metabolisme hati merupakan jalur eliminasi utama kebanyakan
obat. Jumlah obat yang disimpan di hati akan lebih besar dan gangguan hati menjadi makin
berat sebelum dapat diamati adanya perubahan penting metabolisme obat. Pemeriksaan rutin
dari fungsi hati bukan merupakan panduan yang baik dalam menentukan kapasitas hati
memetabolisme obat. Pada pasien tertentu tidak mungkin untuk memperkirakan gangguan
metabolisme dari obat tertentu.
Beberapa obat misalnya rifampisin dan asam fusidat diekskresi di dalam empedu tanpa diubah
dan dapat diakumulasi pada pasien dengan ikterus dengan obstruksi intrahepatik dan
ekstrahepatik.
Hipoproteinemia. Hipoalbuminemia pada gangguan hati berat terkait dengan penurunan ikatan
protein dan meningkatnya toksisitas obat yang terikat secara kuat dengan protein misalnya
fenitoin dan prednisolon.
Pengurangan Koagulasi. Pengurangan sintesis hati dari faktor koagulasi darah ditandai
dengan perpanjangan waktu pembentukan protrombin dan peningkatan sensitivitas
antikoagulan oral misalnya warfarin dan fenindion.
Ensefalopati hati. Pada gangguan hati berat, banyak obat lebih lanjut dapat merusak fungsi
otak dan dapat memperburuk ensefalopati hati. Contohnya meliputi semua obat sedatif,
analgesik opioid, diuretik yang menyebabkan hipokalemia dan obat yang menyebabkan
konstipasi.
Kelebihan Cairan. Udem dan ascites pada gangguan hati kronik dapat diperburuk dengan obat
yang meningkatkan retensi cairan misalnya AINS, kortikosteroid dan karbenoksolon.
Obat Hepatotoksik. Hepatotoksik tidak berhubungan dengan dosis dan sulit diperkirakan
(idiosinkratik). Obat yang menyebabkan toksisitas yang terkait dengan dosis pemberian, juga
dapat menyebabkan toksisitas dalam dosis kecil dibanding pada pasien dengan fungsi hati
normal. Pada pasien dengan gangguan hati, reaksi idiosinkrasi yang disebabkan oleh obat dapat
terjadi dengan frekuensi yang lebih sering. Obat tersebut sebaiknya dihindari atau digunakan
secara berhati-hati.