Anda di halaman 1dari 13

BAB 1 SISTEM SALURAN CERNA

1.1 Dispepsia dan Refluks Gastroesofagal


Dispepsia meliputi rasa nyeri, perut terasa penuh, kembung dan mual. Gejala ini dapat muncul
bersamaan dengan tukak duodeni dan kanker lambung tapi umumnya tidak diketahui penyebabnya.
1.1.1 Antasida dan Simetikon
Pemberian antasida bersama-sama dengan obat lain sebaiknya dihindari karena mungkin dapat
mengganggu absorpsi obat lain. Selain itu, antasida mungkin dapat merusak salut enterik yang
dirancang untuk mencegah pelarutan obat dalam lambung: lihat Lampiran 1 (antasida dan
AINS).
1.1.1.1 Antasida dengan Kandungan Aluminium dan/atau Magnesium

ALUMINIUM HIDROKSIDA
Indikasi: 
dispepsia, hiperfosfatemia (lihat 9.5.2.2).
Peringatan: 
lihat keterangan di atas; gangguan ginjal (Lampiran 3).
Interaksi: 
lihat Lampiran 1 (antasida).
Kontraindikasi: 
hipofosfatemia, porfiria.
Dosis: 
1-2 tablet dikunyah 4 kali sehari dan sebelum tidur atau bila diperlukan. Suspensi: 1-
2 sachet (7-14 mL), 3-4 kali sehari, anak > 8 tahun: ½ -1 sachet, 3-4 kali sehari.
MAGNESIUM HIDROKSIDA
Indikasi: 
dispepsia.
Peringatan: 
gangguan ginjal (lampiran 3).
Interaksi: 
lihat Lampiran 1 (antasida).
Kontraindikasi: 
hipofosfatemia.
Efek Samping: 
diare, bersendawa karena terlepasnya karbondioksida.
Dosis: 
1-2 tablet dikunyah 4 kali sehari dan sebelum tidur atau bila diperlukan. Suspensi: 5
mL, 3-4 kali sehari.
Kombinasi Mg(OH)2, CaCO3, Famotidin
Indikasi: 
untuk mengurangi gejala yang berhubungan dengan kelebihan asam lambung,
gastritis, tukak lambung, tukak duodeni, yang tidak dapat diatasi dengan antasida.
Peringatan: 
gangguan ginjal, gangguan hati, hamil, menyusui; tidak dianjurkan digunakan terus
menerus lebih dari 2 minggu kecuali atas petunjuk dokter.
Interaksi: 
lihat Lampiran 1 (antasida).
Kontraindikasi: 
hipofosfatemia, alergi terhadap famotidin atau antagonis reseptor H2 lainnya.
Efek Samping: 
konstipasi, diare, mual, muntah, sakit kepala, pusing, gangguan irama jantung dan
ruam kulit.
Dosis: 
Dewasa dan anak di atas 12 tahun: sehari 2 x 1 tablet kunyah, diminum jika timbul
gejala atau 1 jam sebelum makan. Maksimum 2 tablet/hari (2 tablet dalam 24 jam).
Sebaiknya tidak diminum bersama makanan. Tablet dikunyah sebelum ditelan. Untuk
anak < 12 tahun: sesuai petunjuk dokter.

1.1.1.2 Antasida Dengan Kandungan Natrium Bikarbonat

Natrium bikarbonat merupakan antasida yang larut dalam air dan bekerja cepat. Namun dalam
dosis berlebih dapat menyebabkan alkalosis. Seperti antasida lainnya yang mengandung
karbonat, terlepasnya karbon dioksida menyebabkan sendawa. Natrium bikarbonat sebaiknya
tidak diberikan lagi dalam bentuk sediaan tunggal untuk dispepsia, tapi merupakan bagian dari
kombinasi zat aktif untuk pengobatan saluran cerna. Pemberian natrium bikarbonat dan sediaan
antasida dengan kandungan natrium yang tinggi, seperti campuran magnesium trisilikat,
sebaiknya dihindari pada pasien yang sedang diet rendah garam (pada gagal jantung,
gangguan hati dan ginjal).

1.1.1.3 Antasida dengan Kandungan Bismut dan Kalsium

Antasida yang mengandung bismut (kecuali kelat) sebaiknya dihindari karena bismut
yang terabsorpsi bersifat neurotoksik, menyebabkan ensefalopati, dan cenderung
menyebabkan konstipasi.

Antasida yang mengandung kalsium dapat menginduksi sekresi asam lambung.


Pada dosis rendah manfaat klinisnya diragukan. Sedangkan penggunaan dosis besar
jangka panjang dapat menyebabkan hiperkalsemia dan alkalosis, serta memperburuk
sindrom susu-alkalis.

1.1.1.4 Antasida dengan Kandungan Simetikon


Senyawa antasida lain sering kali ditemukan dalam sediaan tunggal maupun kombinasi.
Simetikon (bentuk aktif dimetikon), diberikan sendiri atau ditambahkan pada antasida sebagai
antibuih untuk meringankan kembung (flatulen). Pada perawatan paliatif, dapat mengatasi
cegukan.

1.2 Antispasmodik dan Obat-Obat Lain yang Mempengaruhi Motilitas Saluran Cerna
Antispasmodik merupakan golongan obat yang memiliki sifat sebagai relaksan otot polos. Obat
yang termasuk dalam kelas ini adalah antimuskarinik dan relaksan yang dipercaya bekerja
langsung di otot halus usus. Sifat relaksan otot polos dari senyawa antimuskarinik dan obat
antispasmodik lain mungkin bermanfaat untuk Irritable Bowel Syndrome (IBS) dan penyakit
divertikular.

Meskipun antispasmodik dapat mengurangi spasme usus, tetapi penggunaannya untuk dispepsia
non-tukak, IBS, dan penyakit divertikular tidak bermanfaat. Manfaat klinik antisekresi lambung
obat antimuskarinik konvensional relatif kecil, Sementara efek sampingnya mirip senyawa
atropin. Selain itu, keberadaannya telah digantikan oleh obat-obat antisekresi yang lebih kuat
dan spesifik, yakni antagonis reseptor-H2 histamin dan antimuskarinik selektif pirenzepin.

Antagonis reseptor dopamin metoklopramid dan domperidon (lihat bagian 1.2.3) menstimulasi
(transit) di saluran cerna.

1.2 Antitukak

Tukak peptik dapat terjadi di lambung, duodenum, esofagus bagian bawah, dan stoma
gastroenterostomi (setelah bedah lambung).

Penyembuhan dapat dibantu dengan berbagai cara seperti penghentian kebiasaan merokok dan
minum antasida dan minum obat penghambat sekresi asam, namun sering terjadi kambuh jika
pengobatan dihentikan. Hampir semua tukak duodenum dan sebagian besar tukak lambung
yang tidak disebabkan oleh AINS, penyebabnya adalah bakteri Helicobacter pylori.

Tabel 1.1 Rekomendasi Regimen untuk eradikasi Helicobacter pylori


Antibakteri
Penekan Asam
Amoksisilin Klaritromisin
Esomeprazol 1 g, 2 kali sehari 500 mg, 2 kali sehari
- 500 mg, 2 kali sehari
20 mg, 2 kali sehari
Lansoprazol 1 g, 2 kali sehari 500 mg, 2 kali sehari
1 g, 2 kali sehari -
30 mg, 2 kali sehari - 500 mg, 2 kali sehari
Omeprazol 1 g, 2 kali sehari 500 mg, 2 kali sehari
500 mg, 3 kali sehari -
20 mg, 2 kali sehari - 500 mg, 2 kali sehari
Pantoprazol 1 g, 2 kali sehari 500 mg, 2 kali sehari
- 500 mg, 2 kali sehari
40 mg, 2 kali sehari
Rabeprazol 1 g, 2 kali sehari 500 mg, 2 kali sehari
- 500 mg, 2 kali sehari
20 mg, 2 kali sehari
Ranitidin bismuth sitrat 1 g, 2 kali sehari 500 mg, 2 kali sehari
1 g, 2 kali sehari -
- 500 mg, 2 kali sehari
400 mg, 2 kali sehari
 

Tabel 1.2 Rekomendasi Regimen untuk eradikasi Helicobacter pylori pada anak


Dosis Oral
Terapi Eradikasi Usia
(untuk digunakan dalam kombinasi omeprazol)
250 mg, 2 kali sehari (dengan klaritromisin)
1 - 6 tahun
125 mg, 3 kali sehari (dengan metronidazol)
500 mg, 2 kali sehari (dengan klaritromisin)
Amoksisilin 6 - 12 tahun
250 mg, 3 kali sehari (dengan metronidazol)
1 g, 2 kali sehari (dengan klaritromisin)
12 - 18 tahun
500 mg, 3 kali sehari (dengan metronidazol)
1 - 2 tahun 62,5 mg, 2 kali sehari (dengan metronidazol atau amoksisilin)
2 - 6 tahun 125 mg, 2 kali sehari (dengan metronidazol atau amoksisilin)
Klaritromisin 6 - 9 tahun 187,5 mg, 2 kali sehari (dengan metronidazol atau amoksisilin)
9 - 12 tahun 250 mg, 2 kali sehari (dengan metronidazol atau amoksisilin)
12 - 18 tahun 500 mg, 2 kali sehari (dengan metronidazol atau amoksisilin)
100 mg, 2 kali sehari (dengan klaritromisin)
1 - 6 tahun
100 mg, 3 kali sehari (dengan amoksisilin)
200 mg, 2 kali sehari (dengan klaritromisin)
Metronidazol 6 - 12 tahun
200 mg, 3 kali sehari (dengan amoksisilin)
400 mg, 2 kali sehari (dengan klaritromisin)
12 - 18 tahun
400 mg, 3 kali sehari (dengan amoksisilin)

1.3.2 Kelator dan Senyawa Kompleks


Trikalium disitratobismutat adalah suatu kelat bismut yang efektif dalam mengatasi tukak
lambung dan duodenum. Peran trikalium disitratobismutat pada regimen eradikasi Helicobacter
pylori pada pasien yang tidak respons terhadap regimen lini pertama dapat dilihat pada bagian
1.3

Ranitidin bismut sitrat digunakan dalam pengobatan tukak lambung dan duodenum, dan dalam
kombinasi dengan dua antibakteri untuk eradikasi H. pylori (bagian 1.3).

Sukralfat melindungi mukosa dari asam-pepsin pada tukak lambung dan duodenum. Sukralfat
merupakan kompleks aluminium hidroksida dan sukrosa sulfat yang efeknya sebagai antasida
minimal. Obat ini sebaiknya digunakan secara hati-hati pada pasien yang dirawat secara intensif
(Penting: dilaporkan adanya pembentukan bezoar). Sukralfat tidak dianjurkan digunakan pada
anak di bawah usia 15 tahun.

Monografi: 

SUKRALFAT
Indikasi: 

tukak lambung dan tukak duodenum

Peringatan: 

gangguan ginjal (hindari bila berat); kehamilan dan menyusui; pemberian sukralfat dan nutrisi
enteral harus berjarak 1 jam

Interaksi: 

Lampiran 1 (sukralfat)
PEMBENTUKAN BEZOAR. Adanya laporan mengenai pembentukan bezoar pada penggunaan
sukralfat. Oleh sebab itu penggunaan sukralfat harus berhati-hati pada pasien dengan penyakit yang
serius, terutama jika secara bersamaan juga mendapat nutrisi enteral atau pasien mengalami gangguan
pengosongan lambung.

Efek Samping: 

konstipasi, diare, mual, gangguan pencernaan, gangguan lambung, mulut kering, ruam, reaksi
hipersensitifitas, nyeri punggung, pusing, sakit kepala, vertigo, dan mengantuk, pembentukan
bezoar (lihat keterangan di atas).

Dosis: 

tukak lambung dan duodenum serta gastritis kronis, 2 g 2 kali sehari (pagi dan sebelum tidur
malam) atau 1 g 4 kali sehari 1 jam sebelum makan dan sebelum tidur malam, diberikan selama
4-6 minggu atau pada kasus yang resisten, bisa hingga 12 minggu; maksimal 8 g sehari;
Profilaksis tukak akibat stres (suspensi), 1 g 6 kali sehari (maksimal 8 g sehari). Anak di bawah
15 tahun, tidak dianjurkan.

Saran: tablet dapat dilarutkan dalam 10-15 mL air, antasida tidak boleh diberikan setengah jam
sebelum atau sesudah pemberian sukralfat.

1.4 Diare Akut


1.5 Gangguan Usus Kronis

1.6 Pencahar

1.7 Hemoroid

1.8 Obat yang Mempengaruhi Sekresi Usus

BAB 2 SISTEM KARDIOVASKULER


2.1 Obat Inotropik Positif

2.1.1 Glikosida Jantung

Glikosida jantung meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium dan menurunkan konduktivitas di


atrioventricular (AV) node.

DIGOKSIN
Indikasi: 

Gagal jantung, aritmia supraventrikular (terutama fibrilasi atrium)

Peringatan: 

Infark jantung baru; sindrom penyakit sinus; penyakit tiroid; kurangi dosis pada usia lanjut
(lihat lampiran 3); hindari hipokalemia dan pemberian intravena yang sangat cepat (nausea
dan risiko aritmia); gangguan fungsi ginjal; kehamilan (lihat lampiran 2).

Interaksi: 

Digoksin dapat diadsorpsi bila diberikan bersama kolestiramin, kolestipol, kaolin/pektin atau
karbo-adsorbens. Karena itu pemberian digoksin harus berjarak paling sedikit 2 jam sebelum
atau sesudah pemberian obat-obat di atas. Pemberian bersama kinidin menaikkan kadar
digoksin plasma sampai sekitar 70-100%. Hal tersebut diperkirakan karena kinidin
mengurangi klirens ginjal dan volume distribusi digoksin (terjadi perpindahan digoksin dari
otot skelet). Dengan demikian dosis digoksin harus dikurangi sampai 50% dan dilakukan
pemantauan kadar digoksin plasma. Verapamil, suatu antagonis kalsium menunjukkan
interaksi yang sama dengan kinidin.

Obat antiaritmia yang lain seperti prokainamid, disopiramid, dan meksiletin tidak
menunjukkan interaksi seperti kinidin, lihat lampiran 1 (Glikosida jantung).
Kontraindikasi: 

Blok jantung komplit yang intermiten; blok AV derajat II; aritmia supraventrikular karena
sindrom Wolf-Parkinson-White; takikardi atau fibrilasi ventrikular; kardiomiopati obstruktif
hipertrofik.

Efek Samping: 

Biasanya karena dosis yang berlebihan, termasuk anoreksia, mual muntah, diare, nyeri
abdomen, gangguan penglihatan, sakit kepala, rasa capai, mengantuk, bingung, pusing;
depresi; delirium, halusinasi; aritmia, blok jantung; rash yang jarang; iskemi usus;
ginekomastia pada pemakaian jangka panjang; trombositopenia.

Dosis: 

oral, untuk digitalisasi cepat: 1-1,5 mg/24 jam dalam dosis terbagi; bila tidak diperlukan
cepat: 250 - 500 mcg sehari (dosis lebih tinggi harus dibagi).

Dosis penunjang, 62,5–500 mcg sehari tergantung pada fungsi ginjal, dan pada fibrilasi
atrial, pada respon denyut jantung. Dosis penunjang biasanya berkisar 125–250 mcg/hari
(pada usia lanjut 125 mcg/hari).

Pada keadaan gawat darurat/akut, dosis muatan diberikan secara infus intravena, 250–500
mcg dalam 15–20 menit, diikuti dengan sisanya dalam dosis terbagi tiap 4-8 jam (tergantung
dari respon jantung) sampai total dosis muatan 0,5–1 mg tercapai. Bila memungkinkan
dilakukan monitoring kadar plasma digoksin, sampel darah diambil paling sedikit 6 jam
setelah suatu dosis diberikan.

Gagal jantung, aritmia supraventrikular (terutama fibrilasi atrium)

2.2 Aritmia

Obat-obat anti aritmia dapat diklasifikasikan secara klinik menjadi kelompok obat untuk aritmia
supraventrikel (misal verapamil), kelompok obat untuk aritmia supraventrikel maupun aritmia
ventrikel (misal disopiramid), dan kelompok obat untuk aritmia ventrikel (misal lidokain).

Obat-obat aritmia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan efeknya pada aktivitas listrik sel
miokard:

Kelas Ia, b, c: obat-obat yang mensta- bilkan membran (misal berturut-turut kinidin, lidokain,
flekainid).
Kelas II    : beta-bloker.
Kelas III  : amiodaron, dan sotalol (juga kelas II).
Kelas IV  : antagonis kalsium (misal verapamil, tapi bukan golongan dihidropiridin).
Klasifikasi terakhir ini (klasifikasi Vaughan Williams) kurang dimanfaatkan dalam praktek
klinik. 
Peringatan. Efek inotropik negatif obat-obat antiaritmia cenderung saling memperkuat. Oleh
karena itu perlu perhatian khusus bila obat yang digunakan dua atau lebih, terutama bila fungsi
miokard terganggu. Sebagian besar atau semua obat yang efektif dalam mengatasi aritmia dapat
juga membuat aritmia semakin memburuk pada beberapa kondisi tertentu; selain itu,
hipokalemia meningkatkan efek aritmogenik beberapa obat.

A. Aritmia Supraventrikel

ADENOSIN
Indikasi: 

mengembalikan dengan cepat takikardia supraventrikel paroksismal ke ritme sinus, termasuk


yang berhubungan dengan jalur tambahan (mis. sindrom Wolff-Parkinson-White); membantu
diagnosis takikardia supraventrikel kompleks yang luas maupun yang sempit.

Peringatan: 

fibrilasi atau fluter atrium dengan jalur tambahan (konduksi melalui jalur tambahan tersebut
dapat meningkat); transplantasi jantung;

Interaksi: 

lihat lampiran 1 (adenosin).

Kontraindikasi: 

blok AV derajat 2 atau 3 dan sindrom gangguan sinus (kecuali bila digunakan pacu jantung);
asma.

Efek Samping: 

muka merah (transient), nyeri dada, sesak napas, bronkospasme, rasa tercekik, mual, kepala
terasa ringan, bradikardia berat; gangguan ritme (transient) pada EKG.

Dosis: 

injeksi intravena cepat ke dalam vena sentral atau vena perifer yang besar, 3 mg selama 2 detik
dengan pantauan jantung; bila perlu diikuti dengan 6 mg setelah 1-2 menit, dan kemudian 12
mg setelah 1-2 menit lagi; penambahan dosis jangan dilakukan bila terjadi blok AV derajat 2
atau lebih.

Catatan. Dosis 3 mg tidak efektif pada sejumlah pasien, maka dosis awal yang lebih tinggi
kadang-kadang digunakan tapi pasien dengan transplantasi jantung sangat sensitif terhadap efek
adenosin, dan tidak boleh diberi dosis awal yang lebih tinggi. Juga bila perlu memberikan
adenosin bersama dipiridamol, dosis awal adenosin harus dikurangi menjadi 0,5-1 mg.

VERAPAMIL HIDROKLORIDA
Indikasi: 

hipertensi.

Peringatan: 

diketahui dengan pasti; hati-hati penggunaan pada penderita dengan penurunan transimisi
neuromuskuler. Hati-hati penggunaan pada Blok AV, hipotensi, bradikardi, penurunan fungsi
hepar berat, penyakit di mana transmisi neuromuskular terkena (miastenia gravis, sindroma
Lambert-Eaton, distropi otot Duchene lanjut). Efek verapamil pada konduksi nodus AV dan SA
dapat menyebabkan AV blok dan bradikardia sementara.

Interaksi: 

Bila verapamil dikombinasikan dengan obat-obat kardiodepresan atau obat yang menghambat
nodus AV, misal beta bloker, kuinidin, maka dapat menyebabkan sinergisme; Pemberian
bersamaan dengan antihipertensi oral lainnya (seperti vasodilator, penghambat ACE, diuretika,
beta bloker) akan memperkuat efek penurunan tekanan darah; Penggunaan verapamil dapat
meningkatkan kadar plasma karbamazepin sehingga meningkatkan efek samping karbamazepin
seperti diplopia, sakit kepala , ataksia, atau pusing; Penggunaan dengan rifampisin maupun
fenobarbital akan meningkatkan eliminasi verapamil sehingga menurunkan ketersediaan hayati
verapamil oral. 

Kontraindikasi: 

Penderita hipersensitivitas, syok kardiogenik, infark miokard akut dengan komplikasi, AV blok
tingkat II-III (kecuali pada pasien dengan pacu jantung), sindroma sick sinus (kecuali pada
pasien dengan pacu jantung), gagal jantung kongestif, fluter atau fibrilasi atrium dengan
jalur by pass (misal sindroma Wolf-Parkinson-White, sindroma Lown-Gonong-Levine).

Efek Samping: 

efek samping yang umum terjadi adalah: konstipasi, pusing, mual, hipotensi, sakit kepala,
edema, edema paru, fatigue, dispnea, bradikardia, AV blok, rash.

Dosis: 

hipertensi, 240-480 mg sehari dalam 2-3 dosis terbagi. Injeksi intravena lambat selama 2 menit
(3 menit pada usia lanjut), 5-10 mg (sebaiknya dengan pemantauan ECG); pada takiaritmia
paroksimal jika perlu 5 mg lagi setelah 5-10 menit.
Angina, 80-120 mm 3 kali sehari; Hipertensi, 40 mg 3 kali sehari untuk penderita dengan
respon meingkat seperti pada penderita usia lanjut dan penurunan fungsi hati; Aritmia,
penderita yang mendapat digitalis: 240-320 mg dalam 3-4 dosis bagi; Penderita yang tidak
mendapat digitalis: 240-480 mg dalam 3-4 dosis bagi.

B. Aritmia Supraventrikel dan Ventrikel


C. Aritmia Ventrikel

2.3 Antihipertensi

2.4 Anti Angina

2.5 Diuretika

2.6 Antikoagulan dan Protamin

2.7 Antiplatelet

2.8 Fibrinolitik

2.9 Hemostatik dan Antifibrinolitik

2.10 Hipolipidemik

2.11 Syok dan Hipotensi

2.12 Gangguan Sirkulasi Darah

LAMPIRAN 1 : INTERAKSI OBAT


Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu bersamaan dapat memberikan efek masing-
masing atau saling berinteraksi. Interaksi tersebut dapat bersifat potensiasi atau antagonis satu
obat oleh obat lainnya, atau kadang dapat memberikan efek yang lain. Interaksi obat yang
merugikan sebaiknya dilaporkan kepada Badan/Balai/Balai Besar POM seperti halnya dengan
reaksi obat merugikan lainnya.

Interaksi obat dapat bersifat farmakodinamik atau farmakokinetik.

 
Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang  mempunyai efek farmakologi
atau efek samping yang serupa atau yang berlawanan. Interaksi ini dapat disebabkan karena
kompetisi pada reseptor yang sama, atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem
fisiologik yang sama. Interaksi ini  biasanya dapat diperkirakan berdasarkan sifat farmakologi
obat-obat yang berinteraksi. Pada umumnya, interaksi yang terjadi dengan suatu obat akan
terjadi juga dengan obat sejenisnya. Interaksi ini terjadi dengan intensitas yang berbeda pada
kebanyakan pasien yang mendapat obat-obat yang saling berinteraksi.

Interaksi  Farmakokinetik
Yaitu interaksi yang terjadi apabila satu obat mengubah absorpsi, distribusi, metabolisme, atau
ekskresi obat lain. Dengan demikian interaksi ini meningkatkan atau mengurangi jumlah obat
yang tersedia (dalam tubuh) untuk dapat menimbulkan efek farmakologinya. Tidak mudah
untuk memperkirakan interaksi jenis ini   dan  banyak diantaranya hanya mempengaruhi pada
sebagian kecil pasien yang mendapat kombinasi obat-obat tersebut. Interaksi farmakokinetik
yang terjadi pada satu obat belum tentu akan terjadi pula dengan obat lain yang sejenis, kecuali
jika memiliki sifat-sifat  farmakokinetik yang sama .

Interaksi farmakokinetik dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok:

Mempengaruhi absorpsi
Kecepatan absorpsi atau total jumlah yang diabsorpsi dapat dipengaruhi oleh interaksi obat.
Secara klinis, absorpsi yang tertunda kurang berarti kecuali diperlukan kadar obat dalam plasma
yang tinggi (misal pada pemberian analgesik). Namun demikian penurunan jumlah yang
diabsorbsi dapat menyebabkan terapi menjadi tidak efektif.

Menyebabkan perubahan pada  ikatan protein


Sebagian besar obat berikatan secara lemah dengan protein plasma karena ikatan protein tidak
spesifik, satu obat dapat menggantikan obat yang lainnya, sehingga jumlah bentuk bebas
meningkat dan dapat berdifusi dari plasma ketempat kerja obat. Hal ini akan menghasilkan
peningkatan efek yang terdeteksi hanya jika kadar obat yang berikatan sangat tinggi (lebih dari
90%) dan tidak terdistribusikan secara luas di  seluruh tubuh. Walaupun demikian, penggantian
posisi jarang menyebabkan potensiasi yang lebih dari potensiasi sementara, karena
meningkatnya bentuk bebas juga akan meningkatkan kecepatan eliminasi obat. Penggantian
posisi  pada tempat ikatan protein penting  pada potensiasi warfarin oleh sulfonamid dan
tolbutamid. Tetapi hal ini menjadi penting terutama karena metabolisme warfarin juga
dihambat.

Mempengaruhi metabolisme.
Banyak obat dimetabolisme di hati. Induksi terhadap sistem enzim mikrosomal hati oleh salah
satu obat dapat menyebabkan perubahan kecepatan metabolisme obat lainnya secara bertahap,
sehingga menyebabkan rendahnya kadar plasma dan mengurangi efek obat. Penghentian obat
penginduksi tersebut dapat menyebabkan meningkatnya kadar plasma obat yang lainnya
sehingga terjadi gejala toksisitas. Barbiturat, griseofulvin, beberapa antiepilepsi dan rifampisin
adalah penginduksi enzim yang paling penting. Obat yang dipengaruhi antara lain warfarin dan
kontrasepsi oral.

Sebaliknya, saat suatu obat menghambat metabolisme obat lain, akan terjadi peningkatan kadar
plasma, sehingga menghasilkan peningkatan efek secara cepat dan juga meningkatkan risiko.
Beberapa obat yang meningkatkan potensi warfarin dan fenitoin memiliki mekanisme  seperti
di atas.

Isoenzim dari sistem sitokrom  hepatik P450 berinteraksi dengan sebagian besar obat. Obat dapat bertind
penginduksi, atau penghambat dari  isoenzim yang berbeda. Beberapa informasi in-vitro tentang efek obat terha
tersedia, tetapi karena eliminasi obat dapat melalui beberapa jalur metabolisme seperti eliminasi oleh ginjal m
interaksi tidak dapat diprediksi secara tepat berdasarkan data laboratorium tentang isoenzim sitokrom
menampilkan interaksi yang  telah dilaporkan pada tenaga kesehatan, kecuali kombinasi dua obat memang
Pada tiap kasus kemungkinan  interaksi harus dipertimbangkan jika terjadi efek toksik atau jika aktivitas ob
hilang.

Mempengaruhi ekskresi ginjal


Obat dieliminasi melalui ginjal, melalui filtrasi glomerulus dan melalui sekresi aktif di tubulus
ginjal. Kompetisi terjadi antara obat-obat yang menggunakan mekanisme transport aktif yang
sama di tubulus proksimal. Contohnya salisilat dan beberapa AINS menghambat ekskresi
metotreksat; toksisitas metotreksat yang serius dapat terjadi.

PENTINGNYA INTERAKSI
Banyak interaksi obat tidak berbahaya tetapi banyak juga interaksi yang potensial berbahaya
hanya terjadi pada sebagian kecil pasien. Terlebih, derajat keparahan suatu interaksi bervariasi
dari satu pasien ke pasien lain. Obat-obat dengan indeks terapi sempit (misalnya fenitoin) dan
obat-obat yang memerlukan kontrol dosis yang ketat (antikoagulan, antihipertensi dan
antidiabetes) adalah obat-obat yang paling sering terlibat.

Pasien dengan peningkatan risiko mengalami interaksi obat adalah lansia dan orang-orang
dengan gagal ginjal atau hati.

Interaksi Yang Berbahaya.


Simbol • dicantumkan pada interaksi yang potensial berbahaya serta apabila pemberian
kombinasi obat-obat yang terkait sebaiknya dihindari (atau hanya diberikan dengan peringatan
dan pemantauan  yang memadai).

Interaksi yang tidak ditandai dengan simbol biasanya tidak mempunyai  akibat yang serius.

Daftar Interaksi Obat


Berikut ini adalah daftar berdasarkan alfabetis dari obat-obat dan interaksinya. Untuk
menghindari perujukan silang yang berlebihan, setiap obat atau golongan obat dimasukkan dua
kali: dalam daftar alfabetisme dan juga terhadap obat atau kelompok obat yang berinteraksi
dengannya.
LAMPIRAN 2 : GAGAL HATI
Gangguan hati dapat mempengaruhi respon terhadap obat melalui beberapa cara seperti
diterangkan bawah ini, dan obat sebaiknya diberikan dengan dosis minimum untuk penderita
dengan gangguan hati berat. Masalah ini terutama terjadi pada pasien dengan ikterus, ascites,
atau yang terbukti mengalami enselopati.

Gangguan metabolisme obat. Metabolisme hati merupakan jalur eliminasi utama kebanyakan
obat. Jumlah obat yang disimpan di hati akan lebih besar dan gangguan hati menjadi makin
berat sebelum dapat diamati adanya perubahan penting metabolisme obat. Pemeriksaan rutin
dari fungsi hati bukan merupakan panduan yang baik dalam menentukan kapasitas hati
memetabolisme obat. Pada pasien tertentu tidak mungkin untuk memperkirakan gangguan
metabolisme dari obat tertentu.

Beberapa obat misalnya rifampisin dan asam fusidat diekskresi di dalam empedu tanpa diubah
dan dapat diakumulasi pada pasien dengan ikterus dengan obstruksi intrahepatik dan
ekstrahepatik.

Hipoproteinemia. Hipoalbuminemia pada gangguan hati berat terkait dengan penurunan ikatan
protein dan meningkatnya toksisitas obat yang terikat secara kuat dengan protein misalnya
fenitoin dan prednisolon.

Pengurangan Koagulasi.  Pengurangan sintesis hati dari  faktor  koagulasi darah ditandai
dengan perpanjangan waktu pembentukan protrombin dan peningkatan sensitivitas
antikoagulan oral misalnya warfarin dan fenindion.

Ensefalopati hati. Pada gangguan hati berat, banyak obat lebih lanjut dapat merusak fungsi
otak dan dapat memperburuk ensefalopati hati. Contohnya meliputi semua obat sedatif,
analgesik opioid, diuretik yang menyebabkan hipokalemia dan obat yang menyebabkan
konstipasi.

Kelebihan Cairan. Udem dan ascites pada gangguan hati kronik dapat diperburuk dengan obat
yang meningkatkan retensi cairan misalnya AINS, kortikosteroid dan karbenoksolon.

Obat Hepatotoksik. Hepatotoksik tidak berhubungan dengan dosis dan sulit diperkirakan
(idiosinkratik). Obat yang menyebabkan toksisitas yang terkait dengan dosis pemberian, juga
dapat menyebabkan toksisitas dalam dosis kecil dibanding pada pasien dengan fungsi hati
normal. Pada pasien dengan gangguan hati, reaksi idiosinkrasi yang disebabkan oleh obat dapat
terjadi dengan frekuensi yang lebih sering. Obat tersebut sebaiknya dihindari atau digunakan
secara berhati-hati.

Anda mungkin juga menyukai