Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN KASUS

TUBERKULOSIS PARU

Disusun Oleh:
Nadya Switing Asmara
2110221083

Pembimbing : dr. Renya Hiasinta, Sp.A


Moderator : dr. Hapsari WN, M.Ked,Klin, Sp.A

Dipresentasikan Hari/Tanggal:
Kamis, 7 April 2022

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RSPAD GATOT SOEBROTO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
PERIODE 14 MARET – 27 MEI 2022

1
BAB I
STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. MA
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir / Usia : 08 Mei 2005 / 16 Tahun 10 Bulan
Alamat : Jl. Kembang I No 19, Kwitang,
Jakarta Pusat
Nomor Rekam Medis : 0107XXXX
Tanggal Periksa : Kamis, 24 Maret 2022
Datang Sendiri / Rujukan : Datang sendiri, kontrol
Nama Ayah : Tn. S
Pendidikan Ayah : SMP
Pekerjaan Ayah : Wiraswasta
Nama Ibu : Ny. SS
Pendidikan Ibu : SD
Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Kewarganegaraan : WNI

ALLOANAMNESIS
Keluhan Utama : Batuk
Keluhan Tambahan : tidak ada
Riwayat Penyakit Sekarang
Berdasarkan hasil autoanamnesis dengan pasien, pasien
mengeluhkan batuk tidak berdahak sejak 3 hari sebelum kontrol. Pasien
telah diberikan OAT KDT 2 tablet (karena sudah masuk fase lanjutan)
yang terdiri atas obat Rifampisin 75 mg dan Isoniazid 50 mg. Demam,
mual dan muntah disangkal oleh pasien. Keringat malam hari juga
disangkal oleh pasien. Nafsu makan saat ini sangat baik. Pasien
merasakan terdapat banyak perbaikan dibandingan dengan saat pertama
kali pasien berobat, batuk yang dirasakan telah membaik yang semula

2
batuk setiap saat tanpa henti disertai dengan sesak nafas, saat ini batuk
hanya 1-2 kali sehari, berat badan pasien sudah mengalami kenaikan
sebanyak 12 kg dengan berat badan awal pasien 35kg saat ini 47 kg.

Pasien pertama kali berobat di poli IKA RSPAD Gatot Subroto


pada tanggal 17 November 2021 dan merupakan pasien rujukan dari
RSU Menteng Mitra. Pasien datang dengan keluhan batuk selama 2
bulan. Batuk kering tanpa disertai dahak serta diperberat dengan sesak
nafas. Pasien juga mengeluhkan demam yang dirasakan selama 2
minggu disertai mual dan muntah 3 hari sehingga pasien harus
dilarikan ke rumah sakit dan dirawat di RSU Menteng Mitra Afia
selama 3 hari. demam yang dirasakan naik turun namun tidak mencapai
suhu normal meskipun telah diberikan pengobatan. Pasien juga
mengatakan nafsu makan menurun sehingga mengalami penurunan
berat badan sebanyak 10 kg dalam 1 bulan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Terdiagnosis Tuberkulosis paru 17 November 2021.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti pasien. Kakak
dan ayah pasien saat ini sering batuk.
Riwayat Kehamilan Ibu
Pasien lahir dari ibu G3P3A0. Ibu pasien memiliki riwayat hipertensi
saat kehamilan. Riwayat infeksi disangkal oleh ibu pasien.
Riwayat Kelahiran
Tempat bersalin : Bidan Jakarta
Penolong : Bidan
Cara persalinan : Spontan
Berat badan lahir : Ibu pasien tidak ingat
Panjang badan lahir : Ibu pasien tidak ingat
Masa gestasi : 38 minggu
Keadaan setelah lahir : menangis

3
Nilai APGAR : Tidak diketahui
Kelainan bawaan : Tidak ada
Anak ke : 3 dari 3 bersaudara
Kesan : Neonatus cukup bulan sesuai masa
kelahiran lahir spontan, tidak ada kelainan
bawaan.

Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat atau makanan disangkal oleh pasien.

Riwayat Perkembangan
Motorik kasar:
 Menegakan kepala usia 4 bulan
 Membalik badan usia 6 bulan
 Duduk usia 8 bulan
 Merangkak usia 9 bulan
 Berdiri usia 11 bulan
 Berjalan usia 13 bulan

Motorik halus:
 menggunakan pakaian sendiri usia 5 tahun
 menggambar dan menulis usia 6 tahun

Bahasa: berbicara usia 15 bulan

Personal sosial: Prestasi disekolah baik, pasien selalu mendapatkan


peringkat 10 besar dikelasnya. Hubungan interpersonal pasien dengan
teman pasien baik, pasien memiliki banyak teman disekolah dan cukup aktif
mengikuti organisasi.

Riwayat Nutrisi

ASI/PASI dan Buah/ Bubur Makanan


Umur Nasi Tim
Takaran Biskuit Susu Dewasa
0 - 2 bulan ASI, lupa takaran - - - -

4
2 - 4 bulan ASI, lupa takaran - - - -
4 - 6 bulan ASI, lupa takaran - - - -
ASI + MPASI, lupa
6 - 8 bulan Takaran - + - -
8 - 10 ASI + PASI, lupa
+ + - -
bulan Takaran
10-11
- + - + +
bulan
12 bulan - - - - +

Makanan Dewasa 3x/hari


Nasi : 3 piring dalam satu hari,1 centong nasi setiap kali
makan, namun kadang lebih.
Sayur : sangat jarang, satu minggu satu kali.
Daging : Daging ayam hampir setiap hari, namun daging
lainnya sangat jarang pasien konsumsi.
Telur : 1-2 butir per minggu
Ikan : 1-2 kali per minggu
Tahu : 3 kali per minggu
Tempe : 2-3 kali per minggu
Susu : 1 Gelas Susu kental manis setiap minggu.

Kesulitan makan : Lebih sulit dibandingkan kakak-kakak pasien.


Kesan : Intake sayur, buah serta protein pada pasien kurang
baik.

Riwayat Imunisasi
Jenis I II III IV
- - -
BCG Lupa

DTP Lupa - - -
- - -
Polio Lupa

5
Campak Lupa - - -
Lupa
Hepatitis B
- - -
(0 -7 hari)

Hib Lupa - - -

Kesan : Imunisasi tidak jelas,ibu pasien hanya ingat pernah diimunisasi


namun lupa tanggal serta jenis imunisasi yang diberikan.

Keadaan Anak
Jenis Lahir Mati Keterangan
No Usia Hidup Abortus
Kelamin Mati (sebab) kesehatan

1. 25 tahun Laki-laki 
- - -
Sehat

2. 19 tahun Laki-laki  - - - Sehat

Tuberculosis
3. 16 tahun Perempuan  - - - Paru
(Pasien)

Data Orangtua
Ayah Ibu

Usia 46 39

Pernikahan ke 1 1

Usia saat menikah 33 26

Pendidikan SMP SD

Pekerjaan Wiraswasta Ibu Rumah tangga

Agama Islam Islam

Suku bangsa Jawa Jawa

6
Riwayat penyakit Tidak Ada Hipertensi

Hubungan kekeluargaan Tidak Ada Tidak Ada

Golongan darah Tidak tahu Tidak tahu

Anggota Keluarga Lain yang serumah


Tidak ada.
Masalah Dalam Keluarga
Tidak ada.
Riwayat SosialEkonomi
Pasien tinggal pada perkampungan padat penduduk. Rumah
yang saat ini di tempati merupakan rumah kontrakan. Ventilasi dan
sirkulasi udara rumah pasien tidak cukup baik. Pencahayaan kurang
baik. Kebersihan lingkungan sekitar sangat buruk. Kamar mandi dalam
satu rumah hanya 1 sehingga WC digunakan bersama oleh satu
keluarga. Tempat pembuangan sampah tidak jauh dari rumah, yaitu
tepat didepan rumah yang menjadi sumber pembuangan sampah 3-4
rumah lainnya. Satu rumah dihuni oleh 5 orang yaitu pasien, ayah, ibu
serta kedua kakak pasien. Ayah dan kedua kakak pasien merupakan
perokok aktif. Fasilitas kesehatan terdekat yaitu puskesmas berjarak 1
km dari rumah pasien.

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Tinggi badan : 164 cm
Berat badan : 49 kg
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : GCS E4M6V5,
Compos MentisTanda Vital
Tekanan Darah : 108/84 mmHg
Nadi : 131 x/menit

7
Frekuensi normal, irama reguler, isi
cukup, kuatangkat, ekualisasi baik.
Pernafasan
Respirasi : 20 x/menit,pernafasan thorax
Pola nafas : Regular Suara napas tambahan tidak ada
Suhu : 36,4 C pada temporal
Saturasi O2 : 100 % diudara normal, tanpa bantuan
oksigen
Status Gizi
BB/U : 47/55 x100% :89% (malnutrisi ringan grade I)

TB/U : 164/163x100% :100,6% (Perawakan Normal)

BB/TB : 47/54x100% :90,7% (Gizi Cukup)

Kesan: Gizi cukup dengan malnutrisi ringan grade I


Kelainan mukosa kulit/subkutan yang menyeluruh
Pucat : Tidak ada
Sianosis : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
Perdarahan : Tidak ada
Oedem : Tidak ada
Turgor : Baik
Pembesaran kelenjar getah bening : Tidak ada

KEPALA
Bentuk : Bulat, simetris, tidak ada lesi
Rambut : Normal, distribusi merata
UUB : Tertutup
Kulit kepala : Tidak ada lesi
Sutura : Tidak teraba
WAJAH
Raut muka : tampak sakit ringan

8
Nyeri tekan sinus : Tidak ada
MATA
Palpebra : Tidak ada edema, tidak cekung, simetris
kanan dan kiri.
Konjungtiva : Normal, tidak anemis
Sklera : Tidak ikterik
Pupil : Refleks cahaya +/+, Isokor; Diameter
tidak diukur / tidak diukur
TELINGA
Daun telinga : Normotia
Lubang telinga : Tidak ada sekret, tidak edema, tidak hiperemis
Gendang telinga : Intak, tidak ada perforasi
Pendarahan/sekret : Tidak ada sekret yang keluar
HIDUNG
Bentuk : Normal, simetris. Tidak ada deformitas pada
tulang hidungKulit : Tidak ada tanda inflamasi. Tidak ada lesi pada
kulit Septum : Tidak ada deviasi septum
Konka : Tidak ada pembesaran
Mukosa : Tidak ada tanda inflamasi
MULUT
Bibir : Mukosa lembab, warna tidak pucat, tidak sianosis.
Lidah : Simetris, gerakan ke semua arah, tidak atrofi,
tidak ada coated tongue.
Langit - langit : Tidak ada celah
Tonsil : T1-T1, tidak ada pembesaran, tidak hiperemis.
Faring : Tidak ada hiperemis
Mukosa : Tidak ada tanda inflamasi
Gusi : Tidak ada pendarahan atau hiperplasia

LEHER
Bentuk : Simetris. Proporsi leher tampak normal.

9
Kulit : Tidak ada lesi
Pergerakan : Tidak ada kesulitan, gerakan ke semua arah
Tiroid : Tidak teraba pembesaran
Trakea : Tidak ada tanda deviasi

THORAKS
Bentuk : Simetris
Kulit : Tidak ada kelainan
Retraksi : Tidak ada

PARU
Inspeksi : Bentuk dada normothoraks, simetris.
Palpasi : Gerak dada simetris, Vocal fremitus teraba +/+ simetris,
tidak ada krepitasi
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : Suara vesikuler, Tidak ada wheezing, tidak ada ronki pada
seluruhlapang paru
JANTUNG
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : BJ kanan atas ICS II linea parasternal dextra BJ kiri atas
ICS II linea parasternal sinistra
BJ kanan bawah ICS IV linea parasternal sinistraBJ kiri
bawah ICS V midclavicular sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni reguler, tidak ada suara
tambahan, tidakada murmur, tidak ada gallop
ABDOMEN
Inspeksi : Datar, simetris, tidak tampakdistensi
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Hati : Tidak teraba pembesaran hati.

10
Limpa : Tidak teraba pembesaran
Lain-lain: Tidak ada nyeri tekan, tidak ada ascites.
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen

GENITALIA
Kelamin : Perempuan
Tidak dilakukan pemeriksaan.
PERKEMBANGAN PUBERTAS
Stadium Tanner
Dilakukan dengan memberikan gambar ilustrasi kepada pasien.
Mammae : payudara dan areola membesar, tidak ada
pemisahan garis bentuk
Rambut Pubis : lebih hitam, mulai keriting, jumlah bertambah
Kesan : Tanner 3
ANUS
Lubang anus intak, tidak hiperemis
EKSTREMITAS
Bentuk : Simetris
Posisi : Tidak tampak fraktur atau dislokasi
Kulit : Sawo matang. CRT < 2 detik, akral hangat, lembab

Edema : Tidak ada

Sianosis : Tidak ada

REFLEKS
Fisiologis
BPR :+/+
KPS :+/+
TPS :+/+
APR :+/+
Sistem Motorik
Bentuk Otot : Normal
Tonus Otot : Normal, pada seluruh ekstrimitas

11
Kekuatan Otot : 5 (Normal), pada seluruh ekstrimitas

Cara berdiri dan berjalan : Normal


Gerakan spontan abnormal: Tidak ada
Sistem Sensorik Normal
Patologis
Babinski : Negative
Chaddock : Negative
Gordon : Negative
Schaefer : Negative
Pemeriksaan Rangsangan Meningeal
Kaku kuduk : Negative
Brudzinski I : Negative
Kernig : Negative
Brudzinski II : Negative

PEMERIKSAAN PENUNJANG
HEMATOLOGI LENGKAP
26 Januari 2022
JENIS PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
(09/12/2021)
HEMATOLOGI
Hematologi Lengkap
Hemoglobin 11,6* 12.0–16.0 g/dL
Hematokrit 34* 36-46%
Eritrosit 4.1 4.1-5.1 juta/µL
Leukosit 4500 4,500-13,000/µL
Trombosit 335000 150,000–400,000/µL
Hitung Jenis
 Basofil 0 0–1%
 Eosinofil 4* 1–3%
 Neutrofil 62 50-70%
 Limfosit 25 20–40%

12
 Monosit 3 2–8%
MCV 83 80–96 fL
MCH 28 27–32 pg
MCHC 34 32–36 g/dL
RDW 13.40 11.5–14.5 %
KOAGULASI
Waktu perdarahan 2’00” 1-3 menit
Waktu pembekuan 4’30” 1-6 menit
KIMIA KLINIK
SGOT (AST) 15 <35 U/L
SGPT (ALT) 8 <40 U/L
Ureum 17* 20–50 mg/dL
Kreatinin 0,74 0.5–1.5 mg/dL
Glukosa Darah (sewaktu) 155* 70-140 mg/dL
MIKROBIOLOGI
PCR TB (GeneXpert) -
Tanggal hasil 18-11-2021
Jenis Bahan Sputum
Hasil Positif
MTB Detected
Rif Resistence Not Detected
Pemeriksaan BTA
Jenis Bahan Sputum
Tanggal Periksa 18/11/2021
Hasil Negatif
Pemeriksaan BTA 2
Jenis Bahan Sputum
Tanggal Periksa 18/11/2021
Hasil Negatif, hifa (+)

RADIOGRAFI THORAX
17 November 2021

13
• Jantung tidak membesar
• Aorta dan Mediastinum superior tidak melebar
• Trakea di tengah. Kedua hilus tidak menebal
• Tampak infiltrate di perihilar dan parakardialkanan serta perihiler
kiri
• Kedua hemidiafragma licin. Kedua sinus kostofrenikus lancip
• Scoliosis Vertebrae Thorakolumbal
Kesan :
Gambaran TB paru aktif
RESUME

Anamnesis
Pasien datang untuk kontrol rutin bersama orang tuanya. Saat ini
pasien masih merasakan batuk namun tidak sering, yaitu sebanyak 2-3 kali
sehari. Batuk tidak disertai dahak. Demam disangkal oleh pasien.
Penurunan berat badan disangkal oleh pasien.
Lima bulan SMRS pasien mengeluhkan batuk selama 2 bulan
yang tidak membaik diberikan obat batuk. Batuk tidak disertai dahak dan
diperberat dengan sesak nafas. Pasien juga mengeluhkan demam selama 2
minggu yang tidak membaik meskipun telah meminum obat warung. Berat

14
badan pasien menurun signifikan sebanyak 10 kg dalam 2 bulan terakhir.
Pasien merupakan rujukan dari RSU Menteng Mitra afia.
Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan yang sama, namun
ayah dan kakak pasien sesekali batuk. Ayah dan kakak-kakak pasien
merupakan perokok aktif. Pasien tinggal dilingkungan padat penduduk
dengan sanitasi lingkungan yang kurang baik,ventilasi pada rumah pasien
juga kurang baik, namun pasien masih dapat menjaga kebersihan
rumahnya.
Pasien masih dalam pengobatan 6 bulan, saat ini pasien masuk
dalam pengobatan bulan ke 5. Pasien diberikan paket KDT berisi obat
fase intensif yaitu Rifampicin 75mg, Isoniazid 50mg. Diberikan 3 tablet
2KDT perhari untuk fase lanjutan.
Pemeriksaan Fisis
Keadaan umum pasien tampak sakit ringan. Pada hasil
pemeriksaan dari kepala hingga ekstrimitas dalam batas normal. Untuk
pemeriksaan status gizi pasien, pada status berat badan per umur masuk
kedalam kategori malnutrisi ringan (grade I). Untuk tinggi badan per
umur dalam batas normal, dan status gizi tergolong gizi cukup.
Pemeriksaan Penunjang

Berdasarkan hasil pemeriksaan hematologi didapatkan


penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit, peningkatan eosinofil.
Berdasarkan hasil pemeriksaan PCR TB didapatkan hasil positif dan
terdeteksi kuman MTB. Hasil pemeriksaan foto rontgen thorax
didapatkan gambaran TB paru aktif.

Diagnosis Banding

 TB + malnutrisi ringan
 TB + infeksi jamur + malnutrisi ringan
 TB+ pneumonia + malnutrisi ringan
Diagnosis Kerja
Tuberkulosis dengan malnutrisi ringan

15
Penatalaksanaan
Medikamentosa

 Pemberian OAT pada anak :


Isoniazid 1x10mg/kgBB/hari : 490 mg
per hari Rifampisin 1x15mg/kgBB/hari :
735 mg per hari Pirazinamid
1x35mg/kgBB/hari : 1715 mg per hari
Pada pasien ini tergolong pasien TB terdiagnosis secara klinis,
diberikan terapi fase Intensif 2HRZ pada 2 bulan pertama,
kemudian dilanjutkan dengan terapi fase Lanjutan 4HR pada 4
bulan selanjutnya.
 Atau jika menggunakan KDT, pasien BB 49 kg, menurut
panduan KDT yakni paket KDT untuk anak berisi obat fase
intensif yaitu Rifampicin 75mg, Isoniazid 50mg, Pirazinamid
150mg. Diberikan 3 tablet 4KDT perhari untuk fase intensif,
diminum setiap hari saat perut kosong. Selanjutnya 3 tablet
2KDT untuk fase lanjutan. OAT KDT diminum secara utuh
tidak boleh dibelah atau digerus. Diberikan saat perut kosong
atau paling cepat 1 jam setelah makan.
Non Medikamentosa
 Perbaikan malnutrisi ringan:
Kebutuhan kalori: nilai RDAsesuai umur x BBI sesuai CDC
: 40 x 55
: 2200 kkal

Perhitungan kalori makan pagi


No Nama Porsi Makanan Kalori
1. Nasi 1 porsi 1 mangkuk 200gr 204
2. Telur 2 butir 1 butir/50 gr 310
3. Mangga 1 buah/100gr 60
Total 574

16
Makan siang
No Nama Porsi Makanan Kalori
1. Nasi 1 porsi 1 mangkuk 200gr 204
2. Paha ayam 1 potong/50 gr 95
3. Sayur sop 1 porsi/ 100gr 129
4. Tahu 1 buah/50gr 55
5. Tempe 1 potong/50gr 164
6. Buah pisang 1 buah/100gr 89
Total 736
Makan malam
No Nama Porsi Makanan Kalori
1. Nasi 1 porsi 1 mangkuk 200gr 204
2. Ayam kecap 1 potong/100 gr 223
3. Bihun goreng 1 porsi/ 65gr 250
4. Tumis kangkung 1 porsi/100gr 92
5. Tempe orek 1 porsi/100gr 175
6. Buah apel 1 buah/100gr 53
Total 997
Total kalori makan pagi+makan siang+makan malam= 2301 kkal
 Lacak kemungkinan TB pada keluarga pasien
 Edukasi mengenai keteraturan berobat, bahaya putus
obat, dankemungkinan efek samping obat
 Edukasi mengenai menjaga kebersihan diri dan lingkungan, tata
cara batuk dan bersin jugatentang pemakaian alat makan dan
alat mandi yang tidak boleh bergantian.

Prognosis
- Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
- Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam

17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Pendahuluan1,2

Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan di negara maju


maupun di negara berkembang termasuk Indonesia, baik dari segi morbiditas
maupun mortalitas. Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun
1995, TB merupakan penyebab kematian nomor 3 dari seluruh kelompok usia dan
nomor 1 di antara penyakit infeksi. Berbagai upaya penanggulangan TB secara
nasional sudah lama diupayakan, tetapi usaha tersebut belum menampakkan hasil
yang memuaskan. Indonesia menempati urutan ketiga di bawah Cina dan India
sebagai negara yang paling banyak penderita TB. Salah satu kendala keberhasilan
program pemberantasan TB adalah karena sulitnya menentukan diagnosis TB
pada anak, sehingga terdapat banyak under dan overdiagnosed serta under dan
overtreatment. Berbagai upaya untuk menentukan diagnosis TB pada anak telah
dilakukan, namun sampai saat ini belum ada yang dapat mendiagnosis secara pasti
selain biakan M.tuberculosis. UKK (Unit Kerja Koordinasi) Pulmonologi IDAI
telah membuat Konsensus Nasional TB Anak yang telah dipakai oleh Departemen
Kesehatan sebagai Pedoman Nasional Program Pemberantasan TB secara
Nasional. Namun penggunaan tersebut masih terdapat beberapa kekurangan
sehingga memerlukan revisi yang saat ini sedang dalam perbaikan.
Kendala lain pada tatalaksana TB adalah putus minum obat sebelum selesai.
Pengobatan TB memerlukan waktu 6 bulan dengan minimal 3 macam obat,
sehingga menyebabkan pasien bosan untuk meminum obat. Diharapkan dengan
adanya sistem DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse) terutama
dengan adanya PMO (pengawas menelan obat) penyembuhan kasus TB akan
berhasil karena kendala kepatuhan dapat ditanggulangi.

II.2. Pembahasan
II.2.1. Definisi2,3
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

18
TB (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit TB ini biasanya menyerang paru-paru
tetapi dapat menyebar hampir ke seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal,
tulang, dan nodus limfe. Tuberkulosis menular dari penderita melalui udara,
ketika penderita TB paru batuk, bersin atau meludah, mereka mengeluarkan
kuman TB ke udara yang dapat dihirup oleh orang yang sehat.

II.2.2. Etiologi4,5
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara
lain: M.tuberculosis, M.africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. Yang juga dikenal
sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain
Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas
dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang
terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB. Secara
umum sifat kuman Mycobacterium tuberculosis antara lain adalah sebagai berikut:
• Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 – 0,6 mikron.
• Bersifat tahan asam dalam perwanraan dengan metode Ziehl Neelsen,
berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah
mikroskop.
• Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen,
Ogawa.
• Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka
waktu lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C.
• Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra violet.
Paparan langsung terhada sinar ultra violet, sebagian besar kuman akan
mati dalam waktu beberapa menit. Dalam dahak pada suhu antara 30-
37°C akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu.
• Kuman dapat bersifat dorman

II.2.3. Epidemiologi1,2,6
Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC yang
setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima Negara dengan insiden

19
kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philpina, dan Pakistan. Jumlah kasus
baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017. Berdasarkan jenis
kelamin, jumlah kasus baru TBC pada tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih
besar dibandingkan pada perempuan.

Menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2018, dilaporkan bahwa jumlah


kasus TB Indonesia pada tahun 2018 adalah 511.873 kasus. Kasus TB anak
termasuk dalam rentang usia 0 sampai 14 tahun ditemukan sekitar 54.340 kasus
atau sekitar 10,62% kasus dari total keseluruhan kasus. World Health
Organization (WHO) memperkirakan setiap tahun terdapat 1,3 juta kasus baru TB
anak di dunia. Berdasarkan WHO, dari tiga ratus empat anak yang kontak dengan
penderita dewasa, 48% diantaranya positif.

II.2.4. Penularan Tb2


A. Sumber Penularan TB
Sumber penularan adalah pasien TB terutama pasien yang
mengandung kuman TB dalam dahaknya. Pada waktu batuk atau bersin,
pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet
nuclei / percik renik). Infeksi akan terjadi apabila seseorang menghirup
udara yang mengandung percikan dahak yang infeksius. Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak yang mengandung kuman
sebanyak 0-3500 M.tuberculosis. Sedangkan kalau bersin dapat
mengeluarkan sebanyak 4500 – 1.000.000 M.tuberculosis.
B. Perjalanan Alamiah TB
Pada Manusia. Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah
penyakit.Tahapan tersebut meliputi tahap paparan, infeksi, menderita sakit
dan meninggal dunia, sebagai berikut:
1) Paparan Peluang peningkatan paparan terkait dengan:
 Jumlah kasus menular di masyarakat.
 Peluang kontak dengan kasus menular.
 Tingkat daya tular dahak sumber penularan.
 Intensitas batuk sumber penularan.
 Kedekatan kontak dengan sumber penularan.
 Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan.

20
C. Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6–14 minggu setelah
infeksi. Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap
hidup dalam lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali
tergantung dari daya tahun tubuh manusia. Penyebaran melalui aliran
darah atau getah bening dapat terjadi sebelum penyembuhan lesi.
D. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk menjadi sakit TB adalah tergantung dari:
• Konsentrasi/jumlah kuman yang terhirup: Lamanya waktu
sejak terinfeksi
• Usia seseorang yang terinfeksi
• Tingkat daya tahan tubuh seseorang.
Seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah diantaranya
infeksi HIV AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan
memudahkan berkembangnya TB Aktif (sakit TB).
• Infeksi HIV.
Pada seseorang yang terinfeksi TB, 10% diantaranya akan
menjadi sakit TB. Namun pada seorang dengan HIV positif
akan meningkatkan kejadian TB. Orang dengan HIV berisiko
20-37 kali untuk sakit TB dibandingkan dengan orang yang
tidak terinfeksi HIV, dengan demikian penularan TB di
masyarakat akan meningkat pula.
Faktor risiko kematian karena TB:
 Akibat dari keterlambatan diagnosis
 Pengobatan tidak adekuat.
 Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit
penyerta.
 Pada pasien TB tanpa pengobatan, 50% diantaranya akan
meninggal dan risiko ini meningkat pada pasien dengan HIV
positif. Begitu pula pada ODHA, 25% kematian disebabkan oleh
TB.

II.2.5. Klasifikasi Tuberkulosis2,4

21
1. Tuberkulosis primer
Tuberkulosis primer adalah peradangan paru yang disebabkan
oleh basil tuberkulosis pada tubuh penderita yang belum pernah
mempunyai kekebalan spesifik tehadap basil tersebut. Pembagian
tuberkulosis paru primer.
1. Tuberkulosis primer yang potensial (potential primary
tuberculosis) terjadi kontak dengan kasus terbuka, tetapi uji
tuberculin masih negative.
2. Tuberkulosis primer laten (latent primary tuberculosis). Tanda -
tanda infeksi sudah kelihatan, tetapi luas dan aktivitas penyakit
tidak diketahui. Uji tuberculin masih negative. Radiologis tidak
tampak kelainan.
3. Tuberkulosis primer yang manifest (manifest primary
tuberculosis), uji tuberculin positif dan terlihat kelainan
radiologis.

Tuberkulosis paru post primer


Tuberkulosis paru post primer adalah peradangan paru yang
disebabkan oleh basil tuberkulosis pada tubuh yang telah peka
tehadap tuberkuloprotein.
• Dari luar (eksogen) infeksi ulang pada tubuh yang pernah
menderita tuberkulosis.
• Dari dalam (endogen) infeksi berasal dari basil yang sudah
berada dalam tubuh, merupakan proses lama yang pada mulanya
tenang dan oleh suatu keadaan menjadi aktif kembali.
2. TB Ekstraparu
a. TB Kelenjar
Infeksi TB pada kelenjar limfe superfisial disebut dengan skrofula.
Tuberkulosis kelenjar merupakan bentuk TB ekstrapulmonal pada
anak yang paling sering terjadi, dan terbanyak pada kelenjar limfe
leher. Skrofuloderma biasanya ditemukan di leher dan wajah, dan
di tempat yang mempunyai kelompok kelenjar limfe, misalnya di
daerah parotis, submandibula, supraklavikula, dan daerah lateral

22
leher. Pada penyakit ini didapatkan berbagai bentuk lesi, yaitu plak
dengan fibrosis padat, sinus yang mengeluarkan cairan, serta massa
yang fluktuatif. Pembesaran kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak
keras, diskret, dan tidak nyeri. Pada perabaan, kelenjar sering
terfiksasi pada jaringan di bawah atau di atasnya. Gejala sistemik
biasanya demam dengan suhu yang tidak terlalu tinggi. Uji
tuberkulin biasanya menunjukkan hasil yang positif, sedangkan
gambaran foto toraks terlihat normal pada 70% kasus. Awitan
penyakit kadang-kadang berlangsung lebih akut, dengan demam
tinggi dan pembesaran kelenjar limfe yang cepat, disertai nyeri
tekan dan terdapat fluktuasi.
Diagnosis definitif memerlukan pemeriksaan histologis dan
bakteriologis yang diperoleh melalui biopsi kelenjar limfe dengan
cara aspirasi jarum halus (fine needle aspiration biopsy: FNAB,)
ataupun secara biopsi terbuka (open biopsy), dan harus didiagnosis
banding dengan mikobakterium atipik. Pengobatan berupa 3
macam OAT (rifampisin, INH, PZA). INH, rifampisin, dan PZA
diberikan selama 2 bulan pertama, sedangkan rifampisin dan INH
dilanjutkan sampai 6 bulan. Selain itu perlu diperhatikan
penanganan suportif seperti perbaikan gizi. Tatalaksana
lokal/topikal tidak ada yang khusus, cukup dengan kompres atau
higiene yang baik.
b. Tuberkulosis Pleura
Pleuritis TB biasanya bermanifestasi sebagai penyakit demam
akut yang disertai batuk nonproduktif (94%) dan nyeri dada (78%)
tanpa peningkatan leukosit darah tepi. Penurunan BB dan malaise
dapat dijumpai, demikian juga menggigil. Sebagian besar efusi
pleura TB bersifat unilateral (95%), agak lebih sering di sisi kanan.
Jumlah cairan efusi bervariasi dari sedikit hingga banyak dan
meliputi setengah dari hemitoraks. Dari pemeriksaan foto toraks
dapat dijumpai kelainan parenkim paru. Efusi pleura hampir selalu
terjadi di sisi yang sama dengan kelainan parenkim parunya.

23
Spesimen diagnostik utama efusi pleura TB adalah cairan pleura
dan jaringan pleura. Terapi sama dengan terapi TB paru. Bila
respons terhadap terapi baik, maka suhu akan turun dalam 2
minggu terapi, dan cairan pleura akan diserap dalam 6 minggu.
Pada beberapa pasien, demam dapat berlangsung hingga 2
bulan dan penyerapan cairan memerlukan waktu hingga 4 bulan.
Steroid dapat memperpendek fase demam dan mempercepat
penyerapan cairan serta mencegah perlekatan, walaupun rasio
manfaat dan risiko penggunaannya belum diketahui pasti. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2−6 minggu dengan dosis penuh
dilanjutkan tappering off selama 2−6 minggu, sesuai dengan
lamanya pemberian dosis penuh.
c. Tuberkulosis Perikardium
Tuberkulosis ini jarang terjadi, hanya 0,5−4% dari TB anak.
Gejalanya tidak khas, yaitu demam subfebris, lesu, dan BB turun,
sedangkan nyeri dada jarang timbul pada anak. Dari pemeriksaan
fisis dapat ditemukan friction rub dan suara jantung melemah
dengan pulsus paradoksus. Terdapat pula cairan perikardium yang
khas, yaitu serofibrinosa atau hemoragik. Pada pengobatan
perikarditis TB, selain OAT diberikan juga kortikosteroid.
Perikardiotomi parsial atau komplit dapat diperlukan jika terjadi
penyempitan perikardium.
d. Tuberkulosis Tulang/Sendi
Manifestasi klinis bersifat lambat dan tidak khas. Gejala atau
tanda pada TB tulang atau sendi bergantung pada lokasi kelainan.
Gejala spesifik berupa bengkak, kaku, kemerahan, dan nyeri pada
pergerakan. Tuberkulosis ini juga seringkali ditemukan atau
disadari setelah terjadi trauma. Pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan penunjang untuk TB pada anak secara umum dan
pemeriksaan radiologis pada lokasi yang dicurigai. Pemeriksaan
lain yang dianjurkan adalah aspirasi cairan sendi dengan bantuan
ultrasonografi (USG). Medikamentosa berupa rifampisin, INH,

24
PZA, dan ETB. Rifampisin dan INH diberikan selama 12 bulan,
sedangkan PZA dan ETB selama 2 bulan pertama. Selain itu dapat
juga diberikan terapi suportif. Indikasi tindakan bedah umumnya
adalah adanya kelainan neurologis, instabilitas spinal, dan tidak
respons terhadap OAT. Prognosis penyakit ini sangat bergantung
pada derajat kerusakan sendi atau tulangnya.
e. Tuberkulosis susunan syaraf pusat (SSP)
Bentuk TB SSP berupa meningitis, tuberkuloma, dan
araknoiditis spinalis. Gejala dan tanda meningitis TB dapat dibagi
menjadi 3 fase. - Fase prodormal berlangsung selama 2−3 minggu,
ditandai dengan malaise, sefalgia, demam tidak tinggi, dan dapat
dijumpai perubahan kepribadian. - Fase meningitik ditandai dengan
tanda neurologis yang lebih nyata seperti meningismus, sefalgia
hebat, muntah, kebingungan, dan kelainan saraf kranialis dalam
berbagai derajat.
Fase paralitik merupakan fase percepatan penyakit, gejala
kebingungan berlanjut ke stupor dan koma, kejang, dan
hemiparesis. Untuk keperluan terapi dan penentuan prognosis,
perjalanan penyakit pasien dibagi menjadi tiga tahapan klinis
berdasarkan temuan klinis dan radiologis.
-Tahap 1, pasien relatif tenang, tidak ada tanda kelainan neurologis
fokal dan tidak ada bukti hidrosefalus.
-Tahap 2, pasien kebingungan, tampak kelainan fokal seperti
kelumpuhan saraf kranialis atau hemiparesis.
-Tahap 3, penyakit berada dalam tahap lanjut dimana pasien
delirium, stupor, koma, atau hemiplegia.
Dari pemeriksaan cairan serebrospinal terlihat peningkatan
kadar protein dan penurunan kadar glukosa, serta pleositosis
mononuklear dengan hitung sel antara 100−500 sel/µL.
Pemeriksaan lain yang sangat penting adalah pemeriksaan apusan
langsung untuk menemukan BTA dan biakan dari cairan
serebrospinal. Untuk mendapatkan hasil positif dianjurkan

25
melakukan pungsi lumbal selama 3 hari berturut-turut. Terapi dapat
langsung diberikan tanpa menunggu hasil pemeriksaan pungsi
lumbal ke-2 dan ke-3. Untuk menentukan adanya dan luasnya
kelainan di daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus,
dapat dilakukan pemeriksaan CT-scan dengan kontras.
Terapi segera diberikan bila secara klinis meningitis TB.
Medikamentosa berupa OAT, 2 bulan fase intensif dengan 4 OAT
(INH, rifampisin, PZA, dan ETB), dilanjutkan dengan 2 OAT (INH
dan rifampisin) hingga 12 bulan. Steroid dapat sebagai terapi
ajuvantivus, yaitu prednison dengan dosis 1−2 mg/kgBB/hari,
diberikan selama 4 minggu dosis penuh, lalu selama 4 minggu
dilakukan penurunan dosis bertahap (tappering off). Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2−6 minggu dengan dosis penuh
dilanjutkan tappering off selama 2−6 minggu, sesuai dengan
lamanya pemberian dosis penuh.
f. Tuberkulosis Abdomen
Penyakit ini jarang dijumpai, yaitu sekitar 1−5% dari kasus
TB anak. Selain gejala khusus peritonitis TB, dapat timbul gejala
klinis umum TB pada anak. Manifestasi klinis TB abdomen terbagi
dua, yaitu terdapatnya asites dan adanya gambaran fenomena papan
catur. Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan sama dengan
pemeriksaan pada TB secara umum, bila perlu dilakukan
pemeriksaan foto polos abdomen, analisis cairan asites, dan biopsi
peritoneum.
Tatalaksana medikamentosa peritonitis TB sama dengan
tatalaksana TB ekstrapulmonal lain seperti spondilitis TB, yaitu
rifampisin, INH, dan PZA. Rifampisin dan INH diberikan selama
12 bulan, sedangkan PZA selama 2 bulan pertama. Kortikosteroid
diberikan 1−2 mg/kg BB selama 1−2 minggu pertama. Pada
keadaan obstruksi usus karena perlengketan perlu dilakukan
tindakan operasi.
g. Tuberkulosis Hati

26
Manifestasi klinis TB hati adalah gejala klinis umum TB anak
dan gejala tambahan, yaitu hepatomegali, splenomegali, nyeri
perut, dan ikterus. Pemeriksaan tambahan adalah uji fungsi hati,
USG hati, dan biopsi hati. Pengobatan pada TB hati adalah
pemberian OAT berupa empat macam obat, yaitu rifampisin, INH,
PZA, dan ETB, dengan dosis OAT sama seperti TB lainnya.
Rifampisin dan INH diberikan selama 12 bulan, sedangkan PZA
dan ETB diberikan selama 2 bulan pertama pengobatan. Penyakit
ini memerlukan pemantauan terhadap uji fungsi hati. Pemantauan
ketat sebaiknya dilakukan selama 2 bulan pertama dengan
perhatian khusus pada 2 minggu pertama pengobatan.
h. Tuberkulosis Ginjal
Pasien dengan TB ginjal, seringkali secara klinis tenang pada
fase awal, hanya ditandai piuria yang steril dan hematuria
mikroskopis. Namun demikian, disuria, nyeri pinggang atau nyeri
abdomen, dan hematuria makroskopis dapat terjadi sesuai dengan
berkembangnya penyakit. Superinfeksi dengan kuman lain, yang
sering kali menyebabkan gejala yang lebih akut, dapat
memperlambat diagnosis TB sebagai penyakit dasarnya.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah biakan TB dari urin,
pielografi intravena (PIV), USG, dan CT- scan. Pengobatan TB
ginjal bersifat holistik, yaitu selain pemberian OAT juga dilakukan
penanganan terhadap kelainan ginjal yang terjadi. Pemberian OAT
terdiri dari sedikitnya empat macam obat pada 2 bulan pertama, dan
dilanjutkan dengan dua macam obat sampai 12 bulan. Bila
diperlukan, tindakan bedah dapat dilakukan setelah pemberian
OAT selama 4−6 minggu
i. Tuberkulosis Milier
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB yang berat
dan merupakan 3−7% dari seluruh kasus TB, dengan angka
kematian yang tinggi (dapat mencapai 25% pada bayi).
Tuberkulosis milier merupakan penyakit limfohematogen sistemik

27
akibat penyebaran kuman M. tuberculosis dari kompleks primer,
yang biasanya terjadi dalam waktu 6 bulan pertama, sering dalam 3
bulan pertama, setelah infeksi awal. Tuberkulosis milier lebih
sering terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama usia <2 tahun,
karena imunitas selular spesifik, fungsi makrofag, dan mekanisme
lokal pertahanan parunya belum berkembang sempurna, sehingga
kuman TB mudah berkembangbiak dan menyebar ke seluruh tubuh.
Akan tetapi, TB milier juga dapat terjadi pada anak besar dan
remaja akibat pengobatan penyakit paru primer sebelumnya yang
tidak adekuat, atau pada usia dewasa akibat reaktivasi kuman yang
dorman. Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu
kuman M. tuberculosis (jumlah dan virulensi) dan status
imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik).
Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun juga dapat
memudahkan timbulnya TB milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi,
infeksi morbili, pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan,
dan penggunaan kortikosteroid jangka lama. Faktor-faktor lain
yang juga mempengaruhi perkembangan penyakit adalah faktor
lingkungan, yaitu kurangnya paparan sinar matahari, perumahan
yang padat, polusi udara, asap rokok, penggunaan alkohol, obat
bius, serta sosial ekonomi.
Manifestasi klinis TB milier bermacam-macam, bergantung
pada banyaknya kuman dan jenis organ yang terkena. Gejala yang
sering dijumpai adalah keluhan kronik yang tidak khas, seperti TB
pada umumnya, misalnya anoreksia dan BB turun atau gagal
tumbuh (dengan demam ringan atau tanpa demam), demam lama
dengan penyebab yang tidak jelas, serta batuk dan sesak napas.
Tuberkulosis milier juga dapat diawali dengan serangan akut
berupa demam tinggi yang sering hilang timbul (remittent), pasien
tampak sakit berat dalam beberapa hari, tetapi gejala dan tanda
respiratorik belum ada. Pada lebih kurang 50% pasien,
limfadenopati superfisial, splenomegali, dan hepatomegali akan

28
terjadi dalam beberapa minggu. Demam kemudian bertambah
tinggi dan berlangsung terus-menerus/kontinu, tanpa disertai gejala
respiratorik atau disertai gejala minimal, dan foto toraks biasanya
masih normal. Beberapa minggu kemudian, hampir di semua organ,
terbentuk tuberkel difus multipel, terutama di paru, limpa, hati, dan
sumsum tulang.
Gejala klinis biasanya timbul akibat gangguan pada paru, yaitu
gejala respiratorik seperti batuk dan sesak napas disertai ronki atau
mengi. Pada kelainan paru yang berlanjut, timbul sindrom
sumbatan alveolar, sehingga timbul gejala gangguan pernapasan,
hipoksia, pneumotoraks dan atau pneumomediastinum. Dapat juga
terjadi gangguan fungsi organ, kegagalan multiorgan, serta syok.
Gejala lain yang dapat ditemukan adalah kelainan kulit berupa
tuberkuloid, papula nekrotik, nodul, atau purpura. Tuberkel koroid
ditemukan pada 13−87% pasien, dan jika ditemukan dini dapat
menjadi tanda yang sangat spesifik dan sangat membantu diagnosis
TB milier. Maka, pada TB milier perlu dilakukan funduskopi untuk
menemukan tuberkel koroid. Meningitis TB dan peritonitis TB
dapat ditemukan pada 20−40% pasien yang berat. Sakit kepala
kronik atau berulang biasanya merupakan gejala telah terjadinya
meningitis dan merupakan indikasi untuk melakukan pungsi
lumbal. Peritonitis TB ditandai oleh keluhan nyeri atau pembesaran
abdomen. Lesi milier dapat terlihat pada foto toraks dalam waktu
2−3 minggu setelah penyebaran kuman secara hematogen.
Gambarannya sangat khas, yaitu berupa tuberkel halus (millii) yang
tersebar merata di seluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas
dan ukuran yang hampir seragam (1−3 mm). Lesi-lesi kecil dapat
bergabung membentuk lesi yang lebih besar, kadang-kadang
membentuk infiltrat yang luas. Sekitar 1−2 minggu setelah
timbulnya penyakit, pada foto toraks dapat dilihat lesi yang tidak
teratur seperti kepingan salju.
Diagnosis TB milier pada anak dibuat berdasarkan adanya

29
riwayat kontak dengan pasien TB dewasa yang infeksius (BTA
positif), gambaran klinis, gambaran radiologis yang khas, serta uji
tuberkulin yang positif. Uji tuberkulin tetap merupakan alat bantu
diagnosis TB yang penting pada anak. Uji tuberkulin yang negatif
belum tentu menunjukkan tidak adanya infeksi atau penyakit TB,
atau sebaliknya. Uji tuberkulin negatif terjadi pada lebih dari 40%
TB diseminata. Untuk menentukan diagnosis meningitis TB,
sebaiknya dilakukan pungsi lumbal pada setiap pasien TB milier
walaupun belum timbul kejang atau penurunan kesadaran.
Tatalaksana medikamentosa TB milier adalah pemberian 4−5
macam OAT selama 2 bulan pertama, dilanjutkan dengan isoniazid
dan rifampisin selama 6−10 bulan sesuai dengan perkembangan
klinis. Dosis OAT dapat dilihat pada Tabel 4.1. Kortikosteroid
(prednison) diberikan pada TB milier, meningitis TB, perikarditis
TB, efusi pleura, dan peritonitis TB. Prednison biasanya diberikan
dengan dosis 1−2 mg/kg BB/hari selama 2−4 minggu, kemudian
diturunkan perlahan-lahan (tappering off) selama 2−6 minggu.
Dengan pengobatan yang tepat, perbaikan TB milier biasanya
berjalan lambat. Respons keberhasilan terapi antara lain adalah
menghilangnya demam setelah 2−3 minggu pengobatan,
peningkatan nafsu makan, perbaikan kualitas hidup sehari-hari, dan
peningkatan BB. Gambaran milier pada foto toraks biasanya
menghilang dalam 1 bulan, kadang-kadang berangsur-angsur
menghilang dalam 5−10 minggu, tetapi mungkin saja belum ada
perbaikan hingga beberapa bulan.
j. Tuberkulosis Perinatal
Infeksi TB pada neonatus dapat terjadi secara kongenital
(prenatal), selama proses kelahiran (natal), maupun transmisi
pascanatal oleh ibu pengidap TB aktif. Oleh karena itu, transmisi
pada neonatus ini disebut sebagai TB perinatal. Pada TB
kongenital, transmisi terjadi karena penyebaran hematogen melalui
vena umbilikalis atau aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Pada

30
TB natal, transmisi dapat terjadi melalui proses persalinan,
sedangkan pada TB pascanatal terjadi akibat penularan secara
droplet. Mycobacterium tuberculosis tidak dapat melalui sawar
plasenta yang sehat, sehingga kuman akan menempel pada plasenta
dan membentuk tuberkel. Apabila tuberkel pecah, maka terjadi
penyebaran hematogen dan menyebabkan infeksi pada cairan
amnion melalui vena umbilikalis. Pada saat penyebaran hematogen,
M. tuberculosis menyebabkan fokus primer di hati dan melibatkan
KGB periportal, dan pada perkembangan selanjutnya akan
menyebar ke paru. Selain cara di atas, penularan ke paru dapat
terjadi melalui aspirasi cairan amnion yang mengandung M.
tuberculosis langsung ke paru. Sedangkan penularan pascanatal
adalah secara droplet dengan patogenesis yang sama seperti TB
anak umumnya. Manifestasi klinis TB kongenital dapat timbul
segera setelah lahir atau pada minggu ke-2−3 kehidupan.
Gejala TB kongenital sulit dibedakan dengan sepsis neonatal,
sehingga sering terjadi keterlambatan dalam mendiagnosis. Gejala
yang sering timbul adalah distres pernapasan, hepatosplenomegali,
dan demam. Gejala lain yang dapat ditemukan antara lain
prematuritas, berat lahir rendah, sulit minum, letargi, dan kejang.
Selain itu dapat juga terjadi abortus/kematian bayi. Pemeriksaan
penunjang yang diperlukan pada TB kongenital adalah pemeriksaan
M. tuberculosis melalui darah vena umbilikus dan plasenta. Pada
plasenta sebaiknya diperiksa gambaran histopatologis dengan
kemungkinan adanya granuloma kaseosa dan BTA, bila perlu
dilakukan kuretase endometrium untuk mencari endometritis TB.
Penentuan TB kongenital adalah dengan ditemukannya BTA dan
M. tuberculosis pada vena umbilikus dan plasenta. Beitzke
memberikan kriteria untuk TB kongenital, yaitu ditemukannya M.
tuberculosis dan memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: (1)
lesi pada minggu pertama, (2) kompleks primer hati atau
granuloma hati kaseosa, (3) infeksi TB pada plasenta atau traktus

31
genitalia, (4) kemungkinan transmisi pascanatal disingkirkan.
Untuk menentukan TB natal dan pascanatal, kriterianya sama
dengan TB pada anak.
Tatalaksana TB pada neonatus mempunyai ciri tersendiri, yaitu
melibatkan beberapa aspek seperti aspek ibu, bayi, dan lingkungan.
Ibu harus ditatalaksana dengan baik untuk menghindari penularan
selanjutnya. Selain itu harus dicari sumber lain di lingkungannya
serta memperbaiki kondisi lingkungan. Tatalaksana pada bayi
adalah dengan memberikan OAT berupa rifampisin dan isoniazid
selama 9−12 bulan, sedangkan pirazinamid diberikan selama 2
bulan. Air susu ibu tetap diberikan, dan tidak perlu cemas akan
kelebihan dosis OAT karena kandungan OAT dalam ASI sangat
kecil. Apabila bayi tidak terkena TB kongenital ataupun TB
perinatal tetapi ibu menderita TB dengan BTA positif, maka bayi
memerlukan perlakuan khusus, yaitu pemberian OAT profilaksis
isoniazid 5−10 mg/kgBB/hari, dan bayi tetap diberikan ASI.

II.2.6. Patogenesis Tuberkulosis Pada Anak5

32
Penularan TB biasanya droplet infection. Karena infeksi secara inhalasi,
maka hanya droplet nuklei yang kecil saja (1-5 mikron) yang dapat melalui dan
menembus sistem mukosilier saluran napas untuk mencapai bronkiolus dan
alveolus. Basil TB berkembang biak dan menyebar melalui saluran limfe dan
aliran darah. Sampai pada alveolus, akan terjadi reaksi inflamasi non spesifik.
Makrofag akan memfagosit basil TB tetapi tidak semuanya mati. Penyebaran
secara limfogen akan mencapai kelenjar regional sedangkan penyebaran
hematogen akan mencapai organ tubuh.
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus
primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang
waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 103 -104 , yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler.
Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. Kompleks primer dapat juga
mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh focus paru

33
atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau
paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar
karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi
parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis.
Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak
dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial
atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada
bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang
sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi,
sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan
hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen,
kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi
adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic
spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi
sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan
mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah
organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru
sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut,
kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk
imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya. Di dalam koloni yang
sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas seluler,
kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung
berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi.
Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahuntahun
kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat mengalami
reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB

34
tulang, dan lain-lain.

II.2.7. Manifestasi Klinis Tuberkulosis Pada Anak2

1. Manifestasi sistemik (umum/nonspesifik)


Adanya demam pada TB merupakan gejala sistemik atau umum yang
sering dijumpai yaitu sekitar 60-90% kasus. Demam biasanya tidak terlalu
tinggi, naik turun, dan berlangsung cukup lama. Untuk mencurigai anak
yang demam lama dan tidak tinggi sebagai gejala TB, maka harus sudah
menyingkirkan penyebab demam yang lain. Selain demam, gejala lain
yang sering adalah penurunan berat badan. Penurunan berat badan ini
perlu dicurigai sebagai gejala TB apabila telah diberikan tatalaksana gizi
tetap belum ada perbaikan. Perlu diketahui, gejala sistemik atau gejala
umum tersebut tidak khas karena dapat terjadi pada infeksi yang lain.
Keluhan batuk yang merupakan gejala utama pada TB dewasa, tidak
merupakan gejala yang menonjol pada TB anak. Hal ini disebabkan karena
pada TB anak prosesnya adalah pada parenkim yang tidak mempunyai
reseptor batuk. Sebagaimana diketahui batuk akan timbul apabila terdapat
rangsangan pada reseptor batuk. Meskipun demikian pada TB anak dapat
terjadi batuk apabila pembesaran kelenjar yang terjadi sudah menekan
bronkus. Penekanan ini merupakan rangsangan pada reseptor batuk di
bronkus yang akan menyebabkan batuk. Karena gejalanya kurang khas,
maka seringkali gejala tersebut tidak atau kurang mendapat perhatian dari
orang tua, sehingga pasien datang kepada petugas kesehatan sudah dalam
fase lanjut
a. Demam lama (>2 minggu) yang menetap walau sudah
diberikan terapi adekuat dan/atau berulang tanpa sebab yang
jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan
lain-lain), yang dapat disertai dengan keringat malam. Demam
umumnya tidak tinggi.
b. Batuk lama >3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan.

c. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak naik
dalam 2 bulan dengan penanganan gizi yang adekuat.

35
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan
BB tidak naikdengan adekuat (failure to thrive).

e. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit


dan biasanyamultipel
f. Lesu atau malaise
g. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

2. Manifestasi Organ Spesifik


Manifestasi klinis spesifik bergantung pada organ yang terkena,
misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit.Secara
ringkas, gejala spesifik sesuai organ yang terkena adalah sebagai berikut :
a. TB kelenjar : terbanyak di regio colli, multipel, tidak
nyeri dan saling melekat, ukuran besar > 2x2 cm

b. TB system saraf pusat : meningitis TB dan tuberkuloma otak


(gejala iritabel,kaku kuduk, muntah-muntah dan
kesadaran menurun).
c. TB system skeletal : gejala berupa pembengkakan sendi,
gibbus,pincang, lumpuh dan sulit membungkuk.

d. TB kulit : skrofuloderma.

e. TB mata : konjungtivitis fliktenularis dan


tuberkel koroid(hanya terlihat dengan
funduskopi).
f. TB organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal, dll

36
II.2.8. Diagnosis Tuberkulosis Paru Pada Anak

Gambar Alur Diagnosis Tuberkulosis Paru pada anak2

Jika pada pasien ditemukan salah satu keadaan berikut, pasien dirujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan rujukan:
1. Foto thoraks menunjukkan gambaran efusi plura atau milier / kavitas
2. Gibbus, koksitis

37
3. Kejang, kaku kuduk
4. Penurunan kesadaran
5. Kegawatan lain, misalnya sesak nafas

Skoring Tuberkulosis pada anak

Gambar 5. Skoring Tuberkulosis pada anak2

Catatan:  Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter  Berat badan dinilai saat
datang (moment opname)  Demam dan batuk tidak ada respons terhadap terapi sesuai baku
Puskesmas  Foto Rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada TB Anak  Semua anak
dengan Reaksi Cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring TB Anak  Didiagnosis
TB bila jumlah skor >6, (skor maksimal 13)  Pasien yang mendapat skor 5, dengan usia
balita atau ada kecurigaan TB yang kuat, rujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut  Profilaksis
diberikan bila ada anak yang kontak dengan pasien TB dewasa sputum BTA (+) namun
evaluasi dengan sistem skoring nilainya

Penjelasan:
1. Pemeriksaan bakteriologis (mikroskopis atau tes cepat TB) tetap merupakan

38
pemeriksaan utama untuk konfirmasi diagnosis TB pada anak. Berbagai upaya dapat
dilakukan untuk memperoleh contoh uji dahak, di antaranya induksi sputum.
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan 2 kali, dan dinyatakan positif jika satu contoh uji
diperiksa memberikan hasil positif.
2. Observasi persistensi gejala selama 2 minggu dilakukan jika anak bergejala namun
tidak ditemukan cukup bukti adanya penyakit TB. Jika gejala menetap, maka anak
dirujuk untuk pemeriksaan lebih lengkap. Pada kondisi tertentu di mana rujukan tidak
memungkinkan, dapat dilakukan penilaian klinis untuk menentukan diagnosis TB
anak.
3. Berkontak dengan pasien TB paru dewasa adalah kontak serumah ataupun kontak
erat, misalnya di sekolah, pengasuh, tempat bermain, dan sebagainya. 4. Pada anak
yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis sebaiknya
diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan
diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB resistan obat maupun masalah
dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien
dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang
ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.

Pemeriksaan untuk Diagnosis Tuberkulosis pada anak


Diagnosis pasti TB adalah ditemukannya M. tuberculosis pada kultur dahak.
Pada anak, pemeriksaan ini sangat sulit dilakukan dan hasil kepositifannya sangat
kecil, berbeda pada dewasa yang lebih mudah mendapatkan sputum untuk dibiak.
Usaha lain untuk menggantikan biakan kuman TB adalah pemeriksaan PCR TB.
Namun pemeriksaan PCR ini belum dapat membedakan TB aktif atau hanya
infeksi TB atau pasca TB. Upaya diagnosis lain adalah dengan cara pemeriksaan
uji serologi misalnya PAP TB, Myco-dot TB, IgG dan IgM TB, dll. Penelitian ke
arah tersebut banyak dilakukan. Sampai saat ini, banyak kontroversi mengenai
kegunaan uji serologi tersebut. Sebagian besar tidak setuju bahwa uji serologi
bermanfaat dalam menentukan diagnosis TB aktif. Uji tersebut tidak dapat
menentukan apakah seseorang aktif menderita TB atau tidak. Uji serologi hanya
mendeteksi adanya kuman M. tuberculosis saja tanpa dapat menentukan
aktifitasnya.
Sebab-sebab hasil positif palsu dan negatif palsu uji tuberkulin Mantoux.
Positif palsu Penyuntikan salah Interpretasi tidak betul Reaksi silang dengan
Mycobacterium atipik

39
Negatif palsu Masa inkubasi Penyimpanan tidak baik dan penyuntikan salah
Interpretasi tidak betul Menderita tuberkulosis luas atau berat Disertai infeksi
virus (campak, rubela, cacar air, influensa, HIV) Imunoinkompetensi seluler,
termasuk pemakaian kortikosteroid Kekurangan komplemen Demam Lekositosis
Malnutrisi Sarkoidosis Psoriasis Jejunoileal by pass Terkena sinar ultraviolet
(matahari, solaria) Defisiensi zinc Anemia pemiosa Uremia
1. Pemeriksaan Bakteriologis

Pemeriksaan ini menngunakan metode pengambilan dahak (anak >5


tahun), atau bilas lambung (anak yang belum bisa mengeluarkan dahak)
atau induksi sputum.
• Pemeriksaan mikroskopis BTA sputum
Minimal 2 kali yakni sewaktu dan pagi hari
• TCM (Tes Cepat Monokuler) TB

• Pemeriksaan Biakan

Media padat : dapat diketahui dalam 4-8 minggu

Media cair : dapat diketahui dalam 1-2 minggu, tapi lebih mahal.

2. Pemeriksaan Penunjang1,3,4

Uji tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein pada bakteri tuberkulosis yang
mempunyai sifat antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada
seseorang yang telah terinfeksi tuberkulosis, maka akan terjadi reaksi berupa
indurasi di lokasi suntikan. Uji tuberculin dengan cara mantoux dilakukan dengan
menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU secara intrakutan di bagian volar lengan
bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran
dilakukan terhadap indurasi yang timbul. Jika tidak timbul indurasi sama sekali
hasilnya dilaporkan sebagai negatif, diameter indurasi 10 mm dinyatakan positif
tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh
infeksi tuberkulosis alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi BCG
atau infeksi mycobacterium atipik. Pada anak balita yang telah mendapat BCG,
diameter indurasi 10-14 cm dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar
karena infeksi tuberkulosis alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh pasca
imunisasi BCG, namun bila ukuran indurasinya 15 mm sangat mungkin karena

40
infeksi alamiah. Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan uji tuberkulin
negatif. Diameter 5-9 cm dinyatakan positif meragukan. Pada keadaan
immunocompromised atau pada pemeriksaan foto thorak terdapat kelainan
radiologis hasil positif yang digunakan 5mm.

Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada 3 keadaan sebagai berikut:


1. Infeksi TB alamiah
a) Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten).
b) Infeksi TB dan sakit TB.
c) TB yang telah sembuh.
2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan).

3. Infeksi mikobakterium atipik.

Uji tuberkulin negatif pada 3 kemungkinan keadaan berikut:

1. Tidak ada infeksi TB.


2. Dalam masa inkubasi infeksi TB.

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologis dapat memperkuat diagnosis, karena lebih 95%
infeksi primer terjadi di paru-paru maka secara rutin foto thorax harus dilakukan.
Komplek primer lebih banyak ditemukan pada foto torax paru bayi dan anak kecil
daripada dewasa.
Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah
• Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrate,
• Konsolidasi segmental/lobar
• Milier
• Kalsifikasi dengan infiltrate
• Atelektasis
• Kavitas
• Efusi pleura
• Tuberkuloma.
Foto toraks tidak cukup hanya dibuat secara antero-posterior (AP), tetapi
harus disertai dengan foto lateral, mengingat bahwa pembesaran KGB di daerah
hilus biasanya lebih jelas pada foto lateral. 9

41
Pemeriksaan Patologi Anatomi
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya
kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma
tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah
granuloma. Gambaran khas lainnya adalah ditemukannya multinudeated giant cell
(sel datia Langhans). Diagnosis histopatologik dapat ditegakkan dengan
menemukan perkijuan (kaseosa), sel epiteloid, limfosit, dan sel datia Langhans.
Kadang-kadang dapat ditemukan juga BTA.

II.2.9. Tatalaksana 1,3,7

1. Medikamentosa
Pengobatan TB anak telah banyak mengalami perubahan dari waktu ke
waktu. Prinsip pengobatan TB adalah multidrugs therapy (>2 macam obat),
diminum teratur, dan jangka lama (minimal 6 bulan). Pengobatan saat ini yang
cukup baik hasilnya adalah penggunaan obat anti tuberkulosis (OAT) yang terdiri
dari INH, Rifampisin, dan pirazinamid. INH diberikan dengan dosis 10-
15mg/kgBB selama 6 bulan, Rifampisin 10-15 mg/kgBB selama 6 bulan, dan
pirazinamid 25-35 mg/kgBB selama 2 bulan. Pada kasus-kasus berat dapat
ditambahkan dengan etambutol 20 mg/kg selama 2 bulan pertama. Pemberian
kortikosteroid dapat dilakukan pada kasus TB milier atau meningitis tuberkulosa
yaitu prednison 1-2 mg /kgBB selama 2-4 minggu, kemudian dilakukan tapering
off. Untuk mengurangi angka drop out pengobatan TB dan meningkatkan
kepatuhan pasien menelan obat, maka dibuat bentuk fixed dose combination
(FDC) yaitu menggabungkan INH, rifampisin, dan pirazinamid dalam satu
kemasan. Syarat FDC yang baik adalah bioavailabilitas dan bioekuivalennya
harus baik yaitu tidak ada perbedaan yang bermakna apabila dibandingkan dengan
sediaan lepas obat yang digabung. Untuk terapi medikamentosa program
penanggulangan TB anak dibuat suatu FDC dengan komposisi rifampisin, INH,
dan pirazinamid masing-masing 75 mg/50 mg/dan 150 mg, sedangkan untuk fase
4 bulan berikutnya terdiri dari rifampisin dan INH masing-masing 75 mg dan 50
mg.

42
Tabel Dosis OAT pada Anak2:

Tabel Panduan pemberian obat dan lama pemberian obat TB pada anak2:

Panduan Obat TB
Untuk terapi tuberkulosis terdiri dari dua fase yaitu fase intensif (awal) dengan
panduan 3-5 OAT selama 2 bulan awal dan fase lanjutan dengan panduan 2 OAT
(INH-Rifampisin) hingga 6-12 bulan. Fase intensif (awal) pasien mendapat obat setiap
hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat, bila
pengobatan fase intensif diberikan secara tepat biasannya pasien menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu, sebagian besar pasien tuberkulosis BTA
positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan sedangkan untuk fase lanjutan

43
pasien mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu yang lebih lama,
tahap ini penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan. Terapi OAT untuk tuberkulosis paru yaitu INH, Rifampisisn,
Pirazinamid selama 2 bulan fase intensif dilanjutkan INH dan Rifampisin hingga 6
bulan terapi (2HRZ-4HR). Efek samping OAT jarang dijumpai pada anak jika dosis
dan cara pemberiannya benar. Efek samping yang biasa muncul yaitu hepatotoksisitas
dengan gejala ikterik, keluhan ini biasa muncul pada fase intensif (awal).

Fixed Dose Combination


Untuk mengurangi angka drop out dibuat dalam bentuk FCD (Fixed
Dose Combination) untuk 2 bulan pertama digunakan FDC yang berisi
Rifampisin/Isoniazid/Piranizamid dengan dosis 75 mg/50mg/150mg
sedangkan untuk 4 bulan berikutnya digunakan FDC
yang berisiRifampisin/Isoniazid dengan dosis 75 mg/50mg.

Gambar Dosis OAT KDT TB untuk anak2

44
Nutrisi
Status gizi anak dengan TB akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan
TB. Malnutrisi berat meningkatkan resiko kematian padda anak dengan TB.
Penilaian status gizi harus dilakukan secara rutin.
Evaluasi Hasil Pengobatan 10
Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan untuk menilai perkembangan hasil
terapi memantau timbulnya efek samping obat. Evaluasi hasil pengobatan
dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED.
a. Respon pengobatan baik : gejala klinis hilang dan terjadi
penambahan berat badan, maka pengobatan dilanjutkan.
b. Respon tidak ada : pengobatan dilanjutkan dan diberi tambahan
dengan merujuk ke sarana yang lebih tinggi. Kemungkinan terjadi
misdiagnosis, mistreatment atau resisten terhadap OAT.
Apabila pada saat diagnosis terdapat kelainan radiologis, maka dianjurkan
pemeriksaan radiologis ulangan.
Non Medikamentosa
• Pendekatan DOTS
Hal yang paling penting pada tatalaksana TB adalah kepatuhan ( adherens)
menelan obat. Pasien TB biasanya telah menunjukkan perbaikan beberapa minggu
setelah pengobatan, sehingga merasa telah sembuh dan tidak melanjutkan
pengobatan.
Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka
kesembuhan yang tinggi. Sesuai dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri
atas lima komponen, yaitu sebagai berikut :
a. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.
b. Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.
b. Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan
langsung
c. oleh pengawas menelan obat (PMO).
d. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
e. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan
evaluasi program penanggulangan TB.
45
• Lacak Sumber Penularan dan Case Finding
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari
sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan
adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut.
Pelacakan sumber infeksi sentripetal dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis
dan BTA sputum. Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan
sentrifugal, yaitu mencari anak lain di sekitarnya yang mungkin juga tertular,
dengan cara uji tuberkulin.
Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak di
sekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB
(pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin.

II.2.10. Pencegahan
• Imunisasi BCG
Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi
sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah
insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal,
ulkus tidak menganggu struktur otot dan sebagai tanda Baku). Bila BCG diberikan
pada usia >3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu.
• Kemoprofilaksis
Terdapat dua macam kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan
kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah
terjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah
berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan
isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis
ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA
sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Obat diberikan
selama 6 bulan. Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji
tuberkulin ulang. Jika tetap negatif, profilaksis dilanjutkan hingga 6 bulan. Jika
terjadi konversi tuberkulin menjadi positif, evaluasi status TB pasien. Pada akhir
bulan keenam pemberian profilaksis, dilakukan lagi uji tuberkulin, jika tetap negatif
profilaksis dihentikan, jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif, evaluasi
status TB pasien.

46
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi
belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis
normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang
termasuk dalam kelompok risiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu
anak-anak pada keadaan imunokompromais. Contoh anak-anak dengan
imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili, varisela, atau pertusis,
mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja,
dan infeksi TB baru (konversi uji tuberkulin dalam waktu kurang dari 12 bulan).
Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan.

II.2.11. Komplikasi Tuberkulosis


Limfadenitis, meningitis, penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan
kulit dapat terjadi. Bayi yang dilahirkan dari orang tua yang menderita tuberkulosis
mempunyai risiko yang besar untuk menderita tuberkulosis. Kemungkinan
terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan pada pasien
dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus.

II.2.12. Prognosis Tuberkulosis


Prognosis dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur anak, berapa lama
setelah mendapat infeksi, luasnya lesi, keadaan gizi, keadaan sosial ekonomi
keluarga, diagnosa dini, pengobatan adekuat, kepatuhan minum obat, dan adanya
infeksi lain seperti morbilli, pertusis, diare yang berulang dan lain – lain.
Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan obat anti-
tuberkulosis memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika
bakteri sensitif dan pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala
sisa yang minimal. Terapi ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan
hasilnya.Perhatian lebih harus diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, yang
resisten terhadap berbagai regimen terapi, yang berespon buruk terhadap terapi atau
dengan komplikasi lanjut.

47
BAB III
ANALISIS KASUS

Pasien An.MA, datang untuk kontrol rutin namun masih mengeluhkan


batuk dengan frekuensi batuk 2-3 kali sehari, tidak terlalu sering. Pasien masih
dalam pengobatan TB dan tidak pernah putus obat. Hal ini menandakan bahwa
kuman Mycobacterium tuberculosis masih aktif dalam paru-paru pasien sehingga
reaksi inflamasi masih terjadi namun sudah kronik.

Lima bulan yang lalu, pasien dengan riwayat batuk lebih dari 2 bulan,
batuk tidak disertai dengan dahak, batuk semakin hari terus memberat sehingga
menyebabkan pasien sesak nafas. Batuk tidak membaik meskipun sudah diberikan
obat batuk. Hal ini menandakan adanya suatu infeksi pada saluran pernafasan
pasien yaitu kecurigaan TB dan sudah termasuk salah satu skoring TB pada anak
yaitu batuk >3 minggu.

Pasien juga memiliki riwayat demam selama 2 minggu, demam tidak


membaik meskipun telah diberikan obat. Hal ini disebabkan oleh adanya infeksi
dari kuman MTB tersebut sehingga menyebabkan penyebaran kuman secara
hematogen maupun limfogen sehingga terjadi suatu proses inflamasi yang
menyebabkan peningkatan suhu tubuh atau demam. Skoring TB selanjutnya pada
pasien ini yang terpenuhi yaitu demam >2minggu. Pasien juga mengalami
penurunan berat badan yang signifikan yaitu sebanyak 10 kg dalam sebulan. Hal
ini bisa diakibatkan oleh adanya infeksi kronis yang terjadi dalam tubuh pasien
sehingga penyerapan nutrisi kurang sempurna.

Pasien tinggal di lingkungan rumah yang padat penduduk, memiliki


sanitasi lingkungan yang buruk, serta ventilasi rumah yang kurang baik. Hal ini
bisa menjadi faktor risiko penularan infeksi TB baik dari keluarga, teman ataupun
lingkungan sekitar. Pasien mengaku jarang beraktifitas dengan lingkungan sekitar
semenjak pandemi, namun masih memungkinkan terjadinya sumber penularan
dengan faktor lingkungan yang tidak sehat.

Untuk memperkuat penegakan diagnosis maka dilakukan pemeriksaan


penunjang berhupa pemeriksaan hematologi lengkap, pemeriksaan mikrobiologi
serta pemeriksaan radiologi. Hasil pemeriksaan hematologi didapatkan kadar Hb
dan Hematokrit pasien menurun. Selanjutnya pada pemeriksaan mikrobiologi
48
didapatkan PCR TB (geneXpert) positif untuk kuman MTB yang terdeteksi, hasil
pemeriksaan BTA negatif namun terdapat hifa (+).hasilpemeriksaan radiologi
didapatkan gambaran ampak infiltrate di perihilar dan parakardialkanan serta
perihiler kiri sehingga didapatkan kesan TB paru aktif.

Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan


penunjang, maka dapat diketahui skoring tb anak pada pasien ini yaitu:

• Kontak dengan pasien TB 0


• Uji Tuberkulin 0
• BB/ Keadaan gizi (dengan KMS atau tabel) 2
• Demam tanpa sebab jelas 1
• Batuk 1
• Pembesaran kelenjar linfe koli, aksila, inguinal 0
• Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang 0
• Foto dada 1
Total = 5

Hasil dari skoring Tuberkulosis anak didapatkan total nilai 5, yang jika
diinterpretasikan kurang dari sama dengan 6, dilakukan pemeriksaan penunjang
lanjutan. Selanjutnya,setelah dilakukan pemeriksaan mikrobiologi didapatkan
hasil tes PCR TB positif dan terdeteksi kuman MTB. Dari hasilpemeriksaan
tersebut maka dapat ditegakan diagnosis TB pada pasien ini.

Setelah ditegakan diagnosis TB pada pasien ini, selanjutnya diberikan


terapi berdasarkan etiologi penyakit yang sesuai. Pasien diberikan obat OAT
dalam bentuk KDT agar memudahkan pasien dalam kepatuhan minum obat.
Berdasarkan berat badan pasien yaitu 47kg, pasien diberikan 3 tablet RHZ
(75/50/150) selama 2 bulan untuk pengobatan fase intensif, dilanjutkan dengan 3
tablet RH (75/50) untuk 4 bulan fase lanjutan. Orang tua diberikan edukasi untuk
mengawasi anak minum obat setiap hari dan tidak boleh putus obat serta diberikan
edukasi mengenai efek samping obat yang diberikan. Selain itu, Orang tua juga
diberi penjelasan tentang menjaga kebersihan diri, tata cara batuk dan bersin juga
tentang pemakaian alat makan dan alat mandi yang tidak boleh bergantian.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Carvalho ACC, Cardoso CAA, Martire TM, Migliori GB, Sant’Anna CC.
Epidemiological aspects, clinical manifestations, and prevention of pediatric
tuberculosis from the perspective of the End TB strategy. J Bras Pneumol.
2018;44(2):134–44.
2. Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Manajemen dan tatalaksana TB Anak. Ministry of
Health of the Republic of Indonesia. 2016. p. 3.
3. Singh V, Parakh A. What Is New in the Management of Childhood Tuberculosis in
2020? Indian Pediatr. 2020;57(12):1172–6.
4. Lewinsohn DM, Leonard MK, Lobue PA, Cohn DL, Daley CL, Desmond E, et al.
Official American Thoracic Society/Infectious Diseases Society of America/Centers
for Disease Control and Prevention Clinical Practice Guidelines: Diagnosis of
Tuberculosis in Adults and Children. Clin Infect Dis. 2017;64(2):e1–33.
5. Groenewald W, Baird MS, Verschoor JA, Minnikin DE, Croft AK. Differential
spontaneous folding of mycolic acids from Mycobacterium tuberculosis. Chem Phys
Lipids. 2014;180:15–22.
6. Chung O. Second edition. Taiwan Rev. 2019;69(4).
7. Amallia A, Karyus A. Penatalaksanaan Holistik pada Pasien TB Anak dalam Masa
Pengobatan Fase Lanjutan melalui Pendekatan Kedokteran Keluarga. Medula.
2019;9(3):490–500.

50

Anda mungkin juga menyukai