TUBERKULOSIS PARU
Disusun Oleh:
Nadya Switing Asmara
2110221083
Dipresentasikan Hari/Tanggal:
Kamis, 7 April 2022
1
BAB I
STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. MA
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir / Usia : 08 Mei 2005 / 16 Tahun 10 Bulan
Alamat : Jl. Kembang I No 19, Kwitang,
Jakarta Pusat
Nomor Rekam Medis : 0107XXXX
Tanggal Periksa : Kamis, 24 Maret 2022
Datang Sendiri / Rujukan : Datang sendiri, kontrol
Nama Ayah : Tn. S
Pendidikan Ayah : SMP
Pekerjaan Ayah : Wiraswasta
Nama Ibu : Ny. SS
Pendidikan Ibu : SD
Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Kewarganegaraan : WNI
ALLOANAMNESIS
Keluhan Utama : Batuk
Keluhan Tambahan : tidak ada
Riwayat Penyakit Sekarang
Berdasarkan hasil autoanamnesis dengan pasien, pasien
mengeluhkan batuk tidak berdahak sejak 3 hari sebelum kontrol. Pasien
telah diberikan OAT KDT 2 tablet (karena sudah masuk fase lanjutan)
yang terdiri atas obat Rifampisin 75 mg dan Isoniazid 50 mg. Demam,
mual dan muntah disangkal oleh pasien. Keringat malam hari juga
disangkal oleh pasien. Nafsu makan saat ini sangat baik. Pasien
merasakan terdapat banyak perbaikan dibandingan dengan saat pertama
kali pasien berobat, batuk yang dirasakan telah membaik yang semula
2
batuk setiap saat tanpa henti disertai dengan sesak nafas, saat ini batuk
hanya 1-2 kali sehari, berat badan pasien sudah mengalami kenaikan
sebanyak 12 kg dengan berat badan awal pasien 35kg saat ini 47 kg.
3
Nilai APGAR : Tidak diketahui
Kelainan bawaan : Tidak ada
Anak ke : 3 dari 3 bersaudara
Kesan : Neonatus cukup bulan sesuai masa
kelahiran lahir spontan, tidak ada kelainan
bawaan.
Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat atau makanan disangkal oleh pasien.
Riwayat Perkembangan
Motorik kasar:
Menegakan kepala usia 4 bulan
Membalik badan usia 6 bulan
Duduk usia 8 bulan
Merangkak usia 9 bulan
Berdiri usia 11 bulan
Berjalan usia 13 bulan
Motorik halus:
menggunakan pakaian sendiri usia 5 tahun
menggambar dan menulis usia 6 tahun
Riwayat Nutrisi
4
2 - 4 bulan ASI, lupa takaran - - - -
4 - 6 bulan ASI, lupa takaran - - - -
ASI + MPASI, lupa
6 - 8 bulan Takaran - + - -
8 - 10 ASI + PASI, lupa
+ + - -
bulan Takaran
10-11
- + - + +
bulan
12 bulan - - - - +
Riwayat Imunisasi
Jenis I II III IV
- - -
BCG Lupa
DTP Lupa - - -
- - -
Polio Lupa
5
Campak Lupa - - -
Lupa
Hepatitis B
- - -
(0 -7 hari)
Hib Lupa - - -
Keadaan Anak
Jenis Lahir Mati Keterangan
No Usia Hidup Abortus
Kelamin Mati (sebab) kesehatan
1. 25 tahun Laki-laki
- - -
Sehat
Tuberculosis
3. 16 tahun Perempuan - - - Paru
(Pasien)
Data Orangtua
Ayah Ibu
Usia 46 39
Pernikahan ke 1 1
Pendidikan SMP SD
6
Riwayat penyakit Tidak Ada Hipertensi
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Tinggi badan : 164 cm
Berat badan : 49 kg
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : GCS E4M6V5,
Compos MentisTanda Vital
Tekanan Darah : 108/84 mmHg
Nadi : 131 x/menit
7
Frekuensi normal, irama reguler, isi
cukup, kuatangkat, ekualisasi baik.
Pernafasan
Respirasi : 20 x/menit,pernafasan thorax
Pola nafas : Regular Suara napas tambahan tidak ada
Suhu : 36,4 C pada temporal
Saturasi O2 : 100 % diudara normal, tanpa bantuan
oksigen
Status Gizi
BB/U : 47/55 x100% :89% (malnutrisi ringan grade I)
KEPALA
Bentuk : Bulat, simetris, tidak ada lesi
Rambut : Normal, distribusi merata
UUB : Tertutup
Kulit kepala : Tidak ada lesi
Sutura : Tidak teraba
WAJAH
Raut muka : tampak sakit ringan
8
Nyeri tekan sinus : Tidak ada
MATA
Palpebra : Tidak ada edema, tidak cekung, simetris
kanan dan kiri.
Konjungtiva : Normal, tidak anemis
Sklera : Tidak ikterik
Pupil : Refleks cahaya +/+, Isokor; Diameter
tidak diukur / tidak diukur
TELINGA
Daun telinga : Normotia
Lubang telinga : Tidak ada sekret, tidak edema, tidak hiperemis
Gendang telinga : Intak, tidak ada perforasi
Pendarahan/sekret : Tidak ada sekret yang keluar
HIDUNG
Bentuk : Normal, simetris. Tidak ada deformitas pada
tulang hidungKulit : Tidak ada tanda inflamasi. Tidak ada lesi pada
kulit Septum : Tidak ada deviasi septum
Konka : Tidak ada pembesaran
Mukosa : Tidak ada tanda inflamasi
MULUT
Bibir : Mukosa lembab, warna tidak pucat, tidak sianosis.
Lidah : Simetris, gerakan ke semua arah, tidak atrofi,
tidak ada coated tongue.
Langit - langit : Tidak ada celah
Tonsil : T1-T1, tidak ada pembesaran, tidak hiperemis.
Faring : Tidak ada hiperemis
Mukosa : Tidak ada tanda inflamasi
Gusi : Tidak ada pendarahan atau hiperplasia
LEHER
Bentuk : Simetris. Proporsi leher tampak normal.
9
Kulit : Tidak ada lesi
Pergerakan : Tidak ada kesulitan, gerakan ke semua arah
Tiroid : Tidak teraba pembesaran
Trakea : Tidak ada tanda deviasi
THORAKS
Bentuk : Simetris
Kulit : Tidak ada kelainan
Retraksi : Tidak ada
PARU
Inspeksi : Bentuk dada normothoraks, simetris.
Palpasi : Gerak dada simetris, Vocal fremitus teraba +/+ simetris,
tidak ada krepitasi
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : Suara vesikuler, Tidak ada wheezing, tidak ada ronki pada
seluruhlapang paru
JANTUNG
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : BJ kanan atas ICS II linea parasternal dextra BJ kiri atas
ICS II linea parasternal sinistra
BJ kanan bawah ICS IV linea parasternal sinistraBJ kiri
bawah ICS V midclavicular sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni reguler, tidak ada suara
tambahan, tidakada murmur, tidak ada gallop
ABDOMEN
Inspeksi : Datar, simetris, tidak tampakdistensi
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Hati : Tidak teraba pembesaran hati.
10
Limpa : Tidak teraba pembesaran
Lain-lain: Tidak ada nyeri tekan, tidak ada ascites.
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
GENITALIA
Kelamin : Perempuan
Tidak dilakukan pemeriksaan.
PERKEMBANGAN PUBERTAS
Stadium Tanner
Dilakukan dengan memberikan gambar ilustrasi kepada pasien.
Mammae : payudara dan areola membesar, tidak ada
pemisahan garis bentuk
Rambut Pubis : lebih hitam, mulai keriting, jumlah bertambah
Kesan : Tanner 3
ANUS
Lubang anus intak, tidak hiperemis
EKSTREMITAS
Bentuk : Simetris
Posisi : Tidak tampak fraktur atau dislokasi
Kulit : Sawo matang. CRT < 2 detik, akral hangat, lembab
REFLEKS
Fisiologis
BPR :+/+
KPS :+/+
TPS :+/+
APR :+/+
Sistem Motorik
Bentuk Otot : Normal
Tonus Otot : Normal, pada seluruh ekstrimitas
11
Kekuatan Otot : 5 (Normal), pada seluruh ekstrimitas
PEMERIKSAAN PENUNJANG
HEMATOLOGI LENGKAP
26 Januari 2022
JENIS PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
(09/12/2021)
HEMATOLOGI
Hematologi Lengkap
Hemoglobin 11,6* 12.0–16.0 g/dL
Hematokrit 34* 36-46%
Eritrosit 4.1 4.1-5.1 juta/µL
Leukosit 4500 4,500-13,000/µL
Trombosit 335000 150,000–400,000/µL
Hitung Jenis
Basofil 0 0–1%
Eosinofil 4* 1–3%
Neutrofil 62 50-70%
Limfosit 25 20–40%
12
Monosit 3 2–8%
MCV 83 80–96 fL
MCH 28 27–32 pg
MCHC 34 32–36 g/dL
RDW 13.40 11.5–14.5 %
KOAGULASI
Waktu perdarahan 2’00” 1-3 menit
Waktu pembekuan 4’30” 1-6 menit
KIMIA KLINIK
SGOT (AST) 15 <35 U/L
SGPT (ALT) 8 <40 U/L
Ureum 17* 20–50 mg/dL
Kreatinin 0,74 0.5–1.5 mg/dL
Glukosa Darah (sewaktu) 155* 70-140 mg/dL
MIKROBIOLOGI
PCR TB (GeneXpert) -
Tanggal hasil 18-11-2021
Jenis Bahan Sputum
Hasil Positif
MTB Detected
Rif Resistence Not Detected
Pemeriksaan BTA
Jenis Bahan Sputum
Tanggal Periksa 18/11/2021
Hasil Negatif
Pemeriksaan BTA 2
Jenis Bahan Sputum
Tanggal Periksa 18/11/2021
Hasil Negatif, hifa (+)
RADIOGRAFI THORAX
17 November 2021
13
• Jantung tidak membesar
• Aorta dan Mediastinum superior tidak melebar
• Trakea di tengah. Kedua hilus tidak menebal
• Tampak infiltrate di perihilar dan parakardialkanan serta perihiler
kiri
• Kedua hemidiafragma licin. Kedua sinus kostofrenikus lancip
• Scoliosis Vertebrae Thorakolumbal
Kesan :
Gambaran TB paru aktif
RESUME
Anamnesis
Pasien datang untuk kontrol rutin bersama orang tuanya. Saat ini
pasien masih merasakan batuk namun tidak sering, yaitu sebanyak 2-3 kali
sehari. Batuk tidak disertai dahak. Demam disangkal oleh pasien.
Penurunan berat badan disangkal oleh pasien.
Lima bulan SMRS pasien mengeluhkan batuk selama 2 bulan
yang tidak membaik diberikan obat batuk. Batuk tidak disertai dahak dan
diperberat dengan sesak nafas. Pasien juga mengeluhkan demam selama 2
minggu yang tidak membaik meskipun telah meminum obat warung. Berat
14
badan pasien menurun signifikan sebanyak 10 kg dalam 2 bulan terakhir.
Pasien merupakan rujukan dari RSU Menteng Mitra afia.
Keluarga tidak ada yang memiliki keluhan yang sama, namun
ayah dan kakak pasien sesekali batuk. Ayah dan kakak-kakak pasien
merupakan perokok aktif. Pasien tinggal dilingkungan padat penduduk
dengan sanitasi lingkungan yang kurang baik,ventilasi pada rumah pasien
juga kurang baik, namun pasien masih dapat menjaga kebersihan
rumahnya.
Pasien masih dalam pengobatan 6 bulan, saat ini pasien masuk
dalam pengobatan bulan ke 5. Pasien diberikan paket KDT berisi obat
fase intensif yaitu Rifampicin 75mg, Isoniazid 50mg. Diberikan 3 tablet
2KDT perhari untuk fase lanjutan.
Pemeriksaan Fisis
Keadaan umum pasien tampak sakit ringan. Pada hasil
pemeriksaan dari kepala hingga ekstrimitas dalam batas normal. Untuk
pemeriksaan status gizi pasien, pada status berat badan per umur masuk
kedalam kategori malnutrisi ringan (grade I). Untuk tinggi badan per
umur dalam batas normal, dan status gizi tergolong gizi cukup.
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis Banding
TB + malnutrisi ringan
TB + infeksi jamur + malnutrisi ringan
TB+ pneumonia + malnutrisi ringan
Diagnosis Kerja
Tuberkulosis dengan malnutrisi ringan
15
Penatalaksanaan
Medikamentosa
16
Makan siang
No Nama Porsi Makanan Kalori
1. Nasi 1 porsi 1 mangkuk 200gr 204
2. Paha ayam 1 potong/50 gr 95
3. Sayur sop 1 porsi/ 100gr 129
4. Tahu 1 buah/50gr 55
5. Tempe 1 potong/50gr 164
6. Buah pisang 1 buah/100gr 89
Total 736
Makan malam
No Nama Porsi Makanan Kalori
1. Nasi 1 porsi 1 mangkuk 200gr 204
2. Ayam kecap 1 potong/100 gr 223
3. Bihun goreng 1 porsi/ 65gr 250
4. Tumis kangkung 1 porsi/100gr 92
5. Tempe orek 1 porsi/100gr 175
6. Buah apel 1 buah/100gr 53
Total 997
Total kalori makan pagi+makan siang+makan malam= 2301 kkal
Lacak kemungkinan TB pada keluarga pasien
Edukasi mengenai keteraturan berobat, bahaya putus
obat, dankemungkinan efek samping obat
Edukasi mengenai menjaga kebersihan diri dan lingkungan, tata
cara batuk dan bersin jugatentang pemakaian alat makan dan
alat mandi yang tidak boleh bergantian.
Prognosis
- Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
- Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : Dubia ad bonam
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Pendahuluan1,2
II.2. Pembahasan
II.2.1. Definisi2,3
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
18
TB (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit TB ini biasanya menyerang paru-paru
tetapi dapat menyebar hampir ke seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal,
tulang, dan nodus limfe. Tuberkulosis menular dari penderita melalui udara,
ketika penderita TB paru batuk, bersin atau meludah, mereka mengeluarkan
kuman TB ke udara yang dapat dihirup oleh orang yang sehat.
II.2.2. Etiologi4,5
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara
lain: M.tuberculosis, M.africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. Yang juga dikenal
sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain
Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas
dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang
terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB. Secara
umum sifat kuman Mycobacterium tuberculosis antara lain adalah sebagai berikut:
• Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 – 0,6 mikron.
• Bersifat tahan asam dalam perwanraan dengan metode Ziehl Neelsen,
berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah
mikroskop.
• Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen,
Ogawa.
• Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka
waktu lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C.
• Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra violet.
Paparan langsung terhada sinar ultra violet, sebagian besar kuman akan
mati dalam waktu beberapa menit. Dalam dahak pada suhu antara 30-
37°C akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu.
• Kuman dapat bersifat dorman
II.2.3. Epidemiologi1,2,6
Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC yang
setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima Negara dengan insiden
19
kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philpina, dan Pakistan. Jumlah kasus
baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017. Berdasarkan jenis
kelamin, jumlah kasus baru TBC pada tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih
besar dibandingkan pada perempuan.
20
C. Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6–14 minggu setelah
infeksi. Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap
hidup dalam lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali
tergantung dari daya tahun tubuh manusia. Penyebaran melalui aliran
darah atau getah bening dapat terjadi sebelum penyembuhan lesi.
D. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk menjadi sakit TB adalah tergantung dari:
• Konsentrasi/jumlah kuman yang terhirup: Lamanya waktu
sejak terinfeksi
• Usia seseorang yang terinfeksi
• Tingkat daya tahan tubuh seseorang.
Seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah diantaranya
infeksi HIV AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan
memudahkan berkembangnya TB Aktif (sakit TB).
• Infeksi HIV.
Pada seseorang yang terinfeksi TB, 10% diantaranya akan
menjadi sakit TB. Namun pada seorang dengan HIV positif
akan meningkatkan kejadian TB. Orang dengan HIV berisiko
20-37 kali untuk sakit TB dibandingkan dengan orang yang
tidak terinfeksi HIV, dengan demikian penularan TB di
masyarakat akan meningkat pula.
Faktor risiko kematian karena TB:
Akibat dari keterlambatan diagnosis
Pengobatan tidak adekuat.
Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit
penyerta.
Pada pasien TB tanpa pengobatan, 50% diantaranya akan
meninggal dan risiko ini meningkat pada pasien dengan HIV
positif. Begitu pula pada ODHA, 25% kematian disebabkan oleh
TB.
21
1. Tuberkulosis primer
Tuberkulosis primer adalah peradangan paru yang disebabkan
oleh basil tuberkulosis pada tubuh penderita yang belum pernah
mempunyai kekebalan spesifik tehadap basil tersebut. Pembagian
tuberkulosis paru primer.
1. Tuberkulosis primer yang potensial (potential primary
tuberculosis) terjadi kontak dengan kasus terbuka, tetapi uji
tuberculin masih negative.
2. Tuberkulosis primer laten (latent primary tuberculosis). Tanda -
tanda infeksi sudah kelihatan, tetapi luas dan aktivitas penyakit
tidak diketahui. Uji tuberculin masih negative. Radiologis tidak
tampak kelainan.
3. Tuberkulosis primer yang manifest (manifest primary
tuberculosis), uji tuberculin positif dan terlihat kelainan
radiologis.
22
leher. Pada penyakit ini didapatkan berbagai bentuk lesi, yaitu plak
dengan fibrosis padat, sinus yang mengeluarkan cairan, serta massa
yang fluktuatif. Pembesaran kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak
keras, diskret, dan tidak nyeri. Pada perabaan, kelenjar sering
terfiksasi pada jaringan di bawah atau di atasnya. Gejala sistemik
biasanya demam dengan suhu yang tidak terlalu tinggi. Uji
tuberkulin biasanya menunjukkan hasil yang positif, sedangkan
gambaran foto toraks terlihat normal pada 70% kasus. Awitan
penyakit kadang-kadang berlangsung lebih akut, dengan demam
tinggi dan pembesaran kelenjar limfe yang cepat, disertai nyeri
tekan dan terdapat fluktuasi.
Diagnosis definitif memerlukan pemeriksaan histologis dan
bakteriologis yang diperoleh melalui biopsi kelenjar limfe dengan
cara aspirasi jarum halus (fine needle aspiration biopsy: FNAB,)
ataupun secara biopsi terbuka (open biopsy), dan harus didiagnosis
banding dengan mikobakterium atipik. Pengobatan berupa 3
macam OAT (rifampisin, INH, PZA). INH, rifampisin, dan PZA
diberikan selama 2 bulan pertama, sedangkan rifampisin dan INH
dilanjutkan sampai 6 bulan. Selain itu perlu diperhatikan
penanganan suportif seperti perbaikan gizi. Tatalaksana
lokal/topikal tidak ada yang khusus, cukup dengan kompres atau
higiene yang baik.
b. Tuberkulosis Pleura
Pleuritis TB biasanya bermanifestasi sebagai penyakit demam
akut yang disertai batuk nonproduktif (94%) dan nyeri dada (78%)
tanpa peningkatan leukosit darah tepi. Penurunan BB dan malaise
dapat dijumpai, demikian juga menggigil. Sebagian besar efusi
pleura TB bersifat unilateral (95%), agak lebih sering di sisi kanan.
Jumlah cairan efusi bervariasi dari sedikit hingga banyak dan
meliputi setengah dari hemitoraks. Dari pemeriksaan foto toraks
dapat dijumpai kelainan parenkim paru. Efusi pleura hampir selalu
terjadi di sisi yang sama dengan kelainan parenkim parunya.
23
Spesimen diagnostik utama efusi pleura TB adalah cairan pleura
dan jaringan pleura. Terapi sama dengan terapi TB paru. Bila
respons terhadap terapi baik, maka suhu akan turun dalam 2
minggu terapi, dan cairan pleura akan diserap dalam 6 minggu.
Pada beberapa pasien, demam dapat berlangsung hingga 2
bulan dan penyerapan cairan memerlukan waktu hingga 4 bulan.
Steroid dapat memperpendek fase demam dan mempercepat
penyerapan cairan serta mencegah perlekatan, walaupun rasio
manfaat dan risiko penggunaannya belum diketahui pasti. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2−6 minggu dengan dosis penuh
dilanjutkan tappering off selama 2−6 minggu, sesuai dengan
lamanya pemberian dosis penuh.
c. Tuberkulosis Perikardium
Tuberkulosis ini jarang terjadi, hanya 0,5−4% dari TB anak.
Gejalanya tidak khas, yaitu demam subfebris, lesu, dan BB turun,
sedangkan nyeri dada jarang timbul pada anak. Dari pemeriksaan
fisis dapat ditemukan friction rub dan suara jantung melemah
dengan pulsus paradoksus. Terdapat pula cairan perikardium yang
khas, yaitu serofibrinosa atau hemoragik. Pada pengobatan
perikarditis TB, selain OAT diberikan juga kortikosteroid.
Perikardiotomi parsial atau komplit dapat diperlukan jika terjadi
penyempitan perikardium.
d. Tuberkulosis Tulang/Sendi
Manifestasi klinis bersifat lambat dan tidak khas. Gejala atau
tanda pada TB tulang atau sendi bergantung pada lokasi kelainan.
Gejala spesifik berupa bengkak, kaku, kemerahan, dan nyeri pada
pergerakan. Tuberkulosis ini juga seringkali ditemukan atau
disadari setelah terjadi trauma. Pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan penunjang untuk TB pada anak secara umum dan
pemeriksaan radiologis pada lokasi yang dicurigai. Pemeriksaan
lain yang dianjurkan adalah aspirasi cairan sendi dengan bantuan
ultrasonografi (USG). Medikamentosa berupa rifampisin, INH,
24
PZA, dan ETB. Rifampisin dan INH diberikan selama 12 bulan,
sedangkan PZA dan ETB selama 2 bulan pertama. Selain itu dapat
juga diberikan terapi suportif. Indikasi tindakan bedah umumnya
adalah adanya kelainan neurologis, instabilitas spinal, dan tidak
respons terhadap OAT. Prognosis penyakit ini sangat bergantung
pada derajat kerusakan sendi atau tulangnya.
e. Tuberkulosis susunan syaraf pusat (SSP)
Bentuk TB SSP berupa meningitis, tuberkuloma, dan
araknoiditis spinalis. Gejala dan tanda meningitis TB dapat dibagi
menjadi 3 fase. - Fase prodormal berlangsung selama 2−3 minggu,
ditandai dengan malaise, sefalgia, demam tidak tinggi, dan dapat
dijumpai perubahan kepribadian. - Fase meningitik ditandai dengan
tanda neurologis yang lebih nyata seperti meningismus, sefalgia
hebat, muntah, kebingungan, dan kelainan saraf kranialis dalam
berbagai derajat.
Fase paralitik merupakan fase percepatan penyakit, gejala
kebingungan berlanjut ke stupor dan koma, kejang, dan
hemiparesis. Untuk keperluan terapi dan penentuan prognosis,
perjalanan penyakit pasien dibagi menjadi tiga tahapan klinis
berdasarkan temuan klinis dan radiologis.
-Tahap 1, pasien relatif tenang, tidak ada tanda kelainan neurologis
fokal dan tidak ada bukti hidrosefalus.
-Tahap 2, pasien kebingungan, tampak kelainan fokal seperti
kelumpuhan saraf kranialis atau hemiparesis.
-Tahap 3, penyakit berada dalam tahap lanjut dimana pasien
delirium, stupor, koma, atau hemiplegia.
Dari pemeriksaan cairan serebrospinal terlihat peningkatan
kadar protein dan penurunan kadar glukosa, serta pleositosis
mononuklear dengan hitung sel antara 100−500 sel/µL.
Pemeriksaan lain yang sangat penting adalah pemeriksaan apusan
langsung untuk menemukan BTA dan biakan dari cairan
serebrospinal. Untuk mendapatkan hasil positif dianjurkan
25
melakukan pungsi lumbal selama 3 hari berturut-turut. Terapi dapat
langsung diberikan tanpa menunggu hasil pemeriksaan pungsi
lumbal ke-2 dan ke-3. Untuk menentukan adanya dan luasnya
kelainan di daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus,
dapat dilakukan pemeriksaan CT-scan dengan kontras.
Terapi segera diberikan bila secara klinis meningitis TB.
Medikamentosa berupa OAT, 2 bulan fase intensif dengan 4 OAT
(INH, rifampisin, PZA, dan ETB), dilanjutkan dengan 2 OAT (INH
dan rifampisin) hingga 12 bulan. Steroid dapat sebagai terapi
ajuvantivus, yaitu prednison dengan dosis 1−2 mg/kgBB/hari,
diberikan selama 4 minggu dosis penuh, lalu selama 4 minggu
dilakukan penurunan dosis bertahap (tappering off). Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2−6 minggu dengan dosis penuh
dilanjutkan tappering off selama 2−6 minggu, sesuai dengan
lamanya pemberian dosis penuh.
f. Tuberkulosis Abdomen
Penyakit ini jarang dijumpai, yaitu sekitar 1−5% dari kasus
TB anak. Selain gejala khusus peritonitis TB, dapat timbul gejala
klinis umum TB pada anak. Manifestasi klinis TB abdomen terbagi
dua, yaitu terdapatnya asites dan adanya gambaran fenomena papan
catur. Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan sama dengan
pemeriksaan pada TB secara umum, bila perlu dilakukan
pemeriksaan foto polos abdomen, analisis cairan asites, dan biopsi
peritoneum.
Tatalaksana medikamentosa peritonitis TB sama dengan
tatalaksana TB ekstrapulmonal lain seperti spondilitis TB, yaitu
rifampisin, INH, dan PZA. Rifampisin dan INH diberikan selama
12 bulan, sedangkan PZA selama 2 bulan pertama. Kortikosteroid
diberikan 1−2 mg/kg BB selama 1−2 minggu pertama. Pada
keadaan obstruksi usus karena perlengketan perlu dilakukan
tindakan operasi.
g. Tuberkulosis Hati
26
Manifestasi klinis TB hati adalah gejala klinis umum TB anak
dan gejala tambahan, yaitu hepatomegali, splenomegali, nyeri
perut, dan ikterus. Pemeriksaan tambahan adalah uji fungsi hati,
USG hati, dan biopsi hati. Pengobatan pada TB hati adalah
pemberian OAT berupa empat macam obat, yaitu rifampisin, INH,
PZA, dan ETB, dengan dosis OAT sama seperti TB lainnya.
Rifampisin dan INH diberikan selama 12 bulan, sedangkan PZA
dan ETB diberikan selama 2 bulan pertama pengobatan. Penyakit
ini memerlukan pemantauan terhadap uji fungsi hati. Pemantauan
ketat sebaiknya dilakukan selama 2 bulan pertama dengan
perhatian khusus pada 2 minggu pertama pengobatan.
h. Tuberkulosis Ginjal
Pasien dengan TB ginjal, seringkali secara klinis tenang pada
fase awal, hanya ditandai piuria yang steril dan hematuria
mikroskopis. Namun demikian, disuria, nyeri pinggang atau nyeri
abdomen, dan hematuria makroskopis dapat terjadi sesuai dengan
berkembangnya penyakit. Superinfeksi dengan kuman lain, yang
sering kali menyebabkan gejala yang lebih akut, dapat
memperlambat diagnosis TB sebagai penyakit dasarnya.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah biakan TB dari urin,
pielografi intravena (PIV), USG, dan CT- scan. Pengobatan TB
ginjal bersifat holistik, yaitu selain pemberian OAT juga dilakukan
penanganan terhadap kelainan ginjal yang terjadi. Pemberian OAT
terdiri dari sedikitnya empat macam obat pada 2 bulan pertama, dan
dilanjutkan dengan dua macam obat sampai 12 bulan. Bila
diperlukan, tindakan bedah dapat dilakukan setelah pemberian
OAT selama 4−6 minggu
i. Tuberkulosis Milier
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB yang berat
dan merupakan 3−7% dari seluruh kasus TB, dengan angka
kematian yang tinggi (dapat mencapai 25% pada bayi).
Tuberkulosis milier merupakan penyakit limfohematogen sistemik
27
akibat penyebaran kuman M. tuberculosis dari kompleks primer,
yang biasanya terjadi dalam waktu 6 bulan pertama, sering dalam 3
bulan pertama, setelah infeksi awal. Tuberkulosis milier lebih
sering terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama usia <2 tahun,
karena imunitas selular spesifik, fungsi makrofag, dan mekanisme
lokal pertahanan parunya belum berkembang sempurna, sehingga
kuman TB mudah berkembangbiak dan menyebar ke seluruh tubuh.
Akan tetapi, TB milier juga dapat terjadi pada anak besar dan
remaja akibat pengobatan penyakit paru primer sebelumnya yang
tidak adekuat, atau pada usia dewasa akibat reaktivasi kuman yang
dorman. Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu
kuman M. tuberculosis (jumlah dan virulensi) dan status
imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik).
Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun juga dapat
memudahkan timbulnya TB milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi,
infeksi morbili, pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan,
dan penggunaan kortikosteroid jangka lama. Faktor-faktor lain
yang juga mempengaruhi perkembangan penyakit adalah faktor
lingkungan, yaitu kurangnya paparan sinar matahari, perumahan
yang padat, polusi udara, asap rokok, penggunaan alkohol, obat
bius, serta sosial ekonomi.
Manifestasi klinis TB milier bermacam-macam, bergantung
pada banyaknya kuman dan jenis organ yang terkena. Gejala yang
sering dijumpai adalah keluhan kronik yang tidak khas, seperti TB
pada umumnya, misalnya anoreksia dan BB turun atau gagal
tumbuh (dengan demam ringan atau tanpa demam), demam lama
dengan penyebab yang tidak jelas, serta batuk dan sesak napas.
Tuberkulosis milier juga dapat diawali dengan serangan akut
berupa demam tinggi yang sering hilang timbul (remittent), pasien
tampak sakit berat dalam beberapa hari, tetapi gejala dan tanda
respiratorik belum ada. Pada lebih kurang 50% pasien,
limfadenopati superfisial, splenomegali, dan hepatomegali akan
28
terjadi dalam beberapa minggu. Demam kemudian bertambah
tinggi dan berlangsung terus-menerus/kontinu, tanpa disertai gejala
respiratorik atau disertai gejala minimal, dan foto toraks biasanya
masih normal. Beberapa minggu kemudian, hampir di semua organ,
terbentuk tuberkel difus multipel, terutama di paru, limpa, hati, dan
sumsum tulang.
Gejala klinis biasanya timbul akibat gangguan pada paru, yaitu
gejala respiratorik seperti batuk dan sesak napas disertai ronki atau
mengi. Pada kelainan paru yang berlanjut, timbul sindrom
sumbatan alveolar, sehingga timbul gejala gangguan pernapasan,
hipoksia, pneumotoraks dan atau pneumomediastinum. Dapat juga
terjadi gangguan fungsi organ, kegagalan multiorgan, serta syok.
Gejala lain yang dapat ditemukan adalah kelainan kulit berupa
tuberkuloid, papula nekrotik, nodul, atau purpura. Tuberkel koroid
ditemukan pada 13−87% pasien, dan jika ditemukan dini dapat
menjadi tanda yang sangat spesifik dan sangat membantu diagnosis
TB milier. Maka, pada TB milier perlu dilakukan funduskopi untuk
menemukan tuberkel koroid. Meningitis TB dan peritonitis TB
dapat ditemukan pada 20−40% pasien yang berat. Sakit kepala
kronik atau berulang biasanya merupakan gejala telah terjadinya
meningitis dan merupakan indikasi untuk melakukan pungsi
lumbal. Peritonitis TB ditandai oleh keluhan nyeri atau pembesaran
abdomen. Lesi milier dapat terlihat pada foto toraks dalam waktu
2−3 minggu setelah penyebaran kuman secara hematogen.
Gambarannya sangat khas, yaitu berupa tuberkel halus (millii) yang
tersebar merata di seluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas
dan ukuran yang hampir seragam (1−3 mm). Lesi-lesi kecil dapat
bergabung membentuk lesi yang lebih besar, kadang-kadang
membentuk infiltrat yang luas. Sekitar 1−2 minggu setelah
timbulnya penyakit, pada foto toraks dapat dilihat lesi yang tidak
teratur seperti kepingan salju.
Diagnosis TB milier pada anak dibuat berdasarkan adanya
29
riwayat kontak dengan pasien TB dewasa yang infeksius (BTA
positif), gambaran klinis, gambaran radiologis yang khas, serta uji
tuberkulin yang positif. Uji tuberkulin tetap merupakan alat bantu
diagnosis TB yang penting pada anak. Uji tuberkulin yang negatif
belum tentu menunjukkan tidak adanya infeksi atau penyakit TB,
atau sebaliknya. Uji tuberkulin negatif terjadi pada lebih dari 40%
TB diseminata. Untuk menentukan diagnosis meningitis TB,
sebaiknya dilakukan pungsi lumbal pada setiap pasien TB milier
walaupun belum timbul kejang atau penurunan kesadaran.
Tatalaksana medikamentosa TB milier adalah pemberian 4−5
macam OAT selama 2 bulan pertama, dilanjutkan dengan isoniazid
dan rifampisin selama 6−10 bulan sesuai dengan perkembangan
klinis. Dosis OAT dapat dilihat pada Tabel 4.1. Kortikosteroid
(prednison) diberikan pada TB milier, meningitis TB, perikarditis
TB, efusi pleura, dan peritonitis TB. Prednison biasanya diberikan
dengan dosis 1−2 mg/kg BB/hari selama 2−4 minggu, kemudian
diturunkan perlahan-lahan (tappering off) selama 2−6 minggu.
Dengan pengobatan yang tepat, perbaikan TB milier biasanya
berjalan lambat. Respons keberhasilan terapi antara lain adalah
menghilangnya demam setelah 2−3 minggu pengobatan,
peningkatan nafsu makan, perbaikan kualitas hidup sehari-hari, dan
peningkatan BB. Gambaran milier pada foto toraks biasanya
menghilang dalam 1 bulan, kadang-kadang berangsur-angsur
menghilang dalam 5−10 minggu, tetapi mungkin saja belum ada
perbaikan hingga beberapa bulan.
j. Tuberkulosis Perinatal
Infeksi TB pada neonatus dapat terjadi secara kongenital
(prenatal), selama proses kelahiran (natal), maupun transmisi
pascanatal oleh ibu pengidap TB aktif. Oleh karena itu, transmisi
pada neonatus ini disebut sebagai TB perinatal. Pada TB
kongenital, transmisi terjadi karena penyebaran hematogen melalui
vena umbilikalis atau aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Pada
30
TB natal, transmisi dapat terjadi melalui proses persalinan,
sedangkan pada TB pascanatal terjadi akibat penularan secara
droplet. Mycobacterium tuberculosis tidak dapat melalui sawar
plasenta yang sehat, sehingga kuman akan menempel pada plasenta
dan membentuk tuberkel. Apabila tuberkel pecah, maka terjadi
penyebaran hematogen dan menyebabkan infeksi pada cairan
amnion melalui vena umbilikalis. Pada saat penyebaran hematogen,
M. tuberculosis menyebabkan fokus primer di hati dan melibatkan
KGB periportal, dan pada perkembangan selanjutnya akan
menyebar ke paru. Selain cara di atas, penularan ke paru dapat
terjadi melalui aspirasi cairan amnion yang mengandung M.
tuberculosis langsung ke paru. Sedangkan penularan pascanatal
adalah secara droplet dengan patogenesis yang sama seperti TB
anak umumnya. Manifestasi klinis TB kongenital dapat timbul
segera setelah lahir atau pada minggu ke-2−3 kehidupan.
Gejala TB kongenital sulit dibedakan dengan sepsis neonatal,
sehingga sering terjadi keterlambatan dalam mendiagnosis. Gejala
yang sering timbul adalah distres pernapasan, hepatosplenomegali,
dan demam. Gejala lain yang dapat ditemukan antara lain
prematuritas, berat lahir rendah, sulit minum, letargi, dan kejang.
Selain itu dapat juga terjadi abortus/kematian bayi. Pemeriksaan
penunjang yang diperlukan pada TB kongenital adalah pemeriksaan
M. tuberculosis melalui darah vena umbilikus dan plasenta. Pada
plasenta sebaiknya diperiksa gambaran histopatologis dengan
kemungkinan adanya granuloma kaseosa dan BTA, bila perlu
dilakukan kuretase endometrium untuk mencari endometritis TB.
Penentuan TB kongenital adalah dengan ditemukannya BTA dan
M. tuberculosis pada vena umbilikus dan plasenta. Beitzke
memberikan kriteria untuk TB kongenital, yaitu ditemukannya M.
tuberculosis dan memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: (1)
lesi pada minggu pertama, (2) kompleks primer hati atau
granuloma hati kaseosa, (3) infeksi TB pada plasenta atau traktus
31
genitalia, (4) kemungkinan transmisi pascanatal disingkirkan.
Untuk menentukan TB natal dan pascanatal, kriterianya sama
dengan TB pada anak.
Tatalaksana TB pada neonatus mempunyai ciri tersendiri, yaitu
melibatkan beberapa aspek seperti aspek ibu, bayi, dan lingkungan.
Ibu harus ditatalaksana dengan baik untuk menghindari penularan
selanjutnya. Selain itu harus dicari sumber lain di lingkungannya
serta memperbaiki kondisi lingkungan. Tatalaksana pada bayi
adalah dengan memberikan OAT berupa rifampisin dan isoniazid
selama 9−12 bulan, sedangkan pirazinamid diberikan selama 2
bulan. Air susu ibu tetap diberikan, dan tidak perlu cemas akan
kelebihan dosis OAT karena kandungan OAT dalam ASI sangat
kecil. Apabila bayi tidak terkena TB kongenital ataupun TB
perinatal tetapi ibu menderita TB dengan BTA positif, maka bayi
memerlukan perlakuan khusus, yaitu pemberian OAT profilaksis
isoniazid 5−10 mg/kgBB/hari, dan bayi tetap diberikan ASI.
32
Penularan TB biasanya droplet infection. Karena infeksi secara inhalasi,
maka hanya droplet nuklei yang kecil saja (1-5 mikron) yang dapat melalui dan
menembus sistem mukosilier saluran napas untuk mencapai bronkiolus dan
alveolus. Basil TB berkembang biak dan menyebar melalui saluran limfe dan
aliran darah. Sampai pada alveolus, akan terjadi reaksi inflamasi non spesifik.
Makrofag akan memfagosit basil TB tetapi tidak semuanya mati. Penyebaran
secara limfogen akan mencapai kelenjar regional sedangkan penyebaran
hematogen akan mencapai organ tubuh.
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus
primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang
waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 103 -104 , yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler.
Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. Kompleks primer dapat juga
mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh focus paru
33
atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau
paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar
karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi
parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis.
Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak
dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial
atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada
bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang
sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi,
sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan
hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen,
kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi
adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic
spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi
sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan
mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah
organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru
sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut,
kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk
imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya. Di dalam koloni yang
sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas seluler,
kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung
berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi.
Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahuntahun
kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat mengalami
reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB
34
tulang, dan lain-lain.
c. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak naik
dalam 2 bulan dengan penanganan gizi yang adekuat.
35
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan
BB tidak naikdengan adekuat (failure to thrive).
d. TB kulit : skrofuloderma.
36
II.2.8. Diagnosis Tuberkulosis Paru Pada Anak
Jika pada pasien ditemukan salah satu keadaan berikut, pasien dirujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan rujukan:
1. Foto thoraks menunjukkan gambaran efusi plura atau milier / kavitas
2. Gibbus, koksitis
37
3. Kejang, kaku kuduk
4. Penurunan kesadaran
5. Kegawatan lain, misalnya sesak nafas
Catatan: Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter Berat badan dinilai saat
datang (moment opname) Demam dan batuk tidak ada respons terhadap terapi sesuai baku
Puskesmas Foto Rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada TB Anak Semua anak
dengan Reaksi Cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring TB Anak Didiagnosis
TB bila jumlah skor >6, (skor maksimal 13) Pasien yang mendapat skor 5, dengan usia
balita atau ada kecurigaan TB yang kuat, rujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut Profilaksis
diberikan bila ada anak yang kontak dengan pasien TB dewasa sputum BTA (+) namun
evaluasi dengan sistem skoring nilainya
Penjelasan:
1. Pemeriksaan bakteriologis (mikroskopis atau tes cepat TB) tetap merupakan
38
pemeriksaan utama untuk konfirmasi diagnosis TB pada anak. Berbagai upaya dapat
dilakukan untuk memperoleh contoh uji dahak, di antaranya induksi sputum.
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan 2 kali, dan dinyatakan positif jika satu contoh uji
diperiksa memberikan hasil positif.
2. Observasi persistensi gejala selama 2 minggu dilakukan jika anak bergejala namun
tidak ditemukan cukup bukti adanya penyakit TB. Jika gejala menetap, maka anak
dirujuk untuk pemeriksaan lebih lengkap. Pada kondisi tertentu di mana rujukan tidak
memungkinkan, dapat dilakukan penilaian klinis untuk menentukan diagnosis TB
anak.
3. Berkontak dengan pasien TB paru dewasa adalah kontak serumah ataupun kontak
erat, misalnya di sekolah, pengasuh, tempat bermain, dan sebagainya. 4. Pada anak
yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis sebaiknya
diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan
diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB resistan obat maupun masalah
dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien
dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang
ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.
39
Negatif palsu Masa inkubasi Penyimpanan tidak baik dan penyuntikan salah
Interpretasi tidak betul Menderita tuberkulosis luas atau berat Disertai infeksi
virus (campak, rubela, cacar air, influensa, HIV) Imunoinkompetensi seluler,
termasuk pemakaian kortikosteroid Kekurangan komplemen Demam Lekositosis
Malnutrisi Sarkoidosis Psoriasis Jejunoileal by pass Terkena sinar ultraviolet
(matahari, solaria) Defisiensi zinc Anemia pemiosa Uremia
1. Pemeriksaan Bakteriologis
• Pemeriksaan Biakan
Media cair : dapat diketahui dalam 1-2 minggu, tapi lebih mahal.
2. Pemeriksaan Penunjang1,3,4
Uji tuberkulin
Tuberkulin adalah komponen protein pada bakteri tuberkulosis yang
mempunyai sifat antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada
seseorang yang telah terinfeksi tuberkulosis, maka akan terjadi reaksi berupa
indurasi di lokasi suntikan. Uji tuberculin dengan cara mantoux dilakukan dengan
menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU secara intrakutan di bagian volar lengan
bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran
dilakukan terhadap indurasi yang timbul. Jika tidak timbul indurasi sama sekali
hasilnya dilaporkan sebagai negatif, diameter indurasi 10 mm dinyatakan positif
tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh
infeksi tuberkulosis alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi BCG
atau infeksi mycobacterium atipik. Pada anak balita yang telah mendapat BCG,
diameter indurasi 10-14 cm dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar
karena infeksi tuberkulosis alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh pasca
imunisasi BCG, namun bila ukuran indurasinya 15 mm sangat mungkin karena
40
infeksi alamiah. Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan uji tuberkulin
negatif. Diameter 5-9 cm dinyatakan positif meragukan. Pada keadaan
immunocompromised atau pada pemeriksaan foto thorak terdapat kelainan
radiologis hasil positif yang digunakan 5mm.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologis dapat memperkuat diagnosis, karena lebih 95%
infeksi primer terjadi di paru-paru maka secara rutin foto thorax harus dilakukan.
Komplek primer lebih banyak ditemukan pada foto torax paru bayi dan anak kecil
daripada dewasa.
Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah
• Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrate,
• Konsolidasi segmental/lobar
• Milier
• Kalsifikasi dengan infiltrate
• Atelektasis
• Kavitas
• Efusi pleura
• Tuberkuloma.
Foto toraks tidak cukup hanya dibuat secara antero-posterior (AP), tetapi
harus disertai dengan foto lateral, mengingat bahwa pembesaran KGB di daerah
hilus biasanya lebih jelas pada foto lateral. 9
41
Pemeriksaan Patologi Anatomi
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya
kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma
tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah
granuloma. Gambaran khas lainnya adalah ditemukannya multinudeated giant cell
(sel datia Langhans). Diagnosis histopatologik dapat ditegakkan dengan
menemukan perkijuan (kaseosa), sel epiteloid, limfosit, dan sel datia Langhans.
Kadang-kadang dapat ditemukan juga BTA.
1. Medikamentosa
Pengobatan TB anak telah banyak mengalami perubahan dari waktu ke
waktu. Prinsip pengobatan TB adalah multidrugs therapy (>2 macam obat),
diminum teratur, dan jangka lama (minimal 6 bulan). Pengobatan saat ini yang
cukup baik hasilnya adalah penggunaan obat anti tuberkulosis (OAT) yang terdiri
dari INH, Rifampisin, dan pirazinamid. INH diberikan dengan dosis 10-
15mg/kgBB selama 6 bulan, Rifampisin 10-15 mg/kgBB selama 6 bulan, dan
pirazinamid 25-35 mg/kgBB selama 2 bulan. Pada kasus-kasus berat dapat
ditambahkan dengan etambutol 20 mg/kg selama 2 bulan pertama. Pemberian
kortikosteroid dapat dilakukan pada kasus TB milier atau meningitis tuberkulosa
yaitu prednison 1-2 mg /kgBB selama 2-4 minggu, kemudian dilakukan tapering
off. Untuk mengurangi angka drop out pengobatan TB dan meningkatkan
kepatuhan pasien menelan obat, maka dibuat bentuk fixed dose combination
(FDC) yaitu menggabungkan INH, rifampisin, dan pirazinamid dalam satu
kemasan. Syarat FDC yang baik adalah bioavailabilitas dan bioekuivalennya
harus baik yaitu tidak ada perbedaan yang bermakna apabila dibandingkan dengan
sediaan lepas obat yang digabung. Untuk terapi medikamentosa program
penanggulangan TB anak dibuat suatu FDC dengan komposisi rifampisin, INH,
dan pirazinamid masing-masing 75 mg/50 mg/dan 150 mg, sedangkan untuk fase
4 bulan berikutnya terdiri dari rifampisin dan INH masing-masing 75 mg dan 50
mg.
42
Tabel Dosis OAT pada Anak2:
Tabel Panduan pemberian obat dan lama pemberian obat TB pada anak2:
Panduan Obat TB
Untuk terapi tuberkulosis terdiri dari dua fase yaitu fase intensif (awal) dengan
panduan 3-5 OAT selama 2 bulan awal dan fase lanjutan dengan panduan 2 OAT
(INH-Rifampisin) hingga 6-12 bulan. Fase intensif (awal) pasien mendapat obat setiap
hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat, bila
pengobatan fase intensif diberikan secara tepat biasannya pasien menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu, sebagian besar pasien tuberkulosis BTA
positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan sedangkan untuk fase lanjutan
43
pasien mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu yang lebih lama,
tahap ini penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan. Terapi OAT untuk tuberkulosis paru yaitu INH, Rifampisisn,
Pirazinamid selama 2 bulan fase intensif dilanjutkan INH dan Rifampisin hingga 6
bulan terapi (2HRZ-4HR). Efek samping OAT jarang dijumpai pada anak jika dosis
dan cara pemberiannya benar. Efek samping yang biasa muncul yaitu hepatotoksisitas
dengan gejala ikterik, keluhan ini biasa muncul pada fase intensif (awal).
44
Nutrisi
Status gizi anak dengan TB akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan
TB. Malnutrisi berat meningkatkan resiko kematian padda anak dengan TB.
Penilaian status gizi harus dilakukan secara rutin.
Evaluasi Hasil Pengobatan 10
Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan untuk menilai perkembangan hasil
terapi memantau timbulnya efek samping obat. Evaluasi hasil pengobatan
dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED.
a. Respon pengobatan baik : gejala klinis hilang dan terjadi
penambahan berat badan, maka pengobatan dilanjutkan.
b. Respon tidak ada : pengobatan dilanjutkan dan diberi tambahan
dengan merujuk ke sarana yang lebih tinggi. Kemungkinan terjadi
misdiagnosis, mistreatment atau resisten terhadap OAT.
Apabila pada saat diagnosis terdapat kelainan radiologis, maka dianjurkan
pemeriksaan radiologis ulangan.
Non Medikamentosa
• Pendekatan DOTS
Hal yang paling penting pada tatalaksana TB adalah kepatuhan ( adherens)
menelan obat. Pasien TB biasanya telah menunjukkan perbaikan beberapa minggu
setelah pengobatan, sehingga merasa telah sembuh dan tidak melanjutkan
pengobatan.
Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka
kesembuhan yang tinggi. Sesuai dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri
atas lima komponen, yaitu sebagai berikut :
a. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.
b. Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.
b. Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan
langsung
c. oleh pengawas menelan obat (PMO).
d. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
e. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan
evaluasi program penanggulangan TB.
45
• Lacak Sumber Penularan dan Case Finding
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari
sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan
adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut.
Pelacakan sumber infeksi sentripetal dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis
dan BTA sputum. Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan
sentrifugal, yaitu mencari anak lain di sekitarnya yang mungkin juga tertular,
dengan cara uji tuberkulin.
Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak di
sekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB
(pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin.
II.2.10. Pencegahan
• Imunisasi BCG
Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi
sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah
insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal,
ulkus tidak menganggu struktur otot dan sebagai tanda Baku). Bila BCG diberikan
pada usia >3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu.
• Kemoprofilaksis
Terdapat dua macam kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan
kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah
terjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah
berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan
isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis
ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA
sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Obat diberikan
selama 6 bulan. Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji
tuberkulin ulang. Jika tetap negatif, profilaksis dilanjutkan hingga 6 bulan. Jika
terjadi konversi tuberkulin menjadi positif, evaluasi status TB pasien. Pada akhir
bulan keenam pemberian profilaksis, dilakukan lagi uji tuberkulin, jika tetap negatif
profilaksis dihentikan, jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif, evaluasi
status TB pasien.
46
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi
belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis
normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang
termasuk dalam kelompok risiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu
anak-anak pada keadaan imunokompromais. Contoh anak-anak dengan
imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili, varisela, atau pertusis,
mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja,
dan infeksi TB baru (konversi uji tuberkulin dalam waktu kurang dari 12 bulan).
Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan.
47
BAB III
ANALISIS KASUS
Lima bulan yang lalu, pasien dengan riwayat batuk lebih dari 2 bulan,
batuk tidak disertai dengan dahak, batuk semakin hari terus memberat sehingga
menyebabkan pasien sesak nafas. Batuk tidak membaik meskipun sudah diberikan
obat batuk. Hal ini menandakan adanya suatu infeksi pada saluran pernafasan
pasien yaitu kecurigaan TB dan sudah termasuk salah satu skoring TB pada anak
yaitu batuk >3 minggu.
Hasil dari skoring Tuberkulosis anak didapatkan total nilai 5, yang jika
diinterpretasikan kurang dari sama dengan 6, dilakukan pemeriksaan penunjang
lanjutan. Selanjutnya,setelah dilakukan pemeriksaan mikrobiologi didapatkan
hasil tes PCR TB positif dan terdeteksi kuman MTB. Dari hasilpemeriksaan
tersebut maka dapat ditegakan diagnosis TB pada pasien ini.
49
DAFTAR PUSTAKA
1. Carvalho ACC, Cardoso CAA, Martire TM, Migliori GB, Sant’Anna CC.
Epidemiological aspects, clinical manifestations, and prevention of pediatric
tuberculosis from the perspective of the End TB strategy. J Bras Pneumol.
2018;44(2):134–44.
2. Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Manajemen dan tatalaksana TB Anak. Ministry of
Health of the Republic of Indonesia. 2016. p. 3.
3. Singh V, Parakh A. What Is New in the Management of Childhood Tuberculosis in
2020? Indian Pediatr. 2020;57(12):1172–6.
4. Lewinsohn DM, Leonard MK, Lobue PA, Cohn DL, Daley CL, Desmond E, et al.
Official American Thoracic Society/Infectious Diseases Society of America/Centers
for Disease Control and Prevention Clinical Practice Guidelines: Diagnosis of
Tuberculosis in Adults and Children. Clin Infect Dis. 2017;64(2):e1–33.
5. Groenewald W, Baird MS, Verschoor JA, Minnikin DE, Croft AK. Differential
spontaneous folding of mycolic acids from Mycobacterium tuberculosis. Chem Phys
Lipids. 2014;180:15–22.
6. Chung O. Second edition. Taiwan Rev. 2019;69(4).
7. Amallia A, Karyus A. Penatalaksanaan Holistik pada Pasien TB Anak dalam Masa
Pengobatan Fase Lanjutan melalui Pendekatan Kedokteran Keluarga. Medula.
2019;9(3):490–500.
50