KEHAMILAN
Perawatan Antenatal Rutin memeriksa kehamilan ke bidan
Penyakit Kehamilan Tidak ada penyakit selama kehamilan
KELAHIRAN
Tempat Kelahiran Puskesmas
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi pertama : 7 bulan
Psikomotor
Tengkurap : 5 bulan
Duduk : 7 bulan
Berdiri : 12 bulan
Berjalan : 14 bulan
Bicara : 15 bulan
Baca dan tulis : - tahun
Perkembangan pubertas :-
Gangguan Perkembangan : tidak ada
Kesan Perkembangan : Tidak terdapat gangguan perkembangan, tumbuh
kembang pasien sesuai dengan usianya
RIWAYAT IMUNISASI
ULANGAN
VAKSIN DASAR (umur)
(umur)
BCG 1 bulan - - -
2
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Kesan : Imunisasi dasar pasien lengkap, booster belum dikerjakan karena ibu pasien tidak
mengetahuinnya
RIWAYAT MAKANAN
BUAH/
Umur (Bulan) ASI/ PASI BUBUR SUSU NASI TIM
BISKUIT
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 ASI - - -
6–8 ASI+PASI v v -
8-10 ASI+PASI v v v
10-12 ASI+PASI v v v
Kesan :
Pasien mendapat ASI eksklusif sampai usia 6 bulan, berikutnya diikuti PASI secara
bertahap dan variatif
3
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Tempe 1x/hari
Susu (merek/ takaran) Tidak minum susu
RIWAYAT KELUARGA
Corak Produksi
Tgl Lahir Mati
Sex Hidup Lahir Mati Abortus Keterangan
(Umur) (sebab)
16 tahun Laki - laki v - - - Sehat
12 tahun Perempuan v - - - Sehat
8 tahun Perempuan v - - - Sehat
4
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
3 tahun
Perempuan v - - Pasien
3 bulan
DATA KELUARGA
AYAH/ WALI IBU/ WALI
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 28 tahun 23 tahun
Kosanguinitas Tidak ada Tidak ada
Keadaan kesehatan/
Sehat Sehat
penyakit bila ada
DATA PERUMAHAN
Kepemilikan rumah: Rumah sendiri
Keadaan rumah:
Rumah berukuran 72m2 1 lantai dengan 1 kamar tidur, 1 kamar mandi, ruang tamu, dan
dapur. Sirkulasi udara di dalam rumah cukup baik, cahaya matahari dapat masuk ke
dalam rumah melalui jendela yang dibuka tiap pagi sampai sore hari. Untuk mandi dan
mencuci memakai air PAM. Untuk minum dan memasak memakai air galon isi ulang
5
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
yang direbus. Jarak septic tank ke sumber air tidak diketahui. Rumah dibersihkan setiap
hari. Sampah rumah tangga dibuang ke tempat sampah besar berjarak 15 meter dari
rumah.
Keadaan lingkungan:
Rumah berada di pemukiman padat penduduk, di dalam gang dengan lebar 1,5m. Aliran
got terbuka, tidak tersumbat. Tempat pembuangan sampah berada di depan rumah dan
tertutup, diambil oleh petugas sampah seminggu 2 kali. Tidak banyak motor yang lalu
lalang di depan lingkungan rumah.
Kesan: Kondisi rumah cukup baik dan lingkungan tempat tinggal cukup baik
Status Gizi : menurut kurva NCHS tinggi badan dibandingkan berat badan
BB/U: (14/15) x 100% = 93 % (Berat badan baik menurut umur)
TB/U: (105/97) x 100% = 108 % (Tinggi badan baik menurut umur)
6
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
PEMERIKSAAN SISTEMATIS
KEPALA
Bentuk dan ukuran : Normocephali
Rambut dan kulit kepala : Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : Mata tidak tampak cekung, palpebra tidak ada kelainan, konjungtiva anemis -/-,
sklera ikterik -/-, RCL +/+ RCTL +/+
Telinga : Normotia, nyeri tarik & tekan -/-, liang telinga lapang
Hidung : Normosepti, sekret -/-, deviasi septum (-), nafas cuping hidung (-)
Bibir : Merah muda, mukosa basah
Mulut : Mukosa mulut basah
Gigi-geligi : Gigi geligi tumbuh baik, caries (-)
Lidah : Normoglotia, lidah bersih tampak basah, atrofi papil lidah (-)
Tonsil : T1-T1 tenang
Faring : permukaan licin, tidak hiperemis, arcus faring simetris, uvula di tengah
LEHER :
Tidak terdapat pembesaran KGB maupun kelenjar tiroid, tidak terdapat kaku kuduk
THORAKS
Dinding thoraks
I : Bentuk datar, simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis dan dinamis
PARU
I : Pergerakan dada simetris kanan dan kiri, tidak ada bagian yang tertinggal, tidak ada
retraksi
P : Vocal fremitus sama kuat di kedua lapang paru
7
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
JANTUNG
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba pada linea midclavicularis sinistra setinggi ICS V
P : Batas kanan jantung pada linea parasternalis dextra setinggi ICS III, IV, V
Batas kiri jantung pada linea midclavicularis sinistra setinggi ICS V
Batas atas jantung pada linea parasternalis sinistra setinggi ICS II
A: Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
ABDOMEN
I : Bentuk datar, simetris, tidak tampak pelebaran vena
A : Bising usus (+)
P : Supel, turgor kulit kembali cepat, nyeri tekan (-)
P : Timpani pada seluruh kuadran abdomen
ANUS
Tidak ada kelainan
GENITAL
Jenis kelamin laki-laki, tidak ada kelainan
ANGGOTA GERAK
Akral hangat dan tidak terdapat oedem pada keempat ekstremitas
KULIT
Warna kulit sawo matang, kelembapan baik, tidak ada efloresensi bermakna
8
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Refleks fisiologis : Biceps +/+ , Triceps +/+ , Patella +/+ , Achilles +/+
Refleks patologis : Babinsky -/- , Chaddok -/- , Tanda rangsang meningeal (-)
V. RINGKASAN
Pasien anak perempuan usia 3 tahun 4 bulan dengan dengan kejang 1 jam, durasi
±5 menit, kejang kelojotan pada seluruh tubuh, mata pasien mendelik ke atas, sebelum dan
9
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
setelah kejang kesadaran pasien baik, hanya terlihat lemas. Mulut berbusa dan pencetus
kejang misalnya suara yang terlalu keras dan cahaya terlalu terang disangkal. Riwayat
kepala terbentur disangkal. Sebelumnya pasien mengalami demam tinggi sejak 1 hari
SMRS, demam tinggi diukur dengan termometer namun ibu pasien lupa berapa suhunya,
demam sudah berlangsung 4 hari, mulanya sumeng-sumeng lalu semakin hari menjadi
tinggi. Saat demam, pasien sudah diberi obat namun tidak juga turun. Selain itu pasien juga
mengalami batuk sejak ± 1 minggu SMRS, batuk berdahak berwarna putih dan hilang
timbul. Makan pasien sedikit, minum masih mau. BAK dan BAB normal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis. Nadi : 128 x/menit, suhu : 38,3oC, pernafasan : 36x/menit. Pada status
generalis, auskultasi paru didapatkan ronki +/+ kedua lapang paru. Dari pemeriksaan
penunjang, lab terdapat peningkatan LED 11 mm/jam dan netrofil segmen 72 %. Radiologi
foto thoraks memberikan kesan Bronkopneumonia
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
10
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
X. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
IVFD D5 ¼ NS 50cc/jam
Inj Ceftiaxone 2 x 750 mg
Inj PCT 4 x 16 cc
Ambroxol syr 3 x 1 cth
Bila kejang berulang berikan stesolid 10 mg supp
Non Medikamentosa :
Rawat inap, tirah baring
Kompres air hangat, minum banyak air
Edukasi makan makanan yang bergizi cukup sesuai umur (diet cukup gizi)
Edukasi penatalaksanaan awal jika pasien mengalami kejang demam
11
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
12
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
LEMBAR FOLLOW-UP
Tanggal
S O A P
Perawatan
Sabtu Kejang (-), masih KU : Tampak sakit sedang Kejang Demam IVFD D5 ¼ NS 50cc/jam
20/8/2017 batuk-batuk berdahak, Kesadaran : Compos Mentis Sederhana Inj Ceftiaxone 1 x 1,5 gr
Bronkopneumonia
o
demam tadi malam, S: 36,3 C, N: 116 x/mnt, Puyer Paracetamol / Diazepam
muntah (-) RR: 24 x/mnt, T Gizi kurang 150mg /2mg 3x1
Thorax: SNV +/+, Rh +/+ Wh -/- Puyer Sarbutamol / Ambroxol
Hasil : 0,7mg / 7,5 mg 3x 1
Foto Thoraks AP Depakene syr 2 x 2 cth
Cor : Bentuk dan besar Konsul Gizi
normal
Pulmo : Infiltrat di perihilar
kanan – kiri dan paracardial
kanan
Corakan bronkovaskular
kasar
Sinus dan diafragma baik
Tulang dan soft tissue baik
Kesan : Bronkopneumonia
13
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Minggu Demam naik turun, KU : Tampak sakit ringan Kejang Demam IVFD D5 ¼ NS 50cc/jam
21/8/2017 kejang (-), masih batuk Sederhana Inj Ceftiaxone 1 x 1,5 g
tetapi sudah berkurang Kesadaran : Compos Mentis Bronkopneumonia Puyer Paracetamol / Diazepam
S: 37,4 oC, N: 120 x/mnt, Gizi kurang 150mg /2mg 3x1
RR: 20 x/mnt, T Puyer Sarbutamol / Ambroxol
Thorax: SNV +/+, Rh -/-, Wh -/- 0,7mg / 7,5 mg 3x 1
Depakene syr 2 x 2 cth
Pasien di pulangkan
14
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
ANALISA KASUS
1
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
yang terjadi karena bronkopneumonia yang diderita pasien. Gizi kurang juga diambil
menjadi diagnosis berdasarkan hasil perhitungan status gizi menurut kurva CDC-
NCHS dengan hasil 82% yang termasuk pada gizi kurang dengan range 70-90%
Pada pasien diberikan penatalaksanaan rawat inap, infus D5 ¼ NS 50cc/jam
pemberian injeksi ceftiaxone 2 x 750 mg iv, injeksi PCT 4 x 16 cc, ambroxol syr 3 x 1
cth, serta bila kejang berulang berikan stesolid 10 mg supp. Lalu terapi di diteruskan
dan diganti/ditambahkan puyer paracetamol/diazepam 150mg/2mg 3x1, puyer
sarbutamol/ambroxol 0,7mg/7,5 mg 3x1, depakene 2 x 2 cc.
2
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
TINJAUAN PUSTAKA
KEJANG DEMAM
a. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu
tubuh dengan cepat hingga > 38ᵒC, dan kenaikan suhu tersebut diakibatkan oleh
proses ekstrakranial. Perlu diperhatikan bahwa demam harus mendahului kejang.
b. Epidemiologi
Data di Indonesia belum ada secara nasional, tetapi sekitar 80 % kejang
pada anak adalah kejang demam sederhana. Sedikit lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibanding perempuan. Umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan-5 tahun, puncaknya
pada usia 14-18 bulan, prognosisnya biasanya sangat baik.
c. Klasifikasi
Secara klinis kejang demam dibagi menjadi:
Kejang demam sederhana/simpleks
Kejang umum tonik, klonik, atau tonik-klonik, anak dapat terlihat mengantuk
setelah kejang
Berlangsung < 15 menit
Tidak berulang dalan 24 jam
Tanpa kelainan neurologis sebelum dan sesudah kejang
3
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
d. Etiologi
Terdapat beberapa teori mengenai penyebab terjadinya kejang demam, dua di
antaranya adalah:
Lepasnya sitokin IL-1 beta, atau hiperventilasi yang menyebabkan alkalosis
dan meningkatkan pH otak sehingga terjadi kejang
Genetik, artinya eksitasi neuron yang lebih mudah terjadi sifatnya dapat
diturunkan, oleh karena itu perlu ditanyakan riwayat kejang pada keluarga.
Telah diterangkan di atas bahwa harus ada proses ekstrakranial yang mendasari
timbulnya kejang demam, yang paling sering disebabkan oleh infeksi saluran napas
akut, otitis media akut, roseola, infeksi saluran kemih, dan infeksi saluran cerna.
e. Manifestasi Klinis
Demam, dimana kenaikan suhu tubuh pasien cepat
Kejang umum tonik atau tonik-klonik → pada kejang demam sederhana
Kejang fokal atau parsial selama maupun sesudah kejang (misalnya
pergerakan satu tungkai saja) → kejang demam kompleks
Berlangsung < 15 menit → kejang demam sederhana
Berlangsung > 15 menit → kejang demam kompleks
Berulang dalam 24 jam → kejang demam kompleks
Tanda neurologis normal
f. Diagnosis Banding
Kejang karena proses intrakranial, cara membedakannya adalah dari
demamnya: pada proses intrakranial, demam terjadi bersamaan atau setelah
kejang.
Pada anak < 1 tahun, diagnosis banding yang harus dipikirkan adalah
meningitis, bayi tampak letargi, ubun-ubun besar menonjol, dan pada
pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis. Untuk menegakkan
diagnosisnya perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu punksi lumbal.
4
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
g. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit dapat dilakukan
namun tidak rutin, hanya jika ada kecurigaan misalnya anak sebelumnya
memiliki riwayat diare.
Punksi lumbal, untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis
meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini pemeriksaan pungsi
lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak usia < 12 bulan yang
mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum baik.
EEG tidak rutin dilakukan, dilakukan pada kejang fokal
Neuroimaging (CT Scan atau MRI kepala, diindikasikan bila ada kelainan
neurologis fokal yang menetap.
h. Penatalaksanaan
Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri setenang
mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah
sebagai berikut :
a.) Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi menyamping, bukan
terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
b.) Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok, karena
justru benda tersebut dapat menyumbat jalan napas.
c.) Jangan memegangi anak untuk melawan kejang.
d.) Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan penanganan
khusus.
e.) Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera dibawa ke
fasilitas kesehatan terdekat. Sumber lain menganjurkan anak untuk dibawa ke
fasilitas kesehatan jika kejang masih berlanjut setelah 5 menit. Ada pula sumber
yang menyatakan bahwa penanganan lebih baik dilakukan secepat mungkin
tanpa menyatakan batasan menit.
f.) Setelah kejang berakhir (jika < 10 menit), anak perlu dibawa menemui dokter
untuk meneliti sumber demam, terutama jika ada kekakuan leher, muntah-
muntah yang berat, atau anak terus tampak lemas.
5
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Jika anak dibawa ke fasilitas kesehatan, penanganan yang akan dilakukan selain poin-
poin di atas adalah sebagai berikut :
a) Memastikan jalan napas anak tidak tersumbat
b) Pemberian oksigen melalui face mask
c) Pemberian diazepam 0,5 mg/kg berat badan per rektal (melalui anus) atau jika
telah terpasang selang infus 0,2 mg/kg per infus
d) Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan
e) Sebagian sumber menganjurkan pemeriksaan kadar gula darah untuk meneliti
kemungkinan hipoglikemia. Namun sumber lain hanya menganjurkan
pemeriksaan ini pada anak yang mengalami kejang cukup lama atau keadaan
pasca kejang (mengantuk, lemas) yang berkelanjutan.
6
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Turunkan demam:
a) Antipiretika: Paracetamol 10-15 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen
5-10mg/KgBB/dosis PO, keduanya diberikan 3-4 kali per hari
b) Kompres: suhu > 390C: air hangat; suhu >380C: air biasa
·
Pengobatan penyebab: antibiotika diberikan sesuai indikasi dengan penyakit dasarnya
· Penanganan suportif lainnya meliputi:
a. Bebaskan jalan nafas
b. Pemberian oksigen
c. Menjaga keseimbangan air dan elektrolit
d. Pertahankan keseimbangan tekanan darah
7
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
i. Prognosis
Anak dengan kejang demam memiliki kemungkinan 30-50% mengalami kejang
demam berulang, 75% nya terjadi satu tahun setelah awitan yang pertama. Resiko
rekurensi meningkat jika kejang demam terjadi < 1 tahun, riwayat keluarga kejang
atau epilepsi, cepatnya kejang setelah demam, dan kejang yang terjadi pada suhu yang
tidak terlalu tinggi (38ᵒC).
Dan pada anak yang mengalami kejang demam kompleks resikonya lebih besar
untuk mengalami epilepsi di kemudian hari, terutama jika kejangnya terjadi sebelum
usia 9 bulan dan adanya perkembangan yang terlambat.
8
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
BRONKOPNEUMONIA
a. Definisi
Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan
jaringan interstisial. Sedangkan bronkopneumonia adalah gambaran radiologis yang
disebabkan oleh inflamasi peribronkhial supuratif dan konsolidasi satu atau lebih
lobules paru akibat adanya infeksi, terutama bakteri.
b. Epidemiologi
Pneumonia merupakan penyebab kematian anak berusia di bawah 5 tahun di
seluruh dunia. Diperkirakan sekitar 1,2 juta kematian tiap tahun. Insiden pneumonia
lebih dari 10 kali lipat lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan negara maju.
Data statistik dunia memperkirakan 150 juta kasus baru pneumonia terjadi pada anak
di bawah 5 tahun, dengan angka rawat rumah sakit sekitar 10-20%.
Di Amerika Serikat, kisaran tahun 1939-1996, kematian akibat pneumonia
menurun sekitar 97%. Pada tahun 1970, kematian karena pneumonia hanya berkisar
9% dan lebih rendah lagi pada tahun 2007, yang hanya berkisar 2%. Penurunan
tersebut dikarenakan adanya antibiotik, vaksin, dan meluasnya pembiayaan asuransi
kesehatan untuk anak. Di Indonesia, berdasarkan survei kesehatan nasional (SKN)
2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh
penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia.
c. Etiologi
Pneumonia terutama disebabkan oleh infeksi mikroorganisme, namun dapat
pula disebabkan oleh faktor noninfeksi misalnya aspirasi (makanan atau asam
lambung, benda asing, hidrokarbon, dan substansi lipoid), reaksi hipersensitivitas, dan
obat-obatan atau radiasi yang dapat memicu pneumonitis.
Usia pasien merupakan faktor yang berperan penting dalam perbedaan dan
kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan
strategi pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi
kecil berbeda dengan anak yang lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan
bayi kecil meliputi Streptococcus group B dan bakteri Gram negatif seperti E. colli,
Pseudomonas sp,atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita,
pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumonia, Haemophilus
9
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
influenza tipe B, dan Staphylococcus aureus. Pada anak yang lebih besar dan remaja,
selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumonia.
Di negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus, di
samping bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virus yang terbanyak ditemukan
adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV), Rhinovirus, dan Parainfluenza. Bakteri
yang terbanyak adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza tipe B, dan
Mycoplasma pneumoniae. Kelompok anak berusia 2 tahun ke atas mempunyai
etiologi infeksi bakteri yang lebih banyak dibandingkan anak berusia di bawah 2
tahun.
Virus lebih sering ditemukan pada anak kurang dari 5 tahun. Respiratory
Syncytial Virus (RSV) dan Rhinovirus merupakan virus penyebab tersering,
khususnya usia kuang dari 2 tahun. Infeksi lebih dari 1 jenis virus terjadi pada 20%
kasus. Penelitian di Bandung menunjukkan bahwa Streptococcus pneumonia dan
Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang paling sering ditemukan pada
apusan tenggorok pasien pneumonia umur 2-59 bulan.
Berikut adalah daftar penyebab pneumonia berdasarkan kelompok usia:
10
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
d. Faktor risiko
Terdapat beberapa faktor yang meningkatkan risiko kejadian dan derajat
pneumonia. Faktor-faktor tersebut secara garis besar mempengaruhi status imunitas
anak tersebut melalui berbagai mekanisme, antara lain.
11
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
12
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Studi menunjukkan efek proteksi melawan infeksi saluran napas bawah tidak
berubah seiring dengan bertambahnya usia anak. Diperkirakan pemberian ASI secara
penuh/ekslusif atau sebagian menghasilkan 50% penurunan mortalitas akibat infeksi
saluran napas akut pada anak yang berusia kurang dari 18 bulan.
Selain dari faktor di atas, terdapat faktor risiko lainnya yang berkaitan dengan
terjadinya pneumonia, di antaranya GER (Gastroesophageal reflux) dan aspirasi.
e. Klasifikasi
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
a) Pneumonia komuniti (community – acquired pneumonia)
Pneumonia yang didapat di masyarakat dan sering disebabkan oleh kokus Gram
positif (Pneumococcus, Staphylococcus), basil Gram negatif (Haemophillus
influenzae), dan bakteri atipik.
b) Pneumonia nosokomial (hospital – acquired pneumonia)
Pneumonia yang timbul setelah 72 jam dirawat di rumah sakit, yang lebih sering
disebabkan oleh bakteri Gram negatif (Staphylococcus aureus) dan jarang oleh
pneumokokus atau Mycoplasma pneumoniae.
c) Pneumonia aspirasi
Pneumonia yang terjadi akibat aspirasi antara lain makanan dan asam lambung.
d) Pneumonia pada penderita immunocompramised.
13
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
f. Patofisiologi
Sistem respiratori bagian bawah secara normal terjaga dalam kondisi steril melalui
mekanisme pertahanan fisiologis, seperti klirens mukosilier, sekresi Imunoglobulin A (IgA),
dan mekanisme batuk. Mekanisme pertahanan imunologis yang membatasi invasi organisme
patogen terdiri dari makrofag, sekresi IgA, dan immunoglobulin lainnya. Trauma, anestesia,
dan aspirasi meningkatkan risiko infeksi pulmoner.
Pneumonia ditandai dengan inflamasi pada alveoli dan rongga udara terminal akibat
invasi agen infeksius yang masuk ke paru melalui penyebaran hematogen maupun inhalasi.
Kaskade inflamasi memicu ekstravasas/leakage plasma dan hilangnya surfaktan sehingga
udara menghilang dan terjadi konsolidasi.
Respon inflamasi yang teraktivasi kemudian sering menyebabkan migrasi leukosit
diikuti pelepasan substansi toksik dari granul-granul dan mikrobisidal serta aktivasi kaskade
komplemen. Kaskade ini dapat menyebabkan cedera secara langsung pada jaringan host dan
mengubah integritas endotel dan epitel, tonus vasomotor, hemostasis intravaskular, dan
aktivasi serta migrasi leukosit pada fokus inflamasi. Peran apoptosis dalam pneumonia masih
belum diketahui jelas.
Infeksi yang disebabkan oleh virus ditandai dengan akumulasi sel mononuklear pada
ruang submukosa dan perivaskular sehingga menyebabkan obstruksi parsial saluran napas.
Pasien dengan infeksi ini akan menunjukkan adanya wheezing dan ronki. Penyakit bertambah
parah ketika sel alveolar tipe II kehilangan integritas strukturalnya dan produksi surfaktan
berkurang, terbentuk membrane hialin, dan edema pulmoner terjadi.
Pada infeksi bakteri, terdapat beberapa perubahan patologis berkaitan dengan
perjalanan penyakit pneumonia ini. Stadium pertama dikenal dengan stadium kongesti.
Stadium ini terjadi dalam waktu 24 jam infeksi, yang ditandai dengan adanya kongesti
vaskular dan edema alveolar. Terdapat beberapa bakteri dan neutrofil. Edema akibat reaksi
jaringan mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya.
Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, di mana alveoli terisi cairan
proteinaseus yang memicu influks eritrosit dan sel polimorfonuklear (PMN) yang diikuti
dengan deposisi fibrin. Selain itu dapat ditemukan pula cairan edema dan kuman di alveoli.
Stadium ini dikenal dengan hepatisasi merah. Stadium ini berlangsung selama 2-3 hari.
Disebut hepatisasi merah karena memiliki kesamaan dengan konsistensi liver, yang ditandai
dengan banyaknya eritrosit, neutrofil, sel epitel yang mengalami deskuamasi, dan fibrin.
Selanjutnya deposit fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di
alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Selain itu terjadi disintegrasi dari eritrosit.
14
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Stadium ini disebut dengan stadium hepatisasi kelabu. Stadium ini berlangsung sekitar 2-3
hari.
Selanjutnya, jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi,
fibrin menipis, kuman, dan debris menghilang. Stadium akhir ini disebut stadium resolusi.
Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.
g. Manifestasi klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga
sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam
kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan di rumah
sakit.
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah
imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang
kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan diagnostik invasif,
etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis. Di samping itu,
kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan karakteristik
penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung berat ringannya infeksi,
tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
1. Gambaran infeksi umum :
a) demam: suhu bisa mencapai 39 – 40 oC
b) sakit kepala
c) gelisah
d) malaise
e) penurunan nafsu makan
f) keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah, atau diare
g) kadang – kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner
15
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
16
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
dan penggunaan otot tambahan lainnya, takipnea, takikardi, dan sianosis. Pemeriksaan fisik
yang ditemukan biasanya tidak khas, terutama pada bayi yang masih kecil. Beberapa bayi
dengan pneumonia bakterial juga terdapat gangguan gastrointestinal misalnya muntah,
anoreksia, diare, dan distensi abdomen akibat ileus paralitik.
h. Diagnosis
1. Anamnesis
Bergantung pada berat ringannya infeksi. Secara umum dapat ditemukan:
a) Gejala infeksi umum: demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan,
dan keluhan gastrointestinal (mual, muntah, diare).
b) Gangguan respiratorik: batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping
hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.
2. Pemeriksaan fisik
a) Penilaian keadaan umum anak, frekuensi napas, dan nadi harus dilakukan pada saat
awal pemeriksaan sebelum pemeriksaan lain yang dapat menyebabkan anak gelisah
atau rewel.
b) Penilaian keadaan umum antara lain meliputi kesadaran dan kemampuan
makan/minum.
c) Gejala distres pernapasan seperti takipnea, retraksi subkostal, batuk, krepitasi, dan
penurunan suara napas.
d) Takipnea adalah tanda klinis yang paling signifikan. Agar akurat, frekuensi pernapasan
harus dihitung 1 menit penuh ketika anak sedang diam. Pada anak yang demam, tidak
adanya takipnea dapat menyingkirkan pneumonia. (97,4%). Tetapi adanya takipnea
pada anak demam memiliki nilai prediktif positif yang rendah (20,1%) karena demam
sendiri dapat meningkatkan frekuensi napas 10x/menit/oC. Pada anak dengan takipnea
yang disertai dengan retraksi, dengkur, napas cuping hidung, dan krepitasi
mensugestikan pneumonia.
Tabel 2. Batas takipnea menurut WHO untuk diagnosis pneumonia yang disertai batuk.
Usia Frekuensi napas normal Batas takipnea
2-12 bulan 25-40 x/menit ≥50x/menit
1-5 tahun 20-30x/menit ≥40x/menit
17
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
3. Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan radiologi
a. Pemeriksaan foto dada tidak direkomendasikan secara rutin pada anak dengan
infeksi saluran napas bawah akut ringan tanpa komplikasi.
b. Pemeriksaan foto dada direkomendasikan pada penderita pneumonia yang di rawat
inap atau bila tanda klinis yang ditemukan membingungkan.
c. Pemeriksaan foto dada follow up hanya dilakukan bila didapatkan adanya kolaps
lobus, kecurigaan terjadi komplikasi, pneumonia berat, gejala yang menetap atau
memburuk, atau tidak respon antibiotik.
d. Pemeriksaan foto dada tidak dapat mengidentifikasi agen penyebab.
e. Secara umum, gambaran foto thoraks pada pneumonia dapat berupa:
• Infiltrat interstisial: peningkatan corakan bronkovaskular, hiperaerasi.
• Infiltrat alveolar: konsolidasi paru dengan air bronchogram, disebut sebagai
pneumonia lobaris bila mengenai 1 lobus paru.
• Bronkopneumonia: bercak infiltrat difus merata pada kedua paru (dapat meluas
hingga daerah perifer paru) disertai dengan peningkatan corakan peribronkhial.
• Penebalan peribronkhial, infiltrat interstisial merata, hiperinflasi cenderung
terlihat pada infeksi virus.
• Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen/lobar, bronkopneumonia, dan air
bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.
b) Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit perlu dilakukan untuk
menentukan terapi antibiotik pilihan. Pada pneumonia virus, nilai leukosit dapat
normal/ sedikit meningkat tetapi tidak lebih dari 20.000/mm3 dengan dominasi
limfosit, sedangkan pada pneumonia bakterial, nilai leukosit meningkat
(leukositosis), berkisar antara 15.000 – 40.000/mm3, didominasi oleh PMN. Pada
infeksi Chlamydia kadang ditemukan eusinofilia.
18
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
b. Pemeriksaan kultur dan pewarnaan Gram sputum dengan kualitas yang baik
direkomendasikan dalam tatalaksana anak dengan pneumonia berat.
c. Kultur darah tidak direkomendasikan secara rutin pada pasien rawat jalan, tetapi
direkomendasikan pada pasien rawat inap dengan kondisi berat dan pada setiap
anak yang dicurigai menderita pneumonia bakterial.
d. Pada anak kurang dari 18 bulan, dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi antigen
virus dengan atau tanpa kultur virus jika fasilitas tersedia.
e. Jika ada efusi pleura, dilakukan pungsi cairan pleura dan dilakukan pemeriksaan
mikroskopis, kultur, serta deteksi antigen bakteri (jika fasilitas tersedia) untuk
penegakan diagnosis dan menetukan mulainya pemberian antibiotik.
f. Pemeriksaan C-reactive protein (CRP), LED, dan pemeriksaan fase akut lainnya
tidak dapat membedakan infeksi virus dan bakterial dan tidak direkomendasikan
sebagai pemeriksaan rutin.
g. Pemeriksaan uji tuberkulin selalu dipertimbangkan pada anak dengan riwayat
kontak dengan penderita TB dewasa.
c) Pemeriksaan lain
Pada setiap anak yang dirawat inap karena pneumonia, seharusnya dilakukan
pemeriksaan pulse oximetry.
19
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
i. Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan
terutama berdasarkan berat – ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak
mau makan/minum, atau bila ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama
mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis
pneumonia harus dirawat inap. Dasar tatalaksana pada pneumonia rawat inap adalah
pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif
meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asam – basa dan elektrolit, dan gula darah.
Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penggunaan antibiotik
yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera
diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. Karena
identifikasi dini mikroorganisme tidak umum dilakukan, maka pemilihan antibiotik dipilih
berdasarkan pengalaman empiris yang didasarkan pada kemungkinan etiologi penyebab
dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta faktor epidemiologis.
2.i.1. Rawat jalan
Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral,
misalnya amoksisilin 25 mg/kgBB atau kotrimoksazol 4 mg/kgBB TMP dan 20 mg/kgBB
sulfametoksazol dua kali sehari selama 3 hari. Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid
baru, dapat digunakan sebagai terapi alternatif beta – laktam untuk pengobatan inisial
pneumonia, dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap S. pneumoniae dan bakteri
atipik.
Setalah itu, anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu untuk membawa
kembali anaknya setelah 2 hari atau lebih kalau keadaan anak memburuk atau tidak dapat
minum atau menyusui. Bila pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu
makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai selesai 3 hari. Jika frekuensi pernapasan,
demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan, ganti ke antibiotik lini kedua dan nasihati ibu
untuk kembali 2 hari lagi. Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan
tangani sesuai pedoman pneumonia berat.
2.i.2. Rawat Inap
Pasien yang memenuhi kriteria dibawah ini harus dirawat inap:
1. Bayi:
Saturasi oksigen ≤ 92%, sianosis
20
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
2. Anak:
Saturasi oksigen ≤ 92%, sianosis
Frekuensi napas > 50x/menit
Distres pernapasan
grunting
Terdapat tanda dehidrasi
Keluarga tidak bisa merawat di rumah.
a) Terapi Antibiotik
Antibiotik lini pertama yang dapat digunakan, yakni golongan beta – laktam atau
kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta – laktam dan
kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin,
sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan. Antibiotik diteruskan selama 7 – 10 hari
pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi.
Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai
sesegera mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan
meningitis, antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti
kombinasi betalaktam / klavulanat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi
ketiga. Bila sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral selama 10 hari.
WHO menganjurkan pemberian ampisilin/amoksisilin 25 – 50 mg/kgBB/kali IV
atau IM setiap 6 jam yang dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak
memberi respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan
di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral 15 mg/kgBB/kali, tiga kali sehari
untuk 5 hari berikutnya.
Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan adalah
antibiotik beta – laktam dengan/tanpa klavulanat; pada kasus yang lebih berat diberikan
beta – laktam/klavulanat dikombinasikan dengan makrolid baru intravena, atau
sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau keadaan sudah stabil,
antibiotik intravena diganti dengan antibiotik oral dan berobat jalan selama 10 hari.
21
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang berat,
maka ditambahkan kloramfenikol 25 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 8 jam. Bila pasien
datang dengan keadaan klinis yang berat segera berikan oksigen dan pengobatan
kombinasi ampisilin – kloramfenikol atau ampisilin – gentamisin. Sebagai alternatif, beri
seftriakson 80 – 100 mg/kgBB IV atau IM sekali sehari. Bila tidak membaik dalan 48
jam, maka dapat dilakukan foto toraks.
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin 7,5
mg/kgBB IM sekali sehari dan klokasilin 50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam atau
klindamisin 15 mg/kgBB/hari hingga 3 kali pemberian. Bila keadaan anak membaik,
lanjutkan kloksasilin atau diklokasilin secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan
mencapai 3 minggu atau klindamisin oral selama 2 minggu.
b) Terapi Oksigen
Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat. Bila tersedia pulse
oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen. Berikan pada anak dengan
saturasi < 90% dan anak yang tidak stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi tetap
stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna.
c) Terapi Penunjang
Bila disertai demam yang tampaknya menyebabkan distres, beri antipiretik seperti
parasetamol. Bila ditemukaan adanya wheezing, beri bronkodilator kerja cepat. Bila
terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan oleh anak, hilangkan
dengan alat penghisap secara perlahan. Pastikan anak mendapatkan kebutuhan cairan
rumatan yang sesuai, tetapi hati – hati terhadap kelebihan cairan/overhidrasi. Anjurkan
pemberian ASI dan cairan oral. Jika anak tidak dapat minum, pasang pipa nasogastrik dan
berikan cairan rumatan dalam jumlah sedikit tapi sering. Jika asupan cairan oral
mencukupi, jangan menggunakan pipa nasogastrik untuk meningkatkan asupan, karena
akan meningkatkan risiko pneumonia aspirasi. Jika oksigen diberikan bersamaan dengan
cairan nasogastrik, pasang keduanya pada lubang hidung yang sama.
Pasien dapat dipulangkan bila memenuhi kriteria pulang berikut ini:
• Gejala dan tanda pneumonia menghilang.
• Asupan oral adekuat.
• Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (per oral).
• Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol.
• Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah.
22
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
j. Prognosis
Secara umum, pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi menunjukkan respon terapi
yang baik sejak dimulainya terapi antibiotik dengan perbaikan klinis dalam waktu 48-96 jam
Kemungkinan yang perlu dipertimbangkan bila pasien tidak menunjukkan perbaikan klinis
dengan terapi antibiotik adalah telah terjadi komplikasi misalnya empiema, resistensi bakteri,
penyebab nonbakterial, seperti virus atau jamur dan aspirasi benda asing atau makanan,
obstruksi bronkhial dari lesi endobronkhial, benda asing, atau plak mukus, atau komorbiditas
seperti imunodefisiensi, diskinesia silier, fibrosis kistik, atau malformasi kongenital.
Mortalitas pneumonia pada negara maju cukup jarang dan biasanya tidak diikuti
dengan sekuel jangka panjang. Angka mortalitas akan meningkat pada pasien dengan defisit
imunologis.
DAFTAR PUSTAKA
23
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH
8. Zec LS, Selmanovic K, Andrijic NL, Kadic A, Zecevic L, Zunic L. Evaluation of Drug
Treatment of Bronchopneumonia at the Pediatric Clinic in Sarajevo. Med Arch. 2016
Jun;70(3):177-181.
9. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2009.p.250-4.
10. Pabary R, Balfour-Lynn IM. Complicated pneumonia in children. Breathe. March
2013;9(3):211-22.
11. Paks M. Bronchopneumonia. Accessed on [2017 May 28]. Available at
https://radiopaedia.org/articles/bronchopneumonia.
12. Kliegman RM, Stanton BF, St Geme JW, Schor NF, Behrman RE. Nelson Textbook of
Pediatrics. 20th ed. Philadelphia; 2016.p.2088-94.
13. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. 1st ed. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2013.p.350-64.
14. Stuckey-Shrock K, Hayes BL, George CM. Community-aqcuired Pneumonia in
Children. Am Fam Physician. 2012 Oct 1;86(7):661-7.
15. Ramezani M, Aemmi SZ, Moghadam ZE. Factor Affecting the Rate of Pediatric
Pneumonia in Developing Countries: a Review and Literature Study. Int J Pediatr. 2015
Dec;3(24):1173-81.
16. Priyanti ZS, Lulu M, Bernida I, Subroto H, Sembiring H, Rai IBN, et al. Pneumonia
Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia; 2002.
17. Danusantoso H. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Penerbit Hipokrates; 2000.p.74
– 92.
18. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit:
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di Kabupaten/Kota. Jakarta:
World Health Organization;2009.p.83 – 113.
19. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta:
Media Aesculapius;2014.p.174-6.
24