Anda di halaman 1dari 38

Demam, batuk, mual, muntah

RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT


Pasien datang dibawa oleh ibunya ke IGD RSAL Mintohardjo dengan kejang 1
jam SMRS, durasi ± 5 menit, kejang kelojotan pada seluruh tubuh, mata pasien
mendelik ke atas, sebelum dan setelah kejang kesadaran pasien baik, hanya terlihat
lemas. Mulut berbusa dan pencetus kejang misalnya suara yang terlalu keras dan cahaya
terlalu terang disangkal. Riwayat kepala terbentur disangkal. Sebelumnya pasien
mengalami demam tinggi sejak 1 hari SMRS, demam tinggi diukur dengan termometer
namun ibu pasien lupa berapa suhunya, demam sudah berlangsung 4 hari, mulanya
sumeng-sumeng lalu semakin hari menjadi tinggi. Saat demam, pasien sudah diberi obat
namun tidak juga turun. Selain itu pasien juga mengalami batuk sejak ± 1 minggu
SMRS, batuk berdahak berwarna putih dan hilang timbul. Makan pasien sedikit, minum
masih mau. BAK dan BAB normal.

RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN

KEHAMILAN
Perawatan Antenatal Rutin memeriksa kehamilan ke bidan
Penyakit Kehamilan Tidak ada penyakit selama kehamilan

KELAHIRAN
Tempat Kelahiran Puskesmas
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Penolong Persalinan Bidan

Cara Persalinan Spontan, pervaginam

Masa Gestasi 39 minggu (cukup bulan)

Riwayat kelahiran Berat Badan : 3300 gram


Panjang Badan Lahir : 50 cm
Lingkar kepala : ibu pasien tidak ingat
Langsung menangis/tidak langsung menangis
APGAR score : ibu pasien tidak tahu
Kelainan bawaan : tidak ada

RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi pertama : 7 bulan
Psikomotor
Tengkurap : 5 bulan
Duduk : 7 bulan
Berdiri : 12 bulan
Berjalan : 14 bulan
Bicara : 15 bulan
Baca dan tulis : - tahun
Perkembangan pubertas :-
Gangguan Perkembangan : tidak ada
Kesan Perkembangan : Tidak terdapat gangguan perkembangan, tumbuh
kembang pasien sesuai dengan usianya

RIWAYAT IMUNISASI
ULANGAN
VAKSIN DASAR (umur)
(umur)
BCG 1 bulan - - -

2
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

DPT/ DT 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -


Polio 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
Campak 9 bulan - - -
Hepatitis B Saat lahir 1 bulan 6 bulan - - -
MMR - - - - - -
TIPA - - - - - -

Kesan : Imunisasi dasar pasien lengkap, booster belum dikerjakan karena ibu pasien tidak
mengetahuinnya

RIWAYAT MAKANAN
BUAH/
Umur (Bulan) ASI/ PASI BUBUR SUSU NASI TIM
BISKUIT
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 ASI - - -
6–8 ASI+PASI v v -
8-10 ASI+PASI v v v
10-12 ASI+PASI v v v

Kesan :
Pasien mendapat ASI eksklusif sampai usia 6 bulan, berikutnya diikuti PASI secara
bertahap dan variatif

JENIS MAKANAN FREKUENSI DAN JUMLAHNYA


Nasi/ pengganti 3x/hari
Sayur 1-2x/hari
Daging 2-3x/bulan
Telur 2-3x/minggu
Ikan 1-2x/minggu
Tahu 1x/hari

3
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Tempe 1x/hari
Susu (merek/ takaran) Tidak minum susu

Kesan : Makanan cukup bervariasi dan cukup memenuhi kebutuhan gizi.

RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA


PENYAKIT UMUR PENYAKIT KETERANGAN
Diare - Morbili -
Otitis - Parotitis -
Radang Paru - Demam Berdarah -
Tuberculosis 1 tahun Demam Tifoid -
1,5 tahun &
Kejang Demam Cacingan -
3 tahun
Ginjal - Alergi -
Jantung - Kecelakaan -
Darah - Operasi -
Difteri - Herpes -

RIWAYAT KELUARGA
Corak Produksi
Tgl Lahir Mati
Sex Hidup Lahir Mati Abortus Keterangan
(Umur) (sebab)
16 tahun Laki - laki v - - - Sehat
12 tahun Perempuan v - - - Sehat
8 tahun Perempuan v - - - Sehat

4
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

3 tahun
Perempuan v - - Pasien
3 bulan

DATA KELUARGA
AYAH/ WALI IBU/ WALI
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 28 tahun 23 tahun
Kosanguinitas Tidak ada Tidak ada
Keadaan kesehatan/
Sehat Sehat
penyakit bila ada

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Riwayat hipertensi (-), kencing manis (-), asma (-), kejang demam (+) ibu pasien saat
kecil
Riwayat Penyakit pada Anggota Keluarga lain/ orang serumah
Tidak ada keluhan serupa pada anggota keluarga/orang serumah

DATA PERUMAHAN
Kepemilikan rumah: Rumah sendiri
Keadaan rumah:
Rumah berukuran 72m2 1 lantai dengan 1 kamar tidur, 1 kamar mandi, ruang tamu, dan
dapur. Sirkulasi udara di dalam rumah cukup baik, cahaya matahari dapat masuk ke
dalam rumah melalui jendela yang dibuka tiap pagi sampai sore hari. Untuk mandi dan
mencuci memakai air PAM. Untuk minum dan memasak memakai air galon isi ulang

5
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

yang direbus. Jarak septic tank ke sumber air tidak diketahui. Rumah dibersihkan setiap
hari. Sampah rumah tangga dibuang ke tempat sampah besar berjarak 15 meter dari
rumah.

Keadaan lingkungan:
Rumah berada di pemukiman padat penduduk, di dalam gang dengan lebar 1,5m. Aliran
got terbuka, tidak tersumbat. Tempat pembuangan sampah berada di depan rumah dan
tertutup, diambil oleh petugas sampah seminggu 2 kali. Tidak banyak motor yang lalu
lalang di depan lingkungan rumah.

Kesan: Kondisi rumah cukup baik dan lingkungan tempat tinggal cukup baik

III. PEMERIKSAAN FISIK


Tanggal : Minggu, 20 Agustus 2017 (perawatan hari ke-1)
Pukul : 20.30 WIB
PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign : Nadi : 128 x/menit, reguler, isi cukup
Suhu : 38,30C
RR : 36x/menit
Data Antropometri : BB : 14 kg TB : 105 cm

Lingkar kepala : tidak diukur


Lingkar dada : tidak diukur
Lingkar lengan atas : tidak diukur

Status Gizi : menurut kurva NCHS tinggi badan dibandingkan berat badan
 BB/U: (14/15) x 100% = 93 % (Berat badan baik menurut umur)
 TB/U: (105/97) x 100% = 108 % (Tinggi badan baik menurut umur)

6
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

 BB//TB: (14/17) x 100% = 82 %


o Kesan gizi: Gizi Kurang (70 - 90%)

PEMERIKSAAN SISTEMATIS
KEPALA
Bentuk dan ukuran : Normocephali
Rambut dan kulit kepala : Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : Mata tidak tampak cekung, palpebra tidak ada kelainan, konjungtiva anemis -/-,
sklera ikterik -/-, RCL +/+ RCTL +/+
Telinga : Normotia, nyeri tarik & tekan -/-, liang telinga lapang
Hidung : Normosepti, sekret -/-, deviasi septum (-), nafas cuping hidung (-)
Bibir : Merah muda, mukosa basah
Mulut : Mukosa mulut basah
Gigi-geligi : Gigi geligi tumbuh baik, caries (-)
Lidah : Normoglotia, lidah bersih tampak basah, atrofi papil lidah (-)
Tonsil : T1-T1 tenang
Faring : permukaan licin, tidak hiperemis, arcus faring simetris, uvula di tengah

LEHER :
Tidak terdapat pembesaran KGB maupun kelenjar tiroid, tidak terdapat kaku kuduk

THORAKS
Dinding thoraks
I : Bentuk datar, simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis dan dinamis
PARU
I : Pergerakan dada simetris kanan dan kiri, tidak ada bagian yang tertinggal, tidak ada
retraksi
P : Vocal fremitus sama kuat di kedua lapang paru

7
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

P: Sonor di seluruh lapang paru


Batas paru kanan-hepar : Linea midclavikularis dextra setinggi ICS V
Batas paru kiri-gaster: Linea axilaris anterior sinistra setinggi ICS VII
A: Suara nafas vesikuler, wheezing -/-, ronki +/+

JANTUNG
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba pada linea midclavicularis sinistra setinggi ICS V
P : Batas kanan jantung pada linea parasternalis dextra setinggi ICS III, IV, V
Batas kiri jantung pada linea midclavicularis sinistra setinggi ICS V
Batas atas jantung pada linea parasternalis sinistra setinggi ICS II
A: Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

ABDOMEN
I : Bentuk datar, simetris, tidak tampak pelebaran vena
A : Bising usus (+)
P : Supel, turgor kulit kembali cepat, nyeri tekan (-)
P : Timpani pada seluruh kuadran abdomen

ANUS
Tidak ada kelainan

GENITAL
Jenis kelamin laki-laki, tidak ada kelainan

ANGGOTA GERAK
Akral hangat dan tidak terdapat oedem pada keempat ekstremitas

KULIT
Warna kulit sawo matang, kelembapan baik, tidak ada efloresensi bermakna

8
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

KELENJAR GETAH BENING


Tidak teraba pembesaran

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Refleks fisiologis : Biceps +/+ , Triceps +/+ , Patella +/+ , Achilles +/+
Refleks patologis : Babinsky -/- , Chaddok -/- , Tanda rangsang meningeal (-)

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM dan RADIOLOGIS (19/08/2017)


HEMATOLOGI
Darah lengkap Hitung jenis
3
Leukosit : 9.400/mm Basofil : 0%
Eritrosit : 4,46 juta/mm3 Eosinofil :1%
Hemoglobin : 11,9 g/dl Batang :2%
Hematokrit : 35 % Segmen : 72 %(↑)
Trombosit : 264.000/mm3 Limfosit : 21 %
LED : 11 mm/jam(↑) Monosit :4%
KIMIA KLINIK
Elektrolit
Natrium (Na) : 139 mmol/L
Kalium (K) : 3.64 mmol/L
Clorida (Cl) : 109 mmol/L

Air seni Tinja


Tidak dilakukan Tidak dilakukan

V. RINGKASAN
Pasien anak perempuan usia 3 tahun 4 bulan dengan dengan kejang 1 jam, durasi
±5 menit, kejang kelojotan pada seluruh tubuh, mata pasien mendelik ke atas, sebelum dan

9
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

setelah kejang kesadaran pasien baik, hanya terlihat lemas. Mulut berbusa dan pencetus
kejang misalnya suara yang terlalu keras dan cahaya terlalu terang disangkal. Riwayat
kepala terbentur disangkal. Sebelumnya pasien mengalami demam tinggi sejak 1 hari
SMRS, demam tinggi diukur dengan termometer namun ibu pasien lupa berapa suhunya,
demam sudah berlangsung 4 hari, mulanya sumeng-sumeng lalu semakin hari menjadi
tinggi. Saat demam, pasien sudah diberi obat namun tidak juga turun. Selain itu pasien juga
mengalami batuk sejak ± 1 minggu SMRS, batuk berdahak berwarna putih dan hilang
timbul. Makan pasien sedikit, minum masih mau. BAK dan BAB normal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis. Nadi : 128 x/menit, suhu : 38,3oC, pernafasan : 36x/menit. Pada status
generalis, auskultasi paru didapatkan ronki +/+ kedua lapang paru. Dari pemeriksaan
penunjang, lab terdapat peningkatan LED 11 mm/jam dan netrofil segmen 72 %. Radiologi
foto thoraks memberikan kesan Bronkopneumonia

VI. DIAGNOSIS KERJA


 Kejang Demam Sederhana
 ISPA
 Gizi kurang

VII. DIAGNOSIS BANDING


 Kejang Demam Kompleks

VIII. ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


 -

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam

10
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

X. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
 IVFD D5 ¼ NS 50cc/jam
 Inj Ceftiaxone 2 x 750 mg
 Inj PCT 4 x 16 cc
 Ambroxol syr 3 x 1 cth
 Bila kejang berulang berikan stesolid 10 mg supp
Non Medikamentosa :
 Rawat inap, tirah baring
 Kompres air hangat, minum banyak air
 Edukasi makan makanan yang bergizi cukup sesuai umur (diet cukup gizi)
 Edukasi penatalaksanaan awal jika pasien mengalami kejang demam

XI. RESUME TINDAK LANJUT


Pasien anak perempuan usia 3 tahun 4 bulan BB : 14 kg PB 105 cm dengan kejang demam
sederhana dan bronkopneumonia. Masuk ke bangsal anak RSAL dr. Mintohardjo pada 19
Agustus 2017 di rawat di ruang perawatan. Perawatan dilakukan dengan infus D5 ¼ NS
50cc/jam pemberian injeksi ceftiaxone 2 x 750 mg iv, injeksi PCT 4 x 16 cc, ambroxol syr 3 x 1
cth, serta bila kejang berulang berikan stesolid 10 mg supp. Perawatan hari kedua, pasien sudah
tidak kejang, masih batuk-batuk berdahak, demam tadi malam, muntah (-), terapi ditambahkan

11
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

puyer paracetamol/diazepam 150mg/2mg 3x1,puyer sarbutamol/ambroxol 0,7mg/7,5 mg,


depakene 2 x 2 ml. Pada perawatan hari ketiga demam masih naik turun, kejang (-), masih batuk
tetapi sudah berkurang, terapi diteruskan dan pasien boleh dipulangkan dengan terapi pulang dan
diberi edukasi jika sewaktu-waktu anak demam segera di kompres air hangat, minum banyak air
dan berikan obat penurun panas.

12
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

LEMBAR FOLLOW-UP
Tanggal
S O A P
Perawatan
Sabtu Kejang (-), masih KU : Tampak sakit sedang  Kejang Demam  IVFD D5 ¼ NS 50cc/jam
20/8/2017 batuk-batuk berdahak, Kesadaran : Compos Mentis Sederhana  Inj Ceftiaxone 1 x 1,5 gr
 Bronkopneumonia
o
demam tadi malam, S: 36,3 C, N: 116 x/mnt,  Puyer Paracetamol / Diazepam
muntah (-) RR: 24 x/mnt, T  Gizi kurang 150mg /2mg 3x1
Thorax: SNV +/+, Rh +/+ Wh -/-  Puyer Sarbutamol / Ambroxol
Hasil : 0,7mg / 7,5 mg 3x 1
Foto Thoraks AP  Depakene syr 2 x 2 cth
 Cor : Bentuk dan besar  Konsul Gizi
normal
 Pulmo : Infiltrat di perihilar
kanan – kiri dan paracardial
kanan
 Corakan bronkovaskular
kasar
 Sinus dan diafragma baik
 Tulang dan soft tissue baik
Kesan : Bronkopneumonia

13
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Minggu Demam naik turun, KU : Tampak sakit ringan  Kejang Demam  IVFD D5 ¼ NS 50cc/jam
21/8/2017 kejang (-), masih batuk Sederhana  Inj Ceftiaxone 1 x 1,5 g
tetapi sudah berkurang Kesadaran : Compos Mentis  Bronkopneumonia  Puyer Paracetamol / Diazepam
S: 37,4 oC, N: 120 x/mnt,  Gizi kurang 150mg /2mg 3x1
RR: 20 x/mnt, T  Puyer Sarbutamol / Ambroxol
Thorax: SNV +/+, Rh -/-, Wh -/- 0,7mg / 7,5 mg 3x 1
 Depakene syr 2 x 2 cth
 Pasien di pulangkan

14
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

ANALISA KASUS

An.KH, perempuan, usia 3 tahun 4 bulan, dengan Kejang demam sederhana,


bronkopneumonia dan gizi kurang. Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien datang
dengan kejang 1 jam, durasi ± 5 menit, kejang kelojotan pada seluruh tubuh, mata
pasien mendelik ke atas, sebelum dan setelah kejang kesadaran pasien baik, hanya
terlihat lemas. Mulut berbusa dan pencetus kejang misalnya suara yang terlalu keras
dan cahaya terlalu terang disangkal. Riwayat kepala terbentur disangkal. Sebelumnya
pasien mengalami demam tinggi sejak 1 hari SMRS, demam tinggi diukur dengan
termometer namun ibu pasien lupa berapa suhunya. Demam sudah berlangsung 4 hari,
mulanya sumeng-sumeng lalu semakin hari menjadi tinggi. Saat demam, pasien sudah
diberi obat namun tidak juga turun. Pasien pernah mengalami hal yang serupa (kejang
demam) pada usia 1,5 tahun dan 3 tahun.
Dari anamnesis maka diagnosis mengarah ke kejang demam sederhana yaitu
bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh dengan cepat hingga >
38ᵒC, dan kenaikan suhu tersebut diakibatkan oleh proses ekstrakranial dengan
kriterianya adalah kejang umum tonik, klonik, atau tonik-klonik, tanpa gerakan fokal,
berlangsung singkat yaitu < 15 menit, tidak berulang dalan 24 jam, serta tanpa adanya
kelainan neurologis sebelum dan sesudah kejang.
Selain itu pasien juga mengalami batuk sejak ± 1 minggu SMRS, batuk
berdahak berwarna putih dan hilang timbul. Makan pasien sedikit, minum masih mau.
BAK dan BAB normal. Pada pemeriksaan fisik dijumpai adanya ronki pada kedua
lapang paru. Pada poemeriksaan penunjang radiologi foto thoraks pulmo : terdapat
Infiltrat di perihilar kanan – kiri dan paracardial kanan dan corakan bronkovaskular
kasar, dengan kesan Bronkopneumonia. Pasien di diagnosis Bronkopneumonia
dikarenakan gejala nya yaitu batuk yang disertai demam, kemudian batuknya
berdahak berwarna putih kemudian pemeriksaan fisik dan penunjang yang
mendukung adanya bronkopneumonia. Defisini pneumonia adalah infeksi akut
parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan interstisial. Sedangkan
bronkopneumonia adalah gambaran radiologis yang disebabkan oleh inflamasi
peribronkhial supuratif dan konsolidasi satu atau lebih lobules paru akibat adanya
infeksi dan virus, terutama bakteri. Sehingga kejang pada pasien dipicu akibat demam

1
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

yang terjadi karena bronkopneumonia yang diderita pasien. Gizi kurang juga diambil
menjadi diagnosis berdasarkan hasil perhitungan status gizi menurut kurva CDC-
NCHS dengan hasil 82% yang termasuk pada gizi kurang dengan range 70-90%
Pada pasien diberikan penatalaksanaan rawat inap, infus D5 ¼ NS 50cc/jam
pemberian injeksi ceftiaxone 2 x 750 mg iv, injeksi PCT 4 x 16 cc, ambroxol syr 3 x 1
cth, serta bila kejang berulang berikan stesolid 10 mg supp. Lalu terapi di diteruskan
dan diganti/ditambahkan puyer paracetamol/diazepam 150mg/2mg 3x1, puyer
sarbutamol/ambroxol 0,7mg/7,5 mg 3x1, depakene 2 x 2 cc.

2
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

TINJAUAN PUSTAKA
KEJANG DEMAM

a. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu
tubuh dengan cepat hingga > 38ᵒC, dan kenaikan suhu tersebut diakibatkan oleh
proses ekstrakranial. Perlu diperhatikan bahwa demam harus mendahului kejang.

b. Epidemiologi
Data di Indonesia belum ada secara nasional, tetapi sekitar 80 % kejang
pada anak adalah kejang demam sederhana. Sedikit lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibanding perempuan. Umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan-5 tahun, puncaknya
pada usia 14-18 bulan, prognosisnya biasanya sangat baik.

c. Klasifikasi
Secara klinis kejang demam dibagi menjadi:
Kejang demam sederhana/simpleks
 Kejang umum tonik, klonik, atau tonik-klonik, anak dapat terlihat mengantuk
setelah kejang
 Berlangsung < 15 menit
 Tidak berulang dalan 24 jam
 Tanpa kelainan neurologis sebelum dan sesudah kejang

Kejang demam kompleks


 Kejang fokal/parsial, atau kejang fokal menjadi umum
 Berlangsung > 15 menit
 Berulang dalam 24 jam
 Ada kelainan neurologis sebelum atau sesudah kejang

Kedua tipe kejang demam memiliki perbedaan prognosis dan kemungkinan


rekurensi, kejang demam sederhana paling banyak ditemukan dan prognosisnya baik,
kejang demam kompleks memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadi kejang demam
berulang dan epilepsi di kemudian hari.

3
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

d. Etiologi
Terdapat beberapa teori mengenai penyebab terjadinya kejang demam, dua di
antaranya adalah:
 Lepasnya sitokin IL-1 beta, atau hiperventilasi yang menyebabkan alkalosis
dan meningkatkan pH otak sehingga terjadi kejang
 Genetik, artinya eksitasi neuron yang lebih mudah terjadi sifatnya dapat
diturunkan, oleh karena itu perlu ditanyakan riwayat kejang pada keluarga.
Telah diterangkan di atas bahwa harus ada proses ekstrakranial yang mendasari
timbulnya kejang demam, yang paling sering disebabkan oleh infeksi saluran napas
akut, otitis media akut, roseola, infeksi saluran kemih, dan infeksi saluran cerna.

e. Manifestasi Klinis
 Demam, dimana kenaikan suhu tubuh pasien cepat
 Kejang umum tonik atau tonik-klonik → pada kejang demam sederhana
 Kejang fokal atau parsial selama maupun sesudah kejang (misalnya
pergerakan satu tungkai saja) → kejang demam kompleks
 Berlangsung < 15 menit → kejang demam sederhana
 Berlangsung > 15 menit → kejang demam kompleks
 Berulang dalam 24 jam → kejang demam kompleks
 Tanda neurologis normal

f. Diagnosis Banding
 Kejang karena proses intrakranial, cara membedakannya adalah dari
demamnya: pada proses intrakranial, demam terjadi bersamaan atau setelah
kejang.
 Pada anak < 1 tahun, diagnosis banding yang harus dipikirkan adalah
meningitis, bayi tampak letargi, ubun-ubun besar menonjol, dan pada
pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis. Untuk menegakkan
diagnosisnya perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu punksi lumbal.

4
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

g. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium: darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit dapat dilakukan
namun tidak rutin, hanya jika ada kecurigaan misalnya anak sebelumnya
memiliki riwayat diare.
 Punksi lumbal, untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis
meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini pemeriksaan pungsi
lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak usia < 12 bulan yang
mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum baik.
 EEG tidak rutin dilakukan, dilakukan pada kejang fokal
 Neuroimaging (CT Scan atau MRI kepala, diindikasikan bila ada kelainan
neurologis fokal yang menetap.

h. Penatalaksanaan
Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri setenang
mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah
sebagai berikut :
a.) Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi menyamping, bukan
terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
b.) Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok, karena
justru benda tersebut dapat menyumbat jalan napas.
c.) Jangan memegangi anak untuk melawan kejang.
d.) Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan penanganan
khusus.
e.) Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera dibawa ke
fasilitas kesehatan terdekat. Sumber lain menganjurkan anak untuk dibawa ke
fasilitas kesehatan jika kejang masih berlanjut setelah 5 menit. Ada pula sumber
yang menyatakan bahwa penanganan lebih baik dilakukan secepat mungkin
tanpa menyatakan batasan menit.
f.) Setelah kejang berakhir (jika < 10 menit), anak perlu dibawa menemui dokter
untuk meneliti sumber demam, terutama jika ada kekakuan leher, muntah-
muntah yang berat, atau anak terus tampak lemas.

5
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Jika anak dibawa ke fasilitas kesehatan, penanganan yang akan dilakukan selain poin-
poin di atas adalah sebagai berikut :
a) Memastikan jalan napas anak tidak tersumbat
b) Pemberian oksigen melalui face mask
c) Pemberian diazepam 0,5 mg/kg berat badan per rektal (melalui anus) atau jika
telah terpasang selang infus 0,2 mg/kg per infus
d) Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan
e) Sebagian sumber menganjurkan pemeriksaan kadar gula darah untuk meneliti
kemungkinan hipoglikemia. Namun sumber lain hanya menganjurkan
pemeriksaan ini pada anak yang mengalami kejang cukup lama atau keadaan
pasca kejang (mengantuk, lemas) yang berkelanjutan.

Penatalaksanaan kejang demam meliputi penanganan pada saat kejang dan


pencegahan kejang.
1.) Penanganan Pada Saat Kejang
Menghentikan kejang: Diazepam dosis awal 0,3-0,5 mg/KgBB/dosis IV
(perlahan-lahan) atau 0,4-0,6mg/KgBB/dosis rektal suppositoria. Bila kejang masih
belum teratasi dapat diulang dengan dosis yang sama 20 menit kemudian.

6
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Turunkan demam:
a) Antipiretika: Paracetamol 10-15 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen
5-10mg/KgBB/dosis PO, keduanya diberikan 3-4 kali per hari
b) Kompres: suhu > 390C: air hangat; suhu >380C: air biasa
·
Pengobatan penyebab: antibiotika diberikan sesuai indikasi dengan penyakit dasarnya
· Penanganan suportif lainnya meliputi:
a. Bebaskan jalan nafas
b. Pemberian oksigen
c. Menjaga keseimbangan air dan elektrolit
d. Pertahankan keseimbangan tekanan darah

2.) Pencegahan Kejang


Pencegehan dengan pemberian antikonvulsan intermiten yaitu obat
antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam (profilaksis interminten).
Diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor resiko dibawah ini:
 Kelainan neurologis berat, misalnya cerebral palsy
 Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
 Usia < 6 bulan
 Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat celsius
 Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat.
Pencegahan berkala (intermiten) untuk kejang demam adalah dengan Diazepam
oral 0,3 mg/KgBB/dosis PO atau rectal 0,5 mg/kg/kali, sebanyak 3 kali sehari, dengan
dosis maksimum diazepam 7,5 mg/ kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg
untuk berat badan > 12 kg). Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama
demam dan antipiretika pada saat anak menderita penyakit yang disertai demam.

7
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

i. Prognosis
Anak dengan kejang demam memiliki kemungkinan 30-50% mengalami kejang
demam berulang, 75% nya terjadi satu tahun setelah awitan yang pertama. Resiko
rekurensi meningkat jika kejang demam terjadi < 1 tahun, riwayat keluarga kejang
atau epilepsi, cepatnya kejang setelah demam, dan kejang yang terjadi pada suhu yang
tidak terlalu tinggi (38ᵒC).
Dan pada anak yang mengalami kejang demam kompleks resikonya lebih besar
untuk mengalami epilepsi di kemudian hari, terutama jika kejangnya terjadi sebelum
usia 9 bulan dan adanya perkembangan yang terlambat.

Prognosis kejang secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan sebagai


komplikasi tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya
tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Kelainan neurologis terjadi pada –
> kejang lama/ kejang berulang (umum/ fokal)

8
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

BRONKOPNEUMONIA

a. Definisi
Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan
jaringan interstisial. Sedangkan bronkopneumonia adalah gambaran radiologis yang
disebabkan oleh inflamasi peribronkhial supuratif dan konsolidasi satu atau lebih
lobules paru akibat adanya infeksi, terutama bakteri.

b. Epidemiologi
Pneumonia merupakan penyebab kematian anak berusia di bawah 5 tahun di
seluruh dunia. Diperkirakan sekitar 1,2 juta kematian tiap tahun. Insiden pneumonia
lebih dari 10 kali lipat lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan negara maju.
Data statistik dunia memperkirakan 150 juta kasus baru pneumonia terjadi pada anak
di bawah 5 tahun, dengan angka rawat rumah sakit sekitar 10-20%.
Di Amerika Serikat, kisaran tahun 1939-1996, kematian akibat pneumonia
menurun sekitar 97%. Pada tahun 1970, kematian karena pneumonia hanya berkisar
9% dan lebih rendah lagi pada tahun 2007, yang hanya berkisar 2%. Penurunan
tersebut dikarenakan adanya antibiotik, vaksin, dan meluasnya pembiayaan asuransi
kesehatan untuk anak. Di Indonesia, berdasarkan survei kesehatan nasional (SKN)
2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh
penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia.

c. Etiologi
Pneumonia terutama disebabkan oleh infeksi mikroorganisme, namun dapat
pula disebabkan oleh faktor noninfeksi misalnya aspirasi (makanan atau asam
lambung, benda asing, hidrokarbon, dan substansi lipoid), reaksi hipersensitivitas, dan
obat-obatan atau radiasi yang dapat memicu pneumonitis.
Usia pasien merupakan faktor yang berperan penting dalam perbedaan dan
kekhasan pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan
strategi pengobatan. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi
kecil berbeda dengan anak yang lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan
bayi kecil meliputi Streptococcus group B dan bakteri Gram negatif seperti E. colli,
Pseudomonas sp,atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita,
pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumonia, Haemophilus

9
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

influenza tipe B, dan Staphylococcus aureus. Pada anak yang lebih besar dan remaja,
selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumonia.
Di negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus, di
samping bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virus yang terbanyak ditemukan
adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV), Rhinovirus, dan Parainfluenza. Bakteri
yang terbanyak adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza tipe B, dan
Mycoplasma pneumoniae. Kelompok anak berusia 2 tahun ke atas mempunyai
etiologi infeksi bakteri yang lebih banyak dibandingkan anak berusia di bawah 2
tahun.
Virus lebih sering ditemukan pada anak kurang dari 5 tahun. Respiratory
Syncytial Virus (RSV) dan Rhinovirus merupakan virus penyebab tersering,
khususnya usia kuang dari 2 tahun. Infeksi lebih dari 1 jenis virus terjadi pada 20%
kasus. Penelitian di Bandung menunjukkan bahwa Streptococcus pneumonia dan
Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri yang paling sering ditemukan pada
apusan tenggorok pasien pneumonia umur 2-59 bulan.
Berikut adalah daftar penyebab pneumonia berdasarkan kelompok usia:

Tabel 1. Daftar penyebab pneumonia berdasarkan kelompok usia.

Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang


Bakteri Bakteri
E.coli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria monocytogenes Haemophilus influenza
Lahir – 20 hari Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Virus sitomegalo
Virus herpes simpleks
Bakteri Bakteri
Chlamidia trachomatis Bordetella pertusis
3 minggu – 3 bulan
Streptococcus pneumoniae Haemophilus influenza tipe
B

10
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Virus Moraxella catharalis


Virus adeno Staphylococcus aureus
Virus influenza Ureaplasma urealyticum
Virus parainfluenza Virus
Respiratory syncytial virus Virus sitomegalo
Bakteri Bakteri
Chlamidia pneumoniae Haemophilus influenza tipe
B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumonia Neisseria meningitidis
4 bulan – 5 tahun Virus Staphylococcus aureus
Virus adeno Virus
Virus influenza Virus varicella-zoster
Virus parainfluenza
Virus rino
Respiratory Syncytial Virus
Bakteri Bakteri
Chlamidia pneumonia Haemophilus influenza
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumonia Staphylococcus aureus
Virus
Virus adeno
5 tahun - remaja
Virus Epstein-barr
Virus influenza
Virus parainfluenza
Virus rino
Respiratory Syncytial Virus
Virus varicella-zoster

d. Faktor risiko
Terdapat beberapa faktor yang meningkatkan risiko kejadian dan derajat
pneumonia. Faktor-faktor tersebut secara garis besar mempengaruhi status imunitas
anak tersebut melalui berbagai mekanisme, antara lain.

11
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

1. Polusi/ pajanan asap rokok


Perokok pasif merupakan faktor risiko terjadinya infeksi saluran napas pada anak.
Perokok pasif pada anak menyebabkan supresi fungsi fagosit dan aktivitas sel silia,
meningkatkan kemungkinan adesi bakteri pada epitel saluran pernapasan dan
menyebabkan koloni bakteri.
2. Gizi buruk/malnutrisi
Adanya malnutrisi, terutama protein dan energi, sangat erat kaitannya dengan
rendahnya imunitas sehingga menjadi rentan terkena infeksi, khususnya infeksi saluran
napas bawah seperti pneumonia.
Defisiensi vitamin A meningkatkan risiko infeksi dan abnormalitas pada sel epitel
dan sel imun. Peran vitamin A dalam tumbuh kembang sel dan jaringan, khususnya pada
sel epitel respirasi dan jaringan paru, sangat penting. Pada jaringan paru, sel alveolar tipe
II bertanggung jawab terhadap sintesis dan sekresi surfaktan.
Defisiensi vitamin D juga memberikan dampak yang buruk karena vitamin D
terlibat dalam beberapa proses biologis seperti metabolisme tulang (penyerapan kalsium
dalam usus), modulasi respon imun, dan regulasi proliferasi dan diferensiasi sel imun.
3. Status sosioekonomi yang rendah
Status sosioekonomi yang rendah juga dikaitkan dengan edukasi maternal yang
tidak adekuat. Peran ibu dalam promosi kesehatan dan pencegahan penyakit, membantu
identifikasi awal penyakit, dan perawatan sangat penting. Lingkungan tempat tinggal
yang padat dan adanya saudara serumah yang menderita batuk, serta kamar tidur yang
terlalu padat penghuninya juga meningkatkan risiko infeksi.
4. Berat badan lahir rendah (BBLR)
Beberapa studi dilakukan untuk menemukan hubungan antara BBLR dan
rentannya terserang infeksi saluran napas bawah. Setelah disimpulkan terdapat 2
mekanisme utama yang menyebabkan hal tersebut, yaitu rendahnya imunitas dan defek
pada fungsi paru. Selain itu terdapat defisiensi besi, zinc, dan tembaga.
5. Tidak mendapat air susu ibu (ASI)
ASI dapat melindungi anak dari risiko infeksi saluran napas bawah berupa proteksi
pasif. ASI mengandung elemen spesifik seperti limfosit dan antibodi, yaitu IgA, dan
komponen nonspesifik lainnya seperti fagosit, makrofag, laktoferin, lisosim,
laktoperoksidase, oligosakarida, faktor bifidus, komplemen C3 dan C4 yang dapat
melindungi anak melawan penyakit infeksi, khususnya 2 faktor penyebab kematian, yaitu
diare dan infeksi saluran napas akut yang tidak dapat dicegah dengan vaksinasi publik.

12
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Studi menunjukkan efek proteksi melawan infeksi saluran napas bawah tidak
berubah seiring dengan bertambahnya usia anak. Diperkirakan pemberian ASI secara
penuh/ekslusif atau sebagian menghasilkan 50% penurunan mortalitas akibat infeksi
saluran napas akut pada anak yang berusia kurang dari 18 bulan.
Selain dari faktor di atas, terdapat faktor risiko lainnya yang berkaitan dengan
terjadinya pneumonia, di antaranya GER (Gastroesophageal reflux) dan aspirasi.

e. Klasifikasi
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
a) Pneumonia komuniti (community – acquired pneumonia)
Pneumonia yang didapat di masyarakat dan sering disebabkan oleh kokus Gram
positif (Pneumococcus, Staphylococcus), basil Gram negatif (Haemophillus
influenzae), dan bakteri atipik.
b) Pneumonia nosokomial (hospital – acquired pneumonia)
Pneumonia yang timbul setelah 72 jam dirawat di rumah sakit, yang lebih sering
disebabkan oleh bakteri Gram negatif (Staphylococcus aureus) dan jarang oleh
pneumokokus atau Mycoplasma pneumoniae.
c) Pneumonia aspirasi
Pneumonia yang terjadi akibat aspirasi antara lain makanan dan asam lambung.
d) Pneumonia pada penderita immunocompramised.

2. Berdasarkan mikroorganisme penyebab


a) Pneumonia bakterial/ tipikal.
b) Pneumonia atipikal: disebabkan Mycoplasma, Legionella, dan Clamydia
c) Pneumonia virus
d) Pneumonia jamur: sering merupakan infeksi sekunder dengan predileksi pada
penderita dengan daya tahan tubuh lemah (immunocompromised)

3. Berdasarkan predileksi infeksi


a) Pneumonia lobaris
b) Bronkopneumonia/pneumonia lobularis.
c) Pneumonia interstisial

13
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

f. Patofisiologi
Sistem respiratori bagian bawah secara normal terjaga dalam kondisi steril melalui
mekanisme pertahanan fisiologis, seperti klirens mukosilier, sekresi Imunoglobulin A (IgA),
dan mekanisme batuk. Mekanisme pertahanan imunologis yang membatasi invasi organisme
patogen terdiri dari makrofag, sekresi IgA, dan immunoglobulin lainnya. Trauma, anestesia,
dan aspirasi meningkatkan risiko infeksi pulmoner.
Pneumonia ditandai dengan inflamasi pada alveoli dan rongga udara terminal akibat
invasi agen infeksius yang masuk ke paru melalui penyebaran hematogen maupun inhalasi.
Kaskade inflamasi memicu ekstravasas/leakage plasma dan hilangnya surfaktan sehingga
udara menghilang dan terjadi konsolidasi.
Respon inflamasi yang teraktivasi kemudian sering menyebabkan migrasi leukosit
diikuti pelepasan substansi toksik dari granul-granul dan mikrobisidal serta aktivasi kaskade
komplemen. Kaskade ini dapat menyebabkan cedera secara langsung pada jaringan host dan
mengubah integritas endotel dan epitel, tonus vasomotor, hemostasis intravaskular, dan
aktivasi serta migrasi leukosit pada fokus inflamasi. Peran apoptosis dalam pneumonia masih
belum diketahui jelas.
Infeksi yang disebabkan oleh virus ditandai dengan akumulasi sel mononuklear pada
ruang submukosa dan perivaskular sehingga menyebabkan obstruksi parsial saluran napas.
Pasien dengan infeksi ini akan menunjukkan adanya wheezing dan ronki. Penyakit bertambah
parah ketika sel alveolar tipe II kehilangan integritas strukturalnya dan produksi surfaktan
berkurang, terbentuk membrane hialin, dan edema pulmoner terjadi.
Pada infeksi bakteri, terdapat beberapa perubahan patologis berkaitan dengan
perjalanan penyakit pneumonia ini. Stadium pertama dikenal dengan stadium kongesti.
Stadium ini terjadi dalam waktu 24 jam infeksi, yang ditandai dengan adanya kongesti
vaskular dan edema alveolar. Terdapat beberapa bakteri dan neutrofil. Edema akibat reaksi
jaringan mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya.
Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, di mana alveoli terisi cairan
proteinaseus yang memicu influks eritrosit dan sel polimorfonuklear (PMN) yang diikuti
dengan deposisi fibrin. Selain itu dapat ditemukan pula cairan edema dan kuman di alveoli.
Stadium ini dikenal dengan hepatisasi merah. Stadium ini berlangsung selama 2-3 hari.
Disebut hepatisasi merah karena memiliki kesamaan dengan konsistensi liver, yang ditandai
dengan banyaknya eritrosit, neutrofil, sel epitel yang mengalami deskuamasi, dan fibrin.
Selanjutnya deposit fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di
alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Selain itu terjadi disintegrasi dari eritrosit.

14
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Stadium ini disebut dengan stadium hepatisasi kelabu. Stadium ini berlangsung sekitar 2-3
hari.
Selanjutnya, jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi,
fibrin menipis, kuman, dan debris menghilang. Stadium akhir ini disebut stadium resolusi.
Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.

g. Manifestasi klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan hingga
sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam
kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan di rumah
sakit.
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah
imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang
kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan diagnostik invasif,
etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis. Di samping itu,
kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang menyebabkan karakteristik
penyakit berbeda-beda, sehingga perlu dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung berat ringannya infeksi,
tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
1. Gambaran infeksi umum :
a) demam: suhu bisa mencapai 39 – 40 oC
b) sakit kepala
c) gelisah
d) malaise
e) penurunan nafsu makan
f) keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah, atau diare
g) kadang – kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner

2. Gambaran gangguan respiratori:


a) batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif
b) sesak nafas
c) retraksi dada
d) takipnea
e) napas cuping hidung

15
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

f) penggunaan otot pernafasan tambahan


g) merintih
h) sianosis

3. Takipneu berdasarkan WHO12:


a) Usia < 2 bulan ≥ 60 x/menit
b) Usia 2-12 bulan ≥ 50 x/menit
c) Usia 1-5 tahun ≥ 40 x/menit
d) Usia 6-12 tahun ≥ 28 x/menit
Bronkopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama
beberapa hari, misalnya rinitis dan batuk. Batuk mungkin tidak dijumpai pada anak – anak.
Bila terdapat batuk, batuk berawal kering lalu berdahak. Pada pneumonia yang disebabkan
oleh virus, biasanya terdapat demam tetapi suhunya lebih rendah bila dibandingkan dengan
demam pada pneumonia bakterial. Pada pneumonia bakterial umumnya ditandai dengan
demam tinggi, batuk, dan nyeri dada. Pada beberapa anak, mereka cenderung berbaring pada
sisi yang terkena untuk meminimalisir nyeri pleuritik dan meningkatkan ventilasi. Takipnea
adalah manifestasi klinis yang paling konsisten dari pneumonia.
Pada pemeriksaan fisik yang ditemukan juga tergantung dari stadium pneumonia. Pada
awal penyakit, menurunnya suara napas dan ronki umumnya terdengar pada daerah paru yang
terkena. Ketika sudah terbentuk konsolidasi atau komplikasi dari pneumonia seperti efusi
pleura atau empiema, redup pada perkusi dapat ditemukan dan suara napas juga melemah.
Distensi abdomen dapat menonjol karena dilatasi lambung dari udara yang tertelan. Nyeri
abdomen juga umum pada pneumonia lobus bawah. Hepar dapat terasa membesar
disebabkan karena penurunan diafragma akibat hiperinflasi paru.
Pada inspeksi didapatkan adanya peningkatan usaha napas ditandai dengan retraksi
interkostal, subkostal, dan suprasternal, napas cuping hidung, dan penggunaan otot tambahan
lainnya. Infeksi yang berat dapat disertai dengan sianosis dan letargi, khususnya pada bayi.
Pada palpasi dapat ditemukan tanda klinis seperti vokal fremitus yang meningkat pada daerah
terkena. Pada perkusi didapatkan suara pekak atau redup pada daerah yang terkena, Pada
auskultasi mungkin didapatkan suara napas melemah, ronki, dan wheezing.
Pada bayi juga ditemukan adanya infeksi saluran napas atas terlebih dahulu dan
menurunnya nafsu makan, disusul dengan demam yang tiba-tiba, gelisah, dan distres
pernapasan. Bayi akan tampak sakit, distres pernapasan bermanifestasi sebagai dengkur,
napas cuping hidung, retraksi interkostal, subkostal, dan suprasternal, napas cuping hidung,

16
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

dan penggunaan otot tambahan lainnya, takipnea, takikardi, dan sianosis. Pemeriksaan fisik
yang ditemukan biasanya tidak khas, terutama pada bayi yang masih kecil. Beberapa bayi
dengan pneumonia bakterial juga terdapat gangguan gastrointestinal misalnya muntah,
anoreksia, diare, dan distensi abdomen akibat ileus paralitik.

h. Diagnosis
1. Anamnesis
Bergantung pada berat ringannya infeksi. Secara umum dapat ditemukan:
a) Gejala infeksi umum: demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan,
dan keluhan gastrointestinal (mual, muntah, diare).
b) Gangguan respiratorik: batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping
hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.

2. Pemeriksaan fisik
a) Penilaian keadaan umum anak, frekuensi napas, dan nadi harus dilakukan pada saat
awal pemeriksaan sebelum pemeriksaan lain yang dapat menyebabkan anak gelisah
atau rewel.
b) Penilaian keadaan umum antara lain meliputi kesadaran dan kemampuan
makan/minum.
c) Gejala distres pernapasan seperti takipnea, retraksi subkostal, batuk, krepitasi, dan
penurunan suara napas.
d) Takipnea adalah tanda klinis yang paling signifikan. Agar akurat, frekuensi pernapasan
harus dihitung 1 menit penuh ketika anak sedang diam. Pada anak yang demam, tidak
adanya takipnea dapat menyingkirkan pneumonia. (97,4%). Tetapi adanya takipnea
pada anak demam memiliki nilai prediktif positif yang rendah (20,1%) karena demam
sendiri dapat meningkatkan frekuensi napas 10x/menit/oC. Pada anak dengan takipnea
yang disertai dengan retraksi, dengkur, napas cuping hidung, dan krepitasi
mensugestikan pneumonia.

Tabel 2. Batas takipnea menurut WHO untuk diagnosis pneumonia yang disertai batuk.
Usia Frekuensi napas normal Batas takipnea
2-12 bulan 25-40 x/menit ≥50x/menit
1-5 tahun 20-30x/menit ≥40x/menit

17
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

e) Dapat ditemukan pekak perkusi, ronki.


f) Demam dan sianosis.
g) Anak di bawah 5 tahun mungkin tidak menunjukkan gejala pneumonia yang klasik.
Pada anak yang demam dan sakit akut, terdapat gejala nyeri yang diproyeksikan ke
abdomen. Pada bayi muda terdapat gejala pernapasan tak teratur dan hipopnea.

3. Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan radiologi
a. Pemeriksaan foto dada tidak direkomendasikan secara rutin pada anak dengan
infeksi saluran napas bawah akut ringan tanpa komplikasi.
b. Pemeriksaan foto dada direkomendasikan pada penderita pneumonia yang di rawat
inap atau bila tanda klinis yang ditemukan membingungkan.
c. Pemeriksaan foto dada follow up hanya dilakukan bila didapatkan adanya kolaps
lobus, kecurigaan terjadi komplikasi, pneumonia berat, gejala yang menetap atau
memburuk, atau tidak respon antibiotik.
d. Pemeriksaan foto dada tidak dapat mengidentifikasi agen penyebab.
e. Secara umum, gambaran foto thoraks pada pneumonia dapat berupa:
• Infiltrat interstisial: peningkatan corakan bronkovaskular, hiperaerasi.
• Infiltrat alveolar: konsolidasi paru dengan air bronchogram, disebut sebagai
pneumonia lobaris bila mengenai 1 lobus paru.
• Bronkopneumonia: bercak infiltrat difus merata pada kedua paru (dapat meluas
hingga daerah perifer paru) disertai dengan peningkatan corakan peribronkhial.
• Penebalan peribronkhial, infiltrat interstisial merata, hiperinflasi cenderung
terlihat pada infeksi virus.
• Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen/lobar, bronkopneumonia, dan air
bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.
b) Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit perlu dilakukan untuk
menentukan terapi antibiotik pilihan. Pada pneumonia virus, nilai leukosit dapat
normal/ sedikit meningkat tetapi tidak lebih dari 20.000/mm3 dengan dominasi
limfosit, sedangkan pada pneumonia bakterial, nilai leukosit meningkat
(leukositosis), berkisar antara 15.000 – 40.000/mm3, didominasi oleh PMN. Pada
infeksi Chlamydia kadang ditemukan eusinofilia.

18
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

b. Pemeriksaan kultur dan pewarnaan Gram sputum dengan kualitas yang baik
direkomendasikan dalam tatalaksana anak dengan pneumonia berat.
c. Kultur darah tidak direkomendasikan secara rutin pada pasien rawat jalan, tetapi
direkomendasikan pada pasien rawat inap dengan kondisi berat dan pada setiap
anak yang dicurigai menderita pneumonia bakterial.
d. Pada anak kurang dari 18 bulan, dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi antigen
virus dengan atau tanpa kultur virus jika fasilitas tersedia.
e. Jika ada efusi pleura, dilakukan pungsi cairan pleura dan dilakukan pemeriksaan
mikroskopis, kultur, serta deteksi antigen bakteri (jika fasilitas tersedia) untuk
penegakan diagnosis dan menetukan mulainya pemberian antibiotik.
f. Pemeriksaan C-reactive protein (CRP), LED, dan pemeriksaan fase akut lainnya
tidak dapat membedakan infeksi virus dan bakterial dan tidak direkomendasikan
sebagai pemeriksaan rutin.
g. Pemeriksaan uji tuberkulin selalu dipertimbangkan pada anak dengan riwayat
kontak dengan penderita TB dewasa.
c) Pemeriksaan lain
Pada setiap anak yang dirawat inap karena pneumonia, seharusnya dilakukan
pemeriksaan pulse oximetry.

Pada pneumonia atipikal yang disebabkan oleh C.pneumoniae atau M.pneumoniae


sulit dibedakan dari pneumonia pneumokokal dari hasil laboratorium dan radiologis.
Pada daerah dengan fasilitas yang tidak memadai, WHO merekomendasikan
penggunaan peningkatan frekuensi napas dan retraksi subkosta untuk mengklasifikasikan
pneumonia di negara berkembang. Namun demikian, kriteria ini memiliki sensitivitas yang
buruk untuk anak malnutrisi dan sering overlapping dengan gejala malaria.
Berikut adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan WHO:
1. Bayi kurang dari 2 bulan
a. Pneumonia berat: napas cepat atau retraksi berat
b. Pneumonia sangat berat: tidak mau menetek/minum, kejang, letargi, demam atau
hipotermia, bradipnea atau pernapasan ireguler.
2. Anak umur 2 bulan- 5 tahun
a. Pneumonia ringan: napas cepat
b. Pneumonia berat: retraksi
c. Pneumonia sangat berat: tidak dapat minum/ makan, kejang, letargi, malnutrisi.

19
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

i. Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan
terutama berdasarkan berat – ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak
mau makan/minum, atau bila ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama
mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis
pneumonia harus dirawat inap. Dasar tatalaksana pada pneumonia rawat inap adalah
pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif
meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asam – basa dan elektrolit, dan gula darah.
Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penggunaan antibiotik
yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera
diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. Karena
identifikasi dini mikroorganisme tidak umum dilakukan, maka pemilihan antibiotik dipilih
berdasarkan pengalaman empiris yang didasarkan pada kemungkinan etiologi penyebab
dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta faktor epidemiologis.
2.i.1. Rawat jalan
Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral,
misalnya amoksisilin 25 mg/kgBB atau kotrimoksazol 4 mg/kgBB TMP dan 20 mg/kgBB
sulfametoksazol dua kali sehari selama 3 hari. Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid
baru, dapat digunakan sebagai terapi alternatif beta – laktam untuk pengobatan inisial
pneumonia, dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap S. pneumoniae dan bakteri
atipik.
Setalah itu, anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu untuk membawa
kembali anaknya setelah 2 hari atau lebih kalau keadaan anak memburuk atau tidak dapat
minum atau menyusui. Bila pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu
makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai selesai 3 hari. Jika frekuensi pernapasan,
demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan, ganti ke antibiotik lini kedua dan nasihati ibu
untuk kembali 2 hari lagi. Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan
tangani sesuai pedoman pneumonia berat.
2.i.2. Rawat Inap
Pasien yang memenuhi kriteria dibawah ini harus dirawat inap:
1. Bayi:
 Saturasi oksigen ≤ 92%, sianosis

20
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

 Frekuensi napas > 60x/menit


 Distres pernapasan, apnea intermiten atau grunting
 Tidak mau minum/menetek
 Keluarga tidak bisa merawat di rumah.

2. Anak:
 Saturasi oksigen ≤ 92%, sianosis
 Frekuensi napas > 50x/menit
 Distres pernapasan
 grunting
 Terdapat tanda dehidrasi
 Keluarga tidak bisa merawat di rumah.
a) Terapi Antibiotik
Antibiotik lini pertama yang dapat digunakan, yakni golongan beta – laktam atau
kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta – laktam dan
kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin,
sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan. Antibiotik diteruskan selama 7 – 10 hari
pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi.
Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai
sesegera mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan
meningitis, antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti
kombinasi betalaktam / klavulanat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi
ketiga. Bila sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral selama 10 hari.
WHO menganjurkan pemberian ampisilin/amoksisilin 25 – 50 mg/kgBB/kali IV
atau IM setiap 6 jam yang dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak
memberi respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan
di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral 15 mg/kgBB/kali, tiga kali sehari
untuk 5 hari berikutnya.
Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan adalah
antibiotik beta – laktam dengan/tanpa klavulanat; pada kasus yang lebih berat diberikan
beta – laktam/klavulanat dikombinasikan dengan makrolid baru intravena, atau
sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau keadaan sudah stabil,
antibiotik intravena diganti dengan antibiotik oral dan berobat jalan selama 10 hari.

21
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang berat,
maka ditambahkan kloramfenikol 25 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 8 jam. Bila pasien
datang dengan keadaan klinis yang berat segera berikan oksigen dan pengobatan
kombinasi ampisilin – kloramfenikol atau ampisilin – gentamisin. Sebagai alternatif, beri
seftriakson 80 – 100 mg/kgBB IV atau IM sekali sehari. Bila tidak membaik dalan 48
jam, maka dapat dilakukan foto toraks.
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin 7,5
mg/kgBB IM sekali sehari dan klokasilin 50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam atau
klindamisin 15 mg/kgBB/hari hingga 3 kali pemberian. Bila keadaan anak membaik,
lanjutkan kloksasilin atau diklokasilin secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan
mencapai 3 minggu atau klindamisin oral selama 2 minggu.
b) Terapi Oksigen
Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat. Bila tersedia pulse
oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen. Berikan pada anak dengan
saturasi < 90% dan anak yang tidak stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi tetap
stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna.

c) Terapi Penunjang
Bila disertai demam yang tampaknya menyebabkan distres, beri antipiretik seperti
parasetamol. Bila ditemukaan adanya wheezing, beri bronkodilator kerja cepat. Bila
terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan oleh anak, hilangkan
dengan alat penghisap secara perlahan. Pastikan anak mendapatkan kebutuhan cairan
rumatan yang sesuai, tetapi hati – hati terhadap kelebihan cairan/overhidrasi. Anjurkan
pemberian ASI dan cairan oral. Jika anak tidak dapat minum, pasang pipa nasogastrik dan
berikan cairan rumatan dalam jumlah sedikit tapi sering. Jika asupan cairan oral
mencukupi, jangan menggunakan pipa nasogastrik untuk meningkatkan asupan, karena
akan meningkatkan risiko pneumonia aspirasi. Jika oksigen diberikan bersamaan dengan
cairan nasogastrik, pasang keduanya pada lubang hidung yang sama.
Pasien dapat dipulangkan bila memenuhi kriteria pulang berikut ini:
• Gejala dan tanda pneumonia menghilang.
• Asupan oral adekuat.
• Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (per oral).
• Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol.
• Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah.

22
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

j. Prognosis
Secara umum, pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi menunjukkan respon terapi
yang baik sejak dimulainya terapi antibiotik dengan perbaikan klinis dalam waktu 48-96 jam
Kemungkinan yang perlu dipertimbangkan bila pasien tidak menunjukkan perbaikan klinis
dengan terapi antibiotik adalah telah terjadi komplikasi misalnya empiema, resistensi bakteri,
penyebab nonbakterial, seperti virus atau jamur dan aspirasi benda asing atau makanan,
obstruksi bronkhial dari lesi endobronkhial, benda asing, atau plak mukus, atau komorbiditas
seperti imunodefisiensi, diskinesia silier, fibrosis kistik, atau malformasi kongenital.
Mortalitas pneumonia pada negara maju cukup jarang dan biasanya tidak diikuti
dengan sekuel jangka panjang. Angka mortalitas akan meningkat pada pasien dengan defisit
imunologis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lumbantobing SM. Kejang demam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.p.1-52.


2. Behrman RE, et al. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-18. Jakarta:
EGC;2007.p.2059-60.
3. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setyowulan W. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi
ke-3 (2). Jakarta: Media Aesculapius FKUI; 2013.p.434.
4. Staff pengajar ilmu kesehatan anak FKUI. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Vol ke-2.
Jakarta: FKUI; 2007.p.484.
5. Anonym. Febrile Seizure. Available from URL:
http://www.ninds.nih.gov/disorders/febrile_seizures/detail_febrile_seizures.htm. Diakses
pada 26 Mei 2017.
6. Mayo clinic staff. Febrile Seizure. Available from URL:
http://www.mayoclinic.com/health/febrile-seizure/DS00346. Diakses pada 28 Mei 2017.
7. Bennett NJ. Pediatric Pneumonia. Accessed on [2017 May 28]. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview#a5.

23
Status Pasien Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSAL MTH

8. Zec LS, Selmanovic K, Andrijic NL, Kadic A, Zecevic L, Zunic L. Evaluation of Drug
Treatment of Bronchopneumonia at the Pediatric Clinic in Sarajevo. Med Arch. 2016
Jun;70(3):177-181.
9. Pudjiadi A, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2009.p.250-4.
10. Pabary R, Balfour-Lynn IM. Complicated pneumonia in children. Breathe. March
2013;9(3):211-22.
11. Paks M. Bronchopneumonia. Accessed on [2017 May 28]. Available at
https://radiopaedia.org/articles/bronchopneumonia.
12. Kliegman RM, Stanton BF, St Geme JW, Schor NF, Behrman RE. Nelson Textbook of
Pediatrics. 20th ed. Philadelphia; 2016.p.2088-94.
13. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. 1st ed. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2013.p.350-64.
14. Stuckey-Shrock K, Hayes BL, George CM. Community-aqcuired Pneumonia in
Children. Am Fam Physician. 2012 Oct 1;86(7):661-7.
15. Ramezani M, Aemmi SZ, Moghadam ZE. Factor Affecting the Rate of Pediatric
Pneumonia in Developing Countries: a Review and Literature Study. Int J Pediatr. 2015
Dec;3(24):1173-81.
16. Priyanti ZS, Lulu M, Bernida I, Subroto H, Sembiring H, Rai IBN, et al. Pneumonia
Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia; 2002.
17. Danusantoso H. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Penerbit Hipokrates; 2000.p.74
– 92.
18. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit:
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di Kabupaten/Kota. Jakarta:
World Health Organization;2009.p.83 – 113.
19. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta:
Media Aesculapius;2014.p.174-6.

24

Anda mungkin juga menyukai