Anda di halaman 1dari 26

PENUGASAN MAKALAH MATA KULIAH ASUHAN KEBIDANAN

KEGAWATDARURATAN MATERNAL DAN NEONATAL

ATONIA UTERI DALAM KEGAWATDARURATAN PADA PASCA PERSALINAN

Dosen Pengampu : Ni Nyoman Suindri, S.Si.T., M.Keb

Oleh :

Ni Made Ari Suciani

NIM : P07124223091

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR

SARJANA TERAPAN KEBIDANAN

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkat rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah mata kuliah asuhan

kebidanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal yang berjudul “Atonia Uteri dalam

Kegawatdaruratan pada Masa Persalinan”.

Adapun maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini, untuk memenuhi tugas individu

mata kuliah asuhan kebidanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal dan juga

menambah ilmu pengetahuan serta pengalaman sebagai mahasiswa dalam membuat

makalah. Dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ni

Nyoman Suindri, S.Si.T., M.Keb selaku dosen pengampu mata kuliah asuhan kebidanan

kegawatdaruratan maternal dan neonatal.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu

penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan

menuju kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, penulis berharap makalah ini dapat

bermanfaat bagi kita semua.

Denpasar, 20 September 2023

Ni Made Ari Suciani

i
DAFTAR ISI

Cover

Kata Pengantar....................................................................................................i

Daftar Isi...............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...............................................................................................1

B. Rumusan Masalah..........................................................................................2

C. Tujuan Penulisan............................................................................................2

D. Manfaat Penulisan..........................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Atonia Uteri......................................................................................4

B. Klasifikasi Atonia Uteri..................................................................................4

C. Etiologi dan Faktor Predisposisi.....................................................................5

D. Tanda dan Gejala Atonia Uteri.......................................................................6

E. Patofisiologi Atonia Uteri..............................................................................6

F. Diagnosis Atonia Uteri...................................................................................8

G. Faktor Risiko Atonia Uteri.............................................................................10

H. Penatalaksanaan Atonia Uteri........................................................................11

I. Komplikasi Atonia Uteri................................................................................22

J. Pencegahan Atonia Uteri................................................................................23

ii
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.....................................................................................................24

B. Saran...............................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut (World Health Organization, 2019), AKI merupakan jumlah kematian

ibu akibat

dari proses kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan yang dijadikan indikator derajat ke

sehatan perempuan. AKI di Indonesia bisa dikatakan masih tergolong tinggi dibandingkan

dengan negara-negara di Asia Tenggara.Target dari Sustainnable Devalopment Goals

(SDG’s) untuk angkakematian ibu adalah 70 per 100.000 kematian. Di Indonesia sekitar

28% kematian ibu

disebabkanoleh perdarahan, 13% eklamsi atau gangguan akibat hpertensi saat kehamilan,

9% partus lama, 11%komplikasi aborsi dan 10% akibat infeksi.

Perdarahan pasca persalinan merupakan penyebab kematian maternal terbanyak,

semua wanitayang sedang hamil memiliki resiko perdarahan pasca persalinan. Perdarahan

pasca persalinan yangmenyebabkan kematian ibu ini sebanyak 45% terjadi pada 24 jam

pertama setelah bayi lahir, 68-73%dalam satu minggu setelah bayi lahir dan 82-88%

dalam dua minggu setelah bayi lahir . Faktor resiko terjadinya perdarahan postpartum

yaitu : usia, paritas, janin besar, riwayat persalinan sebelumnya,anemia, partus lama,

penanganan yang salah pada kala III, hipertensi dalam kehamilan, kelainanuterus, infeksi

uterus (Kemenkes RI, 2021)

Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu ( 40 – 60% ) kematian ibu

melahirkan di Indonesia. Perdarahan pasca persalinan atau hemorragic post partum (HPP)

adalah kehilangan darah melebihi 500 ml yang terjadi setelah bayi lahir.

iv
Perdarahan pascapersalinan di bagi menjadi perdarahan pascapersalinan primer dan

sekunder. Perdarahan pascapersalinan primer (Early HPP) terjadi dalam 24 jam pertama.

Sedangkan perdarahan pascapersalinan sekunder (Late HPP) terjadi setelah 24 jam pertama.

Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%).

Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah

melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme ini. Perdarahan pospartum

secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi

pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi

apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan beberapa

rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apakah yang dimaksud dengan Atonia uteri ?

2. Apa saja yang termasuk klasifikasi prolapsus tali pusat ?

3. Apa etiologi dan faktor predisposisi pada Atonia uteri?

4. Apa saja tanda dan gejala pada Atonia uteri?

5. Bagaimana patofisiologi Atonia uteri?

6. Bagaimana mendiagnosis Atonia uteri?

7. Apa saja yang menjadi faktor risiko pada Atonia uteri?

8. Bagaimana penatalaksanaan Atonia uteri?

9. Apakah komplikasi yang bisa terjadi pada Atonia uteri?

10. Bagaimana pencegahan untuk Atonia uteri?

v
C. Tujuan Penulisan

Tujuan yang ingin dicapai dari beberapa rumusan masalah di atas adalah

sebagai berikut :

1. Untuk menjelaskan terkait Atonia uteri

2. Untuk menjelaskan klasifikasi Atonia uteri

3. Untuk menjelaskan etiologi dan faktor predisposisi pada Atonia uteri

4. Untuk menjelaskan tanda dan gejala pada Atonia uteri


5. Untuk menjelaskan patofisiologi Atonia uteri.

6. Untuk menjelaskan cara diagnosis Atonia uteri

7. Untuk menjelaskan faktor risiko pada Atonia uteri

8. Untuk menjelaskan langkah-langkah penatalaksanaan Atonia uteri

9. Untuk menjelaskan komplikasi yang bisa terjadi pada Atonia uteri

10. Untuk menjelaskan pencegahan untuk Atonia uteri

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagi Penulis

Untuk menambah wawasan dan dapat memahami terkait kegawatdaruratan

pada perdarahan pasca persalinan yaitu atonia uteri

2. Bagi Pembaca

Agar pembaca dapat mengetahui dan mengenal kegawatdaruratan pada

perdarahan pasca persalinan yaitu atonia uteri

vi
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perdarahan Pasca Persalinan

Perdarahan pasca persalinan atau hemorragic post partum (HPP) adalah

kehilangan darah melebihi 500 ml yang terjadi setelah bayi lahir. (Cunningham,

1998). Pada pelepasan plasenta selalu terjadi perdarahan karena sinus-sinus

maternalis di tempat insersinya pada dinding uterus terbuka. Biasanya perdarahan

itu tidak banyak, sebab kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menekan pembuluh-

pembuluh darah yang terbuka, sehingga lumennya menutup, kemudian pembuluh

darah tersumbat oleh bekuan darah. Seorang wanita sehat dapat kehilangan 500

ml darah tanpa akibat buruk. Volume darah yang hilang juga bervariasi akibatnya

sesuai dengan kadar hemoglobin ibu. Seseorang ibu dengan kadar hemoglobin

normal akan dapat menyesuaikan diri terhadap kehilangan darah yang akan

berakibat fatal pada yang anemia.

Perdarahan pascapersalinan di bagi menjadi perdarahan pascapersalinan

primer dan sekunder. Perdarahan pascapersalinan primer (Early HPP) terjadi

dalam 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan pascapersalinan primer adalah

atonia uteri (50-60%), retensio plasenta(16 – 17%), robekan jalan lahir (4-5%),

ruptur uteri, sisa plasenta, dan kelainan pembekuan darah. Terbanyak dalam 2 jam

pertama. Sedangkan perdarahan pascapersalinan sekunder (Late HPP) terjadi

setelah 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan pascapersalinan sekunder

7
adalah robekan jalan lahir, subinvolusi didaerah insersi plasenta,dan sisa plasenta

atau membran.

Kadang-kadang perdarahan disebabkan kelainan proses pembekuan darah

akibat dari hipofibrinogenemia (solusio plasenta, retensi janin mati dalam uterus,

emboli air ketuban). Apabila sebagian plasenta lepas sebagian lagi belum, terjadi

perdarahan karena uterus tidak bisa berkontraksi dan beretraksi dengan baik pada

batas antara dua bagian itu. Selanjutnya, apabila sebagian besar plasenta sudah

lahir, tetapi sebagian kecil masih melekat pada dinding uterus, dapat timbul

perdarahan dalam masa nifas.

B. Atonia Uteri

1. Definisi

Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah uterus tidak berkontraksi dalam

15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (JNPKR,

Asuhan Persalinan Normal, Depkes Jakarta; 2002)

2. Etiologi dan Patofisiologi

Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol

perdarahan setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme

ini. Perdarahan pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-

serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi

daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut

miometrium tersebut tidak berkontraksi.

8
Hal-hal yang dapat menyebabkan atonia uteri antara :

a. Disfungsi uterus : atonia uteri primer merupakan disfungsi intrinsik

uterus.

b. Partus lama : Kelemahan akibat partus lama bukan hanya rahim

yang lemah, cenderung berkontraksi lemah setelah melahirkan,

tetapi juga ibu yang keletihan kurang bertahan terhadap kehilangan

darah.

c. Pembesaran uterus berlebihan (hidramnion, hamil ganda, anak

besar dengan BB > 4000 gr).

d. Multiparitas : uterus yang lemah banyak melahirkan anak

cenderung bekerja tidak efisien dalam semua kala persalinan.

e. Mioma uteri : dapat menimbulkan perdarahan dengan mengganggu

kontraksi dan retraksi miometrium.

f. Anestesi yang dalam dan lama menyebabkan terjadinya relaksasi

miometrium yang berlebihan, kegagalan kontraksi dan retraksi

menyebabkan atonia uteri dan perdarahan postpartum.

g. Penatalaksanaan yang salah pada kala plasenta, mencoba

mempercepat kala III, dorongan dan pemijatan uterus mengganggu

mekanisme fisiologis pelepasan plasenta dan dapat menyebabkan

pemisahan sebagian plasenta yang mengakibatkan perdarahan.

9
Gambar 2.1 Gambaran Atonia Uteri

3. Tanda dan Gejala Klinis

Gejala dan tanda yang selalu ada :

a. Uterus tidak berkontraksi dan lembek

b. Perdarahan segera setelah anak lahir (perdarahan pascapersalinan

primer)

Gejala dan tanda yang kadang-kadang ada :

Syok (tekanan darah rendah,denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas

dingin, gelisah, mual,dan lain-lain).

4. Diagnosis

Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama bila timbul perdarahan

banyak dalam waktu pendek. Tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu

lama, tanpa disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia

10
tampak pucat. Nadi dan pernafasan menjadi cepat, dan tekanan darah

menurun.

Diagnosis perdarahan pasca persalinan :

a. Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri

b. Memeriksa plasenta dan ketuban apakah lengkap atau tidak

c. Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari: Sisa plasenta atau

selaput ketuban, Robekan rahim, Plasenta suksenturiata

d. Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan varises

yang pecah

e. Pemeriksaan Laboratorium periksa darah yaitu Hb, COT (Clot

Observation Test), dll

11
5. Diagnosis Banding

Atonia uteri Robekan Retensio Sisa plasenta Inversio uteri Perdarahan Ruptura uteri
jalan lahir plasenta terlambat
Uterus Tidak Kontraksi baik Kontraksi baik Uterus Tidak teraba Subinvolusi
berkontraksi & berkontraksi
lembek tetapi tinggi
fundus tidak
berkurang
Plasenta Lengkap Blm lahir > 30 Tdk lengkap Tampak tali pusat
mnt ( jika plasenta
blm lahir )
Perdarahan Segera setelah Darah segar yg Segera Segera Segera > 24 jam pasca Segera
persalinan mengalir partus (perdarahan
(HPP primer) segera setelah intraabdominal /
bayi lahir vaginum )
Lain-lain Syok -Pucat -Tali pusat putus -Lumen vagina -Nyeri tekan - Nyeri perut
-Lemah akibat traksi terisi massa perut bawah berat
-Menggigil berlebihan -Nyeri -Anemia - Shock
-Inversio uteri -Pucat & limbung -Demam - Nyeri tekan
akibat tarikan perut
-Perdarahan - Denyut nadi ibu
lanjutan cepat
Tabel 2.1 Diagnosa Banding Atonia Uteri

12
6. Pencegahan

Antenatal care (ANC) yang baik dan mencegah terjadinya anemia dalam kehamilan

merupakan hal yang paling penting. Karena pada persalinan nanti, kehilangan darah dalam

jumlah normal dapat membahayakan ibu yang menderita anemi.

Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum

lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Menejemen

aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan

transfusi darah.

Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat,

dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin.

Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III

harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit

IM, 5 unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.

Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika

untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin merupakan obat long-

acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10

menit. Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV dengan

oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif

dibanding oksitosin.

7. Penatalaksanaan

a. Resusitasi

Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal yaitu

resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital,

monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah

dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.

13
b. Masase dan kompresi bimanual

Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan

menghentikan perdarahan. Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta

(maksimal 15 detik).

c. Uterotonika

Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior

hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring

dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis

rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekuensi, tetapi pada dosis

tinggi menyababkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk

perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi

kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM). Efek samping pemberian

oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu

intoksikasi cairan jarang ditemukan.

Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat

menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan secara IM 0,25

mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan

langsung pada miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg. obat ini

dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan

nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.

Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin

F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous,

intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang

setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai

untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g). Prostaglandin ini

14
merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping

prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme

yang disebabkan kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral,

sehingga kadang-kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang

disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi

oksigen. Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan

kardiovaskular, pulmonal, dan disfungsi hepatik. Efek samping serius penggunaannya

jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus

penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang

disebabkan atonia uteri dengan angka kesuksesan 84%-96%. Perdarahan pospartum dini

sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan penggunaan

uterotonika ini untuk mengatasi perdarahan masif yang terjadi.

d. Uterine lavage dan Uterine Packing

Jika uterotonika gagal menghentikan perdarahan, pemberian air panas ke dalam

cavum uteri mungkin dapat bermanfaat untuk mengatasi atonia uteri. Pemberian 1-2

liter salin 47°C-50°C langsung ke dalam cavum uteri menggunakan pipa infus. Tangan

operator tidak boleh menghalangi vagina untuk memberi jalan salin keluar.

Penggunaan uterine packing saat ini tidak disukai dan masih kontroversial.

Efeknya adalah hiperdistended uterus dan sebagai tampon uterus.

Prinsipnya adalah membuat distensi maksimum sehingga memberikan tekanan

maksimum pada dinding uterus. Segmen bawah rahim harus terisi sekuat mungkin,

anestesi dibutuhkan dalam penanganan ini dan antibiotika broad-spectrum harus

diberikan. Uterine packing dipasang selama 24-36 jam, sambil memberikan resusitasi

cairan dan transfusi darah masuk. Uterine packing diberikan jika tidak tersedia fasilitas

operasi atau kondisi pasien tidak memungkinkan dilakukan operasi

15
e. Operatif

Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka

keberhasilan 80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan

disamping uterus setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi

dilakukan 2-3 cm dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan

jarum atraumatik yang besar dan benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina

diligasi dengan melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium

keluar di bagian avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi

hindari rusaknya vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri

miometrium, untuk itu penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua

dapat dilakukan jika langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada

segmen bawah rahim. Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan

bilateral pada vasa uterina bagian bawah, 3-4 cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi

ini harus mengenai sebagian besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan

cabang arteri uterina yang menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung

perlu dilakukan bilateral atau unilateral ligasi vasa ovarian.

Ligasi arteri Iliaka Interna. Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter

menyilang, untuk melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral

paralel dengan garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial

kemudian dilakukan ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna.

Klem dilewatkan dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable

dilakukan dua ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna.

Identifikasi denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan

sesudah ligasi. Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat

16
menyebabkan perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus

mempertimbangkan waktu dan kondisi pasien.

Teknik B-Lynch. Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”,

ditemukan oleh Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternative untuk

mengatasi perdarahan pospartum akibat atonia uteri.

Histerektomi. Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering

dilakukan jika terjadi perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan

operatif. Insidensi mencapai 7-13 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada

persalinan abdominal dibandingkan vaginal.

Langkah-Langkah Rinci Penatalaksanaan Atonia Uteri Pasca Persalinan

a. Lakukan massage pundus uteri segera setelah plasenta dilahirkan : massage merangsang

kontraksi uterus. Sambil melakukan massage sekaligus dapat dilakukan penilaian

kontraksi uterus.

b. Bersihkan kavum uteri dari selaput ketuban dan gumpalan darah : selaput ketuban atau

gumpalan darah dalam kavum uteri akan dapat menghalangi kontraksi uterus secara

baik.

c. Mulai melakukan kompresi bimanual interna. Jika uterus berkontraksi keluarkan tangan

setelah 1-2 menit. Jika uterus tetap tidak berkontraksi teruskan kompresi bimanual

interna hingga 5 menit : sebagian besar atonia uteri akan teratasi dengan tindakan ini.

Jika kompresi bimannual tidak berhasil setelah 5 menit, dilakukan tindakan lain

17
Gambar 2.2 Kompresi Bimanual Internal

d. Minta keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksterna : Bila penolong hanya

seorang diri, keluarga dapat meneruskan proses kompresi bimanual secara eksternal

selama anda melakukan langkah-langkah selanjutnya.

Gambar 2.3 Kompresi Bimanual Eksterna

e. Berikan metal ergometrin 0,2 mg intra muskuler / intravena : metilergometrin yang

diberikan secara intramuskuler akan mulai bekerja dalam 5-7 menit dan akan

menyebabkan kontraksi uterus. Pemberian intravena bila sudah terpasang infuse

sebelumnya.

18
f. Berikan infuse cairan larutan ringer laktat dan oksitoksin 20 IU/500 ml : anda telah

memberikan oksitoksin pada waktu penatalaksanaan aktif kala tiga dan metil ergometrin

intramuskuler. Oksitoksin intravena akan bekerja segera untuk menyebabkan uterus

berkontraksi. Ringer laktat akan membantu memulihkan volume cairan yang hilang

selama atoni. Jika uterus wanita belum berkontraksi selama 6 langkah pertama, sangat

mungkin bahwa ia mengalami perdarahan postpartum dan memerlukan penggantian

darah yang hilang secara cepat.

g. Mulai lagi kompresi bimanual interna atau pasang tampon uterovagina : jika atonia uteri

tidak teratasi setelah 7 langkah pertama, mungkin ibu mengalami masalah serius

lainnya. Tampon utero vagina dapat dilakukan bila penolong telah terlatih. Segera

siapkan proses pembedahan..

h. Teruskan cairan intravena hingga ruang operasi siap.

i. Lakukan laparotomi : pertimbangkan antara tindakan mempertahankan uterus dengan

ligasi arteri uterine/hipogastrika atau histerektomi. : pertimbangan antaralain paritas,

kondisi ibu, jumlah perdarahan.

19
Gambar 2.4 Penatalaksanaan Atonia Uteri

20
Kompresi Bimanual Ligasi Arteri Hipogastrica
Uterus Tampon Uterovagina

Gambar 2.5 Kompresi Bimanual Uterus, Tampon Uterovagina, Ligasi Arteri

Hipogastrica

8. Komplikasi

Di samping menyebabkan kematian, syok, HPP memperbesar kemungkinan

terjadinya infeksi purpuralis karena daya tahan tubuh penderita berkurang. Perdarahan

banyak kelak bisa menyebabkan sindroma Sheehan sebagai akibat nekrosis pada

hipofisis pars anterior sehingga terjadi insufisiensi bagian tersebut. Gejala-gejalanya

ialah hipotensi, anemia, turunnya berat badana sampai menimbulkn kakeksia,

penurunana fungsi seksual dengan atrofi alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan

ketiak, penurunan metabolisme dan hipotensi, amenorea dan kehilangan fungsi laktasi.

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Atonia uteri adalah kegagalan uterus untuk berkontraksi secara

memadai selama dan setelah persalinan. Atonia uteri menjadi penyebab paling

umum dari perdarahan postpartum. Terdapat 80% kasus perdarahan postpartum

terkait dengan atonia uteri. Biasanya, otot rahim berkontraksi selama persalinan

dan segera setelah plasenta lahir. Namun, pada atonia uteri tidak demikian.

Penyebab atonia uteri belum diketahui secara pasti tetapi terdapat beberapa

faktor predisposisi.

Diagnosis atonia uteri dapat ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta

lahir ternyata pendarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi

didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang

lebih lembek. Perdarahan berat akibat atonia uteri sangat berbahaya karena

dapat meningkatkan angka kematian maternal.

Oleh karena itu, diperlukan penatalaksanaan yang tepat terkait kasus

atonia uteri. Kompresi bimanual dari pembuluh darah dapat mengurangi aliran

darah, dan dengan demikian meningkatkan kemungkinan koagulasi dan

mencegah perdarahan postpartum.

B. Saran

Penatalaksaan dari atonia uteri ini harus dipahami dengan baik oleh

tenaga kesehatan, khususnya bidan. Agar dalam menangani kasus

kegawatdaruratan atonia uteri tidak terjadi kesalahan sehingga bisa mencegah

morbiditas dan mortalitas pada ibu yang disebabkan oleh penanganan atonia

22
uteri yang tidak tepat.

Selain itu, untuk mencegah atonia uteri diperlukan manajemen aktif

kala III dengan tepat. Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, penulis

berharap pembaca memahami makalah ini serta dapat dipakai acuan literatur

selanjutnya.

23
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham FG. 2017. Obstetri Williams. Jakarta: EGC.

Ende, H. B., Lozada, M. J., Chestnut, D. H., Osmundson, S. S., Walden, R. L., Shotwell, M.

S., & Bauchat, J. R. (2021). Risk Factors for Atonic Postpartum Hemorrhage: A

Systematic Review and Meta-analysis. In Obstetrics and Gynecology (Vol. 137, Issue

2, pp. 305–323). Lippincott Williams and Wilkins.

https://doi.org/10.1097/AOG.0000000000004228

JNPK-KR. 2018. Pelatihan klinik asuhan persalinan normal. Jakarta: JHPIEGO-Depkes RI

Julizar, M. and Sukandar, H., 2019. ANALISIS FAKTOR RISIKO ATONIA UTERI. Care:

Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan, 7(3), pp.108-117.

Kim, M. L., Hur, Y. M., Ryu, H., Lee, M. J., Seong, S. J., & Shin, J. S., 2020. Clinical

Outcomes Of Prophylactic Compression Sutures For Treatment Of Uterine Atony

During The Cesarean Delivery Of Twins. BMC pregnancy and childbirth, 20(1),

40. https://doi.org/10.1186/s12884-019-2716-6

Listiawati, A., 2022. Identifikasi Partus Lama Dengan Kejadian Atonia Uteri (Doctoral

dissertation, ITSKes Insan Cendekia Medika).

Muharrina, C. R., & Martina. (2020). Hubungan Riwayat Persalinan Lama dengan Kejadian

Atonia Uteri pada Ibu Bersalin di Wilayah Kerja Puskesmas Darul Imarah Tahun

2020. Jurnal Aceh Medika, 4(2).

Prawirohardjo, Sarwono., 2017. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Ed 4, Cet 6.

Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Sung, H., Ferlay, J., Siegel, R. L., Laversanne, M., Soerjomataram, I., Jemal, A., & Bray, F.

(2021). Global Cancer Statistics 2020: GLOBOCAN Estimates of Incidence and

Mortality Worldwide for 36 Cancers in 185 Countries. CA: A Cancer Journal for

Clinicians, 71(3), 209–249. https://doi.org/10.3322/caac.21660

24
Riya, R. and Wulandari, R., 2022. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian

Atonia Uteri Di Rsud H. Abdul Manap Kota Jambi. Midwifery Health Journal,

7(2).

Valiuliene, V., Vitartaite, M. and Rimaitis, K., 2021. Prophylactic dose of oxytocin for

uterine atony during caesarean delivery: a systematic review. International Journal

of Environmental Research and Public Health, 18(9), p.5029.

Widmer, M. (n.d.),2020. Updated WHO PPH recommendations PPH Community of Practice

Annual Meeting.

25

Anda mungkin juga menyukai