Anda di halaman 1dari 36

BERITA 1

Pengamat Sebut SEMA Larangan Pencatatan Nikah Beda Agama Harusnya Dicabut:
Itu Ngaco

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti merespons perihal Mahkamah Agung (MA)
mengeluarkan Surat Edaran MA (SEMA) soal larangan hakim mengabulkan pencatatan
pernikahan beda agama.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti merespons


perihal Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran MA (SEMA) soal larangan
hakim mengabulkan pencatatan pernikahan beda agama.

Bivitri mengatakan, SEMA bukan merupakan sebuah peraturan, melainkan pedoman untuk
hakim.

"Itu ngaco tuh. Karena gini, SEMA itu sebenarnya kan bukan peraturan. Peraturan itu kalau
menurut Undang-Undang (UU) Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ada pasal 7 ada
pasal 8 tuh, ada hirarki yang Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, PP, Perpres, Perda.
Terus pasal delapannya bilang, 'oh kalau peraturan menteri, peraturan MA'. Kalau PERMA
itu peraturan. Tapi SEMA hanya untuk hakim," kata Bivitri, kepada Tribunnews.com, Kamis
(27/7/2023).

Meski bukan sebuah peraturan, Bivitri menyebut, SEMA Nomor 2 Tahun 2023 tersebut
melanggar UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk).

Sebab, menurutnya, UU Adminduk membolehkan pencatatan pernikahan beda agama.

SEMA bukan merupakan sebuah peraturan, melainkan pedoman untuk hakim

"Tapi SEMA itu sebenarnya melanggar Undang-Undang Adminduk. Padahal namanya


SEMA enggak boleh melanggar UU. Kenapa saya bilang melanggar, karena Undang-Undang
Adminduk itu memberikan mekanisme pencatatan. Jadi bukan membolehkan perkawinannya,
(tapi) pencatatnnya itu, melalui penetapan pengadilan," jelasnya.
"Jadi itu menurut saya kesalahannya SEMA di situ, dia melanggar Undang-Undang
Adminduk. Jadi hakim enggak boleh menetapkan. Jadi hakim enggak boleh lagi ada
pencatatan melalui penetapan pengadilan," sambungnya.

Lebih lanjut, Bivitri mengatakan, SEMA Nomor 2 Tahun 2023 ini seharusnya dicabut MA.

Hal itu, jelasnya, dikarenakan SEMA tidak bisa diuji karena bukan sebuah peraturan.

"Jadi harusnya dicabut. Jadi menurut saya SEMA ini salah karena kan enggak bisa diuji. Di
atas kertas dia bisa diuji, misalnya ke PTUN, tapi kan mana mungkin pengadilan menyatakan
tidak berlaku sebuah surat edaran yang dikeluarkan oleh bosnya sendiri. Itu kan yang
ngeluarin Ketua MA," ucap Bivitri.

Ia menerangkan, jalan satu-satunya untuk mencabut SEMA ini melalui Ketua MA yang
mencabutnya sendiri atau juga melalui penerbitan SEMA baru.

"Jadi SEMA itu sangat tidak akuntabel. Jadi tidak seharusnya dikeluarkan. Jadi sekarang
yang bisa dilakukan hanya, kalau Ketua MA cabut sendiri, keluarkan SEMA baru,"
sambungnya.

Sehingga berdasarkan kekurangan-kekurangan dari SEMA yang dijelaskannya itu, Bivitri


menegaskan, tak boleh ada aturan turunan yang disesuaikan setelah SEMA ini dikeluarkan.

"Justru enggak boleh ada tindaklanjut karena levelnya cuma SEMA. Saya bilang cuma ya
karena memang itu bukan peraturan. Jadi enggak boleh ada yang disesuaikan berdasarkan
SEMA," ungkapnya.

Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan larangan untuk hakim


mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama.

Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023.

Juru Bicara MA Suharto mengatakan, SEMA tersebut ditujukan kepada Ketua Pengadilan
Banding dan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama.

"Isinya memberikan petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan
perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan," kata Suharto, saat dihubungi
Tribunnews.com, Jumat (21/7/2023).

Kemudian, Suharto menjelaskan, SEMA tersebut dikeluarkan bertujuan untuk memberikan


kepastian hukum, yang merujuk pada Undang-Undang (UU).

"Tujuannya jelas untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dan itu juga
merujuk pada ketentuan Undang-Undang. Itu sesuai fungsi MA," ucapnya.

Ia menegaskan, SEMA bukan regulasi atau aturan, melainkan pedoman bagi hakim dalam
mengadili perkara pemohonan pencatatan perkawinan beda agama.

"SEMA itu prinsipnya bukan regulasi, tapi pedoman atau petunjuk, dan rujukannya juga
Pasal 2 UU Perkawinan," kata Suharto.
"MA menjalankan fungsi pengawasan seperti yang diatur dalam Pasal 32 UU Nomor 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua UU MA," sambungnya.

"SEMA dipedomani ke depan, artinya ke depan bila hakim mengadili perkara permohonan
pencatatan perkawinan beda agama, agar mepedomani SEMA tersebut yang mengacu pada
Pasal 2 UU Perkawinan."

Diberitakan sebelumnya, larangan itu tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) yang di tanda tangani oleh Ketua Mahkamah Agung, Muhammad Syarifuddin.

Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 itu memaparkan mengenai ‘Petunjuk bagi Hakim dalam
Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda
Agama dan Kepercayaan.'

MA meminta pengadilan merujuk pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam aturan tersebut perkawinan yang sah
adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya.

Isi Surat Edaran Mahkamah Agung


Berikut isi SEMA:

Untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan
perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus
berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:

1. Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan

2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama


yang berbeda agama dan kepercayaan.

Sebelumnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) mengizinkan pernikahan beda
agama di antara dua pasangan kekasih Islam dan Kristen. Selain berdasarkan UU Adminduk,
penetapan yang diketok hakim Bintang AL mendasarkan alasan sosiologis, yaitu
keberagaman masyarakat.

BERITA 2
Wapres Minta Mahkamah Agung Tetapkan Status Hukum Anak-anak dari Pernikahan Beda
Agama
Wakil Presiden RI KH Ma'ruf Amin usai menghadiri acara puncak Peringatan Hari Anak Nasional 2023
di Semarang Jawa Tengah pada Minggu (23/7/2023).

TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Wakil Presiden RI KH Ma'ruf Amin akan meminta


Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan keputusan khusus terkait status hukum dari anak-
anak hasil pernikahan beda agama.

Ma'ruf mengatakan juga meminta MA menetapkan status hukum bagi anak-anak yang
terlanjur dilahirkan dari pernikahan beda agama.

Hal tersebut disampaikannya usai menghadiri acara puncak Peringatan Hari Anak Nasional
2023 di Semarang Jawa Tengah pada Minggu (23/7/2023).

"Tentang nasib anak-anaknya nanti, saya nanti meminta kepada pihak Mahkamah Agung
untuk menetapkan statusnya secara hukum kenegaraan," kata dia.

"Itu saya minta nanti MA yang menetapkan yang sudah terlanjur ditetapkan itu seperti apa.
Apakah itu dibatalkan, apakah itu diberi semacam pengakuan itu nanti segi hukumnya
Mahkamah Agung," sambung Ma'ruf.

Dari segi keabsahannya, kata Ma'ruf, tergantung dari majelis agama masing-masing.

Ia mencontohkan dalam hal ini MUI, KWI, atau PGI.

"Jadi dari segi sah menurut agama itu majelis-majelis agama masing-masing," kata Ma'ruf.

Diberitakan sebelumnya Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan larangan untuk hakim


mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama.

Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023.

Juru Bicara MA Suharto mengatakan, SEMA tersebut ditujukan kepada Ketua Pengadilan
Banding dan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama.
"Isinya memberikan petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan
perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan," kata Suharto, saat dihubungi
Tribunnews.com, Jumat (21/7/2023).

Kemudian, Suharto menjelaskan, SEMA tersebut dikeluarkan bertujuan untuk memberikan


kepastian hukum, yang merujuk pada Undang-Undang (UU).

"Tujuannya jelas untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dan itu juga
merujuk pada ketentuan Undang-Undang. Itu sesuai fungsi MA," ucapnya.

Ia menegaskan, SEMA bukan regulasi atau aturan, melainkan pedoman bagi hakim dalam
mengadili perkara pemohonan pencatatan perkawinan beda agama.

"SEMA itu prinsipnya bukan regulasi, tapi pedoman atau petunjuk, dan rujukannya juga
Pasal 2 UU Perkawinan," kata Suharto.

"MA menjalankan fungsi pengawasan seperti yang diatur dalam Pasal 32 UU Nomor 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua UU MA," sambungnya.

"SEMA dipedomani ke depan, artinya ke depan bila hakim mengadili perkara permohonan
pencatatan perkawinan beda agama, agar mepedomani SEMA tersebut yang mengacu pada
Pasal 2 UU Perkawinan."

Diberitakan sebelumnya, larangan itu tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) yang di tanda tangani oleh Ketua Mahkamah Agung, Muhammad Syarifuddin.

Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 itu memaparkan mengenai ‘Petunjuk bagi Hakim dalam
Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda
Agama dan Kepercayaan.'

MA meminta pengadilan merujuk pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam aturan tersebut perkawinan yang sah
adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya.

Isi Surat Edaran Mahkamah Agung

Berikut isi SEMA:

Untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan
perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus
berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:

1. Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.

2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama


yang berbeda agama dan kepercayaan.
Sebelumnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) mengizinkan pernikahan beda
agama di antara dua pasangan kekasih Islam dan Kristen.

Selain berdasarkan UU Adminduk, penetapan yang diketok hakim Bintang AL mendasarkan


alasan sosiologis, yaitu keberagaman masyarakat.

BERITA 3
Mahkamah Agung Buka Suara Soal SEMA Larangan Nikah Beda Agama: Bukan
Regulasi, tapi Pedoman

ilustrasi.Mahkamah Agung Buka Suara Soal SEMA Larangan Nikah Beda Agama: Bukan Regulasi, tapi
Pedoman

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan larangan


untuk hakim mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama.

Hal tersebut tertuang dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023.

Juru Bicara MA Suharto mengatakan, SEMA tersebut ditujukan kepada Ketua Pengadilan
Banding dan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama.

"Isinya memberikan petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan
perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan," kata Suharto, saat dihubungi
Tribunnews.com, Jumat (21/7/2023).

SEMA bukan regulasi atau aturan, melainkan pedoman bagi hakim dalam mengadili perkara
pemohonan pencatatan perkawinan beda agama

Kemudian, Suharto menjelaskan, SEMA tersebut dikeluarkan bertujuan untuk memberikan


kepastian hukum, yang merujuk pada Undang-Undang (UU).

"Tujuannya jelas untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dan itu juga
merujuk pada ketentuan Undang-Undang. Itu sesuai fungsi MA," ucapnya.
Ia menegaskan, SEMA bukan regulasi atau aturan, melainkan pedoman bagi hakim dalam
mengadili perkara pemohonan pencatatan perkawinan beda agama.

"SEMA itu prinsipnya bukan regulasi, tapi pedoman atau petunjuk, dan rujukannya juga
Pasal 2 UU Perkawinan," kata Suharto.

"MA menjalankan fungsi pengawasan seperti yang diatur dalam Pasal 32 UU Nomor 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua UU MA," sambungnya.

"SEMA dipedomani ke depan, artinya ke depan bila hakim mengadili perkara permohonan
pencatatan perkawinan beda agama, agar mepedomani SEMA tersebut yang mengacu pada
Pasal 2 UU Perkawinan."

Diberitakan sebelumnya, larangan itu tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) yang di tanda tangani oleh Ketua Mahkamah Agung, Muhammad Syarifuddin.

Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 itu memaparkan mengenai ‘Petunjuk bagi Hakim dalam
Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda
Agama dan Kepercayaan.'

MA meminta pengadilan merujuk pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam aturan tersebut perkawinan yang sah
adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya.

Isi Surat Edaran Mahkamah Agung


Berikut isi SEMA:

Untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan
perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus
berpedoman pada ketentuan sebagai berikut:

1. Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan

2. Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama


yang berbeda agama dan kepercayaan.

Sebelumnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) mengizinkan pernikahan beda
agama di antara dua pasangan kekasih Islam dan Kristen.

Selain berdasarkan UU Adminduk, penetapan yang diketok hakim Bintang AL mendasarkan


alasan sosiologis, yaitu keberagaman masyarakat.
BERITA 4

Minta MA Batalkan Putusan Pernikahan Beda Agama, Yandri Susanto: Kalau Dilanjut
Legalkan Perzinahan

Wakil Ketua MPR RI Yandri Susanto saat ditemui awak media di ruang pimpinan MPR RI,
di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/7/2023).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Yandri Susanto menegaskan,


dirinya akan melayangkan permohonan pembatalan putusan PN Jakarta Pusat yang
mengabulkan gugatan pernikahan beda agama kepada Mahkamah Agung RI (MA).

Permohonan itu akan dilayangkan Yandri bukan tanpa alasan, dirinya merujuk pada poin
pertama pada Pancasila.

Kata dia, putusan yang ditetapkan PN Jakarta Pusat itu telah bertolakbelakang dengan
Pancasila di sila pertama.

"Saya menilai putusan pengadilan Jakpus itu menurut saya bertolak belakang dengan
Pancasila, utamanya sila pertama," kata Yandri saat ditemui di ruang pimpinan MPR RI,
Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/7/2023).

Atas hal itu, secara tegas Yandri menilai kalau jika putusan itu tetap berlanjut maka telah
melegalkan perzinahan.

"Kami menganggap kalau itu tetap dilegalkan, itu artinya pengadilan Jakpus menurut syarat
Islam itu melegalkan perzinahan. dan saya kira tidak boleh itu kita setujui," kata Yandri.

Oleh karenanya Yandri meminta kepada MA untuk membatalkan putusan tersebut. Serta
meminta Kemendagri melalui Ditjen Dukcapil untuk tidak mengakomodir putusan itu.

"Kita minta juga Mendagri, melalui Dirjen kependudukan san catatan sipil tidak
mengakomodir atau tidak mengikuti putusan pengadilan Jakpus," tukas dia.
Sebelumnya, Wakil Ketua MPR RI Yandri Susanto menyatakan, dirinya bersama dengan
salah satu organisasi islam akan mengajukan permohonan pembatalan putusan Pengadilan
Negeri (PN) Jakarta Pusat yang mengabulkan pernikahan beda agama.

Permohonan pembatalan putusan itu akan dilayangkan Yandri ke Mahkamah Agung RI (MA)
pada Selasa (11/7/2023) besok.

"Besok saya akan ke MA bersama salah satu ormas Islam untuk mendaftarkan, oh iya
mendaftarkan permohonan pembatalan putusan pengadilan negeri Jakpus yang mengabulkan
tentang pernikahan beda agama," kata Yandri saat ditemui di Gedung MPR RI, Nusantara
Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/7/2023).

Yandri menilai, urgensi dirinya melayangkan permohonan pembatalan putusan itu karena
putusan dari PN Jakarta Pusat yang mengabulkan pernikahan beda agama tidak selaras
dengan putusan MK.

Dimana dalam putusannya, MK menyatakan menolak gugatan tersebut. Menurut Yandri,


putusan MK sifatnya mengikat dan final.

"Karena ini agak rancu menurut saya, MK yang dalam UU 45 itu sifatnya final dan mengikat,
tapi kenapa pengadilan negeri di Jakarta Pusat bisa berbeda dengan MK. apa hakimnya nggak
paham atau apa," beber dia.

Atas hal itu, menurut Yandri putusan MK itu sudah sejatinya tidak bisa digugat lagi, terlebih
putusan dari PN Jakpus tidak sejalan dengan MK.

Yandri juga turut menyinggung soal fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2005
terkait pernikahan beda agama.

"Jadi MK sudah menolak gugatan itu, artinya, sejatinya itu tidak perlu lagi diotak-atik oleh
lembaga hukum yang lain, termasuk MUI sudah juga memberikan fatwa tahun 2005 ini juga
sama," beber Yandri.

Tak hanya itu, Yandri juga menilai kalau putusan PN Jakarta Pusat ini telah bertentangan
pada poin pertama sila Pancasila.

"Sila pertama itukan ketuhanan yang maha esa, mengatur tentang bagaimana semua warga
negara wajib menganut agama dan mencampur adukkan atau mengintervensi persoalan
agama melalui pengadilan saya kita tidak pas. Jadi itu sudah merusak sendi-sendi
berkehidupan berbangsa dan bernegara," tukas dia.

Sebelumnya, PN Jakpus mengabulkan permohonan nikah beda agama yang diajukan oleh
pemohon JEA yang beragama Kristen untuk menikahi SW seorang muslimah.

PN Jakpus mengabulkan permohonan nikah beda agama itu tercantum dalam putusan nomor
155/Pdt.P/2023/PN.Jkt.Pst.
BERITA 5
Kritisi Permohonan Nikah Beda Agama, HNW: Hakim Harusnya Taat pada Putusan
MK & Fatwa MUI

Dok. MPR RI

Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid menyesali putusan Hakim PN yang mengabulkan
permohonan nikah beda agama.

TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia


(MPR RI), Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA menyesali hakim Pengadilan Jakarta Pusat
yang mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda Agama (mempelai pria
beragama Kristen, dan mempelai wanita beragama Islam).

HNW kembali mengingatkan agar Hakim yang berada di lingkungan Mahkamah Agung
(MA) dan MA sendiri untuk mentaati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak
mengesahkan pernikahan beda Agama, serta fatwa MUI yang menolak pernikahan beda
Agama (seperti perempuan Muslimah dinikahi oleh pria yang tidak beragama Islam).

Hakim pengadilan negeri seharusnya mengundang dan mendengarkan pendapat MUI sebagai
otoritas keagamaan di Indonesia, apabila ada permohonan pengesahan pernikahan apabila
salah satu mempelainya beragama Islam.

Dalam konteks Indonesia sebagai negata Hukum, para Hakim harusnya juga mentaati putusan
MK yang bersifat final dan mengikat. Apalagi MK sudah berulang kali menolak permohonan
uji materi UU Perkawinan untuk membolehkan perkawinan beda agama.

"Para hakim pengadilan negeri Jakarta Pusat yang juga mengabulkan permohonan
perkawinan beda Agama itu telah mengabaikan prinsip Indonesia sebagai negara hukum,
yang mengenal ada nya hierarki perundangan yang harusnya ditaati. Dengan MK untuk yang
kesekian kalinya menolak pengesahan perkawinan beda agama, itu seharusnya menjadi
rujukan utama oleh hakim PN, karena menurut UUD NRI 1945, putusan MK bersifat final
dan mengikat, termasuk mengikat para hakim di lingkungan MA,” jelasnya melalui siaran
pers di Jakarta, Minggu (25/6/2023).
Sebagai informasi, HNW sudah berulang kali menyampaikan hal tersebut melihat fenomena
para hakim PN yang mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama. Sebelum
kasus di PN Jakpus ini, hakim PN Surabaya, PN Yogyakarta, PN Tangerang dan PN Jakarta
Selatan juga melakukan hal serupa, padahal itu tak sesuai dengan Konstitusi, Keputusan MK,
UU Perkawinan dan Fatwa MUI.

HNW menilai pandangan MUI dan Muhammadiyah di dalam berbagai kesempatan –


termasuk dalam persidangan judicial review berkaitan perkawinan beda agama di Mahkamah
Konstitusi – telah berulang kali mengungkapkan tidak dibolehkannya perkawinan beda
agama berdasarkan aturan agama Islam dan UU Perkawinan.Menurutnya, hal tersebut harus
disimak dan dirujuk oleh para Hakim.

"Ini seharusnya yang menjadi pegangan utama para hakim apabila menghadapi permohonan
'pengesahan' perkawinan beda agama di mana salah satu pasangannya beragama Islam,”
ujarnya.

Lebih lanjut ia menuturkan, "Dan mestinya MA mendisiplinkan para Hakimnya untuk


melaksanakan ketentuan Konstitusi, mentaati keputusan MK, merujuk kepada UU
Perkawinan, dengan juga merujuk kepada fatwa MUI. MA perlu menertibkan para hakim di
bawah lingkungan kewenangan MA, agar terjadi tertib hukum di negara hukum Indonesia,
agar tidak terulang kembali masalah pengabulan permintaan pernikahan beda Agama yang
meresahkan masyarakat serta mengganggu harmoni sosial di internal umat beragama. Agar
tidak terjadi lagi laku hukum yang tidak sesuai dengan norma hukum tertinggi (UUD) dan
lembaga hukum dengan otoritas tertinggi (MK), dan ketentuan Agama yang diakui di negara
hukum Indonesia."

Selain itu, HNW juga menegaskan bahwa UUDNRI 1945 memang mengakui adanya
perkawinan tapi perkawinan yang sah, dan tolok ukurnya adalah yang sah menurut ajaran
Agama. Hal demikian itulah yang sesuai dengan Hak asasi manusia yang dijamin dan
diperbolehkan oleh UUD NRI 1945, yakni Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2). Inilah
yang menjadi rujukan Mahkamah Konstitusi (MK) ketika menolak berbagai permohonan uji
materi UU Perkawinan yang ingin melegalkan perkawinan beda agama.

HNW mengkritik pertimbangan Hakim PN Jakpus yang berdalih menggunakan alasan


sosiologis dalam mengabulkan permohonan. Ia menegaskan bahwa Pasal 28B ayat (1) secara
tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah. Sedangkan, yang dimaksud perkawinan yang sah
adalah yang diatur dalam UU Perkawinan yaitu apabila dilakukan sesuai hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya.

Memang, lanjut HNW, UUD NRI 1945 memungkinkan ketentuan HAM, termasuk Pasal 28B
ayat (1) itu dapat dibatasi. Namun, pembatasannya harus merujuk kepada Pasal 28J ayat (2)
UUD NRI 1945, bukan dengan alasan yang sumir dan dibuat-buat.

"Alasan pembatasan yang dimaksud oleh UUD terdiri dari beberapa hal, yakni alasan
moralitas, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. Jadi, sebenarnya UUD tidak
menyebut alasan sosiologis sebagai pertimbangan, sebagaimana yang dilakukan oleh hakim
di PN Jakarta Pusat itu. Namun, sekalipun alasan sosiologis itu digunakan, harus tetap sejalan
dengan ketentuan UUD antara lain nilai-nilai Agama, hal itu secara tegas disebut dalam Pasal
28J ayat (2) UUD NRI 1945,” tukasnya.
“Oleh karenanya, para Hakim termasuk yang di PN Jakarta Pusat, seharusnya merujuk
kepada berbagai putusan MK tersebut, di antaranya putusan No. 06/PUU-XII/2014, karena
putusan MK oleh UUDNRI 1945 pasal 24C ayat (1) dinyatakan sebagai bersifat final dan
mengikat, termasuk dan terutama kepada atau untuk para penegak hukum. Itu semua
dipentingkan demi keadilan dan tertib hukum di NKRI yang dinyatakan sebagai negara
hukum oleh Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945,” tegasnya.

HNW juga menambahkan agar umat beragama, Umat Islam dan lainnya, yang akan menikah,
hendaknya memahami hukum agama Islam atau agama lain yang dianutnya terkait dengan
perkawinan, juga memahami UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia yang jelas tidak
membolehkan adanya perkawinan beda agama.

"Para orangtua juga mestinya mengingatkan atau mendidik anak-anaknya agar tidak salah
memilih calon suami/istrinya, agar pilihannya sesuai dengan ajaran agamanya (Islam atau
yang lainnya) dan aturan hukum yang berlaku di Indonesia, sehingga bisa menghadirkan
masyarakat plural yang toleran dengan taat hukum yang berlaku, sehingga bisa hadirka
perkawinan yang menghadirkan prinsip keluarga yang sakinah mawaddah rahmah dan
berkah,” jelasnya.

Anggota Komisi VIII DPR RI yang antara lain membidangi urusan keagamaan ini
mengkritisi salah satu rujukan yang digunakan oleh hakim di PN adalah Penjelasan Pasal 35
huruf a UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang berbunyi, "Yang dimaksud
dengan 'perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan' adalah perkawinan yang dilakukan
antar-umat yang berbeda agama."

Namun, lanjutnya, hakim-hakim yang memutus perkara tersebut seharusnya tidak hanya
melihat pasal itu secara sepotong dan letterlijk, apalagi dengan mengabaikan ketentuan UUD
dan putusan MK. Harusnya demi keadilan dan kebenaran, para Hakim selain merujuk kepada
UUD dan putusan MK, harusnya para Hakim juga memperhatikan risalah pembahasan RUU
Adminduk untuk memahami original intent atau maksud asli ketentuan tersebut.

"Jadi, tidak menghasilkan penetapan yang bisa menghadirkan disharmoni sosial karena juga
bertentangan dengan nilai-dan norma agama yang ada di Indonesia khususnya Islam, yang
tidak membolehkan pernikahan beda Agama seperti wanita Muslimah dengan pria yang
berbeda Agama," tuturnya.

HNW mengingatkan bahkan bila UU Adminduk dirujuk, maka beberapa poin penting di
Risalah Pembahasan RUU Adminduk tersebut menegaskan bahwa UU Adminduk itu hanya
bersifat "pencatatan" perkawinan, bukan "pengesahan" perkawinan.

Oleh karenanya, ketika ada pemberitaan bahwa hakim telah mengesahkan perkawinan beda
agama di sejumlah media, maka telah terjadi kerancuan di masyarakat, dan ketidaksesuaian
dengan norma hukum yang lain.

"Yang mungkin bisa itu hanyalah penetapan pencatatan perkawinan bukan pengesahan itupun
diluar dari mempelai yang salahsatunya beragama Islam. Karena sahnya perkawinan diatur
dalam UU Perkawinan," ujarnya.

Kedua, lanjut HNW, Risalah Pembahasan RUU Adminduk secara jelas dan tegas menyatakan
bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus tetap menjadi rujukan utama terkait
dengan perkawinan, di mana salah satu ketentuannya menyebut dengan tegas dan jelas bahwa
'Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya'.

"Lalu, bagaimana para hakim itu bisa memahami hukum masing-masing agama para
pasangan perkawinan, apabila mereka tidak mendengarkan pendapat pemuka agama atau
lembaga kegamaan yang memiliki otoritas, dan dalam konteks keislaman adalah MUI.
Apalagi MUI telah berulang kali dengan tegas menyatakan bahwa Islam tidak membolehkan
perkawinan beda agama, sehingga perkawinan beda agama adalah tidak sah,” ujarnya.

HNW mengatakan sejak awal memang ketentuan Pasal 35 huruf a UU Adminduk memang
sudah diwanti-wanti oleh salah satu pembahasnya, yakni Anggota FPKS DPR RI yang
sekarang sudah wafat; Suryama Majana Sastra, untuk tidak menabrak aturan dalam UU
Perkawinan.

Di dalam Risalah Pembahasan RUU Adminduk, Suryama tercatat menyampaikan: 'Kalau kita
tidak hati-hati di sini misalnya, ini seperti yang tadi saya sudah ungkapkan, pengadilan bisa
menjadi satu lembaga yang mensahkan atau melegitimasi, dan ini bisa jadi nanti kontradiksi
dengan apa yang sudah diatur, oleh UU Perkawinan. Saya kira marilah kita menelaah
masalah ini secara tenang, substansial, dan melihat relasinya dengan sejumlah peraturan
perundang-undangan yang terkait langsung dengan perkawinan.’

HNW mengatakan apabila para hakim membaca dan mentaati RIsalah Pembahasan RUU
Adminduk itu, maka akan dapat dihadirkan komitmen menegakkan dan melaksanakan aturan
hukum yang disepakati di Indonesia, dengan UUD, Keputusan MK, UU sesuai hirarkinya
yang akan menghadirkan masyarakat taat hukum dan harmoni sosial melalui prosesi
Perkawinan yang sah.

"Oleh karenanya, para hakim seharusnya tidak hanya melihat penjelasan secara tekstual dan
sepotong, tetapi juga merujuk pada penafsiran originial intent, agar memahami teks UU
secara utuh. Dan terutama para Hakim juga harusnya merujuk kepada ketentuan UUDNRI
1945 dan Putusan MK yang sudah menolak judicial review untuk membolehkan perkawinan
beda Agama," terang HNW.

Ia lanjut menambahkan, "Dengan demikian MA dapat mendisiplinkan para Hakim di bawah


kewenangannya, agar dapat mengkoreksi keputusan yang tidak sesuai UUD, seperti
keputusan yang mengabulkan pernikahan beda Agama, dan tidak lagi membuat keputusan
yang tidak sesuai dengan Konstitusi yang berlaku yaitu UUDNRI 1945."

"Agar dengan demikian, terjagalah harmoni sosial ditengah masyarakat plural Agama,
bahkan para Hakim bisa menjadi contoh yang baik dalam sikap taat hukum dan konstitusi,
dan menjadi pembelajaran yang baik bagi Rakyat, agar keadilan dan kebenaran tetap bisa
ditegakkan di negara hukum Indonesia,” pungkas HNW.
BERITA 6
Jadi Perbincangan di Medsos, Publik Diminta Patuhi Putusan MK Soal Larangan

https://www.freepik.com/author/prostooleh
Ilustrasi menikah

Laporan Reporter Tribunnews.com, Naufal Lanten

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perbincangan soal pernikahan beda agama menjadi


ramai diperbincangan warganet, bahkan menjadi trending di jejaring sosial media.

Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Halal (Indonesia Halal Watch) Ikhsan Abdullah
menyesalkan masih banyaknya perdebatan soal pernikahan beda agama ini.

Padahal, kata dia, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak keseluruhan permohonan
pengesahan pernikahan beda agama sebagaimana Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 huruf f dan
Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tersebut, pada 31 Januari 2023 kemarin.

“Sayangnya, masih ada beberapa pihak yang berusaha mensiasati terjadinya pernikahan beda
agama dengan dalih hak asasi manusia atau kebebasan berekspresi,” kata Ikhsan Abdullah
lewat keterangannya, Selasa (7/2/2023).

Ia menambahkan bahwa keputusan tersebut berdasarkan diputuskan MK berdasarkan Undang


Undang No. 1 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa pernikahan yang sah adalah pernikahan
yang sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

UU terkait perkawinan itu sebelumnya juga sudah diuji materi hingga 9 kali yang semuanya
ditolak oleh MK.

“Dalam putusannya, MK juga tidak menemukan adanya perubahan keadaan dan kondisi
ataupun perkembangan baru terkait dengan persoalan konstitusionalitas keabsahan dan
pencatatan perkawinan,” ucap Ikhsan.

“Sehingga tidak terdapat urgensi bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian Mahkamah
pada putusan-putusan sebelumnya,” lanjut dia.
Di sisi lain, ia menyayangkan masih ada beberapa pihak yang berusaha menyiasati terjadinya
pernikahan beda agama dengan dalih hak asasi manusia atau kebebasan berekspresi.

Sekalipun negara menjamin kemerdekaan bagi setiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing, dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya.

Hal ini sebagaimana tertuang pada UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2, namun terdapat pembatasan
sebagaimana diatur oleh UUD 1945 Pasal 28J Ayat 2.

Ia pun berharap agar tidak ada warga negara yang melakukan penyelundupan hukum, dan
melakukan penyelundupan agama untuk menyiasati pernikahan beda agama.

“Karena apabila masih tetap dilakukan, berarti telah sengaja melawan Undang-Undang dan
Melanggar Hukum Agama,” tuturnya.

BERITA 7

Mahkamah Konstitusi Tolak Permohonan


Gugatan Pernikahan Beda Agama, Ini
Pertimbangannya
Rabu, 1 Februari 2023 11:28 WIB

Penulis: Rifqah

Editor: Daryono

lihat foto
Tribunnews.com/ Naufal Lanten

Suasana Sidang Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Uji Materi UU Perkawinan Beda Agama yang
dipimpin Ketua MK Anwar Usman, Selasa (31/1/2023). Mahkamah Konstitusi (MK) menolak
keseluruhan uji materi terkait pernikahan beda agama dalam Undang-undang (UU) Perkawinan.

Baca Selanjutnya:

Sosok Brian Tan Asal Tangerang yang Sedang Kuliah S3 Universitas Colorado AS
X

TRIBUNNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak keseluruhan uji materi terkait


pernikahan beda agama dalam Undang-undang (UU) Perkawinan.

Hal tersebut disampaikan oleh Ketua MK, Anwar Usman dalam sidang uji materi mengenai
pernikahan beda agama di Mahkamah Konstitusi pada Selasa (31/1/2023) kemarin.

“Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan seterusnya, amar putusan mengadili menolak
permohonan untuk seluruhnya,” ucap Anwar Usman membacakan putusan dalam sidang,
Selasa (31/1/2023).

Untuk diketahui, uji materi atau judical review Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).

Anwar menyampaikan bahwa Mahkamah sudah memberikan sejumlah penilaian terhadap


pasal yang diajukan pemohon.

Baca juga: Komisi VIII DPR RI Dukung Putusan MK yang Menolak Gugatan
Pernikahan Beda Agama
Oleh karena itu, MK dapat mengadili permohonan yang diajukan oleh pemohon, yakni
Ramos Petege seorang pemeluk agama Katolik yang ingin menikah dengan perempuan
beragama Islam.

Selain itu, Pemohon dalam perkara ini dinyatakan memiliki kedudukan hukum.

Namun pada penilaian ketiga pemohon, pokok permohonan dinyatakan tidak beralasan
menurut hukum.

Pertimbangan Hukum MK

Suasana Sidang Pleno Pengujian Materil Undang-Undang Pemilihan Umum di gedung Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, Kamis (26/1/2023). Mahkamah Konstitusi (MK) menolak keseluruhan uji materi
terkait pernikahan beda agama dalam Undang-undang (UU) Perkawinan. (Tribunnews.com/Naufal
Lanten)

Iklan untuk Anda: Kakek 120 tahun: "Pembersihan pembuluh darah sangatlah mudah!"

Advertisement by

Dilansir mkri.id, Hakim Konstitusi Enny Nurbangsih memnbacakan pertimbangan hukum


MK dalam putusan Nomor 24/PUU-XX/2022 mengenai perkara pengujian UU Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
sebagai berikut:

Keabsahan Perkawinan

Dalam pembacaan putusan tersebut, Enny menyampaikan bahwa yang menjadi pertimbangan
adalah mengenai keabsahan perkawinan.
Di mana keabsahan perkawinan merupakan domain agama melalui lembaga atau organisasi
keagamaan yang berwenang atau memiliki otoritas dalam memberikan penafsiran
keagamaan.

"Peran negara dalam hal ini menindaklanjuti hasil penafsiran yang diberikan oleh lembaga
atau organisasi tersebut," ucap Enny, Selasa (31/1/2023) kemarin.

Adapun, kata Enny mengenai pelaksanaan perkawinan oleh institusi negara adalah dalam
rangka memberikan kepastian dan ketertiban administrasi kependudukan sesuai dengan Pasal
28D ayat (1) UUD 1945.

Ilustrasi pernikahan. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak keseluruhan uji materi terkait pernikahan
beda agama dalam Undang-undang (UU) Perkawinan. (Pixabay.com/ StockSnap)

Selain itu, MK dalam pertimbangan hukumnya juga menyatakan bahwa dalam perkawinan
terdapat kepentingan dan tanggung jawab agama dan negara saling terikat erat.

“Maka melalui Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010,


MK telah memberikan landasan konstitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum
perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara
menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum,” kata Hakim
Konstitusi Enny Nurbaningsih.

Hak Asasi Manusia (HAM)


Suasana Sidang Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Uji Materi UU Perkawinan Beda Agama yang
dipimpin Ketua MK Anwar Usman, Selasa (31/1/2023). Mahkamah Konstitusi (MK) menolak
keseluruhan uji materi terkait pernikahan beda agama dalam Undang-undang (UU) Perkawinan.
(Tribunnews.com/ Naufal Lanten)

Terhadap konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 huruf f dan pasal 2 ayat (1) UU
1/1974 tersebut, MK mempertimbangkan HAM yang merupakan hak yang diakui oleh
Indonesia dan tertuang dalam konstitusi sebagai hak konstitusional warga negara Indonesia.

Namun, HAM yang berlaku di Indonesia harus sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia
yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa.

Enny menyebutkan bahwa jaminan perlindungan HAM secara universal sudah tertuang
dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR).

"Meskipun sudah dideklarasikan sebagai bentuk kesepakatan bersama negara-negara di


dunia, penerapan HAM di tiap-tiap negara disesuaikan pula dengan ideologi, agama, sosial,
dan budaya rakyat di negara masing-masing," kata Enny.

Berdasarkan pada rumusan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, terdapat dua hak yang dijamin
secara tegas yakni “hak membentuk keluarga” dan "hak melanjutkan keturunan”.

Baca juga: Komisi VIII DPR RI Dukung Putusan MK yang Menolak Gugatan
Pernikahan Beda Agama

Adapun frasa berikutnya, kata Enny menunjukkan bahwa ‘perkawinan yang sah’ merupakan
prasyarat dalam rangka perlindungan kedua hak yang disebutkan sebelumnya. Artinya,
perkawinan bukan diletakkan sebagai hak, melainkan sebagai prasyarat bagi pelaksanaan hak
membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan.
Ilustrasi keluarga. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak keseluruhan uji materi terkait pernikahan
beda agama dalam Undang-undang (UU) Perkawinan. ()

Sehingga berdasarkan uraian tersebut, maka telah jelas bahwa dalam konteks perlindungan
hak untuk menikah terdapat perbedaan mendasar antara UDHR dengan UUD 1945.

Sebagai negara hukum yang menegakkan supremasi konstitusi, maka tanpa


mengesampingkan hak asasi yang bersifat universal dalam UDHR sudah seharusnya MK
menjadikan UUD 1945 sebagai landasan utama dalam menilai hak konstitusional warga
negara.

“Meskipun Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 meletakkan perkawinan yang sah merupakan syarat
untuk melindungi hak membentuk keluarga dan hak untuk melanjutkan keturunan, akan
tetapi syarat tersebut bersifat wajib. Karena tidak dapat membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan apabila tidak dilakukan melalui perkawinan yang sah."

"Dengan menggunakan kaidah hukum, sesuatu yang menjadi syarat bagi suatu kewajiban
hukumnya menjadi wajib (mâ lâ yatiimmu alwâjibu illâ bihî fahuwa wâjib), maka
perkawinan yang sah juga merupakan hak konstitusional yang harus dilindungi,” ungkap
Enny.

Baca juga: Tolak Legalkan Nikah Beda Agama, MK Tegaskan Tak menghalangi
Kebebasan Memilih Kepercayaan

Sebagai informasi, sebelumnya perkara gugatan terkait pernikahan agama awalnya


dimohonkan oleh Ramos Petege pada 2022 lalu.

Ramos diketahui merupakan seorang penganut agama Katolik yang tidak bisa menikahi
pasangannya yang beragama Islam.

Sehingga hubungannya kandas dan gagal menikah dengan kekasihnya tersebut.


Kemudian, Ramos mengajukan permohonan uji materi terhadap UU Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak keseluruhan uji materi terkait pernikahan beda agama dalam
Undang-undang (UU) Perkawinan.

Dalam gugatannya, Ramos menyatakan bahwa jalinan asmaranya tersebut kandas karena
memiliki perbedaan agama.

Gugatan itu tercatat di laman MK dengan nomor 24/PUU-XX/2022.

Menurut Ramos, syarat sah suatu perkawinan yang diatur dalam UU Nomor 1/1974
memberikan ruang seluas-luasnya bagi hukum agama dan kepercayaan dalam menafsirkan
sahnya suatu perkawinan.

Namun, UU tidak memberikan pengaturan jika perkawinan tersebut dilaksanakan oleh orang
yang berbeda keyakinan.

"Ketidakpastian tersebut secara aktual telah melanggar hak-hak konstitusional yang dimiliki
pemohon, sehingga tidak dapat melangsungkan perkawinan karena adanya intervensi oleh
golongan yang diakomodasi negara," kata Ramos Petege dalam gugatan yang diajukan ke
MK, Selasa (8/2/2022) lalu.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Mahkamah Konstitusi Tolak
Permohonan Gugatan Pernikahan Beda Agama, Ini Pertimbangannya,
https://www.tribunnews.com/nasional/2023/02/01/mahkamah-konstitusi-tolak-permohonan-
gugatan-pernikahan-beda-agama-ini-pertimbangannya?page=all.
Penulis: Rifqah
Editor: Daryono
BERITA 8

Komisi VIII DPR RI Dukung Putusan MK


yang Menolak Gugatan Pernikahan Beda
Agama
Rabu, 1 Februari 2023 08:50 WIB

Penulis: Chaerul Umam

Editor: Dewi Agustina

lihat foto

DPR RI

Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang
menolak gugatan pernikahan beda agama.
Baca Selanjutnya:

Marsda TNI Muhammad Tawakal Syaeful Haq Sidik


X

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf


mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan pernikahan beda
agama.

Bukhori mengatakan putusan MK sejalan dengan amanat konstitusi dan aspirasi umat Islam
yang telah jauh-jauh hari disuarakan.

"Kami mengapresiasi putusan MK tersebut mengingat sejak awal kami menentang nikah
beda agama karena selain bertentangan dengan konstitusi, juga bertentangan dengan ajaran
Islam," kata Bukhori kepada wartawan di Jakarta, Rabu (1/2/2023).

Anggota Komisi Agama DPR ini mengungkapkan, pihaknya telah menyuarakan penentangan
tersebut sejak bulan Maret dan Desember 2022, khususnya merespons pernikahan beda
agama yang terjadi di Semarang dan putusan Pengadilan Negeri Tangerang yang
mengesahkan pernikahan beda agama.

Baca juga: Tolak Uji Materi Pernikahan Beda Agama, Ini Penjelasan Mahkamah
Konstitusi

"Pernikahan beda agama bertabrakan dengan isi Pasal 28J UUD 1945 Ayat 2 yang
menjelaskan bahwa setiap orang wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dalam memenuhi hak dan kebebasan."
"Sementara di sisi lain, HAM dalam perspektif konstitusi kita tidak bermakna liberal. Dia
dibatasi oleh pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum,” ucap
legislator PKS ini.

Lebih lanjut, Anggota DPR Dapil Jateng 1 ini meminta polemik pernikahan beda agama
sudah seharusnya diakhiri.

Menurutnya, negara, melalui Mahkamah Konstitusi, telah menerbitkan fatwanya terkait


pandangan hukum soal pernikahan beda agama.

"Sudah tepat jika hal ini dikembalikan pada UU Perkawinan. Karena itu setiap pihak sudah
sepatutnya menghormati putusan yang telah dibuat oleh MK," ujarnya.

"Negara telah memberikan sikap yang jelas melalui putusan tersebut sehingga perlu menjadi
perhatian kita bersama dalam upaya memelihara suasana kerukunan umat beragama yang
saling menghormati dan menghargai ajaran masing-masing," ujarnya.

Baca juga: MUI Apresiasi MK Tolak Sahkan Pernikahan Beda Agama: MK Tetap
Menjadi Guardian of Constitution

MK Tolak Uji Materi Mengenai Pernikahan Beda Agama

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak secara keseluruhan uji


materi mengenai pernikahan beda agama dalam UU Perkawinan pada Selasa (31/1/2023).

Untuk diketahui, Uji materi atau judicial review Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2019
tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).

"Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan seterusnya, amar putusan mengadili menolak
permohonan untuk seluruhnya," ucap Ketua MK Anwar Usman diiringi ketukan palu
mengesahkan.

Ia mengatakan bahwa Mahkamah telah memberikan sejumlah penilaian terhadap pasal yang
diajukan oleh pemohon, sehingga MK dapat mengadili permohonan ini.

Selain itu, pemohon dalam perkara ini dinyatakan memiliki kedudukan hukum. Namun pada
penilaian ketiga, pokok permohonan dinyatakan tidak berlasan menurut hukum.

Adapun dalam putusan ini terdapat dua Hakim MK yang memiliki pandangan berbeda terkait
Undang-Undang Perkawinan ini, di antaranya Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan Hakim
Konstitusi Daniel Yusmic PF.

Untuk diketahui, perkara ini mulanya dimohonkan oleh Ramos Petege. Ramos merupakan
penganut agama Katolik yang tak bisa menikahi pasangannya yang beragama Islam.

E Ramos Petege mengajukan permohonan uji materi terhadap UU Perkawinan Nomor 1


Tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia merupakan seorang warga beragama Katolik yang sebelumnya gagal menikahi kekasihnya
lantaran beragama Islam.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi Tolak Gugatan Perkawinan Beda Agama

Dalam gugatannya, Ramos Petege menyatakan bahwa jalinan asmaranya kandas karena
kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda.

Gugatan itu tercatat di laman MK dengan nomor 24/PUU-XX/2022.

Menurut Ramos Petege, syarat sah suatu perkawinan yang diatur dalam UU Nomor 1/1974
memberikan ruang seluas-luasnya bagi hukum agama dan kepercayaan dalam menafsirkan
sahnya suatu perkawinan.

Namun, UU tidak memberikan pengaturan jika perkawinan tersebut dilaksanakan oleh


mereka yang memiliki keyakinan dan agama yang berbeda.

"Ketidakpastian tersebut secara aktual telah melanggar hak-hak konstitusional yang dimiliki
pemohon, sehingga tidak dapat melangsungkan perkawinan karena adanya intervensi oleh
golongan yang diakomodasi negara," kata Ramos Petege dalam gugatan yang diajukan ke
MK, dikutip Kompas.com, Selasa (8/2/2022).

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Komisi VIII DPR RI Dukung
Putusan MK yang Menolak Gugatan Pernikahan Beda Agama,
https://www.tribunnews.com/nasional/2023/02/01/komisi-viii-dpr-ri-dukung-putusan-mk-
yang-menolak-gugatan-pernikahan-beda-agama?page=all.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Dewi Agustina

BERITA 9

Tolak Uji Materi Pernikahan Beda Agama,


Ini Penjelasan Mahkamah Konstitusi
Selasa, 31 Januari 2023 17:07 WIB

Penulis: Naufal Lanten

Editor: Johnson Simanjuntak


lihat foto

Tribunnews.com/ Naufal Lanten

Suasana Sidang Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Uji Materi UU Perkawinan Beda Agama yang
dipimpin Ketua MK Anwar Usman, Selasa (31/1/2023).

Baca Selanjutnya:

Polisi Selebriti-BKKBN Apresiasi Asisten SDM Kapolri hingga Kapolres dalam Upaya Penurunan
Stunting
X
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengapresiasi
keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak secara keseluruhan uji materi
mengenai pernikahan beda agama dalam UU Perkawinan.

Adapun uji materi atau judicial review tersebut dilakukan kepada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor
16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
Perkawinan).

Keputusan itu disampaikan Ketua MK Anwar Usman bersama 8 hakim konstitusi lainnya
saat Sidang Pleno di kantor MK, Jakarta Pusat, Selasa (31/1/2023).

Dalam pertimbangannya, mahkamah menyimpulkan bahwa MK berwenang mengadili


permohonan tersebut, sebab pihak yang mengajukan permohonan memiliki kedudukan
hukum atau legal standing.

Di sisi lain, Mahkamah menilai permohonan tidak memiliki alasan menurut hukum secara
keseluruhan. Sehingga, berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, MK menolak uji
materi terkait UU Perkawinan tersebut.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa Mahkamah memiliki sejumlah


pertimbangan, di antaranya termuat dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46 Tahun
2010.

Sehingga berdasarkan pertimbangan yang ada, Mahkamah menilai bahwa urusan perkawinan
warga negara diatur oleh lembaga atau organisasi keagamaan yang berwenang atau memiliki
otoritas dalam memberikan penafsiran keagamaan.

“Peran negara dalam hal ini menindaklanjuti hasil penafsiran yang diberikan oleh lembaga
organisasi keagamaan tersebut,” kata Enny.

“Adapun mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan oleh institusi negara adalah dalam
rangka memberikan kepastian, dan ketertiban administrasi kependudukan sesuai semangat
pasal 28d ayat 1 UUD 1945,” lanjut dia.

Iklan untuk Anda: Kakek 120 tahun: "Pembersihan pembuluh darah sangatlah mudah!"

Advertisement by

Di sisi lain, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan, ketentuan Pasal 2 Ayat (1)
UU Perkawinan bukan berarti menghambat atau menghalangi kebebasan setiap orang untuk
memilih agama dan kepercayaannya.

"Kaidah pengaturan dalam norma Pasal 2 Ayat (1) adalah perihal perkawinan yang sah
menurut agama dan kepercayaan, bukan mengenai hak untuk memilih agama dan
kepercayaan," kata dia.
Kata Wahiduddin, pilihan untuk memeluk agama dan kepercayaan tetap menjadi hak masing-
masing orang untuk memilih, menganut, dan meyakininya, sebagaimana dijamin Pasal 29
Ayat (2) UUD 1945.

Baca juga: Uji Materi UU Perkawinan Ditolak MK, Pernikahan Beda Agama Tetap
Dilarang

Selain itu, MK juga menilai bahwa tidak ada perubahan keadaan dan kondisi atau
perkembangan baru terkait persoalan konstitusionalitas keabsahan dan pencatatan
perkawinan.

Atas dasar itu, MK berpandangan tidak ada urgensi bagi MK untuk bergeser dari pendirian
pada putusan-putusan sebelumnya.

"Mahkamah tetap pada pendiriannya terhadap konstitusionalitas perkawinan yang sah adalah
yang dilakukan menurut agama dan kepercayaannya," kata Wahiduddin.

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman sebelumnya memutuskan menolak secara


keseluruhan uji materi terkait pernikahan beda agama dalam UU Perkawinan.

“Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan seterusnya, amar putusan mengnadili


menolak permohonan untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman diiringi ketukan
palu mengesahkan.

Ia mengatakan bahwa Mahkamah telah memberikan sejumlah penilaian terhadap pasal yang
diajukan oleh pemohon, sehingga MK dapat mengadili permohonan ini.

Selain itu, pemohon dalam perkara ini dinyatakan memiliki kedudukan hukum. Namun pada
penilaian ketiga, pokok permohonan dinyatakan tidak berlasan menurut hukum.

Adapun dalam putusan ini terdapat dua Hakim MK yang memiliki pandangan berbeda terkait
Undang-Undang Perkawinan ini, di antaranya Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan Hakim
Konstitusi Daniel Yusmic PF.

Untuk diketahui, perkara ini mulanya dimohonkan oleh Ramos Petege. Ramos merupakan
penganut agama Katolik yang tak bisa menikahi pasangannya yang beragama Islam.

E Ramos Petege mengajukan permohonan uji materi terhadap UU Perkawinan Nomor 1


Tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia merupakan seorang warga beragama Katolik yang sebelumnya gagal menikahi kekasihnya
lantaran beragama Islam.

Dalam gugatannya, Ramos Petege menyatakan bahwa jalinan asmaranya kandas karena
kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda.

Gugatan itu tercatat di laman MK dengan nomor 24/PUU-XX/2022.


Menurut Ramos Petege, syarat sah suatu perkawinan yang diatur dalam UU Nomor 1/1974
memberikan ruang seluas-luasnya bagi hukum agama dan kepercayaan dalam menafsirkan
sahnya suatu perkawinan.

Namun, UU tidak memberikan pengaturan jika perkawinan tersebut dilaksanakan oleh


mereka yang memiliki keyakinan dan agama yang berbeda.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Tolak Uji Materi Pernikahan Beda
Agama, Ini Penjelasan Mahkamah Konstitusi,
https://www.tribunnews.com/nasional/2023/01/31/tolak-uji-materi-pernikahan-beda-agama-
ini-penjelasan-mahkamah-konstitusi?page=all.
Penulis: Naufal Lanten
Editor: Johnson Simanjuntak

BERITA 10
MUI Apresiasi MK Tolak Sahkan Pernikahan Beda Agama: MK Tetap Menjadi
Guardian of Constitution

Tribunnews.com/Naufal Lanten
Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (Wasekjen MUI) Bidang Hukum dan
HAM, Ihsan Abdullah saat ditemui selepas menghadiri sidang putusan Mahkamah Konstitusi
terkait pernikahan beda agama dalam UU Perkawinan, Selasa (31/1/2023).
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengapresiasi
keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak secara keseluruhan uji materi
mengenai pernikahan beda agama dalam UU Perkawinan.

Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (Wasekjen MUI) Bidang Hukum dan
HAM, Ihsan Abdullah menyampaikan sikap MUI terkait keputusan tersebut.

MUI, kata dia, berterima kasih atas putusan MK menolak uji materi terkait UU Perkawinan
ini.

Menurutnya, dengan keputusan ini, maka MK tetap menjadi penjaga konstitusi nasional
seutuhnya.

“Sikap kami dari MUI, yang pertama adalah menyanpaikan terima kasih tentu kepada
Mahkamah Konstitusi yang pada hari ini tetap menjadi the guardian of constitution, atau
penjaga konstitusi,” kata Ihsan Abdullah selepas sidang Putusan di MK, Jakarta Pusat, Selasa
(31/1/2023).

Khatib Surya PBNU ini menambahkan keputusan MK ini sekaligus menunjukkan bahwa MK
merupakan penafsir tunggal dari Undang-Undang.

MUI, lanjut dia, memberi perhatian khusus terkait uji materi UU Perkawinan yang pada hari
ini diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.

Dengan ditolaknya uji materi terhadap Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang
Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), maka hal ini
sekaligus memperkuat kedudukan aturan tersebut.

“Dan untuk itu kami menghaturkan terima kasih pada MK sekaligus kepada umat Islam, tentu
ini pesannya bahwa kalau menikah ya harus sesuai dengan ketentuan UU yaitu UU No. 1
tahun 1974,” ucap Ihsan.

Lebih jauh Staf Wakil Presiden ini mengatakan bahwa dalam prosesnya, keputusan ini telah
melalui permintaan keterangan dan kesaksian dari perwakilan keagamaan di Indonesia.

Di antaranya ialah agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha hingga Konghucu.

Kesaksian itu nenyebutkan bahwa sejatinya memang pernikahan merupakan otoritas dari
lembaga keagamaan.

Sehingga, Ihsan menilai keputusan Mahkamah Konstitusi menolak uji materi terkait UU
Perkawinan sudah tepat.

“Sangat tepat dan itu sesuai dengan MK sebagai penjaga konstitusi,” tuturnya.

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman sebelumnya memutuskan menolak secara


keseluruhan uji materi terkait pernikahan beda agama dalam UU Perkawinan.
“Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan seterusnya, amar putusan mengnadili
menolak permohonan untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman diiringi ketukan
palu mengesahkan.

Ia mengatakan bahwa Mahkamah telah memberikan sejumlah penilaian terhadap pasal yang
diajukan oleh pemohon, sehingga MK dapat mengadili permohonan ini.

Selain itu, pemohon dalam perkara ini dinyatakan memiliki kedudukan hukum. Namun pada
penilaian ketiga, pokok permohonan dinyatakan tidak berlasan menurut hukum.

Adapun dalam putusan ini terdapat dua Hakim MK yang memiliki pandangan berbeda terkait
Undang-Undang Perkawinan ini, di antaranya Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan Hakim
Konstitusi Daniel Yusmic PF.

Untuk diketahui, perkara ini mulanya dimohonkan oleh Ramos Petege. Ramos merupakan
penganut agama Katolik yang tak bisa menikahi pasangannya yang beragama Islam.

E Ramos Petege mengajukan permohonan uji materi terhadap UU Perkawinan Nomor 1


Tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia merupakan seorang warga beragama Katolik yang sebelumnya gagal menikahi kekasihnya
lantaran beragama Islam.

Dalam gugatannya, Ramos Petege menyatakan bahwa jalinan asmaranya kandas karena
kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda.

Gugatan itu tercatat di laman MK dengan nomor 24/PUU-XX/2022.

Menurut Ramos Petege, syarat sah suatu perkawinan yang diatur dalam UU Nomor 1/1974
memberikan ruang seluas-luasnya bagi hukum agama dan kepercayaan dalam menafsirkan
sahnya suatu perkawinan.

Namun, UU tidak memberikan pengaturan jika perkawinan tersebut dilaksanakan oleh


mereka yang memiliki keyakinan dan agama yang berbeda.

"Ketidakpastian tersebut secara aktual telah melanggar hak-hak konstitusional yang dimiliki
pemohon, sehingga tidak dapat melangsungkan perkawinan karena adanya intervensi oleh
golongan yang diakomodasi negara," kata Ramos Petege dalam gugatan yang diajukan ke
MK, dikutip Kompas.com, Selasa (8/2/2022).

BERITA 11
Uji Materi UU Perkawinan Ditolak MK, Pernikahan Beda Agama Tetap Dilarang
Tribunnews.com/Naufal Lanten
Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (Wasekjen MUI) Bidang Hukum dan
HAM, Ihsan Abdullah saat ditemui selepas menghadiri sidang putusan Mahkamah Konstitusi
terkait pernikahan beda agama dalam UU Perkawinan, Selasa (31/1/2023).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak secara


keseluruhan uji materi mengenai pernikahan beda agama dalam UU Perkawinan pada Selasa
(31/1/2023).

Adapun Uji materi atau judicial review tersebut dilakukan kepada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor
16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
Perkawinan).

Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (Wasekjen MUI) Bidang Hukum dan
HAM, Ihsan Abdullah mengatakan bahwa dengan keputusan ini, maka pernikahan dengan
perbedaan agama dinyatakan tidak sah.

“Jadi putusan Mahkamah Konstitusi adalah bahwa pernikahan beda agama adalah tidak sah.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan tidak sesuai dengan UUD Republik
Indonesia 1945, sesuai Pasal 28 dan Pasal 29,” kata Ihsan Abdullah selepas sidang Putusan di
MK, Jakarta Pusat.

Dengan demikian, maka Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pernikahan yang sesuai
dengan ketentuan negara ialah sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 16
Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

“Itu sahnya pernikahan itu harus dilakukan disahkan sesuai dengan agamanya masing-masing
dan negara itu hanya mencatat, tidak mengesahkan,” ucap Khatib Surya PBNU ini.

“Jadi pernikahan di luar itu, berarti pernikahan yang tidak sah,” lanjut dia.

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman sebelumnya memutuskan menolak secara


keseluruhan uji materi terkait pernikahan beda agama dalam UU Perkawinan.

“Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan seterusnya, amar putusan mengnadili


menolak permohonan untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman diiringi ketukan
palu mengesahkan.
Ia mengatakan bahwa Mahkamah telah memberikan sejumlah penilaian terhadap pasal yang
diajukan oleh pemohon, sehingga MK dapat mengadili permohonan ini.

Selain itu, pemohon dalam perkara ini dinyatakan memiliki kedudukan hukum. Namun pada
penilaian ketiga, pokok permohonan dinyatakan tidak berlasan menurut hukum.

Adapun dalam putusan ini terdapat dua Hakim MK yang memiliki pandangan berbeda terkait
Undang-Undang Perkawinan ini, di antaranya Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan Hakim
Konstitusi Daniel Yusmic PF.

Untuk diketahui, perkara ini mulanya dimohonkan oleh Ramos Petege. Ramos merupakan
penganut agama Katolik yang tak bisa menikahi pasangannya yang beragama Islam.

E Ramos Petege mengajukan permohonan uji materi terhadap UU Perkawinan Nomor 1


Tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia merupakan seorang warga beragama Katolik yang sebelumnya gagal menikahi kekasihnya
lantaran beragama Islam.

Dalam gugatannya, Ramos Petege menyatakan bahwa jalinan asmaranya kandas karena
kedua belah pihak memiliki agama dan keyakinan yang berbeda.

Gugatan itu tercatat di laman MK dengan nomor 24/PUU-XX/2022.

Menurut Ramos Petege, syarat sah suatu perkawinan yang diatur dalam UU Nomor 1/1974
memberikan ruang seluas-luasnya bagi hukum agama dan kepercayaan dalam menafsirkan
sahnya suatu perkawinan.

Namun, UU tidak memberikan pengaturan jika perkawinan tersebut dilaksanakan oleh


mereka yang memiliki keyakinan dan agama yang berbeda.

"Ketidakpastian tersebut secara aktual telah melanggar hak-hak konstitusional yang dimiliki
pemohon, sehingga tidak dapat melangsungkan perkawinan karena adanya intervensi oleh
golongan yang diakomodasi negara," kata Ramos Petege dalam gugatan yang diajukan ke
MK, dikutip Kompas.com, Selasa (8/2/2022).

BERITA 12
Tidak Bisa Nikahi Pasanganya yang Beda Agama, Seorang Pria Gugat UU Perkawinan
ke MK
Pria bernama E.Ramos Petege melayangkan gugatan ke MK terkait UU Pekawinan karena
membuatnya tidak bisa menikahi pasangannya yang beda agama.

TRIBUNNEWS.COM - Gugatan terkait UU Perkawinan dilayangkan seorang pria asal


Mapia Tengah, Kabupaten Dogiyai, Papua ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pria tersebut bernama E Ramos Petege.

Dikutip dari laman MK, gugatan tersebut diterima oleh MK pada Jumat (4/2/2022).

Sementara untuk nomor gugatan adalah 17/PUU/PAN.MK/AP3/02/2022.

Kemudian isi gugatan dari Ramos Petege tertulis, dirinya yang beragama Katholik akan
menikah dengan seorang wanita yang memeluk agama Islam.

Diketahui hubungan dengan pasangannya tersebut telah terjalin selama tiga tahun.

Namun dikarenakan keduanya memiliki agama yang berbeda, maka pernikahan pun
dibatalkan.

Akibat dibatalkannya pernikahannya tersebut, Ramos Petege menggugat UU Perkawinan


Nomor 1 Tahun 1974.

Menurutnya syarat sah suatu pernikahan yang diatur dalam UU Nomor 1/1974 akan
memberikan ruang seluas-luasnya bagi hukum agama dan kepercayaan dalam menafsirkan
sahnya suatu perkawinan.

Hanya saja, UU tidak memberikan pengaturan apabila pernikahan dilaksanakan oleh mereka
yang memiliki keyakinan dan agama yang berbeda.

"Ketidakpastian tersebut secara aktual telah melanggar hak-hak konstitusional yang dimiliki
Pemohon, sehingga ia tidak melangsungkan perkawinannya karena adanya intervensi oleh
golongan yang diakomodir negara," tulis Petege dalam gugatannya, dikutip Tribunnews,
Selasa (8/2/2022).

Kemudian secara teknis, Ramos Petege meminta MK untuk menyatakan UU Nomor 1 Tahun
1974 tenang Perkawinan tidak lagi relevan dalam mengolah kebutuhan penegakan HAM.

Sehingga ia menginginkan agar majelis hakim menyatakan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1


Tahun 1974 untuk ditambahkan aturan.

Adapun aturan tambahan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Pasal 2 ayat 1

Perkawinan adalah sah apabila dilakukan berdasarkan pada kehendak bebas para mempelai
dan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Pasal 2 ayat 2
Perkawinan dengan berbeda agama dan kepercayaannya dapat dilakukan dengan memilih
salah satu meode pelaksanaan berdasarkan pada kehendak bebas oleh para mempelai dengan
pengukuhan kembali di muka pengadilan.

Pasal 2 ayat 3

Tiap-tap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Gugatan Serupa Pernah Dilayangkan

Gugatan terkait UU Perkawinan dalam konteks pernikahan beda agama ternyata juga pernah
dilayangkan kepada MK.

Dikutip dari Kompas.com, gugatan tersebut dilakukan oleh seorang mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Anbar Jayadi bersama empat rekannya.

Gugatan itu dilakukan pada tahun 2014.

Mereka menganggap UU No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 telah menyebabkan ketidakpastian


hukum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia.

Menurut Anbar, imbas karena adanya UU tersebut adalah masyarakat Indonesia yang hendak
melangsungkan pernikahan beda agama, justru menghindari pasal tersebut dengan cara
penyelundupan hukum.

Yaitu dengan menggunakan modus pernikahan di luar negeri atau juga pernikahan secara
adat.

"Jadi pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974 itu justru berujung penyelundupan hukum karena
seharusnya konstitusi memberikan kepastian hukum," ujar Anbar pada 4 September 1974.

Selain itu, Anbar juga menambahkan mengenai negara untuk tidak lagi terpaku dengan nilai-
nilai luhur agama dan kepercayaan setiap warga negaranya, sehingga biarkan masyrakat yang
memutuskan berdasarkan hati nurani dan keyakinannya sendiri.
Alasan tersebut pun menjadi dasar Anbar dan keempat rekannya untuk meminta MK
menyatakan pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 174 tentang perkawinan di mana bertentangan
dengan UUD 1945.

Adapun UUD 1945 yang dimaksud adalah pasal 27 ayat 1 dan pasal 28B ayat 1, pasal 28D
ayat 1, pasal 28E ayat 1 dan ayat 2, pasal 28I ayat 1, serta pasal 29 ayat 2.

Cara Menikah Beda Agama secara Legal

Dikutip dari Kompas TV terdapat dua cara untuk menikah beda agama di Indonesia.

Hal ini tertulis dalam jurnal berjudul "Kajian Hukum terhadap Perkawinan Beda Agama
Menurut Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam".

Jurnal ini dimuat dalam Jurnal Hukum Samudra Keadilan Volume 10 ahun 2015.

Cara pertama yang dapat dilakukan adalah dengan 'mengakali' UU Perkawinan.

Hal yang dapat dilakukan adalah dengan cara salah satu pihak melakukan 'perpindahan
agama sementara' dan mengikuti upacara perkawinan yang sah berdasarkan salah satu agama.

Sehingga hal tersebut akan memenuhi syarat perkawinan yang sah menurut pasal 2 ayat 1 UU
No 1 Tahun 1974.

Kemudian dua pihak yang menikah kembali memeluk agama masing-masing.

Lantas, cara kedua adalah dengan menempuh berkat Putusan MA No. 1400K/Pdt/1986 yang
memperbolehkan Kantor Catatan Sipil untuk melangsungkan pernikahan beda agama.

Untuk lembaga yang bertugas mencatat pernikahan adalah Kantor Catatan Sipil dan Kantor
Urusan Agama.

Mengenai keluarnya putusan tersebut berdasarkan pasangan beda agama Andy Vonny Gani
P. dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan.

Keduanya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan kemudian diperbolehkan


untuk menikah beda agama.

Putusan Mahkamah Agung (MA) tersebut karena pasangan dianggap tidak menghiraukan
peraturan agama sehingga tidak ada halangan untuk menikah secara sah.

Anda mungkin juga menyukai