Anda di halaman 1dari 21

12

BAB II

INSTRUMEN HUKUM HAM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL


YANG BERKAITAN DENGAN PENAHANAN

A. Hak Asasi Manusia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa


Abad ke-20 dapat dilihat sebagai masa di mana kesadaran tentang
pentingnya hak-hak, khususnya hak-hak asasi manusia, sangat menonjol
dibandingkan dengan abad-abad sebelumnya.13 Hal ini dapat dilihat dari
berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang ditandai dengan
dideklarasikannya Piagam PBB. Kepedulian Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) terhadap kemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar terlihat pada Piagam PBB yaitu Pasal 1 ayat (3) yang
secara jelas menyebutkan “…memajukan dan mendorong penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar
seluruh umat manusia tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa,
atau agama”. Ide untuk membuat “ketentuan internasional tentang hak
asasi manusia” juga dianggap oleh banyak pihak telah tersirat dalam
piagam tersebut.
Pasal 68 Piagam PBB menyebutkan bahwa “Dewan Ekonomi dan
Sosial akan membentuk komisi-komisi di bidang ekonomi dan sosial untuk
memajukan hak-hak asasi manusia, dan komisi-komisi lainnya apabila
diperlukan untuk menjalankan tugas-tugasnya” Dewan Ekonomi dan
Sosial membentuk Komisi Hak Asasi Manusia di awal 1946. Dua tahun
kemudian, pada tanggal 10 Desember 1948 dideklarasikan “Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia” (DUHAM). DUHAM diproklamirkan oleh

13
Frans Ceunfin SVD, ed., op.cit., hal. xiii.
13

Majelis Umum PBB sebagai “standar umum pencapaian bagi semua


orang dan semua bangsa”.14
DUHAM sebagai soft law yang berarti tidak mengikat secara hukum
(non legally binding), tidak cukup untuk kemajuan dan perlindungan bagi
hak-hak asasi manusia. Oleh sebab itu, Komisi Hak Asasi Manusia
merancang ketentuan hukum yang legally binding. Rancangan tersebut
ditetapkan oleh Majelis Umum melalui resolusi 2200 A (XXI) tertanggal 16
Desember 1966, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik.
Di dalam kedua kovenan tersebut terdapat dua jenis hak, yaitu hak
yang tidak boleh dilanggar dalam artian hak-hak ini tidak boleh dikurangi
atau ditunda pelaksanaannya meskipun dalam keadaan khusus (non-
derogable rights) dan hak yang dalam keadaan tertentu dapat ditunda
pelaksanaannya (derogable rights). Hak-hak yang masuk dalam daftar
hak yang tidak boleh ditunda pelaksanannya adalah hak untuk hidup,
kebebasan dari tindakan penyiksaan, dari perlakuan yang tidak manusiawi
dan merendahkan martabat, kebebasan dari perbudakan atau
perhambaan, kebebasan dari undang-undang ex post facto (berlaku surut)
serta kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama.15
Untuk menegakkan hak asasi manusia, tidak hanya PBB dengan
badan-badannya saja yang bekerja dan melaksanakan tugasnya tetapi
juga diperlukan peran pemerintah yang membantu. Sebagai contoh, hak
atas pemeriksaan pengadilan yang jujur hanya dapat diwujudkan jika
cukup tersedia hakim yang terdidik untuk menjalankan pemeriksaan
pengadilan seperti itu dan jika aparat kehakiman memiliki peralatan teknis
yang diperlukan untuk itu.16 Hak untuk turut serta dalam pemerintahan,
“secara langsung atau dengan memilih wakil secara bebas” (DUHAM,
1414
Geoffrey Robertson, op.cit., hal. 39.
15
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, terjemahan A. Hadyana Pudjaatmaka
(Jakarta: Graffiti, 1994), hal. 56.
16
Peter R. Baehr, Hak-hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri, terjemahan
Somardi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), hal. 8.
14

Pasal 21), memerlukan diadakannya pemilihan umum yang bebas dan


rahasia oleh pemerintah.17

B. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia


Setiap orang berhak atas kebebasan pribadi. Hal ini merupakan hak
asasi manusia yang fundamental. Hak asasi manusia ini disebutkan dalam
6 instrumen hukum internasional yaitu Pasal 3 DUHAM, Pasal 9 ICCPR,
Pasal 6 African Charter, Pasal 1 American Declaration, Pasal 7 American
Convention, Pasal 5 European Convention.18
Pemerintah dapat mengurangi kebebasan rakyatnya tetapi dalam
keadaan tertentu, misalkan rakyat tersebut melakukan tindak kriminal,
karena sejak dulu hingga sekarang hukuman penahanan masih
merupakan hukuman yang paling sering dipakai untuk menghukum
seorang kriminal. Meskipun demikian, standar hak asasi manusia
internasional menyediakan pasal-pasal yang dapat memastikan bahwa
orang tersebut tidak dikurangi kebebasannya secara sewenang-wenang
atau tidak sesuai hukum.
Dalam rangka melindungi hak atas kebebasan pribadi, penahanan
secara sewenang-wenang telah diatur dalam Pasal 9 DUHAM yang
menyebutkan bahwa “Tak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau
dibuang dengan sewenang-wenang”. Pasal ini menyebutkan secara
gamblang bahwa semua orang tidak boleh ditangkap, ditahan, atau
dibuang secara sewenang-wenang, tetapi Pasal 9 DUHAM ini tidak
memberikan penjelasan atau keterangan batas-batas suatu penahanan
dapat dianggap atau menjadi sewenang-wenang.
Komisi Hak Asasi Manusia dalam hal ini menggunakan kriteria
pragmatis walaupun Komisi ini tidak mendefinisikan istilah “sewenang-
wenang”, komisi ini menganggap segala tindakan perampasan
kemerdekaan (penahanan) yang karena satu atau lain hal berlawanan
17
Ibid.
18
Amnesty International Fair Trial Manuals, (On-line), tersedia di:
http://www.amnesty.org/ailib/intcam/fairtrial/indxftm_a.htm#1.
15

dengan ketentuan-ketentuan internasional yang dinyatakan dalam


DUHAM atau dalam instrumen-instrumen internasional yang relevan yang
telah diratifikasi oleh negara-negara pihak (resolusi 1991/42, dan
diperjelas melalui resolusi 1997/50) sebagai sewenang-wenang.19
Di dalam lembar fakta HAM terbitan Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia disebutkan bahwa:

“…resolusi 1997/50 menganggap bahwa perampasan


kemerdekaan (penahanan) bukanlah tindakan sewenang-wenang
apabila tindakan tersebut terjadi akibat keputusan akhir yang diambil
oleh institusi hukum domestik dan yang (a) sesuai dengan hukum
domestik; dan (b) sesuai dengan standar-standar internasional yang
relevan yang diatur dalam DUHAM dan instrumen-instrumen
internasional yang relevan yang telah diterima oleh negara-negara
bersangkutan.”20

Kutipan di atas merupakan kategori yang dikeluarkan dalam resolusi


1997/50 oleh Komisi Hak Asasi Manusia. Berdasarkan kategori b yang
menyatakan bahwa penahanan harus sesuai dengan standar-standar
internasional yang relevan yang diatur dalam DUHAM dan instrumen
internasional relevan lainnya. Maka di dalam DUHAM terdapat pasal-pasal
yang dianggap relevan terhadap perampasan kemerdekaan, pasal-pasal
tersebut berisi hak-hak asasi manusia, yang apabila pasal-pasal tersebut
dilanggar maka perampasan kemerdekaan tersebut dianggap sewenang-
wenang.
Pasal 7 DUHAM, menyebutkan bahwa semua orang sama di depan
hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa
diskriminasi. Semua orang berhak atas perlindungan yang sama terhadap
setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan pernyataan ini dan
terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam itu.
Hak atas peradilan yang bebas dan tidak memihak juga terdapat
dalam DUHAM yaitu yang disebutkan dalam Pasal 10 “Setiap orang

19
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, op.cit., hal. 455.
2020
Ibid.
16

berhak, dalam persamaan yang penuh, atas pemeriksaan yang adil dan
terbuka oleh peradilan yang bebas dan tidak memihak, dalam penentuan
hak dan kewajibannya serta dalam setiap tuduhan pidana terhadapnya.”
Dalam setiap perampasan kemerdekaan, kebebasan bergerak
seseorang menjadi terbatas. Hak untuk bebas bergerak terdapat pada
Pasal 13 DUHAM, selain hak untuk bebas bergerak, Pasal 13 DUHAM
juga menyebutkan bahwa setiap orang berhak meninggalkan suatu
negara termasuk negaranya sendiri dan berhak kembali ke negara
asalnya.
Kebebasan berpikir, hati nurani dan agama merupakan salah satu hak
yang terdapat dalam DUHAM, hak ini tidak boleh dilanggar. Apabila
seseorang ditangkap dengan alasan pemikirannya atau agamanya maka
penangkapan tersebut sewenang-wenang. Hak kebebasan berpikir, hati
nurani, dan beragama disebut dalam Pasal 18 DUHAM.
Selain kebebasan berpikir, terdapat juga hak atas kebebasan
mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hak ini termasuk
kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari,
menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media
apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah). Hak ini
disebut dalam DUHAM pada Pasal 19.
Setiap orang juga berhak untuk turut serta dalam pemerintahan
negerinya, baik secara langsung atapun melalui wakil-wakil yang dipilih
dengan bebas, selain itu setiap orang juga berhak atas kesempatan yang
sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya. Hak ini
terdapat dalam Pasal 21 DUHAM. Pada Pasal 21 ayat (3) disebutkan juga
bahwa kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah.
Kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan
secara berkala dan jujur dan yang dilakukan menurut hak pilih yang
bersifat umum dan yang tidak membeda-bedakan, dan dengan
pemungutan suara yang rahasia ataupun menurut cara-cara lain yang
menjamin kebebasan memberikan suara.
17

Pasal-pasal yang disebutkan di atas adalah pasal-pasal dalam


DUHAM yang melarang pelanggaran terhadap hak-hak yang ada di pasal
tersebut. Apabila hak-hak tersebut dilanggar dalam proses perampasan
kemerdekaan (penahanan) maka proses perampasan kemerdekaan itu
dapat dianggap sebagai perampasan kemerdekaan (penahanan) yang
sewenang-wenang.
DUHAM hanyalah salah satu instrumen internasional yang digunakan
oleh Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang yang dibentuk
PBB dalam menentukan hak-hak apa saja yang dipunyai oleh seseorang
yang ditahan, yang apabila dilanggar hak-hak tersebut maka penahanan
tersebut menjadi sewenang-wenang.
Masih ada beberapa instrumen internasional lainnya yang juga
digunakan oleh Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang
dalam menentukan hak-hak apa saja yang dipunyai seseorang yang
ditahan, contohnya adalah Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil
dan Politik dan juga Kumpulan Prinsip untuk Perlindungan Setiap Individu
terhadap Segala Bentuk Penahanan dan Pemenjaraan.

C. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik


(International Covenant on Civil and Political Rights)
Kovenan ini merupakan instrumen internasional yang mengatur
tentang hak-hak sipil dan politik. Hak-hak sipil dan politik merupakan hak-
hak yang sangat melekat dengan masalah kebebasan individu dalam
menjalani kehidupan sebagai manusia juga sebagai warga negara.
Kovenan ini mengatur berbagai hak, baik hak seseorang sebagai
manusia maupun hak seseorang sebagai warga negara. Seorang warga
negara dapat ditahan apabila orang tersebut melanggar hukum di negara
tersebut, tetapi warga negara tersebut tidak boleh ditahan secara
sewenang-wenang.
Larangan tentang perampasan kemerdekaan (penahanan) secara
sewenang-wenang diatur dalam Pasal 9 ayat (1), dalam pasal ini
18

disebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan


pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara
sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya
kecuali berdasarkan alasan atau sesuai dengan prosedur yang ditetapkan
hukum.”
Tak seorang pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-
wenang. Kalimat tersebut adalah kalimat kedua dari Pasal 9 ayat (1) yang
mengandung larangan kesewenang-wenangan. Larangan kesewenang-
wenangan tersebut menunjukkan pembatasan tambahan dalam kaitannya
dengan perampasan kemerdekaan, suatu pembatasan yang ditujukan
kepada badan perundang-undangan dan para penegak hukum.
Tidaklah cukup perampasan kemerdekaan (penahanan) ditentukan
oleh hukum saja. Hukum sendiri tidak boleh sewenang-wenang, dan
penegakan hukum dalam kasus tertentu tidak boleh tejadi secara
sewenang-wenang.21 Kata “sewenang-wenang” dalam pengertian ini
dipahami mengandung unsur-unsur ketidakadilan (injustice),
ketidakpastian (unpredictability), ketidakwajaran (unreasonableness),
ketidakteraturan (capriciousness) dan ketidakberimbangan
(disproporsionality).22
Larangan sewenang-wenang diartikan secara luas. Kasus perampasan
kemerdekaan (penahanan) yang ditentukan oleh hukum tidak boleh
secara terang-terangan tidak berimbang, tidak adil atau tidak pasti. Hal
spesifik dilakukannya penahanan tidak boleh diskriminatif harus
dibenarkan sebagaimana mestinya dan berimbang dengan mengingat
keadaan dan kasusnya.
Pengaturan perampasan kemerdekaan (penahanan) secara
sewenang-wenang oleh ICCPR juga didukung oleh beberapa pasal
didalamnya. Pasal-pasal tersebut berisi hak-hak yang apabila dilanggar
dalam proses suatu perampasan kemerdekaan (penahanan), maka

2121
Cess de Rover, op.cit., hal. 336.
22
Ibid.
19

perampasan kemerdekaan (penahanan) tersebut menjadi sewenang-


wenang.
Kebebasan bergerak merupakan salah satu hak dasar yang terdapat di
dalam kovenan ini. Hak ini terdapat dalam Pasal 12 yang menyebutkan
bahwa “Setiap orang yang secara sah berada di dalam wilayah suatu
negara berhak atas kebebasan bergerak dan kebebasan untuk memilih
tempat tinggalnya dalam wilayah tersebut. Kebebasan bergerak tersebut
juga berarti bahwa orang tersebut berhak untuk meninggalkan negara
manapun, termasuk negaranya sendiri.”
Hak kebebasan bergerak ini dapat dikurangi atau dibatasi oleh
pemerintah selama pembatasan tersebut berdasarkan hukum dan
berguna untuk melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum.
Pembatasan hak kebebasan bergerak ini disebutkan pada Pasal 12 ayat
(3) yaitu “Hak tersebut diatas tidak boleh dikenai pembatasan apapun
kecuali yang telah ditetapkan oleh hukum guna melindungi keamanan
nasional, ketertiban umum, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak
dan kebebasan orang lain, dan yang sesuai dengan hak lain yang diakui
dalam konvensi ini.” Pada Pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa:
“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan
beragama. Hak ini meliputi kebebasan untuk memeluk suatu agama
atau kepercayaan pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, secara terbuka atau
pribadi, menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan
beribadah, mentaati, mengamalkan dan pengajaran.”

Kebebasan berpendapat tanpa gangguan juga merupakan hak setiap


orang. Hal ini diatur dalam Pasal 19 ayat (1) yang menyebutkan bahwa
“Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa gangguan”. Semua ini
lebih dipertegas pada Pasal 19 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Setiap
orang berhak atas kebebasan mengemukakan pendapat, hak ini meliputi
kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan semua
jenis pemikiran, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan,
20

tertulis atau cetakan, dalam bentuk karya seni atau melalui sarana lain
yang dipilihnya.”
Hak untuk berkumpul secara damai diakui oleh kovenan ini. Hal ini
terlihat pada Pasal 21 yang menyebutkan bahwa “hak untuk berkumpul
secara damai harus diakui.” Pengecualian terhadap hak ini juga diakui,
kalimat kedua dari Pasal 21 menyebutkan
“…tidak ada pembatasan yang dapat dikenakan terhadap
pelaksanaan hak ini, kecuali yang ditentukan oleh undang-undang dan
yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis demi
kepentingan keamanan nasional atau keamanan umum, atau
ketertiban umum, perlindungan kesehatan atau moral umum, atau
perlindungan atas hak dan kebebasan orang lain.”

Selain hak untuk berkumpul secara damai, kovenan ini juga mengakui
adanya hak untuk berserikat dengan orang-orang lain, termasuk hak untuk
membentuk dan bergabung dengan serikat pekerja. Hak ini diakui
berdasarkan Pasal 22 ayat (1). Pada Pasal 25 disebutkan bahwa:
“Setiap warganegara harus mempunyai hak dan kesempatan,
tanpa pembedaan apapun seperti yang disebutkan dalam Pasal 2 dan
tanpa pembatasan yang tidak wajar untuk:
1. Ikut serta dalam pengaturan semua urusan pemerintahan baik
secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara
bebas.
2. Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang bebas
dan dengan hak pilih yang sama dan universal serta diadakan
melalui pemungutan suara secara rahasia, untuk menjamin
kebebasan menyatakan pilihan dari para pemilih.
3. Memperoleh pelayanan pemerintahan di negaranya atas dasar
persamaan dalam arti umum.”

Semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas


perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Hal ini
terdapat pada Pasal 26. Dalam hal ini hukum harus melarang setiap
diskriminasi dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi
semua terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul
kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran, atau status lain.
21

D. Kumpulan Prinsip untuk Perlindungan Setiap Individu terhadap


Segala Bentuk Penahanan dan Pemenjaraan (The Body of
Principles for the Protection of All Persons under Any Form of
Detention or Imprisonment)
Untuk mengevaluasi karakter sewenang-wenang atau di pihak lain
kasus-kasus perampasan kemerdekaan yang termasuk dalam kategori
peradilan yang tidak adil, selain menggunakan prinsip-prinsip umum yang
dinyatakan dalam DUHAM, beberapa kriteria yang diambil dari Kumpulan
Prinsip untuk Perlindungan Setiap Individu terhadap Segala Bentuk
Penahanan atau Pemenjaraan.
Pencabutan kebebasan adalah rumusan luar dari larangan kebebasan
bergerak. Ini meliputi menangkap para pelanggar hukum ringan, orang
yang sakit mental, pencandu alkohol atau obat bius, atau tuna wisma, dan
sampai kepada keadaan pencabutan kebebasan tersebut disebabkan oeh
orang-perorangan maupun pejabat publik.23

“Rumusan berikut diangkat dari Body of Principles for Protection of


All Persons under any Form of Detention or Imprisonment, selanjutnya
disebut The Body of Principles.
Penangkapan (arrest) berarti tindakan menahan orang karena
dugaan keras atas pelanggaran atau dengan tindakan penguasa.
Tahanan (detained person) berarti setiap orang yang dicabut
kebebasan pribadinyanya sebagai akibat dari sangkaan pelanggaran.
Orang yang dipenjarakan (imprisoned person) berarti setiap orang
yang dicabut kebebasan pribadinya sebagi akibat dari hukuman
karena suatu pelanggaran hukum. Penahanan (detention) berarti
kondisi orang yang ditahan seperti ditentukan di atas. Pemenjaraan
(imprisonment) berarti kondisi orang yang dipenjarakan sebagaimana
di atas. Otoritas peradilan atau otoritas lainnya (a judicial or other
authority) berarti otoritas peradilan atau lainnya berdasarkan hukum
yang status dan jabatannya akan memberikan jaminan kompetensi,
keadilan dan kemerdekaan sekuat mungkin.”24

23
Ibid., hal. 224.
24
Ibid.
22

Mengenai penahanan dan kebebasan Cess de Rover menyatakan


sebagai berikut :

“Setiap orang memiliki hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan


pribadi.
Ketentuan ini dinyatakan dalam Pasal 3 DUHAM dan diulangi dalam
Pasal 9 ayat (1) ICCPR, mencerminkan salah satu hak dasar tertua
umat manusia seluruhnya. Pada waktu bersamaan pencabutan
kebebasan pribadi merupakan cara yang sangat umum yang telah
dilakukan sejak lama yang digunakan oleh negara-negara untuk
memberantas kejahatan dan memelihara keamanan dalam negeri.
Dalam kaitannya dengan perubahan bertahap bentuk-bentuk
penghukuman seperti pidana mati dan penghukuman badan,
pemenjaraan benar-benar semakin penting selama abad-abad terakhir
ini. Di masa depan mungkin pencabutan kebebasan pribadi juga akan
tetap merupakan salah satu cara sah untuk melaksanakan kekuasaan
negara yang berdaulat.
Namun, ICCPR dengan Pasal 9 ayat (1) nya tidak berusaha
mengajukan keadaan yang melarang secara mutlak pencabutan
kebebasan, sebagai kasus misalnya, penyiksaan dan perbudakan;
lebih mencerminkan jaminan prosedural. Ketentuan ini mewajibkan
negara untuk menetapkan secara tetap menurut hukum kasus-kasus
yang memperbolehkan pencabutan kebebasan dan prosedur yang
diberlakukan, dan memungkinkan peradilan yang mandiri bertindak
cepat dalam peristiwa pencabutan kebebasan yang tidak sah dan
sewenang-wenang oleh otoritas administratif atau pejabat eksekutif.”

Dalam kutipan di atas secara implisit dinyatakan bahwa pencabutan


kebebasan tidaklah dilarang oleh PBB, pemerintah suatu negara boleh
melakukan pencabutan kebebasan, namun harus dengan cara yang
prosedural dan sesuai dengan hukum yang berlaku di negara tersebut dan
harus sesuai dengan norma-norma internasional.
Asas legalitas dan kebutuhan (the principles of legality and necessity),
bersama dengan larangan kesewenang-wenangan, mengharuskan
tindakan penegak hukum dalam keadaan penangkapan memenuhi
harapan-harapan tertentu.25
The Body of Principles menyatakan bahwa penangkapan, penahanan
atau pemenjaraan hanya boleh dilaksanakan secara kaku sesuai dengan

25
Ibid., hal. 226.
23

ketentuan hukum dan oleh para pejabat yang berwenang atau orang yang
diberikan wewenang untuk itu (Body of Principles, Prinsip 2).26
Kata “berwenang” tidak hanya berarti “diberikan wewenang” tetapi juga
harus dipahami sebagai mengacu kepada kecerdasan dan sikap mental
atau fisik dari para petugas penegak hukum dalam keadaan
penangkapan.27 Selain berwenang seorang penegak hukum juga
mempunyai tanggung jawab untuk menjamin penghormatan hak-hak
setiap orang yang ditangkap sesuai dengan hukum.

1. Hak Orang yang Ditangkap


Dalam suatu penangkapan, setiap orang yang ditangkap
mempunyai hak-hak yang harus dihormati oleh para penegak hukum
yang berwenang melakukan penangkapan. Berikut ini adalah hak-hak
setiap orang yang ditangkap yang wajib untuk dihormati oleh para
penegak hukum yang berwenang dalam melakukan penangkapan.
Penangkapan terhadap seseorang harus berdasarkan suatu
dakwaan atas pelanggaran yang dilakukan oleh orang tersebut, hal ini
diatur dalam Body of Principles yang menyebutkan bahwa “kapan saja
seseorang ditangkap, itu harus karena dakwaan atas pelanggaran atau
dengan tindakan penguasa” (Body of Principles, Prinsip 36.2).
Penangkapan terhadap seseorang selain harus berdasarkan suatu
dakwaan atas pelanggaran, orang yang ditangkap juga harus
diberitahukan alasan penangkapannya pada saat penangkapannya.
Hal ini diatur dalam Body of Principles yang menyebutkan bahwa
“seseorang yang ditangkap harus diberitahukan alasan
penangkapannya dan harus segera diberitahukan dakwaan
terhadapnya, pada saat penangkapannya” (Body of Principles, Prinsip
10).

26
Ibid.
27
Ibid.
24

Orang yang ditangkap harus dibawa ke tempat penahanan dan


segera diajukan ke depan seorang hakin atau pejabat lainnya yang
diberi wewenang untuk melaksanakan kekuasaan peradilan, yang
akan memutuskan keabsahan dan perlunya penangkapan itu (Body of
Principles, Prinsip 11 dan Prinsip 37).
Seseorang yang ditahan atas dakwaan pidana berhak atas
peradilan dalam waktu yang wajar atau pembebasan penangguhan
peradilan (Body of Principles, Prinsip 13).

2. Hak yang Serta Merta Mengikuti Penangkapan


Setiap terjadi penangkapan terhadap seseorang terdapat hak yang
serta merta didapat oleh orang yang ditangkap tersebut, contohnya
adalah hak atas penerapan asas praduga tak bersalah. Asas praduga
tak bersalah berlaku terhadap semua tahanan dan harus tercermin
dalam perlakuan terhadap mereka.28
Segala tindakan untuk memperlancar proses penyidikan tetapi tidak
diperlukan, contohnya adalah tindakan penyiksaan dalam penyidikan
guna mendapatkan pengakuan dari orang yang ditangkap lebih cepat,
dilarang. Body of Principle mengatur hal tersebut yaitu pada Prinsip 36
yang menyebutkan bahwa “tindakan selain daripada yang diperlukan
untuk mencegah hambatan terhadap proses penyidikan atau
memelihara ketertiban dan keamanan di tempat penahanan dilarang”
(Body of Principle, Prinsip 36).
Orang yang ditahan berhak atas bantuan penasihat hukum dan
harus diberikan fasilitas yang pantas untuk melaksanakan hak ini.
Penasihat hukum harus diberikan oleh pengadilan atau otoritas lainnya
jika orang yang ditahan tidak memiliki penasihat hukum pilihannya
sendiri, dan cuma-cuma jika orang yang ditahan tidak mampu
membayar (Body of Principles, Prinsip 17).
“Berikut ini adalah hak-hak tahanan dan/atau penasihat hukumnya:

28
Ibid., hal. 228.
25

a. Kesempatan untuk didengar (keterangannya) oleh


pengadilan atau otorita lainnya secara efektif;
b. Menerima komunikasi dengan cepat dan tuntas mengenai
perintah penahanan, bersama-sama dengan alasan penahannya
itu (Prinsip 11);
c. Berkomunikasi satu dengan lainnya dan memiliki waktu dan
fasilitas yang cukup untuk konsultasi dengan kepercayaan penuh
dan tanpa penangguhan atau sensor;
d. Berkomunikasi satu dengan lainnya secara bertatap muka
tetapi tanpa didengar oleh petugas penegak hukum;
e. (…) komunikasi tersebut tidak boleh diterima sebagai
pembuktian terhadap tahanan kecuali yang berkaitan dengan
kejahatan yang berlanjut atau yang dimaksud (Prinsip 18);
f. Memiliki akses atas informasi tercatat mengenai lamanya
interogasi, rentang waktu antara interogasi-interogasi itu dan jati diri
pejabat yang melakukan interogasi dan orang lain yang hadir
(Prinsip 23);
g. Mengikuti proses peradilan sesuai dengan hukum nasional
di depan pengadilan atau otoritas lainnya untuk menentang
keabsahan penahanan untuk memperoleh pelepasan tahanan jika
penahanan itu tidak sah (Prinsip 32);
h. Mengajukan permohonan atau pengaduan berkaitan dengan
perlakuan atas tahanan, khususnya dalam kasus penyiksaan atau
kekejaman, perlakuan tidak manusiawi atau yang bersifat
menghina, kepada otorita administratif atau yang lebih tinggi bila
diperlukan, kepada otorita yang tepat yang berhak melakukan
peninjauan ulang atau kekuasaan peninjauan kembali (Prinsip
33).”29

Larangan penyiksaan berlaku terhadap orang yang ditahan atau


dipenjarakan (Body of Principles, Prinsip 6). Larangan ini selanjutnya
diuraikan dalam Prinsip 21, yang secara tegas melarang mengambil
keuntungan dari keadaan tahanan untuk memperoleh pengakuan,
untuk memberatkan dirinya sendiri atau memberikan kesaksian atas
orang lain.
Tahanan memiliki hak untuk memberitahukan, atau meminta otorita
yang berwenang untuk memberitahukan para anggota keluarganya
atau orang lain yang pantas dipilihnya mengenai penangkapanya. Hak

29
Ibid., hal. 228-229.
26

ini terus berlangsung setelah masing-masing dari setiap pemindahan


orang tersebut (Body of Principles, Prinsip 16).

E. Instrumen Hukum Nasional Myanmar


Negara Myanmar mempunyai beberapa instrumen hukum yang
berkaitan dengan hak-hak individu warga negara yang berkaitan dengan
kasus yang di bahas dalam skripsi ini. Selain itu Myanmar juga
mempunyai instrumen hukum yang menjadi dasar penahanan Aung San
Suu Kyi. Instrumen-instrumen hukum tersebut adalah:

1. Undang-undang Dasar Myanmar


Di dalam undang-undang dasar Myanmar terdapat beberapa pasal
baik yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan
permasalahan yang dibahas dalam karya tulis ini. Pasal-pasal ini
berkaitan dengan hak-hak sipil dan politik warga negara Myanmar.
Pemerintah Myanmar menjamin kebebasan individu dan keamanan
dari setiap warga negara seperi yang tertera dalam Pasal 159 huruf a
Undang-undang Dasar Myanmar menyebutkan bahwa “kebebasan
individu dan keamanan dari setiap warga negara dijamin oleh negara”.
Selain itu pada Pasal 159 huruf b disebutkan bahwa “no citizen shall
be placed in custody for more than 24 hours without the sanction of a
competent judicial organ”.30 Pasal tersebut memiliki arti tidak ada
warga negara yang di tempatkan dalam tahanan lebih dari 24 jam
tanpa adanya sanksi dari lembaga hukum yang berwenang.
Dengan adanya Pasal 159 huruf b maka pemerintah Myanmar tidak
dapat dengan sewenang-wenang menangkap seseorang dan ditahan
lebih dari satu hari tanpa adanya putusan lembaga hukum yang
berwenang. Dengan demikian, seseorang dapat ditangkap atau
ditahan setelah orang tersebut diadili dalam peradilan yang berjalan
sesuai dengan perundang-undangan.

30
Supra catatan kaki nomor 8.
27

Undang-undang Dasar Myanmar juga mengatur tentang kebebasan


berpikir, hal ini terdapat dalam Pasal 156 huruf a yang mengatakan
bahwa “setiap warga negara berhak atas kebebasan berpikir, dan
berkeyakinan, dan dengan bebas menganut suatu agama.”31
Kebebasan berbicara, kebebasan berekspresi, dan publikasi diakui
oleh negara, penikmatan kebebasan ini selama tidak bertentangan
dengan kepentingan orang banyak dan ideologi negara yaitu
sosialisme. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 157 Undang-undang
Dasar Myanmar.
Pada Pasal 158 undang-undang dasar Myanmar disebutkan bahwa
“setiap warga negara mempunyai hak untuk dengan bebas ikut serta
dalam organisasi politik, sosial, dan massa yang diperbolehkan oleh
hukum dan untuk menikmati kebebasan berasosiasi dan berkumpul,
Negara harus menyediakan bantuan kepada masyarakat untuk
membantu mereka dalam menikmati penuh hak-hak dan kebebasan
mereka ini.”
Pasal 158 ini menjamin masyarakat untuk berorganisasi baik politik,
sosial, maupun massa, tetapi meskipun diperbolehkan dalam
berorganisasi, ada batasannya. Batasannya berupa pembatasan
organisasi yang boleh didirikan oleh sekelompok orang. Apabila ingin
membentuk suatu organisasi maka sekelompok orang tersebut harus
mengajukan izin kepada kementerian urusan dalam negeri dan
keagamaan, selain itu apabila organisasi tersebut adalah organisasi
politik maka harus juga meminta izin kepada Komisi Pemilihan Umum
Demokrasi Multi Partai.32
Privasi, berkorespondensi, dan komunikasi lainnya yang dilakukan
oleh warga negara harus dilindungi oleh hukum, pengaturan tentang
hal ini terdapat dalam Pasal 160 Undang-undang Dasar Myanmar
yang menyebutkan bahwa “privasi dan keamanan rumah, properti,
31
Konstitusi Myanmar, op.cit.
32
Law relating to Forming of Organizations (State LORC Law No. 6/88 of Sept.
30, 1988).
28

korespondensi dan komunikasi lainnya dari warga negara harus


dilindungi oleh hukum yang berkaitan dengan pasal yang ada di
konstitusi ini.”
Undang-undang Dasar Myanmar juga mengatur tentang hak warga
negara untuk mempertahankan diri dan hak untuk mengajukan
banding menurut hukum. Pengaturan ini terdapat dalam Pasal 101
huruf g, yang menyebutkan bahwa “pelaksanaan pengadilan harus
berdasarkan prinsip-prinsip berikut…(g) untuk menjamin dalam semua
kasus hak untuk mempertahankan diri dan hak untuk mengajukan
banding menurut hukum…”

2. Undang-undang Perlindungan Negara 1975


Undang-undang Perlindungan Negara 1975 ini disebut juga
sebagai undang-undang subversif. Dalam pembukaan Undang-undang
Perlindungan Negara 1975 ini disebutkan bahwa majelis masyarakat
mengumumkan bahwa undang-undang ini untuk mencegah kedaulatan
dan keamanan negara Myanmar dari ancaman-ancaman kepada
kedamaian masyarakat, dan melawan setiap ancaman kepada mereka
yang berkeinginan untuk berbuat tindakan subversif yang
menyebabkan kerusakan pada negara, tanpa menunda hak
fundamental warga negara.33
Berdasarkan Pasal 7 dalam undang-undang ini disebutkan bahwa
kabinet mempunyai wewenang untuk mengeluarkan perintah, apabila
diperlukan, membatasi hak fundamental setiap orang yang disangka
terlibat atau dipercaya akan melakukan, tindakan yang akan
membahayakan kedaulatan dan keamanan negara atau kedamaian
masyarakat banyak.
Untuk mengimplementasikan wewenang yang terdapat di Pasal 7,
kabinet dapat membentuk the Central Board untuk kepentingannya,
yang diketuai oleh menteri urusan dalam negeri dan keagamaan.

33
Ibid.
29

Dengan anggota menteri pertahanan dan menteri luar negeri. Hal ini
diatur dalam Pasal 8 undang-undang ini.
The Central Board, dalam melindungi negara dari bahaya,
mempunyai hak untuk mengimplementasikan tindakan-tindakan berikut
melalui perintah yang bersifat terbatas. Tindakan tersebut adalah
melakukan penahanan kepada orang yang melakukan tindakan
tersebut selama 90 hari, penahanan ini dapat diperpanjang sampai
180 hari. Jika diperlukan, pergerakan orang tersebut dapat dibatasi
sampai lebih dari satu tahun. Hal ini diatur dalam Pasal 10 undang-
undang ini.
Dalam kasus yang penahanannya diperkirakan membutuhkan
periode yang lebih lama dari yang disebutkan pada Pasal 10 huruf a
dan pembatasan hak fundamental membutuhkan periode yang
melebihi seperti yang disebutkan dalam Pasal 10 huruf b maka the
Central Board harus mempunyai persetujuan dari kabinet. Kabinet
dapat memberikan persetujuan untuk melanjutkan penahanan atau
pembatasan hak fundamental dari orang yang melakukan tindakan
tersebut untuk periode dari 180 hari sampai dengan tiga tahun. Hal ini
diatur dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 undang-undang ini.
Pada tanggal 9 Agustus 1991, State Law and Order Restoration
Council (SLORC) mengamandemen undang-undang perlindungan
negara, yang diamandemen adalah hak untuk banding pada Pasal 21
dihilangkan, dan maksimum hukuman penjara pada Pasal 14 dan 22
ditambah dari tiga sampai lima tahun.

F. Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang (the United


Nations Working Group for Arbitrary Detention)
The United Nations Working Group for Arbitrary Detention adalah
kelompok kerja yang didirikan oleh PBB, lebih khusus didirikan oleh
30

Komisi Hak Asasi Manusia PBB. Pendirian kelompok kerja ini didasari
oleh Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1991/42.
Di dalam Lembar Fakta HAM yang diterbitkan oleh Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia Indonesia disebutkan bahwa :
“Komisi Hak Asasi Manusia telah memberi kelompok kerja
sejumlah mandat berikut ini:
1. Menyelidiki kasus-kasus penahanan yang dilakukan secara
sewenang-wenang atau tidak konsisten dengan standar-standar
internasional yang relevan sesuai dengan yang dinyatakan dalam
DUHAM atau dalam instrumen legal internasional yang relevan dan
diterima oleh negara-negara yang bersangkutan apabila keputusan
final belum diambil terhadap kasus-kasus tersebut oleh pengadilan
domestik sesuai dengan hukum domestik;
2. Mencari dan menerima informasi dari pemerintah dan organisasi
antarpemerintah dan organisasi nonpemerintah (ornop), dan
menerima informasi dari individu yang bersangkutan, keluarga
mereka atau wakil mereka;
3. Menyajikan laporan komprehensif kepada komisi pada siding
tahunannya.
Kelompok Kerja untuk Penahanan Sewenang-wenang merupakan
satu-satunya mekanisme yang tidak berdasarkan perjanjian (non-
treaty-based mechanism) yang mandatnya adalah mempertimbangkan
keluhan individual dengan cepat. Ini berarti bahwa tindakan mereka
didasarkan pada hak individual untuk mengemukakan petisi di mana
pun di dunia ini.”34

Kelompok kerja ini terdiri dari lima orang ahli independen yang ditunjuk
setelah berkonsultasi dengan ketua Komisi Hak Asasi Manusia dengan
pertimbangan kriteria kesetaraan distribusi geografis dalam kepengurusan
yang diberlakukan di PBB. Sidang pertama kelompok kerja ini diadakan
pada September 1991. Mandat kelompok kerja diperluas oleh Komisi Hak
Asasi Manusia setiap tiga tahun. Pada setiap awal mandat tiga tahunan,
para anggota kelompok kerja memilih ketua dan wakil ketua.
Untuk memungkinkan kelompok kerja melaksanakan tugas-tugasnya
dengan menggunakan kriteria yang cukup ketat, kelompok ini mengadopsi
kriteria yang bisa diterapkan dalam menimbang kasus-kasus yang
diajukan kepadanya. Kelompok kerja mengacu pada ketentuan-ketentuan

34
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, op.cit., hal. 453-454.
31

tersebut di atas, seperti DUHAM dan Kovenan Internasional tentang Hak


Sipil dan Politik, serta Kumpulan Prinsip untuk Perlindungan Setiap
Individu terhadap Segala Bentuk Penahanan dan Pemenjaraan. Dengan
demikian, menurut kelompok kerja ini, perampasan kemerdekaan
merupakan tindakan sewenang-wenang apabila suatu kasus masuk
dalam salah satu dari tiga kategori berikut ini:
1. Apabila jelas tidak mungkin mengungkapkan dasar-dasar hukum
yang membenarkan perampasan kemerdekaan (seperti ketika
seseorang yang tetap ditahan setelah masa hukumannya berakhir atau
walaupun ada hukum amnesti yang berlaku baginya) (kategori I);
2. Apabila perampasan kemerdekaan terjadi akibat pelaksanaan
hak atau kebebasan-kebebasan yang dijamin oleh Pasal-pasal 7, 13,
14, 18, 19, 10, dan 21 DUHAM dan oleh Pasal-pasal 12, 18, 19, 21,
22, 25, 26, dan 27 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik, sejauh kasus ini ada hubungannya dengan negara-negara
pihak kovenan (kategori II);
3. Apabila ketidaktaatan secara total ataupun sebagian terhadap
norma-norma internasional sehubungan dengan hak untuk peradilan
yang adi, seperti yang dinyatakan dalam DUHAM dan dalam
instrumen-instrumen internasional yang relevan yang diterima oleh
negara-negara yang bersangkutan, begitu seriusnya sehingga
memberi karakter sewenang-wenang kepada tindakan perampasan
kemerdekaan (kategori III).35
The United Nations Working Group for Arbitrary Detention
mengeluarkan opini (No. 9/2004) yang menyatakan bahwa penahanan
atau perampasan kemerdekaan Aung San Suu Kyi adalah sewenang-
wenang, sesuai yang disebutkan dalam Pasal 9 DUHAM. Di dalam opini
tersebut the United Nations Working Group for Arbitray Detention juga
meminta kepada pemerintah Myanmar untuk melepaskan Aung San Suu
Kyi.

35
Ibid.
32

Tidak hanya sekali opini yang dikeluarkan oleh working group ini,
melainkan sebelum-sebelumnya the United Nations Working Group for
Arbitrary Detention telah mengeluarkan opini bahwa penahanan Aung San
Suu Kyi adalah sewenang-wenang. Namun, hal ini tidak ditanggapi oleh
pemerintah Myanmar.

Anda mungkin juga menyukai