Anda di halaman 1dari 25

V.2 Analisa Grafik V.2.

1 Analisa Gafik P vs dL Pada grafik P vs dL, kita dapat melihat hubungan antara gaya/beban teraplikasi (kg) dengan besarnya pertambahan panjang (dl) dari material sampel (Fe, Cu, dan Al). terlihat bahwa urutan % elongasi maupun P dari yang terbesar dimiliki oleh sampel Fe (34,4%), Al (25,6%), dan Cu (18 %). Tetapi, hal yang berbeda terjadi pada nilai P maksimal, di mana Fe memiliki nilai yang tertinggi (3600Kg) setelah Cu (3345Kg) dan Al (2123). Setelah mendapatkan beban maksimalnya, maka grafik sampel uji akan mengalami penurunan. Pada grafik terlihat bahwa dengan nilai pertambahan panjang (dL) yang sama, maka sampel Fe mampu menahan beban (P) terbesar dibandingkan dengan Al dan Cu. Tetapi, hal ini menyimpang dari literatur dimana menyebutkan bahwa material yang memiliki struktur FCC (Cu & Al) mempunyai keuletan lebih tinggi dari BCC (Fe) dan Al merupakan logam yang paling ulet. Penyimpangan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain, karena adanya cacat- cacat mikro pada spesimen Al dan Cu akibat perlakuan atau pengerjaan sebelumnya yang diterima sebelum dilakukan uji tarik, sehingga ketika ditarik spesimen tersebut menjadi lebih cepat putus, sehingga % elongasinya pun menjadi lebih kecil. Selain itu, ketidaktelitian praktikan dalam mengukur gauge length sebelum pengujian juga dapat menyebabkan penyimpangan. Komposisi material mempengaruhi sifat mekanis dari material tersebut sehingga, sangat mungkin jika komposisi dari sampel juga ikut mempengaruhi hasil pengujian. V.2.2 Analisa Grafik vs Dari grafik vs kita dapat melihat hubungan antara teganganregangan rekayasa (engineering stress-strain) untuk ketiga benda uji. Grafik vs ini menggunakan luas penampang awal (Ao) sebagai

acuan untuk setiap perhitungan nilai tegangan (stress) di tiap-tiap titiknya, sehingga kurang menggambarkan kondisi real yang terjadi selama pengujian. Dalam aplikasinya, grafik vs sendiri biasanya digunakan dalam aplikasi rekayasa / engineering. Dari grafik vs diatas didapatkan informasi sifat mekanis dari ketiga benda uji. Dari grafik stress vs strain terlihat bahwa sampel Fe memiliki nilai regangan yang paling besar (0,41) setelah Al (0,23) dan Cu (0,16). Sampel Fe juga memiliki nilai Stress maksimal (UTS) , titik luluh, dan batas proporsionalitas terbesar. Menurut literatur, sifat mekanik yang dimiliki oleh beberapa logam dengan Lo = 50 mm ialah sebagai berikut. Tabel 1. Sifat Mekanik Logam Logam Aluminiu m Copper Iron Yield strength (Mpa) 35 69 130 Tensile Strength (Mpa) 90 200 262 Ductility, %EL (in 50mm) 40 45 45

Dari data tersbut dapat disimpulkan bahwa logam Fe memiliki nilai tensile strength (UTS) dan yield strength (titik luluh) yang paling besar dibandingkan oleh logam Cu dan Al. Urutan nilai yang didapat dari hasil pengujian berarti sudah sesuai dengan literatur. Tetapi besarnya nilai yang didapat dari percobaan lebih besar dari literatur tersebut yaitu, Nilai UTS Fe (392,7871 Mpa), Cu (321,5205 Mpa), dan Al (227,3656 Mpa). Hal ini dimungkinkan oleh campuran (alloy) yang terkandung di dalam masing-masing sampel. Berdasarkan tabel litaratur di bawah ini,

Logam Fe :
Material Modulus of Elasticity Gray cast iron White cast iron Malleable iron Ingot iron (0.02%C) Wrought iron (0.1%C) Steel 0.2%C coldrolled Steel 0.4%C annealed
(Sumber : (1) Callister, William D. 1996. Materials Science and Engineering An Introduction Fourth Edition page 777-786 (Properties of Selected Materials). The McGraw-Hill Companies : New York,NY (2) Davis,HE.Troxell,GE. The Testing of Engineering Materials 4th edition page 312-317 (properties of iron and steel). The McGraw-Hill Companies : New York,NY)

Yield Strength (MPa) 230 165 205 415 240

Tensile Strength (MPa) 124 440 520

Percent Elongatio n 1 14 45 30 15 15

(GPa) 105 140 170 205 185 200 200

Logam Cu :
Material Modulus of Elasticity Copper (pure) Copper alloy 11000 Copper alloy 17200 Copper alloy 36000 Copper alloy 71500 Copper alloy 93200
(Sumber : Callister, William D. 1996. Materials Science and Engineering An Introduction Fourth Edition page 777-786 (Properties of Selected Materials). The McGraw-Hill Companies : New York,NY)

Yield Strength (MPa) 69-365 172-1344 124-310 124-485 124

Tensile Strength (MPa) 221-455 469-1462 338-469 372-517 241

Percent Elongatio n 4-55 1-60 18-53 15-45 20

(GPa) 110 115 125-130 97 150 100

Logam Al:
Material Modulus of Elasticity Aluminium 1100 Aluminium alloy 2024 Aluminium alloy 2014 Aluminium alloy 5052 Alluminium alloy 5456 Aluminium alloy 7075
(Sumber : Davis,HE. Troxell,GE. The Testing of Engineering Materials 4th edition page 320321 (mechanical properties of heavy nonferrous alloys). The McGraw-Hill Companies : New York,NY)

Yield Strength (MPa) 35 75 95 90 160 105

Tensile Strength (MPa) 90 185 185 195 310 230

Percent Elongatio n 35 20 18 30 24 17

(GPa) 70 73 73 69 -

Kita dapat mengetahui jenis material pada pengujian dari table diatas. Material yang mendekati sifat mekanik sampel Fe adalah Steel 0.2%C cold-rolled berdasarkan yield strengthnya , sampel Cu adalah Copper alloy 11000 berdasarkan Ultimate Tensile Strengthnya, dan Al adalah Aluminium alloy 2024 berdasarkan % elongasinya. Nilai modulus elastisitas yang dimiliki oleh sampel uji ialah: Cu = 43253,88 MPa , Al = 2677,409 Mpa, Fe = 62191,28 Mpa. Berarti Fe memiliki nilai yang paling besar. Untuk memeriksa kebenarannya, maka urutan tersebut dibandingkan dengan literatur berikut ini. Tabel 2. Nilai Modulus Elastisitas Logam Logam Aluminium Copper Iron (steel) Modulus Elastisitas (Mpa) 69.000 110.000 207.000

Dari data tersebut, jelas terlihat bahwa Fe mamiliki nilai Modulus Elastisitas (E) yang paling tinggi. Tetapi besarnya nilai E yang dimiliki oleh sampel uji berbeda jauh dengan apa yang ada pada tabel literatur di atas. Ketidakakuratan besarnya nilai tersebut mungkin disebabkan oleh nilai pertambahan panjang yang salah. Apabila dilihat dari yang didapat dari percobaan, maka besarnya nilai %elongasi pada masingmasing logam ialah: Fe 41 %; Cu 18 %; Al 25,6%. Nilai tersebut jauh dari nilai yang ada pada literatur. Ketidakakuratan nilai pertambahan panjang mungkin disebabkan oleh dimensi sampel yang tidak akurat sesuai dengan standar. Selain itu mungkin saat penarikan terjadi, pemegang sampel tidak kuat. Hal ini terjadi pada sampel uji Fe yang bergeser saat dilakukan penarikan. Nilai keuletan tertinggi dimiliki oleh sampel Fe, dan diikuti oleh Al dan Cu. Dengan nilai UTS yang tinggi, maka keuletan logam semakin tinggi karena mampu menahan deformasi yang lebih besar hingga terjadi patah. Nilai titik putus material yang memiliki keuletan yang lebih tinggi akan lebih besar karena mampu menahan deformasi sebelum patah. Dari grafik terlihat jelas bahwa sampel Fe memiliki nilai titik putus yang paling tinggi dari sampel Cu dan Al. jadi hasil ini sudah sesuai dengan literatur. V.2.3 Analisa Grafik T vs T Grafik true stress-strain tidak jauh berbeda dengan grafik nilai tegangan engineering stress-strain. Namun terjadi perbedaan

setelah terjadi pengerasan regang, yaitu setelah titik luluh terlampaui. Bila dilihat dari grafik, maka nilai titik luluh pada setiap sampel mengalami penurunan. Selain itu nilai regangan juga mengalami penurunan. Bila dikaitkan dengan mekanisme strain hardening, maka besarnya nilai %Cold Work (%CW), di mana rumusnya sama dengan

reduksi penampangan tetapi luas akhirnya merupakan luas area setelah deformasi, akan berbeda. Nilai %CW akan semakin meningkat bila nilai tegangan lebih tinggi. Dengan nilai %CW yang semakin meningkat, maka kepadatan dislokasi juga akan meningkat. Hal ini menyebabkan jarak antara satu dislokasi dengan dislokasi lainnya mengecil. Jadi, pergerakan dislokasi terhambat oleh adanya dislokasi lainnya. Mekanisme ini akan membuat material semakin kuat. Dari grafik yang terdapat pada literatur Materials Science and Engineering an Introduction, dengan meningkatnya nilai %CW, maka keuletan suatu malerial akan semakin menurun. Kurva engineering stress-strain tidak memberikan indikasi sesungguhnya tentang karakteristik deformasi bahan, sebab kurva tersebut seluruhnya didasarkan atas ukuran asli benda uji, dan ukuran ini terus-menerus berubah selama pengujian. Sedangkan kurva true stress-strain ialah beban aktual, dibagi dengan luas penampang melintang, dimana beban itu bekerja.
(Sriati Djaprie, Metalurgi Mekanik, Terjemahan Jilid 1 hal 74-76)

Dari grafik true stress vs true strain, maka dapat dilihat bahwa nilai T maksimal tertinggi dimiliki oleh Fe (523,8034 MPa). Sedangkan nilai maksimal yang dimiliki oleh sampel Cu dan Al ialah sebesar 343,628 Mpa dan 266,7749 Mpa. Grafik true stress-strain yang didapat dari pengujian ini mengalami penyimpangan dari literatur yang ada. Pada literatur disebutkan bahwa kurva true stress-strain akan terus meningkat hingga putus. Tetapi pada pengujian kurva stress-strain nya mengalami penurunan sebelum putus. Pada kurva tegangan regangan sesungguhnay ini informasi mekanis yang didapatkan sama dengan kurva engineering stressstrain, yaitu : UTS

Yield point Modulus elastis Ductility Modulus Toughness Breaking Strength Modulus of Resilience

V.3 Analisa Perpatahan Bentuk hasil perpatahan dari material juga dapat digunakan untuk memberikan informasi mengenai sifat mekanis dari suatu logam. Dari foto perpatahan terlihat bahwa permukaan ketiga sampel (Fe, Cu, Al) tampak gelap dan beserabut serta berbentuk cup and cone. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga-tiganya memiliki sifat ductile. Tetapi, sama. Kita juga dapat melihat bahwa karateristik perpatahan dari foto yang menunjukkan perpatahan ketiga sampel material yang diuji, Secara spesifik, dapat disebutkan deskripsi perpatahan untuk Fe adalah cup-cone sebagian (partial cup-cone), untuk Al adalah cup-cone silky, dan untuk Cu adalah irregular fibrous. Ketiga-tiganya mengalami necking sebelum perpatahan. Untuk Fe dan Al, bentuk perpatahan yang terjadi cup and cone sedangkan pada Cu bentuk perpatahannya 45o terhadap bidang {111} searah dengan slip system. Hal tersebut mengindikasikan terjadinya deformasi plastis. Hal ini terjadi karena pada Al dan Cu yang mempunyai struktur FCC memiliki bidang slip pada {1 1 1} dengan arah slip <1 -1 0>. Hal ini menyebabkan pada pengujian dengan beban searah, terjadi pergerakan dislokasi pada bidang yang terpadat (bidang slip), dan pada arah slip. Akibatnya, meskipun ketiga benda uji memiliki sifat ulet tapi persentase/tingkat keuletan dari ketiga jenis logam tersebut tidak

pada Cu dan Al, perpatahan yang terjadi cenderung untuk membentuk sudut kemiringan sesuai dengan arah pergerakan dislokasi yang ada dan tegangan geser maksimum.

V. Pembahasan V.1 Prinsip Pengujian Pengujian kekerasan dilakukan untuk mengukur ketahanan material terhadap deformasi plastis yang terlokalisir. Selain itu, pengujian kekerasan juga dilakukan untuk mengukur nilai kekerasan material serta untuk memberikan indikasi dari kekuatan tarik dan kemampuan material terhadap ketahanan aus. Karena, kekerasan suatu material merupakan ketahanan material terhadap gaya penekanan dari material lain yang lebih keras, maka dilakukan penekanan kepada benda uji untuk menghitung nilai kekerasannya. Prinsip pengujian kekerasan yaitu pada permukaan material dilakukan penekanan dengan indentor sesuai dengan parameter (diameter, beban dan waktu). Dalam praktikum ini digunakan metode indentasi Brinell, dimana pengujian kekerasan dilakukan dengan memakai bola baja yang diperkeras (hardened steel ball) dengan beban dan waktu indentasi tertentu, sebagaimana ditunjukan oleh gambar 2.1. Dengan metode indentasi, dilakukan penekanan benda uji oleh indentor dengan gaya tekan dan waktu indentasi tertentu. Hasil indentasi adalah jejak berbentuk lingkaran bulat, yang harus dihitung diameternya dibawah mikroskop khusus pengukur jejak kemudian dihitung agar mendapat nilai kekerasannya. Sampel uji yang digunakan ialah logam Fe, Cu, dan Al. Waktu penjejakan ditentukan selama 15 detik kecuali untuk Fe selama 10 detik.

Sedangkan beban yang diberikan pada masing-masing sampel ialah 187,5 kg , 67,5 kg, dan 31,5 kg, dengan diameter indentor sebesar 1.6 mm. Setelah dilakukan penjejakan lalu dilakukan pengukuran jejak dengan mikroskop pengukur. Kemudian datanya diolah untuk dicari nilai kekerasan BHN. Pengukuran nilai kekerasan suatu material diberikan oleh rumus:

dimana : P = beban (kg) , D = diamter (mm), d = diameter jejak (mm).

V.2 Analisa Grafik V.2.1 Analisa Grafik BHN vs Beban (Fe) Dari grafik BHN vs Beban untuk Fe diatas, didapat bahwa dengan beban yang berbeda didapatkan nilai kekerasan yang berbeda. Semakin tinggi beban indentasi yang diberikan maka hasil yang didapatkan adalah semakin menurunnya kekerasan material. Dimana, menurut literatur, semakin besar beban yang diberikan, maka BHN nya relatif semakin tinggi. Perbedaan nilai kekerasan ini beban yang diberikan belum dikarenakan yang mencapai deformasi plastis

optimum. Jika beban yang diberikan sudah mencapai batas yang optimum, maka jika dilakukan pengujian dengan beban yang lebih tinggi akan mendapatkan nilai kekerasan yang sama. Sehingga, grafik kekerasan Fe yang kami dapatkan tidak karena kekerasan yang yang didapatkan didapatkan ditingkatkan. Perbedaan grafik dengan literatur dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain adalah ketidaktelitian sesuai dengan literatur menurun ketika beban

praktikan dalam mengukur jejak dengan menggunakan mikroskop. Selain itu, mungkin waktu penjejakan yang diberikan kurang dari yang seharusnya sehingga, turut mempengaruhi dari jejak indentasi karena, waktu pembebanan yang diberikan terlalu lama sehingga, ketika indentor telah diangkat jejak telah terdeformasi lebih besar dari yang seharusnya sehingga, kekerasan yang dihasilkan pun menurun. Dan juga dapat disebabkan karena permukaan sampel yang tidak bersih sehingga masih terdapat pengotor yang mempengaruhi kekerasan material. Pada pengujian yang dilakukan, kita menggunakan beban dan indentor dengan diameter yang berbeda dengan standard. Dan pengujian akan mendapatkan hasil yang mendekati hasil pada pengujian standar jika perbandingan / hubungan antara beban aplikasi (P) dan diameter bola (D) sama dengan pada uji standar. Karena, perbedaan dengan prosedur pengujian standart dapat menyebabkan penyimpangan hasil. Untuk menghindari penyimpangan akibat beban dan diameter indentor yang berbeda secara dengan standard, maka dibutuhkan keserupaan lekukan geometris. Keserupaan

geometris diperoleh selama sudut antara pusat bola dengan diameter jejak biasanya disebut, sudut 2 tidak berubah. Berikut persamaan yang menunjukkan agar dan BHN tetap konstan, beban dan variasi bola harus divariasikan memenuhi perbandingan :
P1
2 D1

P2 D2
2

P3 D3
2

Di bawah ini merupakan standard untuk metode pengujian kekerasan Brinell mengenai beban dan diameter indentor (ASTM 10), yaitu :

Diameter bola (mm) 10 10 10 Beban (kg) 3000 1500 500

Rentang kekerasan Brinell yang direkomendasikan 96 600 48 300 16 100

(Sumber : Davis,HE. Troxell,GE. The Testing of Engineering Materials 4th edition page 206 (procedure of hadness tests). The McGraw-Hill Companies : New York,NY)

Kekerasan Fe ysng didapat pada pengujianetelah dirata-rata adalah 203.031416 BHN. Berdasarkan standar, untuk nilai kekerasan ini, maka beban dan diameter indentor yang digunakan adalah 1500kg dan 10mm. Jadi dengan diameter indentor pada pengujian adalah 1.6 mm, maka beban yang sesuai adalah: P1 = D12 1500 = 100 P2 P2 D22 P2 1.62 = 15 x 2.56 = 38.4 kg Dari ketiga beban yang diberikan, yang paling mendekati dengan standard adalah beban 31.25 kg, sehingga beban ini paling cocok untuk spesimen Fe. Pada pengujian ini speaifikasi tentang jenis spesimen yang diuji tidak diberitahukan, karena itu perbandingan hasil pengujian dengan literatur dilakukan metode pengecekan terbalik , dimana hasil yang diperoleh selama pengujian disesuaikan / dicocokkan dengan nilai pada literatur yang sama / mendekati untuk masing-masing material. Berikut literatur beberapa material dan kekerasannya ;
Material BHN (Brinell Hardness Number)

Steel 0.4%C Steel 0.6%C Steel 0.8%C Malleable iron Nickel cast iron

130 190 200 - 235 240 360 120 200

(Sumber : Davis,HE. Troxell,GE. The Testing of Engineering Materials 4th edition page 206 (procedure of hadness tests). The McGraw-Hill Companies : New York,NY)

Berdasarkan literatur di atas, maka kekerasan sampel pengujian yang didapat mendekati nilai kekerasan dari baja 0.6 % C.

V.2.2 Analisa Grafik BHN vs Beban (Cu) Pada grafik hasil pengujian, didapatkan bahwa kekerasan Cu pada beban 62.5 kg menurun dibandingkan dengan kekerasan pada beban 31.25 kg dan kemudian naik kembali ketika beban 187.5 kg. Hal ini berbeda dengan literatur dimana, menurut literatur, semakin besar beban yang diberikan, maka BHN nya relatif semakin tinggi. Perbedaan nilai kekerasan ini dikarenakan beban yang diberikan belum mencapai deformasi plastis yang optimum. Jika beban yang diberikan sudah mencapai batas yang optimum, maka jika dilakukan pengujian dengan beban yang lebih tinggi akan mendapatkan nilai kekerasan yang sama. Perbedaan hasil dengan literatur dapar disebabkan karena berbagai hal, yaitu ; tidak sesuainya waktu pembebanan yang diberikan sehingga, waktu pembebanan yang sebenarnya lebih cepat dari yang telah ditentukan sehingga jejak yang diberikan belum terdeformasi sesuai dengan seharusnya sehingga kekerasan yang didapat dari perhitungan lebih tinggi dari yang seharusnya. Atau bahkan melebihi kebalikannya, ketentuan yaitu lamanya waktu pembebanan yang lebih yang besar menyebabkan deformasi

sehingga kekerasan yang didapat dari perhitungan lebih kecil dari

yang

seharusnya.

Ketidaktelitian juga

praktikan salah

dalam satu

menggunakan faktor yang

mikroskop

pengukur

menjadi

menyebabkan perbedaan hasil pengujian dengan literatur. Menurut standard, beban yang sesuai untuk Cu adalah 12.8 kg sehingga beban yang mendekati standard adlah 31.25 kg.Dari pengujian, kekerasan Cu yang didapatkan adalah 72.04623596 BHN. Dan berdasarkan literatur kekerasan beberapa jenis Cu maka, nilai kekerasan logam Cu yang digunakan pada pengujian mendekati Cu alloy C11000.
Material Cu alloy C11000 Cu alloy C17200 Cu alloy C36000 Cu alloy C71500 Cu alloy C93200 BHN (Brinell Hardness Number) 64.06 131.88 135.94 423.77 97.97 135.94 107.83 149.86 69.86

(Sumber : Callister, William D. 1996. Materials Science and Engineering An Introduction Fourth Edition page 782 (Properties of Selected Materials). The McGraw-Hill Companies : New York,NY (setelah dikonversikan melalui persamaan TS = 3.45 x BHN) )

V.2.3 Analisa Grafik BHN vs Beban (Al) Pada grafik, kita dapat melihat bahwa perbedaan beban yang diberikan menghasilkan nilai kekerasan yang berbeda. Ketika beban ditambahkan menjadi 62.5 kekerasan Al menurun sedangkan ketika diberikan beban tambahan hingga 187.5 kekerasan kembali meningkat. Sedangkan menurut literatur, semakin besar beban yang diberikan, maka BHN nya relatif semakin tinggi. Perbedaan nilai kekerasan ini dikarenakan beban yang diberikan belum mencapai deformasi plastis yang optimum. Jika beban yang diberikan sudah mencapai batas yang optimum, maka jika dilakukan pengujian dengan

beban yang lebih tinggi akan mendapatkan nilai kekerasan yang sama. Sehingga, hasil pengujian yang didapat berbeda dengan literatur. Perbedaan ini dapat disebabkan karena ketdaktelitian praktikan dalam mengukur diameter jejak indentasi dan juga waktu pembebanan yang tidak sesuai dengan ketentuan dimana mempengaruhi perhitungan kekerasan karena, jika terlalu lama diameter jejak dapat lebih besar dari yang seharusnya sehingga hasil nilai perhitungan kekerasan menurun sedangkan jika waktu pembebanan terlalu cepat maka diameter jejak dapat lebih kecil sehingga pada hasil perhitungan, kekerasannya meningkat. Selain itu kondisi permukaan sampel yang tidak bersih pun turut mempengaruhi penjejakan dan nilai kekerasan material, banyaknya goresan dapat mempengaruhi nilai kekerasan sesuai literatur yang menyebutkan bahwa permukaan benda uji yang mulus/licin pada saat melakukan uji kekerasan Brinell atau Vickers sangat diperlukan agar hasil indentasi berupa jejak dapat menghasilkan perhitungan yang akurat, dan sekaligus mempermudah pengamatan.
(Sumber :ASM Metals Handbook Ninth Edition Vol. 8, Mechanical Testing, page : 86)

Di bawah ini adalah tabel literatur berbagai jenis Al dan nilai kekerasannya;
Material Al alloy 1100 Al alloy 2024 Al alloy 2014 Al alloy 5052 Al alloy 5456 Al alloy 7075 BHN (Brinell Hardness Number) 21.74 47.83 53.62 143.48 53.62 140.58 56.52 84.06 89.86 101.45 66.67 165.22

( sumber : Davis,HE. Troxell,GE. The Testing of Engineering Materials 4th edition page 311 (mechanical properties of light nonferrous alloys). The McGraw-Hill Companies : New York,NY (setelah dikonversikan melalui persamaan Tensile Strength = 3.45 x BHN))

Dari pengujian, didapat nilai kekerasan Al adalah 62.2189302 BHN dan nilai tersebut mendekati nilai kekerasan Al alloy 5052. Menurut standard, beban yang sesuai untuk Al adalah 12.8 kg sehingga, beban yanh paling mendekati dan sesuai dengan standard adalah 31.25 kg. .

V.2.4 Analisa Grafik BHN vs Sampel Pada grafik BHN vs sampel terlihat bahwa berurutan dari Al, Cu, dan Fe memiliki nilai kekerasan yang meningkat. Pada pengujian, didapatkan kekerasan Fe adalah 203.031416 BHN dan merupakan material yang paling keras, kemudian pada Cu nilai kekerasannya adalah 72.04623596 BHN dan terakhir, material yang memiliki nilai kekerasan terendah adalah Al dengan nilai kekerasan 62.2189302 BHN. Hasil pengujian yang didapatkan telah sesuai dengan literatur karena, berdasarkan literatur urutan kekerasan material dari yang paling rendah ke yang tinggi adalah Al-Cu-Fe. Nilai kekerasan material tergantung kepada densitas bahannya. Dimana, semakin tinggi densitas suatu material maka kekerasan material tersebut akan semakin meningkat. V.2.5 Analisa Hubungan Nilai Kekerasan dengan Sifat Lain Nilai kekerasan suatu material dapat mempengaruhi sifat mekanis dari material itu sendiri, seperti nilai kekuatan tarik dan juga ketahanan aus. Nilai kekuatan tarik suatu material dipengaruhi oleh kekerasan yang dimilikinya. Menurut grafik hubungan antara kekerasan dan kekuatan tarik untuk baja, kuningan dan besi tuang yang ada pada literatur Matreials Science and Engineering An Introduction, nilai kekuatan tarik akan semakin tinggi dengan bertambahnya nilai BHN.

Grafik hubungan antara BHN dan tensile strength

Hubungan antara kekerasan dengan kekuatan tarik material dapat dilihat dari persamaan sebagai berikut. UTS = 500 BHN (pound/in2) UTS = 3,45 BHN (MPa) Nilai BHN yang besar mengakibatkan nilai kekuatan tarik yang besar. Tetapi dengan bertambahnya nilai kekerasan, maka material akan bersifat getas. Sedangkan untuk mendapatkan kekuatan tarik yang tinggi material harus memiliki keuletan yang juga besar agar dislokasi mudah digerakkan. Untuk itu, agar mendapatkan nilai kekuatan tarik yang tinggi, maka material harus memiliki kekerasan dan keuletan yang baik. Sifat mekanik lainnya yang dipengaruhi oleh nilai kekerasan ialah kecepatan keausan. Semakin keras material maka ketahanan ausnya akan semakin meningkat, yang berarti bahwa kecepatan keausan material akan semakin menurun. Karena permukaan material keras, maka abrasive akan lebih sulit unuk mengikis permukaan material

tersebut. Hal itu menjadikan kecepatan aus material tersebut menjadi rendah.

V. Pembahasan V.1 Prinsip Pengujian Pengujian impak merupakan suatu pengujian yang mengukur ketahanan suatu bahan terhadap beban kejut. Pengujian ini menggunakan prinsip penyerapan energi potensial dari pendulum beban yang berayun dari suatu ketinggian tertentu dan menumbuk benda uji sehingga benda uji mengalami deformasi. Besarnya energi yang diserap tersebut merupakan parameter dari ketahanan impak (ketangguhan). Material tangguh akan menyerap energi yang besar tanpa terjadinya retak. Energi yang diserap dapat dibaca pada skala (dial) penunjuk yang telah dikalibrasi yang terdapat pada mesin penguji. Harga Impak suatu material dapat didapat dengan menggunakan rumus:

HI =

E A

E = P (H0 H1) dimana : E = energi yang diserap (Joule) A = luas penampang di bawah takik (mm2) P = beban yang diberikan (Newton) H0 = ketinggian awal bandul (mm) H1 = ketinggian akhir setelah perpatahan benda uji (mm) Pengujian impak ini juga dilakukan untuk menentukan apakah material megalami transisi ulet ke getas dengan menurunnya temperatur. Berbeda dengan efek yang diberikan temperatur terhadap kekuatan dan keuletan suatu logam, maka temperatur memberikan efek yang sangat besar terhadap ketahanan impak. Oleh karena itu terdapat temperatur transisi di mana suatu bahan akan mengalami perubahan jenis perpatahan yang berbeda-beda. Dengan menggunakan sampel baja (Fe) dan tembaga (Cu-Zn) maka dilakukan pengujian impak dengan metode Charpy, dengan temperatur yang berbeda-beda, yaitu; pada temperatur tinggi (dengan pemanasan), temperatur ruang , temperatur 0oC, dan temperatur dibawah 0oC. . Hal ini bertujuan untuk melihat pengaruh temperatur terhadap keuletan material, dan untuk mengetahui temperatur transisi suatu material terhadap jenis patahan. Data yang didapat ialah temperatur uji, luas penampang di bawah takik, serta energi yang diserap. Dari data tersebut maka dicari besarnya HI untuk masing-masing sampel pada masing-masing temperatur uji, dan dimasukan dalam bentuk grafik HI vs Temperatur. Dengan hasil percobaan dan pengolahan data tersebut maka akan dilihat nilai HI dan bentuk perpatahan pada temperatur tertentu.

V.2 Analisa Grafik HI vs T (Sifat Mekanis Hubungan denganT) V.2.1 Analisa Grafik HI vs T (Fe) Pada grafik HI vs T, kita dapat melihat bahwa Fe mengalami peningkatan HI seiring dengan meningkatnya temperatur. Pada temperatur -11oC, HI yang didapat adalah 0.68578185 J/mm2 dan kemudian meningkat seiring kenaikan temperatur, ketika 5oC, HInya adalah 0.87804878 J/mm2 selanjutnya pada, 27oC, nilai HI adalah 1.498080971 J/mm2 dan terakhir pada suhu tertinggi yaitu, 55oC, HInya bernilai 1.710843373 J/mm2. Hal ini menunjukkan bahwa pada temperature rendah, material bersifat brittle karena hanya mampu menyerap sedikit energi sedangkan pada temperature tinggi, material bersifat ductile sebab mampu menyerap energi yang lebih besar daripada saat temperature rendah.sesuai dengan literature yaitu, semakin tinggi temperature maka HI semakin besar yang menunjukkan bahwa mampu menyerap energi lebih besar (sampai batas tertentu) sehingga bersifat ductile. V.2.2 Analisa Grafik HI vs T (Cu-Zn) Pada grafik HI vs T, terlihat bahwa pada temperatur -15oC, HInya adalah 0.16374269 J/mm2, dan pada temperatur 2oC, bernilai 0.169041294 J/mm2 selanjutnya pada temperatur 27oC, nilai HInya 0.145190563 J/mm2 dan ketika temperatur 53oC, nilai dari HI 0.141743444 J/mm2. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya temperatur pada material Cu-Zn menghasilkan penurunnan harga HI yang didapat meskipun pada temperatur 2oC, HI naik dan kemudian turun kembali pada temperatur 27oC hal ini dapat disebabkan karena energi yang terbaca pada skala bukanlah energi yang sebenarnya maksudnya, ketika pendulum dilepaskan dan menabrak sampel posisi notch tidak di tengah sehingga tidak menerima beban sepenuhnya. Selain itu, sampel yang bergeser ketika beban datang pun dapat

menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi sehingga sampel tidak menerima beban dengan maksimal. Berdasarkan literatur, karena struktur Cu adalah kristal FCC , dimana pada struktur kristal bentuk ini logam-logam FCC dengan kekuatan mekanis yang rendah bersifat ulet pada temperatur ruang, sementara bahan dengan kekuatan luluh yang tinggi akan bersifat rapuh. Artinya, kenaikan suhu menyebabkan daya serap energi impak Cu menjadi menurun, sehingga ketahanannya terhadap pembeban yang dilakukan secara mendadak menjadi berkurang. V.2.3 Analisa Grafik HI vs T (Perbandingan Kedua Sampel) Pada grafik HI vs T kedua sampel, terlihat bahwa HI pada Fe lebih tinggi daripada HI pada Cu-Zn. Bentuk grafik kedua sampel pun berbeda pada Fe, grafik naik seiring dengan peningkatan temperatur hal ini menunjukkan bahwa pada temperatur tinggi HInya semakin besar sehingga ketahanan impaknya tinggi. Sedangkan pada Cu-Zn grafik tidak terlihat ekstrim meskipun seiring kenaikan temperatur HInya semakin rendah, hal ini menunjukkan bahwa pada temperatur rendah Cu-Zn memiliki nilai impak yang baik dibandingkan pada temperatur tinggi. V.3 Analisa Temperatur Transisi V.3.1 Analisa Temperatur Transisi (Fe) Temperatur transisi merupakan temperature yang menunjukkan transisi perubahan jenis perpatahan pada material ketika diuji pada temperature yang berbeda. Temperatur transisi terjadi karena, perubahan vibrasi atom pada temperatur yang berbeda-beda. Pada temperatur tinggi, vibrasi atom semakin tinggi sehingga menghambat pergerakan dislokasi. Sehingga, dibutuhkan energi yang lebih besar untuk mematahkan benda uji. Sedangkan, pada temperatur rendah vibrasi atom menjadi relatif sedikit sehingga pada saat material

dideformasi pergerakan dislokasi semakin mudah yang menyebabkan material menjadi mudah dipatahkan dengan energi yang lebih rendah. Berdasarkan grafik, kita dapat melihat bahwa Fe memiliki temperatur temperatur transisi rendah karena ke memliki peningkatan tinggi yang yang cukup HI dari temperatur besar.

Temperatur transisi terjadi pada Fe karena, Fe merupakan logam yang memiliki struktur kristal BCC. Menurut literatur, struktur kristal ini mengalami transisi perpatahan ulet ke getas jika temperatur diturunkan. Pada BCC, harga impak mempunyai hubungan dengan kekuatan luluh suatu material. Untuk logam berkekuatan luluh rendah bersifat ulet pada semua temperatur sedangkan bahan dengan kekuatan luluh yang tinggi bersifat rapuh. Material BCC akan bersifat rapuh pada temperatur rendah karena kekuatan luluhnya meningkat sedangkan bersifat ulet pada temperatur tinggi karena kekuatan luluhnya menurun. Pada baja, temperatur transisi adalah pada. Penentuan tersebut dilihat dari gambar patahan yang terjadi pada sampel. Karena saat temperatur 0C, permukaan patahan sampel terang tetapi memiliki necking. Berdasarkan literatur, pada daerah temperatur transisi maka logam akan mengalami karakteristik campuran antara ulet dan getas. Jadi, karena saat temperatur 0C sampel mengalami karakteristik campuran getas dan ulet, maka temperatur tersebut berada dalam temperatur transisi.

Transition temp. range

Ductile failures Energy to rupture

Mixed failures Brittle failures

Increasing Temperature

V.3.2 Analisa Temperatur Transisi (Cu-Zn) Berdasarkan grafik, kita dapat melihat bahwa nilai harga impak Cu-Zn pada berbagai temperatur memiliki nilai yang tidak berbeda jauh. Hal ini menunjukkan bahwa pada Cu-Zn tidak memiliki Hal ini temperatur transisi pada range temperatur yang diujikan.

dikarenakan struktur dari Cu-Zn adalah FCC sehingga memiliki sifat ulet pada temperatur rendah. Sesuai dengan literatur yaitu, tidak semua campuran logam mengalami transisi ulet ke getas. Campuran logam yang memiliki struktur kristal FCC (termasuk campuran dengan Al dan Cu sebagai logam dasar) bahkan mengalami sifat ulet pada temperatur yang sangat rendah. V.4 Analisa Hasil Perpatahan untuk Tiap Sampel pada Tiap T V.4.1 Analisa Hasil Perpatahan (Fe) Dari gambar sketsa patahan pada tabel diatas, untuk logam Fe, pada temperature rendah (-11oC) sampel Fe mengalami patah yang sempurna, permukaan patahnya rata, dan terang. Begitu juga dengan hasil patahan logam Fe pada temperature 5oC perpatahan yang dialami logam Fe juga sempurna dengan permukaan rata dan terang. Ini menunjukkan jenis perpatahan brittle atau rapuh yang disebabkan logam Fe mengalami temperatur transisi dimana pada suhu rendah Fe

bersifat brittle. Dimana perpatahan rapuh terjadi jika retak mikro yang terbentuk akibat pergerakan dislokasi secara bersama, merambat dalam waktu sangat singkat sehingga belum terjadi relaksasi
(sumber : Smallman, RE, Metalurgi Fisik Modern hal 498)

tegangan secara slip didaerah yang berdekatan.

Pada suhu ruang (27oC), perpatahan yang terjadi tidak sempurna, permukaan perpatahan rata dan agak terang walaupun ada beberapa tempat yang agak ciri buram. Karena ductile perpatahan dan rapuh, yang maka terjadi jenis menunjukkan perpatahan

perpatahan yang terjadi adalah jenis patahan campuran. Pada suhu tinggi (55oC), sampel Fe tidak patah secara sempurna. Perpatahannya agak berserabut dan permukaannya tidak datar. Selain itu warna hasil patahannya agak buram. Semua ciri ini menunjukkan bahwa pada suhu tinggi logam Fe mengalami perpatahan ulet. Dimana pada perpatahan ulet, patah dengan cara penyobekan perlahanperlahan logam, dengan pengeluaran energi yang besar.
(sumber: Sriati Djaprie, Metalurgi Mekanik, Terjemahan Jilid 1. Erlangga:1990)

Hsil pengujian yang didapatkan sesuai dengan literatur dimana, menyebutkan bahwa semakin tinggi temperatur maka material akan menjadi ulet. Ini berkaitan dengan adanya vibrasi atom-atom bahan pada temperature berbeda dimana pada temperatur kamar vibrasi berada dalam kondisi kesetimbangan dan selanjutnya akan menjadi tinggi bila temperatur dinaikkan. Vibrasi atom inilah yang berperan sebagai suatu penghalang terhadap pergerakan dislokasi pada saat deformasi kejut dari luar. Dengan tingginya vibrasi maka pergerakan dislokasi menjadi relative sulit sehingga dibutuhkan energi yang lebih besar untuk mematahkan benda uji. Sebaliknya pada suhu dibawah nol vibrasi atom relative sedikit sehingga bahan dideformasi, pergerakan dislokasi menjadi lebih mudah dan benda uji menjadi lebih mudah dipatahkan dengan energi yang lebih rendah. Fenomena ductile to

brittle transition ini muncul pada material yang memiliki struktrur kristal BCC. Pada temperatur kamar , kristal BCC bersifat ulet. Pada penurunan temperatur, kristal BCC menjadi amat getas. Data pada temperatur 55oC dan 5oC merupakan data dari kelompok 6. Hal itu dikarenakan pada pengujian impak untuk temperatur tersebut hasil yang didapatkan tidak valid karena sampel kami tidak patah. Hal ini dapat disebabkan karena ketika pendulum dilepaskan dan menabrak material material bergeser sehingga tidak menerima beban. Juga disebabkan karena posisi material tidak tepat ditengah sehingga tidak pas di bagian takik. V.4.2 Analisa Hasil Perpatahan (Cu-Zn) Dari hasil pengujian impak untuk logam CuZn, semua sampel pada beragam temperatur patah secara sempurna. dan perpatahan yang terjadi adalah brittle yang dihasilkan oleh mekanisme pembelahan butir-butir logam yang ditandai dengan permukaan patahan yang datar dan berbentuk chevron atau fan like pattern serta mampu memberikan daya pantul cahaya yang cukup tinggi (mengkilat). Langkah alur cleavage terjadi ketika retakan berjalan sepanjang dua bidang sejajar dan bergabung membentuk rangkaian retakan yang menyebabkan terbentuknya cleavage sekunder. Langkah-langkah seperti itu umumnya berlangsung secara paralel ke arah retakan dengan membelah butiran-butiran yang digambarkan secara transkristalin. Struktur kristal FCC relatif tidak mengalami reaksi terhadap penurunan suhu lingkungan dan kenaikan suhu. Selain itu struktur kristal FCC memiliki banyak variasi bidang geser membuat energi impak yang diserap oleh material menjadi lebih besar. Pada struktur kristal dengan variasi bidang geser yang sedikit, energi impak digunakan untuk memutuskan ikatan antar atom dan menggerakkan atom pada berbagai arah bidang geser. Sehingga pada saat dikenai

impak, material akan sempat mengalami deformasi plastis terlebih dahulu. Sedangkan pada kristal BCC, variasi bidang geser yang relatif lebih sedikit membuat energi yang diserap oleh material lebih sedikit. Pada suhu kamar, sifat keuletan material tidak jauh berbeda dengan FCC. Namun pada penurunan suhu, struktur BCC menjadi bersifat Dengan demikian, dapat disimpulkan pada logam CuZn tidak terjadi transisi ductile-brittle dengan perubahan temperatur. seperti material HCP

Anda mungkin juga menyukai