Makna Arsitektur
Ruang di Permukiman Vernakular:
Suku Batak Toba di Daging
Desa, Toba,
Indonesia
Parmonangan Manurung1 ; Sudaryono Sastrosasmito2 ; Diananta Pramitasari3
1 Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
2,3Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik,
Universitas Gadjah Mada
Indonesia
Abstrak
Batak Toba merupakan salah satu suku di Indonesia yang secara tradisional
bermukim di daerah perbukitan di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara. Namun,
ruang arsitektur dan pemukiman vernakular suku ini telah banyak dipengaruhi oleh
modernisasi dan perubahan gaya hidup. Salah satu kawasan yang mengalami
perubahan pesat dan pembongkaran yang tidak dapat dihindari adalah Desa Daging.
Perkenalan
Menurut Bagun (1982, dikutip Sugiyarto, 2017), Batak Toba merupakan salah satu suku di
Indonesia yang mendiami sebagian besar wilayah sekitar Danau Toba. Ini adalah danau vulkanik terbesar
di dunia (Chesner, 2012; Kaars et al., 2012), terbentuk oleh letusan signifikan sekitar 74.000 tahun yang
lalu (Blinkhorn et al., 2012; Costa et al., 2014; Williams, 2012, dikutip oleh Smith dkk., 2018). Berbeda
dengan suku lain yang lebih menyukai perladangan berpindah, Batak Toba menjalankan sistem pertanian
permanen dan pemukiman (Tjahyono, dikutip Wuisman, 2009).
Jurnal Masyarakat Internasional untuk Studi Permukiman Vernakular 23
Terindeks Scopus Sejak 2016
Machine Translated by Google
Meskipun budaya Toba menghasilkan arsitektur dan pemukiman vernakular yang menarik dan bermakna,
modernisasi dan perubahan gaya hidup telah menyebabkan transformasi perkembangannya (Hanan,
2010, 2012; Hanan & Meisyara, 2017).
Publikasi penelitian mengenai arsitektur vernakular semakin meningkat, khususnya di negara-
negara Asia. Indonesia termasuk dalam 20 negara yang menghasilkan publikasi arsitektur vernakular
(Benkari et al., 2021). Hal ini menunjukkan bahwa arsitektur vernakular merupakan topik yang menarik
untuk dieksplorasi dan diteliti sehingga dapat diterapkan pada bangunan baru. Hilangnya arsitektur
vernakular merupakan masalah global yang disebabkan oleh modernisasi dan perkembangan teknologi
(Michiani & Asano, 2016). Hal ini menyebabkan memudarnya identitas dan menurunnya citra daerah
tersebut sebagai suku Batak Toba (Antono, 2005; Maulana & Suswati, 2014; Napitupulu dkk., 1997).
Menurut Philokyprou & Michael (2020), arsitektur vernakular merupakan warisan budaya berharga yang
patut dilestarikan. Dayaratne (2018) menyatakan bahwa permukiman vernakular yang berorientasi lokalitas
mampu menciptakan lingkungan berkelanjutan dalam konteks yang lebih makro.
Berbagai upaya dilakukan untuk memulihkan hilangnya kearifan lokal serta budaya dan nilai-
nilai sosial akibat transformasi arsitektur vernakular. Umumnya proses ini dilakukan pada aspek
penggunaan material, teknik konstruksi, pengaruh sosial budaya, sosial ekonomi, dan dampak perubahan
iklim (Jagatramka et al., 2021).
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi makna ruang arsitektur Batak Toba dan
permukiman vernakular masyarakat di Desa Meat, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara.
Desa Daging dipilih sebagai lokasi penelitian karena mewakili pemukiman suku Batak Toba yang terletak
di tepi Danau Toba yang dikelilingi pegunungan.
Selain itu, terdiri dari beberapa gubuk (pemukiman vernakular) dengan arsitektur vernakular yang berbeda-
beda, yang juga mengalami transformasi akibat modernisasi.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Daging, Kabupaten Toba, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia
seperti terlihat pada Gambar 1 dan 2. Terdiri dari Dusun I, II, dan III, serta kurang lebih 20 pemukiman
adat yang secara tradisional disebut Huta .
Menurut kepala desa, desa ini didirikan pada tahun 1800-an oleh 4 orang keturunan ( pomparan) Sibagot
ni Pohan, yaitu Tuan Sihubil, Tuan Somanimbil, Tuan Dibangarna, dan Raja Sonak Malela. Setiap
keturunan mempunyai anak yang namanya kemudian menjadi marga suku Batak Toba, seperti Tampubolon
(anak Tuan Sihubil); Siahaan, Simanjuntak, dan Hutagaol
Gambar 1: (a) Provinsi Indonesia & Sumatera Utara; (b) Lokasi Penelitian di tepi Danau Toba Sumber: Diolah berdasarkan Peta
Wilkerstat 2019, Badan Pusat Statistik (https://geoportal.bps.go.id/maps/apps/webappviewer/
index.html?id=b47355787be7484f9ba023a407a5
a15a. Diakses pada 14 Oktober 2021)
Tinjauan Literatur
Budaya, ruang, dan makna
Lefebvre (1991) menyatakan bahwa ruang merupakan produk sosial yang dihasilkan oleh
sekelompok orang. Sementara itu, Rapoport (1980) melaporkan bahwa “templat” budaya membentuk
lingkungan dan gaya hidup. Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian Koentjaraningrat (2004)
bahwa kebudayaan mewujud dalam bentuk ‘ideal’ yang mengendalikan nilai-nilai dan budi pekerti,
kemudian bentuk ‘perilaku’ dan ‘fisik’ hadir sebagai perwujudan nilai-nilai dan aktivitas kemanusiaan.
Teori-teori tersebut menunjukkan bahwa penataan ruang sebagai wujud fisik kebudayaan mempunyai
nilai dan berperan dalam mewadahi aktivitas manusia. Rapoport (1980) menyatakan bahwa lingkungan
binaan lebih dari sekedar benda fisik karena mempunyai makna dan berperan dalam membangun
identitas masyarakat.
Menurut Rapoport (1969), bangunan dibedakan sejalan dengan tradisi melalui “arsitektur
rakyat” dan “desain besar”. Arsitektur rakyat terbagi menjadi primitif dan vernakular, melambangkan
bentuk fisik kebudayaan dan mengandung nilai-nilai. Rapoport selanjutnya membagi arsitektur vernakular
menjadi dua kategori, yaitu “pra-industri dan modern”. Rumah sebagai suatu produk suatu bangunan
tidak dapat dipisahkan dari permukiman sebagai suatu tatanan ruang dalam skala yang lebih luas karena
membentuk suatu sistem sosial dan keruangan, termasuk pandangan hidup. Oleh karena itu, aktivitas
keseharian masyarakat tidak hanya terjadi di dalam rumah saja, namun juga dalam skala spasial yang
lebih besar yaitu pemukiman.
Rumah dan permukiman merupakan produk penataan ruang; oleh karena itu, penting untuk
memahami, menganalisis dan membandingkan lingkungan binaan, yang lebih mendasar daripada
bentuk, materi, dan karakter lain yang dipandang sebagai organisasi makna (Rapoport, 1980, 1990).
Rapoport melaporkan bahwa penataan ruang mengungkapkan makna dan bersifat komunikatif ketika
dikonseptualisasikan sebagai sesuatu yang permanen. Ini menyiratkan bahwa hal itu sering diungkapkan
melalui semi-
fitur permanen, seperti simbol, bahan, warna, bentuk, dan ukuran. Makna dikaitkan dengan komunikasi
antara lingkungan dan manusia
(Rapoport, 1980, 1990; Lefebvre, 1991). Pengorganisasian ruang dan makna mencerminkan dan
mempengaruhi komunikasi, suatu cara penting untuk menghubungkan lingkungan binaan dan organisasi
sosial.
Ada dua tipe rumah adat Batak Toba, Sitolumbea atau Bolon
dengan tangga pintu di bagian dalam dan Sisampuran atau Sibaba ni Amporik dengan ciri-ciri tersebut di
depan (Antono, 2005; Manurung, 2018). Bangunan lain yang berfungsi sebagai lumbung dan rumah
tinggal disebut Sopo (Domenig, 2003).
Pemukiman vernakular suku Batak Toba disebut Huta, dikelilingi tembok yang berfungsi
sebagai benteng batu yang di atasnya ditanami pohon bambu. Dindingnya dibangun dengan tinggi dua
hingga tiga meter dan tebal dinding kurang lebih satu setengah meter (Hanan, 2012; Setiawan, 2018;
Siahaan, 2005).
Dalam membangun desa (Huta) atau pemukiman, masyarakat Batak Toba mengolah alam perbukitan di
sekitar Danau Toba menjadi tanah datar, sedangkan bebatuan dijadikan bahan untuk membangun
benteng di sekitar desa (Setiawan, 2018). Vergouwen (2004) menggambarkan pemukiman vernakular
sebagai sebuah lapangan persegi yang dikelilingi tembok yang ditanami pohon bambu sebagai benteng
perlindungan. Di dalam kampung terdapat beberapa deretan rumah yang saling berhadapan dengan
lumbung padi (Sopo) yang dipisahkan oleh pelataran yang berfungsi sebagai ruang terbuka.
Metode Penelitian
Metode penelitian fenomenologi transendental yang terdiri dari paradigma dan prosedur
kualitatif (Abakpa et al., 2017; Kafle, 2011) digunakan untuk mengeksplorasi makna ruang-ruang arsitektur
dan permukiman vernakular ( huta) Batak Toba. Menurut Manurung dkk. (2022), fenomenologi
transendental merupakan metode penelitian kualitatif yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi “makna
ruang arsitektur dalam arsitektur vernakular”.
Penelitian fenomenologis merupakan proses kualitatif dan terbuka yang terdiri dari beberapa tahapan
persiapan seperti pengumpulan data, pengorganisasian, dan analisis (Moustakas, 1994). Proses
pengumpulan data utama yang terkait dengan metode ini adalah wawancara dengan menerapkan epoche,
yaitu memandang objek penelitian dengan jelas, dan bebas dari intervensi (Priest, 2002; Moustakas, 1994).
Berbagai tahapan analisis dalam fenomenologi transendental meliputi “horizontalisasi”,
“tematisasi”, “deskripsi tekstur”, “deskripsi struktural”, dan pengintegrasian deskripsi untuk memperoleh
makna dan esensi (Moustakas, 1994). Dalam penelitian ini tahap horizontalisasi dilakukan dengan
menentukan satuan informasi. Seluruh transkrip wawancara direduksi dan dikategorikan dengan
menghilangkan informasi yang tidak relevan, sedangkan yang relevan dan bermakna dikelompokkan ke
dalam unit-unit kemudian dirangsang untuk membangun tema (thematizing). Prosesnya dilanjutkan
dengan mengintegrasikan dan menginduksi tekstur dan struktur dalam tema untuk memperoleh makna
ruang dan permukiman arsitektur vernakular Batak Toba.
Dusun I
Dusun ini terdiri dari Huta Simanjuntak karena pendiri dan pemiliknya berasal dari marga
Simanjuntak. Gambar 3 dan 4 menunjukkan lokasi arsitektur vernakular Batak Toba di Huta Simanjuntak
yang terletak bersama dengan rumah-rumah baru. Rumah-rumah vernakular yang terdapat di kawasan ini
sebagian masih dalam kondisi baik walaupun kurang perawatan, ada pula yang sudah mendapat
tambahan bangunan baru di bagian samping dan belakang.
Dusun ini terdiri dari Lumban Tonga-Tonga, sebuah Huta marga Sianipar dengan 2 tipe
arsitektur vernakular yaitu rumah Bolon dan Sopo . Bangunan-bangunan tersebut telah mengalami
revitalisasi dan kini difungsikan sebagai homestay bagi wisatawan. Letak dan kondisi Huta menunjukkan
modernisasi dengan adanya rumah Vernakular dan Sopo yang letaknya berdampingan, seperti terlihat
pada Gambar 5 dan 6.
Gambar 8: Arsitektur vernakular di Huta Saitnihuta tahun 2018(a); dan 2019 (b).
Sumber: Dokumentasi Manurung (Juli 2018; dan Mei 2019)
Sebaliknya Jabu Ipar-ipar berfungsi sebagai Paisolat, sebutan bagi orang yang bukan anggota keluarga tetapi tinggal di
dalam rumah. Jabu Soding merupakan ruang yang diperuntukkan bagi tamu yang memiliki hubungan keluarga, sedangkan
Jabu Ipar-ipar diperuntukkan bagi mereka yang tidak memiliki ikatan apapun.
Observasi dan wawancara dilakukan terhadap responden yang pernah membongkar rumah Adat Batak Toba
dan menggantinya dengan bangunan baru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi rumah baru mirip dengan rumah
Batak; terutama bagian depannya. Terungkap posisi Jabu Bona dan ruang tamunya berbentuk rumah vernakular.
Sedangkan ruang lain seperti dapur, kamar mandi, dan teras belakang tidak mengikuti tatanan tersebut. Gambar 11
menunjukkan denah rumah baru yang dibangun untuk menggantikan bangunan vernakular. Ruang inti termasuk Jabu
Bona dan pembatas di sisi depan berada dalam zona yang sama dengan rumah Batak. Serambi rumah baru tidak boleh
melewati garis yang dibentuk oleh rumah vernakular dan mengikuti garis yang sama.
Gambar 11: Tata Ruang Rumah Baru (tengah) Diapit Rumah Vernakular
Sumber: Dokumentasi Manurung (Agustus 2021)
Doa dan permohonan dilanjutkan dengan peletakan berbagai sesaji di sisi paling kanan pondasi bangunan,
seperti terlihat pada Gambar 12a. Hal ini mewakili harapan pemilik rumah yang percaya bahwa sisi kanan membawa
rejeki, dan permintaan yang disampaikan melalui simbol-simbol sesaji terwujud ketika tinggal di rumah tersebut. Posisi
yang tepat sebagai lokasi peletakan sesaji diartikan sebagai Bona (utama/asal), seperti terlihat pada Gambar 12b. Jabu
Bona berarti tempat tinggal suku Batak Toba karena ruang tersebut selalu hadir di setiap rumah, meski terjadi
pergeseran gaya arsitektur.
Gambar 12: Peletakan batu pertama dan sesaji sebagai bagian dari upacara.
Sumber: (a) Dokumentasi Samson Sihombing (Juni 2021); (b) Dokumentasi Manurung (Agustus 2021).
Observasi di lapangan menunjukkan terdapat 3 gaya arsitektur hunian di Desa Daging dengan periode
yang berbeda-beda. Mereka menunjukkan beragam perbedaan, baik pada gaya arsitektur, sistem struktur dan material,
serta fasad rumah. Rumah baru dan rumah lama dikenal dengan sebutan bangunan tapak dan panggung.
Perbedaannya juga terlihat pada tata ruang bagian dalamnya, dengan persamaan yaitu keberadaan dan kedudukan
Jabu Bona. Ruang lain seperti Jabu Soding, Jabu Ipar-ipar, dan Jabu Suhat juga mengalami pergeseran posisi dan
makna. Sedangkan Jabu Bona tetap pada posisi yang sama dengan arsitektur vernakular serupa.
Meski sebagian besar responden belum memahami nama dan fungsi ruang lain di dalam rumah, namun
mereka mengetahui bahwa Jabu Bona perlu selalu hadir dan diposisikan di sisi kanan belakang, atau di belakang Jabu
Soding. Pada rumah baru, perbedaan makna terlihat pada Jabu Soding dan Jabu Ipar-ipar. Bagian depan kanan rumah
vernakular yang dibangun oleh nenek moyang Desa Daging seperti Jabu Soding diperuntukkan bagi tamu yang
mempunyai hubungan kekerabatan dengan pemilik rumah. Jabu Soding letaknya bersebelahan dengan Jabu Bona
yang fungsinya mirip dengan Jabu Ipar-ipar. Perbedaan keduanya terletak pada kekerabatan tamu dengan pemiliknya.
Misalnya Jabu Soding diperuntukkan bagi tamu yang merupakan keluarga, maka Jabu-Ipar-ipar diperuntukkan bagi
mereka yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan pemiliknya.
Fungsi sebuah ruangan untuk tamu mempunyai penafsiran yang beragam. Misalnya, di beberapa rumah,
Jabu Soding dan Jabu Ipar-ipar berfungsi sebagai ruang tamu, sementara ada pula yang berfungsi sebagai ruang tamu.
Ruang tamu di Jabu Soding dan Jabu ipar-ipar diperuntukkan bagi pengunjung yang tidak mempunyai hubungan
keluarga dengan pemilik rumah. Namun jika tidak ada tamu, anak pemilik dapat menempati kamar ini.
Jurnal Masyarakat Internasional untuk Studi Permukiman Vernakular 31
Terindeks Scopus Sejak 2016
Machine Translated by Google
Sedangkan Jabu Suhat yang berada di sisi kiri belakang rumah Adat Batak Toba mempunyai kedudukan
yang beragam dalam perkembangannya. Belum ada patokan posisi Jabu Suhat di rumah baru tersebut.
Namun berfungsi sebagai kamar tidur anak pemiliknya. Dalam pembangunannya, pemilik rumah menempati
ruangan di bagian belakang dan depan, baik di sisi kiri maupun kanan, berbeda dengan posisi Jabu Bona
yang selalu standar.
Gambar 13a menunjukkan tata letak rumah adat Batak Toba. Sisi kanan merupakan ruang yang
diperuntukkan bagi orang-orang terhormat, baik pemilik rumah maupun tamu. Sedangkan yang kiri
diperuntukkan bagi tamu yang tidak ada hubungan keluarga. Pada bagian belakang terdapat ruang yang
ditempati oleh pemilik dan keluarga, sedangkan ruangan bagian depan diperuntukkan bagi para tamu,
seperti terlihat pada Gambar 13b. Fungsi ruangan pada rumah baru ditunjukkan pada Gambar 14, dimana
Jabu Soding dan Jabu Ipar-ipar digunakan sebagai tamu, ruang tamu, dan kamar anak.
Gambar 13: Tata letak berdasarkan (a) Konsep Siamun; dan (b) hubungan keluarga.
Sumber : Diolah berdasarkan informasi dari informan (September 2021)
Dalam rumah adat Batak Toba, makna Jabu Soding sangat jelas jika diterapkan pada Manjahe
Anak Boru dan diperuntukkan bagi tamu yang mempunyai hubungan keluarga. Manjahe yang artinya 'berpisah'
adalah sebutan untuk anak pemilik yang sudah menikah. Anak perempuan yang sudah menikah (Boru) adalah
milik suami dari marga lain, oleh karena itu mereka dianggap sebagai tamu yang berkerabat dengan pemilik
rumah. Status tersebut membuat putri dan hela (menantu) menduduki Jabu Soding.
Secara sosial, menantu menjadi Boru (Parmoruan) dan diberikan ruangan permanen dengan ruang definitif
dan tembok pembatas. Hal ini tidak berlaku bagi anak laki-laki yang sudah menikah karena mereka dan istrinya
adalah penerus marga pemilik rumah. Oleh karena itu, mereka tetap menduduki Jabu Suhat
tanpa tembok pembatas.
Manjahe merupakan penerapan konsep Siamun yang menandakan bahwa menantu laki-laki yang
menikah dengan putri pemilik rumah (Boru) menjadi pihak Boru, sedangkan pemiliknya adalah hula-hula, gelar
terhormat di Batak Toba. Temuan ini memperkuat bahwa Jabu Bona
posisi disebelah kanan Jabu Soding ditempati oleh sang menantu. Jabu Bona mempunyai kedudukan yang
sangat penting dan dihormati yang ditempati oleh seorang pemilik rumah sebagai ahli waris dan penerus suatu
marga (keturunan).
Di beberapa pemukiman, rumah dikembangkan menjadi Lapo (toko tuak), warung, dan homestay
untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Gambar 16 menunjukkan berbagai zona pada kawasan tempat
tinggal sebagai ruang ekonomi. Lapo selalu dijumpai pada teras dengan hanya menambahkan meja dan kursi
tanpa membangun elemen fisik. Sebaliknya, kios-kios ditambahkan di sisi depan sebagai bangunan semi
permanen. Sedangkan homestay merupakan bangunan permanen berupa ruangan-ruangan tambahan di
bagian samping, belakang, dan lantai dua bagian belakang.
Proses menenun yang dilakukan pada beberapa ruang seperti ruang tamu, ruang keluarga, dan ruang
makan, memerlukan pencahayaan yang baik. Oleh karena itu, pemilihan ruang menyesuaikan faktor-faktor tersebut.
Ruang-ruang ekonomi yang dikembangkan seperti posisi Jabu Bona tidak mengganggu tata ruang rumah. Namun
transformasi ruang terjadi akibat adanya penambahan ruang ekonomi, namun tetap mempertahankan posisinya.
Terlepas dari beragam transformasi tata ruang, Jabu Bona selalu ditempatkan di sisi kanan rumah.
Berdasarkan maknanya, Jabu Bona selalu diposisikan pada sisi kanan punggung, dan proses peletakan batu
pertama ditempatkan pada sisi samping. Bona yang berarti 'pokok' atau 'asal usul' itulah inti dari berbagai harapan
yang dihadirkan melalui sesaji pada saat pembangunan untuk mengingatkan warga agar selalu mengingat asal
usulnya. Oleh karena itu, perlu selalu ada di setiap rumah.
Gambar 17: Ruang halaman sebagai ruang bersama dan akses keluar pondok
Sumber : Diolah berdasarkan informasi dari informan (September 2021)
Upaya menjaga dan melestarikan ruang pekarangan juga dilakukan dengan mencegah warga Huta
membangun pagar rumah. Kondisi ini berbeda dengan rumah yang tidak dibangun di permukiman vernakular yang
diperbolehkan berpagar. Proses ini dimaknai sebagai upaya memisahkan diri dari Huta dan warganya yang
sebenarnya merupakan satu keluarga besar dari satu garis keturunan dan marga. Pagar yang diperbolehkan hanya
untuk membatasi Huta yang berbentuk parik, bukan rumahnya.
Sedangkan ruang dalam digunakan untuk menjemur padi, jagung, dan hasil kebun lainnya yang menjadi
sumber pendapatan seperti terlihat pada Gambar 18. Hasil panen tidak hanya dikonsumsi sebagai
kebutuhan keluarga, melainkan sebagai sumber penghasilan tambahan. Warga Huta memanfaatkan
pekarangan untuk berbagai kebutuhan tersebut, terutama pada bagian depan rumah sebagai ruang
kekerabatan yang diwariskan pendiri kepada keturunannya.
Halaman digunakan sebagai ruang bersama untuk interaksi antar keluarga dekat dan untuk acara
kebudayaan. Hubungan kekeluargaan membuat penghuninya memanfaatkan halaman layaknya ruang
keluarga di dalam rumah untuk beraktivitas sehari-hari seperti bersosialisasi, menenun, hingga bermain anak-anak.
Dalam acara pesta adat mewadahi kegiatan upacara yang dilakukan oleh warga.
Huta di Desa Daging tidak lagi memiliki sopo karena lokasinya dimanfaatkan untuk membangun
rumah bagi penduduk yang semakin bertambah. Saat ini, banyak anak muda Huta yang tidak lagi memiliki
rumah Batak Toba semi permanen dan permanen yang dulunya digunakan untuk menyimpan beras. Tanpa Sopo
dan rumah Batak, keberadaan Huta tetap bertahan karena adanya bencana dan ditinggalkan penghuninya.
Hal ini menunjukkan bahwa Huta bukan sekedar wujud fisik dan spasial. Melainkan bersifat budaya.
Selanjutnya ruang pomparan (keturunan) yang disahkan oleh horja merupakan dewan adat yang terdiri atas
wakil-wakil raja. Berdasarkan penelitian pendahuluan, Huta terletak di lingkungan mana saja, misalnya di
lereng bukit, dan di tanah datar di tepi danau. Orientasinya mengarah ke berbagai arah dan luasnya
bergantung pada tanah milik raja.
Meski tidak terikat oleh orientasi dan kondisi situs, sebuah Huta hanya ada jika mendapat legitimasi dan
persetujuan dari horja. Artinya Horja punya kewenangan mengambil keputusan
keberadaan keturunannya. Secara spasial, keberadaan Huta diawali dengan dibangunnya sebuah gapura
yang merupakan simbol legitimasi horja.
Gambar 19: Kedudukan hela ( partai boru ) dalam skala Huta (permukiman vernakular).
Sumber : Diolah berdasarkan informasi dari informan (September 2021)
Sebuah Huta cenderung berdiri secara budaya dengan asumsi disetujui oleh horja, representasi
pomparan dan diwujudkan secara fisik dalam pembangunan sebuah gerbang. Hal ini menjadi simbol resmi
berdirinya sebuah Huta yang dilanjutkan dengan pembangunan rumah, Sopo, dan Parik.
Selanjutnya, Huta didirikan melalui pesta adat dengan horja, dan pembangunan gerbang. Kemudian
disusul dengan pembangunan rumah raja Huta , Parik, dan Sopo yang memakan waktu hingga 3 tahun,
seperti terlihat pada Gambar 20. Hal ini menunjukkan bahwa Huta menegaskan keberadaan horja dan
pomparan, dan bukan sekedar sekedar ruang perumahan. Pomparan dicanangkan dengan penetapan
wilayah bagi masing-masing marga keturunannya. Keberadaan marga ini disadari oleh raja Huta melalui
keturunannya yang membangun rumah-rumah lainnya.
Secara spasial, Huta merupakan wilayah kekuasaan marga, keberadaan pomparan dikukuhkan
melalui pengembangan dan perwujudan ruang-ruang hunian oleh keturunannya. Dalam
Dalam konteks ruang pemukiman, Huta berbeda dengan desa lain yang pemimpinnya dipilih melalui
pemungutan suara. Para pendiri marga ini cenderung memperkuat eksistensinya melalui pembangunan
rumah keturunan hingga terbentuknya komunitas. Huta tidak terpengaruh oleh jumlah rumah dan masing-
masing terdiri dari 'kamar' bagi keturunan pemiliknya. Di sisi lain, halaman berperan sebagai 'ruang
keluarga' yang berfungsi sebagai ruang bersama untuk acara kebudayaan. Padahal dalam
perkembangannya terjadi perubahan wujud fisik dan arsitektur Huta
Tata letaknya tetap sama dan bangunannya berjajar dalam 2 baris dan berorientasi pada halaman yang
merupakan ruang bersama.
Siahaan merupakan satu-satunya marga di Desa Daging dengan Huta terbanyak yang
berkerabat dekat dengan Dusun II dan III. Selain memiliki kedekatan spasial berdasarkan marga, juga
memiliki kedekatan spasial dengan Huta Simanjuntak dan Hutagaol, sebagai anak Tuan Somanimbil. Pola
ini juga dibentuk oleh Huta lain, seperti Tampubolon dan Sibarimbing, sebagai anak Tuan Sihubil.
Gambar 21 Penataan ruang desa berupa keberadaan pomparan secara tata ruang .
Sumber: Diolah berdasarkan temuan lapangan (Oktober 2021)
Temuan menunjukkan bahwa penataan ruang desa merupakan wujud pomparan tata ruang
pada tataran makro. Huta membentuk ruang sebagai pemukiman yang mewakili marga dan didirikan
berdasarkan kedekatan genealogis dalam suatu marga atau pomparan . Oleh karena itu, semakin makro
tata ruang maka semakin tinggi pula cakupan silsilahnya. Huta merupakan representasi kawasan pomparan
dalam tata ruang messo yang dibentuk berdasarkan relasi keruangan
marga-marga yang ada di pomparan Sibagot ni Pohan seperti terlihat pada Gambar 21. Setiap Huta
dikelilingi oleh persawahan warga dan dihubungkan dengan jaringan jalan desa. Selanjutnya Huta
ruang, persawahan, dan jaringan jalan membentuk tata ruang desa yang dikelilingi perbukitan dan Danau
Toba.
Kesimpulan
Kesimpulannya, ruang arsitektural di Desa Daging adalah Bona yang artinya 'asal' atau 'yang
utama'. Selain itu, transformasi gaya arsitektur selama ratusan tahun tidak mengurangi makna ruang.
Jabu bona selalu hadir dalam berbagai transformasi gaya arsitektur, dan menempati posisi terhormat di
sisi kanan pemiliknya, sebagai pewaris dan penerus marga. Sedangkan Huta adalah adanya suatu garis
keturunan (pomparan), dan hanya dapat berdiri bila disahkan oleh horja yang merupakan perwakilan
pomparan dan wakil raja Huta . Berdirinya Huta merupakan perwujudan keberadaan Pomparan yang
diwujudkan melalui gapura. Artinya, posisi gapura tersebut harus berada di sebelah kanan rumah raja
Huta. Ruang dalam skala mikro, mezzo, dan makro merupakan wujud keberadaan keturunan Sibagot ni
Pohan.
Selanjutnya, semakin makro tata ruang maka semakin tinggi cakupannya dalam silsilah, begitu pula
sebaliknya.
Makna ruang arsitektural pada rumah tinggal dan permukiman vernakular di Desa Daging tetap
terjaga meski terjadi transformasi akibat modernisasi dan pergeseran gaya hidup. Makna ruang dalam
skala mikro dan mezzo menjadi acuan dalam pengembangan arsitektur di Desa Daging. Oleh karena itu,
perkembangan akibat modernisasi dan gaya hidup berorientasi pada lokalitas yang diwariskan nenek
moyang.
Pengakuan
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Program Doktor Arsitektur, Jurusan Arsitektur dan
Perencanaan, Fakultas Teknik, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada yang telah mendukung
penelitian ini. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Pengelola Dana Penelitian
(LPDP) yang telah mendanai penelitian ini dan program doktor melalui beasiswa BUDI-DN.
Referensi
Abakpa, BO, Agbo-Egwu, AO, & Abah, JA (2017). Menekankan Fenomenologi Sebagai Paradigma
Penelitian untuk Menafsirkan Pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Matematika.
Seri Pendidikan Matematika, 42(1), 391–405.
Antono, YS (2005). RumahTradisional Batak Toba Menuju Kepunahan: Suatu analisis antropologis.
LOGOS Jurnal FilsafatTeologi, 4(2), 107–133.
ÿ
Benkari, N., Jamali, SM, Caldieron, JM, & Ale Ebrahim, N. (2021). Tren Penelitian Arsitektur Vernakular:
Sebuah studi bibliometrik. Jurnal elektronik ISVS, 8(2), 72–91.
Blinkhorn, J., Parker, AG, Ditchfield, P., Haslam, M., & Petraglia, M. (2012). Mengungkap bentang alam
yang terkubur akibat letusan super Toba, 74.000 tahun lalu: Rekonstruksi lingkungan multi-
proxy terhadap heterogenitas bentang alam di Lembah Jurreru, India selatan. Kuarter
Internasional, 258, 135–147. https://doi.org/10.1016/
j.quaint.2011.12.008
Chesner, California (2012). Kompleks Kaldera Toba. Kuarter Internasional, 258, 5–18.
https://doi.org/10.1016/j.quaint.2011.09.025
Costa, A., Smith, VC, Macedonio, G., & Matthews, NE (2014). Besaran dan dampak super letusan
Tuff Toba Termuda. Frontiers in Earth Science, 2 (Agustus). https://doi.org/10.3389/
feart.2014.00016
Dayaratne, R. (2018). Menuju pembangunan berkelanjutan: Pelajaran dari pemukiman vernakular di Sri
Lanka. Perbatasan Penelitian Arsitektur, 7(3), 334–346. https://doi.org/
10.1016/j.foar.2018.04.002
Domenig, G. (2003). Akibat Perubahan Fungsi Lumbung, Lumbung-Tempat Tinggal, dan
Rumah Batak Toba. Dalam R. Schefold, PJM Nas, & G. Domenig (Eds.),
Tradisi Rumah Indonesia dan Transformasi dalam Arsitektur Vernakular (hlm. 61–
97). Leiden: Pers KITLV.
Hanan, H. (2010). Kelestarian Bentuk Rumah Adat Batak di Pulau Samosir.
Arsitektur Pribumi sebagai Desain Arsitektur Dasar, 102–109.
Hanan, H. (2012). Modernisasi dan Transformasi Budaya: Perluasan Rumah Adat Batak Toba di Huta
Siallagan. Procedia - Ilmu Sosial dan Perilaku, 50(Juli), 800–811. https://doi.org/10.1016/
j.sbspro.2012.08.082
Hanan, H., & Meisyara, F. (2017). Hikmah dari Proses Transformasi Desa Batak Toba Meisyara Hikmah
dari Proses Transformasi Desa Batak Toba. Jurnal Studi Budaya Komparatif dalam Arsitektur,
10(2017), 35–
41.
Jagatramka, R., Kumar, A., & Pipralia, S. (2021). Transformasi Arsitektur Vernakular
India: Masalah dan Prospek. Jurnal Elektronik ISVS, 8(1), 23–32.
Kaars, S.van der, Williams, MAJ, Bassinot, F., Guichard, F., Moreno, E., Dewilde, F., & Cook, EJ (2012).
Pengaruh supererupsi Toba -73 ka terhadap ekosistem Sumatera bagian utara sebagaimana
tercatat di inti laut BAR94-25. Kuarter Internasional, 258, 45–53. https://doi.org/10.1016/
j.quaint.2011.09.006
Kafle, NP (2011). Metode Penelitian Fenomenologi Hermeneutik Disederhanakan. Bodhi: Jurnal
Interdisipliner, 5, 181–200.
Koentjaraningrat. (2004). Bunga Rampai: Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lefebvre, H. (1991). Produksi Luar Angkasa (Diterjemahkan oleh DN Smith). Malden:
Penerbitan Blackwell.
Manurung, P. (2018). Dampak Pelestarian Arsitektur Tradisional Terhadap Pengembangan Desa
Wisata. Prosiding Simposium Nasional RAPI XVII2018 FT UMS, 9–13.
ÿ
Manurung, P., Sastrosasmito, S., & Pramitasari, D. (2022). Bagaimana Mengungkap Makna Ruang
dalam Arsitektur Vernakular? Jurnal Internasional Lingkungan Buatan dan Keberlanjutan,
9(1), 89–97. https://doi.org/10.11113/ijbes.v9.n1.890.
Maulana, S., & Suswati. (2014). Interpretasi Elemen Vernakular pada Tata Ruang Kawasan sebagai
Implementasi Regionalisme Kritis. TATA LOKA, 16(1), 29–36. https://doi.org/
10.14710/tataloka.16.1.29-36
Michiani, MV, & Asano, J. (2016). Pengaruh latar belakang penghuni terhadap perubahan fisik
rumah Banjar: Studi kasus di pemukiman Kuin Utara, Banjarmasin, Indonesia. Perbatasan
Penelitian Arsitektur, 5(4), 412–424. https://doi.org/10.1016/
j.foar.2016.09.005
Moustaka, C. (1994). Metode Penelitian Fenomenologis. California: Publikasi Sage,
Inc.
Napitupulu, SP, Manurung, J., Ginting, M., Badirin, M., Situmorang, O., Sirait, H., &
Silalahi, T. (1997). Arsitektur Tradisional Daerah Sumatera Utara. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan RI.
Philokyprou, M., & Michael, A. (2020). Kelestarian Lingkungan dalam Konservasi Arsitektur Vernakular.
Kasus Permukiman Tradisional Pedesaan dan Perkotaan di Siprus. Jurnal Internasional
Warisan Arsitektur, 00(00), 1–23. https://doi.org/10.1080/15583058.2020.1719235