Anda di halaman 1dari 86

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/333808852

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG


TENTANG DESA ADAT

Preprint · April 2019

CITATIONS READS

0 4,294

7 authors, including:

Echa Cristi Farida Farida


Lampung University Lampung University
2 PUBLICATIONS 0 CITATIONS 2 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Adrine Bianca Halim Bianca Halim Rosa Maulia


Lampung University Lampung University
2 PUBLICATIONS 0 CITATIONS 2 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

NASKAH AKADEMIK DAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN - DESA ADAT (kelompok 13) View project

Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Perundang-undangan Desa Adat (kelompok 13) View project

All content following this page was uploaded by Farida Farida on 16 June 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG
TENTANG DESA ADAT

Oleh

Adrine Bianca Halim 1612011058


Arif Kurniawan 1612011069
Echa Cristi 1612011066
Farida 1612011019
Fauzan Azis Maulana 1612011062
Feri Andriawan 1612011068
Marlinda Sari 1612011017
Nadya Putri Fachira 1612011042
Rosa Maulia 1612011022
Yuliansyah 1612011057

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah


melimpahkan rahmat serta karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas kami mengenai Naskah Akademik Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi Lampung tentang Desa Adat

Dalam penyusunan tugas ini, dengan kerja keras dan dukungan dari
berbagai pihak, kami berusaha untuk dapat memberikan hasil yang
terbaik dan sesuai dengan harapan. Walaupun dalam pembuatannya
kami mendapatkan beberapa kesulitan karena faktor keterbatasan
ilmu pengetahuan dan keterampilan kami miliki.

Naskah Akademik dan Raperda ini diharapkan dapat membantu


mahasiswa lainnya untuk dijadikan pedoman atau pun sumber
bacaan yang bermanfaat. Diharapkan pula dapat membuka
cakrawala ilmu dan ketertarikan untuk memahami lebih dalam
mengenai Hukum Perundang-undangan di Indonesia

Kami menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini terdapat banyak


kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun
sangat kami harapkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan
tugas yang akan datang. Semoga tugas ini dapat berguna bagi rekan-
rekan dan semua pihak yang berkepentingan.

Hormat Kami

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………….……………………… ii


Daftar Isi …………………………………………...…………………........ iii

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................1


A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ......................................................................... 4
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik ..... 4
D. Metode ............................................................................................. 5
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS ...................6
A. Kajian Teoritis .................................................................................. 6
1. Karakteristik Masyarakat Adat Lampung ..................................... 6
1. Tentang Desa dan Desa Adat...................................................... 10
2. Kewenangan Desa Adat .............................................................. 12
3. Unsur Karakteristik Dari Sebuah Desa Adat .............................. 14
4. Lembaga Dan Fungsinya ............................................................ 15
B. Kajian terhadap Asas- Asas dalam Pembentukan Peraturan .......... 17
C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang Ada,
Permasalahan Yang Dihadapi Oleh Desa Adat................................ 19
1. Kondisi Masyarakat Adat di Provinsi Lampung ........................... 19
2. Permasalahan yang terjadi ......................................................... 23
D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan Diatur
Dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah Terhadap Aspek
Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya Terhadap Aspek Beban
Keuangan Negara ........................................................................... 25
1. Dampak Terhadap Kondisi Masyarakat Adat .............................. 25
2. Desa Adat dan Pengaruhnya Terhadap Keuangan Daerah .......... 26
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN TERKAIT DESA ADAT .........................................28
A. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa..................... 29
B. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria31
C. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan ............................................................................... 33
D. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang . 33
E. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
34
F. Undang-Undang Nomor 2 Tahun Tahun 2012 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum................... 37

iii
BAB IV Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis .................38
A. Landasan Filosofis ......................................................................... 38
B. Landasan Sosiologis....................................................................... 41
C. Landasan Yuridis ........................................................................... 49
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH
PROVINSI..............................................................................53
A. Sasaran ......................................................................................... 53
B. Jangkauan dan Arah Pengaturan .................................................. 53
C. Ruang Lingkup .............................................................................. 55
1. Ketentuan Umum Memuat Rumusan Akademik Mengenai Pengertian
Istilah dan Frasa ........................................................................ 55
3. Pengakuan ................................................................................. 58
4. Tugas Dan Wewenang ................................................................ 60
5. Sistem Informasi ........................................................................ 61
6. Pendanaan ................................................................................. 61
7. Larangan .................................................................................... 62
8. Ketentuan Pidana ....................................................................... 62
9. Ketentuan Peralihan ................................................................... 62
10. Ketentuan Penutup .................................................................. 63
BAB VI KESIMPULAN ............................................................65
A. Simpulan ....................................................................................... 65
B. Saran ............................................................................................. 66
DAFTAR PUSTAKA ................................................................68

LAMPIRAN………………………..................................................72

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemerintah desa terkait erat dengan keberadaan masyarakat hukum


adat di Indonesia yang merupakan sebuah hal keniscayaan yang
tidak terbantahkan. Van Vollenhoven dalam penelitiannya pernah
menyatakan bahwa masyarakat asli hidup di Indonesia sejak ratusan
tahun sebelum kedatangan bangsa Belanda telah memiliki dan hidup
dalam tata hukumnya sendiri. Tata hukum masyarakat asli tersebut
dikenal dengan sebutan hukum adat.

Desa adat sebagai teritorial akan masyarakat yang mempunyai tata


susunan asli yang sudah lama ada dan sangat perlu dijaga dan
dilestarikan eksistensinya. Pengaturan masyarakat hukum adat
sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur dalam
susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7)
UUD 1945, tetapi kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat
mengenai pengaturan hak ulayat merujuk pada ketentuan peraturan
perundang-undangan sektoral yang berkaitan.

Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014


tentang Desa, didefinisikan bahwa desa adalah desa dan desa atau
yang disebut dengan nama lain selanjutnya disebut desa adalah
kesatuan wilayah hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Lampung adalah salah satu provinsi di Pulau Sumatera bagian


Selatan. Wilayah sendiri berbatasan langsung dengan provinsi
Sumatera Selatan, Bengkulu dan Selat Sunda. Masyarakat Lampung
merupakan masyarakat yang berasal dari beragam suku yang ada di
Indonesia. Hal ini karena Lampung adalah salah satu daerah
tranmigran. Dengan banyaknya tranmigran di daerah Lampung, kini
banyak masyarakat asli suku Lampung lambat laun terbiasa dan
mengikuti budaya atau tradisi-tradisi daerah lain . masyarakat
sekarang banyak yang lebih tertarik atau mulai dengan budaya-
budaya daerah lain dan juga banyak masyarakat terutama anak
muda kini banyak yang kurang mengetahui dan memahami bahasa,
kebudayaan, ataupun tradisi-tradisi daerahnya sendiri. Secara
perlahan hal ini bisa membuat masyarakat Lampung yang heterogen
dan kehilangan jati diri atau identitas kedaerahannya.

Permukiman tradisional merupakan manifetasi nilai sosial budaya


masyarakat penghuninya karena proses penyusunannya
berdasarkan norma-norma tradisi dari masing-masing daerah. Dalam
masyarakat Lampung bangunan tradisionalnya berupa rumah
panggung dengan atap ijuk, dinding kayu, dan tiang-tiang yang
terbuat dari balok kayu utuh dan besar. Hal ini merupakan ciri khas
dari perkampungan kerajaan-kerajaan pesisir di Indonesia terutama
di bagian Barat yang ekonominya berdasarkan perdagangan maritim.

Kebudayaan Lampung sebagai unsur pendukung kebudayaan


nasional ikut dalam proses pembinaan, pembentukan, dan
pembangunan watak bangsa. Kebudayaan tersebut bersifat fisik dan
non fisik. Salah satu hal yang tangible adalah permukiman
tradisional yang terdiri dari unsur fisik dan biofisik yang membentuk
karakteristik dan factor sosial budaya yang mempengaruhi. Unsur
sosial budaya ini berupa tata karma, kearifan lokal, adat istiadat,
upacara tradisional, tari-tarian adat, sistem mata pencarian, sistem
kepercayaan dan sistem kemasyarakatan.

Kurangnya pemahaman mengenai sejarah tradisional pada desa-desa


adat menyebabkan warisan budaya ini sulit diwariskan dan
dikhawatirkan akan punah dikemudian hari. Kesadaran masyarakat
terhadap sejarah itu kurang muncul dalam pelestarian pemukiman
tradisional. Hal ini dapat terlihat dari pembangunan perumahan-
perumahan yang sudah modern. Kalaupun masih ada bangunan

2
yang tradisional hanya terdapat pada bangunan pemerintahaan,
cottage, dan villa. Selain itu, belum terdapat penelitian komprehensif
mengenai pemukiman tradisional sehingga perlu diadakan kajian
pendalaman yang membutuhkan identitas karakter lanskap dan
sosial-budaya.

Secara spesifik, ketentuan mengenai penataan Desa Adat diatur


dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2017 tentang
Penataan Desa. Dalam salah satu ketentuan Permendagri tersebut
diamanatkan pengaturan mengenai desa adat dengan Perda Provinsi.
Bagi kami, penyusunan rancangan peraturan daerah ini merupakan
salah satu ikhtiar untuk memperkuat kedaulatan masyarakat adat
terhadap wilayahnya, terutama ketika berhadapan dengan investasi
yang cenderung eksploitatif dan mengabaikan hak-hak masyarakat
adat,Perda Desa Adat sendiri adalah satu pintu masuk, selain skema
lain seperti melalui Perda pengakuan dan perlindungan masyarat
adat.

Keberadaan Peraturan Daerah Desa Adat di Provinsi Lampung,


memiliki peran penting dalam mendukung pembangunan di daerah-
daerah yang ada di Provinsi Lampung. Apalagi dengan adanya
perubahan regulasi terkait perizinan, yang wewenangnya kini
dilimpahkan ke provinsi, tidak lagi di kabupaten membuat cakupan
Perda Desa Adat lebih luas.

Keberadaan Perda Desa Adat ini akan sangat diperlukan Pemda


untuk mempercepat pembangunan di daerah-daerah. Situasi
sekarang dari sisi kebijakan, salah satu contoh yang mendorong
terjadinya moratorium izin sawit dan tambang karena konflik dengan
masyarakat adat setempat. Dan ternyata ditemukan salah satu yang
perlambat pembangunan infrastruktur karena ketidakpastian hak
wilayah, sehingga menimbulkan ketidakpastian proses.

Setelah lahirlah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.


Undang-undang ini mengakomodir eksistensi desa dan desa adat.
Diakui, ,meskipun disadari bahwa dalam suatu Negara kesatuan
perlu terdapat homogenitas, tetapi Negara Kesatuan Republik

3
Indonesia tetap memberikan pengakuan dan jaminan terhadap
keberadan kesatuan masyarakat hukum dan kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak tradisionalnya. Sehingga diharapkan
kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan
bagian dari wilayah desa, ditata sedemikian rupa menjadi desa dan
desa adat. Oelh sebab itu, menarik dilakukan penelitian terutama
mengenai desa adat yang bertujuan untuk mengetahui dan
menganalisis urgensi Negara membentuk desa adat dalam sistem
pemerintahan di Indonesia khususnya di Provinsi Lampung serta
konsep untuk mewujudkan desa adat dalam sistem pemerintahan di
Provinsi Lampung.

B. Identifikasi Masalah

1. Apa permasalahan yang dihadapi dalam masyarakat adat serta


bagaimana solusi untuk menyelesaikan?
2. Mengapa Rancangan Peraturan Daerah tentang Desa Adat
diperlukan dalam masyarakat adat, sebagai landasan dalam
menyelasikan permasalahan di Masyarakat Adat?
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis,
sosiologis, yuridis dalam pembentukan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Desa Adat
4. Apa sasaran yang akan diwujudkan dalam Rancangan Peraturan
Daerah Desa Adat, serta ruang lingkup pengaturan, jangkauan
dan arah pengaturan

C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik

1. Merumuskan dan memecahkan permasalahan yang dihadapi


masyarakat adat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
2. Merumuskan dan memecahkan masalah hukum yang dihadapi
untuk sebagai alasan dalam pembentukan Rancangan Peraturan
Daerah Desa Adat sebagai dasar penyelesaian masalah dalam
masyarakat adat.
3. Merumuskan pertimbangan dalam pembentukan Rancangan
Peraturan Daerah Tentang Desa Adat.

4
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan dalam Rancangan
Peraturan Daerah tentang Desa Adat yang akan diwujudkan
seperti ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah
pengaturan.

D. Metode

Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang Desa Adat


ini menggunakan metode yuridis yaitu normatif yang dilakukan
melalui studi pustaka, maka sumber penelitian hukum berupa
bahan-bahan hukum (primer, sekunder dan tersier) seperti peraturan
dasar, peraturan perundang-undangan, tulisan-tulisan, literature,
serta hasil penelitian yang akan digunakan. Bahan-bahan hukum
primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-
putusan hakim. Sedangkan bahan-bahan sekunder berupa semua
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-
dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku,
jurnal-jurnal hukum.

5
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis

1. Karakteristik Masyarakat Adat Lampung

Masyarakat Adat Lampung terkenal dengan Multikulturalisme.


Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman (plural) atau ragam
perbedaan kebudayaan. Masyarakat Multikultural (multicultural
society) adalah masyarakat yang terdiri dari banyak kebudayaan dan
antara pendukung kebudayaan saling menghargai satu sama lain.
Dapat pula diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan
hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri
khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat
dengan masyarakat yang lain. Masyarakat multikultural terdiri dari
berbagai elemen, baik itu suku, ras, golongan, dll yang hidup dalam
suatu kelompok dan menetap di wilayah tertentu. Setiap masyarakat
menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri
khas bagi masyarakat tersebut. Jadi, masyarakat multikulturalisme
merupakan masyarakat yang paham bahwa berbagai budaya yang
berbeda memiliki kedudukan yang sederajat.

Ciri-ciri masyarakat multikultural menurut Pierre van den Berghe:

a. Segmentasi (terbagi) ke dalam kelompok-kelompok;


b. Kurang mengembangkan konsensus (kesepakatan bersama);
c. Sering mengalami konflik;
d. Integrasi sosial atas paksaan;
e. Dominasi (penguasaan) suatu kelompok atas kelompok lain.

Sejak kolonialisme Belanda mengirim orang dari luar Lampung,


lingkungan sosial masyarakat Lampung berada dalam dinamika
pluralisme. Selanjutnya tak henti-henti pula arus perpindahan
secara besar-besaran dari berbagai daerah di Indonesia ke Provinsi
Lampung. Hampir tak terbatas waktu provinsi Lampung menerima
warga baru, baik yang berawal sebagai tamu berangsur menetap,
maupun yang secara sengaja berpindah untuk mencari penghidupan

6
baru. Arus deras perpindahan penduduk etnis dan budaya dari luar
Lampung ke dalam lingkungan kehidupan masyarakat Lampung ini
merupakan pengaruh pencitraan Belanda bahwa pribumi masyarakat
Lampung adalah etnis yang ramah dan terbuka. Tujuan
dicitrakannya orang Lampung sebagai etnis terbuka menerima
kehadiran pendatang ini adalah agar kehadiran orang asing tidak
menimbulkan resistensi, baik terkait dengan perbedaan etnis, agama,
ras dan budaya maupun terkait dengan hak ulayat atas tanah adat
yang menjadi lokasi garapan.

Pada sisi lain masyarakat Lampung yang memiliki falsafah hidup fiil
pesenggiri dengan salah satu unsurnya adalah ”Nemui-nyimah” yang
berarti ramah dan terbuka kepada orang lain, maka tidak beralasan
untuk berkeberatan menerima penduduk pendatang. Pada masa
pasca kemerdekaan, citra sebagai masyarakat adat yang menerima
kehadilran orang lain itu cenderung diterima secara terbuka,
sehingga kemudian mengkristal di dalam konsep Sang Bumi Ruwa
Jurai. Harapannya adalah agar kehidupan sosial masyarakat
Lampung yang terdiri penduduk asli dan pendatang ini menjadi
sebuah lingkungan sosial dengan komunitas yang hidup rukun,
berdampingan dan bekerjasama. Perbedaan yang ada dapat dijadikan
kekuatan baru dalam membangun kehidupan yang harmonis. Setiap
komunitas menjaga sikap toleransi, meningkatkan dan bersatu
dalam rasa persaudaraan. Pemahaman Sang Bumi Ruwa Jurai
sendiri sebenarnya merupakan simbol kesatuan hidup dua akar
budaya yang berbeda dari masyarakat Lampung Asli, yaitu
Masyarakat adat Lampung Sai Batin dan Pepadun. Dengan hadirnya
etnis dan budaya luar, diharapkan dapat berdampingan atau
bergabung terhadap kedua jurai budaya pribumi yang telah ada,
sehingga dapat terhindar dari konflik.

Secara garis besar, pemahaman terhadap pluralisme budaya


diperlukan sesuai dengan dinamika dan pertumbuhan masyarakat.
Diharapkan dengan adanya pluralitas budaya, berbagai kelompok
masyarakat adat dapat saling melengkapi, saling menyadari
kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga mereka dapat

7
bersatu dalam kehidupan bersama. Sebagaimana pada masa-masa
lalu nilai-nilai pluralisme mampu mengakomodasi berbagai
perbedaan prinsip hidup dalam dinamika masyarakat yang beragam
suku, kelompok sosial, dan adat istiadat. Refleksi operasionalnya
pada masa itu antara lain dalam bentuk sosialisasi “Sumpah
Pemuda”, dan bentuk kesadaran bersatu dalam ideologi Pancasila.
Hal ini menjadi penting ketika keanekaragaman budaya menjadi
nyata dalam kebutuhan membangun kepercayaan diri masing-
masing masyarakat yang dianggap berbeda dan berkaitan dengan
masalah-masalah yang muncul terkait pluralisme. Untuk ini perlu
adanya keterbukaan antaretnis, antarkelompok sosial, dan
keagamaan, agar pluralisme bisa dipahami dan dapat memperpendek
jarak pemaknaan yang negatif antar etnis yang bersifat plural, tidak
terkecuali dalam kehidupan masyarakat majemuk di Lampung.

Keragaman (pluralitas) masyarakat Lampung dapat terbentuk dari


beberapa sumber, seperti:

1. Perbedaan arus informasi dan pengetahuan yang diterima


masyarakat, mengakibatkan terjadi perbedaan nilai antara orang
berpendidikan tinggi dengan yang rendah, dan antara orang kota
dengan orang desa;
2. Perpindahan penduduk yang mengakibatkan terjadinya
keragaman etnik dalam suatu masyarakat.;
3. Adanya komitmen persatuan antara berbagai etnik, meski ada
beberapa kelompok etnik yang kurang saling berinteraksi, tetapi
dengan adanya ikatan tertentu, maka semua etnik terikat dalam
komunitas mastarakat Lampung.;
4. Tersedianya sumberdaya di Lampung sebagai wilayah tujuan
mencari penghidupan baru. Dengan tersedianya sumber
penghidupan yang melimpah dan semua orang bisa
memperolehnya dengan mudah tanpa kompetisi yang ketat,
sangat mendorong warga pendatang;
5. Dominannya warga pendatang di Lampung, terutama dari etnis
yang sama. Untuk kategori ini hanya terjadi di propinsi
Lampung, dimana orang Jawa menjadi mayoritas (61,89%)
diikuti dengan Orang asli Lampung justru menjadi minoritas;

8
6. Karakteristik budaya masyarakat Lampung yang terbuka
terhadap etnis pendatang, sangat memungkinkan mudahnya
masyarakat pendatang berbaur, sehingga terjadi pluralitas
penduduk.

Diharapkan nilai-nilai Pluralisme dapat menjadi sember daya untuk


menumbuhkan kerukunan hidup bersama yang saling menghargai
perbedaan dan mendorong kerja sama berdasar kesetaraan.
Pluralisme dapat dijadikan wahana produktifitas hubungan sosial
antar anggota masyarakat, di mana masing-masing pihak dapat
menunjukkan sikap saling menghargai, saling menghormati dan
saling hadir bersama dalam setiap kegiatan sosial secara bersahabat,
tanpa konflik. Prinsip kebersamaan mengandung arti bahwa setiap
golongan masyarakat yang berbeda-beda mampu menjalin kerjasama
yang harmonis demi kesejahteraan bersama masyarakat yang
bersangkutan.

Kesetaraan, kebersamaan, keadilan dan kesetiakawanan sosial


mengacu pada suatu terma dasar yakni humanisme. Humanisme
berarti menghormati orang lain dalam identitasnya, dengan
kepercayaan-kepercayaan, cita-cita, dan kebutuhan-kebutuhannya
yang tidak tergantung dari ukuran status atau keahliannya,
melainkan dengan dasar kemanusiaan. Oleh karena itu sikap
kemanusiaan dalam nilai budaya ini senantiasa akan menolong siapa
saja, dan keturunan manapun; melampaui batas-batas ideologis,
agama, etnik, ras dan golongan, kelompok dan berbagai identitas
lainnya.

Berikut adalah distribusi kelompok etnis di Lampung: Lampung,


Semendo (sumsel), Bali, Lombok, Jawa, Minang/Padang, Batak,
Sunda, Madura, Bugis, Banten, Palembang, Aceh, Makassar, warga
keturunan, dan Warga asing (China, Arab, dll). Sedangkan
masyarakat adat Lampung secara garis besar terbagi dalam 2 (dua)
kelompok adat, yaitu: masyarakat adat Lampung Sai Batin dan
masyarakat adat Lampung Pepadun sebagaimana terkristalisasi
dalam kesatuan adat budaya masyarakat Lampung yang disebut

9
”Sang Bumi Ruwa Jurai”. Masyarakat adat Sai Batin terdiri dari
ragam marga yang tersebar di berbagai wilayah; pada mulanya secara
umum tersebar di kawasan pesisir pantai, kemudian pada dekade
selanjutnya tersebar juga di daerah pedalaman dan sektor perkotaan.
Demikian juga sebaliknya masyarakat adat Lampung Pepadun juga
kemudian tersebar dan membaur (inkulturasi) dengan kelompok
masyarakat lainnya, baik dalam lingkungan 2 kelompok budaya
secara umum, maupun dalam lingkungan jurai marga atau
kebuawaian dari masing-masing kelompok budaya tersebut

1. Tentang Desa dan Desa Adat


a. Pengertian Desa
Menurut Mashuri Machab, apabila membicarakan tentang desa di
Indonesia, maka sekurang-kurangnya akan menimbulkan tiga
macam penafsiran atau pengertian.1 Pertama, pengertian secara
sosiologis yang menggambarkan suatu bentuk kesatuan masyarakat
atau komunitas penduduk yang tinggal dan menetap dalam suatu
lingkungan, dimana diantara mereka saling mengenal dengan baik
dan corak kehidupan mereka relatif homogen, serta banyak
bergantung kepada kebaikan-kebaikan alam. Dalam pengertian
sosiologi tersebut, desa diasosiasikan dengan suatu masyarakat yang
hidup secara sederhana, pada umumnya hidup disektor pertanian,
memiliki ikatan sosial dan adat atau tradisi yang masih kuat,
sifatnya jujur dan bersahaja, pendidikannya relatif rendah dan lain
sebagainya.

Kedua, pengertian secara ekonomi, desa sebagai suatu lingkungan


masyarakat yang berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-
hari dari apa yang disediakan dalam sekitarnya. Dalam pengertian
yang kedua ini, desa merupakan satu lingkungan ekonomi dimana
penduduknya berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupya.

Ketiga, pengertian secara politik dimana desa sebagai suatu


organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan secara politik
1
Mashuri Maschab. Politik Pemerintahan Desa di Indonesia. cetakan.Polgov Fisipol
UGM.Yogyakarta.2003. hlm.1-2

10
mempunyai wewenang tertentu karena merupakan bagian dari
pemerintahan negara. Dalam pengertian yang ketiga ini desa sering
dirumuskan sebagai “ suatu kesatuan masyarakat hukum yang
berkuasa menyelenggarakan pemerintah desa”.2 Desa, atau sebutan
lain yang beragama di Indonesia. Pada awalnya, merupakan
organisasi komunitas lokal yang mempunyai batas-batas wilayah,
dihuni oleh sejumlah penduduk, dan mempunyai adat istiadat untuk
mengelola dirinya sendiri. Inilah yang disebut self-govering
community, sebutan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum,
baru dikenal pada masa kolonial belanda.3

b. Pengertian Desa Adat


Desa adalah suatu wadah atas entitas masyarakat hukum tertua
yang bersifat asli. Keaslian desa terletak pada kewenangan ekonomi
dan tata pemerintahannya, yang diatur dan dikelola berdasarkan
atas hak dan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui sah
oleh UUD tahun 1945 berdasarkan pasal 18B ayat (2). Melakukan
perubahan mendasar adalah diakui dan dihormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum atas adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pada masyarakat adat ada tiga tradisi normatif yang sangat dikenal
pada budaya hukumnya, diantaranya ialah. Hukum adat pribumi,
hukum islam dan hukum belanda. Tiga tradisi normatif ini yang
kemudian menjadikan Indonesia mengenal pluralisme hukum, yakni
kondisi diamana penduduk mengetahui dan menjalani lebih dari satu
hukum yang berlaku. Diantara ketiga tradisi normatif tersebut.
Hukum peninggalan Belanda lah yang sangat mendominasi pada
sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Hukum belanda atau
hukum yang kerap disebut dengan hukum modern yang kini berlaku
di Indonesia sebenarnya merupakan hal yang baru. Jauh sebelum
masa kolonialisme blanda, satuan-satuan masyarakat di Indonesia

2
Ibid
3
Sutoro Eko. Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan Otonomi Desa.dalam Soetandyo Wignosubroto
dkk (tim penulis).pasanga surut otonmi daerah.sketsa perjalanan 100 tahun.instituterfor local
Delopment. Dan yayasan Tifa. Jakarta.2005. Hlm 144

11
telah memiliki kebiasaan adat yang terus dijaga dan diyakini dapat
menciptakan suatu harmoni dalam masyarakat. Kebiasaan-
kebiasaan inilah yang menjadi embrio lahirnya hukum adat. Sebagai
negara yang memiliki hegemonitas bahasa, suku, budaya, dan
agama, Indonesia merupakan tempat yang menarik menjadi objek
penelitian hukum adat untuk desa adat.4

Masyarakat di desa adat merupakan suatu kesatuan masyarakat


yang mengatur sistem kehidupannya, berkembang dan dijaga oleh
masyarakat itu sendiri, masyarakat di desa adat adalah kelompok
komunitas yang memiliki asal-usul leluhur, secara turun-temurun
mendiami wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai,
ideologi, ekonomi, politik, budaya,sosial, dan wilayah (teritori)
sendiri.5 Desa adat kini merupakan wilayah yang hingga saat ini
terus menjaga dan menerapkan nilai-nilai hukum adat. Bagaimana
juga hukum sangat erat kaitannya dengan sistem pemerintahan
hukum dan pemerintahan sama-sama bertujuan untuk
mengintegrasikan dan menagrahkank kehidupan masyarakat sesuai
dengan idealisme hkum. Sehingga sebagai satu wilayah yang masih
terus menjaga kelestarian hukum adat, tanah kini juga memiliki
sistem pemerintahan adat yang unik dan rapi. Adanya desa adat
membiarkan suasana yang berbeda pada tataran sistem
pemerintahan desa adat. Yang mana tidak trjadi sebagaimana pada
daerah-daerah yang lain di Indonesia.

2. Kewenangan Desa Adat


a. Pengertian Kewenangan Desa Adat
Pengertian kewenangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) adalah kekuasaan membuat keputusan pemerintah dan
melimpahan tanggung jawab kepada orang lain. Secara alamiah
makhluk sosial memiliki keinginan untuk diakui eksitensinya sekecil
apapaun dalam suatu komunitasnya, dan salah satu faktor yang
mendukung keberadaan eksitensi tersebut adalah memiliki

4
Ibid
5
Sarasehan.Masyarakat Adat Nusantara. Menggugat Posisi Masyarakat Adat terhadap Negara.
Jakarta. Diterbitkan oleh panitia bersama Sarasehan dan Kongres Masyarakat Adat
Nusantara.1999 dengan lemabaga studi pers dan pembangunan 1999. Hlm 3

12
kewenangan.6 Secara pengertian bebas kewenangan adalah hak
seorang individu untuk melakukan suatu tindakan dengan batas-
batas tertentu dan diakui oleh individu lain dalam suatu kelompok
tertentu.7 Dan penjelasaan tentang kewenangan desa menurut UU
Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa telah menjadi barometer awal
desa dalam memetakan ulang kewenangan desa. Peluang ini
merupakan peluang yang baik untuk desa bisa menentukan
nasibnya sendiri dalam merencanakan, melaksanakan, dan
mengevaluasi pembangunan yang ada didesa. Desa memiliki ruang
yang luas untuk memetakan berbagai aset desa dan dipergunakan
semaksimal mungkin untuk kepentingan desa atau desa adat. Dan
memiliki kewenangan yaitu:8
1) Kewenangan yang sudah ada berdasarkan asal-usul,
2) Kewenangan lokal berskala desa
3) Kewenangan yang ditugaskan Pemerintah dan Pemda Provinsi,
dan Kabupaten/ Kota, dan
4) Kewenangan lain yang ditugaskan Pemerintah dan Pemda/Kota.

Kewenangan di desa sebenarnya tidak hanya mencakup empat


kewenangan saja, ada satu jenis kewenangan lagi yang dimiliki oleh
desa, yaitu kewenangan atributif yang tidak tersurat dalam UU
Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa. Kewenangan sendiri bisa
diartikan sebagai kekuasaan dan hak seseorang ataupun lembaga
dalam melakukan sesuatu, mengambil keputusan, atau
mengorganisir masyarakat. Kewenangan berbeda dengan kekuasaan.
Kewenangan lebih pada hak untuk melakukan sesuatu, sementara
kekuasaan adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu.

Kewenangan desa kewenangan yang memiliki desa meliputi


kewenangan dibidang penyelenggaraan Pemerintah Desa,
pelaksanaan pembangunan desa pembinaan kemasyarakatan desa,
dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan perkara
masyarakat, hak asal usul dan adat istiadat desa. Yaitu: pertama,

6
Soetandyo Wignjosoebroto.poko-pokok pikiran tentang empat syarat pengakuan eksitensi hukum
adat. Publikasi kerjasama komisi hak asasi manusia.mahkamah Konstitusi RI. Dapartemen dalam
Negeri Desember 2006. Hlm 40
7
Ibid
8
Lihat pasal 97 UU Nomor 6 Tahun 2014

13
kewenangan berdasarkan asal-usul adalah hak yang merupakan
warisan yang masih hidup dan prakarsa desa atau prakarsa
masyarakat desa sesuai dengan perkembangan kehidupan
masyarakat. Kedua, kewenangan lokal berskala desa adalah
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat desa yang telah dijalanan oleh desa atau mampu dan
efektif dijalankan oleh desa atau yang muncul karena perkembangan
desa dan prakarsa masyarakat desa.

Ketiga, kewenangan-kewenagan yang ditugaskan oleh pemerintah,


pemerintah daerah Provinsi, atau pemerintah daerah
Kabupaten/Kota yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan
perundang-undangan. Kewenangan berdasarkan hak asal usul
adalah hak yang merupakan warisan yang masih hidup dan prakarsa
desa prakarsa masyarakat desa sesuai dengan perkembangan
kehidupan masyarakat. Khusus kewenangan asal usul dalam Desa
Adat, pasal 103 UU Nomor 6 Tahun 2014 sebagai berikut:
1) Pengaturan dan pelaksanaan pemerintah berdasarkan susunan
asli.
2) Pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat.
3) Pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat.
4) Penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang
berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan
prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian
secara musyawarah.
5) Penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa adat yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
6) Pemeliharaan ketentuan dan ketertiban masyarakat Desa Adat
berdasarkan hukum adat yang berlaku di masyarakat Desa
Adat.
Pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sodial
budaya masyarakat desa adat.

3. Unsur Karakteristik Dari Sebuah Desa Adat

1. Penduduk Desa Adat


Penduduk desa adat adalah orang yang bertempat tinggal

14
diwilayah desa yang bersangkutan selama waktu tertentu.
Biasanya dalam waktu 6 bulan atau satu tahun berturut-turut
menurut peraturan daerah yang berlaku.
2. Daerah atau Desa Adat
Wilayah desa harus memiliki batas-batas yang jelas, berupa batas
alam seperti sungai , jalan dan sebagainya atau batas buatan
seperti patok atau pohon yang dengan sengaja ditanam. Tidak
ada ketentuan defenitif tentang jumlah luas minimal atau
maksiaml bagi wilayah sautu desa.
3. Pemimpin Desa Adat
Pemimpin desa adat adalah badan yang memiliki kewenangan
untuk mengatur jalannya pergaulan sosial atau interaksi
masyarakat. Pimpinan desa disebut kepala desa atau dengan
sebutan lain sesuai dengan tempat wilayahnya.
4. Urusan atau Rumah Tangga Desa Adat
Kewenangan untuk mengurus kepentingan rumah tangga desa,
atau yang dikenal dengan otonomi desa. Otonomi desa berbeda
dengan otonomi daerah karena merupakan otonmi asli desa yang
telah ada dari jaman dahulu, dimana hak otonom bukan dari
pemberian pemerintah atasan, melainkan dari hukum adat yang
berlaku. Di dalam suatu pemerintahan desa adat terdapat sebuah
lembaga organisasi yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan
kebutuhan dan merupakan mitra pemerintah desa dalam
memperdayakan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan
ditetapkan dengan peraturan desa. Salah satu fungsi lembaga
kemasyarakatan adalah sebagai penampungan dan penyaluran
aspirasi masyarakat dalam pembangunan.

4. Lembaga Dan Fungsinya

1. Pengertian Lembaga Adat


Lembaga adat merupakan kata yang berasal dari gabungan
antara kata lembaga dan kata adat, kata lembaga dalam Bahasa
Inggris disebut dengan institution yang berarti pendirian,
lembaga, adat dan kebiasaan. Dari pengertian literatur tersebut,
lembaga dapat diartikan sebagai sebuah istilah yang
menunjukkan kepada pola prilaku manusia yang mapan terdiri

15
dari interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu
kerangka nilai yang relevan. Sehingga lembaga adat adalah pola
prilaku masyarakat adat yang mapan yang terdiri dari interaksi
sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai adat
yang relevan. Menurut ilmu budaya, lembaga adat diartikan
sebagai suatu bentuk organisasi adat yang tersusun relative
tetap atas pola-pola kelakuan, peran-peranan, dan relasi-relasi
yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal
dan sanksi hukum adat guna tercapainya kebutuhan-
kebutuhan dasar.

2. Fungsi Lembaga Adat


Lembaga adat berfungsi bersama pemerintah merencanakan,
mengarahkan, mesinergikan program pembangunan agar sesuai
dengan tata nilai adat istiadat dan kebiasan-kebiasaan yang
berkembang dalam masyarakat demi terwujudnya keselarasan,
keserasian, keseimbangan, keadilan dan kesejahteraan
masyarakat. Selain itu lembaga adat berfungsi sebagai alat
kontrol keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban
masyarakat, baik preventif maupun represif, antara lain.
a. Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan.
b. Penengah ( hakim perdamaian) mendamaikan sengketa
yang timbul di masyarakat.

3. Kewenangan Lembaga Adat


Didalam suatu desa adat terdapat lemabaga adat memiliki
wewenang yang meliputi
a. Mewakili masyarakat adat dalam pengurusan kepentingan
masyarakat adat tersebut.
b. Mengelola hak-hak dan/atau harta kekayaan adat untuk
meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat arah
yang lebih baik.
c. Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat
istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat sepanjang
penyelesaian tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

16
d. Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut
masalah-masalah adat dan agama untuk kepentingan desa
adat.
e. Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak
dapat diselesaikan pada tingkat desa.
f. Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di
kecamatan, kabupaten/kota adat tersebut berada.

4. Pembina Lembaga Adat


Pembina desa adat dapat dilaksanakan dengan pola
melaksanakan ceramah-ceramah pembinaan desa adat,
penyuluhan, penyurutan awig-awig desa adat pada setiap
tahunnya, yang pada dasarnya bertujuan untuk mencapai,
melestarikan kesejahteraan masyarakat, dan mewujudkan
hubungan manusia dengan manusia sesama makhluk ciptaan
tuhan. Selain itu pembinaan lembaga adat sebagai usaha
melestarikan adat istiadat serta memperkaya khasanah
kebudayaan kebudayaan masyarakat, aparat pemerintah pada
semua tingkatan mempunyai kewajiban untuk membina dan
mengembangkan adat istiadat yang hidup dan bermanfaatan
dalam pembangunan dan ketahanan nasional.

B. Kajian terhadap Asas- Asas dalam Pembentukan Peraturan

Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat


dalam pasal 5 (lima) undang-undang nomor 15 tahun 2011 tentang
peraturan perundang-undangan antara lain :
a. Asas kejelasan tujuan, adalah bahwa setiap pembentukan
perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas
hendak dicapai.
b. Asas kelembagaan atau pembentuk yang tepat, adalah bahwa
setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh
lembaga negara atau pejabat pembentuk peraturan yang
berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat
dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga
negara atau pejabat yang tidak berwenang

17
c. Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan,
adalah bahwa dalam pembetukan peraturan perundang-
undangan harus benar-benar materi muatan yang tepat sesuai
dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
d. Asas dapat dilaksanakan, dalah bahwa setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan
efektivias peraturan perundang-undangan tesebut didalam
masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
e. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap
peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-
benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f. Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan
perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
peyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika,
pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan
mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai
macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Asas keterbukaan, adalah bahwa dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan,
penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan
demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan
yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan.

Materi muatan peraturan perundang-undangan, tolak ukurnya


hanya dapat dikonsepkan secara umum. Semakin tinggi kedudukan
suatu perundang-undangan, semakin abstrak dan mendasar materi
muatannya. Begitu juga sebaliknya semakin rendah kedudukan
suatu peraturan perundang-undangan, semakin rinci dan semakin
kongkrit juga materi muatannya (Mahendra Kurniawan,dkk,2007:9).

Pasal 10 undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang


pembentukan peraturan perundang-undangan mengatur materi
muatan yang harus diatur undang-undang lain:

18
a. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Pemerintah suatu undang-undang untuk diatur dengan
undang-undang.
c. Pengesahan perjanjian internasional tertentu
d. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi.
e. Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang


Pembentukan peraturan perundang-undangan menyebutkan bahwa
materi muatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
sama dengan materi muatan undang-undang. Pasal 12 menyatakan
bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk
menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Pasal 13
menyebutkan bahwa materi peraturan presiden berisi materi yang
diperintahkanoleh undang-undang, materi untuk melaksanakan
peraturan pemerintah, atau materi untuk melaksanakan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintah.

Mengenai peraturan daerah, diatur dalam pasal 14 Undang-undang


Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan bahwa materi muatan dalam rangka penyelenggaraan
otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi
khusus daerah dan penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi.9

C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang Ada,


Permasalahan Yang Dihadapi Oleh Desa Adat

1. Kondisi Masyarakat Adat di Provinsi Lampung


Provinsi Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964 dengan
ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 31964 yang kemudian
menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun 1964. Sebelum itu Provinsi

9
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

19
Lampung merupakan Karesidenan yang tergabung dengan Provinsi
Sumatera Selatan.Provinsi lampung terbagi menjadi 15
kabupate/kota yaitu Kabupaten Lampung barat,lampung
utara,pesisir barat,tanggamus,way kanan,tulang bawang,tulang
bawang barat,Mesuji,pesawaran,pringsewu,lampung tegah ,lampung
selatan ,lampung timur kota metro dan kota Bandar lampung.
Provinsi dari dahulu hingga sekarang merupakan suatu daerah
dengan kondisi kemajemukan budaya maupun adat istiadat.dalam
sejarahnya masyakat adat lampung sendiri terbagi menjadi dua suku
adat yaitu lampung peppadun dan lampung saibatin . kedua suku
tersebut ailah masyarakat adat asli lampung mereka terbagi
berdasarkan wilayah geografis yang mereka tinggali yang diantaranya
:
Masyarakat Adat Lampung Saibatin mendiami wilayah adat: Labuhan
Maringgai, Pugung, Jabung, Way Jepara, Kalianda, Raja Basa, Teluk Betung,
Padang Cermin, Marga Punduh, Punduh Pedada, Cukuh Balak, Way Lima,
Talang Padang, Kota Agung, Semaka, Suoh, Sekincau, Batu Brak, Belalau,
Liwa, Pesisir Krui, Ranau, Martapura, Muara Dua, Kayu Agung,
empat kota ini ada di Provinsi Sumatera Selatan, Cikoneng di
Pantai Banten dan bahkan Merpas di Selatan Bengkulu. Masyarakat Adat
Saibatin seringkali juga dinamakan Lampung Pesisir karena sebagian besar
berdomisili di sepanjang pantai timur, selatan dan barat lampung.

Sedang masyrakat pepadun yang merupakan masyarakat yang banyak tinggal


di pedalaman wilayah lampung terdiri dari:Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi,
Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa).
Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih
Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan
Terbanggi.Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji,
Puyang Tegamoan). Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat:
Menggala, Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga. Pubian Telu Suku (Minak
Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku
Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian
mendiami delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng,
Seputih Barat, Padang Ratu, Gedungtataan, dan Pugung. WayKanan
Buway Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima

20
keturunan Raja Tijang Jungur). Masyarakat Way Kanan mendiami
wilayah adat: Negeri Besar, Pakuan Ratu, Blambangan Umpu, Baradatu,
Bahuga, dan Kasui. .Sungkay Bunga Mayang (Semenguk, Harrayap, Liwa,
Selembasi, Indor Gajah, Perja, Debintang)Masyarakat Sungkay Bunga Mayang
menempati wilayah adat: Sungkay, Bunga Mayang, Ketapang dan Negara
Ratu.

Masyarakat adat lampung mempunyai pedoman hidup yang


tercantum dalam sebuah kitab yang yaitu kitab kuntara raja niti
yang dalam kitab tersebut terdapat aturan aturan ataupun falsafah
hidup masyarakata adat lampung . kitab kuntara raja niti
merupakan wujud peradaban masyarakat adat lampung.falsafah
hidup orang/masyarakat lampuung tersebut ialah

a. Piil Pesenggiri
Piil Pesenggiri yang merupakan falsafah hidup orang Lampung
memiliki arti harga diri, maknanya prinsip prinsip yang harus dianut
agar seorang itu memiliki eksistensi atau harga diri.

b. Nemui Nyimah
Nemui berarti Tamu, Nyimah atau Simah berarti Santun. Bagian
Nemui Nyimah ini sebagai perlambang kala masyarakat Lampung
menjamu kehadiran tamu. Simah adalah sebagai penentu.
Keterbukaan terhadap seluruh masyarakat yang menjalin hubungan
saat bertamu. Sikap sopan santun kala bertamu termasuk
didalamnya menjamu tamu yang datang berkunjung pun menjadi
perhatian masyarakat Lampung. Tindakan ini merupakan penerapan
prinsip membina tali silaturahmi baik terhadap generasi sebelumnya
maupun generasi mendatang.

c. Nengah Nyapur
Nengah memiliki arti kerja keras, berketerampilan dan bertanding.
Kata Nengah haruslah bersanding dengan kata Nyapur yang berarti
tenggang rasa dan jiwa kompetitif. Nengah Nyapur juga merupakan
salah satu upaya masyarakat lampung membekali diri dengan
kemampuan dalam mengarungi kehidupan untuk kemudian

21
dimanfaatkan secara optimal bagi kemakmuran umat manusia.
Termasuk tekad untuk terus menerus belajar baik belajar dibidang
akademik maupun belajar melalui pengalaman.

d. Bejuluk Beadek
Bejuluk atau Juluk berarti nama baru ketika seseorang mampu
mencapai cita citanya.Adek berarti gelar atau nama baru yang di
sandang.Bejuluk Beadek pun kemudian menjadi bagian dari tata
cara pemberian gelar. Pemberian gelar atau nama biasanya melalui
acara Seghak Sepei untuk Juluk dan upacara Mepadun untuk Adek.
Nama-nama baru hanya diberikan ketika ada sesuatu yang baru.
Dengan demikian maskayarat Lampung selalu menginginkan
terjadinya perubahan pembaharuan dan inovasi. Bejuluk Beadek juga
merupakan salah satu sikap dari masyarakat Lampung yang
mencerminkan pada kerendahatian dan kebesaran jiwa untuk saling
menghormati baik dalam keluarga maupun lingkungan masyarakat.

e. Sakai Sambaian
Sakai atau Akai berarti terbuka dan bisa menerima sesuatu yang
datang dari luar.
Sambai atau Sumbai (utusan) berarti memberi.Sakai Sambaian dapat
diartikan sebagai sifat kooperatif, gotong royong atau urun rembuk
masyarakat Lampung pada lingkungan dimana mereka bertempat-
tinggal.

Selain masyarakat asli lampung ,provinsi lampung adalah provinsi


terbuka terhadap masyarakat pendatang ,terbukti dengan
diajdikanya daerah provinsi transmigrasi pertama pada tahun
1985.masyarakat pendatang di provinsi lampung di dominasi oleh
masyarakat dari pulau jawa namun tidak menutup pendatang dari
daerah lain diluar pulau jawa .

Jika ditinjau lebih jauh lagi para pendatang juga merupakan


masyarakat dari adat adat lain mereka banyak menempati suatu
daerah yang di huni oleh adat merea sendri seperti masyarakat bali
yang ada di desa mulyosari kecamatan pasir sakti,desa balinuraga

22
yang merupakan desa bali di lampung selatan dan juga beberapa
adat lain seperti masyarakat adat bugis,banten ,batak dan lain lain.

2. Permasalahan yang terjadi


Dalam keaadann yang senantiasa bermacam masyarakat adat yang
ada ,tidak menutup kemungkinan adanya permasalahan ataupun
sengketa di dalam masyarakat.menurut identifkasi dan analisis yang
terjadi hingga saat ini telah terjadi bebera permasalahan yaitu.

A. Permasalahan antar adat


Kehidupan masyrakat yang berdampingan perlu tak selalu berjalan
harmonis,beberapa masyarakat adat yang kehidupanya memang
berdampingan sering terjadi clash ataupung permasalahan antar
adat.tak lain dan tak bukan karena mis komunikasi yang menjadikan
retan terhadap permaslahan permasalahna tersebut ,sehingganya
perang antar adat sering terjadi seperti yang terjadi di lampung
sellatan antara masyarakata adat lampung dengan masyarakat adat
bali atau yang sering disebut tragedy balinuraga yang akibat dari
permsalahan tersebut adanya korban jiwa,perusakan rumah rumah
warga dan failitas umum yang rusak.

B. Kesalahan tafsir falsafah hidup piil pesenggiri


Seiring berjalannya waktu, falsafah hidup masyarakat Lampung yang
tertuang dalam Piil Pesenggiri mengalami ketidakmaksimalan dalam
penerapannya meski sebagian kelompok masyarakat Lampung masih
memegang teguh bahkan menerapkan butir butir dari isi Piil
Pesenggiri tersebut dengan baik. Kesalahpahaman penafsiran dari Piil
Pesenggiri pun kerap terjadi dalam kegiatan bermasyarakat orang
Lampung. Terlebih kaum muda yang juga cenderung salah tafsir
terhadap butir butir Piil Pesenggiri.
Piil Pesenggiri yang agung tersebut menjadikan sebuah rasa gengsi
yang kemudian dapat menghambat kemajuan personal. Seseorang
yang salah menafsirkan Piil Pesenggiri sering merasa tidak perlu
belajar lebih baik lagi karena merasa gengsi untuk meminta bantuan
atau bertanya pada yang lebih paham akan suatu bidang. Belum lagi
ketidakterbukaan seseorang untuk menerima kritik dan saran

23
membangun dan kesadaran untuk terus memperbaiki diri karena
terjebak dengan pemahaman Piil Pesenggiri yang salah. Piil
Pesenggiri yang juga salah arti menyebabkan seseorang menjadi
pongah dan malas. Ada kecenderungan merasa gengsi untuk belajar
dan bekerja keras dalam bidang bidang .

C. Kurangnya pelestarian adat istiadat


Seiring berjalanya waktu dan adanya arus moderenisasi
mengakibatkan generasi muda yang berasal adri masyarakat adat
tidak mau lagi untuk melestarikan budayanya.sehingganya
kelestarian terhadap kearifan lokal semakin hari semakin
berkurang.berdasarkan fakta yang ada dari wawancara dan
pergaulan hidup sehari hari generasi muda sekarang yang
merupakan penerus adat istiadat malah malu mengakui bahwa
dirinya berasal dari suatu masyarakat adat tertentu.

D. Sengketa tanah ulayat


sengketa tanah ulayat banyak sekali terjadi di masyarakat adat di
lampung ,tanah ulayat yang merupakan tanah hak asli untuk
masyarakat hukum adat banyak mengalami sengketa dengan
pemerintah ataupun suatu badan lain .masyarakat adat menuntut
hak dan kejelasan pasti mengenai tanah ulayat tersebut ,namun
pemerintah hingga saat ini belum merealisasi menegenai sengketa
tanah ulayat tersebut.

Maka dari permaslahan permasalahn tersebut haruslah adanya


tindakan pasti untuk keberlangsungan keragaman adat dan istiadat
di profinsi lampung.dengan pembentukan peratuaran daerah
mengenai desa adat merupakan langkah pasti untuk menyelesaikan
permasalahan permasalahan yang ada di masyarakat maupun desa
adat di provinsi Lampung

24
D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan
Diatur Dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah Terhadap
Aspek Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya Terhadap Aspek
Beban Keuangan Negara

1. Dampak Terhadap Kondisi Masyarakat Adat


Secara garis besar bahwa masyarakat yang ada merupakan satu
kesatuan dari beberapa kelompok kelompok masyarakat yang
berbeda. Mereka terpisah baik dari faktor territorial dan faktor
geneologis. Faktor teritorial, apabila dilihat dari dasar teritorial
semata sebagai dasar pembentukan suatu masyarakat hukum adat,
yaitu adanya kesamaan wilayah. Faktor genealogis, yaitu karena
adanya hubungan darah. Artinya bahwa kelompok dalam masyarakat
hukum itu terbentuk karena anggotanya berasal dari adanya
hubungan darah antara orang yang satu dengan orang yang
lainnya.eksistensi masyarakat sendiri masih tergolong rendah karena
secara social mereka menutup diri terhadap pembaharuan.eksistensi
masyarakat adat sendiri kurag mendapatkan pengakuan karena
pengaturan di undang undang desa yang lam masih terpecah pecah.

Pembentukan desa adat sebenarnya ditujukan untuk menguatkan


dan memperbesar eksistensi masyarakat adat itu sendiri, karena
dengan adanya eksistensi yang kuat maka pengakua terhadap hak
hak masyarakat terbentuk.desa adat juga berpengaruh besar
terhadap pelestarian masyarakat adat yang merupakan kekayaan
budaya bangsa.desa adat sebagai wadah. Kepentigan budaya
masyarakat adat juga merupakan faktor pendorong perlunya di
bentuk sebuah desa adat. Desa adat yang saat ini diharapkan
mempunyai eksistensi lebih dalam pengembangan pembangunan dan
sebagai sarana pemerintah dalam melaksanakan program
pemerintahan di desa desa khususnya di masyarakat yang
tercenderung tertutup sosialnya dan Masyarakat adat harus mampu
memberdayakan diri baik secara kelompok maupun individu agar
menutup peluang untuk tidak diberdayakan demi kepentingan
politik suatu kelompok.

25
2. Desa Adat dan Pengaruhnya Terhadap Keuangan Daerah
Desa adat dalam pengaruh keuangan daerah perlu melihat
bagaimana pengaturanya di u ndang undang nomor 23 tahun 2014
tentang pemerintahan daerah dan UU nomor 6 tahun 2014 tentang
desa ,melihat dari aspek yang desentralisasi dari kedua undang
undang yang saling berkaitan tersebut artinya desa berhak dan
berwenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri.di dalam pasal
212 uu no 23 tahun 2014 tentang keuangan desa menyebutkan
bahwa Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang
dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik desa. Dalam
10pasal 212 ayat 3 menyebutkan sumber pendapatan desa terdiri atas
:

A. Pendapatan asli desa

B. Bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten atau kota

C. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang


diterima oleh kabupaten atau kota.

D. Bantuan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan


pemerintah kabupaten atau kota.

E. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.

Dalam penjelasan pasal 212 ayat 3 (a) menyebutkan bahwa


pendapatan asli desa meliputi :

1.Hasil usaha desa.

2.Hasil kekayaan desa.

3.Hasil swadayah dan partisipasi

4.Hasil gotong-royong

5.Dan lain-lain pendapatan desa yang sah.

10
UU No 6 Tahun 2014

26
Sebagaimana disebutkan dalam pasal diatas bahwa desa mempunyai
pendapatan yang diperoleh dari pendapatan asli desa yang artinya
pungutan pungutan tersebut hanya boleh di ambil oleh desa dan
tidak dibenarkan bahwa pemerintah daerah masih mengambil
terhadap pendapatan asli desa dan juga sebaliknya pajak dan
retribusi yang telah di ambil oleh daerah tidak boleh lagi diambil
sebagai pendapatan asli desa. Selain dari pendapatan asli, desa
memliki hak dimana keuangan yang dialirkan oleh pusat untuk desa
yang dapat digunakan desa dalam mengatur pemerintahanya yang
biasa disebut dana desa, dana desa yang saat ini mencapai hampir 4
miliyar pertahun membuka peluang dan pengaruh besarnya terhadap
cita pemerintah pusat terhadap pembangunan di desa
desa.pemebentukan desa adat seharusnya bisa menjadi pilihan
utama oleh masyarakat atau kelompok kelompok adat untuk
membangun kapasitasnya agar mampu bersaing dengan kondisi
apapun .pembentukan desa adat di harapkan mampu memperkuat
dan mengayomi terhadap kelestarian seni, budaya, adat yang ada di
Provinsi Lampung.

Namun perihal perimbangan keuangan penyelenggaraan


pemerintahan desa terhadap keuangan daerah belum ada
pengaturannya, maka dari dalam pembentukan desa yang juga pasti
terdapataaspek aspek keuangannya di perlukan laporan laporan
keuangan untuk perimbangan ke pemerintah daerah dan juga kejelas
pengaturanya harus secara jelas diterangan oleh perda yang akan
dibentuk. pemerintah desa adat harus mampu melakukan
pengelolaan keuangan dengan baik, yang nantinya diwujudkan
dengan disusunnya laporan keuangan dan adanya komitmen dari
para aparatur desa untuk mewujudkan pengelolaan keuangan yang
baik.

27
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN TERKAIT DESA ADAT

Dalam meninjau tentang pengakuan dan perlindungan hukum


mengenai desa adat, maka perlu memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dan mengatur mengenai
keberadaan desa adat antara lain sebgai berikut:

A. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 yang berkaitan dengan Desa
adat terdapat dalam Pasal 18 Ayat (6), Pasal 18B Ayat (2) dan Pasal
28I Ayat (3), sebagai berikut

1. Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan:


“pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan”

Ketentuan Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 yang


termasuk kedalam Bab VI Tentang Pemerintahan daerah dalam
ketentuan itu, antara lain, ditegaskan bahwa pemerintah daerah
(baik Provinsi, Kabuaten, maupun Kota) mengatur dan mengurus
sendiri urusan urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembeharuan. Penegasan ini menjadi dasar hukum bagi
seluruh pemerintahan daerah untuk dapat menjalankan roda
pemerintahan (termasuk menetapkan peraturan daerah dan
peraturan lainya) secara lebih leluasa dan bebas serta sesuai dengan
kebutuhan, kondisi dan karakteristik daerahnya masing-masing,
kecuali untuk urusan pemerintahan yang dinyatakan oleh Undang –
undang sebagai urusan pemerintah pusat. Namun, bukan berarti
bahwa daerah boleh membuat peraturan yang bertentangan dengan
prinsip negara kesatuan, dan itu juga harus memperhatikan
hubungan wewenang antar pemerintahan yang diatur dengan
Undang-Undang.

28
2. Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan:
“negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.”

Ketentuan Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang 1945 yang termsuk


kedalam Bab VI Tentang Pemerintahan Daerah, memberikan
penekanan bahwa ketentuan Pasal 18B ini adalah menyangkut
daerah. Negara mengakui dan menghormati ketentuan-ketentuan
masyarakat hukum adat dan desa adat yang dimana merupakan
basis pelaksanaan hukum adat. Adanya pengakuan terhadap
masyarakat hukum adat dan desa adat adalah termasuk jug
pengakuan terhadap hak-hak tradisionalnya yang dikenal dengan
istilah hak ulayat.

3. Pasal 28I Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan


“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

Ketentuan Pasal 28I Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945


memberikan penekanan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia harus
dihormati selaras denganperkembangan zman dan peradaban.
Tentunya identitas budaya dan hak masyarakat tradisional yang
dimaksud adalah yang tidak bertentangan dengan identitas bangsa
secara keseluruhan. Dengan demikian, negara akan bertanggung
jawab untuk memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak
masyarakat hukum adat dan desa adat karena mereka termasuk
warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan
warga negara Indonesia lainya.

A. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa


Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan
mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang

29
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam perjalanan
ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam
berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar
menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat
menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan
dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan
sejahtera. Desa dalam susunan dan tata cara penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan perlu diatur tersendiri dengan
undang-undang.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1, Desa adalah desa dan desa adat atau
yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan
dihormati dalam sistem pemerintahan negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Pemerintah Desa dan masyarakat Desa dapat membentuk Lembaga


Adat Desa. Lembaga adat Desa merupakan lembaga yang
menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi bagian dari
susunan asli Desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa
masyarakat Desa. Lembaga adat Desa bertugas membantu
Pemerintah Desa dan sebagai mitra dalam memberdayakan,
melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat sebagai wujud
pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat Desa.11 Selanjutnya
dalam Pasal 96 menyebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan
penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi
Desa Adat.

Adapun persyaratan untuk penetapan Desa Adat sebagai berikut:

11 Pasal 95 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

30
a. Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya
secara nyata masih hidup, baik yang bersifat teritorial,
genealogis, maupun yang bersifat fungsional;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya
dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
c. Kesatuan masyarakat Desa adat beserta hak tradisionalnya
sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kesatuan masyarakat Desa adat beserta hak tradisionalnya yang


masih hidup harus memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi
salah satu atau gabungan unsur adanya: a) masyarakat yang
warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok; b) pranata
pemerintahan adat; c) harta kekayaan dan/atau benda adat;
dan/atau d) perangkat norma hukum adat. Kesatuan masyarakat
Desa adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan
perkembangan masyarakat apabila : a) keberadaannya telah diakui
berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan
perkembangan nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa
ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat
sektoral; dan b) substansi hak tradisional tersebut diakui dan
dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan dan
masyarakat yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan hak
asasi manusia.

Suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya


sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila
kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu
keberadaan Negara Kesatuan Republik lndonesia sebagai sebuah
kesatuan politik dan kesatuan hukum yang: a) tidak mengancam
kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik lndonesia; dan
b) substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.12

B. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok


Agraria

12
Pasal 97 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

31
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 menyebutkan: Hukum
agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya,
segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar
pada hukum agama. Kemudian dalam penjelasan Pasal 5 disebutkan
bahwa penegasan hukum adat dijadikan dasar dari hukum agraria
yang baru. Penjelasan Pasal 5 ini juga mengacu pada Penjelasan
Umum III mengenai dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan hukum, angka 1 yang menyatakan bahwa hukum
agraria sekarang ini mempunyai sifat "dualisme" dan mengadakan
perbedaan antara hak-hak tanah menurut hukum-adat dan hak-hak
tanah menurut hukum-barat, yang berpokok pada ketentuan-
ketentuan dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Indonesia. Undang-undang Pokok Agraria bermaksud menghilangkan
dualisme itu dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan hukum,
sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu dan sesuai
pula dengan kepentingan perekonomian.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960, negara bertanggung jawab dalam memberikan pengakuan
terhadap hak atas tanah (hak ulayat) yang dimiliki oleh masyarakat
hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan negara. Dengan demikian Pemerintah dan Pemerintah
Daerah tidak boleh secara semena-mena merampas hak ulayat
tersebut tanpa ada persetujuan dari masyarakat hukum adat.

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 juga menyebutkan:


“semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Dari ketentuan
tersebut dapat disimpulkan bahwa hak atas tanah apapun yang ada
pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu
akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk
kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian
bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan

32
keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi
kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun
bermanfaat bagi masyarakat dan Negara. Namun, ketentuan
tersebut tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan
terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat) karena
Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-
kepentingan perseorangan, termasuk kepentingan penggunaan hak
atas tanah yang dimiliki masyarakat hukum adat.

C. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi


Kependudukan
Dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 mengatur
mengenai pendataan penduduk rentan administrasi kependudukan,
antara lain meliputi komunitas adat terpencil. Komunitas terpencil
adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar
serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan, baik
sosial, ekonomi maupun politik, dengan ciri-ciri:13
a. berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen
b. pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan;
c. pada umumnya terpencil secara geografis dan relatif sulit
terjangkau;
d. peralatan teknologi sederhana;dan
e. terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik
Selanjutnya dalam Pasal 26 disebutkan bahwa penduduk yang
tidak mampu melaksanakan sendiri pelaporan terhadap peristiwa
kependudukan yang menyangkut dirinya sendiri dapat dibantu oleh
instansi pelaksana atau meminta bantuan kepada orang lain.

D. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan


Ruang
Ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan
negara kepulauan berciri Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah
yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, perlu

13
Penjelasan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

33
ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna,
dan berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang
sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga
keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan
keadilan sosial sesuai dengan landasan konstitusional Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Perkembangan situasi dan kondisi nasional dan internasional


menuntut penegakan prinsip keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi,
kepastian hukum, dan keadilan dalam rangka penyelenggaraan
penataan ruang yang baik sesuai dengan landasan idiil Pancasila.
Untuk memperkukuh Ketahanan Nasional berdasarkan Wawasan
Nusantara dan sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang
memberikan kewenangan semakin besar kepada pemerintah daerah
dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka kewenangan tersebut
perlu diatur demi menjaga keserasian dan keterpaduan antardaerah
dan antara pusat dan daerah agar tidak menimbulkan kesenjangan
antardaerah. Keberadaan ruang yang terbatas dan pemahaman
masyarakat yang berkembang terhadap pentingnya penataan ruang
sehingga diperlukan penyelenggaraan penataan ruang yang
transparan, efektif, dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan.

Berkaitan dengan Desa Adat, dalam Pasal 4 undang-undang ini


mengatur mengenai klasifikasi penataan ruang berdasarkan: sistem,
fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan
nilai strategis kawasan. Berdasarkan klasifikasi tersebut kawasan
adat tertentu merupakan salah satu kawasan strategis dari sudut
kepentingan sosial dan budaya.

E. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan


Daerah

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Daerah berwenang untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas
otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada

34
daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan
peran serta masyarakat. Di samping itu, melalui otonomi luas,
daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-


luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan
Pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan
daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa,
dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi


yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah
suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan
dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang
senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan
berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan
demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama
dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang
bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya
harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian
otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah
termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan
bagian utama dari tujuan nasional.

Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus


selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat
dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang
tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi
daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara suatu
daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun

35
kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama
dan mencegah ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah
pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin
hubungan yang serasi antardaerah dengan Pemerintah, artinya harus
mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka
mewujudkan tujuan negara.

Dalam bab Ketentuan Umum Pasal 1 angka 43 UU Nomor 23 Tahun


2014, pengertian desa disebutkan sebagai berikut: Desa adalah desa
dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
Urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan
tersebut definisi desa mempunyai unsur-unsur sebgai berikut:
a. Merupakan kesatuan masyarakat hukum;
b. Memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
c. Hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

UU Nomor 23 Tahun 2014 juga mengatur strategi percepatan


pembangunan Daerah yang meliputi prioritas pembangunan dan
pengelolaan sumber daya alam di laut, percepatan pembangunan
ekonomi, pembangunan sosial budaya, pengembangan sumber daya
manusia, pembangunan hukum adat terkait pengelolaan laut, dan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan Daerah Provinsi yang
berciri kepulauan. Dalam pelaksanaan Desentralisasi dilakukan
penataan Daerah. Penataan Daerah tersebut salah satunya ditujukan
untuk memelihara keunikan adat istiadat, tradisi, dan budaya
Daerah. Selanjutnya dalam melakukan pemekaran daerah dilakukan
melalui tahapan Daerah Persiapan provinsi atau Daerah Persiapan
kabupaten/kota. Pada tahap pembentukan Daerah Persiapan harus
memenuhi persyaratan dasar dan persyaratan administratif. Salah

36
satu persyaratan dasar kapasitas daerah didasarkan pada parameter
sosial politik, adat, dan tradisi yaitu kohesivitas sosial. Kohesivitas
sosial diukur dari keragaman suku, agama, dan lembaga adat.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa


Negara mengakui dan menghormati kesatuan Desa adat beserta hak
tradisionalnya. Namun, hak tradisional masyarakat hukum adat yang
diakui oleh Negara adalah hak yang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan sesuai dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

F. Undang-Undang Nomor 2 Tahun Tahun 2012 Tentang


Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa salah satu upaya
pembangunan dalam kerangka pembangunan nasional yang
diselenggarakan Pemerintah adalah pembangunan untuk
kepentingan umum. Pembangunan untuk kepentingan umum
tersebut memerlukan tanah yang pengadaannya dilakukan dengan
cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang
berhak. Pihak yang berhak adalah pihak yang mengusai atau
memiliki obyek pengadaan tanah. Salah satu pemangku kepentingan
dalam perencanaan tersebut adalah pemuka adat.

Dalam Penjelasan Pasal 40 mengatur mengenai pemberian ganti


kerugian pada prinsipnya harus diserahkan langsung kepada pihak
yang berhak atas ganti kerugian. Apabila berhalangan, pihak yang
berhak karena hukum dapat memberikan kuasa kepada pihak lain
atau ahli waris. Salah satu pihak yang berhak tersebut adalah
masyarakat desa adat. Dalam hal ini ganti kerugian atas hak ulayat
diberikan dalam bentuk tanah pengganti, permukiman kembali, atau
bentuk lain yang disepakati oleh masyarakat Desa adat yang
bersangkutan.

37
BAB IV
Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis

A. Landasan Filosofis

Kesadaran akan tantangan terhadap cita-cita untuk membangun


sebuah bangsa Indonesia telah dipikirkan secara mendalam oleh
para pendiri Negara Indonesia. Pemikiran itu membawa kepada
perumusan filasat dasar. Keberagaman dan kekhasan sebagai
sebuah realitas masyarakat dan lingkungan serta cita-cita untuk
menjadi satu bangsa dirumuskan dalam semboyan Bhineka Tunggal
Ika. Ke’bhineka’-an adalah sebuah realitas sosial, sedangkan
ke’tunggal-ika’-an adalah sebuah cita-cita kebangsaan. Wahana yang
digagas untuk menjadi ’jembatan emas’ – mengutip Soekarno –
menuju pembentukan sebuah ikatan yang merangkul keberagaman
dalam sebuah bangsa adalah Negara Indonesia yang merdeka dan
berdaulat.

Negara yang menjadi wahana menuju cita-cita kebangsaan


memerlukan dasar yang dapat mempertemukan berbagai kekhasan
masyarakat Indonesia. Pancasila adalah rumusan saripati seluruh
filsafat kebangsaan yang mendasari pembangunan Negara,
sedangkan UUD 1945 adalah dasar hukum tertinggi yang menjadi
pedoman dan rujukan semua peraturan perundangan. Pengakuan
atas keberagaman dicantumkan dalam Pasal 18 UUD 1945 (sebelum
amandemen) yang menyatakan bahwa ’Pembagian Daerah atas
Daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan
mengingat dasar permusyawaratan dalam sidang Pemerintahan
Negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat Istimewa’.

Penjelasan dari Pasal 18 menyatakan bahwa:


“Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lk. 250
Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa
di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di
Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan

38
asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat
istimewa”.
“Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-
daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai
daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah
tersebut”.

Ada empat aspek penting dalam penjelasan tersebut. Pertama, bahwa


di Indonesia terdapat banyak kelompok masyarakat yang mempunyai
susunan asli. Istilah ’susunan asli’ tersebut dimaksudkan untuk
menunjukkan masyarakat yang mempunyai sistem pengurusan diri
sendiri atau Zelfbesturende landschappen. Bahwa pengurusan diri
sendiri itu terjadi di dalam sebuah bentang lingkungan (landscape)
yang dihasilkan oleh perkembangan masyarakat dapat dilihat dari
frasa yang menggabungkan istilah Zelfbesturende dan landschappen.
Atinya, pengurusan diri sendiri tersebut berkaitan dengan sebuah
wilayah.

Kedua, semua kelompok masyarakat yang termasuk dalam kategori


Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen dapat
dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Keistimewaan ini
dapat dirumuskan dengan mengatakan bahwa kelompok masyarakat
tersebut mempunyai kelengkapan sistem pengurusan diri sendiri.
Kelengkapan tersebut diakui oleh pemerintah Kolonial Belanda
sebagaimana dapat dilihat dari penamaan desa di Jawa sebagai
sebuah dorpsrepubliek atau republik desa. Salah satu unsur
kelengkapan pengurusan diri sendiri itu adalah adanya sistem
peradilan, baik peradilan adat (inheemse rechtspraak) tercantum di
dalam pasal 130 IS dan pasal 3 Ind. Staatsblad 1932 nomor 80,
maupun peradilan desa (dorpsrechtspraak). Jelas bahwa istilah
republik desa menunjukkan adanya pengakuan bahwa kelompok-
kelompok masyarakat di Indonesia yang termasuk dalam kategori
Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen sudah
memiliki sistem yang menyerupai negara.

Tidak mengherankan bahwa dalam bagian Penjelesan Pasal 18

39
dicantumkan pula uraian yang bernada antisipatif bahwa ’Oleh
karena Negara Indonesia itu suatu "een heidsstaat", maka Indonesia
tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat
"Staat" juga’. Namun pernyataan ini tidak membatalkan unsur
penghormatan oleh Negara Indonesia terhadap berbagai kelompok
masyarakat yang mempunyai susunan asli tersebut.

Penghormatan terhadap masyarakat yang memiliki susunan asli


adalah aspek ketiga dalam bagian Penjelasan Pasal 18 UUD 1945.
Bentuk dari penghormatan tersebut adalah aspek keempat, yaitu
dengan mengingat hak asal-usul dari berbagai kelompok masyarakat
yang dimaksud. Ini berarti bahwa dalam penyelenggaraan Negara
melalui pembangunan nasional, hak asal-usul berbagai kelompok
masyarakat tersebut jangan sampai diabaikan apalagi dengan
sengaja dipaksahapuskan oleh pemerintah.

Dari perspektif ketatanegaraan, Pasal 18 UUD 1945 beserta


Penjelasannya adalah uraian lebih jauh dari semboyan bhineka
tunggal ika. Ke-bhineka-an terwujud dalam berbagai kelompok
masyarakat dengan susunan asli. Bahwa susunan asli tersebut
adalah sebuah sistem pengurusan diri sendiri yang bersifat lengkap
untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hak asal-usul. Dan
bahwa penghormatan terhadap keberadaan masyarakat dengan
susunan asli berada di pundak Negara dengan catatan bahwa
susunan asli tersebut tidak membentuk sebuah Negara di dalam
teritori Negara Republik Indonesia. Semua ini merupakan landasan
menuju kepada pencapaian cita-cita kebangsaan, yaitu ke-tunggal-
ika-an sebagai bangsa Indonesia.

Dengan kata lain, seluruh kandungan Pasal 18 dan Penjelasannya


merupakan sebuah prakondisi yang harus dipenuhi oleh Negara
Republik Indonesia dalam menata hubungannya dengan berbagai
kelompok masyarakat di Indonesia yang memiliki keistimewaan agar
cita-cita membangun ke-tunggal-ika-an sebagai sebuah bangsa dapat
tercapai.

40
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, unsur penghormatan terhadap
masyarakat dengan susunan asli pernah mengalami distorsi yang
tajam dengan upaya penyeragaman melalui Undang-Undang No. 5
Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Bahwa ini merupakan
sebuah kekeliruan dalam penyelenggaraan Negara Indonesia pun
sudah diakui oleh Negara sebagaimana dapat dilihat dalam bagian
‘Menimbang’ butir 5 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah yang menyatakan ‘bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun
1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979
Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153) yang
menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintah
Desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan
perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul Daerah yang
bersifat istimewa sehingga perlu diganti’.

Unsur penghormatan bisa juga ditasfirkan sebagai sudah terangkum


dalam Sila Kedua Pancasila yang menyatakan bahwa Negara
Indonesia dibangun di atas prinsip ‘Kemanusiaan yang adil dan
beradab’. Jelaslah bahwa di Indonesia terdapat masyarakat dengan
susunan asli yang sudah memiliki tingkat peradaban tertentu
sebagai sekelompok masyarakat dari manusia Indonesia dan oleh
karena harus dihormati dalam sebuah Indonesia yang bersatu
sebagaimana bunyi Sila Ketiga. Sila kedua adalah landasan filosofis
pengakuan keberadaan berbagai kelompok masyarakat dengan
susunan asli yang memiliki peradabannya masing-masing.
Khususnya Masyarakat Adat Lampung. Oleh karena itu adalah tidak
pada tempatnya bilamana berbagai kelompok masyarakat tersebut
diberi label sebagai masyarakat tertinggal, tradisionil, atau lebih
buruk lagi primitif. Pelabelan itu sendiri jelas sudah melanggar
prinsip dalam Sila Kedua Pancasila.

B. Landasan Sosiologis

Situasi dunia sekarang ini telah jauh berbeda dengan masa-masa


lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 1945. Globalisasi,
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perkembangan demokrasi dan

41
Hak Asasi Manusia adalah hal-hal mendasar yang telah mengubah
wajah dunia. Globalisasi sistem ekonomi pasar dan informasi,
perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, dan diserapnya
prinsip-prinsip demokrasi dan HAM ke dalam perjanjian-perjanjian
dan kesepakatan-kesepakatan internasional dalam bidang ekonomi
dan perdagangan serta kerjasama antara negara dalam
pembangunan, telah menghadirkan urgensi dan tantangan baru
dalam hubungan negara dan masyarakat. Akses ke berita yang
beberapa dekade lalu masih merupakan monopoli negara dalam
wujud Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik
Indonesia (TVRI) kini tidak lagi terjadi. Perkembangan teknologi
satelit dan broadcasting telah membuat hampir setiap orang dapat
mengakses berita televisi melalui antene parabola di mana pun dia
berada. Teknologi telepon seluler dan information technology (IT) telah
mempersempit dunia seolah tanpa jarak. Bersamaan dengan itu
sistem ekonomi pasar, prinsip-prinsip demokrasi, serta HAM bukan
lagi menjadi sebuah keistimewaan yang harus diperoleh dari
pendidikan yang diselenggarakan oleh negara. Setiap saat seseorang
dapat mengakses pengetahuan mengenai hal-hal ini dengan mudah.

Implikasi utama dari perkembangan peradaban tersebut adalah


bahwa masyarakat memiliki makin banyak dan beragam referensi
untuk membuat pertimbangan mengenai apa yang harus, apa yang
perlu, dan bagaimana cara melakukan sesuatu dalam hubungan
mereka dengan Negara dan pihak ketiga lainnya. Termasuk di
dalamnya adalah dalam persoalan benturan klaim atas objek hak
tertentu dan bagaimana menyelesaikannya.

Sudah umum diketahui bahwa benturan klaim hak atas tanah


adalah persoalan yang kental mewarnai hubungan masyarakat dan
negara di Indonesia selama ini. Dan bahwa benturan klaim ini
dijawab oleh masyarakat dengan berbagai tanggapan, mulai dari yang
sifatnya negosiasi sampai kepada pemisahan dari negara induk dan
memperjuangkan negara baru. Data kasus konflik agraria yang
dikeluarkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang
merekam sengketa agraria di Indonesia sejak 1953 sampai dengan

42
2000, berjumlah 1455 kasus, melibatkan 242.088 Keluarga, 533.866
jiwa dan lahan seluas 1.456.773 hektar yang merupakan lahan
masyarakat adat dan lokal.

Dalam konteks itu, pengakuan dan perlindungan terhadap


sekelompok masyarakat yang disebut sebagai ’masyarakat adat’
menemukan relevansinya. Masyarakat adat adalah kelompok
masyarakat yang merepresentasikan apa yang dalam Pasal 18 UUD
1945 (sebelum amandemen) dan Penjelasannya disebut sebagai
masyarakat yang memiliki susunan asli dengan hak asal-usul. Dalam
literatur hukum adat, kelompok masyarakat ini disebut sebagai
masyarakat hukum adat atau yang dalam pasal 18 UUD 1945
(sebelum amandemen) bagian Penjelasan angka II (dua romawi)
disebut sebagai susunan asli yang memiliki hak asal-usul dan
bersifat istimewa, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di
Minangkabau, dan sebagainya.

Hak asal-usul adalah hak yang dalam konsep politik hukum dikenal
sebagai hak bawaan untuk dipahami dalam perhadapannya dengan
hak berian. Menurut R. Yando Zakaria14, dengan menyebut desa
sebagai susunan asli maka desa adalah ‘persekutuan sosial,
ekonomi, politik, dan budaya’ yang berbeda hakekatnya dengan
sebuah ‘persekutuan administratif’ sebagaimana yang dimaksudkan
dengan ‘pemerintahan desa’ dalam berbagai peraturan perundangan
yang ada. Karenanya, sebagai susunan asli, kerapkali desa
mewujudkan diri sebagai apa yang disebut Ter Haar sebagai dorps
republick atau ‘negara kecil’, sebagai lawan kata ‘negara besar’ yang
mengacu pada suatu tatanan modern state.

Berkaitan dengan adanya pengakuan atas otonomi desa ini, dalam


wacana politik-hukum, dikenal adanya dua macam konsep hak
berdasarkan asal usulnya. Masing-masing hak berbeda satu sama
lainnya. Pertama, yaitu hak yang bersifat berian (hak berian), dan
kedua adalah hak yang merupakan bawaan yang melekat pada

14
R. Yando Zakaria, ‘Merebut Negara’, khususnya Bab 3 tentang ‘Otonomi Desa’, Yogyakarta,
Lapera Pustaka Utama dan KARSA, 2004.

43
sejarah asal usul unit yang memiliki otonomi itu (hak bawaan).
Dengan menggunakan dua pembedaan ini, maka digolongkan bahwa
otonomi daerah yang dibicarakan banyak orang dewasa ini adalah
otonomi yang bersifat berian ini. Karena itu, wacananya bergeser dari
hak menjadi wewenang (authority). Kewenangan selalu merupakan
pemberian, yang selalu harus dipertanggungjawabkan. Selain itu,
konsep urusan rumah tangga daerah hilang diganti dengan konsep
kepentingan masyarakat. Dengan demikian, otonomi daerah
merupakan kewenangan pemerintahan daerah untuk mengatur
kepentingan masyarakat di daerah.

Berbeda dengan hak yang bersifat berian adalah hak yang bersifat
bawaan, yang telah tumbuh berkembang dan terpelihara oleh suatu
kelembagaan (institution) yang mengurus urusan rumah tangganya
sendiri. Dalam UUD 1945, konsep hak yang bersifat bawaan inilah
yang melekat pada ‘daerah yang bersifat istimewa’ yang memiliki ‘hak
asal-usul’. Karena itu, berbeda dengan ‘pemerintah daerah’, desa
dengan otonomi desa, yang muncul sebagai akibat diakuinya hak
asal-usul dan karenanya bersifat istimewa itu, memiliki hak bawaan.

Hak bawaan dari masyarakat dengan susunan asli itu setidaknya


mencakup hak atas wilayah (yang kemudian disebut sebagai wilayah
hak ulayat). Sistem pengorganisasian sosial yang ada di wilayah yang
bersangkutan (sistem kepemimpinan termasuk di dalamnya), aturan-
aturan dan mekanisme-mekanisme pembuatan aturan di wilayah
yang bersangkutan, yang mengatur seluruh warga (‘asli’ atau
pendatang) yang tercakup di wilayah desa yang bersangkutan.
Dengan konsep seperti ini, maka secara internal sebuah susunan asli
yang direpresentasikan oleh desa, nagari, marga, binua dan lain
sebagainya itu, dapat mengatur kehidupannya dalam sejumlah
urusan atau yang dikenal sebagai ‘otonomi’ sebagai terjemahan
terbatas dari konsep self-determination.

Dari sejarah dapat kita ketahui bahwa hal ini sudah dibahas secara
serius dalam rapat-rapat BPUPKI. Dalam pidatonya dalam
pembahasan pembentukan UUD 1945 mengenai kekuasaan

44
pemerintah negara, Soepomo juga menekankan agar keberadaan
masyarakat dengan susunan asli harus dihormati dan
diperhatikan;15

… daerah-daerah ketjil jang mempunjai susunan jang aseli, jaitu


volksgemeinschappen … seperti misalnja di Djawa: desa, di
Minangkabau: nagri, di Palembang: dusun, lagi pula daerah ketjil
jang dinamakan marga, di Tapanuli: huta, di Atjeh: kampong, semua
daerah ketjil jang mempunjai susunan rakjat, hendaknja dihormati
dan diperhatikan susunannja jang aseli…

Meskipun demikian ada kesadaran pula bahwa susunan asli itu akan
berkembang, berubah mengikuti perkembangan jaman. Yamin,
selanjutnya mengatakan’:16

“Perkara Desa barangkali tidak perlu saja bitjarakan di sini,


melainkan kita harapkan sadja, supaja sifatnja nanti diperbaharui
atau disesuaikan dengan keperluan djaman baru … desa di pulau
djawa, negeri di Minangkabau, dan dusun-dusun jang lain … ,
supaya memenuhi kemauan djaman baru di tanah Indonesia kita
ini”.

Dalam beberapa dekade belakangan konflik antara masyarakat adat


dengan negara dan pihak ketiga terjadi di banyak daerah di
Indonesia. Kasus Jenggawah, Kedung Ombo, dan berbagai protes
petani di Garut, Kasepuhan-Kasepuhan di Pegunungan Halimun
Salak; kasus Orang Rimba dan Taman Nasional Kerinci Sebelat,
Kasus orang Amungme dengan Freeport hanyalah secuil contoh dari
ribuan konflik yang terjadi antara masyarakat di satu pihak dan
negara serta perusahaan di pihak lain. Konflik tersebut
mengakibatkan jatuhnya korban nyawa dan harta benda,
terganggunya kehidupan sehari-hari, terganggunya iklim investasi
dan pembangunan, dan bahkan mencederai citra negara di dunia
internasional dalam konteks HAM.

15
Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid Pertama, Yayasan
Prapanca, Jakarta, 1959.
16
Ibid.

45
Pencederaan itu dapat dilihat dari peristiwa pemutusan hubungan
antara Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan
Intergovernmental Group on Indonesia atau IGGI yang
mempertanyakan kredibilitas pemerintah Indonesia dalam
pelaksanaan HAM. Yang belum lama terjadi adalah beredarnya
cuplikan tindakan kekerasan terhadap masyarakat asli Papua oleh
pihak-pihak yang diduga militer Indonesia, meskipun hal ini secara
resmi sudah dibantah oleh otoritas berwenang dari militer Indonesia.

Dari sudut pandang konflik, semua ini adalah tahapan manifestasi


dari sebuah konflik yang lebih dalam akarnya. Desakan atau
tuntutan dari masyarakat adat dapat menjadi sumber untuk
menelisik lebih jauh akar persoalan. Pertanyaan yang terkait dengan
itu adalah ”mengapa sampai timbul konflik antara masyarakat adat
dan negara serta pihak ketiga”? Jawaban atas pertanyaan ini dapat
dipetakan dalam beberapa sebab. Pertama, terjadi diskriminasi
terhadap masyarakat adat. Pasal 2 ayat 1 Kovenan Internasional Hak
Sipil dan Politik (KIHSP) menjelaskan makna dari diskriminasi
sebagai tindakan melakukan pembedaan atas dasar suku bangsa,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau
pandangan lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan,
kelahiran atau status lainnya.

Dalam hal klaim hak atas tanah, jelas bahwa konsep hak masyarakat
adat atas tanah telah diabaikan dalam relasi masyarakat adat dan
Negara. Demikian pula hak untuk memeluk agama dan kepercayaan
mengalami nasib serupa dengan ditetapkannya hanya 6 (enam)
agama yang diakui Negara serta hak-hak dan kebebesan dasar
lainnya. Dalam pandangan politik, masyarakat adat belum dapat
menjalankan sistem pengurusan diri sendiri sebagaimana yang
disebut dalam UUD 1945 (sebelum amandemen). Dalam berbagai
uraian tentang masyarakat adat, akibat dari diskriminasi tersebut
adalah masyarakat adat mengalami proses peminggiran yang
sistematis dari kehidupan publik.

46
Kedua, dalam sistem peraturan perundangan di Indonesia,
pengaturan tentang hak masyarakat adat dilakukan secara sektoral.
Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat adat ditempatkan
sebagai objek dari kepentingan sektoral dalam penyelenggaraan
Negara. Akibatnya, masing-masing undang-undang sektoral
mencantumkan pengaturan tentang masyarakat adat menurut
kepentingannya. Di sinilah konflik antara masyarakat adat dengan
pihak ketiga selalu menjadi muaranya. UU No. 41 tahun 1999, UU
No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, UU No. 18 tahun 2004
tentang Perkebunan, UU tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, UU No. 32 tahun 2009 tentang Lingkungan serta
UU Pokok Agraria adalah sejumlah Undang-Undang yang
mencantumkan pengaturan masyarakat adat dalam nada yang telah
disebutkan itu.

Sektoralisme menempatkan masyarakat adat sebagai objek yang


dieksploitasi ketimbang sebagai subjek yang harus dipenuhi hak-hak
mereka sebagai bagian dari bangsa. Situasi ini sesungguhnya tidak
sesuai dengan prinsip dalam Pancasila dan UUD 1945, yang
menegaskan bahwa Negara Indonesia melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dari logika paling sederhana
pun, jika situasi itu tidak segera diperbaiki, dapat dikatakan bahwa
Pemerintah Negara Republik Indonesia hanya sibuk mengurusi tanah
tumpah darah Indonesia untuk kepentingan pembangunan sektoral
(pembangunan dari pengertian tafsir sepihak aparat pemerintah) dan
mengabaikan aspek ‘melindungi segenap bangsa Indonesia’.

Ketiga, pengaturan tentang masyarakat adat secara sektoral


menempatkan masyarakat adat seperti pelanduk yang harus terjepit
di antara dua gajah. Unsur utama dalam UU sektoral yang menjadi
penyebab adalah pemberian ijin bagi perusahaan untuk
mengeksploitasi sumberdaya alam di dalam wilayah yang diklaim
masyarakat adat. Negara memberikan ijin, yang secara substansial
berarti memberikan hak legal dari jenis tertentu kepada pengusaha
atau investor. Hak ini mengambil bentuk seperti HPH dalam bidang
Kehutanan, Kontrak Karya dalam sektor pertambangan, yang secara

47
prinsipil bertentangan dengan konsep hak masyarakat adat atas
tanah dan sumberdaya alam. Dalam situasi seperti itu, sejauh ini
hak masyarakat adat selalu menghadapi situasi dinegasikan.

Berbagai pengalaman dalam perhadapan dengan Negara dan pihak


ketiga menempatkan masyarakat adat sebagai korban pembangunan.
Jika kita dapat menerima asumsi bahwa masyarakat adat sebagian
besar terkonsentrasi di kawasan perdesaan, dan dengan merujuk
pada data tentang konsentrasi kemiskinan yang tinggi di kawasan
perdesaan, kita dapat mengatakan lebih lanjut bahwa masyarakat
adat adalah masyarakat miskin. Menurut data dari Sumber Informasi
Kompas, 21 Februari 2009, angka kemiskinan di Indonesia adalah 35
juta orang. Data dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
menyebutkan bahwa lebih dari separuh penduduk miskin Indonesia,
yang berjumlah 31,02 juta atau 13,33 persen dari total jumlah
penduduk Indonesia, terkonsentrasi di perdesaan. Hal ini bisa
dipahami mengingat bahwa berbagai bentuk pembangunan yang
dilaksanakan di Indonesia berjalan mengikuti standard-standard di
luar jangkauan masyarakat perdesaan umumnya dan masyarakat
adat khususnya. Tidak mengherankan bahwa warga masyarakat adat
yang bekerja di proyek-proyek pembangunan lebih banyak
menempati posisi terendah dalam struktur tenaga kerja yang bekerja
dalam proyek-proyek pembangunan tersebut. Beberapa tenaga kerja
dari warga asli Papua yang direkrut oleh perusahaan hutan tanaman
industry (HTI) di distrik Kurik dan Animha, Kabupaten Merauke
hanya dapat menjadi satuan pengaman (satpam) atau juru tanam
bibit akasia.

Cita-cita Negara Indonesia yang tercantum di dalam Pembukaan UUD


1945 adalah (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia; (ii) untuk memajukan kesejahteraan
umum; (iii) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (iv) ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial. Secara sosiologis cita-cita ini
tidak mungkin tercapai jika apa yang dialami masyarakat adat di
atas tidak segera diubah. Diskriminasi, kemiskinan, dieksploitasi dan

48
korban pembangunan, pengabaian adalah pengalaman-pengalaman
penderitaan masyarakat adat dan rakyat Indonesia umumnya yang
harus dihilangkan agar jalan menuju kepada keadilan sosial dapat
terbuka lebih lebar.

C. Landasan Yuridis

Baik landasan filosofis maupun realitas sosiologis yang dipaparkan


diatas membawa pertanyaan tentang landasan yuridis bagi persoalan
desa adat. Pengakuan atas eksistensi ini perlu dilengkapi dengan
pengakuan dan perlindungan atas hak-hak yang menyertai
keberadaan desa adat. Tidak ada eksistensi tanpa pemenuhan hak
dan kebebasan dasar. Pasal 18 B amandemen kedua UUD 1945 telah
menyuratkan adanya pengakuan tentang masyarakat adat disuatu
desa adat, demikian pula dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Desa, UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA), UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah, UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia,
adalah sejumlah UU yang telah mencantumkan masyarakat adat
dalam suatu desa adat sebagai kelompok masyarakat yang diakui
keberadaan dan hak-hak mereka.

Meskipun ada pengakuan dalam sejumlah peraturan perundang-


undangan perlu ditegaskan bahwa sifat dari pengakuan yang ada
sejauh ini adalah pengakuan bersyarat, yang dapat dilihat dari frasa
“sepanjang masih ada, sesuai dengan perkembangan masyarakat,
selaras dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
diatur dengan undang-undang”. Syarat-syarat ini berkaitan satu
sama lain dan menempatkan desa adat dalam situasi dilematis.
Disatu sisi, keberadaan desa adat ditentukan oleh adanya pengakuan
Negara dimana keputusan untuk menyatakan mereka masih ada
atau tidak juga berada di tangan Negara yang menetapkan syarat
tersebut. Disisi lain, pengakuan itu menghendaki adanya bukti
bahwa masyarakat adat masih ada, dan upaya pembuktian tersebut
juga dilakukan oleh Negara.

49
Baik UUD 1945 maupun berbagai UU yang mengatur tentang
pengakuan, perlindungan, dan penghormatan terhadap desa adat
adalah dasar hukum yang dapat digunakan untuk mendorong
pemenuhan hak-hak dan kebebasan dasar desa adat, bilamana
kondisi yang memperlemah pengakuan, penghormatan dan
perlindungan dapat dihilangkan. Disisi lain, keistimewaan desa adat
dalam system pengurusan diri sendiri, yang mencakup pemerintahan
dalam komuniti maupun system peradilan dan ketentuan-ketentuan
tentang pengelolaan tanah dan sumberdaya alam dapat
didayagunakan oleh Negara untuk memperkuat upaya mencapai cita-
cita kebangsaan. Ini berarti ada pembagian ruang pengurusan antara
Negara dan desa adat dimana Negara memberikan semacam otonomi
untuk menjalankan system pengurusan diri sendiri itu di dalam
masing-masing komuniti, namun tetap didalam kerangka system
Negara Indonesia. Belakangan ini dapat disaksikan bagaimana
system peradilan adat mulai dijalankan kembali dalam sejumlah
kasus.

Dengan mempertimbangkan juga aturan yang telah ada yaitu


Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 6 Tahun 2017 Tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah, Peraturan Daerah Provinsi
Lampung Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Pemberdayaan Masyarakat
Desa, Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 5 Tahun 2013
Tentang Kelembagaan Masyarakat Adat Lampung maka dapat
menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat adat di
dalam suatu desa adat.

Kebudayaan mengandung unsure adat istiadat, karena adat istiadat


juga merupakan hasil perkembangan dalam sebuah masyarakat. Hal
ini ditegaskan dalam pasal 1 butir 12 UU nomor 32 Tahun 2004 yang
menyatakan tentang desa adat atau satuan masyarakat adat dengan
nama lain yang terbentuk berdasarkan hak asal dan usul dan adat
istiadat dan bahwa kelompok masyarakat tersebut diakui dan
dihormati dalam Pemerintahan Negara Kesatuan Republic Indonesia.
Isi pasal-pasal ini merupakan tanggung jawab Negara sebagaimana
ditegaskan dalam pasal 28 I ayat 4 yang menyatakan bahwa
perlindungan, pemajuan, penegakan hak asasi manusia adalah

50
tanggung jawab Negara terutama Pemerintah.

Kebudayaan adalah pengertian yang dikenakan kepada semua


masyarakat. Bukan individu. Untuk individu kita mengenal perilaku
dan hasil karya. Keseluruhan atau akumulasi hasil karya dan
perkembangan sebuah masyarakat dari sebuah periode sejarah kita
namakan kebudayaan. Tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan.
Bahkan masyarakat yang sudah punah sekalipun masih
meninggalkan kebudayaan mereka. Dengan demikian yang dimaksud
dengan identitas budaya dari masyarakat tradisional pasal 28 I ayat
3 adalah kebudayaan sebuah kelompok masyarakat meskipun belum
jelas masyarakat mana yang dimaksud. Jika pasal ini ditafsirkan
dalam hubungannya dengan Pasal 18 B ayat 2 yang berbunyi:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat


hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”17

Maka ada kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat


tradisional dalam Pasal 28 I ayat 3 adalah masyarakat hukum adat
dengan hak tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 B
ayat 2, yang dalam naskah ini disebut dengan masyarakat adat.

Dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan


jika pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. Dengan mempertimbangkan Pancasila, UUD 1945
(sebelum maupun sesudah amandemen) dan semboyan Negara
Bhinneka Tunggal Ika, maka persoalan pengakuan bersyarat dan hak
kolektif perlu dikaji lebih jauh untuk menegaskan bahwa di dalam
Negara Indonesia memang terdapat masyarakat adat di suatu desa
adat yang mempunyai susunan asli dengan hak asal-usul. Urgensi
dari adanya pengakuan legal dalam bentuk sebuah undang-undang
tentang hak desa adat terletak dalam penegasan hak-hak masyarakat
dengan susunan asli untuk diakui, dilindungi, dan dipenuhi oleh

17
Pasal 18B ayat (2) merupakan hasil Perubahan (Amandemen) Kedua Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945 tanggal 18 Agustus 2000.

51
Negara, terutama pemerintah
Selain itu juga terdapat beberapa landasan yuridis yang menjadi
acuan dari pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Desa Adat di
Provinsi Lampung ini yaitu :
1. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah
2. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Pemberdayaan
Masyarakat Desa
3. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Kelembagaan
Masyarakat Adat Lampung

52
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH
PROVINSI

A. Sasaran

Arah pengaturan dari Peraturan Daerah yang akan dibentuk ini


adalah dengan memberikan landasan dan kepastian hukum dalam
penetapan pedoman teknis dari Desa Adat itu sendiri. Sasaran yang
hendak diwujudkan dari Peraturan Daerah yang akan dibentuk ini
adalah terwujudnya Desa Adat yang sesuai dengan penjaminan
terhadap keberadaan Desa Adatnya yang sesuai dengan Masyarakat
Adat yang tinggal didalamnya. Dengan demikian penyusunan -
penyusunan pedoman teknis keberadaan Desa Adat ini melibatkan
partisipasi masyarakat desa, baik melalui badan permusyawaratan
desa, lembaga lembaga yang ada di desa, maupun partisipasi
langsung dengan memberikan masukan lisan dan / atau tertulis.
Dalam hal ini partisipasi langsung dari berbagai pokok pokok dalam
pembentukan Desa Adat itu sendiri Masyarakat Adat Lampung
sendiri dan juga berbagai instansi terkait di Provinsi Lampung

B. Jangkauan dan Arah Pengaturan

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 (UUD Tahun 1945) diakui bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia memiliki keberagaman masyarakat yang tinggi. Pengakuan
atas keberagaman masyarakat Indonesia dicantumkan dalam Pasal
18B ayat (2)yang menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang18.Hal ini berarti Negara
Republik Indonesia mengakui dan menghormatikesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

18
Pasal 18B ayat (2) merupakan hasil Perubahan (Amandemen) KeduaUndang-Undang Dasar (UUD)
1945 tanggal 18 Agustus 2000.

53
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu penghormatan terhadap
identitas budaya dan masyarakat tradisional telah ditegaskan dalam
ketentuan Pasal 28I ayat (3) UUD Tahun 1945.
Adanya pengakuan dan penghormatan dari Negara kepada
masyarakat hukum adat sebagaimana yang digariskan dalam UUD
Tahun 1945 ternyata tidak diikuti dengan sebuah pengaturan yang
memberikan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat,
termasuk didalamnya masyarakat tradisional. Pengakuan dan
penghormatan terhadap masyarakat hukum adat dan masyarakat
tradisional dapat diwujudkan dalam bentuk perlindungan dan
pemberdayaan sesuai dengan karakteristik yang dimiliki.

Arah pengaturan pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan


masyarakat adat dalam satu undang-undang adalah terbentuknya
suatu peraturan perundang-undangan tentang pengakuan,
perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat yang sesuai
dengan perkembangan zaman, dan menyatukan dan melakukan
sinkronisasi dan harmonisasi berbagai ketentuan tentang
masyarakat hukum adat dalam berbagai peraturan perundang-
undangan lainnya.

Dengan adanya Pengakuan terhadap masyarakat adat ini maka perlu


adanya wadah dalam melingkupi masyarakat adat ini menjadi satu
kesatuan yaitu Desa Adat. Undang-Undang Desa Adat ini berbentuk
suatu peraturan perundang-undangan yang kuat dan komprehensif
bagi pengakuan,perlindungan, dan pemberdayaan Desa Adat yang
melingkupi masyarakat adat di Provinsi Lampung Dengan demikian,
masyarakat adat mempunyai ruang yang lebih luas untuk dapat
partisipasi dalam aspek politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan,
sosial, dan budaya sertamelestarikan tradisi dan adat istiadatnya
sebagai kearifan lokal dan bagian dari kebudayaan nasional. Adanya
undang-undang ini akan menjangkau tidak hanya masyarakat adat
sebagai subjek hukum tetapi juga pemerintah dan pihak lain diluar
masyarakat adat.

54
Undang-undang ini memberikan kepastian hukum terhadap
kedudukan dan keberadaan Desa Adat yang melingkupi Masyarakat
Adat yang didalamnya mengatur secara tegas mengenai pengakuan
dan perlakuan hukum bagi Desa Adat, masyarakat adat, hak dan
kewajiban, pemberdayaan masyarakat adat, sistem informasi, tugas
dan wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah, lembaga
adat, penyelesaian sengketa, pendanaan, dan peran serta
masyarakat.

C. Ruang Lingkup

1. Ketentuan Umum Memuat Rumusan Akademik Mengenai


Pengertian Istilah dan Frasa

a. Desa adalah keseluruhan desa yang berada diwilayah geografis


provinsi Lampung, yang masih menerapkan segala sistem
terkait urusan pemerintahannya dengan menggunakan aturan
yang telah diwariskan dari leluhur terdahulu mereka dalam
lingkup desa tersebu
b. Desa adat adalah unit pemerintahan yang dikelola oleh
masyarakat adat dan mempunyai hak untuk mengurus wilayah
(hak ulayat) dan kehidupan masyarakat dalam lingkungan desa
adat di daerah yang berada di provinsi Lampung yang masih
kental dengan adat kebudayaan yang masih terjaga di daerah
tersebut
c. Masyarakat hukum adat yang dimaksud adalah sekelompok
orang yang hidup secara turun temurun diwilayah geografis
tertentu, memiliki asal usul leluhur dan kesamaan tempat
tinggal, identitas budaya, hukum adat, hubungan yang kuat
dengan tanah dan lingkungan hidup, serta sistem nilai yang
menentukan pranata ekonomi, politil, sosial, budaya dan
hukum
d. Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat,
yaitu masyarakat hukum adat yang berada di provinsi
Lampung yang pada pokoknya merupakan subjek dalam
perancangan naskah akademik ini untuk dikedepankan hak
dan perlindungan terkait eksistensi keberadaannya

55
e. Kewenangan desa adat yaitu hak yang diberikan oleh
pemerintah daerah provinsi Lampung untuk melakukan
sesuatu, mengambil keputusan, atau mengorganisir
masyarakat yang berada dalam lingkup wilayah desa adat
tersebut
f. Penduduk desa adat, adalah setiap orang yang tinggal dan
serta menetap didesa tersebut dalam jangka waktu yang cukup
lama
g. Daerah atau wilayah desa adat yaitu mencangkup seluruh
segala jenis pembatas yang berada didesa tersebut untuk
menandai wilayah mana saja yang masuk kedalam kawasan
desa adat tersebut, seperti pagar, sungai dsb.
h. Pemimpin desa adat, yaitu seseorang yang telah mendapat
wewenang untuk mengepalai desa adat tersebut dan juga
sebagai wakil masyarakat hukum adat dalam urusan
pemerintahan desa tersebut
i. Urusan atau rumah tangga desa adat yang dimaksud adalah
segala hal terkait pelaksanaan otonomi yang telah dilimpahkan
oleh pemerintah daerah Provinsi Lampung
j. Lembaga adat yaitu perangkat yang berwenang mengatur,
mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan
kehidupan yang berdasarkan pada adat istiadat dan hukum
adat, yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan
sejarah masyarakat adat
k. Fungsi lembaga adat yaitu setiap peran yang telah diwajibkan
oleh pemerintah daerah provinsi lampung dalam mengayomi
dan mendukung setiap langkah dalam pembangunan
masyarakat hukum adat tersebut
l. Wewenang lembaga adat yaitu setiap langkah yang ditujukan
untuk usaha melestarikan serta memperkaya adat istiadat
masyarakat hukum adat tersebut

2. Ruang Lingkup Desa Adat di Provinsi Lampung


1. Desa Gedong Meneng menjadi Desa Adat Gedong Meneng
Kecamatan Rajabasa.

56
Desa Adat Gedong Meneng yang terletak di Kecamatan
Rajabasa ini merupakan salah satu yang terdapat di Provinsi
Lampung yang memiliki 7 desa/kelurahan yang berbatasan
sebelah utara Kabupaten Lampung Selatan, sebelah selatan
terdapat Kabupaten Kemiling dan Kecamatan Langkapura,
sebelah barat terdapat Kabupaten Lampung Selatan dan
sebelah timur terdapat Kabupaten Lampung Selatan,
Kecamatan Tanjung Senang dan Kecamatan Labuhan Ratu.

2. Desa Sidodadi menjadi Desa Adat Sidodadi Kecamatan


Kedaton.
Desa Adat Sidodadi yang terletak di Kecamatan Kedaton
merupakan salah satu yang berada di Provinsi Lampung yang
memiliki 7 kelurahan yang berbatasan dengan sebelah utara
terdapat Kecamatan Labuhan Ratu, sebelah selatan terdapat
Kecamatan Tanjung Karang Pusat dan Kecamatan Tanjung
Karang Timur, sebelah barat terdapat Kecamatan Tanjung
Karang Barat dan sebelah timur terdapat Kecamatan Way
Halim.

3. Desa Pagelaran menjadi Desa Adat Pagelaran Kecamatan


Pagelaran
Desa Adat Pagelaran yang terdapat di kecamatan Pagelaran
berada di antara 22 kelurahan. Pagelaran memiliki jumlah
penduduk 46.330 dengan luas 72,47km dan kepadatan
penduduknya 639,30 jiwa/km, di Pagelaran ini terdapat
masyarakat yang transmigra sekitar 14 suku yang terdapat di
Pagelaran.

4. Desa Pinang Jaya menjadi Desa Adat Pinang Jaya Kecamatan


Kemiling.
Desa Pinang Jaya adalah salah satu desa yang terdapat di
Keacmatan Kemiling kota Bandar Lampung yang terdapat 9
kelurahan yang berbatasan wilayah dengan Kabupaten
Pesawaran dan Kabupaten Lampung Selatan, Kecamatan Teluk

57
Betung Barat, Kecamatan Rajabasa, Kecamatan Langkapura
dan Kecamatan Tanjung Karang Barat.

5. Desa Kuripan menjadi Desa Adat Kuripan Kecamatan Teluk


Betung Barat.
Desa Kuripan yang terdapat di Kecamatan TelukBetung Barat
ini merupakan salah satu yang terdapat di Provinsi Lampung
ini memiliki 5 desa/kelurahan dan terdapat batas wilayah yaitu
sebelah utara terdapat Kecamatan Kemiling dan Kecamatan
Tanjung Karang Barat, sebelah selatan terdapat Kabupaten
Pesawaran dan Kecamatan Teluk Betung Timur, sebelah barat
terdapat Kabupaten Pesawaran, dan sebelah timur terdapat
Kecamatan TelukBetung Selatan.

6. Desa Sukaraja menjadi Desa Adat Sukaraja Kecamatan Cukuh


Balak.
Desa Sukaraja Kecamatan Cukuh Balak yang terletak di
Provinsi Lampung merupakan daerah transmigran sehingga
terdapat banyak suku diantaranya suku Lampung, Jawa,
Mingkabau, Bali dan sunda dan masyarakat pun memiliki
ragam agama yaitu islam, Kristen protestan, katolik, hindu dan
budha.di daerah ini terdapat 20 kecamatan, 3 kelurahan dan
293 desa.

7. Desa Bukit Batu menjadi Desa Adat Bukit Batu Kecamatan


Kasui.
Desa Bukit Batu kecamatan Kasui merupakan daerah yang
terlatk di Provinsi Lampung. Kecamatan kasui memiliki luas
124km dan terdapat kepadatan penduduk 893jiwa/km.

3. Pengakuan

Negara mengakui masyarakat adat yang masih hidup dan


berkembang di masyarakat sesuai dengan prinsip negara kesatuan
republik indonesia. Dalam memberikan pengakuan, pemerintah
pusat melakukan pendataan terhadap masyarakat adat yang masih

58
tumbuh dan berkembang sesuai dengan karakteristik masyarakat
adat. Dalam melakukan pendataan tersebut pemerintah pusat
berkordinasi dengan pemerintah daerah, yakni tepatnya
Pemerintahan Daerah Provinsi Lampung
Hasil yang dilakukan akan digunakan sebagai dasar untuk
melakukan pengakuan masyarakat adat. Dalam proses pengakuan
masyarakat adat tersebut dilakukan dengan melalui beberapa
tahapan sebagai berikut :
1. Identifikasi,
2. Verifikasi,
3. Validasi, dan
4. Penetapan

Ke empat tahapan diatas dilakukan oleh panitia yang bersifat ad-hoc.


Gubernur membentuk panitia untuk melakukan pengakuan
terhadap masyarakat adat yang berada di wilayah paling sedikit dua
kabupaten/kota dalam satu provinsi. Bupati/walikota panitia untuk
melakukan pengakuan terhadap masyarakat adat yang berada di
satu wilayah kabupaten/kota. Serta menteri membentuk panitia
untuk melakukan pengakuan terhadap masyarakat adat yang berada
di wilayah paling sedikit dua provinsi.

Setelah masyarakat adat diakui melalui sebuah ketetapan daerah,


maka tahapan selanjutnya yaitu pemerintah daerah dan pemerintah
pusat wajib memberikan perlindungan kepada masyarakat adat
dalam melaksanakan hak-hak tradisionalnya, yang meliputi :

1. Perlindungan sebagai subjek hukum


2. Pengembalian wilayah adat untuk dikelola, dimanfaatkan dan
dilestarikan sesuai dengan adat istiadatnya
3. Pemberian kompensasi atas hilangnya hak masyarakat adat
untuk mengelola wilayah adat atas izin pemerintah pusat atau
pemerntah daerah sesuai dengan kewenangannya
4. Pengembangan dan menjaga budaya serta kearifan lokal dalam
rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup
5. Peningkatan taraf kehidupan masyarakat adat
6. Pelestarian kearifan lokal dan pengetahuan tradisional

59
7. Pelestarian harta kekayaan dan benda adat

4. Tugas Dan Wewenang

Materi muatan yang diatur dalam bagian ini yaitu mengenai tugas
dan wewenang yang dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi
Lampung, yaitu antara lain :

1. Membentuk panitia untuk melakukan pengakuan terhadap


masyarakat adat
2. Melaksanakan program pemberdayaan Desa Adat;
3. Menyediakan sarana dan prasarana yang terkait dengan upaya
pemberdayaan Desa Adat;
4. Melaksanakan sosialisasi kebijakan pembangunan nasional dan
daerah kepada desa adat;
5. Melakukan mediasi dalam penyelesaian sengketa antar
masyarakat hukum adat di desa adat;
6. Menyusun dan melaksanakan program pembangunan dengan
memperhatikan kearifan lokal dan pengetahuan tradisional;
7. Melindungi karya seni, budaya, pengetahuan tradisional dan
kekayaan tradisional masyarakat hukum adat;
8. Membentuk wadah komunikasi hubungan antara msyarakat
hukum adat dengan masyarakat lokal disekitarnya;
9. Memberikan fasilitas dan pendampingan dalam penyusunan
peta partisipatif tanah adat;
10. Membentuk unit organisasi yang mempunyai tugas dan
tanggung jawab pengakuan dan perlindungan masyarakat adat;
11. Mengesahkan dan mencatatkan dalam peta tanah Indonesia,
peta partisipatif yang disusun masyarakat sebagai tanah adat;
12. Melakukan penataan kesatuan wilayah masyarakat hukum
adat.

Untuk menjalankan tugas diatas, pemerintah daerah provinsi


lampung juga diimbangi dengan wewenang sebagai berikut :

1. Menetapkan keberadaan desa adat;


2. Menetapkan program daerah untuk pemberdayaan desa adat;

60
3. Menetapkan program sosialisasi kebijakan pembangunan
nasional dan daerah kepada desa adat;
4. Menetapkan tata cara mediasi penyelesaian sengketa antar
masyarakat hukum adat di desa adat;
5. Menetapkan program pembangunan dengan memperhatikan
kearifan lokal dan pengetahuan tradisional;
6. Menetapkan program perlindungan terhadap karya seni, budaya
pengetahuan tradisional dan kekayaan intelektual dalam
masyarakat hukum adat.

5. Sistem Informasi

Pemerintah daerah bekerjasama dengan pemerintah pusat


membentuk dan mengembangkan sistem informasi terpadu mengenai
masyarakat adat. Sistem informasi terpadu ditujukan untuk :

1. Memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat


2. Dasar pengembalian dan implementasi kebijakan bagi
pemerintah pusat dan pemerintah daerah
3. Mendukung penyelenggaraan pemberdayaan desa adat

Yang mana sistem informasi ini memuat beberapa ketentuan, antara-


lain :

1. Data dan informasi mengenai desa adat


2. Program pemberdayaan desa adat
3. Hasil pengawasan terhadap pelaksanaan pemberdayaan desa
adat
4. Dan evaluasi terhadap hasil pemberdayaan desa adat

Dalam pelaksanaan sistem informasi ini, dilakukan secara akuntabel


dan sistematis serta mudah diakses.

6. Pendanaan

Untuk menjamin pelaksanaan tugas serta wewenang Pemerintah


Pusat dan Pemerintah Daerah diperlukan pendanaan. Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan anggaran yang
memadai bagi pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan Desa

61
Adat. Pendanaan bagi pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan
masyarakat adatbersumber dari:
a. anggaran pendapatan dan belanja negara;
b. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan
c. sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat.

Sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat tersebut dikelola
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

7. Larangan

Larangan yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang ini


mengatur mengenai larangan terhadap setiap orang yang
menghalangi-halangi pelaksanaan Desa Adat yang diatur dalam
Undang-Undang ini dan larangan terhadap setiap orang melakukan
tindakan yang dapat mengurangi dan/atau ketentuan Desa Adat
yang diatur dalam Undang-Undang ini.

8. Ketentuan Pidana

Ketentuan pidana diatur dalam Undang-undang jika diperlukan.


Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan
pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma
larangan atau norma perintah. Dalam Rancangan Undang-undang
ini, pidana dikenakan kepada setiap orang yang menghalangi-halangi
pelaksanaan keberadaan Desa Adat yang diatur dalam Undang-
Undang ini.Selain itu pidana juga dikenakan terhadap setiap orang
yang melakukan tindakan yang dapat mengurangi dan/atau
menghilangkan melanggar ketentuan Desa Adat yang diatur dalam
Undang-Undang ini.

9. Ketentuan Peralihan

Ketentuan peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan


hukum atau hubungan hukum berkaitan dengan Desa Adat yang
sudah ada UU Desa mengatur mengenai Peraturan Desa Adat,
Peraturan Desa Adat disesuaikan dengan hukum adat dan norma
adat istiadat yang berlaku di Desa Adat Provinsi Lampung sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-

62
undangan.
Ketentuan peralihan bertujuan untuk:

a. menghindari terjadinya kekosongan hukum;


b. menjamin kepastian hukum;
c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena
dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan; dan
d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat
sementara.19
Ketentuan mengenai Peraturan Desa Adat hanya berlaku bagi desa
adat. Akan tetapi perlu diketahui, ketentuan tentang Desa berlaku
juga untuk Desa Adatsepanjang tidak diatur dalam ketentuan
khusus tentang Desa Adat.

Pengaturan dan penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat


dilaksanakan sesuai dengan hak asal usul dan hukum adat yang
berlaku di Desa Adat yang masih hidup serta sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan tidak bertentangan dengan asas
penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat dalam prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia
Pemerintahan Desa Adat menyelenggarakan fungsi permusyawaratan
dan Musyawarah Desa Adat sesuai dengan susunan asli Desa Adat
atau dibentuk baru sesuai dengan prakarsa masyarakat Desa Adat

10. Ketentuan Penutup

Ketentuan penutup ditempatkan dalam bab terakhir. Jika tidak


diadakan pengelompokan bab, ketentuan penutup ditempatkan
dalam pasal-pasal terakhir. Pada umumnya ketentuan penutup
memuat ketentuan mengenai:

a) Penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan


Peraturan Perundang-undangan;
b) Nama singkat Peraturan Perundang-undangan;
c) Status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan
d) Saat mulai berlaku Peraturan Perunang-undangan.20

19
Lampiran Nomor 127 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.

63
Dalam ketentuan ini mengatur mengenai pada saat Undang-Undang
ini mulai berlaku semua istilah masyarakat hukum adat yang sudah
diatur dalam peraturan perundang-undangan sebelum Undang-
Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai Desa Adat sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. Selain itu dalam
ketentuan penutup mengatur mengenai semua peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai atau berkaitan
dengan Desa Adat sebelum diundangkannya Undang-Undang ini
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.

20
Lampiran Nomor 136 dan 137 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.

64
BAB VI
KESIMPULAN

A. Simpulan

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, diperoleh beberapa


simpulan sebagai berikut:
1. Permasalahan yang sering timbul dan terjadi di wilayah
masyarakat adat :
a. Pengakuan (recognition) terhadap Masyarakat Adat sangat
penting karena dengan pengakuan membawa akibat
perlindungan hukum terhadap Masyarakat Adat dan hak-
haknya.
b. Kondisi empiris Masyarakat Adat saat ini masih belum
sepenuhnya terlindungi yang mengakibatkan keberadaannya
terpinggirkan, serta munculnya konflik sosial ( Konflik antar
adat, kesalahan tafsir Piil Pesenggiri ) dan konflik agraria di
wilayah adat yang tidak tertempatkan pada satu wilayah yaitu
desa adat.

2. Kondisi peraturan perundang-undangan saat ini yang berkaitan


dengan substansi di dalam Peraturan Daerah tentang Desa Adat
dan Masyarakat Adat. Dalam evaluasi peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan Peraturan Daerah tentang Desa
adat dan Masyarakat Adat ditemukan banyak peraturan
perundang-undangan yang mengatur Masyarakat Hukum Adat
secara sektoral dan parsial yang tidak konsisten antara satu
dengan lainnya sehingga menimbulkan kesulitan dalam
implementasinya.
Diharapkannya dengan adanya Peraturan Daerah mengenai Desa
Adat ini akan menjadi kan desa adat sebagai teritorial hukum
dalam menyelesaikan berbagai persoalan dalam masyarakat adat
dan menjadikan ketentuan dasar dalam berpedoman dan
berprilaku sesuai dengan ketentuan hukum yang ada di Desa Adat

3. Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis Rancangan Peraturan


Daerah tentang Desa Adat;

65
a. Landasan Filosofis.
Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945: “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang”.
b. Landasan Sosiologis.
Perlunya pengakuan terhadap keberadaan Masyarakat Adat dan
hak-haknya melalui undang-undang tersendiri untuk
memberikan perlindungan dan pemberdayaan serta
menyelesaikan permasalahan terkait keberadaan Masyarakat
Adat diantaranya berupa konflik social, konflik agraria dan
sebagainya.
c. Landasan Yuridis
Perlunya diatur tentang Desa Adat Lampung secara
komprehensif dalam satu peraturan daerah tersendiri untuk
menyelesaikan permasalahan disharmoni karena tersebarnya
pengaturan Desa Adat dalam berbagai peraturan perundang-
undangan yang menimbulkan kendala dalam implementasinya.

4. Materi Muatan dari Rancangan Peraturan Daerah tentang Desa


Adat.
Rancangan Peraturan Daerah ini memuat materi tentang
ketentuan umum yang memuat istilah, asas, dan tujuan;
karakteristik, pengakuan, perlindungan, hak dan kewajiban,
pemberdayaan, system informasi, tugas dan wewenang Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi Lampung, Lembaga Adat,
penyelesaian sengketa, pendanaan, peran serta masyarakat,
larangan, ketentuan pidana, ketentuan peralihan, dan ketentuan
penutup.

B. Saran

Atas beberapa kesimpulan diatas, dapat disampaikan beberapa saran


sebagai berikut:

66
1. Perlu adanya pengaturan Desa Adat di Provinsi Lampung dalam
Peraturan Daerah untuk dapat memberikan pengakuan dan
perlindungan terhadap keberadaan Desa Adat dan Masyarakat Adat
Lampung dan hak-haknya.

2. Dengan adanya Peraturan Daerah yang secara komprehensif


mengatur keberadaan Desa Adat di Provinsi Lampung dan
Masyarakat Adat dan hak-haknya akan menyatukan pengaturan
Masyarakat Adat yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-
undangan dan diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang
terjadi dalam implementasi selama ini.

67
DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Wirawan, Ida, 2012, Teori teori Sosial dalam Paradigma,


Kencana : Jakarta

Huda, Ni’matul, 2015, Hukum Pemerintahan Desa. Setara Press :


Malang

Komnas HAM, Inkuiri Nasional Komnas HAM: Hak Masyarakat Hukum


Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan, Komnas HAM,
Jakarta, 2016.

Lim Teck Ghee dan Alberto G. Gomes, Suku Asli dan Pembangunan di
Asia Tenggara, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta:1993.

Leibo, Jefta, 1995, Sosiologi Pedesaan, Andi Offset: Yogyakarta

Lukito,Ratna.2008.Hukum Sakral dan Hukum


Sekuler.Tanggerang:Pustaka Alvabet.

Mashab, Mashuri.2013.Politik Pemerintahan di Indonesia. Yogyakarta:


Polgov Fisipol UGM.

Mohammad Yamin (1959), Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar


1945, Jilid Pertama, Jakarta: Yayasan Prapanca.

Nurtjahjo, Hendra dan Fokky.2010.Legal Standing, Kesatuan


Masyarakat Hukum Adat dalam Berperkara di Mahkamah
Konstitusi.Jakarta:Selemba Humanika.

Nur Rahman, Irfan, dkk, 2011, Dasar Pertimbangan Yuridis


Kedudukan Hukum (Legal Standing ) Masyarakat Hukum adat
dalam Proses Pengujian Undang Undang , Oktober 2011

Purnomo, Joko, 2016, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Infest:


Yogyakarta

68
R. Yando Zakaria (2000), Abih Tandeh: Masyarakat desa di bawah
rezim Orde ,Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.

Sarasehan.1999.Menggugat Posisi Masyarakat Terhadap


Negara.Jakarta:Panitia bersama Sarasehan dan Kongres
Masyarakat Adat Nusantara 1999 dengan Lembaga Studi Pers
dan Pembangunan.

Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Hukum (Jakarta:


Rineka Tercipta, 2003),

Soepomo, 1996, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita :


Jakarta

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad


ke XX (Bandung: Alumni, 1994

Yustiani Yudha Putri, Andi Gunawan, Nurhayati


H.S.Arfin.2013.Kajian Lanskap Pemukiman Tradisional Masyarakat
Lampung Saibatin Di Pekon Kenali Lampung Barat. Jurnal Pemukiman.

Wignosubroto, Soetandyo.2005.Pasang Surut Otonomi Daerah,Sketsa


Perjalanan 100 Tahun.Jakarta:Yayasan Tifa.

Wijaya, HAW, 2003, Otonomi Desa : Otonomi yang asli bulat dan utuh,
Raja Grafindo Persada : Jakarta

Peraturan Perundang-undangan:

Putusan MK No. 35/PUU-X/2012,

Perubahan (Amandemen) Kedua Undang-Undang Dasar (UUD) 1945


tanggal 18 Agustus 2000.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 B Ayat (2) dan Pasal 28 I Ayat


(3)

69
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Undang-undang Nomor 5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi


Internasional mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nation
Convention on Biological Diversity).

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi


Kependudukan

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan


Daerah

Undang-Undang Nomor 2 Tahun Tahun 2012 Tentang Pengadaan


Tanah Bagi Pembangunan

Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Pembentukan


Produk Hukum Daerah

Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Pemberdayaan


Masyarakat Desa

Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2013 Tentang Kelembagaan


Masyarakat Adat Lampung

Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun 2016 tentang


Pemberdayaan Masyarakat Desa

Internet:

70
Siaran Pers KAMAN IV 25 April 2012,
http://www.kongres4.aman.or.id/2012/04/siaran-pers-kman-
iv-25-april-20012.asp,

http://staff.unila.ac.id/abdulsyani/multikulturalisme-lampung-
penghargaan-atas-kearifan-lokal-untuk-menciptakan-
stabilitas-daerah/

71
PROVINSI LAMPUNG
PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG
TENTANG
PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN KEBERADAAN DESA ADAT DI
PROVINSI LAMPUNG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


GUBERNUR LAMPUNG,

Menimbang :
a. bahwa Negara mengakui dan menghormati
keberadaan desa adat beserta hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam Undang-Undang;
b. bahwa dalam upaya untuk mengembalikan nilai
adat masyarakat lokal dan eksistensi
keberadaan desa adat serta untuk
menghidupkan kembali nilai dan norma adat di
dalam Desa Adat perlu dilakukan pengakuan
serta perlindungan terkait keberadaan Desa
Adat;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Daerah tentang
Pengakuan dan Perlindungan Keberadaan Desa
Adat di Provinsi Lampung;

Mengingat :
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 mengenai
pemerintahan daerah dan haknya dalam
menetapkan peraturan daerah dan peraturan
lainnya untuk melaksanakan otonomi daerah dan
tugas pembantuan ;
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4578);
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

72
2014 Nomor 7 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5495);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 246, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5539);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
123, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5539);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014
tentang Dana Desa yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 168,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5558);
7. Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 2
Tahun 2016 tentang Pemberdayaan Masyarakat
Desa (Tambahan Lembaran Daerah Provinsi
Lampung Tahun 2016 Nomor 443)

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI LAMPUNG


dan
GUBERNUR LAMPUNG
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAERAH TENTANG PENGAKUAN
DAN PERLINDUNGAN KEBERADAAN DESA ADAT DI
PROVINSI LAMPUNG.
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud:


1. Daerah adalah Provinsi Lampung.
2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
Pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah memuat asas otonomi dan tugas pembantu
dengan Rakyat Dearah menurut asas otonomi dan tugas
pembantu dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia

73
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah otonomi.
4. Bupati adalah Bupati Provinsi Lampung
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut
DPR adalah Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
6. Badan Pemeberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa
selanjutnta disebut BPMPD adalah BPMPD Provinsi Lampung.
7. Satuan Kerja Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut
SKPD adalah SKPD Pemerintah Provinsi Lampung. Termasuk
Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Inspektorat, Dinas dan
Badan.
8. Kecamatan atau yang disebut dengan nama lain adalah
sebagian wilayah dari daerah kabupaten/kota yang dipimpin
oleh Camat.
9. Desa Adat adalah Kesatuan Masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati sistem Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
10. Desa Adat adalah susunan asli yang mempunyai hak asal usul
berupa hak mengurus wilayah dan mengurus kehidupan
masyarakat hukum adatnya.
11. Adat adalah ketentuan dan aturan yang mengatur tingkah
laku anggota masyarakat dalam hubungan sesamanya dalam
segala aspek kehidupan.
12. Pemerintahan Desa Adat adalah penyelenggaraan urusan
Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam
sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
13. Pemerintah Desa Adat adalah Penghulu dibantu Perangkat
Desa sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintaha Desa Adat.
14. Penghulu adalah Kepala Desa sebagai penyelenggara
Pemerintahan.
15. Badan Permusyawaratan Desa Adat yang selanjutnya disebut
BAPEKAM adalah lembaga yang melaksanakan fungsi
pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari
penduduk Desa Adat berdasarkan keterwakilan wilayah dan
ditetapkan secara demokrasi.
16. Perangkat Desa Adat adalah unsur pembantu Penghulu dalam
melaksanakan tugas Pemerintahan Desa Adat.
17. Kerani adalah sebutan lain dari Sekretaris Desa/Desa Adat.
18. Juru Tulis adalah sebutan lain dari Kepala Urusan sebagai
pembantu kerani.
19. Rukun Desa adalah sebutan lain dari RukunWarga.
20. Wilayah atau Dusun, Rukun Desa, Rukun Tetangga adalah
bagian wilayah dalam Desa Adat yang merupakan wilayah
penyelenggaraan Pemerintahan Desa Adat.
Pasal 2

74
(1) Tujuan ditetapkannya Desa Adat adlah untuk menghidupkan
kembali peranan tokoh adat dalam penyelnggaraan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat, hal ini diakibatkan oleh semakin kompleknya tata
kehidupan dimasyarakat sebgai pengaruh urbanisasi
penduduk dari daerah lain.
(2) Memberi peran dan fungsi kepada Penghulu Desa Adat,
lembaga adat untuk dapat mengayomi kehidupan masyarakat
yang lebih optimal meliputi:
a. meningkatkan peran serta Pemerintahan Desa Adat,
lembaga masyarakat dan tokoh adat yang berorientasi
kepada adat dan istiadat setempat dalam penyelenggaraan
pemerintahan Desa Adat;
b. meningkatkan peran tokoh adat terkait dengan kegiatan
sosial kebudayaan dalam kehidupan masyarakat.
c. meningkatkan peran tokoh adat yang ditunjuk sebagai
orang yang di tuakan untuk lebih berperan aktif
menghidupkan kembali adat istiadat Desa Adat di Provinsi
Lampung; dan
d. melestarikan adat istiadat yang hamper hilang yang di
akibatkan oleh urbanisasi dari daerah lain, sehingga adat
istiadat lokal dapat dihidupkan dan di kembangkan
kembali.

BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 3

Desa yang ditetapkan menjadi Desa Adat terdiri dari


a. desa Gedong Meneng menjadi Desa Adat Gedong Meneng di
Kecamatan Rajabasa
b. desa Sidodadi menjadi Desa Adat Sidodasi di Kecamatan
Kedaton
c. desa Pagelaran menjadi Desa Adat Pagelaran di Kecamatan
Pagelaran
d. desa Pinang Jaya menjadi Desa Adat Pinang Jaya di Kecamatan
Kemiling
e. desa Kuripan menjadi Desa Adat Kuripan di Kecamatan
TelukBetung Barat
f. desa Sukaraja menjadi Desa Adat Sukaraja di Kecamatan
Cukuh Balak
g. desa Bukitbatu menjadi Desa Adat Bukitbatu di Kecamatan
Kasui

BAB III
PEMERINTAHAN

Pasal 4

(1) Pemerintah Desa Adat terdiri dari:


a. penghulu; dan

75
b. Perangkat Desa Adat
(2) Perangkat Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdiri dari:
a. sekretaris Desa Adat;
b. unsur kewilayahan; dan
c. pelaksanaan teknis lapangan.
(3) Sekretaris Kepenghuluan Adat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) huruf a terdiri dari:
a. kerani sebagai pimpinan sekretaris; dan
b. juru tulis, staf, atau unsur pembantu kerani.
(4) Unsur kewilayahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b adalah Pembantu Penghulu yakni kadus, rukum desa dan
rukun tetangga.
(5) Pelaksanaan teknis lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf c yaitu petugas Desa Adat yang melakukan suatu
tugas tertentu dalam perdesaaan Adat seperti urusan agama,
keamanan, pengairan, pertanian, pemadaman kebakaran
hutan dan lahan atau urusan lain yang jumlahnya disesuaikan
dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat
setempat.

BAB IV
BATAS WILAYAH

Pasal 5

Batas wilayah Desa Adat mengacu pada batas Desa sebelum


terjadinya penetapan

BAB V
FUNGSI DAN KEWENANGAN

Pasal 6
(1) Desa adat memiliki fungsi Pemerintahan, Keuangan,
Pembangunan,serta mendapat fasilitas dan pemerintahan dari
Pemerintah Kabupaten.
(2) Desa adat pada dasarnya melakukan tugas yang hampir sama
dengan desa, sedangkan perbedaannya hanyalah dalam
pelaksanaan asal usul, terutama menyangkut kelestarian
sosial, peraturan dan pengurusan wilayah adat, sidang
perdamaian adat, pemeliharaan ketentraman dan ketertiban
bagi masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaan
pemerintah berdasarkan susunan asli.
(3) Untuk tercapainya penyelenggaraan Pemerintahan,
Pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat serta tidak
melanggar adat-istiadat,
Desa adat mempunyai kewenangan sebagai berikut:
a. pengaturan dan Pelaksanaan Pemerintahan berdasarkan
susunan asli.
b. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat.
c. pelestarian nilai sosial budaya desa adat.
d. penyelesaian sangketa adat berdasarkan hukum adat yang
berlaku didesa adat dalam wilayah yang selaras dengan

76
prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan
penyelesaian secara musyawarah.
e. penyelesaian sidang perdamaian peradilan desa adat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
f. pemeliharaan ketentraman dan ketertiban masyarakat desa
adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa desa
adat.
g. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan
kondisi sosial budaya masyarakat desa adat.
(4) Melaksanakan tugas pembantuan dan pemerintah, Pemerintah
Provinsi atau Pemerintah Kabupaten.

BAB VI
LEMBAGA KEMASYARAKATAN DAN LEMBAGA ADAT

Bagian Kesatu
Lembaga Kemasyarakatan

Pasal 7
(1) Lembaga Kemasyarakatan desa adat dibentuk dan disetujui
oleh pemerintah desa adat dan masyarakat adat.
(2) Lembaga Kemasyarakatan Desa Adat sebagaimana dimaksud
pasal ayat (1) bertugas:
a. melakukan Pemberdayaan Masyarakat Desa Adat;
b. ikut serta dalam perencanaan dan pelaksanaan ; dan
c. meningkatkan pelayanan pemerintahan desa adat
(3) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) lembaga kemasyarakatan Desa Adat memiliki fungsi:
a. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat ;
b. menanamkan dan memupuk rasa persatuan dan
kesatuan masyarakat;
c. meningkatkan kualitas dan mepercepat pelayanan
pemerintah desa adat kepada masyarakat desa adat;
d. menyusun rencana, melaksanakan, mengendalikan,
meyeimbangkan, melestarikan, mengembangkan
terhadap hasil pembangunan secara partisipatif;
e. menumbuhkan, mengembangkan dan menggerakkan
prakarsa, partisipasi, swadaya, serta gotong royong
masyarakat;
f. meningkatkan kesejahteraan keluarga; dan
g. meningkatkan kualitas sumberdaya manusia
h. pembentukan lembaga kemasyarakatan desa adat diatur
dengan peraturan desa adat.

Bagian Kedua
LEMBAGA ADAT

Pasal 8
(1) Lembaga Adat pada Desa adat merupakan lembaga adat yang
tak terpisahkan dari Lembaga Adat Lampun Provinsi Lampung
(2) Masyarakat Desa Adat memiliki wilayahhukum adat dan hak
atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut
,serta berhak dan berwenang untuk mengatur ,mengurus,dan
menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan masyarakat

77
desa adat berkaitan dengan adat dan istiadat serta hukum adat
yang berlaku.

(3) Lembaga Desa Adat merupakan mitra pemerintah desa adat


dan lembaga desa adat lainya dalam memperdayakan
masyarakat desa adat.
(4) Penghulu adalah Kepala Desa Adat yang memiliki wilayah adat.
(5) Pembentukan lembaga adat desa adat ditetapkan dengan
peraturan desa adat,berpedoman pada ketentuan yang berlaku.
(6) Pembentukan lembaga adat desa adat dapat dikembangkan di
desa adat guna menampung kepentingan kelompok adat.
BAB VII
TUGAS DAN WEWENANG LEMBAGA ADAT

Pasal 9

(1) Lembaga Adat Desa Adat mempunyai tugas :


a. mendukung program pemerintah melaksanakan
melaksanakan pembangunan disemua sector keagamaan,
kebudayaan dan kemasyarakatan dengan mengutamakan
semangat gotong royong;
b. mengembangkan nilai –nilai budaya asli setempat dalam
rangka memperkaya melestarikandan mengembangkan
kebudayaan nasional;
c. menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam
lingkungan wilayahnya,dengan tetap membina kerukunan
dan toleransi antar umat beragama;
d. membuat peraturan adat untuk di pedomani dan di
laksanakanoleh masyarakat ;
e. memilih penghulu sesuai peraturan yang berlaku;
f. melaksanakan upacara adat;dan
g. melaksanakantugas lain sesuai wewwenang yang
dilimpahkan oleh lembaga adat provinsi lampung.

(2) Lembaga adat mempunyai wewenang;


a. memusyawarahkan berbagai hal yang menyeangkut
permasalahan adat dan agama ;
b. sebagai penengah terhadap permasalahan adat yang tidak
dapat diselesaikan pada tingkat desa adat;dan
c. membantu penyelenggaraan upacara adat /keagamaan di
kecamatan, kabupaten dan provinsi.

BAB VIII
SUMBER PENDAPATAN

Pasal 10
Sumber pendapatan kepenghuluan adat berupa:
a. pendapatan asli kepenghuluan
b. bagi hasil pajak daerah provinsi
c. bagian dari dana pusat dan daerah;
d. alokasi anggaran dana APBN;
e. bantuan dana dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten
f. sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga;
g. sumber pendapatan lain yang sah.

78
BAB IX
MEKANISME PERUBAHAN STATUS

Pasal 11
(1) Status desa dapat diubah menjadi desa adat,kelurahan dapat
diubah menjadi desa adat,desa adat dapat diubah menjadi
desa ,desa adat dapat diubah menjadi kelurahan.
(2) Perubahan desa adat menjadi kelurahan harus melalui
desa,sebaliknya perubahan status kelurahan menjadi desa
harus melalui desa.

Pasal 12

(1) Penetapan desa adat dapat dilakukandengan mekanisme:


a. pemerintah Provinsi dan kabupaten melakukan
inventerisasi desa yang telah mendapat label desa adat.
b. pengidentifikasian desa yang ada;dan
c. pengkajian terhadap desa yang ada yang dapat
ditetapkan menjadi desa adat.
(2) Pengidentifikasian dan pengkajian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf B dan huruf C dilakukan pemerintah
provinsi ,pemerintah kabupaten bersama lembaga adat
lampung;
(3) Pengidentifikasian dan pengkajian meliputi potensi desa,
pemerintahan desa,kelembagaan,kemasyarakatan,adat
istiadat,wilayah desa,monogafi dan profil desa .
(4) Bupati menetapkan desa adatyang telah memenuhi
persyaratanberdasarkan hasil identifikasi.
(5) Penetapan desa adat sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dituangkan dalam rancangan peraturan daerah.
(6) Rancangan peraturan daerah yang telah disetujui bersama
dalam rapat paripurna dewan perwakilan rakyat daerah
disampaikan kepada gubernur untuk mendapatkan nomor
register dan kepada menteri untuk mendapatkan label desa
adat.
(7) Rancangan peraturan daerah yang telah mendapatkan nomor
register dan label desa akan ditetapkan menjadi peraturan
daerah.

BAB X
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 13

(1) Pembinaan dan pengawasan merupakan tanggung jawab


Pemerintah Provinsi, Lembaga Adat Lampung Provinsi
Lampung dan Bupati/Walikota.

(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) oleh Provinsi meliputi:

79
a. bidang pemerintahan;
b. bidang kelembagaan masyarakat;
c. bidang kelembagaan adat;
d. bidang kemasyarakatan;
e. bidang perekonomian;
f. bidang pendidikan;
g. bidang kesehatan;
h. bidang keuangan kepenghuluan; dan
i. bidang lain yang terkait pelaksanaan fungsi dan
kewenangan Desa Adat.

(3) Bupati/Walikota melakukan tugas pembinaan dan pengawasan


terhadap Desa Adat atas nama Pemerintah Provinsi.

(4) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dilakukan melalui:
a. fasilitasi penyusunan Peraturan Desa Adat dan Peraturan
Penghulu;
b. fasilitasi administrasi tata Pemerintahan Desa Adat;
c. fasilitasi pengelolaan keuangan Desa Adat dan
pendayagunaan asset Desa Adat;
d. fasilitasi penerapan dan penegakan peraturan perundang-
undangan;
e. fasilitasi pelaksanaan tugas Penghulu dan Perangkat Desa
Adat;
f. fasilitasi pelaksanaan pemilihan Penghulu;
g. fasilitasi pelaksanaan tugas dan fungsi Badan
Permusyawaratan Desa Adat;
h. rekomendasi pengangkatan dan pemberhentian perangkat
Desa Adat;
i. fasilitasi sinkronisasi perencanaan pembangunan daerah
dengan pembangunan Desa Adat;
j. fasilitasi penetapan lokasi pembangunan kawasan Desa
Adat;
k. fasilitasi penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban
umum;
l. fasilitasi pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewajiban lembaga
kemasyarakatan;
m. fasilitasi penyusunan perencanaan pembangunan
partisipatif;
n. fasilitasi kerjasama antar kepenghuluan dan kerjasama
Desa Adat dengan pihak ketiga;
o. fasilitasi penataan, pemanfaatan, dan pendayagunaan ruang
Desa Adat serta penetapan dan penegasan batas Desa Adat;
p. fasilitasi penyusunan program dan pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat Desa Adat;
q. koordinasi pendampingan Desa Adat diwilayahnya; dan
r. koordinasi pelaksanaan pembangunan kawasan Desa Adat
diwilayahnya.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

80
Pasal 14

(1) Dengan di tetapkannya peraturan Daerah ini maka ke tujuh


Desa sebagaimana yang di maksud dalam pasal 3 di atas
berubah statusnya menjadi Desa Adat dan segala yang
berkaitan dengan administrasi pemerintahan Desa Adat harus
menyesuaikan seperti plang kantor, kop surat, stempel, dan
atribut lain yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan
Desa Adat.
(2) Bupati dapat menugaskan Badan Pemberdayaan Sumber Daya
Manusiadan Pemerintah Desa serta SKDP terkait lainnya
mensosialisasikan perubahan kedelapan yaitu Desa menjadi
Desa Adat.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 15

Peraturan yang di atur dalam peraturan Daerah ini sepanjang


menyangkut dengan peraturan pelaksanaannya maka akan di
atur lebih lanjut dengan peraturan Bupati setempat.

Pasal 16

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar semua orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Daerah Provinsi Lampung.

Ditetapkan di Bandarlampung
Pada tanggal 2019

GUBERNUR LAMPUNG,

81

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai