Anda di halaman 1dari 6

Curahan Hati Seorang Buruh

Oleh: Mastono (Koki dari salah satu cafe di Karawaci Tangerang)

Apa jadinya bila hari yang anda sangat harapkan dapat menjadi hari yang menyenangkan, justru
berakhir sebagai hari yang sangat menjengkelkan? Dapatkah anda bayangkan bagaimana
menanggung rasanya?

Jika anda terlampau hidup enak dan sulit membayangkan ini, maka anda bisa bertanya
setidaknya pada dua golongan. Yang pertama adalah pada mereka yang di-php oleh sang kekasih
dan yang kedua (ini yang paling gampang anda temui, karena merupakan mayoritas penghuni
negara ini): buruh.

Buruh pasti sudah biasa mengalami kekecewaan pada hari yang sebenernya paling dinantinya
selama sebulan penuh, yaitu hari gajian. Gaji yang mereka terima acap kali tidak sesuai dengan
yang diharapkan, karena ternyata banyak mengalami potongan ini itu. Inilah kisah nyata yang
ingin saya kisahkan untuk anda--yang menganggap dunia ini terberi begitu saja dan harus begini
adanya: bahwa kapitalis dan kapitalisme adalah maha benar dengan segala alibinya.

***

saya mulai dengan kisah pacar saya sendiri. Dia adalah karyawati Alfamart yang menanti hari
gajian dengan suka cita apalagi sejak ada pengumuman UMK naik. Sayangnya, karena potongan
ini itu memaksa gaji yang diterima per 28 Febuari sama saja seperti bulan-bulan sebelum UMK
dinaikan.

Lucunya, di dalam slip gaji yang diterima, ternyata ada yang ditulis 'potongan lain-lain' senilai
Rp. 58.000 yang tidak pernah dijelaskan apa yang dimaksud dengan 'lain-lain' itu. Dan pacar
saya itu, tidak mengerti apa dan untuk apa itu. Alhasil dari total gaji yang semestinya diterima
Rp. 4.200.000, dia hanya menerima Rp. 3. 900.000.

Tidak berhenti di situ. Angka 3, 9 juta ini belum bisa dinikmati secara utuh. Pasalnya, masih ada
lagi tagihan yang harus dibayarkan ke tokonya untuk mengganti stok harian yang selisih, senilai
150an ribu. Kurang lebih gaji yang harus dia relakan tanpa dia konsumsi adalah 450ribuan. (Saya
tidak bisa melampirkan slip gajinya, karena demi keamanan pekerjaan pacar saya).
Kasus seperti ini, tidak hanya dialami oleh pacar saya dan teman-temannya di Alfamart. Saya
dan kawan-kawan di cafe tempat kami berkerja mengalami masalah yang tak kalah
menyedihkan. Kami dibuat sedih bahkan frustasi, bahkan sebelum hari yang dinanti itu tiba.
Sehingga, kami tahu dan menyadari: hari gajian pasti tak akan menyenangkan, melainkan
sebaliknya.

Pasalnya beberapa bulan sebelumnya, kami sudah tahu di tengah kondisi cafe yang sepi owner
menerapkan target perolehan omset perbulan sebanyak Rp. 20 juta. Masalahnya bukan
ditargetnya, melainkan pada aturan yang mengikutinya. Jika target tak diraih gaji kami akan
mengalami potongan senilai 10% dari total gaji. Itu berarti dikisaran 180rb sampai paling tinggi
250rb.

Ironisnya, saya dan kawan-kawan saya bukanlah sales marketing dan bagian dari manajemen,
yang sebenarnya tidak memiliki kewajiban mengurusi prihal pencapaian target. Saya sendiri
adalah koki yang tentu hanya berkewajiban memasak, menjaga kualitas masakan dan stok, serta
memantau segala sesuatu yang berhubungan dengan dapur. Teman-teman saya macam-macam
posisinya, ada yang waiters, kasir, asisten koki, admin, bahkan stylish salon--karena cafe saya
juga menyediakan jasa salon di lantai atas. Tidak ada satupun yang memang ditugaskan sebagai
sales marketing yang berkewajiban mencari pelanggan, sehingga bersinggungan dengan
pencapaian target. Kerja kami secara garis besar adalah melayani yang datang, bukan
mengundang orang untuk datang.

Tapi karena sistem target, lucunya, bos menyuruh kami harus apapun acaranya mendatangkan
tamu. Akhirnya dengan terpaksa kami harus nyampah di WhatsApp dengan membuat status
promo, broadcast message, bahkan chat pribadi ke teman-teman dan kerabat. Yang taruhannya
jelas: bisa membuat orang lain yang menerima pesan kami terganggu dan merusak hubungan
kami dengan merka.

Alhasil, semua upaya itu tetap tidak membuahkan hasil signifikan. Ujungnya, kami harus
merelakan gaji kami hilang demi membantu bos menunaikan pencapaian target yang dia buat
sendiri.
Kenapa saya sebut aturan ini lucu? Selain karena kami bukan sales marketing, hal yang paling
mendasar dari aturan ini yang membuatnya jadi sangat lucu--untuk menghindari istilah tolol:
owner melimpahkan kegagalannya dalam membangun marketing pada kami untuk menanggung
akibatnya. Alasannya tak lain dan tak bukan adalah alibi bos di manapun untuk membenarkan
tindakannya: "jualan kita sepi, kalau tidak begini kalian tidak digaji. Jadi tolong dimaklumi".

Ya, kapitalisme selalu meminta pemakluman atas tindakannya merampas hak orang lain. Kita
seolah diajarkan bahwa perusahaan itu juga adalah milik kita, karena di sanalah kita bergantung
hidup. Olehkarenanya, krisis dan apapun yang terjadi pada perusahaan kita harus
menanggungnya juga.

Padahal, jika dipikir, apakah kita punya wewenang lebih untuk mengelola perusahaan itu? Sama
sekali tidak. Tetaplah pemegang modal yang punya wewenang. Jadi, kita hanya sapi perah yang
menanggung beban dari spekulasi dan kebijak-kebijakan yang mereka buat. Ini ibarat melempar
batu dan menunjuk orang lain untuk menanggung kesalahannya.

Mungkin ada di antara pembaca yang budiman yang berpikir bahwa alibi bos di atas merupakan
pernyataan yang benar. Bahwa bos sudah berbaik hati membayar gaji di tengah krisis
perusahaan, karena barang dagangannya sepi peminat. Dan dari situ, bos memberikan kita
peluang menghidupi hidup. Bayangkan kalau bos menghentikan usahanya, bagaimana kita akan
bergantung mencari sesuap nasi?

Dalih-dalih moral yang melankolis ini adalah nol besar. Nyatanya, jika bos masih mau membuka
usahanya di tengah krisis itu karena dia masih punya spekulasi agar bisnisnya berhasil. Atau
jikapun terlalu memaksakan itu adalah salahnya sendiri yang terlampau ambisius, memaksakan
melanjutkan bisnis di tengah krisis parah yang dapat menguras semua kekayaannya (bankrut).

Jadi, sama sekali ini bukan soal kedermawanannya. Bisnis, justru harusnya dibangun di atas
perhitungan rasional menejemen, bukan ambisi atau kedermawanan. Karena kalau hanya butuh
ambisi tanpa perhitungan menejerial yang rasional, apalagi cukup dengan kedermawananan,
tidak akan ada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Bisnis di dunia ini. Meksipun kata bung
Geger, sekolah bisnis saja tanpa relasi tal akan cukup untuk membangun gurita bisnis yang
sukses. Tapi, apalagi cuma modal ambisi dan kedermawanan?
Selanjutnya, apakah dengan dia menutup usahanya, kita para pekerjanya akan kehilangan
peluang untuk hidup? Tidak sama sekali tidak. Kita bisa hidup bahkan dua puluh lima tahun
sebelum berkerja pada si bos. Jika si bos memilih menghentikan usahanya pun dan kami diputus
hubungan kerja. Kami masih bisa mencari perkerjaan di tempat lain.

Justru jika saya dan kawan-kawan pergi lebih dulu sebelum bos mem-phk kami itu adalah jalan
percepatan atas pilihan gulung tikar. Terutama saya. Maaf-maaf, meskipun gagal lulus kuliah,
saya berani percaya diri bahwa posisi saya sentral di bisnis si bos. Karena kendati ada salon
selain cafe, salonnya sepi sekali. Pemasukan yang ada selama ini kebanyakan dari cafe. Dan saya
adalah orang yang memegang semua resep cafe, karena memang si bos buka cafe tanpa memiliki
satu pun resep. Anda bisa membayangkan apa yang terjadi jika saya keluar dari perkerjaan ini?

Anda mungkin masih ngotot, bahwa si bos masih bisa mencari pengganti saya. Namun,
masalahnya adalah: pertama, itu berkemungkinan mengubah cita rasa yang sudah ada. Dan bisa
membuat pelanggan kecewa. Apalagi, karena saya tidak mau dibodohi begitu saja, tidak semua
resep saya tulis dan ajarkan. Kedua, butuh berapa lama pengganti saya untuk bertahan di
pekerjaan dengan kebijakan yang tidak masuk akal seperti yang saya utarakan di awal?

"Gajimu tidak akan sesuai dengan perjanjian, hai pengganti, karena gajimu akan terus dipotong
punishment gagal target! Bosmu loh tidak memiliki strategi untuk membangun brand!" Saya
hanya perlu mengatakan ini kepada pengganti saya dan tidak akan butuh waktu lama, untuk ia
mengerti perkataan saya.

Artinya, semestinya si bos yang bersyukur saya masih sudi berkerja untuknya, bukan sebaliknya
seperti yang anda bilang tadi! Di manapun kapitalis yang butuh buruh, bukan sebaliknya! Jika
ada pikiran seperti anda itu kebohongan yang diulang-ulang terus sampai dipercaya sebagai
kebenaran.

Lantas kenapa saya dan kawan-kawan tidak keluar saja dari kerjaan ini sekarang juga? Keluar
dari perkerjaan itu mudah bagi saya, karena saya dalam setahun ini saja sudah berganti-ganti
tempat kerja sudah tiga atau empat kali. Pasalnya sepele Ibunda saya melarang. Beliau bilang
tunggu sampai lebaran, lumayan dapat THR. Saya sebagai anak bukankah harus menuruti
orangtua, terlebih Ibu?
Untuk itu juga bagi saya apapun dalih kebaikan si bos, tak akan cukup bagi saya untuk tidak
perhitungan atas kerja yang saya curahkan. Pasalnya, di dunia satu-satunya yang berhak
membuat saya tak perhitungan atas tenaga saya ya cuma Ibu saya. Lah, beliau yang menghidupi
saya dari dalam kandungan, beliau yang memberikan saya duit tanpa saya harus berkerja.

Sementara si bos, ngasih duit juga karena saya kerja untuknya. Saya menjual tenaga saya
kepadanya, makanya dia harus membayar saya. Ini logika jual-beli sederhana. Saya jual kamu
yang beli, maka kamu harus bayar. Kalau bayarnya dikurangi dengan alasan tidak masuk akal,
saya pasti kecewa. Apalagi harus ikhlas tanpa pamrih? Ogah, situ siapa!

Baiklah. Sampai di sini apa anda sudah mengerti kenapa saya menuliskan ini? Agar anda
memahami di alam kapitalisme yang penuh dengam ketimpangan dan kehancuran yang
diakibatkan oleh dirinya sendiri. Kita yang diperas dan dirampas waktu dan tenaga kerjanyalah
yang diminta memaklumi. Salah siapa, kita yang menanggung bebannya, begitu kira-kira.
Ironisnya, ini menjadi semacam ajaran moral wajib yang selalu dicekoki untuk kita dari sekolah
sampai sudah jadi pekerja. Bahwa bos mulia, kita hina. Bos berjasa, kita beban. Bos berbaik hati,
kita maruk karena minta kenaikan upah. Bos memberikan hidup, kita numpang hidup dan masih
banyak lagi.

Jika anda belum juga memahami betapa tidak masuk akalnya alibi kebobrokan yang dibangun
kapitalisme, saya akan berikan satu cerita lagi.

Jadi, selain bos saya melalukan pemotongan terhadap gaji karena kegagalan mencapai target, dia
juga memotong gaji karena libur yang diberikannya sendri. Ya, kami libur sesuai jadwal yang dia
buat, dan kami dipotong upah harian senilai 20-30ribu perlibur. Angka itu konon adalah angka
uang makan dan uang transportasi. Alasannya apa? Karena kami tidak hadir berkerja. Sehingga,
perusahaan tidak wajib memberikan uang makan dan uang transportasi itu.

Ini juga berlaku untuk yang sakit meskipun dengan surat dokter. Lantas bagaimana dengan
ketidakhadiran di luar libur dan sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter?
Potongannya total gaji dibagi 26hari.
Apa saya perlu menjelaskan ini panjang lebar agar anda menangkap ke-tidak-masuk-akal-an bos
saya itu? Saya pribadi, harus kehilangan 460rb dari total gaji yang dia janjikan. 250rb dari
potongan gagal target, dan 210 dari libur--yang sekali lagi itu perusahaan yang membuat jadwal
libur! Saya libur bulan kemarin total 6 hari. Sehari uang makan dan transportasi saya senilai
35rb.

Apakah anda masih mau menyebut ini kewarasan dan kebaikan perusahaan yang harus bersusah-
payah untuk terus menjalankan usahanya agar kami dapat menerima upah dan karenanya kami
bisa hidup? Berarti anda manusia sialan dan bebal!

***

Dengan gambaran yang saya buat dari cerita pribadai sendiri ini, lantas bisakah anda
membayangkan jika kedunguan yang bengis ini justru yang dipercayaembuatkan aturan negara
untuk mengatur buruh di seluruh negeri, dengan nama Omnimbus Law? Apa yang akan terjadi?

Buruh dibayar sesuai perjanjian kerja dan undang-undang yang sedikit memperhatikannya saja
sudah tercuri nilai kerjanya. Ia, saya, dan kami, tidak akan pernah mendapat nilai dari yang
seharusnya. Karena kata Engles, jika Kapitalis membayar penuh nilai yang dihasilkan buruh,
maka niscaya si kapitalis itu akan bankrut dengan sendirinya. Syarat kapitalisme adalah nilai
lebih yang diperoleh dari tenaga kerja yang tidak dibayarkan sesuai nilainya.

Lalu, bagaimana jika Omnimbus Law disahkan, sementara yang menciptakamnya adalah orang-
orang gila yang bahkan lebih gila dari bos saya? Bisakah kita berharap keadilan pada mereka
bagi buruh, bagi kami dan kawan-kawan? Saya rasa tidak.

Akhir kata, selamat bermogok kerja, kawan-kawan buruh setanah air! Salam perjuangan. Kaum
buruh bersatulah!***

Anda mungkin juga menyukai