Anda di halaman 1dari 20

I.

TUJUAN
Untuk menguji perubahan warna ungu dari larutan protein (putih telur).

II. DASAR TEORI


2.1 Protein dan Sifatnya
Protein adalah sumber asam amino terdiri atas rantai-rantai panjang asam
amino, yang terikat satu sama lain dengan ikatan peptida yang mengandung
unsur- unsur C, H, O dan N. Protein merupakan suatu zat makanan yang amat
penting bagi tubuh, karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar
dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur dalam tubuh
(Budiyanto, 2004). Protein adalah makromolekul polipeptida yang tersusun dari
sejumlah asam amino yang dihubungkan oleh ikatan peptida, suatu senyawa
organik yang berbobot molekul tinggi berkisar antara beberapa ribu sampai
jutaan dan tersusun dari atom C, H, O dan N yang membentuk unit-unit asam
amino. Suatu molekul protein disusun oleh sejumlah oleh sejumlah asam amino
tertentu, urutan susunan asam amino dalam protein maupun hubungan antara
asam amino yang satu dan asam amino lainnya (Girindra, 1986).

Gambar 2.1 Protein

Protein adalah senyawa organik kompleks yang terdiri dari rantai panjang
asam amino yang dihubungkan oleh ikatan peptida. Protein memiliki berbagai
macam bentuk, fungsi, dan struktur. Setiap jenis protein memiliki susunan asam
amino yang berbeda, yang menentukan sifat fungsional dan fisik dari protein
tersebut.
Protein memiliki sifat kelarutan dalam air yang bervariasi, tergantung pada
keadaan pH dan kekuatan ion dalam larutan. Protein dapat terbentuk dalam bentuk
fibril, globular, atau bentuk terlipat yang lebih kompleks.
Protein merupakan molekul besar dengan berat molekul bervariasi antara
5000 sampai jutaan. Protein akan menghasilkan asam-asam amino jika
terhidrolisis oleh asam atau enzim. Ada 20 jenis asam amino yang terdapat
dalam molekul protein. Asam-asam amino ini terikat satu sama lain dengan
ikatan peptida. Komposisi rata-rata unsur kimia yang terdapat dalam molekul
protein yaitu sebagai berikut : karbon 50%, hidrogen 7%, oksigen 23%,
nitrogen 16%, belerang 0-3%, dan fosfor 0-3%. Dengan berpedoman pada
kadar nitrogen sebesar 16%, dapat dilakukan penentuan kandungan protein
dalam suatu bahan makanan (Poedjiadi, 2007).
Protein secara umum mempunyai serapan maksimal pada 214 nm
karena adanya ikatan peptida. Namun daerah ini banyak terganggu karena adanya
uap air dari udara sehingga pada praktiknya sulit dilakukan. Asam amino tyrosin,
tryptophan, dan phenylalanin memiliki absorbansi pada serapan maksimum
sekitar 280 nm karena adanya cincin aromatik dalam strukturnya. Warburg
Chistian Method mengusulkan persamaan berikut untuk menghitung kadar
protein, khususnya dengan memperimbangkan kesalahan yang mungkin timbul
karena serapan asam nukleat yang secara maksimal terjadi pada 260 nm.
Protein ditinjau dari strukturnya dibagi menjadi dua golongan besar yaitu golongan
protein sederhana dan protein gabungan. Protein sederhana adalah protein
yang terdiri atas molekul-molekul asam amino.
Berdasarkan bentuk molekulnya dibagi menjadi 2 yaitu protein fiber
dan protein globular. Sedangkan protein gabungan adalah protein yang terdiri
atas protein dan gugus bukan protein.
Albumin merupakan salah satu protein sederhana dengan bentuk molekul
protein globular. Albumin mempunyai sifat dapat larut dalam air serta dapat
terkoagulasi oleh panas. Larutan albumin dalam air dapat diendapkan dengan
penambahan amonium sulfat hingga jenuh.
• Sifat-sifat Protein
Sifat fisikokimia setiap protein tidak sama, tergantung pada jumlah dan
jenis asam aminonya. Protein memiliki berat molekul yang sangat besar sehingga
bila protein dilarutkan dalam air akan membentuk suatu dispersi koloidal. Protein
dapat dihidrolisis oleh asam, basa, atau enzim tertentu dan menghasilkan
campuran asam-asam amino (Winarno, 2004).
Sebagian besar protein bila dilarutkan dalam air akan membentuk dispersi
koloidal dan tidak dapat berdifusi bila dilewatkan melalui membran
semipermeabel. Beberapa protein mudah larut dalam air, tetapi ada pula yang
sukar larut. Namun, semua protein tidak dapat larut dalam pelarut organik seperti
eter, kloroform, atau benzena (Yazid, 2006).
Pada umumnya, protein sangat peka terhadap pengaruh-pengaruh fisik dan
zat kimia, sehingga mudah mengalami perubahan bentuk. Perubahan atau
modifikasi pada struktur molekul protein disebut denaturasi. Protein yang
mengalami denaturasi akan menurunkan aktivitas biologi protein dan berkurannya
kelarutan protein, sehingga protein mudah mengendap. Bila dalam suatu larutan
ditambahkan garam, daya larut protein akan berkurang, akibatnya protein akan
terpisah sebagai endapan. Apabila protein dipanaskan atau ditambahkan alkohol,
maka protein akan menggumpal. Hal ini disebabkan alkohol menarik mantel air
yang melingkupi molekul-molekul protein; selain itu penggumpalan juga dapat
terjadi karena aktivitas enzim-enzim proteolitik (Yazid, 2006).
Molekul protein mempunyai gugus amino (-NH2) dan gugus karboksilat
(-COOH) pada ujung-ujung rantainya. Hal ini menyebabkan protein mempunyai
banyak muatan (polielektrolit) dan bersifat amfoter, yaitu dapat bereaksi dengan
asam dan basa. Pada larutan asam atau pH rendah, gugus amino pada protein akan
bereaksi dengan ion H+, sehingga protein bermuatan positif. Bila pada kondisi ini
dilakukan elektroforesis, molekul protein akan bergerak ke arah katoda.
Sebaliknya, pada larutan basa atau pH tinggi, gugus karboksilat bereaksi dengan
ion OH-, sehingga protein bermuatan negatif. Bila pada kondisi ini dilakukan
elektroforesis, molekul protein akan bergerak ke arah anoda. Adanya muatan pada
molekul protein menyebabkan protein bergerak di bawah pengaruh medan listrik
(Yazid, 2006).
Setiap jenis protein dalam larutan mempunyai pH tertentu yang disebut titik
isoelektrik (TI). Pada pH isoelektrik (pI), molekul protein yang mempunyai
muatan positif dan negatif yang sama, sehingga saling menetralkan atau bermuatan
nol. Akibatnya protein tidak bergerak di bawah pengaruh medan listrik. Pada titik
isoelektrik, protein akan mengalami pengendapan (koagulasi) paling cepat dan
prinsip ini digunakan dalam proses-proses pemisahan atau pemurnian suatu
protein (Yazid, 2006).

2.2 Fungsi protein

Menurut Ngili (2013), protein memiliki fungsi-fungsi biologis sebagai


berikut:
a. Katalis enzim. Enzim merupakan protein katalis yang mampu meningkatkan
laju reaksi sampai 1012 kali laju awalnya.
b. Alat transport dan penyimpanan Banyak ion dan molekul kecil diangkut dalam
darah maupun di dalam sel dengan cara berikatan pada protein pengangkut.
Contohnya, hemoglobin merupakan protein pengangkut oksigen. Zat besi
disimpan dalam berbagai jaringan oleh protein ferritin.
c. Fungsi mekanik protein menjalankan perannya sebagai pembentuk struktur.
Misalnya, protein kolagen yang menguatkan kulit, gigi, serta tulang. Membran
yang mengelilingi sel dan organel juga mengandung protein yang berfungsi
sebagai pembentuk struktur sekaligus menjalankan fungsi biokimia lainnya.
d. Pengatur pergerakan kontraksi otot terjadi karena adanya interaksi antara dua
tipe protein filamen, yaitu aktin dan miosin. Miosin juga memiliki aktivitas
enzim yang berfungsi untuk memudahkan perubahan energi kimia ATP
menjadi energi mekanik. Pergerakan flagela sperma disebabkan oleh protein.
e. Pelindung Antibodi merupakan protein yang terlibat dalam perusakan sel asing
yang masuk ke dalam tubuh seperti virus, bakteria, dan sel-sel asing lain.
f. Proses informasi Rangsangan luar seperti sinyal hormon atau intensitas cahaya
dideteksi oleh protein tertentu yang meneruskan sinyal ke dalam sel. Contoh
protein rodopsin yang terdapat dalam membran sel retina.

Protein memiliki yang penting bagi tubuh, namun menurut Kurniawan


(2014), terlalu banyak mengkonsumsi protein hewani akan membuat sistem
pencernaan sulit untuk diuraikan dan diserap secara menyeluruh karena peran sisa-
sisa makanan yang tidak dapat diserap oleh tubuh akan menumpuk dan akhirnya
membusuk didalam usus. Racun yang dihasilkan oleh sisa-sisa makanan yang
menumpuk akan dinetralkan oleh hati. Kondisi inilah yang mengakibatkan
sebagian besar enzim didalam usus dan hati menguras energinya hanya untuk
melindungi tubuh dari racun-racun yang ada di dalam pencernaan. Kerugian yang
didapatkan oleh tubuh adalah protein akan terbuang sia-sia melalui urine.
Fungsi dari protein sendiri yaitu sebagai zat utama pembentuk dan
pertumbuhan tubuh. Protein sebagai zat utama pembentuk merupakan zat utama
pembentuk sel-sel tubuh dan digunakan sebagai sumber energi jika karbohidrat
dan lemak didalam tubuh berkurang. Protein dapat dijadikan sumber energi jika
terdapat organisme yang kekurangan energi. Keistimewaan yang dimiliki protein
yaitu strukturnya selain mengandung N (Nitrogen), C (Karbon), H (Hidrogen), O
(Oksigen), terdapat juga S (Belerang), P (Fosfor), dan Fe (Besi) (Rismayanthi,
2015).
Fungsi protein dalam tubuh manusia yaitu pertumbuhan dan pemeliharaan
jaringan, sehingga tubuh dapat mendukung dan pemeliharaan jaringan. Terdapat
beberapa fungsi lain dari protein yaitu sebagai sumber utama energi selain
karbohidrat dan lemak, sebagai zat pembangun, zat pengatur. Protein juga
mengatur proses metabolisme berupa enzim dan hormon untuk melindungi tubuh
dari zat beracun atau berbahaya serta memelihara sel dan jaringan tubuh
(Rismayanthi, 2015).
Sedangkan jika dalam bentuk kromosom, protein juga berperan dalam
menyimpan dan meneruskan sifat pewarisan atau keturunan dalam bentuk gen.
Didalam bentuk gen ini tersimpan codin untuk sintesa protein enzim tertentu,
sehingga proses metabolisme diturunkan/diwariskan dari orang tua kepada
anaknya dan dilanjutkan kepada generasi selanjutnya, secara berkesinambungan
(Rismayanthi, 2015).
Protein berperan penting dalam struktur dan fungsi semua sel makhluk
hidup. Kebanyakan protein merupakan enzim atau subunit enzim. Protein terlibat
dalam sistem kekebalan (imun) sebagai antibodi, sistem kendali dalam bentuk
hormon, sebagai komponen penyimpanan (dalam biji) dan juga dalam transportasi
hara. Sebagai salah satu sumber gizi, protein berperan sebagai sumber asam amino
bagi organisme yang tidak mampu membentuk asam amino.

2.3 Denaturasi protein


Denaturasi protein adalah fenomena transformasi struktur protein yang
berlipat menjadi terbuka. Perubahan konformasi protein mempengaruhi sifat
protein (Estiasih, 2016).
Gambar 2.2 Denaturasi Protein (Naisha Pratiwi, 2022)

Selama denaturasi, ikatan hidrogen dan ikatan hidrofobik dipecah,


sehingga terjadi peningkatan entropi atau peningkatan kerusakan molekulnya.
Denaturasi mungkin dapat bersifat bolak-balik (reversibel), seperti pada
kimotripsin yang hilang aktivitasnya bila dipanaskan, tetapi aktivitasnya akan
pulih kembali bila didinginkan. Namun demikian, umumnya tidak mungkin
memulihkan protein kembali ke bentuk aslinya setelah mengalami denaturasi.
Kelarutan protein berkurang dan aktivitas biologisnya juga hilang pada saat
denaturasi. Aktivitas biologis protein di antaranya adalah sifat hormonal,
kemampuan mengikat antigen, serta aktivitas enzimatik. Protein-protein yang
terdenaturasi cenderung untuk membentuk agregat dan endapan yang disebut
koagulasi. Tingkat kepekaan suatu protein terhadap pereaksi denaturasi tidak
sama, sehingga sifat tersebut dapat digunakan untuk memisahkan protein yang
tidak diinginkan dari suatu campuran dengan cara koagulasi (Bintang, 2010).
Denaturasi disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
a) Penyebab Fisik
1. Panas
Ketika larutan protein dipanaskan secara bertahap di atas suhu kritis,
protein mengalami transisi dari keadaan asli ke terdenaturasi. Mekanisme
suhu menginduksi denaturasi protein cukup kompleks dan menyebabkan
destabilisasi interaksi nonkovalen di dalam protein. Ikatan hidrogen,
interaksi elektrostatik, dan gaya van der Waals bersifat eksotermis,
sehingga mengalami destabilisasi pada suhu tinggi dan mengalami
stabilisasi pada suhu rendah. Sebaliknya, interaksi hidrofobik bersifat
endotermis, sehingga mengalami destabilisasi pada suhu rendah dan
mengalami stabilisasi pada suhu tinggi. Ikatan hidrogen antar ikatan
peptida kebanyakan terkubur di bagian dalam struktur protein, sehingga
tetap stabil pada berbagai kisaran suhu. Akan tetapi, stabilitas interaksi
hidrofobik tidak dapat meningkat secara tajam dengan meningkatnya
suhu. Hal tersebut disebabkan setelah melewati suhu tertentu, struktur air
secara bertahap pecah dan menyebabkan denaturasi interaksi hidrofobik.
2. Tekanan
Denaturasi akibat tekanan terjadi pada suhu 25⁰C jika tekanan yang
diberikan cukup tinggi. Kebanyakan protein mengalami denaturasi pada
tekanan 1-12 kbar. Tekanan dapat menyebabkan denaturasi protein
karena protein bersifat fleksibel dan dapat dikompresi. Walaupun residu
asam amino tersusun rapat di bagian dalam protein globular, biasanya
masih terdapat rongga di dalam protein. Akibatnya, protein bersifat dapat
dikompresi dan terjadi penurunan volume protein. Penurunan volume
tersebut disebabkan rongga yang hilang dalam struktur protein dan
hidrasi protein. Denaturasi akibat tekanan bersifat reversibel.
3. Pengadukan
Pengadukan mekanik kecepatan tinggi seperti pengocokan,
pengulenan, dan pembuihan menyebabkan protein terdenaturasi. Banyak
protein yang terdenaturasi dan mengalami presipitasi ketidak diaduk
intensif. Denaturasi terjadi akibat inkorporasi udara dan adsorpsi
molekul protein ke dalam antarmuka udara-cairan. Energi untuk
antarmuka udara-cairan lebih besar dibandingkan fase curah sehingga
protein mengalami perubahan konformasi dipengaruhi oleh fleksibilitas
protein. Protein dengan fleksibilitas tinggi lebih cepat berada pada
antarmuka udara-cairan, sehingga terdenaturasi lebih cepat
dibandingkan protein yang kaku (rigid). Ketika pengadukan tinggi
dilakukan menggunakan pengaduk berputar maka akan terbentuk
kavitasi. Keadaan ini menyebabkan protein mudah terdenaturasi.
Pengadukan yang lebih cepat menyebabkan tingkat denaturasi yang lebih
tinggi.

b) Penyebab Kimiawi
1. pH
Protein bersifat lebih stabil pada pH di titik isolelektrik
dibandingkan pH lain. Pada pH netral, kebanyakan protein bermuatan
negatif dan hanya sedikit yang bermuatan positif. Rendahnya gaya tolak
elektrostatik dibandingkan interaksi yang lain, menjadikan kebanyakan
protein bersifat stabil pada pH mendekati netral. Pada pH ekstrem, gaya
tolak elektrostatik dalam molekul protein yang disebabkan muatan tinggi
mengakibatkan struktur protein membengkak dan terbuka. Derajat
terbukanya struktur protein lebih besar pada pH alkali dibandingkan
pada pH asam. Pada kondisi alkali terjadi ionisasi gugus karboksil,
fenolik, dan sulfihidril di bagian dalam protein sehingga struktur protein
terbuka dengan tujuan mengekspos gugus tersebut pada fase air.
Denaturasi protein akibat pH kebanyakan bersifat reversibel. Akan
tetapi, pada sejumlah kasus hidrolisis ikatan peptida secara parsial,
deamiadase residu asparagin dan glutamin, dan kerusakan gugus
sulfihidril pada pH alkali dapat menyebabkan denaturasi protein yang
bersifat irreversibel.
2. Pelarut Organik
Pelarut organik mempengaruhi stabilitas interaksi hidrofobik
protein, ikatan hidrogen, dan interaksi elektrostatik. Rantai samping
residu asam amino nonpolar lebih larut pada pelarut organik
dibandingkan air. Hal tersebut mengakibatkan interaksi hidrofobik
menjadi melemah. Sebaliknya, stabilitas dan pembentukan ikatan
hidrogen antarikatan peptida meningkat pada lingkungan dengan
permisivitas rendah maka sejumlah pelarut organik dapat meningkatkan
atau memperkuat pembentukan ikatan hidrogen antarikatan peptida.
Pada konsentrasi rendah, sejumlah pelarut organik dapat menstabilkan
beberapa enzim terhadap denaturasi. Pada konsentrasi tinggi, pelarut
organik menyebabkan protein terdenaturasi karena efek pelarutan rantai
samping nonpolar.
3. Senyawa Organik
Sejumlah senyawa organik seperti urea dan guanidin hidroksida
menyebabkan denaturasi protein. Urea dan guanidin pada konsentrasi
tinggi membentuk ikatan hidrogen dan menyebabkan ikatan hidrogen
dalam air menjadi terganggu. Rusaknya ikatan hidrogen antarmolekul air
menjadikan air sebagai pelarut yang baik untuk residu nonpolar.
Dampaknya adalah struktur protein terbuka dan terjadi pelarutan residu
nonpolar dari bagian dalam molekul protein.
4. Deterjen
Deterjen seperti Sodium Dodecyl Sulfate (SDS) merupakan
pendenaturasi protein yang kuat. Deterjen terikat kuat pada protein yang
terdenaturasi sehingga menyempurnakan denaturasi. Akibatnya,
denaturasi protein menjadi bersifat irreversibel.
5. Garam
Garam mempengaruhi stabilitas struktural protein. Hal ini berkaitan
dengan kemampuan garam untuk mengikat air secara kuat dan
mengubah sifat hidrasi protein. Pada konsentrasi rendah, garam
menstabilkan struktur protein karena meningkatkan hidrasi protein dan
terikat lemah pada protein. Sebaliknya, garam juga dapat menyebabkan
ketidakstabilan struktur protein karena menurunkan hidrasi protein dan
berikatan kuat dengan protein. Pengaruh garam untuk stabilisasi atau
destabilisasi struktur protein berkaitan dengan konsentrasi dan
pengaruhnya terhadap ikatan air-air. Peningkatan stabilitas protein pada
kadar garam rendah disebabkan peningkatan ikatan hidrogen
antarmolekul air. Sebaliknya, pada konsentrasi tinggi, garam
mendenaturasi protein karena merusak struktur air sehingga air menjadi
pelarut yang baik untuk residu nonpolar protein (Estiasih, 2016).

2.4 Uji Biuret


Uji Biuret adalah salah satu metode pengujian kualitatif protein yang paling
umum digunakan di laboratorium biokimia. Uji ini didasarkan pada reaksi antara
ion tembaga(II) [Cu(II)] dengan gugus peptida yang terdapat pada rantai protein.
Pada dasarnya, uji Biuret menggunakan larutan tembaga sulfat (CuSO4)
dan larutan natrium hidroksida (NaOH) untuk membentuk senyawa kompleks ion
tembaga(II) (Cu(II)) dan gugus peptida pada rantai protein yang disebut biuret.
Reaksi antara ion tembaga(II) dan biuret menghasilkan warna ungu atau biru
violet.
Uji biuret digunakan untuk menguji kadar protein. Protein sendiri terdiri
dari ikatan peptida. Semakin panjang ikatan peptida atau semakin besar kadar
protein di dalam sample, semakin intensif warna ungu yang dihasilkan dari hasil
reaksi dengan larutan biuret ini. Uji ini umum bagi protein dan positif untuk semua
senyawa yang mengandung dua atau lebih ikatan peptide (Monika, 2011).
Di Polandia, uji biuret juga dikenal sebagai uji Piotrowski, untuk
menghormati ahli fisiologi yang berkebangsaan Polandia, Gustaw Piotrowski
(lahir 1833), yang memperkenalkan metode pengujian ini pada tahun 1857. Uji
Biuret adalah uji kimia yang digunakan untuk mendeteksi keberadaan ikatan
peptida. Ion tembaga (II) dan ikatan peptida akan membentuk kompleks berwarna
senduduk (ungu pucat) dalam larutan basa. Beberapa varian uji juga telah
dikembangkan dari metode ini, seperti uji BCA dan uji Lowry.
III. ALAT DAN BAHAN
a. Bahan
• Larutan protein (putih telur) 1 ml
• Larutan pereaksi biuret 4 ml
• Spritus
b. Alat
• Tabung Reaksi
• Penjepit kayu
• Rak tabung reaksi
• Pipet volume 1 ml
• Bunsen

IV. PROSEDUR KERJA


1. Disiapkan alat dan bahan.
2. Diambil 1 ml larutan protein (putih telur) dan dimasukkan ke dalam tabung
reaksi.
3. Ditambahkan larutan pereaksi biuret 4 ml.
4. Larutan dikocok sampai homogen.
5. Kemudian larutan dipanaskan hingga mendidih.
6. Diamati perubahan warna kemudian didiamkan dan diamati perubahan yang
terjadi.
V. HASIL PENGAMATAN
Tabel 5.1 Hasil pengamatan uji biuret pada larutan protein (putih telur).

Setelah Ditetesi
Sebelum Ditetesi (Putih Telur + Pereaksi Pemanasan
Biuret)

Putih telur Larutan berwarna Ungu Larutan berwarna


coklat setelah
dipanaskan
VI. PEMBAHASAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan yang berjudul uji biuret
dengan tujuan untuk menguji perubahan warna ungu dari larutan protein (putih
telur). Praktikum ini menggunakan reagen biuret yaitu uji yang digunakan untuk
menguji kadar protein dan mengetahui adanya ikatan peptida pada sampel reagen
yang digunakan yaitu biuret.
Adapun uji biuret ini digunakan untuk membuktikan ada atau tidaknya
ikatan peptide pada suatu protein, dimana reaksi positif pada uji biuret ini ditandai
dengan adanya perubahan warna menjadi ungu. Reagen biuret dapat dibuat dengan
mencampurkan larutan NaOH, CuSO4, dan natrium kalium tartat. Sampel yang
diujikan pada praktikum ini yaitu putih telur. Putih telur merupakan sumber
protein yang kaya. Putih telur tersebut dipisahkan dari kuning telur, dikarenakan
kuning telur tidak mengandung protein melainkan mengandung lemak.
Uji biuret merupakan jenis pengujian untuk identifikasi protein secara
umum, sehingga uji biuret akan selalu memberikan hasil positif untuk semua jenis
protein. Prinsipnya adalah pengukuran serapan cahaya oleh ikatan kompleks
berwarna ungu yang terjadi bila protein bereaksi dengan ion Cu2+ dalam suasana
basa.
Reagen biuret terdiri dari CuSO4 dalam aquades, KI dalam aquades, Na-
sitrat, Na2CO3 dan NaOH. CuSO4 sebagai penyedia ion Cu2+ yang nantinya akan
membentuk kompleks dengan protein. KI berfungsi untuk mencegah terjadinya
reduksi pada Cu2+ sehingga tidak mengendap. Na-sitrat dan Na2CO3 berfungsi
sebagai buffer dan NaOH berfungsi sebagai penyedia suasana basa. Suasana basa
akan membantu membentuk Cu(OH)2 yang nantinya akan menjadi Cu2+ dan
2OH-. Hal ini membantu untuk membentuk kompleks dengan nitrogen dari karbon
dari ikatan peptida dalam larutan basa. Perubahan pada warna sampel uji akan
memberikan hasil yang positif atau negatif. Terjadinya warna ungu terbentuk dari
ikatan antara Cu dan N. Makin panjang suatu ikatan peptida, maka warna ungu
yang terbentuk makin jelas dan makin pekat.
Persamaan reaksi dari larutan standar dan reagen biuret adalah sebagai
berikut:
CuSO4.5H2O(s) + 2NaOH (aq) → Cu(OH)2 (aq) + Na2SO4(aq).5H2O(l)

Protein terdapat pada semua sel dan merupakan komponen terpenting


dalam semua reaksi kimia, rata - rata 2/3 dari berat kering suatu sel terdiri dari
protein. Setiap protein merupakan polimer asam amino. Asam - asam amino dalam
protein disambung dengan ikatan peptida yang merupakan ikatan kovalen amida
yang terbentuk oleh gugus α-karboksil dan α-amino.
Pada sampel putih telur, ketika putih telur di tambahkan dengan NaOH
putih telur akan berubah menjadi sedikit kental ini dikarenakan adanya ikatan
peptide dalam putih telur yang menandakan adanya protein. Setelah ditambahkan
CuSO4, putih telur yang sebelumnya berwarna putih kekuningan kemudian
berubah menjadi warna ungu. Hal ini terjadi karena warna ungu yang terbentuk
berasal dari kompleks koordinasi antara Cu2+ dengan gugus amino dari protein.
Makin kuat intensitas warna ungu yang dihasilkan ini menunjukkan makin panjang
ikatan peptidanya. Dengan perubahan warna ungu yang diperoleh ini
menunjukkan bahwa uji ini positif terhadap biuret.
Setelah ditambahkan reagen barfoed, sampel tersebut dipanaskan di atas
pembakar spritus atau bunsen selama 6 menit. Pada awal pemanasan, larutan
mengalami perubahan dari warna ungu ke warna kuning pada bagian dasar larutan
tersebut. Hal ini terjadi karena telur mengandung asam amino yang bebas dan
memiliki pH larutan yang rendah. Perubahan warna kuning pada telur dapat terjadi
karena adanya reaksi antara ion tembaga (Cu+) dari larutan biuret dengan asam
amino yang bebas dalam protein pada telur, yang membentuk kompleks tembaga-
asam amino yang berwarna kuning atau oranye. Namun, perubahan warna kuning
pada uji biuret pada telur tidak menunjukkan secara spesifik keberadaan protein
dalam telur. Telur mengandung berbagai jenis senyawa organik, termasuk protein,
lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Oleh karena itu, uji biuret hanya dapat
menunjukkan keberadaan protein dalam telur, tetapi tidak dapat menentukan jenis
atau konsentrasinya.
Pada saat proses pemanasan berlangsung, terbentuk endapan pemanasan
dari putih telur pada menit ke-3. Endapan tersebut terjadi selama 3 menit sebelum
larutan putih telur yang semula berwarna ungu berubah menjadi warna coklat.
Perubahan warna dari larutan putih telur yang berwarna ungu ke warna coklat
terjadi pada menit ke-6.
Hasil dari pemanasan tersebut adalah putih telur yang awalnya berwarna
ungu berubah menjadi warna coklat setelah dipanaskan. Terjadinya perubahan
warna pada larutan putih telur dikarenakan protein dari putih telur mengalami
denaturasi. Denaturasi protein dapat terjadi karena proses pemanasan tersebut
yang menyebabkan perubahan bentuk normal protein karena terputusnya ikatan
hidrogen dan adanya perubahan struktur protein.
Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa uji biuret berhasil
mengidentifikasi keberadaan protein dalam sampel. Namun, perlu diperhatikan
bahwa uji biuret hanya dapat mengidentifikasi keberadaan protein secara
kualitatif, dan tidak dapat memberikan informasi tentang jumlah atau konsentrasi
protein dalam sampel.
Selain itu, penting juga untuk memperhatikan bahwa uji Biuret memiliki
kelemahan dalam mengidentifikasi protein yang tidak mengandung gugus peptida,
seperti protein nukleat yang tidak terdeteksi dalam uji biuret. Oleh karena itu,
pengujian protein secara kuantitatif lebih baik dilakukan menggunakan metode
lain yang lebih akurat seperti spektrofotometri atau metode barfoed.
VII.KESIMPULAN
Berdasarkan acara praktikum tersebut dapat disimpulkan uji biuret yang
dilakukan dengan tujuan untuk menguji perubahan warna ungu dari larutan protein
(putih telur). Pada uji biuret yang dilakukan pada larutan protein putih telur saat
dicampurkan dengan pereaksi biuret mengalami perubahan warna ungu, sehingga
menunjukkan adanya protein dalam sampel tersebut. Putih telur yang telah
mengalami perubahan warna tersebut dipanaskan di atas bunsen sampai terbentuk
gelembung-gelembung dan berwarna kecokelatan. Pemanasan tersebut mengalami
perubahan warna dan menyebabkan protein dalam larutan putih telur mengalami
denaturasi yaitu terputusnya ikatan hidrogen dan adanya perubahan struktur
protein, sehingga struktur tiga dimensinya berubah dan tidak lagi dapat melipat
menjadi bentuk yang stabil. Selain itu, pemanasan pada larutan putih telur juga
dapat menyebabkan reaksi Maillard antara gula dan protein dalam larutan. Reaksi
ini menghasilkan senyawa kompleks yang berwarna kuning-brownish
(kecoklatan), yang dapat memberikan warna kuning pada larutan putih telur yang
dipanaskan.

VIII. SARAN
Adapun saran untuk praktikum selanjutnya adalah :
1. Untuk asisten praktikum diharapkan agar tidak jenuh dan lebih sabar dalam
memberikan pengarahan kepada praktikan.
2. Untuk praktikan sebaiknya pada saat praktikum, semua anggota harus
menjaga kekompakan serta fokus dan serius sehingga kegiatan praktikum
dapat berlangsung dengan cepat dan semua anggota kelompok aktif.
Praktikan juga harus berhati-hati menggunakan alat-alat praktikum.
LAMPIRAN

Gambar 1. Disiapkan alat-alat Gambar 2. Disiapkan bahan


praktikum praktikum

Gambar 3. Dipisahkan putih telur Gambar 4. Larutan Biuret


dan kuning telur yang diisi sudah dalam
tabung reaksi

Gambar 5. Penambahan putih Gambar 6. Larutan putih telur yang


telur di dalam larutan biuret sudah ditambahkan larutan biuret
Gambar 7. Larutan biuret dan Gambar 8. Pemanasan larutan
larutan putih telur yang putih telur diatas bunsen
sudah dihomogenkan

Gambar 9. Hasil larutan putih telur


yang sudah dipanaskan
DAFTAR PUSTAKA

Bintang, M. (2010). Biokimia Teknik Penelitian. Erlangga. Jakarta.

Budiyanto, Agus Krisno. (2004). Mikrobiologi Terapan. Malang: Universitas


Muhammadiyah Malang Pres.

Edy Susanto, Marhamah. 2019. “Tinjauan pustaka protein.” Journal of Chemical


Information and Modeling 53(9): 1689–99.

Estiasih, T. (2016). Kimia dan Fisik Pangan. Bumi aksara. Jakarta.

Girinda, Aisyah. (1986). Biokimia. Jakarta: Gramedia

Ngili, Yohanis. (2009) Biokimia Struktur dan Fungsi Biomolekul. Graha Ilmu:
Yogyakarta.

Rismayanthi, Cerika. (2015). Sistem Energi dan Kebutuhan Zat Gizi yang Diperlukan
Untuk Peningkatan Prestasi Atlet. Fakultas Ilmu Keolahragaan. Universitas
Negeri. Yogyakarta. Hal. 110 – 111.

Monika, A. (2011). “Uji Biuret Biuret test.” Metode (November): 53.

Winarno, F.G. (2004). Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Yazid, Estien. (2006). Penuntun Praktikum Biokimia untuk Mahasiswa Analisis.


: Graha Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai