Anda di halaman 1dari 5

KEMENTERIAN PERTANIAN

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN


KANPUS KEMENTERIAN PERTANIAN JALAN HARSONO RM NOMOR 3
GEDUNG C PASAR MINGGU, JAKARTA 12550
TELEPON (021) 7815380 - 4, FAKSIMILI (021) 7815486 - 7815586
WEBSITE : https://ditjenbun.pertanian.go.id

SURAT EDARAN
NOMOR: B-347/KB.410/E/07/2023

TENTANG
FASILITASI PEMBANGUNAN KEBUN MASYARAKAT (FPKM)

Kepada Yth.,
1. Gubernur Seluruh Indonesia; dan
2. Bupati dan Wali Kota Seluruh Indonesia;
di Tempat

A. Latar Belakang
Norma/ketentuan kewajiban fasilitasi pembangunan kebun untuk masyarakat
sekitar oleh Perusahaan Perkebunan dimulai sejak terbitnya Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha
Perkebunan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 98 Tahun 2013 dan diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2004 tentang Perkebunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-
Undang.
Latar belakang kewajiban pembangunan kebun bagi masyarakat sekitar kebun
oleh perusahaan perkebunan, berawal dari berakhirnya program-program
Pemerintah untuk mempercepat pembangunan perkebunan, khususnya
perkebunan kelapa sawit.
Sejarah itu berawal dari program perkebunan inti-rakyat yang merupakan
kebijakan pemerintah untuk untuk mempercepat perkembangan perkebunan
dikenal dengan oil farming system for rural socioeconomic development
melahirkan program bernama perkebunan inti-rakyat (PIR) atau dikenal NES
(Nucleus Estate and Smallholders Project). Proyek ini dimulai tahun 1980 –
1990 dengan pembiayaan bersumber dari kolaborasi Pemerintah Indonesia dan
donor luar negeri seperti World Bank, Asian Development Bank dan lainnya).
Melalui program inilah lahir definisi inti (perusahaan) yang bermitra dengan
petani (plasma) untuk mengelola lahan. Petani plasma berasal dari petani lokal
setempat ataupun para transmigran yang mengikuti program perpindahan
penduduk dari dari Pulau Jawa dan Bali ke pulau lain seperti Sumatera dan
Kalimantan.
Model PIR membangun kemitraan petani dan perusahaan di mana sumber
pembiayaan pembangunan kebun bersumber dari pinjaman bank. Skema ini
menempatkan petani sebagai pemilik lahan/kebun yang akan membayar kredit

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE), BSSN
pinjaman secara bertahap. Di sisi lain, perusahaan akan menjadi penjamin kredit
(avalis) petani dan bertugas membangun kebun sekaligus mengelola
perawatannya. Keuntungan PIR adalah jaminan pasokan buah sawit dari lahan
petani yang mereka kelola. Sementara itu, kerja sama kemitraan inti-plasma
akan berakhir seiring lunasnya kredit petani. Lunasnya kredit petani, maka
status kepemilikan lahan akan dimiliki sepenuhnya oleh petani.
Konsep PIR terus berjalan sampai tahun 2005 dengan perubahan model
maupun nama menjadi KKPA ( Kredit Koperasi Primer untuk Anggota). Program
ini menerima bantuan dana pemerintah dan negara pendonor. Terakhir, sistem
inti-plasma diperbaiki dengan program bernama Revitalisasi Perkebunan dari
tahun 2005-2015. Pembiayaan revitalisasi perkebunan bertumpu kepada kredit
investasi perbankan di mana bunga kredit mendapatkan subsidi dari pemerintah,
dan sisanya tanggungan petani.
Dengan berakhirnya berbagai program pemerintah tersebut, maka
pembangunan kebun bagi masyarakat sekitar menjadi salah satu solusi
mengatasi ketimpangan kesejahteraan di perkebunan dan menjaga hubungan
yang harmonis antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat di sekitarnya
dengan tetap memperhatikan profitas dan keuntungan perusahaan perkebunan.
Memperhatikan pengaturan regulasi kewajiban perusahaan perkebunan untuk
memfasilitasi pembangunan kebun bagi masyarakat sekitar yang mengalami
beberapa kali perubahan, maka kami meminta kepada Saudara untuk
melaksanakan pembinaan kewajiban tersebut sesuai surat edaran ini.

B. Maksud dan Tujuan


1. Surat Edaran ini dimaksudkan sebagai panduan bagi Pemerintah, Kepala
Daerah Provinsi, Kepala Daerah Kabupaten/Kota dalam mengawasi
pelaksanaan Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM).
2. Surat Edaran ini bertujuan untuk terlaksananya Fasilitasi Pembangungan
Kebun Masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku.

C. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta
Kerja menjadi Undang-Undang.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Bidang Pertanian.
5. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman
Perizinan Berusaha sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Menteri Pertanian Nomor 21 Tahun 2017.
6. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18 Tahun 2021 tentang Fasilitasi
Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE), BSSN
D. Pelaksanaan
Terdapat 3 (tiga) fase dalam FPKM, meliputi:
a. Fase I : Perusahaan perkebunan yang memiliki perizinan usaha
perkebunan sebelum tanggal 28 Februari 2007;
b. Fase II : Perusahaan perkebunan yang memiliki perizinan usaha
perkebunan setelah tanggal 28 Februari 2007 sampai dengan 2
November 2020;
c. Fase III : Perusahaan perkebunan yang memiliki perizinan usaha
perkebunan setelah tanggal 2 November 2020.

Bagi perusahaan perkebunan pada Fase I


a. Perusahaan perkebunan Fase I yang telah melaksanakan kemitraan melalui
pola PIR-BUN, PIR-TRNS, PIR-KKPA atau pola kemitraan kerja sama inti-
plasma lainnya dianggap telah melakukan FPKM dan tidak dikenakan
kembali kewajiban FPKM (Ps 60 ayat (1) Permentan 98/2013).
b. Keterangan telah melaksanakan kemitraan melalui pola PIR-BUN, PIR-
TRNS, PIR-KKPA atau pola kemitraan kerja sama inti-plasma lainnya
diberikan oleh penerbit izin sesuai kewenangan atau didelegasikan kepada
kepala dinas yang menangani fungsi perkebunan.
c. Perusahaan perkebunan Fase I yang tidak melaksanakan kemitraan melalui
pola PIR-BUN, PIR-TRNS, PIR-KKPA atau pola kemitraan kerja sama inti-
plasma lainnya wajib melakukan usaha produktif untuk masyarakat sekitar
berdasarkan kesepakatan antara perusahaan perkebunan dengan
masyarakat sekitar diketahui oleh gubernur atau bupati/wali kota sesuai
kewenangan (Ps 60 ayat (2) Permentan 98/2013).
d. Usaha produktif untuk masyarakat sekitar sebagaimana dimaksud pada
huruf c, merupakan kegiatan yang dapat menjadi sumber penghidupan bagi
masyarkat sekitar tersebut (Ps 60 ayat (3) Permentan 98/2013).
e. Bagi perusahaan perkebunan di fase ini yang belum melaksanakan FPKM,
dapat melaksanakan usaha produktif mengacu ketentuan dalam Pasal 7
Permentan Nomor 18 Tahun 2021.

Bagi perusahaan perkebunan pada Fase II


a. Perusahaan perkebunan Fase II dengan luas 250 hektar atau lebih yang
belum melaksanakan FPKM sesuai Permentan Nomor 98 Tahun 2013, wajib
melaksanakan FPKM paling kurang 20% dari luas IUP-B atau IUP (Ps 43 Per
18/2021 dan Ps 15 ayat (1) Permentan 98/2013).
b. Kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada huruf a, berada di luar areal
IUP-B atau IUP (Ps 15 ayat (2) Permentan 98/2013).

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE), BSSN
c. Kewajiban FPKM mempertimbangkan ketersediaan lahan, jumlah keluarga
masyarakat sekitar yang layak sebagai peserta dan kesepakatan antara
Perusahaan Perkebunan dengan masyarakat sekitar dan diketahui kepala
dinas provinsi atau kabupaten/kota yang membidangi perkebunan sesuai
kewenangannya (Ps 15 ayat (3) Permentan 98/2013).
d. Masyarakat sekitar yang layak sebagai peserta ditetapkan oleh
bupati/walikota berdasarkan usulan dari camat setempat (Ps 15 ayat (4)
Permentan 98/2013).
e. Apabila tidak terdapat lahan untuk dilakukan FPKM sesuai lokasi dalam
kewenangan penerbit perizinan, maka dilakukan kegiatan untuk usaha
produktif sesuai kesepakatan antara Perusahaan Perkebunan dengan
masyarakat sekitar dan diketahui kepala dinas provinsi atau kabupaten/kota
yang membidangi perkebunan sesuai kewenangan.
f. Ketidaktersediaan lahan untuk FPKM dibuktikan dengan keterangan dari
kepala dinas provinsi atau kabupaten/kota yang membidangi perkebunan
sesuai kewenangan.
g. kegiatan kemitraan untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada huruf
e, mengacu ketentuan dalam Pasal 7 Permentan Nomor 18 Tahun 2021.

Bagi perusahaan perkebunan pada Fase III


a. Perusahaan perkebunan Fase III, yang mendapatkan Perizinan Berusaha
untuk budi daya yang seluruh atau sebagian lahannya berasal dari:
- area penggunaan lain yang berada di luar HGU;dan/atau
- areal yang berasal dari pelepasan kawasan hutan,
wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, seluas 20%
(dua puluh persen) dari luas lahan tersebut (Ps 58 ayat (1) UU 6/2023 dan
Ps 12 ayat (1) PP 26/2021).
b. Kewajiban fasilitasi perkebunan masyarakat tersebut diintegrasikan
dengan kewajiban lainnya yang timbul dalam perolehan lahan
perkebunan, antara lain dalam hal lahan berasal dari kawasan hutan yang
memberikan kewajiban untuk 20% lahan kepada masyarakat dan telah
dilaksanakan, maka kewajiban tersebut sudah selesai.
c. Namun demikian, ketika kewajiban fasilitasi pembangunan kebun
sebagaimana dimaksud pada huruf c sudah selesai, perusahaan
perkebunan tetap didorong memberikan fasilitasi kepada masyarakat
yang bersifat sukarela agar masyarakat dapat mengembangkan
pengelolaan kebunnya.
d. Dalam hal perolehan lahan perkebunan dilakukan langsung kepada
masyarakat yang diberikan hak guna usaha, maka perusahaan
perkebunan tidak diwajibkan untuk memberikan fasilitasi pembangunan
kebun masyarakat.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE), BSSN
F. Kewajiban
1. Seluruh perusahaan perkebunan wajib melaksanakan kewajiban fasilitasi
pembangunan kebun bagi masyarakat sekitar sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan dengan berpedoman terhadap pengaturan surat edaran
ini.
2. Kepala dinas daerah kabupaten/kota yang membidangi fungsi Perkebunan
melaporkan perkembangan pelaksanaan FPKM di kabupaten/kota masing-
masing kepada Kepala dinas daerah provinsi.
3. Kepala dinas daerah provinsi yang membidangi fungsi Perkebunan
melaporkan perkembangan pelaksanaan FPKM di provinsi masing-masing
kepada Direktur Jenderal Perkebunan.

Demikian atas perhatian dan kerja sama Saudara, kami sampaikan terima kasih.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal, 12 Juli 2023

Ditandatangani secara elektronik oleh


Direktur Jenderal Perkebunan,

Andi Nur Alam Syah, S.TP., M.T.


NIP 197502012002121001

Tembusan disampaikan kepada Yth:


1. Menteri Pertanian;
2. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia;
3. Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia;
4. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional;
5. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Dokumen ini telah ditandatangani secara elektronik yang diterbitkan oleh Balai Sertifikasi Elektronik (BSrE), BSSN

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)

Anda mungkin juga menyukai