NIM : 210422621353
Offering :Q
Mata Kuliah : Metode Penelitian Kualitatif
Hari & Tgl : Sabtu, 20 Oktober 2023
B. Wawancara Kualitatif
- Sifat Wawancara Kualitatif
Secara umum, wawancara melibatkan percakapan yang diorganisir dengan serangkaian
pertanyaan dan jawaban. Biasanya, pewawancara memimpin pembicaraan dan mengajukan
pertanyaan, sedangkan orang yang diwawancarai memberikan jawaban. Meskipun
wawancara kualitatif sering menyerupai percakapan sehari-hari, perbedaan antara
pewawancara dan orang yang diwawancarai dapat menjadi kabur. Wawancara biasanya
dilakukan secara tatap muka, tetapi juga dapat dilakukan melalui telepon atau online
menggunakan teknologi komputer.
Meskipun kebanyakan wawancara melibatkan dua orang (pewawancara dan orang yang
diwawancarai), wawancara kelompok dengan dua atau lebih peserta juga umum dalam
penelitian bisnis. Wawancara kualitatif dalam penelitian ilmiah bertujuan untuk
mengumpulkan data empiris. Pewawancara yang baik sering mempersiapkan pertanyaan
terlebih dahulu, fokus pada isu-isu yang relevan, dan menganalisis serta melaporkan
hasilnya dengan cara yang spesifik. Dalam konteks penelitian, wawancara kualitatif
merupakan alat penting untuk menghasilkan informasi yang mendukung topik dan
pertanyaan penelitian.
K. Melakukan Observasi
Observasi adalah cara mengumpulkan data secara langsung menggunakan manusia,
mekanik, listrik, atau perangkat elektronik. Penelitian dapat melibatkan atau tidak langsung
berinteraksi dengan orang-orang yang diamati. Teknik observasi merupakan bagian dari
pendekatan penelitian baik kualitatif maupun kuantitatif (Spradley, 1980; Gubrium dan
Holstein, 1997; DeWalt dan DeWalt, 2002). Metode observasi dapat diidentifikasi dan
dijelaskan melalui empat dimensi. Observasi dapat dilakukan oleh peserta atau non-peserta,
tergantung apakah peneliti aktif dalam situasi yang diamati atau tidak. Juga, observasi bisa
terlihat atau tidak terlihat, bergantung pada apakah partisipan penelitian mengetahui bahwa
mereka sedang diamati atau tidak. Pengamatan dapat dilakukan dalam lingkungan alami
atau diciptakan, bergantung pada apakah tindakan diamati terjadi di tempat yang alami atau
dalam suasananya diciptakan. Selain itu, observasi bisa terstruktur atau tidak terstruktur,
tergantung pada apakah ada daftar periksa yang menentukan hal apa yang diamati atau tidak.
- Observasi Partisipan
Observasi partisipatif merupakan metode yang sangat menuntut untuk mengumpulkan
data empiris, sering digunakan dalam penelitian etnografi. Dalam metode ini, peneliti
secara aktif terlibat sebagai peserta dalam budaya atau konteks yang diamati. Literatur
tentang observasi partisipatif membahas cara masuk ke dalam konteks, peran peneliti
sebagai peserta, pengumpulan dan penyimpanan catatan lapangan, serta analisis data
lapangan. Observasi partisipatif seringkali memakan waktu berminggu-minggu, berbulan-
bulan, atau bahkan bekerja secara intensif selama bertahun-tahun karena peneliti perlu
diterima sebagai bagian dari budaya untuk memastikan bahwa pengamatannya
mencerminkan fenomena yang alami.
- Observasi Non-Partisipan
Seorang pengamat non-peserta tidak mencoba menjadi bagian dari budaya yang mereka
amati; sebaliknya, mereka berusaha untuk tidak mengganggu. Dalam observasi langsung,
peneliti hanya mengamati tanpa ikut serta; oleh karena itu, teknologi dapat digunakan untuk
merekam tindakan atau peristiwa. Observasi langsung lebih fokus pada situasi atau orang
tertentu, seperti rapat atau manajer dan karyawan, tanpa mencoba meresapi konteksnya.
Biasanya, observasi langsung memerlukan waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan
observasi partisipan.
L. Data Tekstual
Menurut Atkinson dan Coffey (1997), kehidupan sosial kita sebagian besar dipengaruhi
oleh teks tertulis. Tanpa undang-undang tertulis, masyarakat tidak dapat berfungsi, sistem
keuangan memerlukan peraturan tertulis, dan sistem pendidikan memerlukan buku. Oleh
karena itu, berbagai jenis teks menyediakan data penelitian yang sangat relevan. Dalam
konteks penelitian, bahan tekstual mencakup data yang dikumpulkan untuk proyek
penelitian (seperti transkripsi wawancara, cerita, dan lelucon dalam bentuk tertulis) serta
teks yang sudah ada sebelum proyek penelitian (seperti laporan tahunan, teks media).
Data yang dikumpulkan secara langsung disebut data primer, sementara data yang
sudah ada disebut data sekunder. Data sekunder sering memberikan peluang yang baik
untuk penelitian bisnis kualitatif. Misalnya, dalam penelitian akuntansi dan organisasi yang
berfokus pada studi kasus, teks yang telah diterbitkan dianggap sebagai 'artefak'. Teks ini
mencakup dokumen seperti laporan formal, notulen rapat, catatan informal, catatan pribadi,
dan memo.
M. Materi Visual
Dalam penelitian, materi visual merujuk pada data yang tidak berbentuk tulisan atau
lisan konvensional. Ini mencakup gambar, video, gambar bergerak, gambar di situs web,
ilustrasi dalam buku, iklan, CD-ROM, format digital dua atau tiga dimensi, dan lainnya.
Sebagai contoh relevansi materi visual, pikirkan bagaimana foto dapat menyampaikan
banyak interpretasi dalam penelitian. Oleh karena itu, pepatah lama "satu foto bernilai
seribu kata" sangat relevan, terutama dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian sejarah
budaya dan seni, gambar dan lukisan sering digunakan sebagai sumber informasi. Mereka
memberikan bukti mengenai sejarah mikro, kebiasaan lokal, pakaian, rumah, dan isu-isu
serupa. Namun, penggunaan materi visual dalam ilmu sosial masih terbatas, terutama
secara sistematis.
ARTIKEL
PHOTOGRAPHS DEPICTING CSR: CAPTURED REALITY
OR CREATIVE ILLUSION?
A. INTRODUCTION
Laporan akuntansi menggunakan sarana komunikasi umum yang luas. Penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa foto telah menjadi elemen penting dalam laporan tahunan
karena kekayaan dan daya tariknya. Foto bukan hanya untuk menciptakan representasi
yang mengungkapkan pengalaman dan gagasan dengan cara yang tidak dapat diungkapkan
secara tertulis, tetapi juga memiliki kekuatan untuk memengaruhi emosi para pemangku
kepentingan. Menurut Peeples, isu-isu CSR yang tidak terlihat dapat diwakili dan
diungkapkan melalui foto, yang mungkin menimbulkan interpretasi dan manipulasi. Oleh
karena itu, foto bisa digunakan dengan sengaja untuk tujuan retoris dan manajemen kesan.
Kurangnya peraturan dan pedoman pelaporan dapat menjadi masalah, memungkinkan
perusahaan untuk selektif dalam cara dan konten pengungkapan kinerja CSR dalam laporan
tahunan. Dengan menggunakan konstruksi teoritis manajemen kesan, penelitian ini
mengidentifikasi motif di balik penggunaan foto yang menggambarkan kegiatan CSR dan
pesan yang ingin dikomunikasikan.
B. LITERATURE REVIEW
Laporan tahunan perusahaan adalah dokumen komunikasi yang kompleks,
menggabungkan angka, kata, dan gambar visual. Dalam konteks gambar visual, foto
menjadi elemen paling umum dan memainkan peran penting dalam menyampaikan
informasi kepada para pemangku kepentingan. Laporan tahunan semakin berkembang
menjadi dokumen berwarna dengan foto menarik, mungkin bertujuan untuk membentuk
citra yang diinginkan dan melegitimasi kinerja perusahaan. Hopwood memperingatkan
tentang risiko berkurangnya transparansi melalui penggunaan foto dalam konteks ini.
Seiring dengan peningkatan foto yang menggambarkan kegiatan Corporate Social
Responsibility (CSR) dalam laporan tahunan, terdapat potensi penyalahgunaan untuk
membangun laporan CSR yang terlihat kredibel tanpa mencerminkan tindakan CSR yang
sebenarnya. Fenomena ini mirip dengan "greenwashing", di mana pengungkapan CSR
positif dipilih secara selektif untuk mempengaruhi persepsi pemangku kepentingan atau
mengalihkan perhatian dari isu-isu negatif. Penyertaan foto-foto CSR dalam pelaporan
dapat meningkatkan visibilitas perusahaan sebagai entitas yang bertanggung jawab, karena
foto berperan sebagai alat persuasi.
Keberagaman pandangan muncul sehubungan dengan pengaruh retoris pengungkapan
CSR melalui foto. Milne dan Patten menemukan bahwa perusahaan sering menggunakan
strategi legitimasi simbolis dalam pelaporan CSR, menghasilkan pengungkapan yang
menciptakan kesan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang mungkin tidak sesuai
dengan realitas. Ini dikuatkan oleh Hrasky, yang menyatakan bahwa perusahaan yang
mengadopsi pendekatan simbolik cenderung menyajikan informasi CSR positif sesuai
dengan harapan pemangku kepentingan. Gambar fotografi simbolik, seperti yang diamati
oleh Zarzycka dan Kleppe, termasuk gambar anak-anak dan keluarga, dapat digunakan
untuk memperkuat naratif CSR perusahaan.