Anda di halaman 1dari 12

Nama : Dimas Agaikusaima Hikhza

NIM : 210422621353
Offering :Q
Mata Kuliah : Metode Penelitian Kualitatif
Hari & Tgl : Sabtu, 20 Oktober 2023

Resume Pertemuan Ke-9


Materi :
➢ Buku Biru Bab 7 (Qualitative Research Materials)
➢ Chong, S., Narayan, A. K., & Ali, I. (2019). Photographs depicting CSR: captured
reality or creative illusion? Pacific Accounting Review, 31(3), 313–335.
https://doi.org/10.1108/PAR-10-2017-0086

QUALITATIVE RESEARCH MATERIALS


A. Data Penelitian Kualitatif
Sebagian besar peneliti bisnis mengumpulkan data empiris untuk proyek penelitian
mereka, menggunakan berbagai metode pengumpulan data yang memerlukan pengetahuan
dan keterampilan khusus. Ini dapat diperoleh melalui eksperimen, praktik, refleksi, dan
penelitian untuk memahami tujuan dan praktik pengumpulan data. Dalam buku metodologi,
data yang dikumpulkan oleh peneliti sendiri melalui eksperimen disebut data primer.
Peneliti bisnis dapat mengumpulkan data empiris melalui wawancara, observasi, dan
permintaan peserta untuk menulis (seperti buku harian atau cerita), menggambar, atau
berpartisipasi dalam cara lain (seperti drama). Data empiris yang sudah ada di suatu tempat
disebut data sekunder, termasuk data tekstual (seperti dokumen, buku harian, memo, cerita)
dan materi visual (rekaman video, program televisi, film). Dalam penelitian kualitatif, ini
juga disebut 'bahan alami' karena tidak tergantung pada tindakan dan niat peneliti.

B. Wawancara Kualitatif
- Sifat Wawancara Kualitatif
Secara umum, wawancara melibatkan percakapan yang diorganisir dengan serangkaian
pertanyaan dan jawaban. Biasanya, pewawancara memimpin pembicaraan dan mengajukan
pertanyaan, sedangkan orang yang diwawancarai memberikan jawaban. Meskipun
wawancara kualitatif sering menyerupai percakapan sehari-hari, perbedaan antara
pewawancara dan orang yang diwawancarai dapat menjadi kabur. Wawancara biasanya
dilakukan secara tatap muka, tetapi juga dapat dilakukan melalui telepon atau online
menggunakan teknologi komputer.
Meskipun kebanyakan wawancara melibatkan dua orang (pewawancara dan orang yang
diwawancarai), wawancara kelompok dengan dua atau lebih peserta juga umum dalam
penelitian bisnis. Wawancara kualitatif dalam penelitian ilmiah bertujuan untuk
mengumpulkan data empiris. Pewawancara yang baik sering mempersiapkan pertanyaan
terlebih dahulu, fokus pada isu-isu yang relevan, dan menganalisis serta melaporkan
hasilnya dengan cara yang spesifik. Dalam konteks penelitian, wawancara kualitatif
merupakan alat penting untuk menghasilkan informasi yang mendukung topik dan
pertanyaan penelitian.

- Mengembangkan Pertanyaan Penelitian Menjadi Pertanyaan Wawancara


Seperti yang ditulis Glesne (1999: 69), peneliti pemula sering bingung antara
pertanyaan penelitian dan pertanyaan wawancara. Oleh karena itu, hal pertama yang harus
ingat adalah perlu mencurahkan waktu dan energi untuk mengembangkan pertanyaan
wawancara yang terkait, namun tidak setara, dengan pertanyaan penelitian . Ide dasarnya
adalah pertanyaan wawancara menyediakan materi yang akan membantu menjawab
pertanyaan penelitian melalui analisis yang cermat.
Jika menurut orang yang wawancarai bisa langsung menjawab pertanyaan penelitian ,
maka harus khawatir. Seringkali masalahnya adalah tidak memiliki pertanyaan penelitian
yang tepat; sebaliknya, yang miliki adalah pertanyaan opini atau informasi. Ini bagus
sebagai salah satu bagian dari wawancara , tetapi ini bukanlah jenis pertanyaan yang
menghasilkan penelitian yang baik. Mengapa demikian? Karena tidak perlu melakukan
analisis apa pun untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan penelitian , cukup mengatur
ulang jawaban yang diberikan oleh orang yang diwawancarai.

- Tiga Jenis Studi Wawancara


Pendekatan penelitian wawancara positivis, juga dikenal sebagai naturalis atau realis,
berfokus pada pengumpulan 'fakta'. Hal ini tercermin dalam banyaknya pertanyaan
informasi yang diajukan kepada peserta (Stake, 1995, 2000). Contohnya, dalam memahami
'proses perubahan organisasi', peneliti berusaha mengumpulkan informasi terperinci
tentang peristiwa tersebut. Analisis difokuskan pada penggabungan berbagai sudut
pandang peserta untuk mendapatkan gambaran 'sebenarnya' dari proses tersebut.
Pendekatan penelitian wawancara emosionalis, juga disebut subjektivis, melihat
wawancara sebagai sarana untuk mengeksplorasi pengalaman otentik peserta. Dalam hal
ini, fokusnya bukan pada informasi, tetapi pada persepsi, konsepsi, pemahaman, sudut
pandang, dan emosi.
Pertanyaan mungkin lebih mengarah ke bagaimana orang mengalami perubahan
organisasi, seperti 'Bagaimana perubahan ini memengaruhi pekerjaan Anda?' dan 'Apa
pandangan Anda tentang perubahan dalam hubungan kerja?'. Pendekatan penelitian
wawancara konstruktivis berpusat pada cara makna dibangun melalui interaksi antara
pewawancara dan responden. Meskipun interaksi menjadi fokus utama, wawancara sering
meniru percakapan sehari-hari di mana peneliti dapat mengambil peran aktif sebagai
partisipan dalam percakapan. Interaksi semakin dinamis ketika pewawancara mengajukan
pertanyaan yang merangsang percakapan, dapat mengalir ke arah yang berbeda tergantung
pada perkembangan interaksi tersebut.
- Berbagai Jenis Wawancara Kualitatif
- Terstruktur dan terstr – pertanyaan terstr yang sama untuk semua peserta, kebanyakan
pertanyaan 'apa'.
- Garis besar topik, isu, atau tema yang terpandu dan semi- terstruktur, tetapi variasi kata
dan urutannya; pertanyaan 'apa' dan 'bagaimana'.
- Wawancara tidak terstruktur, informal, terbuka dan naratif - beberapa pertanyaan panduan
atau konsep inti untuk memulai, namun kebebasan untuk mengarahkan pembicaraan ke
arah minat apa pun yang mungkin muncul; pertanyaan 'apa' dan 'bagaimana'

C. Wawancara Terstruktur dan Terstr


Wawancara dengan pertanyaan 'apa' yang dilakukan oleh penganut positivisme sering
kali memiliki struktur dan strisasi yang baik. Saat melaksanakan jenis wawancara ini,
pewawancara mengikuti skenario yang telah direncanakan sebelumnya, dan terdapat
sedikit ruang fleksibilitas dalam penyusunan kata atau urutan pertanyaan. Wawancara
terstruktur dan terstr dianggap bersifat 'kualitatif' jika respons yang diberikan oleh peserta
bersifat terbuka.
Jenis wawancara ini efisien dalam mengumpulkan informasi mengenai 'fakta'
(contohnya apa yang terjadi, kapan dan bagaimana; siapa yang terlibat, dan bagaimana
caranya). Pendekatan ini juga dapat bermanfaat ketika perlu mengurangi variasi yang
mungkin timbul akibat perbedaan pengetahuan di antara pewawancara atau saat penting
untuk membandingkan informasi yang diberikan oleh peserta secara sistematis.

D. Wawancara Terpandu dan Semi Terstruktur


Banyak wawancara kualitatif dalam penelitian bisnis masuk ke dalam kategori ini, yang
dapat digunakan untuk mengeksplorasi pertanyaan 'apa' dan 'bagaimana'. Ketika
melaksanakan wawancara terpandu atau semi terstruktur, peneliti membawa garis besar
topik, isu, atau tema yang sudah disiapkan sebelumnya, namun masih memiliki fleksibilitas
untuk memvariasikan kata-kata dan urutan pertanyaan dalam setiap wawancara.
Keunggulannya terletak pada sistematika dan kelengkapan materi, sementara gaya
wawancaranya cenderung bersifat komunikatif dan informal.
Jenis wawancara ini umumnya berhasil dengan baik jika peneliti memiliki keterampilan
dan pengalaman sebagai pewawancara. Salah satu tantangannya mungkin terletak pada
upaya memastikan bahwa semua topik dalam kerangka telah dibahas dan pada saat yang
sama, tetap siap untuk menyelidiki tanggapan yang lebih mendalam. Namun, risiko terlalu
berpegang pada pertanyaan yang telah direncanakan dapat menghambat kemungkinan
pembahasan topik yang penting menurut peserta. Meskipun formatnya bersifat sistematis
hingga batas tertentu, sulit untuk membandingkan materi empiris karena peserta
memberikan tanggapan dan interpretasi yang sedikit berbeda terhadap pertanyaan yang
sama.

E. Wawancara Tidak Terstruktur, Informal, Terbuka, dan Naratif


Wawancara kualitatif seringkali bersifat tidak terstruktur, informal, terbuka, dan
bersifat naratif. Jenis wawancara ini sangat bermanfaat untuk eksplorasi yang mendalam
dan luas tentang suatu topik, melibatkan sudut png peserta. Wawancara tidak terstruktur
memiliki perbedaan dengan wawancara terstruktur, sebagaimana dijelaskan oleh Fontana
dan Frey (2000). Pertama, meskipun mungkin ada beberapa pertanyaan panduan atau
konsep inti, wawancara ini tidak menggunakan instrumen atau protokol wawancara formal
dan terstruktur. Kedua, pewawancara memiliki kebebasan untuk mengarahkan
pembicaraan ke arah minat apa pun yang mungkin muncul.
Jenis wawancara ini sangat tergantung pada topik yang dibicarakan oleh peserta. Dalam
wawancara naratif, tujuannya adalah menghasilkan narasi. Sebagai contoh, dalam studi
Hytti (2003), wirausahawan didorong untuk membangun sejarah hidup mereka agar
penelitian dapat memahami identitas wirausaha. Wawancara naratif seringkali
direncanakan sebelumnya, meskipun percakapan spontan juga dapat terjadi dalam konteks
lapangan. Dalam kasus terakhir, peserta mungkin tidak menyadari bahwa itu adalah
'wawancara.' Percakapan berkembang dari konteks langsung atau konteks yang ditentukan
oleh peserta. Oleh karena itu, kata-kata atau topik tidak ditentukan sebelumnya oleh peneliti
dalam kedua situasi tersebut..

F. Pertanyaan Terbuka dan Tertutup


Wawancara dapat mengajukan berbagai jenis pertanyaan, mulai dari pertanyaan terbuka
yang menantang seperti 'Ceritakan kisah karier profesional ' hingga pertanyaan yang lebih
tertutup seperti 'Apakah memiliki pengalaman kerja di bisnis ini atau tidak?' Selain itu,
terdapat pilihan pertanyaan di antara keduanya, contohnya 'Berikan saya tiga peristiwa
dalam karier yang paling menarik dan memotivasi.' Pertanyaan terbuka memberikan
peserta kendali yang lebih besar terhadap topik pembicaraan, sering kali menghasilkan
respon yang lebih rinci.

G. Pertanyaan Sederhana dan Kompleks


Menyusun beberapa pertanyaan sederhana secara bertahap seringkali lebih efektif
dibandingkan dengan menyusun satu pertanyaan yang rumit. Sebagai contoh, lebih baik
menanyakan hal-hal seperti 'Bagaimana awal mula proses merger?' atau 'Siapa yang terlibat
pada tahap awal?' dan kemudian mengikuti dengan pertanyaan seperti 'Bagaimana reaksi
CEO?' Dengan pendekatan ini, pertanyaan dapat dirinci lebih lanjut, seperti 'Dapatkah
menjelaskan semua detailnya, termasuk peluang, masalah, dan konsekuensi dari proses
merger selama tiga tahun ini?' Semakin kompleks pertanyaannya, semakin sulit bagi
peserta untuk memberikan jawaban yang memadai.

H. Pertanyaan Netral dan Mengarahkan


Pertanyaan netral dirancang untuk menghindari asumsi atau tipologi yang mungkin
sudah dimiliki sebelumnya. Sebagai contoh, pertanyaan utama seperti ' ingin menjadi
manajer strategis, bukan?' dengan jelas menggambarkan respons yang diharapkan oleh
pewawancara. Pertanyaan utama yang kurang jelas cenderung memberikan tipologi yang
diharapkan oleh peserta dalam merumuskan tanggapan mereka. Sebagai contoh, bertanya
'Apakah pengalaman sebagai manajer wanita baik atau buruk?' mendorong peserta untuk
mengklasifikasikan pengalaman mereka sebagai 'positif' atau 'negatif.' Selain itu,
pertanyaan tersebut menekankan jenis kelamin peserta, yang mungkin dianggap luar biasa
(dan dalam beberapa kasus, mungkin disengaja). Oleh karena itu, pertanyaan yang lebih
netral seperti 'Apa pengalaman terkait pekerjaan ini?' dapat digunakan.

I. Pertanyaan Langsung dan Tidak Langsung


Umumnya, pertanyaan langsung cenderung menghasilkan lebih banyak informasi
dibandingkan pertanyaan tidak langsung. Walaupun demikian, bijaksana untuk tidak
mengajukan pertanyaan yang terlalu jelas dan langsung jika ada kekhawatiran bahwa
peserta mungkin merasa tersinggung, terluka, atau malu dengan pertanyaan tersebut. Salah
satu strateginya adalah dengan menggunakan serangkaian pertanyaan terkait yang
mendekati isu yang ingin dibahas. Selain itu, meminta peserta untuk berspekulasi mengenai
bagaimana orang lain yang menghadapi situasi serupa memng masalah tersebut, kemudian
secara bertahap beralih ke pngan mereka sendiri tentang hal tersebut. Sebagai contoh, isu
seputar gender seringkali menjadi topik yang sensitif dalam penelitian bisnis. Misalkan
berencana untuk mewawancarai anggota dewan perempuan mengenai pengalaman mereka,
dan ingin menjadikan gender sebagai fokus utama dalam penelitian ..

J. Pertanyaan Primer dan Sekunder


Ketika menawarkan pertanyaan kepada peserta dan menerima tanggapan, seringkali
lebih efektif untuk melanjutkan diskusi dan mengembangkan rincian respons mereka, alih-
alih segera beralih ke pertanyaan berikutnya. Adalah bijaksana untuk mencoba menyelami
setiap pertanyaan dan tanggapan sejauh mungkin dengan bertanya, misalnya, 'Bisakah
Anda ceritakan lebih detail tentang itu?' atau 'Apa yang Anda maksud ketika
mengatakan...?' Selama wawancara, penting juga untuk menyajikan pertanyaan reflektif
yang memberikan kesempatan untuk memeriksa pemahaman tentang respons tertentu, atau
memberikan ruang kepada peserta untuk menambah atau mengoreksi beberapa rincian.
Pada akhir wawancara, praktik yang umum adalah mengajukan beberapa pertanyaan
klarifikasi untuk memastikan bahwa tidak ada masalah lain yang ingin dibahas oleh peserta,
contohnya, 'Dapatkah Anda memikirkan hal lain yang menjadi penting bagi Anda ketika
mempertimbangkan hubungan dengan pelanggan?'.

- Merekam dan Menyalin Wawancara


Ada beberapa metode untuk merekam wawancara, termasuk membuat catatan secara
langsung, menulis catatan setelahnya, dan menggunakan tape recorder. Merekam
wawancara dapat bermanfaat jika Anda ingin menganalisis interaksi antara pewawancara
dan peserta. Menulis catatan secara langsung di lokasi dapat mengganggu proses
wawancara, sementara catatan yang ditulis setelahnya dapat kehilangan detail. Dalam
situasi di mana topik wawancara sangat sensitif, seperti perasaan negatif terhadap rekan
kerja atau keberhasilan keputusan strategis, peserta penelitian mungkin lebih memilih
untuk membuat catatan daripada merekam audio atau video. Namun, dalam banyak kasus,
peserta setuju untuk merekam wawancara. Saat melakukan ini, penting untuk
menggunakan peralatan yang telah dipelajari dan diuji sebelumnya.
Mentranskripsikan rekaman wawancara membutuhkan waktu yang cukup lama, namun
ini adalah cara yang sangat baik untuk membiasakan diri dengan wawancara tersebut. Anda
juga dapat meminta seorang profesional untuk melakukan transkripsi. Dalam keduanya
kasus tersebut, Anda harus memutuskan metode transkripsi yang sesuai, tergantung pada
pertanyaan penelitian dan jenis analisis yang ingin Anda lakukan. Dalam studi bisnis,
seringkali cukup memiliki transkripsi yang mencakup semua kata yang diucapkan dan
mungkin jeda. Namun, untuk analisis wacana dan khususnya analisis percakapan, hal ini
mungkin tidak mencukupi. Anda dapat menemukan panduan rinci tentang cara menyalin
kaset untuk tujuan ini di literatur metodologi seperti buku karya Silverman (2001: 163-166).

- Catatan Percakapan Yang Naturalistik


Wawancara kualitatif selalu dipengaruhi oleh peneliti dan tidak memberikan
pembicaraan yang sepenuhnya 'naturalistik' (Silverman, 2001: 159). Untuk beberapa
proyek penelitian, lebih baik menggunakan rekaman percakapan naturalistik jika tersedia.
Dalam riset bisnis, rekaman naturalistik bisa berupa audio atau video percakapan sehari-
hari di lingkungan kerja dan konsumsi organisasi (contohnya, pertemuan formal dan
informal, negosiasi bisnis, wawancara perekrutan, panggilan telepon pelanggan, dan
pertemuan pembeli-penjual). 'Naturalistik' di sini berarti percakapan berlangsung tanpa
campur tangan peneliti.
Menggunakan rekaman percakapan naturalistik memiliki beberapa keuntungan bagi
peneliti bisnis. Pencari tidak bisa mengarahkan percakapan sesuai dengan agenda riset
bisnis mereka, dan ini juga menghindari kognitivisme, yang menyoroti apa yang ada di
dalam pikiran peserta. Dengan catatan naturalistik, peserta tidak perlu memberikan
penjelasan konseptual abstrak tentang topik seperti praktik kerja, proses manajemen,
preferensi konsumsi, atau aspek bisnis lainnya. Catatan naturalistik juga mengatasi
kompleksitas interaksi antara pewawancara dan yang diwawancarai yang dapat
memengaruhi jenis materi empiris yang diperoleh. Selain itu, catatan ini menghindari
masalah ingatan, perhatian, dan persepsi yang sering terjadi dalam cerita peserta saat
wawancara.

K. Melakukan Observasi
Observasi adalah cara mengumpulkan data secara langsung menggunakan manusia,
mekanik, listrik, atau perangkat elektronik. Penelitian dapat melibatkan atau tidak langsung
berinteraksi dengan orang-orang yang diamati. Teknik observasi merupakan bagian dari
pendekatan penelitian baik kualitatif maupun kuantitatif (Spradley, 1980; Gubrium dan
Holstein, 1997; DeWalt dan DeWalt, 2002). Metode observasi dapat diidentifikasi dan
dijelaskan melalui empat dimensi. Observasi dapat dilakukan oleh peserta atau non-peserta,
tergantung apakah peneliti aktif dalam situasi yang diamati atau tidak. Juga, observasi bisa
terlihat atau tidak terlihat, bergantung pada apakah partisipan penelitian mengetahui bahwa
mereka sedang diamati atau tidak. Pengamatan dapat dilakukan dalam lingkungan alami
atau diciptakan, bergantung pada apakah tindakan diamati terjadi di tempat yang alami atau
dalam suasananya diciptakan. Selain itu, observasi bisa terstruktur atau tidak terstruktur,
tergantung pada apakah ada daftar periksa yang menentukan hal apa yang diamati atau tidak.

- Observasi Partisipan
Observasi partisipatif merupakan metode yang sangat menuntut untuk mengumpulkan
data empiris, sering digunakan dalam penelitian etnografi. Dalam metode ini, peneliti
secara aktif terlibat sebagai peserta dalam budaya atau konteks yang diamati. Literatur
tentang observasi partisipatif membahas cara masuk ke dalam konteks, peran peneliti
sebagai peserta, pengumpulan dan penyimpanan catatan lapangan, serta analisis data
lapangan. Observasi partisipatif seringkali memakan waktu berminggu-minggu, berbulan-
bulan, atau bahkan bekerja secara intensif selama bertahun-tahun karena peneliti perlu
diterima sebagai bagian dari budaya untuk memastikan bahwa pengamatannya
mencerminkan fenomena yang alami.

- Observasi Non-Partisipan
Seorang pengamat non-peserta tidak mencoba menjadi bagian dari budaya yang mereka
amati; sebaliknya, mereka berusaha untuk tidak mengganggu. Dalam observasi langsung,
peneliti hanya mengamati tanpa ikut serta; oleh karena itu, teknologi dapat digunakan untuk
merekam tindakan atau peristiwa. Observasi langsung lebih fokus pada situasi atau orang
tertentu, seperti rapat atau manajer dan karyawan, tanpa mencoba meresapi konteksnya.
Biasanya, observasi langsung memerlukan waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan
observasi partisipan.

- Keuntungan dan Keterbatasan Observasi


Observasi memiliki keunggulan dalam mencatat tindakan yang terjadi, berbeda dengan
orang yang hanya mendeskripsikan atau merencanakan apa yang akan mereka katakan atau
lakukan. Terutama saat aktivitas atau tindakan yang diteliti dipengaruhi oleh tekanan sosial,
seperti memberikan umpan balik positif kepada karyawan, observasi dapat memberikan
wawasan luas tentang bagaimana hal itu sebenarnya terjadi.
Di sisi lain, observasi tidak memberikan pemahaman tentang alasan di balik tindakan
seseorang. Untuk informasi tersebut, kita perlu bertanya kepada orang tersebut. Namun,
ada masalah etika yang muncul ketika orang diamati, terutama jika teknologi canggih
seperti kamera dan mikrofon tersembunyi digunakan tanpa pengetahuan mereka. Ini dapat
dianggap melanggar privasi dan etika, terutama jika data yang dikumpulkan tanpa
sepengetahuan mereka digunakan untuk pengambilan keputusan yang dapat memengaruhi
mereka.

L. Data Tekstual
Menurut Atkinson dan Coffey (1997), kehidupan sosial kita sebagian besar dipengaruhi
oleh teks tertulis. Tanpa undang-undang tertulis, masyarakat tidak dapat berfungsi, sistem
keuangan memerlukan peraturan tertulis, dan sistem pendidikan memerlukan buku. Oleh
karena itu, berbagai jenis teks menyediakan data penelitian yang sangat relevan. Dalam
konteks penelitian, bahan tekstual mencakup data yang dikumpulkan untuk proyek
penelitian (seperti transkripsi wawancara, cerita, dan lelucon dalam bentuk tertulis) serta
teks yang sudah ada sebelum proyek penelitian (seperti laporan tahunan, teks media).
Data yang dikumpulkan secara langsung disebut data primer, sementara data yang
sudah ada disebut data sekunder. Data sekunder sering memberikan peluang yang baik
untuk penelitian bisnis kualitatif. Misalnya, dalam penelitian akuntansi dan organisasi yang
berfokus pada studi kasus, teks yang telah diterbitkan dianggap sebagai 'artefak'. Teks ini
mencakup dokumen seperti laporan formal, notulen rapat, catatan informal, catatan pribadi,
dan memo.

- Teks Sebagai Representasi Realitas


Konsep data tekstual merujuk pada semua materi empiris yang ada dalam bentuk teks,
baik yang ditulis maupun dihasilkan dari transkripsi ucapan. Dalam penelitian bisnis
kualitatif, kegunaan dan relevansi data tekstual tradisionalnya berdasarkan pada prinsip
transparansi, di mana teks dianggap merepresentasikan dengan jelas apa yang sedang
dipelajari. Dengan kata lain, teks dianggap sebagai objek analisis yang sesuai karena kita
meyakini kemampuannya untuk memberikan informasi tentang orang dan isu yang
diwakilinya.

- Pandangan Poststrukturalis Terhadap Teks


Poststrukturalisme menyediakan cara lain untuk memahami teks dengan menganggap
semua tindakan manusia sebagai teks. Artinya, wawancara, ketika diubah menjadi teks,
menjadi artefak independen dari individu yang diwawancarai dan latar belakang mereka.
Pendekatan ini memiliki perbedaan yang mencolok dari sudut pandang positivis dan realis
yang umumnya mengenai teks dan perannya dalam penelitian.
Proses produksi suatu teks dapat menjadi bagian relevan dari penelitian. Namun,
seringkali bermanfaat untuk memandang teks dengan pendekatan poststrukturalis dan
memperlakukannya terpisah dari orang yang menulisnya atau diwawancarai. Melakukan
ini memungkinkan kita lebih fokus pada bentuk, struktur, dan makna yang terdapat dalam
teks, daripada pada individu yang memproduksi teks tersebut. Pendekatan ini membantu
kita menghindari kesalahan mengatribusikan maksud secara berlebihan kepada orang yang
menulis atau diwawancarai, dan mengalihkan fokus kepada teks itu sendiri, baik yang
tertulis maupun lisan.

- Cara Membuat Analisis Tekstual


Secara umum, terdapat berbagai variasi dan metode analisis tekstual yang sangat
beragam, sebagaimana dijelaskan di Bagian 2 buku ini. Metode analisis khususnya
mencakup berbagai pendekatan, mulai dari analisis isi hingga analisis percakapan, dan dari
analisis naratif hingga analisis wacana (Bab 14 dan 15). Meskipun analisis isi lebih fokus
pada konten dan frekuensi dalam teks, seperti jumlah kata dan ungkapan, analisis
percakapan, naratif, dan wacana lebih menekankan bentuk, struktur, dan makna teks.
Pertimbangan tentang metode yang sesuai dapat dipandu oleh pertanyaan penelitian.
Apakah pertanyaan penelitian memerlukan metode analisis yang rinci dan canggih? Jika
data kualitatif melengkapi data kuantitatif dalam penelitian, pendekatan informal mungkin
menjadi pilihan metode yang paling tepat (Peräkylä, 2005: 870).
Johnson dan Duberley (2000: 59) mengidentifikasi tiga pendekatan analisis tekstual,
yaitu pendekatan positivis, linguistik, dan interpretatif. Dalam pendekatan positivis,
fokusnya adalah pada hakikat teks dan penelitian bertujuan mengidentifikasi variasi non-
acak dalam materi. Peran peneliti adalah sebagai pihak luar. Dalam pendekatan linguistik,
teks dianggap sebagai manifestasi, dan peneliti juga berperan sebagai pihak luar.
Pendekatan ini berbeda dengan positivis karena mencari hubungan antara bahasa dan
realitas, yaitu bagaimana bahasa menciptakan realitas. Sedangkan dalam pendekatan
interpretatif, teks dianggap subjektif, peneliti berperan sebagai orang dalam, dan metode
penelitian menekankan pengaruh budaya teks.

M. Materi Visual
Dalam penelitian, materi visual merujuk pada data yang tidak berbentuk tulisan atau
lisan konvensional. Ini mencakup gambar, video, gambar bergerak, gambar di situs web,
ilustrasi dalam buku, iklan, CD-ROM, format digital dua atau tiga dimensi, dan lainnya.
Sebagai contoh relevansi materi visual, pikirkan bagaimana foto dapat menyampaikan
banyak interpretasi dalam penelitian. Oleh karena itu, pepatah lama "satu foto bernilai
seribu kata" sangat relevan, terutama dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian sejarah
budaya dan seni, gambar dan lukisan sering digunakan sebagai sumber informasi. Mereka
memberikan bukti mengenai sejarah mikro, kebiasaan lokal, pakaian, rumah, dan isu-isu
serupa. Namun, penggunaan materi visual dalam ilmu sosial masih terbatas, terutama
secara sistematis.

- Dua Cara Menggunakan Materi Visual


Materi visual dapat digunakan dalam dua proyek penelitian kualitatif utama. Pertama,
data tersebut dapat dianggap sebagai data empiris dan dianalisis seperti halnya data
kualitatif lainnya, seperti wawancara dan dokumen. Sebagai contoh, analisis konten dapat
digunakan untuk menyelidiki gambar, seperti yang dilakukan oleh analis percakapan yang
menggunakan materi foto dan video dalam penelitian mereka (Heath dan Hindmarsh, 2002).
Kedua, materi visual dapat digunakan untuk menganalisis makna budaya visual dalam
masyarakat kita, yang sering disebut sebagai 'studi budaya' atau 'studi budaya berorientasi
visual'. Sebagai contoh, semiotika, khususnya studi konsumen yang terinspirasi semiotik,
menggunakan foto untuk tujuan ini. Dalam hal ini, penting untuk memahami latar sosial
dan budaya materi visual serta mempelajari cara analisis gambar visual dalam semiotika
dan strukturalisme, seperti yang dijelaskan oleh Grimshaw (2001) dan Frost (2003).

- Potensi dan Penggunaan Materi Visual Dalam Riset Bisnis


Dalam bidang antropologi, foto dan gambar lingkungan sosial dan budaya sering
digunakan sebagai bagian penting dari penelitian. Mereka dapat menjadi bagian dari
budaya yang dijelaskan atau menjadi bahan penelitian itu sendiri. Sebagai contoh, analisis
gambar media, iklan, dan visual dalam iklan lowongan kerja serta iklan tahunan dapat
memiliki peran sentral dalam penelitian bisnis, memberikan wawasan baru mengenai
perekonomian, kehidupan bisnis, dan budaya konsumen. Mempelajari lingkungan visual
kantor pusat perusahaan atau makna simbolik yang dihasilkan oleh desain produk
konsumen papan atas adalah contoh bagaimana materi visual dapat memberikan perspektif
segar dan menarik untuk penelitian.
Bidang penelitian bisnis yang sama menariknya adalah analisis ruang dan tempat yang
mencerminkan nilai-nilai budaya dan asumsi bersama, nilai-nilai komersial, dan
pengetahuan industri yang tidak terucapkan. Peneliti bisnis dapat menggunakan materi
visual dengan berbagai cara, tergantung pada tujuan dan pertanyaan penelitian. Misalnya,
mereka dapat menggunakannya sebagai data utama atau pendukung, mendorong jenis
analisis yang berbeda. Penggunaan materi visual sebagai data tambahan atau bahan untuk
penelitian bisnis yang berfokus pada budaya merupakan bidang yang menarik untuk
ditelusuri. Bahkan, telah dikembangkan perangkat lunak khusus untuk transkripsi,
pengelolaan, dan analisis materi video.

- Menganalisis Materi Visual


Pertanyaan tentang cara memahami materi visual erat kaitannya dengan cara
menganalisisnya. Sudah diakui secara luas bahwa pembuatan makna visual berbeda dengan
pembuatan makna dalam bahasa (Hooper-Greenhill, 2000; Belova, 2006). Menganalisis
data visual bisa menjadi tantangan kompleks, dan menghubungkan analisis visual dan
tekstual dapat menjadi lebih rumit. Sama seperti teks, data visual sering kali dianggap
sebagai representasi langsung dari realitas dan dianalisis sebagai bahan testimonial yang
benar dan objektif.
Namun, foto, sebagai contoh, menciptakan kebenaran dan konstruksi kebenaran secara
bersamaan. Mereka memberikan bukti nyata tentang situasi tertentu, tetapi pada saat yang
sama membangun realitas melalui keputusan fotografer, seperti kapan mengambil gambar,
siapa yang disertakan, dan sebagainya. Oleh karena itu, materi visual, seperti foto, dapat
dianalisis dari dua perspektif, baik secara kualitatif maupun kuantitatif (seperti yang
dilakukan oleh Harper, 2005).

ARTIKEL
PHOTOGRAPHS DEPICTING CSR: CAPTURED REALITY
OR CREATIVE ILLUSION?
A. INTRODUCTION
Laporan akuntansi menggunakan sarana komunikasi umum yang luas. Penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa foto telah menjadi elemen penting dalam laporan tahunan
karena kekayaan dan daya tariknya. Foto bukan hanya untuk menciptakan representasi
yang mengungkapkan pengalaman dan gagasan dengan cara yang tidak dapat diungkapkan
secara tertulis, tetapi juga memiliki kekuatan untuk memengaruhi emosi para pemangku
kepentingan. Menurut Peeples, isu-isu CSR yang tidak terlihat dapat diwakili dan
diungkapkan melalui foto, yang mungkin menimbulkan interpretasi dan manipulasi. Oleh
karena itu, foto bisa digunakan dengan sengaja untuk tujuan retoris dan manajemen kesan.
Kurangnya peraturan dan pedoman pelaporan dapat menjadi masalah, memungkinkan
perusahaan untuk selektif dalam cara dan konten pengungkapan kinerja CSR dalam laporan
tahunan. Dengan menggunakan konstruksi teoritis manajemen kesan, penelitian ini
mengidentifikasi motif di balik penggunaan foto yang menggambarkan kegiatan CSR dan
pesan yang ingin dikomunikasikan.

B. LITERATURE REVIEW
Laporan tahunan perusahaan adalah dokumen komunikasi yang kompleks,
menggabungkan angka, kata, dan gambar visual. Dalam konteks gambar visual, foto
menjadi elemen paling umum dan memainkan peran penting dalam menyampaikan
informasi kepada para pemangku kepentingan. Laporan tahunan semakin berkembang
menjadi dokumen berwarna dengan foto menarik, mungkin bertujuan untuk membentuk
citra yang diinginkan dan melegitimasi kinerja perusahaan. Hopwood memperingatkan
tentang risiko berkurangnya transparansi melalui penggunaan foto dalam konteks ini.
Seiring dengan peningkatan foto yang menggambarkan kegiatan Corporate Social
Responsibility (CSR) dalam laporan tahunan, terdapat potensi penyalahgunaan untuk
membangun laporan CSR yang terlihat kredibel tanpa mencerminkan tindakan CSR yang
sebenarnya. Fenomena ini mirip dengan "greenwashing", di mana pengungkapan CSR
positif dipilih secara selektif untuk mempengaruhi persepsi pemangku kepentingan atau
mengalihkan perhatian dari isu-isu negatif. Penyertaan foto-foto CSR dalam pelaporan
dapat meningkatkan visibilitas perusahaan sebagai entitas yang bertanggung jawab, karena
foto berperan sebagai alat persuasi.
Keberagaman pandangan muncul sehubungan dengan pengaruh retoris pengungkapan
CSR melalui foto. Milne dan Patten menemukan bahwa perusahaan sering menggunakan
strategi legitimasi simbolis dalam pelaporan CSR, menghasilkan pengungkapan yang
menciptakan kesan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang mungkin tidak sesuai
dengan realitas. Ini dikuatkan oleh Hrasky, yang menyatakan bahwa perusahaan yang
mengadopsi pendekatan simbolik cenderung menyajikan informasi CSR positif sesuai
dengan harapan pemangku kepentingan. Gambar fotografi simbolik, seperti yang diamati
oleh Zarzycka dan Kleppe, termasuk gambar anak-anak dan keluarga, dapat digunakan
untuk memperkuat naratif CSR perusahaan.

C. FINDING AND DISCUSSION


• LUAS PENGGUNAAN DAN TEMA UTAMA YANG TERKAIT DENGAN
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN FOTO
Sebanyak 18 persen dari total foto dalam laporan tahunan pada tahun 2005 berkaitan
dengan Corporate Social Responsibility (CSR), dan angka ini meningkat menjadi 23 persen
pada tahun 2015. Kenaikan jumlah foto terkait CSR melebihi peningkatan jumlah foto
keseluruhan dalam laporan tahunan pada tahun yang sama. Pada tahun 2015, foto-foto ini
mencakup 64 persen dari total foto CSR, menunjukkan fokus utama perusahaan-
perusahaan Selandia Baru pada bidang tanggung jawab produk GRI. Gambar-gambar yang
menyoroti tanggung jawab produk, seperti proses produksi yang canggih dan higienis,
mencerminkan komitmen perusahaan terhadap praktik produksi yang sehat dan aman bagi
pelanggan.
Perusahaan-perusahaan dalam industri yang dianggap "sensitif" terhadap lingkungan
dan ketenagakerjaan menampilkan persentase foto yang lebih tinggi dalam kategori
tersebut, dibandingkan dengan perusahaan dari industri "kurang sensitif". Mengingat risiko
lingkungan yang lebih tinggi dalam operasi bisnis mereka, perusahaan-perusahaan
"sensitif" mungkin menggunakan gambar fotografi sebagai strategi manajemen kesan
untuk membujuk pemangku kepentingan tentang komitmen mereka terhadap isu-isu
lingkungan dan ketenagakerjaan.
• FOTO TERKAIT TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DAN “PESAN”
YANG DIMAKSUDKAN
Tabel V mengelompokkan foto menjadi "spesifik" dan "non-spesifik" sebagaimana
yang dijelaskan oleh Hrasky. Foto-foto yang terkait dengan Corporate Social Responsibility
(CSR) dalam laporan tahunan 2005, 2010, dan 2015 cenderung berada di kategori
"spesifik", khususnya menonjolkan tanggung jawab produk dan praktik ketenagakerjaan.
Perusahaan-perusahaan dalam sektor "sensitif" seperti pertanian, perikanan, energi, dan
transportasi lebih sering menggunakan foto "spesifik" terkait praktik ketenagakerjaan.
Gambar 10 memberikan contoh-contoh foto tersebut, yang secara dominan
mencerminkan tema kesehatan dan keselamatan kerja, dengan gambaran karyawan yang
bekerja di lingkungan kerja yang aman. Pada laporan tahun 2015, sekitar 69 persen dari
foto "non-spesifik" berkaitan dengan wilayah masyarakat, yang lebih sering digunakan
untuk manajemen impresi. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa perusahaan-
perusahaan konsumen, transportasi, dan energi lebih cenderung menggunakan foto-foto
"non-spesifik" yang menampilkan gambar anak-anak dan keluarga, strategis ditempatkan
untuk memperkuat klaim CSR yang positif.

D. SUMMARY AND CONCLUSION


Studi ini menyelidiki cara perusahaan di NZX menggunakan foto dalam laporan
tahunan mereka untuk mengkomunikasikan Corporate Social Responsibility (CSR).
Hasilnya menunjukkan peningkatan penggunaan foto, menunjukkan pemahaman
perusahaan tentang makna dan daya komunikatif foto sebagai media visual CSR. Fokus
utama pengungkapan ada pada tanggung jawab produk, sementara kinerja lingkungan
kurang ditekankan. Foto-foto dengan konten "spesifik" cenderung mengekspresikan
kebahagiaan, memanfaatkan daya tarik emosional untuk membangun hubungan dengan
para pemangku kepentingan melalui pesan promosi diri yang terkandung di dalamnya.
Foto-foto tanpa spesifik terkait CSR menunjukkan peningkatan penggunaan gambar
anak-anak dan keluarga, secara simbolis menggambarkan perusahaan sebagai warga
perusahaan yang peduli dan bertanggung jawab. Penelitian ini memberikan kontribusi pada
literatur pengungkapan visual dan menyajikan pendekatan terstruktur untuk
mengkategorikan dan menganalisis penggunaan foto dalam berbagai situasi. Temuan ini
dapat membantu regulator, penyedia, dan pengguna informasi CSR dalam merumuskan
pedoman masa depan untuk pelaporan CSR, mendorong perusahaan untuk menggunakan
gambar foto CSR yang mencerminkan realitas daripada retorika visual dan pencucian hijau.
Meski demikian, studi ini memiliki keterbatasan, seperti kesulitan memisahkan makna dari
foto dan kekhususan untuk konteks Selandia Baru. Penelitian berikutnya bisa
mengeksplorasi media perusahaan lain, pengungkapan Global Reporting Initiative (GRI),
dan evaluasi lebih lanjut terhadap kualitas penggunaan foto dalam CSR.

Anda mungkin juga menyukai