Anda di halaman 1dari 93

MUSFIRAH,SKM.M.

Kes

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT
TIDAK MENULAR
KATA PENGANTAR

Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti kardiovaskuler, Stroke, diabetes


millitus, penyakit paru obstruktif dan kanker tertentu dalam kesehatan masyarakat
sebenarnya dapat digolongkan sebagai satu kelompok PTM utama yang mempunyai
faktor risiko yang sama (common underlyng risk factor). Faktor risiko tersebut antara
lain komsumsi rokok,pola makanyang tidak seimbang, makanan yang mengandung zat
adiktif, kurang berolah raga dan kondisi lingkungan yang tidak kondusif terhadap
kesehatan.
Peningkatan PTM berdampak Penyakit Tidak Menular (PTM) adalah
penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Keadaan dimana penyakit menular masih
merupakan masalah kesehatan penting dan dalam waktu bersamaan morbiditasdan
mortalitasPTM semakin meningkat. Hal ini menjadi tantangan yang harus dhadapi
dalam pembangunan bidang kesehatan di Indonesia.
Penyakit Tidak negatif pada ekonomi dan produktivitas bangsa. Pengobatan
PTM seringkali memakan waktu lama dan memerlukan biaya besar. Beberapa jenis
PTM adalah penyakit kronik atau katastropik yang dapat mengganggu ekonomi
penderita dan keluarganya. Selain itu, salah satu dampak PTM adalah terjadinya
kecacatan termasuk kecacatan permanen.
Data Riskesdas tahun 2018 menunjukkan peningkatan obesitas dari Riskesdas
tahun 2013. Jika di tahun 2013 angkanya hanya 14,8 persen, saat ini naik menjadi 21,8
persen. Sementara itu, berdasarkan pemeriksaan gula darah, diabetes melitus naik dari
dari 6,9 persen menjadi 8,5 persen. Hasil pengukuran tekanan darah juga menunjukkan
bahwa hipertensi naik dari 25,8 persen menjadi 34,1 persen. Angka tersebut
berbanding lurus dengan prevalensi gaya hidup yang terkait dengan masalah
kesehatan. Misalnya, jumlah remaja di usia 10 hingga 18 tahun meningkat dari 7,2
persen di 2013 menjadi 9,1 persen di tahun 2018. Selain itu, konsumsi alkohol juga
naik 0,3 persen dari 2013 yaitu 3,3 persen. Bahkan, proporsi aktivitas fisik kurang juga
naik dari 26,1 persen menjadi 33,5 persen.
Pemerintah fokus melakukan berbagai macam hal untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat terhadap kesehatan. Hal ini dilakukan melalui promosi secara
preventif tentang gerakan masyarakat (GERMAS) hingga melaksanakan pergerakan
preventif secara umum, terutama dalam pengendalian komsumsi tembakau. Selain itu
juga melakukan berbagai program yang berkaitan untuk mengurangi polusi dan juga
skrining deteksidini terhadap berbagai gejala penyakit termasuk penyakit-penyakit
PTM.
Upaya pengendalian PTM tidak akan berhasil jika hanya dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan tanpa dukungan seluruh jajaran lintas sektor Pemerintah,
Swasta, Organisasi Profesi, Organisasi Kemasyarakatan dan seluruh lapisan
masyarakat. Dunia akademisi, terutama para mahasiswa kesehatan masyarakat harus
mengenal masalah PTM dan mengenal apa saja PTM utama baik global maupun di
Indonesia
Buku ajar ini dimaksudkan untuk menjadi bahan referensi bagi mahasiswa
kesehatan masyarakat secara khusus, dan seluruh mahasiswa di bidang kesehatan
secara umum. Buku ajar ini dirancang untuk memperkenalkan masalah yang timbul
akibat perkembangan epidemiologi penyakit tidak menular serta bagaimana cara
pencegahannya.
Makassar, 23 Juli 2020

Musfirah
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN - 1
BAB II PENDEKATAN EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK
MENULAR - 5
A. Penelitian Epidemiologi untuk PTM - 5
B. Ukuran Frekuensi Penyakit - 9
BAB III FAKTOR RISIKO PENYAKIT TIDAK MENULAR - 10
A. Faktor risiko - 10
B. Macam- macam risiko - 10
C. Kegunaan indentifikasi faktor risiko - 11
D. Kriteria faktor risiko - 12
E. Contoh faktor risiko - 12
F. Menentukan besar faktor risiko - 13
G. Pencegahan PTM - 14
BAB IV EPIDEMIOLOGI PENYAKIT JANTUNG - 16
A. Pendahuluan - 16
B. Pengertian gagal jantung - 16
C. Etiologi - 17
D. Faktor risiko - 18
E. Patofisiologi - 19
F. Diagnosis - 20
BAB V EPIDEMIOLOGI PENYAKIT KANKER SERVIKS - 24
A. Pengertian kanker serviks - 24
B. Etiologi - 24
C. Faktor risiko - 24
D. Patofisologi - 27
E. Diagnosa - 28
F. Komplikasi - 28
G. Penatalaksanaan - 30
H. Pencegahan - 30
BAB VI EPIDEMIOLOGI PENYAKIT KATARAK - 32
A. Pengertian katarak - 32
B. Etiologi - 33
C. Faktor risiko - 34
D. Patofisologi - 36
E. Diagnosa - 36
F. Komplikasi - 36
G. Penatalaksanaan - 38
H. Pencegahan - 38
BAB VII EPIDEMIOLOGI HIPERTENSI - 40
A. Pengertian hipertensi - 40
B. Etiologi - 40
C. Faktor risiko - 41
D. Patofisologi - 41
E. Diagnosa - 43
F. Komplikasi - 44
G. Penatalaksanaan - 44
H. Pencegahan - 46
BAB VIII EPIDEMIOLOGI PENYAKIT OBESITAS - 47
A. Pengertian obesitas - 47
B. Etiologi - 48
C. Faktor risiko - 51
D. Komplikasi - 52
E. Penatalaksanaan - 53
F. Pencegahan - 55
BAB IX EPIDEMIOLOGI PENYAKIT GAGAL GINJAL - 57
A. Pengertian gagal ginjal - 57
B. Etiologi - 57
C. Faktor risiko - 58
D. Patofisiologi - 58
E. Diagnosa - 59
F. Komplikasi - 61
G. Penatalaksanaan - 63
H. Pencegahan - 66
BAB X EPIDEMIOLOGI PENYAKIT DIABETES MILITUS - 68
A. Pengertian DM - 68
B. Jenis - 68
C. Gejala - 69
D. Faktor Risiko - 70
E. Diagnosis - 71
F. Komplikasi - 73
G. Pencegahan - 74
BAB XI EPIDEMIOLOGI PENYAKIT REMATIK - 75
A. Pengertian Rematik - 75
B. Etiologi - 77
C. Faktor risiko - 77
D. Patofisiologi - 79
E. Diagnosis - 80
F. Komplikasi - 82
G. Pencegahan - 82
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Batasan atau Pengertian Penyakit Tidak Menular


Penyakit Tidak Menular (PTM) adalah penyakit yang dianggap tidak dapat
ditularkan atau disebarkan dari seseorang kepada orang lain, sehingga bukan bukan
merupakan ancaman bagi orang lain. PTM biasanya juga dikenal sebagai penyakit
kronis. PTM merupakan ancaman terbsear di negara berkembang maupun di negara
maju. Berdasarkan laporan dari WHO mengenai PTM di ASIA Tenggara terdapat
lima tingkat Penyakit Tidak Menular dengan tingkt kesakitan dan kematian yang
sangat tinggi, seperti penyakit jantung (Kardiovaskuler), DM,Kanker, penyakit
pernafasan Obstruksi kronik dan penyakit karena kecelakaaan. Kebanyakan
Penyakit Tidak Menular merupakan penyakit degeneratif dan memilik prevalensi
yang tinggi pada orang berusia lanjut.
Menurut Badan Kesehatan Dunia WHO, kematian akibat Penyakit Tidak
Menular (PTM) diperkirakan akan terus meningkat di seluruh dunia, peningkatan
terbesar akan terjadi di negara- negara menengah dan miskin. Lebih dari dua pertiga
(70%) dari populasi global akan meninggal akibat penyakit tidak menular seperti
kanker, penyakit jantung, stroke dan diabetes. Dalam jumlah total, pada tahun 2030
diprediksi akan ada 52 juta jiwa kematian per tahun karena penyakit tidak menular,
naik 9 juta jiwa dari 38 juta jiwa pada saat ini. Di sisi lain, kematian akibat penyakit
menular seperti malaria, TBC atau penyakit infeksi lainnya akan menurun, dari 18
juta jiwa saat ini menjadi 16,5 juta jiwa pada tahun 2030.
Istilah Penyakit Tidak Menular mempunyai kesamaan arti dengan :
1. Penyakit Kronik
Penyakit Kronik dapat dipakai untuk PTM yang biasanya bersifat kronik
(Menahun) butuh waktu yang lama namun ada juga penyakit menular

BAB I Pendahuluan | 1
yang berlangsung secara mendadak seperti keracunan.
2. Penyakit Non- infeksi
Disebut dengan Penyakit Non- infeksi karena penyebab PTM biasanya
bukan oleh mikro-organisme, namun bukan berarti tidak ada peran
mikro-organisme dalam terjadinya PTM.
3. New communicable disease
New comunicable disease karena penyakit ini dianggap dapat menular
melalui gaya hidup (life style) gaya hidup dalam dunia modern dapat
menular dengan gayanya sendiri. Gaya hidup didalamnya menyangkut
pola makan, kehidupan seksual dan komunikasi global. Contoh
perubahan pada pola makan telah mendorong perubahan peningkatan
penyakit jantung yang banyak mengandung kolesterol.
4. Penyakit degeneratif
PTM disebut sebaga penyakit degeneratif karena kejadiannya
bersankutan dengan proses degenerasi atau ketuaan sehingga PTM
banyak ditemukan pada usia lanjut berdasarkan waktu/umur
B. Karakteristik Penyakit Tidak Menular.
Penyakit Tidak Menular memilik karakteristik sebagai berikut:
a. Penularan penyakit tidak melalui suatu rantai penularan tertentu
b. Masa inkubasi yang panjang
c. Perlangsungan penyakit yang berlarut-larut (kronik)
d. Banyak menghadapi kesulitan diagnosis
e. Mempunyai Variasi yang luas
f. Memerlukan biaya yang tinggi dalam upaya pencegahan maupun
penanggulangannya.
g. Faktor penyebabnya multikausal, bahkan tidak jelas. Contoh penyakit
tidak menular penyakit jantung

BAB I Pendahuluan | 2
Sekedar membandingkan PTM dengan penyakit menular, dapat di lihat sebagai
berikut:
Penyakit menular Penyakit Tidak Menular
1) Banyak di temui di Negara Di temui di Negara Industri
berkembang Rantai penulaan tidak
jelas
2) Rantai penularan yang jelas
Perlangsungan Kronis
3) Perlangsungan akut Etiologi tidak jelas
4) Etiologi mikroorganisme jelas Bersifat Multiple-kausa
5) Bersifat single-kausa Diagnosisi mudah
Sulit mencari penyebabnya
6) Diagnosisi mudah Biaya mahal
7) Agak mudah mencari Ada iceberg phenomen
Morbiditas dan
penyebabnya mortalitasnya cenderung
8) Biaya relative murah meningkat

9) Jelas muncul di permukaan


10) Morbiditasdan mortalitasnya
cenderung menurun

Perbedaan PTM ini dengan penyakit menular memerlukan pendekatan


epidemiologi tersendiri , mulai dari penentuannya sebagau masalah
kesehatan masyarakat sampai pada usaha pencegahan dan
penanggulangannya.
Sebagai contoh observasi PTM di lapangan mempelajari PTM yang
berlangsung kronik, masa laten yang panjang, mempunyai beberapa
kesulitan dengan hanya melakukan pengamatan . observasional yang
berdasarkan pengalaman pribadi dari anggota masyrakat saja ,jika observasi
itu ditujukan untuk menentukan hubungan antara keterpaparan dengan
terjadinya penyakit maka beberapa kesulitan dapat di hadapi. Situasi-situasi
dimana pengamatan perorangan di anggap kurang cukup untuk menetapkan

BAB I Pendahuluan | 3
hubungan antar papapran dengan penyakit dapat di sebabkan oleh factor-
faktor brikut (Fletcher 129):
1. Masa laten yang panjang antara eksposure dengan
penyakit.
2. Frekuensi paparan fakor resiko yang tidak teratur.
3. Insiden penyakit yang rendah
4. Resiko paparan yang kecil
5. Penyebab penyakit yang multikompleks

BAB I Pendahuluan | 4
BAB II
PENDEKATAN EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK
MENULAR

Epidemologi berusaha untuk mempelajari distribusi dan faktor yang mempengaruhi


terjadinya PTM dalam masyarakat, sehingga perlu melakukan pendekatan metodologik
dengan melakukan berbagai penelitian.
A. Penelitian epidemiologi untuk PTM
Sebagaimana umumnya penelitian epidemiologi, penelitian untuk penyakit
tidak menular di kenal juga dengan penelitian observasional dan eksperimental
atau intervensi. Hanya saja untuk mengetahui bahwa berlansgung lama, maka
umumnya peneliti PTM merupakan peneliti observasional. Sulit untuk
melakukan intervensi selama 10-15 tahun. Jenis-jenis penelitian untuk PTM
seperti penelitian Observasional seperti :
1. Penelitian Cross Sectional Studi
Studi epidemiologi yang mempelajari prevalensi, distribusi,
maupun hubungan penyakit dan paparan dengan mengamati status paparan,
penyakit atau outcome lain secara serentak pada individu- individu dari suatu
populasi pada suatu saat. Dengan demikian studi cross sectional tidak
mengenal adanya dimensi waktu, sehingga mempunyai kelemahan dalam
menjamin bahwa paparan mendahului efek (disease) atau sebaliknya. Namun
studi ini mudah dilakukan dan murah, serta tidak memerlukan waktu follow
up. Umumnya studi cross sectional dimanfaatkan untuk merumuskan
hipotesis hubungan kausal yang akan diuji dalam studi analitiknya (kohort
atau kasus control). Cross sectional jika diartikan dengan sederhana yaitu
studi epidemiologi yang mengukur beberapa variabel dalam satu saat
sekaligus. Contohnya adalah menilai hubungan antara tingkat pendidikan
dengan ventilasi rumah pada populasi masyarakat desa A. Ada 2 variabel

BAB II Faktor Resiko Penyakit Tidak Menular | 5


dalam penelitian tersebut, yaitu tingkat pendidikan dan ventilasi rumah.
Keduanya diukur secara bersamaan dalam satu waktu. Maka itulah yang
disebut dengan cross sectional.
2. Penelitian Case Control (Kasus dan Kontrol)
Case Control/Kasus kontrol adalah studi analitik yang menganalisis
hubungan kausal dengan menggunakan logika terbalik, yaitu menentukan
penyakit (outcome) terlebih dahulu kemudian mengidentifikasi penyebab
(faktor risiko). Riwayat paparan dalam penelitian ini dapat diketahui dari
register medis atau berdasarkan wawancara dari responden penelitian.
Kelemahan dari studi ini adalah ketika responden penelitian sulit mengingat
kembali riwayat paparan yang dialami terutama jika paparan sudah dilewati
selama bertahun-tahun, sehingga dalam penelitian kasus control sangat
rawan recall bias, disamping bias seleksi. Namu kelebihan dari studi ini yaitu
waktu penelitian relative singkat, murah dan cocok untuk meneliti penyakit
langka dan memiliki periode laten yang panjang.
3. Penelitian Kohort
Kohort adalah studi observasional yang mempelajari hubungan
antara paparan dan penyakit dengan memilih dua atau lebih kelompok studi
berdasarkan status paparan kemudian diikuti (di- follow up) hingga periode
tertentu sehingga dapat diidentifikasi dan dihitung besarnya kejadian
penyakit. Apabila periode induksi yaitu kejadian penyakit dapat diamati
dalam waktu yang panjang maka studi kohor rawan terhadap bias penarikan
responden ( banyak drop out dari observasi), perlu dana yang besar dan
waktu yang panjang. Studi kohor mempunyai kekuatan dalam
membuktikan inferensi kausa dibanding studi observasional lainnya,
didapatkan angka kejadian penyakit (incidence rate) secara langsung, serta
cocok untuk meneliti paparan yang langka.

BAB II Pendekatan Epidemiologi Penyakit Tidak Menular| 6


CONTOH KASUS
Suatu penelitian ingin mengetahui beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya penyakit thypoid pada Anak-anak. Beberapa faktor yang diduga
sebagai faktor risiko terjadinya penyakit Thypoid adalah Kebiasaan jajan
di sekolah dan kebiasaan cuci tangan sebelum makan. Jelaskan bagaimana
penelitian tersebut akan dilakukan dengan desain penelitian yang berbeda;
1.CaseControl
2. Cohor
3. Cross sectional
Untuk memudahkan kita mengunakan symbol E( exposure) dan D (disease)
Dimana:
D+:Thypoid
D- :TidakThypoid
E+ :Tidakcucitangandanjajan
E- : Cuci tangan dan jajan
1. Case Control
Desain studinya dapat digambarkan sebagai berikut:

Desain Case Control


Pada desain studi case control kita menentukan disease / penyakitnya lebih dulu
baru menganalisis penyebab atau paparannya (exposure). Dalam hal ini kita

BAB II Pendekatan Epidemiologi Penyakit Tidak Menular| 7


menentukan adanya penyakit Thypoid atau tidak kemudian menganalisis
penyebab terjadinya penyakit Thypoid, apakah karena dipengaruhi jajan dan
tidak cuci tangan atau jajan dan cuci tangan.
2. Cohor
Desain studinya dapat digambarkan sebagai berikut :

Desain Kohort
Pada disain cohor berdasarkan status paparan ( Exposure) kemudian diikuti (di-
follow up) hingga periode tertentu sehingga dapat diidentifikasi dan dihitung
besarnya kejadian penyakit (Disease). Dalam hal ini berdasarkan status paparan
( jajan dan cuci tangan atau jajan dan tidak cuci tangan) baru kemudian diamati
dari paparan-paparan tersebut mana yang menyebabkan penyakit Thypoid dan
mana yang tidak menyebabkan penyakit Thypoid.
3. Cross sectional
Desain studinya dapat digambarkan sebagai berikut :

Desain Cross Sectional


Pada disain Cross Sectional mempelajari hubungan penyakit dan paparan
dengan mengamati status paparan, penyakit atau outcome lain, jadi pada disain ini juga
mencoba mengamati hubungan paparan dan penyakit yang ditimbulkan dengan

BAB II Pendekatan Epidemiologi Penyakit Tidak Menular| 8


menggunaakan beberapa kombinasi paparan. Beberapa options, yang dapat diambil dari
tabel silang diatas yaitu:
1. 1E+D+ = tidak cuci tangan dan jajan + Thypoid
2. 2E+D- = cuci tangan dan jajan + tidak Thypoid
3. 3E- D+ =cuci tangan dan jajan + Thypoid
4. 4E- D- = cuci tangan dan jajan + tidak Thypoid
B. Ukuran Frekuensi
Ukuran frekuensi Penyakit Untuk mengukur frekuensi kejadian penyakit pada suatu
populasi, digunakan 3 jenis perhitungan, yaitu
1. Proporsi
2. Ratio
3. Rate
1. Proporsi
adalah bentuk pecahan yang pembilangnya (numerator) merupakan bagian dari
penyebutnya (denomerator). Bentuk ini sering dinyatakan dalam persen, yaitu
dengan mengalikan pecahan ini dengan 100%

2. Ratio Ratio
( Perbandingan) adalah pecahan yang pembilangnya bukan merupakan bagian
dari penyebutnya. Ini yang membedakannya dengan proporsi. Ratio
menyatakan hubungan antara pembilang dan penyebut yang berbeda satu
dengan yang lain.
3. Rate
Perbandingan antara jumlah kejadian terhadap jumlah penduduk yang
mempunyai risiko terhadap kejadian tersebut yang menyangkut interval waktu
tertentu.

BAB II Pendekatan Epidemiologi Penyakit Tidak Menular| 9


BAB III
FAKTOR RISIKO PENYAKIT TIDAK MENULAR

A. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko adalah karakteristik, tanda atau kumpulan gejala pada penyakit
yang induvidu yang mana secara statistic berhubungan dengan peningkatan
kejadian kasus baru berikutnya (beberapa induvidu lain pada suatu kelompok
masyarakat).
B. MACAM-MACAM FAKTOR RISIKO
1. Menurut dapat tidaknya risiko itu diubah :
a) Faktor Risiko yang tidak dapat diubah (Unchangeable risk factors)
seperti faktor umur dan genetik
b) Faktor yang dapat diubah (Changeable risk faktors) seperti faktor
risiko yang dapat diubah seperti kebiasaan merokok atau latihan
olahraga.
2. Menurut kestabilan peranan faktor risiko :
a) Faktor yang dicurigai (Suspected risk factors) yaitu faktor-faktor yang
belum mendapat dukungan sepenuhnya dari hasil-hasil penelitian
sebagai faktor risiko. Misalnya rokok sebagai kanker leher rahim.
b) Faktor risiko yang telah ditegakkan (Established risk factors) yaitu
faktor risiko yang telah mendapatkan dukungan ilmiah/penelitian
dalam peranananya sebagai faktor yang berperan dalam kejadian
suatu penyakit, contoh: rokok sebagai faktor risiko terjadinya kanker
paru-paru. Perlunya dikembangkan konsep faktor risiko dalam
epidemiologi PTM berkaitan dengan beberapa alasan antara lain:
1) Tidak jelas kausa PTM terutama dalam hal ada tidaknya
mikroroganisme dalam PTM

BAB III Faktor Resiko Penyakit Tidak Menular | 10


2) Menonjolnya penerapan konsep multikausal pada PTM
3) Kemungkinan adanya penambahan atau interkasi antar risiko
4) Perkembangan metodologik telah memberi kemampuan untuk
mengukur besarnya faktor risiko
Faktor risiko untuk timbulnya penyakit tidak menular yang bersifat kronis
belum ditemukan secara keseluruhan karena:
a) Untuk setiap penyakit, faktor risiko dapat berbeda-beda (merokok,
hipertensi, hiperkolesterolemia)
b) Suatu faktor risiko dapat menyebabkan penyakit yang berbeda-
beda misal merokok dapat menimbulkan kanker pada penyakit
jantung koroner, kanker larynx.
c) Untuk kebanyakan penyakit, faktor-faktor risiko yang telah
diketahui hanya dapat menerangkan sebagaian kecil kejadian
penyakit, tetapi etiologinya secara pasti belum diketahui.
C. KEGUNAAN INDETIFIKASI FAKTOR RISIKO
Dengan mengetahui faktor risiko dalam terjadinya penyakit maka dapat
digunakan untuk :
1. Prediksi untuk meramalkan kejadian penyakit. Misalanya
perokok berat mempunyai risiko 10 kali lebih besar untuk
terserang Ca paru daripada bukan perokok.
2. Penyebab kejelasan dan beratnya suatu faktor risiko dapat
diterapkan sebagai penyebab suatu penyakit dengan syarat telah
menghapuskan faktor-faktor penganggu (Confounding Factors)
3. Diagnosis dapat membantu dalam menegakkan diagnosa
4. Prevalensi Jika suatu faktor risiko merupakan penyebab suatu
penyakit tertentu, maka dapat diambil tindakan untuk
pencegahan terjadinya penyakit tersebut.

BAB III Faktor Resiko Penyakit Tidak Menular | 11


D. KRITERIA FAKTOR RISIKO
Untuk memastikan bahwa status sebab layak disebut sebagai faktor risiko, maka
harus memenuhi 8 kriteria (menurut austin dan Bradford Hill) yaitu :
1. Kekuatan hubungan yaitu adanya risiko yang relatif tinggi
2. Temporal yaitu kausa mendahului akibat
3. Respon terhadap dosis
4. Makin besa paparan, makin tinggi kejadian penyakit
5. Reversibilitas yaitu penurunan paparan yang diikuti dengan kejadian
penyakit.
6. Kelayakan Biologis yaitu sesui dengan konsep biologi
7. Specifitas yaitu satu penyebab menimbulkan satu akibat.
8. Analogi yaitu ada kesamaaan untuk penyebab dan akibat yang serupa.
E. CONTOH FAKTOR RISIKO
Faktor-faktor risiko yang telah diketahui ada kaitiannya dengan penyakit
tidak menular yang bersifat kronis antara lain :
a. Tembakau
b. Alkhol
c. Kolesterol
d. Hipertensi
e. Diet
f. Obesitas
g. Aktivitas
h. Steress
i. Radiasi
j. Sexual behavior
k. life style

BAB III Faktor Resiko Penyakit Tidak Menular | 12


F. MENENTUKAN BESAR FAKTOR RESIKO
Menentukan besar factor resiko dapat dilakukan dengan menghitung besarnya risiko
relative atau odds rasio. Perhitungan ini berdasarkan perbedaan rate antara inciden
populasi yang terpapar (Exposure) dengan yang tidak terpapar (Non Exposure) pada
kelompok yang sakit (kasus) dan tidak sakit (kontrol). Perhitungan ini dikaitkan
dengan jenis-jenis metode penelitian epidemiologi dan bisa juga dengan melihat
frekwensi penyakitnya.

Perlu juga diketahui pengertian factor resiko dan prognosis. Secara umum dapat
dikatakan bahwa prognosis menujukkan berapa besar kemungkinan mati akibat
dari keadaan sakit. Sedangkan factor resiko adalah berapa besar kemungkinan
sakit dari seorang yang sehat.

BAB III Faktor Resiko Penyakit Tidak Menular | 13


G. UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT TIDAK MENULAR
1. Tingkat-tingkat pencegahan
Untuk Upaya pencegahan dengan menggunakan Prinsip upaya pencegahan
penyakit lebih baik dari mengobati tetap juga berlaku untuk penyakit tidak
menular, upaya pencegahan penyakit tidak menular ditujukan kepada faktor
resiko yang telah diidentifikasi. Ada 4 tingkat pencegahan dalam epidemiologi
itu adalah
1. Pencegahan primordial
Untuk memberikan kondisi pada masyarakat yang memungkinkan
penyakit tidak mendapat dukungan dasar dari kebiasaan, gaya hidup dan
faktor resiko lainnya. Upaya ini sangat komplek, tidak hanya merupakan
upaya dari kesehatan tapi multimitra.
2. Pencegahan tingkat pertama, meliputi
a) Promosi kesehatan masyarakat, misalnya :
- kampanye kesadaran masyarakat
- Pendidikan kesehatan masyarakat.
b. Pencegahan khusus, misalnya :
- Pencegahan keterpaparan
- Pemberian kemopreventif
c. Pencegahan tingkat kedua meliputi :
a) Diagnosis dini, misalnya dengan melakukan screening.
b) Pencegahan tingkat dua lainya adalah Pengobatan, kemoterapi
atau tindakan bedah
3. Pencegahan tingkat ketiga meliputi :
a) Rehabilitasi, misalnya perawatan rumah jompo, perawatan
rumah sakit.
Epidemiologi penyakit tidak menular dan faktor resiko adalah dimulai
dari pemahaman tentang Epidemiologi yaitu ilmu atau dalam ilmu

BAB III Faktor Resiko Penyakit Tidak Menular | 14


terapan adalah study atau kajian tentang kejadian penyakit atau masalah
kesehatan pada kelompok masyarakat. Penyakit yang dikaji bisa penyakit
menular, bisa juga penyakit tidak menular. Intinya kajian adalah ditemukan
penyebab. Pada penyakit menular diistilakan dengan ETIOLOGI dan pada
penyakit tidak menular di istilahkan dengan FAKTOR RESIKO yaitu
karakteristik, tanda atau kumpulan gejala pada penyakit yang diderita induvidu
yang mana secara statistic berhubungan dengan peningkatan kejadian kasus
baru berikutnya (beberapa induvidu lain pada suatu kelompok masyarakat). Dari
factor resiko inilah dapat ditentukan tindakan pencegahan dan penanggulangan.

BAB III Faktor Resiko Penyakit Tidak Menular | 15


BAB IV
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT JANTUNG

A. PENDAHULUAN
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi dan insidens gagal
jantung global mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Hal ini didukung tak
hanya oleh peningkatan jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit akibat gagal
jantung, tapi juga pertambahan kematian akibat gagal jantung serta beban biaya
kesehatan yang terkait gagal jantung.
Data global mengungkap bahwa prevalensi gagal jantung telah meningkat
dalam beberapa dekade terakhir. Hal tersebut diduga berkaitan dengan peningkatan
kesadaran masyarakat dan angka diagnosis gagal jantung, pertambahan jumlah
populasi lansia, peningkatan insidens gagal jantung, serta perbaikan tata laksana
penyakit kardiovaskuler dan layanan kesehatan secara umum. Insidens gagal jantung
bervariasi antara 1-32 kasus per 1000 orang-tahun. Rentang estimasi insidens yang
lebar tersebut sangat dipengaruhi oleh karakteristik populasi yang diteliti dan kriteria
diagnosis yang dipakai.
B. PENGERTIAN GAGAL JANTUNG
Gagal jantung adalah kondisi saat pompa jantung melemah, sehingga tidak
mampu mengalirkan darah yang cukup ke seluruh tubuh. Kondisi ini juga dikenal
dengan istilah gagal jantung kongestif. Gagal jantung dapat disebabkan oleh
hipertensi, anemia, dan penyakit jantung.
Gagal jantung, atau dikenal juga sebagai gagal jantung kongestif, adalah
istilah medis yang merujuk pada kondisi saat otot jantung tidak bisa memompa darah
dengan baik. Pada kondisi yang normal, jantung memompa darah secara terus menerus,
entah saat Anda beraktivitas atau beristirahat. Terdapat empat bilik pada jantung,
dengan dua bilik di atas (atrium) dan dua bilik di bawah (ventrikel).

BAB IV Epidemiologi Penyakit Jantung | 16


Seseorang yang mengalami gagal jantung akan mengalami aliran darah ke
seluruh tubuhnya melambat. Hal ini akan menambah parah kondisi penyakit,
karena jumlah darah yang dipompa di bawah batas normal dan bilik jantung akan
menjadi kaku dan tebal.
Akhirnya, kondisi tersebut menyebabkan otot jantung melemah dan tidak
dapat bekerja secara efektif. Baik salah satu maupun kedua sisi jantung Anda
dapat mengalami kondisi ini. Perlu diketahui bahwa kondisi ini berbeda dengan
serangan jantung dan jantung lemah. Jika mengalami kondisi ini, terutama yang
bersifat kronis atau menahun, jantung mungkin tidak dapat kembali bekerja
dengan normal. Namun, terdapat beberapa cara untuk mengobati dan menangani
gejala-gejala yang ada.
C. ETIOLOGI
Penyebab umum sakit jantung adalah adanya penyumbatan, peradangan,
atau kerusakan pada jantung dan pembuluh darah di sekitarnya. Umumnya, penyakit
jantung disebabkan oleh adanya plak. Ini diawali dengan plak pada arteri koroner,
yang seiring waktu akan menumpuk dan mengeras. Plak ini akan mempersempit dan
mengurangi aliran darah kaya oksigen ke jantung. Pada tahap ini, gejala penyakit
jantung akan mulai dirasakan, salah satunya nyeri pada dada.
Plak penyebab penyakit jantung juga bisa pecah menyebabkan fragmen sel
darah (platelet) menempel pada area yang terkena dan membentuk bekuan
darah. Kondisi ini dapat mempersempit arteri koroner dan memperparah gejala. Bila
bekuan darah sudah memblokir arteri secara menyeluruh, serangan jantung dapat
terjadi. Penumpukan plak ini biasanya terjadi pada orang dengan aterosklerosis.
Jenis penyakit kardiovaskuler lain, seperti endokarditis disebabkan oleh
infeksi bakteri, virus, atau jamur. Selain itu, penyakit kardiovaskuler bisa juga
disebabkan oleh cacat bawaan lahir. Saat di dalam kandungan, jantung tidak
berkembang secara sempurna.

BAB IV Epidemiologi Penyakit Jantung | 17


D. FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG
Menurut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) penyebab umum sakit
jantung adalah kerusakan atau terjadi gangguan pada fungsi organ jantung. Hal ini
dapat terjadi akibat akumulasi faktor-faktor risiko, seperti kebiasaan merokok,
tekanan darah tinggi, peradangan di pembuluh darah, dan kadar kolesterol atau gula
dalam darah tinggi.
Naiknya tekanan darah, kadar kolesterol dan gula darah dapat dipengaruhi
berbagai kegiatan, aktivitas, maupun kondisi lingkungan di sekitar kita, Semua hal
yang kita lakukan atau rasakan tapi tidak disadari dapat meningkatkan risiko
penyakit kardiovaskular.
Faktor risiko dari penyakit jantung, meliputi:
1. Usia
Risiko penyakit jantung meningkat seiring bertambahnya umur, terlepas
dari faktor risiko lainnya. Risiko meningkat bagi pria setelah berumur 45 tahun dan
wanita setelah berumur 55 tahun (atau menopause). Semakin menua, arteri mungkin
menyempit dan penumpukan plak akan terjadi. Penggumpalan darah yang terbentuk
dapat menghambat aliran darah di arteri. Kondisi inilah yang akhirnya jadi penyebab
penyakit jantung pada orang usia lanjut.
2. Kadar kolesterol total
Kolesterol total (jumlah semua kolesterol dalam darah) adalah faktor risiko
penyakit jantung. Mengingat karena kolesterol dapat membentuk plak yang dapat
menumpuk di dalam arteri. Teori bahwa semakin banyak kolesterol di dalam darah,
semakin banyak plak yang terbentuk dan menumpuk. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa semakin tinggi kadar kolesterol total, semakin tinggi risiko penyakit jantung.
Rentang kadar kolesterol dalam darah yang perlu Anda perhatikan, yakni:
 Normal: kurang dari 200 mg/dL
 Cukup tinggi: 200-239 mg/dL
 Tinggi: 240 mg/dL dan lebih

BAB IV Epidemiologi Penyakit Jantung | 18


3. Kebiasaan merokok
Merokok dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, selain memicu
masalah kesehatan lain. Nikotin dan zat kimia lain yang terkandung di dalam rokok
membahayakan jantung dan pembuluh darah, meningkatkan risiko atherosclerosis
(penyempitan arteri). Hal ini mungkin terjadi, walaupun hanya sesekali merokok,
berapa banyak atau lama kita merokok akan memberikan manfaat bagi jantung.
4. Kondisi hipertensi atau diabetes
Seseorang yang memiliki riwayat hipertensi atau diabetes membuat
seseorang lebih rentan dengan penyakit kardiovaskuler. Hal ini disebabkan karena
hipertensi (tekanan darah tinggi) dapat meningkatkan kekakuan arteri dan
penumpukan plak. Efek pada jantung dan pembuluh darah di sekitar jantung ini
tidak berbeda jauh pada pasien diabetes. Oleh karena itulah, penyakit
kardiovaskuler disebut-sebut sebagai salah satu komplikasi diabetes.
E. PATOFISIOLOGI
Gagal jantung dapat dilihat sebagai suatu kelainan yang progresif, dapat
terjadi dari kumpulan suatu kejadian dengan hasil akhir kerusakan fungsi miosit
jantung atau gangguan kemampuan kontraksi miokard. Beberapa mekanisme
kompensatorik diaktifkan untuk mengatasi turunnya fungsi jantung sebagai pompa,
di antaranya sistem adrenergik, renin angiotensin ataupun sitokin. Dalam waktu
pendek beberapa mekanisme ini dapat mengembalikan fungsi kardiovaskuler dalam
batas normal, menghasilkan pasien asimptomatik. Meskipun demikian, jika tidak
terdeteksi dan berjalan seiring waktu akan menyebabkan kerusakan ventrikel dengan
suatu keadaan remodeling sehingga akan menimbulkan gagal jantung yang
simptomatik.
F. DIAGNOSA
Dekompensasio kordis dapat diketahui dengan munculnya tanda dan gejala yang
mucul secara bertahap tetapi dapat pula mendadak dengan tanda oedem paru
akut maupun syok.

BAB IV Epidemiologi Penyakit Jantung | 19


a) Anamnesis
Anamnesis pada pasien gagal jantung difokuskan untuk mengetahui
gejala gagal jantung akut. Pasien biasanya datang dengan keluhan utama
berupa sesak napas. Gagal jantung akut biasanya jarang terjadi pada orang
tanpa ada riwayat kelainan yang relevan sebelumnya, seperti misalnya
hipertensi, penyakit jantung, diabetes, atau penyakit tiroid. Selain itu,
tanyakan adanya faktor risiko pola hidup pasien seperti merokok, minum
alkohol, dan gaya hidup sedenter.
Beberapa gejala gagal jantung akut yang harus dieksplorasi pada pasien,
yaitu:
 Gejala tipikal: dispnea, ortopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea,
penurunan toleransi terhadap aktivitas fisik, kelelahan, bengkaknya
ekstremitas bawah
 Gejala atipikal: batuk di malam hari, suara mengi saat bernapas, rasa
kembung, kehilangan nafsu makan, depresi, palpitasi, rasa melayang,
sinkop, bendopnea (rasa sesak saat membungkukkan badan)
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari tanda-tanda
gagal jantung akut. Tanda gagal jantung akut dibagi menjadi :
 Tanda yang lebih spesifik: peningkatan tekanan vena jugularis,
refluks hepatojugular, suara jantung S3 / ritme galop, impuls apikal
yang bergeser lateral
 Tanda yang kurang spesifik: peningkatan berat badan >2 kg/minggu,
penurunan berat badan pada gagal jantung yang parah, cachexia,
murmur jantung, edema perifer, krepitasi pulmonal, penurunan udara
masuk dan suara dull pada perkusi basal paru, takikardia, pulsasi
ireguler, takipneu, respirasi Cheyne Stokes, hepatomegali, asites,

BAB IV Epidemiologi Penyakit Jantung | 20


ekstremitas dingin, oliguria, tekanan nadi/pulse pressure yang
sempit.
Pemeriksaan fisik pada gagal jantung akut bertujuan sebagai
upaya mengidentifikasi etiologi pencetus gagal jantung akut yang
umumnya disingkat sebagai “CHAMP”, meliputi: acute Coronary
syndrome, Hypertension emergency, Arrythmia, acute Mechanical
cause, dan Pulmonary embolism. Kecurigaan pada pemeriksaan fisik
akan selanjutnya dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang
c). Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada gagal jantung akut,
antara lain :
 Pemeriksaan elektrokardiogram: dilakukan rutin untuk mencari
etiologi pencetus gagal jantung akut seperti aritmia dan
sindroma koroner akut
 Pemeriksaan radiologi (rontgen toraks): dilakukan untuk
mengkonfirmasi ada-tidaknya kongesti
 Pemeriksaan ekokardiografi: umumnya tidak perlu segera
dilakukan (dalam 48 jam pertama); perlu dilakukan segera
hanya bila hemodinamik tidak stabil (syok kardiogenik) atau
ada kecurigaan etiologi pencetus kelainan struktural.
 Pemeriksaan laboratorium: natriuretic peptide (BNP) pada
semua pasien yang dicurigai gagal jantung akut, serta blood
urea nitrogen (BUN), kreatinin, dan elektrolit yang dilakukan
rutin per 1-2 hari saat dirawat di rumah sakit
d. Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dilakukan segera pada
pasien yang diduga menderita gagal jantung. Pada kondisi gagal
jantung akut, pemeriksaan EKG rutin dilakukan dengan tujuan

BAB IV Epidemiologi Penyakit Jantung | 21


mencari etiologi pencetus gagal jantung akut: aritmia atau sindroma
koroner akut. Beberapa kelainan EKG pada pasien gagal jantung,
yaitu:
 Sinus takikardia
 Sinus bradikardia
 Takikardia atrium, flutter atrium, fibrilasi atrium
 Aritmia ventrikel
 Infark miokard akut
 Adanya gelombang Q
 Hipertrofi ventrikel kiri
 Atrioventrikular blok
 Mikrovoltase
 Gelombang QRS melebar dengan left bundle branch block
(LBBB)
e. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang rutin dilakukan pada gagal
jantung akut adalah rontgen toraks, dengan tujuan untuk
mengkonfirmasi adanya kongesti, serta bermanfaat untuk
menyingkirkan diagnosis banding penyakit paru lain (seperti
pneumonia). Hasil rontgen toraks gagal jantung dapat menunjukkan
kelainan-kelainan berikut:
 Tanda-tanda kongesti spesifik gagal jantung akut: kongesti vena
pulmonal, edema alveolar/interstisial, atau efusi pleura akibat
peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri (80% kasus)
 Kardiomegali: dilatasi ventrikel kiri dan kanan, serta atrium, dan
efusi perikardium

BAB IV Epidemiologi Penyakit Jantung | 22


 Hipertrofi ventrikel: terjadi akibat hipertensi, stenosis aorta, dan
kardiomiopati hipertrofi
 Adanya garis Kerley B: peningkatan tekanan limfatik
 Adanya gambaran hiperlusens pada paru: emboli paru atau
emfisema
 Infiltrat paru: pneumonia atau adanya penyakit sistemik
f. Pemeriksaan Echocardiography
Echocardiography merupakan teknik ultrasonografi jantung
yang berguna untuk mengukur fungsi sistolik ventrikel (fraksi ejeksi).
Fungsi sistolik normal bila fraksi ejeksi ventrikel kiri >45-50%.
Echocardiography pada gagal jantung penting dilakukan pada pasien
dengan perburukan atau kasus awal, di mana fraksi ejeksi pasien saat
itu belum diketahui.
Dengan ekokardiografi, gagal jantung dapat diklasifikasikan
menjadi gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal (heart failure with
preserved ejection fraction/HFpEF) maupun dengan fraksi ejeksi
berkurang (heart failure with reduced ejection fraction/HFrEF). Pada
kasus gagal jantung akut, ekokardiografi umumnya tidak segera
dilakukan (dalam waktu 48 jam sejak pasien datang ke rumah sakit).
Pemeriksaan ekokardiografi segera pada kasus gagal jantung
akut hanya rutin dilakukan bila terdapat instabilitas hemodinamik (syok
kardiogenik), atau kecurigaan etiologi pencetus struktural (komplikasi
mekanik, regurgitasi aorta, diseksi aorta).

BAB IV Epidemiologi Penyakit Jantung | 23


BAB V
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT KANKER SERVIKS

A. PENGERTIAN KANKER SERVIKS


Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh pada sel-sel di leher rahim.
Umumnya, kanker serviks tidak menunjukkan gejala pada tahap awal. Gejala baru
muncul saat kanker sudah mulai menyebar. Dalam banyak kasus, kanker serviks
terkait dengan infeksi menular seksual.
Serviks adalah bagian bawah rahim yang terhubung ke vagina. Salah satu
fungsi serviks adalah memproduksi lendir atau mukus. Lendir membantu
menyalurkan sperma dari vagina ke rahim saat berhubungan seksual. Selain itu,
serviks juga akan menutup saat kehamilan untuk menjaga janin tetap di rahim, dan
akan melebar atau membuka saat proses persalinan berlangsung.
B. ETILOGI KANKER SERVIKS
Etiologi kanker serviks terbanyak adalah infeksi Human Papilloma Virus
(HPV). HPV mempunyai lebih dari 150 jenis, 13 diantaranya adalah penyebab kanker
yang dikenal sebagai tipe risiko tinggi. HPV yang mempunyai risiko tinggi penyebab
kanker serviks adalah HPV tipe 16 dan 18. HPV tipe ini ditularkan melalui kontak
seksual dan kebanyakan orang terinfeksi HPV sesaat setelah onset aktivitas seksual,
namun untuk menjadi kanker membutuhkan waktu bertahun-tahun. Tidak semua
wanita yang menderita infeksi HPV berkembang menjadi kanker serviks. Beberapa
faktor risiko lain mempengaruhi perkembangan infeksi HPV ini menjadi kanker
serviks.
C. FAKTOR RISIKO
Wanita yang mempunyai risiko tinggi terserang kanker serviks menurut
American Cancer Society, adalah :

BAB V Epidemiologi Penyakit Kanker Serviks | 24


1. Infeksi Human Papilloma Virus (HPV)
Human Papilloma Virus (HPV) dapat menginfeksi sel-sel di permukaan kulit,
dan mereka yang melapisi alat kelamin, anus, mulut, dan tenggorokan. HPV
dapat menyebar dari satu orang ke orang lain melalui kontak kulit ke kulit. Salah
satu cara HPV menyebar adalah melaui hubungan seks, termasuk seks vaginal,
anal, dan bahkan oral. Infeksi HPV pada wanita tidak semua bisa menyebabkan
kanker serviks. Virus ini akan hilang dengan sendirinya apabila wanita yang
terinfeksi virus HPV memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik.
Ada 150 jenis HPV yang dikelompokan menjadi jenis HPV berisiko
rendah dan HPV beririko tinggi. Jenis HPV berisiko rendah merupakan
penyebab kutil pada bibir atau lidah, sekitar organ kelamin wanita dan laki-laki
dan di daerah anus. HPV tipe berisiko rendah jarang menyebabkan kanker. Jenis
HPV lainnya disebut tipe risiko tinggi karena sangat terkait dengan kanker. Tipe
HPV yang mempunyai risiko tertinggi terjadinya kanker serviks adalah tipe
HPV 16 dan HPV 18. Waktu yang dibutuhkan dari infeksi HPV risiko-tinggi
sampai terjadinya kanker adalah 15 tahun.
2. Merokok
Wanita yang merokok mempunyai risiko dua kali lipat lebih tinggi
terkena kanker serviks dibandingkan dengan yang tidak merokok. Bahan
karsinogenik spesifik dari tembakau dapat dijumpai pada lendir serviks wanita
yang merokok. Para peneliti percaya bahwa zat ini dapat merusak DNA sel
serviks dan dapat berkontribusi pada perkembangan kanker serviks. Merokok
juga membuat system kekebalan tubuh kurang efektif dalam melawan infeksi
HPV.
3. Sistem kekebalan
Tubuh yang lemah Human Immunodeficiency Virus (HIV), adalah
virus yang menyebabkan AIDS, merusak sistem kekebalan tubuh sehingga
wanita penderita AIDS memiliki risiko lebih tinggi terinfeksi HPV yang bisa

BAB V Epidemiologi Penyakit Kanker Serviks | 25


menyebabkan kanker serviks. Wanita dengan penyakit autoimun yang
menkonsumsi obat untuk menekan respon kekebalan tubuh juga berisiko
terserang kanker serviks.
4. Infeksi chlamidia
Chlamidia adalah jenis bakteri yang dapat menginfeksi sistem
reproduksi, menyebar melalui kontak seksual. Infeksi chlamidia dapat
menyebabkan peradangan panggul dan infertilitas.
5. Hubungan seksual
Berdasarkan etiologi infeksinya, wanita dengan pasangan seksual lebih
dari satu dan wanita yang memulai berhubungan seksual sebelum usia 18 tahun
mempunyai risiko lima kali lipat terkena kanker serviks. Hal ini disebabkan
karena sel-sel mukosa pada serviks belum matang. Sel-sel mukosa wanita baru
matang pada usia 20 tahun ke atas. Sehingga jika wanita melakukan hubungan
seksual pada usia dibawah 18 tahun sel-sel serviks masih rentan terhadap
rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar yang bisa
menyebabkan sel-sel mukosa bisa berubah sifat menjadi sel kanker.
6. Karakteristik partner
Wanita yang memiliki pasangan tidak disirkumsisi memiliki risiko
tinggi terserang kanker serviks. Laki-laki yang melakukan sirkumsisi memiliki
kemungkinan lebih kecil terjangkit virus HPV. Hal ini disebabkan karena laki-
laki yang tidak disirkumsisi smegma pada preposiumnya akan menjadi tempat
berkumpulnya bakteri dan virus yang akan menularkan ke pasangan seksualnya
ketika berhubungan seksual.
7. Riwayat ginekologi
Hamil di usia kurang dari 17 tahun dan melahirkan anak lebih dari tiga
juga merupakan risiko tinggi terkena kanker serviks, apalagi dengan jarak
kelahiran yang terlalu pendek. Hal ini diperkirakan karena terlalu sering

BAB V Epidemiologi Penyakit Kanker Serviks | 26


melahirkan akan menimbulkan perlukaan di jalan lahir, sehingga berisiko tinggi
terinfeksi HPV.
8. Diethylstilbesterol (DES)
DES merupakan obat hormonal yang diberikan untuk wanita hamil
sekitar tahun 1940-1971 bertujuan untuk mencegah keguguran. Obat ini telah
terbukti dapat memicu kanker serviks.
9. Kontrasepsi oral
Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka waktu lama meningkatkan
risiko kanker serviks. Penelitian menunjukkan bahwa semakin lama wanita
memakai kontrasepsi oral, risiko kanker serviks semakin meningkat. Risiko ini
akan turun lagi setelah kontrasepsi oral berhenti, dan kembali normal sekitar 10
tahun setelah berhenti. Kontrasepsi oral mungkin dapat meningkatkan risiko
kanker serviks karena jaringan serviks merupakan salah satu sasaran yang
disukai hormon steroid perempuan.
D. PATOFISIOLOGI
Kanker serviks merupakan kanker yang menyerang area mulut rahim.
Serviks merupakan bagian terbawah dan ujung dari rahim atau uterus. Serviks
menghubungkan antara uterus dan liang vagina. Serviks memiliki dua bagian
yaitu ektoserviks yang merupakan bagian luar serviks dan endoserviks yang
merupakan bagian dalam serviks.
Ektoserviks ditempati oleh sel skuamousa yang pipih dan tipis. Sedangkan
bagian endoserviks yang merupakan bagian dalam serviks, ditempati oleh sel
kolumnar. Area tempat dimana ektoserviks bertemu dengan endoserviks
dinamakan area transformasi (T-zone). Area transformasi ini merupakan tempat
pertama kali terjadinya perkembangan sel abnormal atau lesi pra kanker di
serviks. Kanker serviks memiliki dua tipe histopatologi yaitu karsinoma sel
skuamosa (squamous cell carcinoma) dan adenokarsinoma (adenocarcinoma).
Jenis kanker serviks yang terbanyak adalah tipe karsinoma sel skuamosa

BAB V Epidemiologi Penyakit Kanker Serviks | 27


(squamous cell carcinoma) yaitu sekitar 80-90% dari semua kasus kanker
serviks.
Kanker serviks disebabkan oleh infeksi virus Human papiloma
Virus (HPV) tipe tertentu yang ditularkan melalui hubungan seksual. Dua tipe
virus HPV yaitu tipe 16 dan 18 merupakan tipe terbanyak yang menyebabkan lesi
pra kanker dan kanker serviks. Virus HPV 16/18 menyebabkan 70% kasus kanker
serviks di dunia dengan rincian 41% - 67% menyebabkan lesi kanker high-
grade dan 16 – 32% menyebabkan lesi kanker low-grade. Selain virus HPV tipe
16/18, tipe virus HPV lain yang menyebabkan kanker serviks di dunia
diantaranya virus HPV 31, 33, 35, 45, 52 dan 58. Keenam tipe virus HPV ini
menjadi penyebab 20% kasus kanker serviks di dunia.
Infeksi virus HPV dapat terjadi pada sebagian besar wanita yang aktif secara
seksual. Tetapi biasanya sekitar 90% infeksi virus HPV dapat hilang dengan
sendirinya dalam beberapa bulan sampai 2 tahun. Rata-rata sekitar 5% infeksi
virus HPV yang persisten dapat berkembang menjadi lesi pra kanker yang
ditandai dengan perubahan histopatologi yaitu lesi CIN (Cervical Intraepithelial
Neoplasia) derajat 2 dan 3 dalam waktu 3 tahun setelah infeksi. Hanya 20% dari
lesi CIN 3 yang berkembang menjadi kanker serviks dalam waktu 5 tahun dan
hanya 40% dari lesi CIN 3 yang berkembang menjadi kanker serviks dalam waktu
30 tahun.
E. DIAGNOSA KANKER SERVIKS
Diagnosis kanker serviks ditegakkan dengan melakukan anamnesis yang
lengkap, pemeriksaan fisik dengan menggunakan spekulum cocor bebek, dan
pemeriksaan penunjang seperti biopsi atau pap smear.
F. KEMUNGKINAN KOMPLIKASI
Komplikasi kanker serviks bisa disebabkan oleh karena efek daari
pemberian terapi dan akibat dari stadium lanjut.

BAB V Epidemiologi Penyakit Kanker Serviks | 28


a. Komplikasi dari efek pemberian terapi kanker
1) Menopause dini
Menopause dini terjadi akibat ovarium diangkat melalui operasi atau
karena ovarium rusak akibat efek samping radioterapi. Gejala yang
timbul akibat kondisi ini adalah vagina kering, menstruasi berhenti atau
tidak keluar, menurunnya libido, sensasi rasa panas dan berkeringat
berlebihan meski di malam hari, dan osteoporosis. Penyempitan vagina
Pengobatan dengan radioterapi pada kanker serviks sering kali
menyebabkan penyempitan vagina.
Limfedema atau penumpukan cairan Limfedema adalah
pembengkakan yang umumnya muncul pada tangan atau kaki karena
sistem limfatik yang terhalang. Sistem limfatik berfungsi untuk
membuang cairan berlebihan dari dalam jaringan tubuh. Gannguan pada
sistem ini menyebabkan penimbunan cairan pada organ tubuh.
Penimbunan inilah yang menyebabkan pembengkakan.
2) Dampak emosional Didiagnosis kanker serviks dan menghadapi efek
samping pengobatan bisa memicu terjadinya depresi. Tanda-tanda
depresi adalah merasa sedih, putus harapan, dan tidak menikmati hal-hal
yang biasanya disukai.
b. Akibat dari kanker serviks stadium lanjut
1) Nyeri akibat penyebaran kanker Nyeri akan muncul ketika kanker sudah
menyebar ke saraf, tulang, atau otot.
2) Pendarahan berlebihan Pendarahan berlebihan terjadi jika kanker menyebar
hingga ke vagina, usus, atau kandung kemih.
3) Penggumpalan darah setelah pengobatan Kanker bisa membuat darah menjadi
lebih kental dan cenderung membentuk gumpalan. Risiko penggumpalan
darah meningkat setelah menjalani kemoteapi dan istirahat pasca operasi.

BAB V Epidemiologi Penyakit Kanker Serviks | 29


4) Produksi cairan vagina yang tidak normal Cairan vagina bisa berbau tidak
sedap akibat kanker serviks stadium lanjut
5) Gagal ginjal Kanker serviks pada stadium lanjut akan menekan ureter,
menyebabkan terhalangnya aliran urin untuk keluar dari ginjal sehingga urin
terkumpul di ginjal (hidronefrosis). Hidronefrosi sparah bisa merusak ginjal
sehingga kehilangan seluruh fungsinya.
6) Fistula
Fistula adalah terbentuknya sambungan atau saluran abnormal antara dua
bagian dari tubuh. Fistula pada kasus kanker serviks terbentuk antara kandung
kemih dan vagina, sehingga mengakibatkan urin keluar melalui vagina.
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kanker serviks dilakukan berdasarkan stadium kanker tersebut.
Modalitas terapi dapat berupa pembedahan, kemoterapi dan radioterapi. Selain terapi
definitif kanker, dibutuhkan terapi suportif seperti perbaikan kondisi umum dan terapi
paliatif pada pasien kanker stadium lanjut untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Stadium kanker serviks menggunakan 2 metode yaitu metode TNM dan metode
FIGO. Metode TNM oleh American Joint Committee on cancer (AJCC) berdasarkan
ukuran tumor (T), pembesaran kelenjar getah bening (N) dan Metastasis (M).
Penentuan stadium kanker serviks dengan metode FIGO (International Federation of
Gynecology and Obstetrics) berdasarkan pemeriksaan klinis, biopsi, tes pemindaian
(imaging tests), sitoskopi, dan proktoskopi.
H. UPAYA PENCEGAHAN
a. Berhubungan seks secara aman. Gunakan kondom dan hindari berhubungan
seksual dengan berganti pasangan.
b. Menerima vaksin HPV.
Vaksin HPV dapat diberikan pada wanita usia 9-26 tahun. Vaksin ini akan lebih
efektif bila diberikan sebelum aktif secara seksual.
c. Rutin menjalani pap smear.

BAB V Epidemiologi Penyakit Kanker Serviks | 30


Menjalani pap smear secara rutin berdasarkan usia membuat kondisi serviks
selalu terpantau. Sehingga bila terdapat kanker, akan lebih mudah ditangani
sebelum berkembang lebih lanjut.
d. Tidak merokok.
Wanita yang memiliki kebiasaan merokok berisiko terkena kanker serviks lebih
besar dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Rokok menyebabkan
sistem kekebalan tubuh lebih rentan melawan virus HPV. Rokok juga
mengandung zat karsinogen yang dapat meningkatkan aktivitas virus HPV di
leher rahim.
e. Konsumsi makanan sehat.
Makan sayur-sayuran dan buah-buahan setiap hari. Makanan tersebut
mengandung vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Kurangi
atau hentikan mengonsumsi makanan cepat saji dan makanan olahan yang
mengandung zat-zat pengawet. Zat-zat pengawet akan mengendap dalam tubuh
dan menyebabkan pertumbuhan hormon menjadi tidak normal.

f. Berolahraga
Berolahraga merupakan salah satu pencegahan kanker serviks. Berolahraga
juga membuat tubuh lebih sehat dan fit
g. Status ekonomi
Wanita dengan kelas ekonomi paling rendah memiliki faktor risiko lima kali
lebih besar daripada wanita di kelas ekonomi paling tinggi. Hal ini mungkin
dikarenakan wanita dengan kelas ekonomi paling rendah tidak memiliki akses
yang mudah ke pelayanan kesehatan.
h. Diet
Wanita yang diet rendah buah dan sayuran memiliki risiko tinggi terkena kanker
serviks

BAB V Epidemiologi Penyakit Kanker Serviks | 31


BAB VI
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT KATARAK

A. PENGERTIAN KATARAK
Katarak adalah opasitas pada lensa yang menyebabkan penurunan jumlah atau
pembiasan cahaya yang masuk melalui media refraksi sehingga menurunkan
kemampuan penglihatan. Degenerasi adalah penyebab katarak yang paling umum,
tetapi banyak faktor lain yang dapat terlibat, termasuk trauma, toksin, penyakit
sistemik (seperti diabetes), merokok, dan kelainan herediter yang bisa menyebabkan
katarak kongenital.
Katarak terkait usia adalah penyebab umum gangguan penglihatan. Prevalensi
katarak diduga berkisar 50% pada individu usia 65-74, meningkat menjadi sekitar
70% bagi mereka yang berusia di atas 75 tahun.
Menurut WHO, katarak bertanggung jawab terhadap 51% kebutaan dunia yang
merepresentasikan sekitar 20 juta orang. Walaupun katarak dapat ditangani dengan
pembedahan, banyak negara yang masih memiliki keterbatasan untuk pasien dapat
mengakses pembedahan, sehingga katarak masih menjadi penyebab utama kebutaan
di dunia. Seiring dengan angka harapan hidup yang semakin tinggi di dunia, jumlah
orang dengan katarak diperkirakan akan terus bertambah.
Pasien katarak biasanya datang dengan keluhan penurunan visus akibat lapang
pandang yang berkabut atau berawan. Pada pemeriksaan ditemukan kekeruhan pada
lensa dengan shadow test positif. Penatalaksanaan katarak yang paling definitif
adalah dengan tindakan operatif. Sebuah studi melaporkan bahwa penundaan lebih
dari 6 bulan menyebabkan peningkatan risiko kegagalan dari tindakan operatif.
Data epidemiologi menunjukkan bahwa katarak merupakan penyebab kebutaan
tertinggi di dunia dengan persentase sebesar 51%.

BAB VI Epidemiologi Penyakit Katarak | 32


Menurut data WHO, katarak menyebabkan sekitar 20 juta kebutaan pada tahun
2010. Secara global, diperkirakan bahwa prevalensi katarak pada individu berusia >
50 tahun adalah 47,8%. Di Finlandia, dilaporkan bahwa prevalensi kasar katarak
berkisar antara 9,5 % dan merupakan gangguan penglihatan paling sering di populasi.
Prevalensi katarak di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara.
Sebuah studi melaporkan bahwa prevalensi katarak mencapai 23%, dengan
tipe yang paling sering adalah tipe gabungan, disusul tipe nuklear dan kortikal.
B. ETIOLOGI KATARAK
Etiologi katarak yang paling sering ditemukan adalah proses degeneratif, namun
banyak faktor yang juga dapat menyebabkan katarak, seperti kelainan kongenital,
faktor metabolik, trauma, toksin, radiasi, dan gelombang elektromagnetik.
1. Degeneratif
Katarak senilis didefinisikan sebagai katarak yang terjadi pada usia > 50 tahun,
yang tidak berkorelasi dengan trauma mekanis, kimia, ataupun radiasi.
Pemecahan agregasi protein, kerusakan membran sel fiber, defisiensi glutation,
kerusakan oksidatif, peningkatan konsentrasi kalsium, dan migrasi sel epitel
lensa yang abnormal adalah mekanisme yang dapat menimbulkan katarak
senilis.
2. Kongenital
Faktor genetik berperan penting dalam pembentukan katarak kongenital. Hal ini
dapat disebabkan karena terdapat anomali dari susunan kromosom. Sekitar
sepertiga katarak kongenital bersifat diturunkan (herediter). Katarak ini dapat
terjadi dengan atau tanpa mikropthalmia, aniridia, degenerasi retina, dan
kelainan genetik multisistem seperti sindrom Lowe atau neurofibromatosis. Gen
PITX3, dilaporkan berperan terhadap katarak kongenital pada disgenesis
mesenkim segmen anterior. Selain faktor genetik, faktor fetal-maternal juga
dapat berperan. Malnutrisi saat kehamilan atau awal kelahiran berhubungan

BAB VI Epidemiologi Penyakit Katarak | 33


dengan katarak zonular non-familial. Infeksi maternal seperti rubella,
toxoplasmosis, dan cytomegalovirus juga berasosiasi dengan katarak kongenital.
3. Trauma
Katarak dapat terbentuk setelah trauma tumpul maupun trauma penetrasi pada
mata yang mengarah pada kerusakan fisik dan ketidakutuhan kapsul lensa.
Ketika kapsul lensa rusak, lensa bagian dalam bengkak oleh air dan berubah
menjadi putih karena denaturasi protein. Benturan pada lensa tanpa rupturnya
kapsul dapat menimbulkan katarak subkapsular dan umumnya berbentuk
bintang.
4. Metabolik
Katarak ini terjadi karena kelainan endokrin dan biokimia. Katarak galaktosemik
dan diabetik adalah contoh paling umum dari katarak metabolik. Galaktosemia
terjadi karena defisiensi dari galactose-1 phosphate uridyl-transferase
(GPUT) dan defisiensi galaktokinase (GK). Pada katarak galaktosemik akan
terlihat opasitas sentral berbentuk tetesan minyak. Pada pasien diabetes yang
tidak terkontrol, terjadi hiperglikemia yang berasosiasi dengan glikasi protein
non-enzimatik, stres osmotik, dan stres oksidatif pada lensa.
5. Obat-obatan
Walaupun jarang terjadi, katarak juga dapat disebabkan oleh penggunaan obat-
obatan. Obat yang dapat memicu katarak misalnya kortikosteroid, klorpromazin,
amiodaron, metotreksat, dan thiazide.
Steroid adalah salah satu obat yang paling sering menyebabkan katarak.
Dilaporkan bahwa penggunaan steroid berkontribusi sebesar 4,7% dari total
ekstraksi katarak.
C. FAKTOR RISIKO KATARAK
Namun ternyata, ada beberapa penyebab lain yang meningkatkan risiko
seseorang tidak hanya berisiko terkena katarak di usia tua, tetapi justru pada usia
yang lebih muda.

BAB VI Epidemiologi Penyakit Katarak | 34


1. Dilansir dari Charlote Eye Ear Nose and Throat Associates (Ceenta), hal ini
disebabkan oleh pengumpulan sorbitol dalam lensa yang dapat
memengaruhi sel dan protein di dalam mata. Sorbitol sendiri terbentuk
karena penderita diabetes tidak memiliki kontrol atas kadar glukosa yang
menyebabkan munculnya suatu enzim yang dapat mengubah glukosa
menjadi sorbitol.
2. Konsumsi alkohol berlebihan Harvard menyebutkan, konsumsi alkohol
dapat meningkatkan risiko katarak. Dalam sebuah studi menemukan bahwa
wanita yang minum satu atau lebih minuman beralkohol per hari memiliki
kemungkinan 11 persen lebih tinggi terkena katarak dibandingkan yang
tidak. Alkohol bahkan dapat menyebabkan kebutaan pada janin. Hal ini
karena alkohol dapat menghambat perkembangan saraf optik pada janin.
3. Penggunaan kortikosteroid Dalam sebuah studi pada tahun 2006 silam
menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid dalam dosis tinggi serta
jangka waktu yang panjang dapat meningkatkan risiko seseorang menderita
katarak. Kortikosteroid sendiri merupakan obat-obatan yang mengandung
senyawa stereoid dan protein yang tinggi. Obat ini biasa digunakan untuk
pengobatan alergi, pegal-pegal, ataupun penyakit autoimun seperti lupus.
Obat ini biasa beredar dalam bentuk inhaler, lotion, tablet, maupun sirup.
4. Kebiasaan merokok Sudah banyak penelitian yang membuktikan bahaya
rokok bagi kesehatan, termasuk kesehatan mata. Dilansir dari Health,
perokok berat, yang mengonsumsi 15 batang atau lebih memiliki risiko
terkena katarak hingga tiga kali lipat dibanding yang bukan perokok. Hal
ini karena konsumsi rokok juga meningkatkan diabetes serta komplikasi
Ritnopati Diabetik yang dapat mengakibatkan berbagai masalah
penglihatan hingga kebutaan.
5. Paparan ultraviolet Menurut WHO, paparan radiasi ultraviolet (UV)
berkontribusi atas banyaknya penderita katarak di dunia. Setidaknya 20

BAB VI Epidemiologi Penyakit Katarak | 35


persen penderita katarak disebabkan oleh UV yang berlebihan. Pernyataan
ini diperkuat oleh publikasi yang dilakukan Depkes di tahun 2018, di mana
penderita katarak di Indonesia disebabkan oleh letak geografis di 0 derajat
equator yang mana tersorot banyak sinar matahari terutama UVB. Hal ini
karena sinar UV, dapat merusak protein lensa dengan cara glikasi. Sinar UV
dapat menggantikan oksigen untuk memicu reaksi oksidatif yang berbahaya
bagi lensa mata.
D. PATOFISIOLOGI KATARAK
Patofisiologi katarak utamanya adalah terjadi perubahan pada
kejernihan lensa (opasitas lensa) sehingga jumlah cahaya yang masuk
melalui media refraksi berkurang dan sulit difokuskan ke retina. Hal ini
dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti proses degeneratif, trauma,
ataupun kelainan kongenital.
Pada awalnya lensa bersifat transparan dan berfungsi memfokuskan cahaya
ke retina. Pada katarak, terdapat agregasi protein yang memecah cahaya
yang masuk, serta terjadi perubahan struktur protein yang menghasilkan
diskolorasi kuning atau kecoklatan. Faktor yang berkontribusi untuk
terbentuknya katarak adalah stres oksidatif dari reaksi radikal bebas,
kerusakan dari sinar ultraviolet, dan malnutrisi.
E. DIAGNOSIS KATARAK
Diagnosis katarak dapat dibuat dengan mendeteksi penurunan visus yang
tidak dapat diperbaiki dengan koreksi refraksi dan pemeriksaan mata
didapatkan opasitas pada lensa.
Anamnesis Penurunan tajam penglihatan adalah keluhan utama paling
sering yang dikemukakan pasien katarak. Pasien juga dapat mengeluhkan
penglihatan yang berawan atau berkabut.
F. KOMPLIKASI KATARAK

BAB VI Epidemiologi Penyakit Katarak | 36


Pada kondisi normal, lensa mata akan berwarna bening karena sesuai
dengan fungsinya, yaitu untuk meneruskan cahaya ke dalam retina. Jika
seseorang menderita katarak, lensa mata akan terasa keruh dan
kekeruhannya akan bertambah secara perlahan.
Adanya katarak menyebabkan penderita sulit untuk melakukan aktivitas
sehari-hari karena pandangan yang terganggu.
Hingga saat ini proses munculnya katarak pada seseorang belum diketahui
dengan pasti. Selain diakibatkan penuaan, katarak juga dapat terjadi akibat
penyakit genetik, kelainan enzim, dan infeksi. Pengeruhan lensa dapat
berkembang lebih cepat jika terjadi cedera pada mata atau peradangan pada
jaringan mata (inflamasi intraokular).
Katarak juga dapat terjadi pada waktu masih muda, terutama jika seseorang
sering terpapar sinar ultraviolet, menjalani radioterapi, menderita diabetes,
atau merokok. Ada beberapa orang yang berpendapat katarak bisa diatasi
dengan obat katarak, namun hal ini belum terbukti secara klinis.
Indikasi Operasi Katarak
Operasi katarak dilakukan jika penderita sudah didiagnosis menderita
katarak. Gejala-gejala katarak yang biasanya muncul adalah:
1. Gangguan penglihatan.
2. Penglihatan kabur.
3. Sulit membedakan warna.
4. Suit melihat benda terang.
5. Rabun jauh.
6. Penglihatan ganda.
7. Peringatan Operasi Katarak
Operasi katarak biasanya cukup aman untuk dijalani penderita dan jarang
menimbulkan komplikasi. Meski demikian, operasi katarak masih dapat
menimbulkan risiko seperti:

BAB VI Epidemiologi Penyakit Katarak | 37


1. Peradangan dan infeksi mata, termasuk endoftalmitis.
2. Pembengkakan mata.
3. Penurunan kelopak mata.
4. Perdarahan.
5. Lensa buatan terlepas.
6. Muncul kembali katarak akibat keruhnya kapsul belakang lensa mata.
7. Ablasi retina.
8. Glaukoma.
9. Kebutaan
Risiko komplikasi akibat operasi katarak akan meningkat jika penderita
mengalami penyakit mata lainnya. Jika terdapat penyakit mata lain,
seperti glaukoma atau degenerasi makula yang meyebabkan gangguan
penglihatan, operasi katarak biasanya tidak bisa memperbaiki kualitas
penglihatan penderita secara penuh.
G. PENATALAKSANAAN KATARAK
Penatalaksanaan katarak dilakukan berdasarkan tingkat keparahan
katarak dan terganggunya kualitas hidup pasien. Saat ini tatalaksana
pembedahan masih menjadi satu satunya tatalaksana kuratif dari katarak.
Terapi Farmakologis
Hingga saat ini belum ditemukan obat-obatan yang terbukti mampu
memperlambat atau menghilangkan katarak. Beberapa agen yang diduga dapat
memperlambat pertumbuhan katarak adalah penurun sorbitol, aspirin, dan
vitamin C, namun belum ada bukti yang signifikan mengenai hal tersebut.
H. UPAYA PENCEGAHAN KATARAK
Edukasi dan promosi kesehatan untuk katarak sangat diperlukan bagi
pasien-pasien yang terdiagnosis katarak. Perlu disampaikan bahwa prognosis
katarak baik apabila dilakukan intervensi pembedahan sehingga diharapkan
kualitas hidup pasien juga dapat meningkat.

BAB VI Epidemiologi Penyakit Katarak | 38


Untuk pencegahan katarak, belum banyak yang dapat dilakukan. Proteksi sinar
ultraviolet dan konsumsi antioksidan yang sebelumnya dikatakan dapat
membantu memperlambat progresivitas dari katarak, masih belum didukung
bukti ilmiah yang signifikan. Kontrol faktor risiko seperti diabetes dan berhenti
merokok dapat dilakukan pada pasien.

BAB VI Epidemiologi Penyakit Katarak | 39


BAB VII
EPIDEMILOGI PENYAKIT HIPERTENSI

A. PENGERTIAN HIPERTENSI
Menurut Shepes, S.G (2005) Hipertensi adalah penyakit tanda adanya
gangguan tekanan darah sistolik maupun diastolic yang naik di atas tekanan
darah normal. Menurut American Society of Hypertension (ASH) hipertensi
adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala kardiovaskuler yang progresif
sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan, WHO
menyatakan hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau
sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolic sama atau lebih besar 95
mmHg, (JNC VII) berpendapat hipertensi adalah peningkatan tekanan darah
diatas 140/90 mmHg, sedangkan menurut Brunner dan Suddarth hipertensi juga
diartikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan darahnya diatas
140/90 mmHg. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hipertensi
merupakan peningkatan tekanan darah sistolik yang persisten diatas 140 mmHg
sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks dan saling berhubungan.
B. ETIOLOGI HIPERTENSI
Penyebab hipertensi dibedakan atas 2 yaitu:
1. Hipertensi esensial (hipertesi primer) yaitu hipertesi yang tidak diketahui
penyebabnya atau adiopatik. Hipertensi esensial adalah penyakit
multifactor yang timbul terutama karena interaksi antara faktor risiko
tertentu.
2. Hipertensi non esensial (sekunder) adalah hipertensi yag dapat diketahui
penyebabnya, sering berhubungan dengan beberapa penyakit seperti ginjal,
jantung coroner, diabetes, dan kelainan system saraf pusat.

BAB VII Epidemiologi Hipertensi | 40


Aris Sugiharto menyebutkan bahwa etiologi utama hipertensi adalah gaya
hidup modern, sebab dalam gaya hidup modern situasi peuh tekanan dan
stress. Dalam kondisi tertekan, adrenaln dan kartisol dilepaskan ke aliran
darah sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah. Selain itu gaya
hidup seperti kurang berolaraga, pola makan yang salah serta berat badan
berlebih.
C. FAKTOR RISIKO HIPERTENSI
Faktor risiko hipertensi terbagi atas:
1. Faktor Risiko yang tidak dapat diubah adalah faktor Risiko yang melekat
pada penderita Hipertensi dan tidak dapat diubah,antara lain: umur, jenis
kelamin dan genetik.
2. Faktor Risiko yang dapat diubah adalah faktor risiko yang diakibatkan
perilaku tidak sehat dari penderita hipertensi antara lain: merokok, diet
rendah serat, dislipidemia, onsumsi garam berlebih, kurang aktivitas fisik,
stress, berat badan berlebih/ kegemukan dan onsumsi alkohol.
D. PATOSIOLOGI HIPERTENSI
Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan total peripheral
resistance. Apabila terjadi peningkatan salah satu dari variabel tersebut yang
tidak terkompensasi maka dapat menyebabkan timbulnya hipertensi. Tubuh
memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut
yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan mempertahankan stabilitas
tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan darah sangat
kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem reaksi cepat seperti reflex
kardiovaskuler melalui sistem saraf, refleks kemoreseptor, respon iskemia,
susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, dan arteri pulmonalis otot polos.
Sedangkan sistem pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan cairan antara
sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol oleh hormon angiotensin
dan vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem poten dan berlangsung dalam

BAB VII Epidemiologi Hipertensi | 41


angka panjang yang dipertahankan oleh sistem pengaturan jumlah cairan tubuh
yang melibatkan berbagai organ.
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya
angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE).
ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah
mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon,
renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE
yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II.
Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan
darah melalui dua aksi utama
Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH)
dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja
pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya
ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis),
sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya,
volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari
bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya
akan meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi
aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang
memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan
ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara
mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan
kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada
gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah.
Manifestasi klinis yang dapat muncul akibat hipertensi menurut
Elizabeth J. Corwin ialah bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah
mengalami hipertensi bertahun-tahun. Manifestasi klinis yang timbul dapat
berupa nyeri kepala saat terjaga yang kadang-kadang disertai mual dan muntah

BAB VII Epidemiologi Hipertensi | 42


akibat peningkatan tekanan darah intrakranium, penglihatan kabur akibat
kerusakan retina, ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan saraf,
nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) karena peningkatan aliran darah
ginjal dan filtrasi glomerolus, edema dependen akibat peningkatan tekanan
kapiler. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau
serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada
satu sisi atau hemiplegia atau gangguan tajam penglihatan. Gejala lain yang
sering ditemukan adalah epistaksis, mudah marah, telinga berdengung, rasa
berat di tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunangkunang.
E. DIAGNOSA HIPERTENSI
Berdasarkan anamnesis, sebagian besar pasien hipertensi bersifat
asimptomatik. Beberapa pasien mengalami keluhan berupa sakit kepala, rasa
seperti berputar, atau penglihatan kabur. Hal yang dapat menunjang kecurigaan
ke arah hipertensi sekunder antara lain penggunaan obat-obatan seperti
kontrasepsi hormonal, kortikosteroid, dekongestan maupun NSAID, sakit kepala
paroksismal, berkeringat atau takikardi serta adanya riwayat penyakit ginjal
sebelumnya. Pada anamnesis dapat pula digali mengenai faktor resiko
kardiovaskular seperti merokok, obesitas, aktivitas fisik yang kurang,
dislipidemia, diabetes milletus, mikroalbuminuria, penurunan laju GFR, dan
riwayat keluarga.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, nilai tekanan darah pasien diambil
rerata dua kali pengukuran pada setiap kali kunjungan ke dokter. Apabila
tekanan darah ≥ 140/90 mmHg pada dua atau lebih kunjungan maka hipertensi
dapat ditegakkan. Pemeriksaaan tekanan darah harus dilakukan dengan alat yang
baik, ukuran dan posisi manset yang tepat (setingkat dengan jantung) serta
teknik yang benar. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memeriksa
komplikasi yang telah atau sedang terjadi seperti pemeriksaan laboratorium
seperti darah lengkap, kadar ureum, kreatinin, gula darah, elektrolit, kalsium,

BAB VII Epidemiologi Hipertensi | 43


asam urat dan urinalisis. Pemeriksaan lain berupa pemeriksaan fungsi jantung
berupa elektrokardiografi, funduskopi, USG ginjal, foto thoraks dan
ekokardiografi. Pada kasus dengan kecurigaan hipertensi sekunder dapat
dilakukan pemeriksaan sesuai indikasi dan diagnosis banding yang dibuat. Pada
hiper atau hipotiroidisme dapat dilakukan fungsi tiroid (TSH, FT4, FT3),
hiperparatiroidisme (kadar PTH, Ca2+), hiperaldosteronisme primer berupa
kadar aldosteron plasma, renin plasma, CT scan abdomen, peningkatan kadar
serum Na, penurunan K, peningkatan eksresi K dalam urin ditemukan alkalosis
metabolik. Pada feokromositoma, dilakukan kadar metanefrin, CT scan/MRI
abdomen. Pada sindrom cushing, dilakukan kadar kortisol urin 24 jam. Pada
hipertensi renovaskular, dapat dilakukan CT angiografi arteri renalis, USG
ginjal, Doppler Sonografi.
F. KEMUNGKINAN KOMPLIKASI
Tekanan darah tinggi dalam waktu lama akan mempengaruhi system organ da
akhirya akan memperpendek harapan hidup sebesar 10-20 tahun. Perubahan
yang akan terjadi akibat hipertensi menurut Rinawang 2011:
1. Jantung: komplikasi berupa infark miokard, angina pettoris, gagal jantung.
2. Ginjal: dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan darah tinggi
pada pebuluh kapiler ginjal, glomerulus. Dengan rusaknya glomerulus
darah akan megalir keunit fungsional ginjal, neutron akan terganggu dan
dapat berlanjut menjadi hipoksik dan kematian.
3. Otak: komplikasinya berupa stroke dan serangan iskhemik. Stroke dapat
terjadi akibat perdarahan tekanan tinggi diotak.
4. Mata: komplikasi dapat berupa pendarahan retina, gangguan penglihatan
sampai dengan kebutaan.
G. PENATALAKSANAAN HIPERTENSI
1. Penatalaksanaan non farmakologis atau perubhan gaya hidup yaitu tindakan
mengurangi faktor risiko yang telah diketahui akan menyebabkan atau

BAB VII Epidemiologi Hipertensi | 44


meniimbulkan komplikasi seperti menurunkan berat badan, menghentikan
kebiasaan merokok, alkohol dan mengurangi asam garam, kalsium, dan
magnesium, sayuran serta olaraga dinamik seperti lari, senam salah satu
anjuran umumnya sulit dilakukan.
 Menurunkan berat badan bila status gizi berlebih: peningkatan
berat badan di usia dewasa sangat berpengaruh terhadap tekanan
darahnya. Oleh karena itu, manajemen berat badan sangat penting
dalam prevensi dan kontrol hipertensi.
 Meningkatkan aktifitas fisik: orang yang aktivitasnya rendah
berisiko terkena hipertensi 30-50% daripada yang aktif. Oleh
karena itu, aktivitas fisik antara 30-45 menit sebanyak >3x/hari
penting sebagai pencegahan primer dari hipertensi.
 Mengurangi asupan natrium Menurunkan konsumsi kafein dan
alkohol: kafein dapat memacu jantung bekerja lebih cepat,
sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya.
Sementara konsumsi alkohol lebih dari 2-3 gelas/hari dapat
meningkatkan risiko hipertensi.
2. Penatalaksanaan farmakologi adalah dengan menggunakan obat
antihipertensi yang memiliki efektivitas dan keamanan dalam pengobatan
hipertensi. Terapi farmakologis yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan
oleh JNC VII yaitu diuretika, terutama jenis thiazide (Thiaz) atau aldosteron
antagonis, beta blocker, calcium chanel blocker atau calcium antagonist,
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI), Angiotensin II Receptor
Blocker atau AT1 receptor antagonist/ blocker (ARB) diuretik tiazid
(misalnya bendroflumetiazid).
Berdasarkan uji klinis: keuntungan pengobatan antihipertensi adalah
penurunan tekanan darah, pengelompokan pasien berdasarkan keperluan

BAB VII Epidemiologi Hipertensi | 45


pertimbangan khusus yaitu kelompok indikasi yang memaksa dan keadaan
khusus lainnya, terapi dimulai secara bertahap dan target tekanan darah
dicapai secara progresif dalm beberapa minggu dengan dosis yang rendah
lalu perlahan ditingkatkan dosisnya, menggunakan obat antihipertensi
dengan masa kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan
pemberian sekali sehari, pilihan memulai terapi dengan satu jenis obat
antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal
dan ada tidaknya komplikasi.
H. UPAYA PENCEGAHAN HIPERTENSI
1. Pencegahan primordial merupakan usaha pencegahan predisposisi terhadap
hipertensi, belum terlihatnya faktor yang menjadi resiko hipertensi seperti
peraturan pemerintah membuat peringatan melakukan senam kesegaran
jasmani untuk menghindari terjadinya hipertensi.
2. Pencegahan primer: melakukan penyuluhan mengenai faktor risiko
hipertensi seperti menghindari konsumsi alkohol, merokok, obesitas, stress.
3. Pencegahan sekunder: upaya pencegahan yang ditujukan kepada penderita
agar tidak terjadi lebih berat dengan melakukan pengobatan untuk
mencegah hipertensi kronik.
Pencegahan tersier: Pencegahan tersier ini tidak hanya melakukan
pengobatan tetapi dengan melakukan rehabilitasi.

BAB VII Epidemiologi Hipertensi | 46


BAB VIII
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT OBESITAS

A. PENGERTIAN OBESITAS
Epidemi obesitas dengan cepat menjadi tantangan terbesar kesehatan
masyarakat global, peringkat tiga besar penyebab gangguan kesehatan kronis.
Pada tahun 2014 diperkirakan bahwa dampak ekonomi global akibat obesitas
adalah $ 2 triliun per tahun yaitu hampir sama dengan merokok dan
perang/konflik global. Angka ini termasuk biaya kesehatan serta biaya yang
terkait dengan kehilangan produktivitas.
Obesitas merupakan penumpukan lemak yang berlebihan akibat
ketidakseimbangan asupan energi (energy intake) dengan energi yang digunakan
(energy expenditure) dalam waktu yang lama (WHO, 2000). Indeks massa tubuh
(IMT) adalah indeks sederhana dari berat badan terhadap tinggi badan yang
digunakan untuk mengklasifikasikan kelebihan berat badan dan obesitas pada
orang dewasa. IMT didefinisikan sebagai berat badan seseorang dalam kilogram
dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (kg/m2).

IMT memiliki korelasi positif dengan total lemak tubuh, tetapi IMT
bukan merupakan satu-satunya indikator untuk mengatur obesitas. Selain IMT,
metode lain untuk pengukuran antropometri tubuh adalah dengan mengukur

BAB VIII Epidemiologi Penyakit Obesitas | 47


lingkar perut/lingkar pinggang . Internasional Diabetes Federation (IDF)
mengeluarkan kriteria ukuran lingkar perut berdasarkan etnis.

Obesitas digolongkan menjadi tiga tingkatan:


1. Obesitas ringan (kelebihan berat badan 20% s/d 40%)
2. Obesitas sedang (kelebihan berat badan 41% s/d 100%)
3. Obesitas berat (kelebihan berat badan lebih besar dari 100%)
B. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI OBESITAS
Penyebab obesitas sangatlah kompleks. Meskipun gen berperan
penting dalam menentukan asupan makanan dan metabolisme energi, gaya
hidup dan faktor lingkungan dapat berperan dominan pada banyak orang dengan
obesitas. Diduga bahwa disebabkan bahwa sebagian besar obesitas disebabkan
oleh karena interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, antara lain
aktifitas, gaya hidup, sosial ekonomi dan nutrisional.
1. Genetik
Obesitas jelas menurun dalam keluarga. Bukti terkini menunjukan bahwa
20-25% kasus obesitas dapat disebabkan faktor genetik. Apabila kedua
orang tua obesitas, 80% anaknya akan menjadi obesitas. Apabila salah satu
orang tuanya obesitas, kejadian obesitas menjadi 40 % dan bila kedua orang

BAB VIII Epidemiologi Penyakit Obesitas | 48


tua tidak obesitas, maka prevalensinya menjadi 14 %. Kegemukan dapat
diturunkan dari generasi sebelumnya kepada generasi berikutnya di dalam
sebuah keluarga. Imlah sebabnya seringkali dijumpai orangtua yang gemuk
cenderung memiliki anak-anak yang gemuk pula. Obesitas dapat terjadi
karena faktor genetik yang menyebabkan kelainan satu atau lebih jaras
pengatur pusat makan, pengeluaran energi, serta penyimpanan. Mutasi gen-
gen penyandi leptin, reseptor leptin, Pro-opiomelanokortin (POMC),
reseptor melanokortin 4 (MC4R) akan mempengaruhi pengendali asupan
makanan dan menjurus ke timbulnya obesitas.
2. Aktifitas Fisik
Penyebab utama obesitas salah satunya adalah gaya hidup yang tidak aktif.
Hal ini disebabkan karena aktivitas fisik yang tidak adekuat dapat
menyebabkan pengurangan massa otot dan peningkatan adipositas dan
sebaliknya aktivitas fisik dan latihan fisik yang teratur dapat meningkatkan
massa otot dan mengurangi massa lemak tubuh. Bukti kumulatif dari studi
kohort prospektif dan uji RCT menunjukkan bahwa aktifitas fisik dan gaya
hidup aktif memainkan peran penting dalam manajemen berat badan.
Mekanisme biologis dimana aktifitas fisik mencegah penambahan berat
badan berlipat ganda (termasuk meningkatkan pengeluaran energi total,
mengurangi massa lemak, mempertahankan massa tubuh
tanpa lemak, dan tingkat metabolisme basal).
3. Perilaku Makan
Faktor lain penyebab obesitas adalah perilaku makan yang tidak baik.
mengkomsumsi makanan cepat saji, daging dan makanan berlemak akan
meningkatkan risiko terjadinya obesitas menjadi lebih besar. Makanan
berlemak mempunyai energy density lebih besar dan lebih tidak
mengenyangkan serta mempunyai efek termogenesis yang lebih kecil
dibandingkan makanan yang banyak mengandung protein dan karbohidrat.

BAB VIII Epidemiologi Penyakit Obesitas | 49


Perilaku makan yang tidak baik pada masa kanak kanak memiliki
konstribusi dalam obesitas. Jumlah total sel lemak dalam tubuh saat dewasa
ditentukan dari jumlah sel lemak saat masa kanak kanak. kecepatan
pembentukan sel sel lemak meningkat pada tahun tahun pertama kehidupan,
dan makin besar kecepatan penyimpanan lemak, makin besar pula jumlah
sel lemak. Oleh karena itu obesitas pada kanak kanak cenderung
mengakibatkan obesitas pada saat dewasanya.
4. Neurogenik
Telah dibuktikan bahwa lesi di nukleus ventromedial hipotalamus dapat
menyebabkan seekor binatang makan secara berlebihan dan menjadi
obesitas. Orang dengan tumor hipofisis yang menginvasi hipotalamus
seringkali mengalami obesitas yang progresif. Hal ini memperlihatkan
bahwa, obesitas pada manusia juga dapat timbul akibat kerusakan pada
hipotalamus. Dua bagian hipotalamus yang mempengaruhi penyerapan
makanan yaitu hipotalamus lateral (HL) yang menggerakan nafsu makan
(awal pusat makan) dan hipotalamus ventromedial (HVM) yang bertugas
menintangi nafsu makan (pemberhentian atau pusat kenyang). Dari
penelitian didapatkan bahwa bila HL rusak / hancur, maka individu menolak
untuk makan atau minum. Sedangkan bila kerusakan terjadi pada HVM,
maka seseorang akan menjadi rakus dan kegemukan.
5. Hormonal
Dari segi hormonal terdapat leptin, insulin, kortisol, dan peptida usus.
Leptin adalah sitokin yang menyerupai polipepyida yang dihasilkan oleh
adiposit yang bekerja melalui akivitas reseptor hipotalamus. Injeksi leptin
akan mengakibatkan penurunan jumlah makanan yang dikonsumsi. Insulin
adalah anabolik hormon, insulin diketahui berhubungan langsung dalam
penyimanan dan penggunaan energi pada sel adiposa. Kortisol adalah

BAB VIII Epidemiologi Penyakit Obesitas | 50


glukokortikoid yang bekerja dalam mobilisasi asam lemak yang tersimpan
pada trigliserida, hepatic glukoneogenesis dan proteolisis.
6. Dampak penyakit lain
Obesitas dikaitkan dengan beberapa penyakit endokrin, termasuk penyakit
yang umum seperti hipotiroidisme dan sindrom ovarium polikistik, serta
penyakit langka seperti sindrom Cushing, hipotiroidisme sentral, dan
gangguan hipotalamus. Mekanisme terjadinya obesitas bervariasi sesuai
dengan kondisi endokrin. Obesitas pada hypothyroidism dikaitkan dengan
akumulasi asam hyaluronic pada berbagai jaringan, retensi cairan tambahan
karena berkurangnya curah jantung dan berkurangnya thermogenesis.
Patofisiologi obesitas terkait dengan sindrom ovarium polikistik lebih
kompleks karena obesitas itu sendiri secara bersamaan bisa menjadi
penyebab dan efek dari sindrom. Sedangkan pada sindrom Cushing,
interaksi hormon tiroid memainkan peran penting dalam peningkatan
diferensiasi adipocyte dan adipogenesis.
C. FAKTOR RISIKO OBESITAS
1. Faktor Genetik
Bila salah satu orang tuanya obesitas, maka peluang anak-anak menjadi
obesitas 40-60%. Dan apabila kedua orang tuanya menderita obesitas maka
peluang faktor keturunan menjadi 70-80%.
2. Faktor Lingkungan
 Pola Makan
Jumlah asupan energi yang berlebih menyebabkan kelebihan berat
badan dan obesitas. Jenis makanan dengan kepadatan energi yang
tinggi (tinggi lemak, gula, serta kurang serat) menyebabkan
ketidakseimbangan energi.

BAB VIII Epidemiologi Penyakit Obesitas | 51


 Pola Aktivitas Fisik
Pola aktivitas fisik sedentary (kurang gerak) menyebabkan energi
yang dikeluarkan tidak maksimal sehingga meningkatkan risiko
obesitas.
3. Faktor Obat-obatan dan Hormonal
a. Obat-obatan
Obat-obatan jenis steroid yang sering digunakan dalam jangka
waktu yang lama untuk terapi asma, osteoartritis dan alergi dapat
menyebabkan nafsu makan yang meningkat sehingga
meningkatkan risiko obesitas.
b. Hormonal
Hormonal yang berperan dalam kejadian obesitas antara lain
adalah hormon leptin, ghrelin, tiroid, insulin dan esterogen.
D. KEMUNGKINAN KOMPLIKASI
1. Dampak Metabolik
Lingkar perut pada ukuran tertentu (pria > 90 cm dan wanita > 80 cm) akan
berdampak pada peningkatan trigliserida dan penurunan kolesterol HDL,
serta meningkatkan tekanan darah . Keadaan ini disebut dengan sindroma
metabolik.
2. Dampak penyakit lain
 Perburukan asma
 Osteoartritis lutut dan pinggul (berhubungan dengan mekanik)
 Pembentukan batu empedu
 Sleep Apnoea (henti nafas saat tidur)
 Low back pain (nyeri pinggang)

BAB VIII Epidemiologi Penyakit Obesitas | 52


E. PENATALAKSANAAN OBESITAS
1. Mencapai Berat badan ideal
Pertama harus sadar bahwa anda sudah gemuk atau obesitas. Selanjutnya
perlu ada kemauan untuk menjadi lebih kurus. Tidak ada cara menurunkan
berat badan yang instant. Menurunkan berat badan tidak dapat dilakukan
secara cepat. Jangan ada pikiran bahwa menurunkan berat badan itu mudah.
Jangan percaya dengan program diet yang mengklaim bisa menurunkan
berat badan 8 - 10 Kg dalam waktu 7 hari. Ingat kebanyakan berat badan
akan kembali naik lagi bila upaya penurunan berat badan tidak dilakukan
dengan teratur dan kontinyu. Yang paling realistis atau masuk akal adalah
menurunkan berat ini tidak spektakuler, namun aman dan bermanfaat.
Mulailah Dengan Diet ! Diet adalah kunci utama penurunan berat badan,

BAB VIII Epidemiologi Penyakit Obesitas | 53


para ahli mengakui bahwa dengan diet yang benar anda telah memenangi
separuh pertempuran menurunkan berat badan! Diet yang rendah kalori dan
tinggi serat perlu diupayakan, disamping pembakaran yang teratur melalui
olahraga setiap hari, sehingga tercapai balance yang negatif, pembakaran
kalori lebih banyak daripada pemasukan.
2. Obat untuk Obesitas
Obat yang bekerja di usus menghambat penyerapan lemak atau kalori ke
dalam tubuh dan obat yang bekerja secara sentral pada pusat pengaturan
nafsu makan di otak, sehingga nafsu makan dapat ditekan. Sebenarnya
masih ada obat yang beredar akhir-akhir ini disebut sebagai fat burner, yang
bekerja membakar lemak di bawah kulit pada orang gemuk. Beberapa obat
lain yang bekerja mengatur hormon tertentu, dapat pula dipakai menekan
nafsu makan seseorang. Datanglah berkonsultasi kepada dokter anda untuk
mendapatkan obat yang cocok dalam menurunkan berat badan. Pada
obesitas yang sangat berat, dimana upaya diet, olahraga dan obat sudah
diberikan namun belum ada hasil yang menggembirakan, maka ahli
bedahlah yang akan berperan melakukan pemotongan sebagian usus si
gemuk, atau operasi bariatik dengan memasang klem pada lambung.
Beberapa rumah sakit juga dapat melakukan penyedotan lemak perut atau
liposuction. Adapula yang melakukan mesoterapi, yaitu suntikan ke bawah
kulit untuk membakar lemak. Mengingat orang obesitas biasanya juga
disertai penyakit atau komplikasi lain, maka semua tindakan di atas harus
dipersiapkan dengan baik, karena bisa memberikan dampak yang kurang
baik bagi si pasien. Kerjasama yang baik dari suatu tim dokter akan bisa
memecahkan masalah kegemukan anda.

BAB VIII Epidemiologi Penyakit Obesitas | 54


F. UPAYA PENCEGAHAN OBESITAS
a. Konsumsi makanan sehat dan gizi seimbang, konsumsi buah sayur
minimal 5 porsi per hari.
b. Konsumsi gula, garam dan lemak dengan pedoman G4 G1 L5
(konsumsi Gula maksimal 4 sendok makan atau 50 gram per hari,
konsumsi Garam maksimal 1 sendok teh atau 2 gram per hari,
konsumsi Lemak maksimal 5 sendok makan atau 67 gram per hari)
c. Rajin melakukan aktivitas fisik secara teratur seperti berjalan kaki,
membersihkan rumah, dan berolah raga, upayakan dilakukan secara
BBTT (Baik, Benar, Teratur dan Terukur).
d. Jaga berat badan agar tetap ideal dan tidak berisiko dengan
mempertahankan Indeks Massa Tubuh (IMT) di kisaran 18-23 kg/m2 .

BAB VIII Epidemiologi Penyakit Obesitas | 55


BAB VIII Epidemiologi Penyakit Obesitas | 56
BAB IX
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT GAGAL GINJAL

A. PENGERTIAN GAGAL GINJAL


Penyakit pada ginjal yang ditandai dengan penurunan Glomerular filtration rate
(GFR) atau rerata filtrasi glomerulus menjadi sebesar <90mL/menit/1.73m2
dalam >3 bulan dengan atau tanpa adanya kerusakan ginjal, atau kerusakan
ginjal dalam >3 bulan, dengan atau tanpa adanya penurunan GFR.
Pada tahap awal gagal ginjal sering kali tidak menunjukkan gejala, sampai 75 %
fungsi ginjal hilang (NKF, 2006).Menurut Rahardjo, (2006) menjelaskan bahwa
jumlah penderita gagal ginjal kronis yang menjadi gagal ginjal terminal terus
meningkat dan diperkirakan pertumbuhannya sekitar 10% setiap tahun.
B. ETIOLOGI GAGAL GINJAL
Penyebab terbanyak penyakit gagal ginjal:
1. Nefrofati DM
2. Hipertensi
3. Glumenorulotifis
4. Penyakit ginjal herediter:
 Ginjal polikistik
 Sindroma alport
5. Uropati obsturki
6. Nefritis interstitial
Di Indonesia sendiri penyebab gagal ginjal itu sendiri adalah :
1. Glumenorulotifis
2. Infeksi Saluran Kemih ( ISK )
3. Batu Saluran Kencing

BAB IX Epidemiologi Penyakit Gagal Ginjal | 57


4. Nefropati Diabetik
5. Nefrosklerosis Hipertensi
6. Ginjal Polikistik
C. FAKTOR RESIKO GAGAL GINJAL
1. Pasien dengan diabetes melitus atau hipertensi
2. Individu dengan obesitas atau perokok
3. Individu berumur lebih dari 50 tahun
4. Individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus,hipertensi.
5. Penyakit ginjal dalam keluarga
6. Upaya pencegahan terhadap penyakit
D. PATOFISIOLOGI GAGAL GINJAL
Patofisiologi gagal ginjal akut (acute kidney injury) adalah ketika terjadi
gangguan perfusi oksigen dan nutrisi dari nefron baik karena pasokan yang
menurun maupun permintaan yang meningkat. Patofisiologi dari gagal ginjal akut
dibedakan berdasarkan etiologinya.
 Prerenal
Hipoperfusi ke ginjal yang menyebabkan penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG), seperti pada hipovolemia, gangguan fungsi jantung,
vasodilatasi sistemik dan peningkatan resistensi vaskular. Hal ini menyebabkan
terjadinya gangguan dalam mempertahankan tekanan filtrasi intraglomerulus
sehingga ginjal hanya menerima 25% dari curah jantung (cardiac output).
Sistem pembuluh darah di ginjal dapat mempertahankan perfusi hingga tekanan
darah sistemik dengan mean arterial pressure (MAP) 65 mmHg. Dalam sebuah
penelitian, MAP 72 – 82 mmHg diperlukan untuk menghindari gagal ginjal akut
pada pasien syok sepsis dan bila terdapat gangguan ginjal.

BAB IX Epidemiologi Penyakit Gagal Ginjal | 58


 Renal
Gangguan terjadi dalam ginjal seperti tubulus, glomerulus, interstisial dan
pembuluh darah intrarenal. Nekrosis tubular akut (Acute Tubular Necrosis /
ATN) merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan gagal ginjal akut.
Kerusakan dan kematian sel tubulus dapat disebabkan karena iskemik maupun
toksik. “Sampah” hancuran sel akibat ATN ini kemudian dapat menumpuk dan
menyebabkan obstruksi yang memperparah gagal ginjal akut. Pada gagal ginjal
akut akibat gangguan renal, dapat terjadi isothenuria (kegagalan mengatur
osmolalitas urin), osmolalitas urin dapat kurang dari 300 mOsm/kgBB.
 Pasca Renal
Adanya obstruksi pada traktus urinarius dimulai dari tubulus ginjal hingga uretra
dimana terjadi peningkatan tekanan intratubular. Obstruksi ini juga dapat
memicu gangguan tekanan darah pada ginjal dan reaksi inflamasi yang
mengakibatkan penurunan LFG.[3-6].
E. DIAGNOSA GAGAL GINJAL
Pemeriksaan fungsi ginjal penting dilakukan untuk mengidentifikasi
adanya penyakit ginjal sedini mungkin agar penatalaksanaan yang efektif dapat
diberikan.
Untuk mengetahui penurunan fungsi ginjal sejak dini dapat dilakukan dengan
pemeriksaan darah dan urin.
1. Pemeriksaan darah dengan melihat kadar kreatinin, ureum, dan Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG)
a. Kreatinin dan Urea (BUN) dalam Darah
Ini adalah tes darah yang paling umum digunakan untuk memantau penyakit
ginjal. Kreatinin adalah produk dari kerusakan otot normal. Urea adalah
produk limbah dari pemecahan protein. Kadar zat ini meningkat dalam darah
seiring memburuknya fungsi ginjal

BAB IX Epidemiologi Penyakit Gagal Ginjal | 59


b. Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)
LFG adalah sarana standar untuk mengekspresikan fungsi
ginjal secara keseluruhan. Selama penyakit ginjal berlangsung, LFG
akan turun. LFG normal adalah sekitar 100-140 ml/menit pada pria dan
85-115 mL/menit pada wanita. Itu berkurang pada kebanyakan orang
dengan usia.
LFG dapat dihitung dari jumlah produk limbah dalam urine 24
jam atau dengan menggunakan pewarna khusus yang diberikan secara
intravena. Estimasi LFG (eLFG) dapat dihitung dari tes darah rutin,
tetapi bisa jadi tidak akurat pada orang yang lebih muda dari 18 tahun,
ibu hamil, dan orang-orang yang sangat berotot atau obesitas.
2. Pemeriksaan urin dengan melihat kadar albumin atau protein
a. Urinalisis
Urinalisis atau analisis urine merupakan pemeriksaan yang
bisa dibilang memberi informasi besar terkait fungsi ginjal. Langkah
pertama dalam melakukan tes ini adalah tes dipstick. Hal ini
karena dipstick memiliki reagen tes urine untuk mengetahui adanya
konstituen normal dan abnormal, termasuk protein. Kemudian, urine
diperiksa di bawah mikroskop untuk mencari sel-sel darah merah dan
putih, dan adanya silinder dan kristal (padatan).
Normalnya, protein (albumin) tidak ditemukan, atau
setidaknya hanya sedikit, dalam urine. Hasil positif pada
tes dipstick menunjukkan jumlah protein abnormal. Namun sebenarnya
ada pemeriksaan lain yang lebih sensitif dari tes dipstick untuk protein,
yaitu estimasi laboratorium albumin urine dan kreatinin dalam urine.
Rasio albumin dan kreatinin dalam urine memberikan perkiraan yang
baik dari ekskresi albumin per hari.

BAB IX Epidemiologi Penyakit Gagal Ginjal | 60


b. Tes Urine 24 Jam
Tes ini mengharuskan seseorang yang menjalaninya untuk
mengumpulkan semua urine selama 24 jam penuh. Dalam tes ini, urine
akan dianalisis untuk mengetahui kadar protein dan limbah produk
(seperti nitrogen urea dan kreatinin). Kehadiran protein dalam urine
mengindikasikan kerusakan ginjal. Jumlah kreatinin dan urea
diekskresikan dalam urine dapat digunakan untuk menghitung tingkat
fungsi ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG).
F. KEMUNGKINAN KOMPLIKASI
Banyak faktor yang dapat merusak fungsi ginjal sehingga
organ vital tersebut tidak berfungsi lagi dengan baik, diantaranya
diabetes melitus, kelebihan kolesterol (hiperkolesterolemia),
hipertensi, dan peradangan pada glomerulus (glomerulonephritis).
Kerusakan ginjal dimulai dari gagal ginjal akut (kerusakan sementara)
yang tidak tertangani dengan baik sehingga dapat memburuk hingga
menjadi gagal ginjal kronis (kerusakan permanen dan parah).
Penderita yang sudah memasuki gagal ginjal wajib berhati-
hati terhadap komplikasi yang dapat memperparah kondisi kesehatan.
Dilansir dari berbagai sumber ilmiah, berikut adalah 5 komplikasi yang
mungkin terjadi pada penderita gagal ginjal :
1. Hiperkalemia
Komplikasi ini merupakan keadaan di mana kalium yang ada di dalam darah
seseorang tinggi. Kalium yang tinggi ini, akan membuat jantung bekerja dengan
tidak sempurna. Sehingga menyebabkan gangguan pada jantung, yang bisa
berujung pada kematian mendadak. Pada orang dengan gangguan fungsi ginjal
kronis, kemampuannya untuk membuang kalium sangatlah rendah.

BAB IX Epidemiologi Penyakit Gagal Ginjal | 61


Sumber kalium bisa didapatkan dari buah-buahan dan juga sayuran, sehingga
dokter menyarankan kepada orang dengan penyakit ginjak kronis untuk tidak
mengonsumsi buah-buahan dalam jumlah yang banyak.

2. Metabolik Asidosis
Salah satu fungsi ginjal adalah mengatur elektrolit, cairan, dan juga
asam basa di dalam darah. Jika fungsi tersebut terganggu, maka darah akan asam
dan pH darah akan turun. Jika pH darah turun, maka akan membuat pembuluh
darah melebar, dan juga kontraksi jantung menjadi terganggu. Jika hal tersebut
tidak dikendalikan, maka akan membawa dampak yang sangat buruk.
3. Gangguan Mineral dan Tulang
Penyakit ginjal yang sudah lama dibiarkan, bisa menganggu mineral
dan juga tulang. Asupan kalsium yang kurang, bisa menyebabkan tulang
menjadi mudah patah. Orang dengan penyakit ginjal kronis, memiliki tulang
yang tidak kuat dan mudah patah, karena gangguan tulang yang dialaminya.
4. Gangguan Pada Otak (ensefalopati)
Pada pasien gagal ginjal kronis akan mengalami gangguan pada proses
eksresi (pengeluaran senyawa yang tidak digunakan lagi oleh tubuh) sehingga
menyebabkan amonia tidak dapat dikeluarkan dan akhirnya menumpuk di dalam
tubuh. Hal ini menyebabkan amonia dapat masuk ke dalam aliran darah sistemik
dan terbawa sampai ke otak. Amonia akan menyebabkan kerusakan pada otak
dan mengganggu kinerja otak. Tubuh akan mengalami perubahan kesadaran,
terganggunya aktivitas hingga paling parah dapat menyebabkan kejang-kejang.
5. Anemia
Ginjal sebagai organ yang memproduksi eritropoietin yang berfungsi
untuk pembentukan sel darah merah. Terganggunya proses pembentukan sel
darah merah menyebabkan penurunan produksi sel darah merah yang

BAB IX Epidemiologi Penyakit Gagal Ginjal | 62


menyebabkan terjadinya anemia. Selain terganggunga produksi sel darah merah,
faktor lain yang menyebabkan anemia yaitu kekurangan zat besi, vitamin, dan
masa hidup eritrosit yang mengalami hemolisis akibat perdarahan.
Menurut penelitian, anemia merupakan komplikasi yang perlu
mendapatkan perhatian khusus. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pasien
gagal ginjal kronis tidak menyadari jika terkena komplikasi anemia. Pasien perlu
waspada jika mengalami tanda atau gejala anemia seperti pusing, muka pucat,
badan lemas, sakit kepala atau jantung terasa berdebar.
G. PENATALAKSANAAN GAGAL GINJAL
Dalam pengobatan gagal ginjal , penyebab harus dicari dan dilakukan
tata laksana terhadap penyebab tersebut. Pengobatan bersifat suportif dan
sampai sejauh ini belum ditemukan pengobatan terapeutik. Beberapa
modalitas pengobatan gagal ginjal akut tanpa terapi pengganti ginjal adalah
hidrasi, perbaikan tekanan darah, perbaikan kadar elektrolit, diet dan kontrol
gula darah.
1. Perbaikan Status Cairan
Bila terdapat kekurangan cairan pada pasien dengan risiko atau sudah
mengalami gagal ginjal akut, sebaiknya resusitasi dilakukan dengan cairan
kristaloid isotonik seperti cairan salin normal dan ringer laktat. Pengobatan
dengan diuretik tidak disarankan untuk mencegah gagal ginjal akut, kecuali
bila terbukti adanya kelebihan cairan tubuh. Furosemid digunakan untuk
mengeluarkan cairan pada saat ginjal masih berespon dengan obat ini. Respon
ginjal terhadap furosemid dapat dikatakan sebagai tanda prognosis yang baik.
2. Perbaikan Tekanan Darah
Perbaikan tekanan darah dilakukan dengan target mean arterial
pressure minimal 65 mmHg. Penggunaan dopamine dalam dosis rendah (≤ 5

BAB IX Epidemiologi Penyakit Gagal Ginjal | 63


mcg/kgBB/menit) tidak dianjurkan karena hanya memberikan efek sementara
perbaikan fisiologis ginjal dan tidak memberikan keuntungan klinis berikutnya.
3. Perbaikan Kadar Elektrolit dan Keseimbangan Asam Basa
Hiperkalemia berat (≥ 6.5 mmol/L) atau dengan perubahan EKG
(contoh: gelombang T tinggi) dapat diberikan 5-10 unit insulin dengan dextrose
agar terjadi pergerakan kalium ke intrasel. Kalsium glukonas (10 mL pada
konsentrasi 10%) diberikan dalam 5 menit secara intravena, digunakan untuk
stabilisasi membran sel dan menurunkan risiko aritmia. Hiperkalemia juga dapat
diatasi dengan penggunaan sodium polystyrene sulfonate atau furosemide.
4. Diet dan Kontrol Gula Darah
Pasien harus merestriksi asupan kalori dan protein. Total energi yang
disarankan untuk diberikan adalah 20 – 30 kkal/kgBB/hari. Total protein yang
disarankan untuk diberikan:
 0.8 – 1.0 gr/kgBB/hari pada gagal ginjal akut tanpa dialisis
 1.0 – 1.5 gr/kgBB/hari pada gagal ginjal akut dengan atau
memerlukan dialisis
 Maksimum 1.7 gr/kgBB/hari pada gagal ginjal akut dengan continous
renal replacement therapy (CRRT)
Pasien juga harus membatasi asupan garam dan cairan. Pada pasien
yang mengalami hiperkalemia, pasien juga harus menjalani diet
rendah kalium.
5. Hemodialisis
Terapi pengganti ginjal seperti cuci darah pada gagal ginjal akut dilakukan
secara segera (cito) apabila terdapat kondisi gagal ginjal akut yang
mengancam nyawa, seperti:
a. Kelebihan cairan yang tidak dapat ditangani dengan obat-obatan
b. Asidosis yang tidak dapat ditangani dengan obat-obatan

BAB IX Epidemiologi Penyakit Gagal Ginjal | 64


c. Perikarditis atau pleuritis uremikum
d. Keracunan dan intoksikasi, seperti keracunan lithium dan intoksikasi
alkohol
6. Indikasi Memulai Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement
Therapy)
Indikasi memulai cuci darah (hemodialisis) bila terdapat satu atau lebih hal
berikut:
1. Tanda dan gejala dari gagal ginjal seperti serositis, pruritus, gangguan
asam-basa dan elektrolit darah
2. Status volume dan tekanan darah yang tidak terkontrol
3. Perburukan status nutrisi yang tidak membaik dengan intervensi diet
4. Gangguan kognitif
Terapi cuci darah perlu dilakukan pengkajian dan pertimbangan
keuntungan dan risiko yang terjadi, terutama pada pasien usia tua dan
memiliki penyakit ginjal kronis kategori 5 (kategori paling berat, atau end-
stage renal disease / ESRD) dengan berbagai komorbid. Pada pasien-pasien
ini, hemodialisis justru berisiko mengurangi kualitas hidup dan status
fungsional. Dalam beberapa studi yang melibatkan lebih dari 5200 pasien
dalam terapi cuci darah, ditemukan 58% pasien mengalami nyeri kronik dan
49% pasien mengeluhkan nyeri yang bersifat sedang sampai berat [20,21].
Berikan suplementasi oral pada pasien yang menjalani hemodialisis untuk
mencegah malnutrisi kurang energi protein (KEP).
Transplantasi ginjal dipertimbangkan bila laju filtrasi glomerulus <
20 ml/menit/1.73 m2 atau terjadi perburukan dari kondisi yang telah terbukti
adanya penyakit ginjal kronis lebih dari 6 – 12 bulan

BAB IX Epidemiologi Penyakit Gagal Ginjal | 65


H. UPAYA PENCEGAHAN GAGAL GINJAL
Setiap orang berisiko mengalami penyakit ginjal, terlebih
bila pola hidupnya tidak teratur dengan baik. Namun sebenarnya ada
beberapa langkah sederhana yang dapat Anda lakukan sebagai cara
mencegah penyakit ginjal.
Beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan ginjal,
yaitu: Mengkonsumsi air putih dalam jumlah yang cukup, setidaknya 8-10
gelas per hari. Kemudian sebisa mungkin batasi konsumsi alkohol dan
minuman bersoda. Berhenti merokok. Merokok dan terpapar asap rokok
dapat merusak fungsi berbagai organ dalam tubuh, termasuk ginjal.
Istrahat yang cukup. Mencukupi istirahat dengan tidur 6-8 jam
sehari diperlukan agar tubuh dan organ di dalamnya termasuk ginjal tetap
sehat.
Menjaga agar berat badan tetap ideal. Salah satunya dengan
olahraga atau melakukan aktivitas fisik dengan rutin. Hindari mengonsumsi
obat-obatan di luar dari anjuran dan pengawasan dokter, terlebih bila obat
tersebut dikonsumsi dalam dosis besar atau dalam jangka panjang. Lakukan
pemeriksaan rutin jika memiliki penyakit tertentu.
Hipertensi dan diabetes merupakan penyakit yang sering
menyebabkan komplikasi berupa penyakit ginjal. Jika memiliki penyakit-
penyakit tersebut, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan rutin ke dokter,
guna memantau perkembangan kedua penyakit ini dan mencegah penyakit
ginjal.
Selain itu, saat mengalami hipertensi dan diabetes, pembatasan
jumlah konsumsi makanan yang mengandung gula dan garam sangat
disarankan. Batasi makanan tertentu, Saat seseorang sudah mulai mengalami

BAB IX Epidemiologi Penyakit Gagal Ginjal | 66


penurunan fungsi ginjal, untuk mencegah semakin memburuknya fungsi
ginjal, beberapa pilihan makanan berikut sebaiknya dibatasi:
1. Makanan kalengan.
2. Ikan asin.
3. Alpukat.
4. Nasi merah.
5. Pisang.
6. Produk susu atau yang olahan susu, seperti keju dan yoghurt.
7. Daging olahan.
8. Roti gandum.
Selain itu, kenali gejala awal penyakit ginjal, seperti jumlah produksi
urine yang sangat sedikit, pembengkakan pada anggota gerak tubuh, dan nyeri
pada punggung bagian bawah. Mengenali berbagai gejala penyakit ginjal ini,
dapat membantu mendapatkan penanganan sedini mungkin.

BAB IX Epidemiologi Penyakit Gagal Ginjal | 67


BAB X
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT DIABETES MILLITUS

A. PENGERTIAN DIABETES MILLITUS


Diabetes adalah penyakit kronis yang ditandai dengan ciri-ciri berupa
tingginya kadar gula (glukosa) darah. Glukosa merupakan sumber energi utama bagi
sel tubuh manusia. Glukosa yang menumpuk di dalam darah akibat tidak diserap
sel tubuh dengan baik dapat menimbulkan berbagai gangguan organ tubuh. Jika
diabetes tidak dikontrol dengan baik, dapat timbul berbagai komplikasi yang
membahayakan nyawa penderita.
Kadar gula dalam darah dikendalikan oleh hormon insulin yang
diproduksi oleh pankreas, yaitu organ yang terletak di belakang lambung. Pada
penderita diabetes, pankreas tidak mampu memproduksi insulin sesuai
kebutuhan tubuh. Tanpa insulin, sel-sel tubuh tidak dapat menyerap dan
mengolah glukosa menjadi energi.
B. JENIS-JENIS DIABETES
Secara umum, diabetes dibedakan menjadi dua jenis, yaitu diabetes tipe
1 dan tipe 2. Diabetes tipe 1 terjadi karena sistem kekebalan tubuh penderita
menyerang dan menghancurkan sel-sel pankreas yang memproduksi insulin. Hal
ini mengakibatkan peningkatan kadar glukosa darah, sehingga terjadi kerusakan
pada organ-organ tubuh. Diabetes tipe 1 dikenal juga dengan diabetes autoimun.
Pemicu timbulnya keadaan autoimun ini masih belum diketahui dengan pasti.
Dugaan paling kuat adalah disebabkan oleh faktor genetik dari penderita yang
dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan.
Diabetes tipe 2 merupakan jenis diabetes yang lebih sering terjadi.
Diabetes jenis ini disebabkan oleh sel-sel tubuh yang menjadi kurang sensitif

BAB X Epidemiologi Penyakit Diabetes Millitus | 68


terhadap insulin, sehingga insulin yang dihasilkan tidak dapat dipergunakan
dengan baik (resistensi sel tubuh terhadap insulin). Sekitar 90-95% persen
penderita diabetes di dunia menderita diabetes tipe ini.
Selain kedua jenis diabetes tersebut, terdapat jenis diabetes khusus pada
ibu hamil yang dinamakan diabetes gestasional. Diabetes pada kehamilan
disebabkan oleh perubahan hormon, dan gula darah akan kembali normal setelah
ibu hamil menjalani persalinan.
C. GEJALA DIABETES
Diabetes tipe 1 dapat berkembang dengan cepat dalam beberapa
minggu, bahkan beberapa hari saja. Sedangkan pada diabetes tipe 2, banyak
penderitanya yang tidak menyadari bahwa mereka telah menderita diabetes
selama bertahun-tahun, karena gejalanya cenderung tidak spesifik. Beberapa
ciri-ciri diabetes tipe 1 dan tipe 2 meliputi:
1. Sering merasa haus.
2. Sering buang air kecil, terutama di malam hari.
3. Sering merasa sangat lapar.
4. Turunnya berat badan tanpa sebab yang jelas.
5. Berkurangnya massa otot.
6. Terdapat keton dalam urine. Keton adalah produk sisa dari pemecahan otot
dan lemak akibat tubuh tidak dapat menggunakan gula sebagai sumber
energi.
7. Lemas.
8. Pandangan kabur.
9. Luka yang sulit sembuh,
10. Sering mengalami infeksi, misalnya pada gusi, kulit, vagina, atau saluran
kemih.

BAB X Epidemiologi Penyakit Diabetes Millitus | 69


Beberapa gejala lain juga bisa menjadi ciri-ciri bahwa seseorang mengalami
diabetes, antara lain:
1. Mulut kering.
2. Rasa terbakar, kaku, dan nyeri pada kaki.
3. Gatal-gatal.
4. Disfungsi ereksi atau impotensi.
5. Mudah tersinggung.
6. Mengalami hipoglikemia reaktif, yaitu hipoglikemia yang terjadi beberapa
jam setelah makan akibat produksi insulin yang berlebihan.
7. Munculnya bercak-bercak hitam di sekitar leher, ketiak, dan selangkangan,
(akantosis nigrikans) sebagai tanda terjadinya resistensi insulin.
Beberapa orang dapat mengalami kondisi prediabetes, yaitu kondisi ketika
glukosa dalam darah di atas normal, namun tidak cukup tinggi untuk didiagnosis
sebagai diabetes. Seseorang yang menderita prediabetes dapat menderita
diabetes tipe 2 jika tidak ditangani dengan baik.
D. FAKTOR RISIKO DIABETES
Seseorang akan lebih mudah mengalami diabetes tipe 1 jika memiliki faktor-
faktor risiko, seperti:
1. Memiliki keluarga dengan riwayat diabetes tipe 1.
2. Menderita infeksi virus.
3. Orang berkulit putih diduga lebih mudah mengalami diabetes tipe 1
dibandingkan ras lain.
4. Bepergian ke daerah yang jauh dari khatulistiwa (ekuator).
5. Diabetes tipe 1 banyak terjadi pada usia 4-7 tahun dan 10-14 tahun, walaupun
diabetes tipe 1 dapat muncul pada usia berapapun.
Sedangkan pada kasus diabetes tipe 2, seseorang akan lebih mudah mengalami
kondisi ini jika memiliki faktor-faktor risiko, seperti:

BAB X Epidemiologi Penyakit Diabetes Millitus | 70


1. Kelebihan berat badan.
2. Memiliki keluarga dengan riwayat diabetes tipe 2.
3. Kurang aktif. Aktivitas fisik membantu mengontrol berat badan, membakar
glukosa sebagai energi, dan membuat sel tubuh lebih sensitif terhadap
insulin. Kurang aktif beraktivitas fisik menyebabkan seseorang lebih mudah
terkena diabetes tipe 2.
4. Usia. Risiko terjadinya diabetes tipe 2 akan meningkat seiring bertambahnya
usia.
5. Menderita tekanan darah tinggi (hipertensi).
6. Memiliki kadar kolesterol dan trigliserida abnormal. Seseorang yang
memiliki kadar kolesterol baik atau HDL (high-density lipoportein) yang
rendah dan kadar trigliserida yang tinggi lebih berisiko mengalami diabetes
tipe 2.
Khusus pada wanita, ibu hamil yang menderita diabetes gestasional dapat lebih
mengalami diabetes tipe 2. Selain itu, wanita yang memiliki riwayat
penyakit polycystic ovarian syndrome (PCOS) juga lebih mudah mengalami
diabetes tipe 2.
E. DIAGNOSIS DIABETES
Gejala diabetes biasanya berkembang secara bertahap, kecuali diabetes tipe 1
yang gejalanya dapat muncul secara tiba-tiba. Dikarenakan diabetes seringkali
tidak terdiagnosis pada awal kemunculannya, maka orang-orang yang berisiko
terkena penyakit ini dianjurkan menjalani pemeriksaan rutin. Di antaranya
adalah:
1. Orang yang berusia di atas 45 tahun.
2. Wanita yang pernah mengalami diabetes gestasional saat hamil.
3. Orang yang memiliki indeks massa tubuh (BMI) di atas 25.
4. Orang yang sudah didiagnosis menderita prediabetes.

BAB X Epidemiologi Penyakit Diabetes Millitus | 71


Tes gula darah merupakan pemeriksaan yang mutlak akan dilakukan untuk
mendiagnosis diabetes tipe 1 atau tipe 2. Hasil pengukuran gula darah akan
menunjukkan apakah seseorang menderita diabetes atau tidak. Dokter akan
merekomendasikan pasien untuk menjalani tes gula darah pada waktu dan
dengan metode tertentu. Metode tes gula darah yang dapat dijalani oleh pasien,
antara lain:
Tes gula darah sewaktu
Tes ini bertujuan untuk mengukur kadar glukosa darah pada jam tertentu secara
acak. Tes ini tidak memerlukan pasien untuk berpuasa terlebih dahulu. Jika hasil
tes gula darah sewaktu menunjukkan kadar gula 200 mg/dL atau lebih, pasien
dapat didiagnosis menderita diabetes.
Tes gula darah puasa
Tes ini bertujuan untuk mengukur kadar glukosa darah pada saat pasien
berpuasa. Pasien akan diminta berpuasa terlebih dahulu selama 8 jam, kemudian
menjalani pengambilan sampel darah untuk diukur kadar gula darahnya. Hasil
tes gula darah puasa yang menunjukkan kadar gula darah kurang dari 100 mg/dL
menunjukkan kadar gula darah normal. Hasil tes gula darah puasa di antara 100-
125 mg/dL menunjukkan pasien menderita prediabetes. Sedangkan hasil tes gula
darah puasa 126 mg/dL atau lebih menunjukkan pasien menderita diabetes.
Tes toleransi glukosa
Tes ini dilakukan dengan meminta pasien untuk berpuasa selama semalam
terlebih dahulu. Pasien kemudian akan menjalani pengukuran tes gula darah
puasa. Setelah tes tersebut dilakukan, pasien akan diminta meminum larutan gula
khusus. Kemudian sampel gula darah akan diambil kembali setelah 2 jam minum
larutan gula. Hasil tes toleransi glukosa di bawah 140 mg/dL menunjukkan kadar
gula darah normal. Hasil tes tes toleransi glukosa dengan kadar gula antara 140-

BAB X Epidemiologi Penyakit Diabetes Millitus | 72


199 mg/dL menunjukkan kondisi prediabetes. Hasil tes toleransi glukosa dengan
kadar gula 200 mg/dL atau lebih menunjukkan pasien menderita diabetes.

Tes HbA1C (glycated haemoglobin test)


Tes ini bertujuan untuk mengukur kadar glukosa rata-rata pasien selama 2-3
bulan ke belakang. Tes ini akan mengukur kadar gula darah yang terikat pada
hemoglobin, yaitu protein yang berfungsi membawa oksigen dalam darah.
Dalam tes HbA1C, pasien tidak perlu menjalani puasa terlebih dahulu. Hasil tes
HbA1C di bawah 5,7 % merupakan kondisi normal. Hasil tes HbA1C di antara
5,7-6,4% menunjukkan pasien mengalami kondisi prediabetes. Hasil tes HbA1C
di atas 6,5% menunjukkan pasien menderita diabetes.
Hasil dari tes gula darah akan diperiksa oleh dokter dan diinformasikan kepada
pasien. Jika pasien didiagnosis menderita diabetes, dokter akan merencanakan
langkah-langkah pengobatan yang akan dijalani. Khusus bagi pasien yang
dicurigai menderita diabetes tipe 1, dokter akan merekomendasikan tes
autoantibodi untuk memastikan apakah pasien memiliki antibodi yang merusak
jaringan tubuh, termasuk pankreas.
F. Komplikasi Diabetes
Sejumlah komplikasi yang dapat muncul akibat diabetes tipe 1 dan
2 adalah:
1. Penyakit jantung
2. Stroke
3. Gagal ginjal kronis
4. Neuropati diabetik
5. Gangguan penglihatan
6. Katarak
7. Depresi

BAB X Epidemiologi Penyakit Diabetes Millitus | 73


8. Demensia
9. Gangguan pendengaran
10. Luka dan infeksi pada kaki yang sulit sembuh
11. Kerusakan kulit akibat infeksi bakteri dan jamur
Diabetes akibat kehamilan dapat menimbulkan komplikasi pada ibu hamil dan
bayi. Contoh komplikasi pada ibu hamil adalah preeklamsia. Sedangkan contoh
komplikasi yang dapat muncul pada bayi adalah:
1.Kelebihan berat badan saat lahir.
2.Kelahiran prematur.
3.Gula darah rendah (hipoglikemia).
4.Keguguran.
5. Penyakit kuning.
6. Meningkatnya risiko menderita diabetes tipe 2 pada saat bayi sudah
menjadi dewasa.
G. Pencegahan Diabetes
Diabetes tipe 1 tidak dapat dicegah karena pemicunya belum diketahui.
Sedangkan, diabetes tipe 2 dan diabetes gestasional dapat dicegah, yaitu dengan
pola hidup sehat. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah diabetes,
di antaranya adalah:
1. Mengatur frekuensi dan menu makanan menjadi lebih sehat
2. Menjaga berat badan ideal
3. Rutin berolahraga
Rutin menjalani pengecekan gula darah, setidaknya sekali dalam
setahun.

BAB X Epidemiologi Penyakit Diabetes Millitus | 74


BAB XI
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT REMATIK
(Arthritis Rheumatoid)

A. PENGERTIAN REMATIK
Penyakit arthritis bukan penyakit yang mendapat sorotan seperti penyakit
hipertensi, diabetes atau Acquired immuno deficiency syndrome (AIDS). Namun,
penyakit ini menjadi masalah kesehatan yang cukup mengganggu dan terjadi
dimana-mana. Penyakit ini paling sering dimulai antara dekade keempat dan keenam
dari kehidupan. Namun, Arthritis Rheumatoid dapat mulai pada usia berapa pun
(American College of Rheumatology, 2012).
Menurut World Health Organization (WHO) angka kejadian rematik pada
tahun 2010 mencapai 20% dari penduduk dunia yang telah terserang rematik,
dimana 5-10% berusia 5-20 tahun dan 20% berusia 55 tahun sedangkan tahun 2012
meningkat menjadi 25% penderita rematik yang akan mengalami kecacatan akibat
kerusakan pada tulang dan gangguan pada persendian. Rheumatoid arthritis adalah
bentuk paling umum dari arthritis autoimun, yang mempengaruhi lebih dari 1,3 juta
orang di Amerika. Dari jumlah tersebut, sekitar 75% adalah perempuan, bahkan 1-
3% wanita mungkin mengalami rheumatoid arthritis dalam hidupnya.
Di Indonesia sendiri kejadian penyakit ini lebih rendah dibandingkan
dengan negara maju seperti Amerika. Prevalensi kasus Arthritis Rheumatoid di
Indonesia berkisar 0,1% sampai dengan 0,3%. Sementara, di Amerika mencapai 3%
(Nainggolan, 2009). Angka kejadian Arthritis Rheumatoid di Indonesia pada
penduduk dewasa (di atas 18 tahun) berkisar 0,1% hingga 0,3%. Pada anak dan
remaja prevalensinya satu per 100.000 orang. Diperkirakan jumlah penderita
Rheumatoid arthritis di Indonesia 360.000 orang lebih (Tunggal, 2012).

BAB XI Epidemiologi Penyakit Rematik | 75


Prevalensi penyakit sendi di Sulawesi tengah sendiri pada tahun 2009
berada di posisi ke-12 di Indonesia sebesar 29,7%, sedangkan pada tahun
2013 berada pada posisi ke-6 yaitu sebesar 26,7% dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa prevalensi penyakit sendi diSulawesi Tengah mengalami
penurunan,namun terjadi peningkatan posisi terbanyak(RISKESDAS 2013).
Penyebab Arthritis Rheumatoid (RA)dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor-faktorantara lain, Mekanisme IMUN ( Antigen-Antibody) seperti interaksi
antara IGC danfaktor Reumatoid, Gangguan Metabolisme,Genetik, infeksi virus dan
Faktor lain : nutrisi,faktor usia dan faktor lingkungan yaitu(pekerjaan dan
psikososial).
Pada Arthritis Rheumatoid, reaksiautoimun terutama terjadi dalam
jaringansinovial. Proses fagositosis menghasilkanenzim-enzim dalam sendi, enzim-
enzimtersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran
sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Panus akan menghancurkan tulang
rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan
sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turu tterkena karena serabut
otot akan mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot
dan kekuatan kontraksi otot(Smeltzer et,al. 2002).
Masalah yang timbul pada penderitaArthritis Rheumatoid yaitu nyeri, dan
tindakanuntuk menghilangkan nyeri seperti nyeri sendi,secara nonfarmakologi yaitu
menghangatkanpersendian yang sakit dengan terapi kompreshangat, yang dilakukan
dengan menggunakankain yang direndam pada air hangat, dimanaterjadi
pemindahan panas dari kain kedalamtubuh sehingga akan menyebabkan
pelebaranpembuluh darah dan akan terjadi penurunanketegangan otot, sehingga
nyeri yang dirasakanakan berkurang atau hilang (Ceccio, dalamPotter Perry,2001).

BAB XI Epidemiologi Penyakit Rematik | 76


B. ETIOLOGI REMATIK (Arthritis Rheumatoid)
Beberapa analisis genomik menunjukkan bahwa etiologi rheumatoid
arthritis dipengaruhi faktor regulasi imun yang menjadi predisposisi penyakit ini,
seperti seleksi sel T, presentasi antigen, atau perubahan dalam afinitas peptida, yang
secara autoreaktif memicu respon imun adaptif. Salah satu faktor imunologi yang
telah lama diketahui adalah adanya human leukocyte antigen (HLA)-DRB1 yang
ditemukan pada pasien dengan temuan faktor rheumatoid atau ACPA positif.
C. FAKTOR RISIKO (Arthritis Rheumatoid)
Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kasus Rematik
dibedakan menjadidua yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor
risiko yang dapatdimodifikasi:
1. Tidak Dapat Dimodifikasi
a. Faktor genetic
Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan
Arthritis Rheumatoid Gen yang berkaitan kuat adalah HLA-DRB1. Selain itu
juga ada gentirosin fosfatase PTPN 22 di kromosom 1.
Perbedaan substansial pada faktor genetik rematik terdapat diantara populasi
Eropa dan Asia. HLA-DRB1 terdapat di seluruh populasi penelitian,
sedangkan polimorfisme PTPN22 teridentifikasi di populasi Eropa dan
jarang pada populasi Asia. Selain itu ada kaitannya juga antara riwayat dalam
keluargadengan kejadian rematik pada keturunan selanjutnya.
b. Usia
Rematik biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun.
Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak
(Rheumatoid Arthritis Juvenil). Dari semua faktor risiko untuk timbulnya
rematik , faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya RA
semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Rematik hampir tak pernah

BAB XI Epidemiologi Penyakit Rematik | 77


pada anak-anak, jarang pada usia dibawah 40 tahun dan sering pada usia
diatas 60 tahun.
c. Jenis kelamin
Rematik jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan
rasio3:1. Meskipun mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belumjelas.
Perbedaan pada hormon seks kemungkinan memiliki pengaruh.
2. Dapat Dimodifikasi
a. Gaya hidup.
a) Status sosial ekonomi
Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak terdapatkaitan
antara faktor sosial ekonomi dengan rematik, berbeda denganpenelitian
di Swedia yang menyatakan terdapat kaitan antaratingkat pendidikan
dan perbedaan paparan saat bekerja dengan risiko rematik.
b) Merokok
Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa rokok
tembakau berhubungan dengan peningkatan risiko rematik. Merokok
berhubungan dengan produksi dari rheumatoid factor(RF) yangakan
berkembang setelah 10 hingga 20 tahun. Merokok juga berhubungan
dengan gen ACPA-positif rematik dimana perokok menjadi 10 hingga
40 kali lebih tinggi dibandingkan bukan perokok. Penelitian pada
perokok pasif masih belum terjawabnamun kemungkinan peningkatan
risiko tetap ada.
c) Diet
Banyaknya isu terkait faktor risiko rematik salah satunya
adalahmakanan yang mempengaruhi perjalanan rematik. Dalam
penelitian Pattison dkk, isu mengenai faktor diet ini masih banyak
ketidakpastian dan jangkauan yang terlalu lebar mengenai jenis

BAB XI Epidemiologi Penyakit Rematik | 78


makanannya. Penelitian tersebut menyebutkan daging merah dapat
meningkatkan risiko rematik sedangkan buah-buahan dan minyak
ikanmemproteksi kejadian rematik. Selain itu penelitian lain
menyebutkankonsumsi kopi juga sebagai faktor risiko namun masih
belum jelasbagaimana hubungannya.
d) Infeksi
Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barrvirus
(EBV) karena virus tersebut sering ditemukan dalamjaringan synovial
pada pasien rematik. Selain itu juga adanya parvovirus B19,
Mycoplasma pneumoniae, Proteus, Bartonella,dan Chlamydia juga
memingkatkan risiko rematik. Pekerjaan Jenis pekerjaan yang
meningkatkan risiko rematik adalah petani,pertambangan, dan yang
terpapar dengan banyak zat kimia namunrisiko pekerjaan tertinggi
terdapat pada orang yang bekerja dengan paparan silica.
b. Faktor hormonalHanya faktor reproduksi yang meningkatkan risikor
rematik yaitu padaperempuan dengan sindrom polikistik ovari, siklus
menstruasi ireguler, dan menarche usia sangat muda.
c. Bentuk tubuh Risiko rematik meningkat pada obesitas atau
yang memiliki Indeks MassaTubuh (IMT) lebih dari 30.
D. PATOFISIOLOGI (Arthritis Rheumatoid)
Patofisiologi rheumatoid arthritis ditandai dengan adanya peradangan dan
hiperplasia sinovial, produksi autoantibodi (faktor rheumatoid dan antibodi protein
anti-citrullinated [ACPA]), serta kerusakan tulang dan/atau tulang rawan serta
tampilan sistemik yang dapat menimbulkan gangguan kardiovaskular, paru,
psikologis, dan skeletal. Penyebab pasti dari keadaan ini masih belum diketahui
namun RA melibatkan interaksi yang kompleks antara faktor genetik, faktor
lingkungan, dan beberapa faktor predisposisi.

BAB XI Epidemiologi Penyakit Rematik | 79


Pada patofisiologi rheumatoid arthritis, terjadi migrasi sel inflamasi yang
dipicu oleh aktivasi endotel pada pembuluh darah mikro sinovial yang
meningkatkan ekspresi molekul adhesi (termasuk integrin, selektif, dan anggota
superfamili imunoglobulin) dan kemokin serta menimbulkan proliferasi leukosit
pada kompartemen sinovial. Keadaan ini sebagian besar melibatkan sistem imun
adaptif dan dimediasi oleh sel T-helper tipe 1 (Th-1). Terjadi aktivasi makrofag oleh
sitokin Th-1, seperti interferon-g (IFN-g), interleukin 12 (IL-12), dan IL-18, yang
menyebabkan aktivasi sel T oleh antigen presenting cells. Makrofag juga dapat
diaktivasi melalui kontak langsung dengan sel T, kompleks imun, atau produk
bakterial di cairan sinovial. Aktivasi makrofag ini melepaskan beberapa sitokin dan
mediator inflamasi seperti interleukin, faktor nekrosis tumor (TNF), transforming
growth factor-β (TGF-β), fibroblast growth factor (FGF), platelet-derived growth
factor (PDGF), dan interferon (IFN-α dan IFN-β).
E. DIAGNOSA (Arthritis Rheumatoid)
Banyak pemeriksaan yang dilakukan untuk mediagnosa rematik, tetapi tidak
semuanya diperlukan. Pemeriksaan tersebut disesuaikan dengan perkiraan
jenisrematiknya yang bisa dilihat dari gejalanya. Berikut beberapa pemeriksaan
yang dapat digunakan untuk mendiagnosapenyakit rematik.
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik merupakan pemeriksaan pada beberapa bagian tubuh
yang menunjukkan gejala rematik, seperti nyeri, pembengkakan dan
peradangan, sertakekakuan pada suatu sendi. Kadang- kadang, gangguan pada
suatu sendi dapatmenyebabkan ketegangan pada sendi- sendi didekatnya.
Misalnya, sakit padasendi bahu dapat memnyebabkan gangguan pada leher.
(Hembing, 2006).

BAB XI Epidemiologi Penyakit Rematik | 80


2. Tes darahAsam urat darah ( aric acid)
Pemeriksaan ini untuk mendeteksi kemungkinan terkena rematik gout
yang ditandai dengan tingginya kadar asam urat dalam darah. Faktor rheumatoid
adalah autoantibodi yang terdapat dalam darah beberapa penderita
arthritisrheumatoid. Selain itu, dapat juga ditemukan dalam kadar rendah pada
orangnormal, terutama orang tua dan beberapa orang masih keluarga dengan
penderita arthritis rheumatoid. Faktor rheumatoid bukan sebagai penyebab
penyakit, tetapi dapat digunakan sebagai penilai/ indikator. Indeks pengendapan
sel darah merah arah terdiri dari sel dan plasma. Sel darah yang paling banyak
adalah seldarah merah, yang berfungsi mentransfer oksigen kedalam dan
keseluruh tubuh.Penghitungan jenis darah lengkap ( Hembing, 2006).
3. Analisis cairan sendi
Analisa ini merupakan pemeriksaan cairan sendi dibawah mikroskop
untuk melihat adanya peradangan, infeksi bakteri, dan Kristal asam urat
(Hembing,2006)
4. Sinar X( radiologi)
Sinar X atau foto rontgen tidak selalu diperlukan untuk
mendiagnosisrematik. Sinar X digunakan untuk melihat kelainan pada sendi dan
tulang secarajelas. ( Hembing, 2006).
5. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan lain adalah MRI (magnetik resonance imaging) CT scan
(computed tomography) yang dapat menggambarkan anatomi tubuh
sehinggadapat mendeteksi kelainan dan ketidak normalan organ dan jaringan
tubuh secaraterperinci. Diagnostik lainnya adalah arthrograpi, biopsy, dan
arthroskopi.(Hembing, 2006).

BAB XI Epidemiologi Penyakit Rematik | 81


F. KOMPLIKASI (Arthritis Rheumatoid)
Jika tidak ditangani dengan baik, rheumatoid arthritis dapat
menyebabkan beberapa komplikasi, di antaranya:
1. Cervical myelopathy
Kondisi ini terjadi ketika rheumatoid arthritis menyerang sendi tulang leher
dan mengganggu saraf tulang belakang.
2. Carpal tunnel syndrome
Kondisi ini terjadi ketika rheumatoid arthritis menyerang sendi pergelangan
tangan, sehingga menekan saraf di sekitarnya.
3. Sindrom Sjogren
Kondisi ini terjadi saat sistem kekebalan tubuh menyerang kelenjar air mata
dan ludah, sehingga menimbulkan keluhan mata kering dan mulut kering.
4. Limfoma
Limfoma merupakan sejenis kanker darah yang tumbuh pada sistem getah
bening.
5. Penyakit jantung
Kondisi ini dapat terjadi bila sistem kekebalan tubuh menimbulkan peradangan
di pembuluh darah jantung.
Selain komplikasi akibat penyakitnya sendiri, pengobatan rheumatoid arthritis
juga dapat menimbulkan efek samping berupa osteoporosis, yang membuat
tulang menjadi rapuh dan rentan patah.
G. PENCEGAHAN (Arthritis Rheumatoid)
Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun
berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang
dapatdilakukan untuk menekan faktor risiko:
1. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangirisiko
peradangan oleh rematik. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang

BAB XI Epidemiologi Penyakit Rematik | 82


menggunakan 1.314 wanita penderita rematik didapatkan mengalami perbaikan
klinis setelah rutin berjemur di bawah sinar UV-B.
2. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot
sendi.Gerakangerakan yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-
bangun,menarik kaki ke belakang pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot
lainnya. Bila mungkin, aerobik juga dapat dilakukan atau senam taichi.
3. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja lebihberat
untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan dietmakanan dan
olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang pada sendi.
4. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong,jeruk,
bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitaminA,C, D, E juga
sebagai antioksidan yang mampu mencegah inflamasiakibat radikal bebas.
5. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas padasendi
juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan mengkonsumsiair dalam
jumlah yang cukup dapat memaksimalkan sisem bantalan sendi yang melumasi
antar sendi, sehingga gesekan bisa terhindarkan.Konsumsi air yang disrankan
adalah 8 gelas setiap hari. (Candra, 2013)
6. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa
merokokmerupakan faktor risiko terjadinya rematik. Sehingga salah satu upaya
pencegahan rematik yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadiperokok
akif maupun pasif. (Febriana, 2015).
Edukasi pasien dan promosi kesehatan merupakan salah satu komponen
terpenting dalam tatalaksana rheumatoid arthritis. Pencegahan terhadap rheumatoid
arthritis juga sebaiknya dilakukan sejak dini, terutama pada pasien yang memiliki
faktor risiko.
Edukasi rheumatoid arthritis yang harus dilakukan adalah:
1. Penjelasan perjalanan dan karakteristik rheumatoid arthritis

BAB XI Epidemiologi Penyakit Rematik | 83


2. Edukasi mengenai efek samping obat, terutama OAINS (obat antiinflamasi
nonsteroid) dan DMARDS (disease-modifying antirheumatic drugs)
3. Edukasi mengenai tanda bahaya
4. Edukasi mengenai pilihan terapi
5. Edukasi mengenai penggunaan alat bantu gerak.
Pencegahan dilakukan dengan modifikasi gaya hidup, seperti olahraga,
penurunan berat badan, dan diet rendah kalori. Progresifitas penyakit dan
komplikasinya dapat dihambat dengan fisioterapi dan modifikasi gaya hidup.
Kontrol rutin perlu diperlukan selama 1 tahun sekali atau sesuai dengan kesepakatan
dokter dengan pasien. Tes laboratorium untuk cek fungsi hati dan ginjal dilakukan
setiap 3-6 bulan sekali setelah pengobatan. Pasien harus segera kontrol apabila
mengalami perburukan gejala, mengalami nyeri berlebih hampir setiap hari dalam
1 bulan, atau nyeri tidak membaik dengan obat-obatan yang diberikan.

BAB XI Epidemiologi Penyakit Rematik | 84


DAFTAR PUSTAKA

American College of Rheumatology Subcomite Reumatoid Arthritis.2012. Guidelines for


the Management of Rematoid Arthritis.46: 328-46
Candra K, (2013). Teknik Pemeriksaan Genu pada Kasus Ostearthritis dengan Pasien
Non Komperatif. Acedemia Edu.
Febrianan, (2015). Penatalaksana Fisioterapi pada Kasus Rheumatoid Athritis
Ankle Billateral di RSUD Saras Husada Purwerojo. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah. Surakarta
Friedman (2010). Keperawatan Keluarga Teori Dan Praktek, edisi 4, Jakarta : EGC
Hembing, W. (2007). Atasi Asam Urat dan Rematik Ala Hembing. Jakarta : Puspa
Johns Hopkins Arthritis Center [Internet]. USA: Johns Hopkins Medicine; 2017.
Rheumatoid Arthritis Signs and Symptoms [revised Aug 16th 2017]; [6 p.].
Available from
https://www.hopkinsarthritis.org/arthritisinfo/rheumatoid-arthritis/ra-
symptoms/
Melnes B dan Schett G. The Patogenesis of Rheumatoid Artritis.N.Engl J.Med.2011. Dec;
365:2205. Hal. 5-29
Paul B.J, Kandly Hl, Krishan V. Pre-Rheumatoid Arthritis and its Prevention. Eur. J
Rheumatol. 2009. Feb; 60: 364-71
Rheumatoid Arthritis [Internet]. Spanyol: Atos Healthcare; 2015. Rheumatoid Arthrits
[revised Aug 15th 2016]; [55p.]. Available from
http://www.welfare.ie/en/downloads/protocol14.pdf
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Republik ndonesia, (2013).
Rubenstein David, dkk, (2008). Kedokteran klinis Edisi 6. Erlangga: Jakarta
Shah A, St.Clair W. Rheumatoid Arthritis. In: Longo DL, Fauci AS, Hauser SL,
Jameson JL, Loscalzo L. Harrison's Principles of Internal Medicine, 18th
Edition. United States: The McGraw-Hill Companies Harrison Medicine;
2012. P. 2217-35
Smeltzer, Suzanne. dan Bare, Brenda, (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Suarjana IN. Reumatoid artritis. Dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. P. 657-88
Suratun, (2008). Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Seri Asuhan Keperawatan.
Jakarta : EGC
Swara Nainggolan, (2009), Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di Indonesia :
Majalah Kedokteran Indonesia,Vol. 59, No 12, pp. 589
Anies. 2006. Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo
Budianto, Eko. 2003. Pengantar Epidemiologi. Jakarta. Egc
Bustan, M.N. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Cetakan 2 Rineka Cipta,
Jakarta
Depkes RI. 2008. Pedoman Pengendalian Diabetes Militis dan Penyakit Metabolik
Misnadiarly. 2007. Obesitas sebagai faktor risiko beberapa penyakit. Jakarta: Pustaka
Obor Populer
Surya Pratama, S.A, dan M. Besari Adi Pramono. 2010. Karakteristik Penderita Kanker
serviks di RSUP Dr. Karadi Semarang Tahun 2010. Jurnal Media Medika
Muda
Johasson, BB. 1996. Clinic Implications (1): stoke, subarachnoid Haemorrhage and
epilepsy in: Neurophysiological basic of cerebral blood flow control: an
introduction, john libbley & company Ltd, London
https://www.alomedika.com/penyakit/oftalmologi/katarak/epidemiologi
https://tirto.id/5-faktor-yang-bisa-tingkatkan-risiko-katarak-pada-masa-ei2w
https://www.alomedika.com/katarak-pada-masa-manula
http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/pusat-/diagnosis-klasifikasi-pencegahan-
terapi-penyakit-ginjal-kronis
https://www.halodoc.com/artikel/jenis-jenis-tes-untuk-diagnosis-penyakit-ginjal-kronis
https://www.idntimes.com/health/fitness/yb-abraham/5-komplikasi-penderita-gagal-
ginjal-kronis-yang-wajib-kamu-tahu-c1c2/5
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-2525794/inilah-8-komplikasi-yang-bisa-
disebabkan-oleh-penyakit-ginjal-kronis
https://www.alomedika.com/penyakit/nefrologi/gagal-ginjal-akut/penatalaksanaan
https://www.alomedika.com/penyakit/nefrologi/penyakit-ginjal-kronis/penatalaksanaan
https://www.alodokter.com/cara-mencegah-penyakit-ginjal-dengan-langkah-sederhana

Anda mungkin juga menyukai