Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah


Virus Corona (Covid-19) telah dinyatakan oleh WHO sebagai pandemi
dunia. Virus ini bersifat zoonosis atau virus yang ditularkan dari hewan ke
manusia. Banyak yang mengungkapkan bahwa Covid-19 ini merupakan
teguran kepada umat manusia agar semua kembali peduli terhadap ciptaan
Allah SWT. Karena adanya virus ini, aktivitas masyarakat di berbagai
Negara jadi terganggu sehingga membuat masyarakat di dunia harus tetap
diam dirumah untuk memutus mata tantai virus corona agar tidak semakin
menyebar (Siahaan, 2020).

Indonesia merupakan salah satu negara yang terinfeksi pandemi


Covid-19. World Health Organization (WHO) melalui websitenya telah
menyampaikan jumlah kasus Covid-19 yang terkonfirmasi sebanyak
6.881.352 orang, kematian terkonfirmasi 399.895 orang, yang mana
tersebar di 216 wilayah diseluruh Negara di dunia. Untuk di Indonesia,
update terakhir (08/06/2020) dari website Gugus Tugas Percepatan
Penanganan Covid-19 didapati jumlah positif ada 32.033 orang, yang
sembuh 10.904 orang dan yang meninggal 1.883 orang (Putra & Kasmiarno,
2020).

Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk mencegah


penyebaran Covid-19 dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yaitu : (1)
berdiam diri di rumah (stay at home) ; (2) pembatasan sosial (social
distancing); (3) pembatasan fisik (physical distancing); (4) penggunaan alat
pelindung diri (masker); (5) menjaga kebersihan diri (cuci tangan); (6)
bekerja dan belajar di rumah (work/ study from home); (7) menunda semua
kegiatan yang mengumpulkan orang banyak; (8)pembatasan sosial berskala
besar (PSBB); hingga terakhir, (9) pemberlakuan kebijakan new normal
(Tuwu, 2020).

Salah satu dampak nyata dari kebijakan yang masih dirasakan sampai
saat ini yaitu dalam dunia pendidikan. Kebijakan tersebut terdapat dalam
Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 (Covid-19) yang menjelaskan enam
langkah strategis untuk melaksanakan kebijakan pendidikan diantaranya ujian
nasional, proses belajar di rumah, ujian sekolah, kenaikan kelas, penerimaan
peserta didik baru dan dana bantuan operasional (Putra & Kasmiarno, 2020).

Proses belajar tatap muka yang sudah membudaya berubah menjadi


Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan menggunakan sistem dalam jaringan
(daring), (Siahaan, 2020). Namun PJJ ini dalam prosesnya memiliki
banyak kekurangan seperti, jaringan internet yang tidak selalu stabil,
kuota internet yang mahal, dan bahkan banyak yang menyalahgunakan
penggunaan media saat pembelajaran jarak jauh (Muthmainnah & Lestari,
2021). Aji (Syah, 2020) mengungkapkan keprihatinan terhadap proses
pembelajaran jarak jauh dengan membandingkan dengan proses pembelajaran
di sekolah. Proses pembelajaran di sekolah merupakan alat kebijakan publik
terbaik dalam upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan peserta
didik. Selain itu banyak peserta didik menganggap bahwa sekolah adalah
kegiatan yang sangat menyenangkan dikarenakan dapat berinteraksi dengan
teman-temannya. Akan tetapi kegiatan yang bernama proses pembelajaran di
sekolah itu terhenti, dikarenakan mengantisipasi gangguan ancaman dari
pandemi Covid-19 bagi dunia pendidikan. Nandang dalam (Faturohman &
Gunawan, 2021) mengungkapkan terhentinya kegiatan belajar tatap muka
akibat pandemi Covid-19 dapat menyebabkan penururan kemampuan siswa
yang lebih besar dibandingkan penurunan kemampuan siswa akibat libur
sekolah. Sehingga dapat disimpulkan pembelajaran jarak jauh ini membuat
proses pembelajaran tidak efektif.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi


(Mendikbudristek) Nadiem Makarim mengungkapkan fakta ini dengan
istilah “Learning Loss” . Learning loss (kehilangan pembelajaran) adalah
kondisi hilangnya pengetahuan dan keterampilan dalam perkembangan
akademis yang terjadi karena terhentinya pembelajaran dalam dunia
pendidikan (Muzdalifa, 2022). Learning loss dapat terjadi karena
kesenjangan yang berkepanjangan atau tidak adanya interaksi antara guru
sebagai pengajar dan siswa sebagai murid dalam proses pembelajaran
(Pratiwi, 2021). Tidak efektivitasnya proses pembelajaran ini, akan
berdampak pada hasil belajar siswa dan juga pada kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) selama pandemi Covid-19 (Muthmainnah &
Rohmah, 2022).

Sebelum pandemi Covid-19 Indonesia menduduki peringkat ke 64 dari


65 negara yang turut dalam tes, rata-rata nilai matematika siswa Indonesia
yaitu 375 poin cukup jauh dibawah nilai rata-rata OECD (Sriwahyuni &
Maryati, 2022). Rendahnya kemampuan matematis siswa tidak terlepas dari
kegiatan belajarnya ditambah dengan adanya fenomena Learning loss pasca
covid-19. Matematika adalah mata pelajaran yang yang memerlukan
penjelasan langsung dari guru (S. A. Nugraha dkk., 2020). Ini dikarenakan
matematika dapat mejadi subjek yang kompleks, sehingga siswa memerlukan
bimbingan langsung untuk memahami konsep-konsep dengan baik. Interaksi
antara siswa dan guru secara langsung memungkinkan siswa untuk
mengajukan pertnyaan, mendapatkan klarifikasi dan memecahkan masalah .
Hal ini tentu saja tidak didapatkan secara maksimal oleh peserta didik selama
pembelajaran jarak jauh.

Dalam peraturan Mentri Pendidikan Nasional No 22 Tahun 2006


menyebutkan bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu
tujuan pembelajaran matematika yang harus dicapai oleh siswa (Suryani dkk.,
2020). National Council of Teaching Mathematics (NCTM)
merekomendasikan memasukkan pemecahan masalah ke dalam matematika
sekolah. Adapun beberapa alasannya, yaitu: Pertama, pemecahan masalah
adalah elemen mendasar dari bidang matematika sehingga menjadi bagian
terbesar dalam bidang matematika. Kedua, matematika memiliki banyak
kegunaan, karena juga digunakan untuk bekerja, memahami dan
berkomunikasi di bidang yang lain. Ketiga, memunculkan motivasi untuk
memecahkan masalah matematika (Ulfa dkk., 2022) .Seperti yang
diungkapkan dalam (Hermawati dkk., 2021) tujuan pembelajaran matematika
sekolah yaitu penenkanan pada penggunaan penalaran untuk memahami
sebuah sifat, melakukan prosedur manipulasi matematika baik dalam
menyederhanakan maupun menganalisa komponen yang ada dalam
pemecahan masalah dalam konteks matematika maupun di luar matematika
dalam lingkup kemampuan memahami masalah, merancang model
matematika, menyelesaikan model yang telah dirancang dan menafsirkan
solusi yang diperoleh. Tujuan di atas menuntut siswa untuk mampu
memecahkan masalah. Oleh katena itu, salah satu kemampuan matematis
siswa yang harus dimiliki berdasarkan tujuan pemebelajaran matematika
adalah kemampuan pemecahan masalah matematis (Anita dkk., 2021).

Kemampuan memecahkan masalah matematis adalah kemampuan


siswa untuk mengungkapkan pengetahuan dan keterampilannya dalam rangka
mencari solusi dari masalah matematika (Davita & Pujiastuti, 2020). Menurut
Novita kemampuan pemecahan masalah matematis merupakan kemampuan
menyelesaikan berbagai masalah matematis berupa masalah rutin, masalah
non-rutin, masalah rutin terapan, dan masalah non-rutin terapan (Damayanti
& Kartini, 2022). Pemecahan masalah adalah inti dari belajar matematika
(Lesi & Nuraeni, 2021). Karena pemecahan masalah dalam matematika
adalah keterampilan kognitif dasar yang harus diajarkan dan dikembangkan
kepada siswa sekolah (Kurniasari & Sritresna, 2022). Oleh karena itu,
diharapkan siswa yang pandai memecahkan masalah matematika juga akan
mampu menyelesaikan masalah nyata setelah menyelesaikan pendidikan
formal.

Seorang siswa dapat dikatakan memiliki kemampuan pemecahan


masalah matematis dilihat dari bagaimana cara mereka mengidentifikasi
kecukupan data untuk pemecahan masalah, cara mereka memilih dan
menerpakan strategi yang digunakan serta cara mereka menjelaskan hasil
(Suraji dkk., 2018). Keempat indikator ini dapat dikembangkan dengan cara
banyaknya latihan dalam penyelesaian soal pemecahan masalah matematis.

Berdasarkar uraian di atas, kemampuan pemecahan masalah ini sangat


penting dan perlu dikuasai peserta didik. Bukan saja utuk memudahkan siswa
dalam belajar matematika, namun diberbagai mata pelajaran lain serta dalam
kehidupan sehari-harinya (Noviantii dkk., 2020). Mengingat pentingnya
kemampuan pemecahan masalah matematika ini, wajar jika siswa harus
memiliki keterapilan tersebut (Nurhasanah & Luritawaty, 2021).

Survei terdahulu menunjukkan kemampuan pemecahan masalah siswa


dalam menyelesaikan soal matematika belum optimal (Asih & Ramdhani,
2019). Hal seperti ini juga diungkapkan dalam (Firnanda & Pratama, 2020)
bahwa sangat banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan
soal berjenis pemecahan masalah matematis.

Setelah penulis melakukan observasi dengan guru matematika yang


mengajar di kelas XI SMAN 3 Batusangkar, Bukit Gombak, Nagari Baringin,
Kecamatan Lima Kaum pada tanggal 2 Oktober 2023. Guru mengungkapkan
bahwa siswa tidak mampu menyelesaikan soal dengan baik. Hal itu dapat
dilihat dari hasil Penilaian Harian Bersama Siswa kelas XI.F.1 pada materi
Relasi dan Fungsi pada kolom berikut :

No Nilai siswa Jumlah Ket.


.
1. 90 - 100 6 Tuntas
2. 80 - 89 10 Tuntas
3. 70 – 79 6 Tidak Tuntas
4. 60 - 69 4 Tidak Tuntas
5. 0 - 59 10 Tidak Tuntas

Tabel 1.1 (Daftar Nilai PH Siswa )


Tabel 1.1 di atas dapat dilihat hanya 16 orang dari 36 orang siswa yang
tuntas dalam pelaksanaan Penilaian Harian Bersama. Hal ini dikarenakan
siswa tidak mampu dalam menyelesaikan soal yang diberikan oleh guru.
Selain itu, siswa tersebut juga mengalami kesulitan dalam memilih dan
menerapkan strateri yang digunakan dalam penyelesaian masalah, serta tidak
mampu menginterpretasikan hasil sesuai dengan pertanyaan dan membaca
lagi pertanyaannya apakah benar-benar sudah terjawab. Berdasarkan
ungkapan di atas, merupakan ciri-ciri dari rendahnya kemampuan pemecahan
masalah seperti yang diungkapkan dalam (Hermawati dkk., 2021).

Salah satu faktor penyebab rendahnya kemampuan pemecahan masalah


matematis siswa yaitu proses pembelajaran yang tidak efektif pada saat
pandemi covid-19 yang mengakibatkan terjadinya learning loss. Hal ini juga
diungkapkan Anita dalam (Jojor & Sihotang, 2022) bahwa proses
pembelajaran di rumah mengalami sejumlah hambatan yang dirasakan
pendidik, siswa ataupun orang tua/wali. Belajar di rumah nyatanya tidak
memberikan pembelajaran bermakna yang efektif bagi siswa, hal ini
disebabkan oleh sejumlah kendala yang dialami. Kendala-kendala yang
dihadapi ini menyebabkan resiko pada output yang didapatkan siswa.

Hal ini juga sesuai dengan hasil wawancara penulis dengan beberapa
orang siswa dari kelas XI.F.1. Siswa tersebut mengungkapkan bahwa soal-
soal yang diberikan terlalu sulit, siswa tidak mengerti bagaimana cara
menyelesaikan soal yang diberikan karena tidak paham materi pra-syarat atau
apersepsi pada materi yang sedang dipelajari. Oleh karena itu, penulis
memberikan soal operasi aljabar sebagai penguatan untuk hasil observasi
yang dilakukan yaitu :

1. Tentukan nilai x pada persamaan 3 ( x +5 ) −( x−3 )=36


1 1
2. Tentukan penyelesaian dari 5 y + =4 y−
4 2

Dari jawaban yang dikerjakan peseta didik, masih banyak siswa yang
kurang mampu menyelesaikan soal operasi aljabar, bahkan masih ada
beberapa siswa yang tidak mampu sama sekali menyelesaikan soal tersebut
dengan memberikan lembar penyelesaian kosong. Rata-rata dari siswa
menjawab seperti berikut :

Gambar 1.1 Lembar jawaban siswa 1

Gambar 1.2 Lembar jawaban siswa 2

Dari gambar di atas terlihat bahwa siswa belum mampu menyelesaikan


soal dengan benar. Operasi yang dilakukan merupakan sistem persamaan satu
variabel yang telah dipelajari di tingkat menengah pertama, namun demikian
siswa belum mampu memecahkan masalah yang diberikan karena siswa tidak
mampu menentukan dan menerapkan strategi dalam penyelesaian soal serta
tidak melihat kembali kelengkapan masalah yang diketahui. Untuk
mengoptimalkan kemampuan siswa dalam pembelajaran, perlu adanya upaya
yang dilakukan oleh guru. Satu-satunya hal paling efektif yang dapat
dilakukan seorang guru untuk meningkatkan kinerja siswa pada tugas yang
sulit adalah menggunakan metode pengajaran yang tepat yang sesuai dengan
karakteristik materi yang diajarkan. Model pembelajaran yang tepat dapat
memberikan dampak positif pada hasil proses pembelajaran (Mulyono, 2018).
Didukung dengan ungkapan dalam (Mulia, 2014) adanya penerapan model
mengajar yang bervariasi, siswa akan memiliki prestasi belajar yang baik
melebihi standar KKM sekolah dengan kata lain pembelajaran yang
bervariasi mampu meningkatkan hasil belajar siswa.

Pengembangan model pembelajaran kooperatif telah banyak


ditampilkan, tujuannya yaitu membentuk hubungan baik antar siswa memalui
kerja sama atau kelompok, mengembangkan rasa percaya diri dan
meningkatkan kemampuan akademik siswa (Tristiyanti & Afriansyah, 2017).
Oleh karena itu, model pembelajaran kooperatif dapat membuat siswa untuk
saling bekerja sama dan bertukar pendapat untuk menyelesaikan suatu
masalah. Salah satu model pembelajaran kooperatif adalah model
pembelajaran Diskursus Multy Representasi (DMR). Diskursus berarti
disiplin ilmu yang mempelajari hubungan antara bentuk dan fungsi
komunikasi verbal atau komunikasi dalam bentuk lisan dan tulisan. Presentasi
dan diskusi merupakan salah satu bentuk komunikasi verbal dalam proses
pembelajaran. Purwasih dalam (Budarsini dkk., 2018) menjelaskan bahwa
diskursus multi representasi merupakan salah satu pembelajaran matematika
yang berorientasi pada siswa. Sedangkan menurut Suyanto model
pembelajaran Diskursus Multi Representasi merupakan pembelajaran
yang berorientasi pada pembentukan, penggunaan dan pemanfaatan
berbagai representasi dengan setingkelas dan kerja kelompok. Adapun
representasi yang digunakan dalam proses pembelajaran yaitu berbentuk
ver-bal, gambar, grafik, persamaan matematis, simu-lasi komputer dan alat
berupa benda konkret, hal ini digunakan dengan tujuan agar siswa dapat
berfikir lebih konkret dan dapat melihat simulasi langsung dari konsep yang
diajarkan sehingga dapat menanamkan suatu konsep kepada siswa.

Penerapan model ini lebih menitikberatkan pada masalah-masalah


praktis atau soal-soal praktis. Selain itu, siswa dibimbing untuk memperoleh
pengetahuan baru dengan menggabungkan pengetahuan yang diperoleh
siswa sebelumnya, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Hal ini
sejalan dengan teori belajar bermakna Ausubel, yaitu. Pembelajaran dianggap
bermakna jika siswa dapat menghubungkan pengetahuan atau materi
pembelajaran dengan pengetahuan atau pengalaman yang sudah ada. (Gazali,
2016).

Selain itu, beberapa studi sebelumnya mngungkapkan bahwa model


kooperatif tipe Diskursus Multy Representasi (DMR) dapat meningkatkan
hasil belajar siswa dalam ranah kognitif (Ahmad dkk., 2020). Hal ini juga
sesuai dengan penelitian Ratni dalam (Purwasih & Bernad, 2018) bahwa
model pembe-lajaran Diskursur Multi Representasi lebih baik
dibandingkan dengan menggunakan model pem-belajaran konvensional,
serta model pembelajaran Diskursus Multi Representasi ini juga
berpengaruh terhadap disposisi matematis siswa. Jika model ini digunakan
dalam pembelajaran, hasil belajar akan meningkat karena model ini dapat
menciptakan keaktifan siswa dalam pembelajaran (Patonah, 2019). Dalam
diskursus, siswa dimotivasi oleh berbgai kegiatan seperti bertanya,
mendengarkan ide lain, menulis atau berdiskusi untuk mencapai pemahaman
matematika yang akan dipelajari.

Karena kemampuan pemecahan masalah matematis siswa juga


dipengaruhi oleh model pembelajaran. Maka perlu bagi seorang pendidik
memahami dan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa tersebut. Salah satunya dengan menggunakan model pembelajaran yang
bervariasi. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti
permasalahan ini, dalam suatu penelitian yang berjudul “Pengaruh Penerapan
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Diskursus Multy Representasi (DMR)
Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa pada kelas XI
SMA Negeri 3 Batusangkar, Kec. Limo Kaum, Kab. Tanah Datar ”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat diidentifikasi
permasalahannya sebagai berikut :
1. Terjadinya learning loss yang disebabkan pandemi covid-19
2. Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matetematis siswa;
3. Siswa mengalami kesulitan dalam memahami soal yang diberikan
guru;
4. Siswa terkendala dalam menyelesaikan masalah dalam bentuk yang
berbeda.

C. Batasan Masalah
Agar penelitian lebih fokus dan terarah penulis membatasi masalah
pada penelitian ini yaitu, penelitian dibatasi dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Diskursus Multy Representasi (DMR)
terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah “ Apakah kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa pada kelas XI SMA Negeri 3 Batusangkar
mengalami peningkatan dengan penerapan model pembelajaran kooperatif
tipe Diskursus Multy Representasi (DMR) setelah terjadi learning loss
pasca pandemi covid-19?.”

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini
adalah “ Untuk mengetahui apakah kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa pada kelas XI SMA Negeri 3 Batusangkar mengalami
peningkatan dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
Diskursus Multy Representasi (DMR) setelah terjadi learning loss pasca
pandemi covid-19.”
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, dimana
dibagi menjadi dua kategori sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
Memberikan ide strategi pembelajaran dalam dunia pendidikan.
khususnya dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia
2. Manfaat Praktis
a. Bagi penulis
Penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
penulis, serta hasil penelitian ini sebagai sumbangsih bagi dunia
pendidikan yang dapat dijadikan referensi saat melakukan
penelitian sejenis.
b. Bagi guru
Sebagai pemberi informasi dan masukan dalam
menggunakan model dan strategi pembelajaran yang berkaitan
dalam pelaksanaan pembelajaran pada mata pelajaran matematika.
c. Bagi siswa
Diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah matematis dalam pembelajaran matematika.
d. Bagi sekolah atau lembaga pendidikan
Dapat dijadikan referensi dan masukkan kepada guru dalam
mengembangkan prestasi belajar siswa dengan meningkatkan
kualitas pembelajaran melalui model pembelajaran kooperatif tipe
Diskursus Multy Representasi (DMR).

G. Defenisi Operasional
Untuk menghindari agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam
memaknai proposal penelitian ini, maka penulis akan menjelaskan
beberapa istilah sebagai berikut :
1. Learning loss
Learning loss (kehilangan pembelajaran) adalah kondisi
hilangnya pengetahuan dan keterampilan dalam perkembangan
akademis yang terjadi karena terhentinya pembelajaran dalam dunia
pendidikan (Muzdalifa, 2022)
2. Model pembelajaran kooperatif tipe Diskursus Multy Representasi
(DMR)
Pendekatan pendidikan kooperatif adalah salah satu yang
membangun komunitas belajar yang terdiri dari anggota siswa
berdasarkan kemampuan mereka sendiri. Selain itu, gaya
pembelajaran kooperatif Diskursus Multy Representasi (DMR)
merupakan model pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk
bekerja sama memecahkan masalah dalam kelompok yang heterogen
dan mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya.
3. Kemampuan pemecahan masalah matematis
Kemampuan pemecahan masalah matematis ialah upaya siswa
dalam merepresentasikan keterampilan dan pengetahuannya untuk
menemukan solusi dan penyelesaian dari masalah atau soal
matematika. Indicator kemampuan pemecahan masalah matematis
yaitu :
a. Mengidentifikasi masalah
b. Membuat dan memecahkan model matematika
c. Memilih dan menerapkan strategi penyelesaian
d. Menginterpretasikan penyelesaian masalah
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini
bermaksud untuk melihat apakah kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa pada kelas XI SMA Negeri 3 Batusangkar mengalami
peningkatan dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
Diskursus Multy Representasi (DMR) setelah terjadi learning loss pasca
pandemi covid-19.

Anda mungkin juga menyukai