Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

MANAJEMEN RISIKO
ACCOUNTING FRAUD AND INTERNAL CONTROL

Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Manajemen Risiko

Dosen Pengampu:

Dr. Novita Weningtyas Respati, SE, M.Si, Ak, CA

Disusun Oleh:

Kelompok 2

Ristania Amalyanda 2220333320057

Hikmah Julia Widyawati 2220333320019

MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya
dengan segala rahmat-Nyalah akhirnya kami bisa menyusun makalah yang berjudul
“Accounting Fraud and Internal Control” tepat pada waktunya.
Kami selaku penulis berharap semoga makalah yang telah kami susun ini bisa
memberikan banyak manfaat serta menambah pengetahuan terutama dalam hal
bagaimana Accounting Fraud and Internal Control.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan yang
membutuhkan perbaikan, sehingga kami sangat mengharapkan masukan serta
kritikan dari para pembaca.

8 Maret 2023

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI
COVER ............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 6
1.3. Tujuan Penulisan ........................................................................... 6

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Kecurangan Akuntansi yang Sering Terjadi ................................. 8
2.2. SOX Act ........................................................................................ 13
2.3. Kebijakan - Kebijakan yang Diatur dalam SOX Act .................... 16
2.4. Keunggulan dan Keterbatasan SOX .............................................. 20
2.5. Penerapan SOX di Indonesia......................................................... 23
2.6. Companies Act .............................................................................. 23
2.7. Financial Instrumen and Exchange Act ........................................ 25
2.8. Companies Act and The Financial Instruments and Exchange Act 27
2.9. Perbedaan SOX Law dan FIEA .................................................... 28
2.10. Companies Act di Indonesia ......................................................... 30
2.11. Dampak Accounting Fraud Pada Manajemen Risiko ................... 33

BAB III PENUTUP


3.1. Kesimpulan ...................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kasus kecurangan akuntansi berkaitan dengan korupsi. Kecurangan
akuntansi (fraud) yang terjadi salah satu cikal bakal munculnya tindak pidana
korupsi. Kecurangan pada dasarnya merupakan upaya yang disengaja untuk
menggunakan hak orang lain untuk kepentingan pribadi. Kecurangan akuntansi
merupakan salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan,
yaitu salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah atau pengungkapan
dalam laporan keuangan untuk mengelabuhi pemakai laporan keuangan.
Di Indonesia kasus kecenderungan kecurangan akuntansi terjadi secara
berulang-ulang yang ditandai dengan adanya tindakan dan kebijakan
menghilangkan atau penyembunyian informasi yang sebenarnya untuk tujuan
manipulasi. Banyak kasus kecurangan dalam akuntansi yang akhirnya
terungkap di Indonesia seperti kasus kejahatan perbankan, manipulasi pajak,
keterlibatan 10 Kantor Akuntan Publik (KAP) dalam pelaksanaan audit 37
bank sebelum terjadinya krisis keuangan pada tahun 1997, diajukan
manajemen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta ke pengadilan,
serta korupsi di komisi penyelenggara pemilu (Putra, 2012).
Dari perspektif kriminal, kecurangan akuntansi dikategorikan sebagai
kejahatan kerah putih (white-collar crime). Sutherland, sebagaimana dikutip
oleh Geis dan Meier (1977) menjelaskan bahwa kejahatan kerah putih dalam
dunia usaha diantaranya berbentuk salah saji atas laporan keuangan,
manipulasi di pasar modal, penyuapan komersial, penyuapan dan penerimaan
suap oleh pejabat publik secara langsung atau tidak langsung, kecurangan atas
pajak, serta kebangkrutan.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menjelaskan kecurangan akuntansi
sebagai:
• Salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan yaitu
salah saji atau penghilangan secara sengaja jumlah aau pengungkapan
dalam laporan keuangan untuk mengelabui pemakai laporan keuangan.

1
• Salah saji yang timbul dari perlakuan tidak semestinya terhadap aktiva
(disebut dengan penyalahgunaan atau penggelapan) yang berkaitan dengan
pencurian aktiva entitas yang berakibat laporan keuangan tidak disajikan
sesuai dengan Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum (PABU) di
Indonesia.
Berdasarkan SAS 99 (AU 316) menjelaskan bahwa kecurangan
akuntansi dapat terjadi dikarenakan beberapa kondisi yang menyebabkan hal
tersebut benar-benar terjadi. Hal ini disebut dengan segitiga kecurangan (fraud
triangle) yang terdiri dari:
• Tekanan: berarti tekanan dari pihak manajemen untuk melakukan
kecurangan. dan.
• Kesempatan: kesempatan berarti terdapat situasi di dalam suatu intansi
untuk melakukan kecurangan.
• Sikap/rasionalisasi: sikap/rasionalisasi menunjukkan dimana suatu
instansi merasionalisasikan tindakan yang tidak jujur atau berbuat curang.
Dalam fraud triangle theory yang dijelaskan oleh Cressey (1953) ada
tiga kondisi yang umumnya timbul pada saat terjadinya kecurangan (fraud)
yaitu tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan pembenaran
(rationalization). Lebih lanjut Bologna (1993) menjelaskan fraud dengan
GONE Theory yang terdiri dari 4 (empat) faktor yang mendorong seseorang
berperilaku menyimpang yaitu: greed, opportunity, need dan exposure.
Opportunity (kesempatan) dan Exposure (pengungkapan) berhubungan dengan
organisasi disebut juga faktor umum seperti elemen pengendalian internal.
Pada dasarnya ada dua tipe kecurangan yang terjadi di suatu instansi
ataupun perusahaan, yaitu eksternal dan internal. Kecurangan eksternal yaitu
kecurangan yang dilakukan oleh pihak luar terhadap perusahaan dan
kecurangan internal adalah tindakan tidak legal dari karyawan, manajer dan
eksekutif terhadap perusahaan.
Banyak dari kita pasti sudah sangat familiar dengan kata pengendalian
internal ataupun manajemen risiko, namun sebagian dari kita pasti tidak sedikit
yang membingungkan mana yang lebih tepatantara pengendalian internal
bagian dari manajemen risiko atau justru sebaliknya. Kira-kira itu yang

2
menjadi banyak dipertanyakan tentang pemahaman keduanya. Dalam artikel
ini hal tersebut yang akan kita bahas secara singkat.
Secara sederhana, pengendalian internal dibuat untuk membantu suatu
organisasi dalam mencapai tujuannya. Dalam organisasi tersebut pengendalian
mempunyai peran untuk mengendalikan risiko yang ada agar tetap dalam batas
yang wajar yang masih dapat diterima oleh kemampuan organisasi. Dari situ
maka dalam merancang pengendalian internal maka perlu adanya proses
identifikasi, pemahaman, penilaian dan pemetaan risiko yang ada dalam
organisasi terlebih dahulu. Maka intinya adalah pengendalian internal akan
dapat dilaksanakan setelah dilakukannya manajemen risiko, dan manajemen
risiko sendiri dapat dilaksanakan apabila suatu organisasi telah menentukan
tujuannya.
Jika ditarik ke belakang, kebingungan ini terjadi dari munculnya
Internal Control COSO Framework yang muncul tahun 1992 yang lebih
dikenal dengan istilah Internal Control COSO Framework. Dalam kerangka
ini dijelaskan ada lima komponen yaitu antara lain control environment, risk
assessment, control activities, information and communication, dan
monitoring. Jadi bisa dikatakan bahwa dalam Internal Control COSO
Framework 1992 tersebut memasukkan proses manajemen risiko sebagai
bagian dari sistem pengendalian internal. Perlu diketahui bahwa Internal
Control COSO Framework tahun 1992 ini telah digantikan dengan Internal
Control COSO Framework tahun 2013.
Berbeda dengan Internal Control Framework, pada tahun 2004 COSO
menerbitkan Enterprise Risk Management Integrated Framework yang
memperluas Internal Control Framework yang muncul tahun 1992. Hal yang
membedakan adalah penambahan komponen event identification sebelum risk
assessment dan risk response setelahnya. Dalam kerangka ini fokus pada risiko
jadi lebih terlihat. Komponen dari kerangka yang terbit 2004 ini secara lengkap
terdiri dari internal environment, objective setting, event identification, risk
assessment, risk response, control activities, information and communication,
dan monitoring. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kerangka kerja COSO
tahun 2004, pengendalian internal menjadi bagian dari manajemen risiko.

3
Dari apa yang dijelaskan 2 paragraf di atas maka dapat dikatakan bahwa
dua kerangka COSO tersebut terlihat bertentangan. Hal ini sejalan dengan apa
yang dikatakan Norman Marks bahwa manajemen risiko menjadi bagian dari
kerangka pengendalian intern, sedangkan pengendalian intern masuk dalam
kerangka manajemen risiko di sisi lain. Namun COSO sendiri beranggapan
bahwa kerangka tahun 1992 tidak digantikan dengan kerangka tahun 2004, itu
berarti kedua tersebut masih sah-sah saja untuk menjadi acuan. Jika suatu
organisasi menggunakan kerangka 2013-yang menggantikan kerangka 1992-
maka ia harus membangun manajemen risiko sebagai bagian dari pengendalian
intern. Apabila menjadikan kerangka COSO 2004 sebagai acuan maka
organisasi harus membangun pengendalian intern sebagai bagian dari
manajemen risiko.
Di Kanada pedoman terkait pengendalian intern disebut Criteria of
Control (COCO). Dalam COCO Guidance on Control (CICA,1995)
dinyatakan bahwa pengendalian mencakup identifikasi dan mitigasi risiko.
Pernyataan tersebut,menyiratkan bahwa manajemen risiko menjadi bagian dari
pengendalian. Jika dirunut historisnya pedoman ini muncul setelah COSO
1992 dan sebelum COSO 2004, pantas apabila pedoman ini sejalan dengan
kerangka COSO 1992. Berbeda halnya dengan International Federation of
Accountants (IFAC) yang menganut bahwa pengendalian intern bagian dari
manajemen risiko. Kita bisa cek di Good Practice Guidance berjudul
Evaluating and Improving Internal Control in Organizations yang diterbitkan
IFAC tahun 2012-bisa dibaca dan diunduh di web IFAC-.dalam pedoman
tersebut digambarkan bahwa pengendalian intern bagian dari manajemen risiko
yang kemudian manajemen risiko menjadi bagian dari sistem tata kelola
organisasi.
Standar lain yang bisa diperhitungkan berlaku internasional adalah ISO
31000:2009. Sebagai standar risiko maka di dalamnya membahas proses
analisis risiko (risk analysis) dan penanganan risiko (risk treatment). Standar
ini menyinggung perlunya menilai efektifitas dan efisiensi pengendalian yang
ada dalam menjaga resiko dan bentuk lain berupa menambah atau mengubah

4
pengendalian. Standar ini menyiratkan bahwa pengendalian intern masuk
sebagai bagian dari manajemen risiko.
Di Inggris pedoman terkait pengendalian intern disebut Turnbull Report
(ICAEW, 1999) atau Internal Control Guidance for Directors on the Combine
Code. Dalam pedoman ini disebutkan “a company’s system of internal control
has a key role in the management of risks that are significant to the fulfilment
of its business objectives”. Sulit untuk mengidentifikasi kalimat tersebut
apakah manajemen risiko bagian dari pengendalian internal atau justru
sebaliknya. Pedoman ini kemudian digantikan dengan pedoman lain tahun
2014-Guidance on Risk Management, Internal Control and Related Financial
and Business Reporting- yang lebih mengarahkan agar manajemen risiko dan
pengendalian intern dijalankan bersama-sama sebagai kesatuan yang tak
terpisahkan. Maka tidak heran pula kalau beberapa kalangan menyebut bahwa
manajemen risiko dan pengendalian intern seperti dua sisi mata uang.
Manajemen risiko lebih pada menemukan ancaman dan peluang, sedangkan
pengendalian intern dirancang untuk menangani ancaman dan peluang
tersebut. Kemudian Matthew Leitch (2004) dalam artikelnya yang berjudul
“Risk Management versus Internal Control” menyatakan bahwa “in principle,
there is no difference between a risk management system and an internal
control system”.
Pengendalian internal (Internal Control) adalah salah satu fungsi utama
seorang manajer. Pengendalian yang efektif pada suatu entitas bisnis akan
menghasilkan efisiensi pengguna sumberdaya perusahaan, dan dengan
berjalannya mekanisme pertanggungjawaban, akan menghasilkan informasi
yang bermanfaat serta dapat dipercaya. Untuk menciptakan pengendalian yang
efektif perusahaan seringkali melibatkan peran akuntan dan auditor sebagai
internal controller.
Pendekatan pengendalian pada accounting information system (AIS)
bertujuan untuk mengurangi risiko kesalahan operasi yang ada dalam
perusahaan. Oleh sebab itu sebagai integral suatu perusahaan. AIS merupakan
rerangka dari pengendalian itu sendiri. Tujuan umum dari rerangka
pengendalian ini adalah untuk menjamin agar tujuan perusahaan dapat tercapai.

5
Pengendalian dalam perusahaan berlangsung secara simultan, oleh
sebab itu pengendalian ini sering disebut sebagai internal control structure
(ICS). Jika internal control structure berjalan dengan baik maka operasi,
sumberdaya perusahaan, dan data dapat dimonitor dan diawasi sehingga
menghasilkan informasi sebagai hasil outputnya.
Akuntan sangat berkepentingan dengan struktur pengendalian internal
perusahaan, karena sebagai pengguna dan pemroses informasi, akuntan harus
yakin bahwa informasi yang dipakai adalah benar dan dihasilkan dalam suatu
lingkungan struktur pengendalian yang baik dan dapat diperiksa (auditable).

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang rumusan masalah yang akan dibahas, sebagai
berikut:
1. Bagaimana fenomena Accounting Fraud yang sering terjadi?
2. Bagaimana SOX Act beserta tujuannya?
3. Apa saja kebijakan - kebijakan yang diatur dalam SOX Act?
4. Apa saja keunggulan dan keterbatasan SOX?
5. Bagaimana penerapan SOX di Indonesia?
6. Bagaimana Companies Act?
7. Bagaimana Financial Instrumen and Exchange Act?
8. Bagaimana perbandingan antara Companies Act dan Financial Instrumen
and Exchange Act?
9. Apa perbedaan SOX Law dan FIEA?
10. Bagaimana penerapan Companies Act di Indonesia?
11. Bagaimana dampak Accounting Fraud pada manajemen risiko?

1.3. Tujuan Penulisan Makalah


Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka
tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui fenomena Accounting Fraud yang sering terjadi
berupa kasus.
2. Untuk mengetahui SOX Act beserta tujuannya.

6
3. Untuk mengetahui kebijakan - kebijakan yang diatur dalam SOX Act.
4. Untuk mengetahui keunggulan dan keterbatasan SOX
5. Untuk mengetahui penerapan SOX di Indonesia?
6. Untuk mengetahui Companies Act
7. Untuk mengetahui Financial Instrumen and Exchange Act
8. Untuk mengetahui perbandingan antara Companies Act dan Financial
Instrumen and Exchange Act
9. Untuk mengetahui perbedaan SOX Law dan FIEA
10. Untuk mengetahui penerapan Companies Act di Indonesia
11. Untuk mengetahui dampak Accounting Fraud pada manajemen risiko.

7
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Kecurangan Akuntansi yang Sering terjadi


2.1.1. Enron
Enron Corporation didirikan pada tahun 1985 ketika Kenneth Lay
menggabungkan perusahaannya, Houston Natural Gas, Houston, dengan
InterNorth, berlokasi di Nebraska, untuk menciptakan perusahaan energi
baru. Pada 1980-an, ketika Ronald Reagan menjadi presiden, Amerika
Serikat menyaksikan deregulasi pasar energi yang signifikan, dengan
instrumen seperti kontrak berjangka yang digunakan untuk energi, atau
kontrak berjangka yang digunakan untuk pengiriman energi di masa
mendatang (pengiriman ke depan). Selama periode deregulasi ini, akhir
1980-an, Enron menjadi perusahaan terkemuka dalam manajemen arus kas,
terlibat dalam perdagangan derivatif selain penjualan dan transportasi gas
alam tradisional.
Pada tahun 1990, Enron mempekerjakan Jeffrey Skilling, seorang
konsultan, yang mengubah model bisnis perusahaan dari pabrik energi fisik
menjadi perusahaan investasi keuangan, misalnya dengan memecah kontrak
besar menjadi derivatif untuk dijual. Jeffrey Skilling memberikan
kontribusi yang signifikan, mengangkat perusahaan menjadi yang teratas
dalam industri penjualan gas dan listrik; ia menjadi chief executive officer
(CEO) perusahaan pada 12 Februari 2001, dengan kompensasi tahunan
sebesar USD 132 juta.
Enron melobi dengan Securities and Exchange Commission (SEC)
untuk menjadi perusahaan non-keuangan pertama yang diperbolehkan
menghitung keuntungan untuk tahun fiskal dengan menggunakan metode
market-to-market. Perusahaan menggunakan metode ini untuk meramalkan
keuntungannya pada nilai pasar masa depan, daripada nilai transaksi historis
atau sekarang.
Perusahaan itu diduga telah menggunakan akuntansi nilai pasar
untuk memalsukan penjualan dan keuntungannya sejak awal 1990-an. Pada

8
akhir 1990-an, dengan mengeksploitasi transaksi derivatif, perusahaan
menghasilkan transaksi pembelian dan penjualan jumlah daya yang sama,
hingga pada akhirnya menunjukkan nol generasi tetapi penjualan yang
sangat tinggi (transaksi sirkuler).
Andrew Fastow, chief financial officer (CFO), mengalihkan
kerugian transaksi ke anak perusahaan non-konsolidasi (entitas tujuan
khusus: SPE) untuk mencegah penemuan penipuan. Pengalihan ini
mengakibatkan off-book loss, namun firma audit (Arthur Andersen & Co)
tidak membocorkan fakta tersebut kepada investor.
Perusahaan juga menjadi pionir derivatif cuaca, metode lindung
nilai menggunakan analisis keuangan, untuk melindungi risiko fluktuasi
pendapatan akibat cuaca. Pada 1990-an, liberalisasi harga mengintensifkan
persaingan harga di Amerika Serikat, menempatkan utilitas pada risiko
volatilitas pendapatan. Misalnya, di musim panas yang sangat sejuk,
penggunaan AC turun, berpotensi menyebabkan berkurangnya konsumsi
gas. Demikian pula, musim dingin yang sangat hangat akan mengurangi
kebutuhan akan pemanas listrik, dengan konsumsi listrik yang berkurang.
Asuransi dijual untuk menutupi risiko ini, tetapi masalah dengan asuransi
adalah melibatkan prosedur investigasi yang rumit sebelum membayar
klaim, sehingga sulit untuk menginterpretasikan kisaran agunan dalam
kontrak asuransi pada saat pembayaran.
Enron berhasil menandatangani perjanjian termasuk turunan ini
dengan Koch Energy Trading Inc. pada tahun 1997. Jika suhu di bawah rata-
rata, Enron akan membayar Cork USD 10.000 setiap kali, dan jika di atas
rata-rata, Cork akan membayar Enron USD 10.000 setiap kali. Dengan
demikian, perdagangan derivatif Enron yang agresif menyumbang lebih dari
80% keuntungannya pada tahun 1998.
Enron adalah perusahaan terbesar ketujuh di Amerika Serikat pada
tahun 2000, dengan penjualan tahunan sebesar USD 110 miliar, menjadi
perusahaan terkemuka dengan hampir 20.000 karyawan. pada tahun 2001.
Majalah Fortune memilih Enron sebagai perusahaan paling inovatif di
Amerika dari tahun 1996 hingga 2001.

9
Harga saham Enron lebih dari USD 90 per saham pada bulan
Agustus 2000 dan dijunjung tinggi. Manajemen perusahaan mengatakan
kepada investor bahwa harga sahamnya akan naik dari USD 130 menjadi
USD 140 per saham. Namun, manajemen Enron memiliki informasi orang
dalam tentang penyembunyian kerugian tersebut dan melepas saham
mereka dalam jumlah besar. Selain itu, dugaan penipuan akuntansi
perusahaan dilaporkan di Wall Street Journal pada 17 Oktober 2001, di
mana harga sahamnya anjlok, menyebabkan pencarian oleh SEC.
Sementara itu, banyak analis menyarankan pembelian saham perusahaan
ketika harganya turun di bawah USD 20 per saham pada Oktober 2001.
Namun, lembaga pemeringkat telah menurunkan peringkatnya karena laba
yang memburuk, dan harga saham perusahaan pada akhir November 2001
lebih rendah. dari USD 1 per saham. Dengan demikian, investor yang telah
membeli saham perusahaan tersebut mengalami kerugian yang sangat besar.
Akhirnya, pada tanggal 2 Desember 2001 perusahaan tersebut
mengajukan kebangkrutan, ketika harga sahamnya adalah 26 sen per saham.
Saat ini, total aset perusahaan adalah USD 63,4 miliar, sedangkan total
utangnya adalah USD 31 miliar; ini meningkat menjadi lebih dari USD 40
miliar ketika hutang off-book dimasukkan. Dengan demikian, Enron adalah
perusahaan bangkrut terbesar di Amerika Serikat sebelum runtuhnya
WorldCom pada Juli 2002.
Mantan CEO Jeffrey Skilling didenda sekitar USD 45 juta oleh
pengadilan distrik federal di Texas pada tanggal 23 Oktober 2006, karena
penipuan dan kolusi. Dia juga dijatuhi hukuman 24 tahun dan 4 bulan
penjara. Mantan pendiri CEO Kenneth Rey juga dinyatakan bersalah, tetapi
dia meninggal karena serangan jantung pada usia 64 tahun pada 5 Juli 2006.
Pengadilan Distrik Houston menghukum mantan CFO Andrew Fastow 6
tahun penjara dan 2 tahun pelayanan masyarakat pada 26 September 2006.
Firma audit Enron, Arthur Andersen & Co, dinyatakan bersalah oleh
pengadilan distrik dan, meskipun hal ini dibatalkan di Mahkamah Agung,
firma tersebut kehilangan kredit dan harus ditutup karena mereka juga
kehilangan sebagian besar pelanggan.

10
2.1.2. WorldCom
Dengan omset sebesar USD 35,2 miliar dan 85.000 karyawan, World Com
pernah menjadi perusahaan telepon jarak jauh terbesar kedua di Amerika
Serikat setelah AT&T.4 Pada tahun 1998, perusahaan tersebut membeli
Microwave Communications Inc. perusahaan komunikasi jarak jauh
terbesar di Amerika Serikat, seharga USD 37 miliar, pada saat itu harga
terbesar yang pernah ada dalam sejarah AS. Pertumbuhan World Com
sebagian besar disebabkan oleh penggabungannya pada 1990-an. Dalam
kata-kata CEO mereka saat itu Bernard Ebbers, kebijakan perusahaan
adalah: "Kami tidak membutuhkan uang tunai. Selama kami
mempertahankan harga saham yang tinggi, kami dapat mengakuisisi
perusahaan yang lebih besar dari diri kami sendiri." Perusahaan
mengakuisisi 75 perusahaan melalui pertukaran saham.
Namun, harga saham WorldCom terus turun ketika perusahaan
telepon jarak jauh MCI, yang diakuisisi pada tahun 1998, mengalami
kemerosotan pendapatan setelah runtuhnya gelembung TI. Kemudian, pada
akhir April 2002, Bernard Ebbers mengundurkan diri, digantikan oleh John
Sidgmore sebagai CEO.
Pada bulan Juni 2002, departemen audit internal WorldCom,
dipimpin oleh Cynthia Cooper, menemukan pemalsuan akuntansi sebesar
USD 3,8 miliar selama audit rutin, untuk kemudian menjadi organisasi
investigasi independen di dalam perusahaan. Cynthia Cooper dinobatkan
sebagai salah satu "persons of the year " pada tahun 2002 atas keberanian
dan integritasnya dalam menghadapi penipuan.
Kemudian, pada tanggal 25 Juni 2002, CEO John Sidgemore
memecat Scott Sullivan, bendahara, dengan menunjukkan bahwa "dalam 15
bulan window dressing, ada pelaporan laba sebesar USD 3,8 miliar". Harga
saham perusahaan mulai anjlok, turun dari USD 64,5 per saham pada Juni
1999 menjadi enam sen pada 1 Juli 2002. Sementara itu, SEC memulai
penyelidikannya terhadap perusahaan pada 26 Juni 2002, untuk menemukan
inflasi total aset sekitar USD 11. miliar pada tahun 2003.

11
Metode window dressing utama perusahaan adalah mencatat biaya
yang dikeluarkan untuk interkoneksi dengan perusahaan telekomunikasi
lain (line cost) sebagai investasi, meskipun seharusnya dicatat sebagai
beban. Misalnya, jika layanan diberikan ke gedung di mana operator lain
telah memasang serat optik, jalur tersebut harus disewa dari operator
sebelumnya. Biaya lini ini harus dicatat sebagai pengeluaran, tetapi
WorldCom menghapusnya sebagai investasi.
Dengan demikian, perusahaan mengajukan pertimbangan
berdasarkan Bab. 11 dari Kode Kebangkrutan Federal (setara dengan
Undang-Undang Reformasi Perusahaan Jepang) ke Pengadilan
Kebangkrutan New York pada 21 Juli 2002. Total aset perusahaan sebesar
USD 103,8 miliar, hampir dua kali ukuran aset Enron sebesar USD 63,4
miliar, dan dengan total utang perusahaan sebesar USD 41 miliar, ini
menjadi kebangkrutan terbesar dalam sejarah AS. Namun rekor ini hanya
bertahan hingga runtuhnya Lehman Brothers pada September 2008, dengan
total kewajiban sebesar USD 6.130 miliar. Mantan CEO perusahaan
Bernard Ebbers dinyatakan bersalah atas penipuan dan konspirasi dan
menyerahkan dokumen palsu kepada regulator, dan pada 15 Maret 2005
dijatuhi hukuman 25 tahun penjara. CFO Scott Sullivan saat itu dijatuhi
hukuman 5 tahun penjara pada 11 Agustus 2005.

2.1.3. Cockroach Theory


Teori kecoa ini menyatakan bahwa ditemukannya satu berita buruk yang
berkaitan dengan suatu perusahaan mengungkapkan adanya lebih banyak
berita buruk yang masih tersembunyi. Istilah "teori kecoa" berasal dari
anggapan bahwa melihat satu kecoa biasanya merupakan bukti banyak
kecoa bersembunyi di dalam rumah. Di bawah teori ini, jika kita melihat
satu kecoak, kita bisa mengharapkan 30 kecoak lagi di dalam rumah. Jadi,
penemuan satu masalah yang berkaitan dengan perusahaan mungkin
menunjukkan adanya 30 kali lebih banyak masalah yang masih tersembunyi
di perusahaan tersebut.

12
Misalnya, penipuan akuntansi Enron dengan jelas menunjukkan
bahwa WorldCom telah melakukan penipuan akuntansi. Selain itu, New
Century Financial, sub prime lender, mengalami kerugian pada Februari
2007 ketika para peminjam gagal memenuhi kewajiban pembayaran
mereka, yang menyebabkan krisis likuiditas. World Com adalah yang
pertama dari banyak perusahaan yang menghadapi masalah likuiditas
karena masalah subprime. Dengan kata lain, paparan satu sub-prime lender
(satu kecoak) terhadap masalah keuangan menunjukkan adanya masalah
serupa di banyak perusahaan lain dalam industri yang sama.
Dari teori ini, begitu peristiwa buruk yang berkaitan dengan
perusahaan muncul, investor. mengharapkan peristiwa yang sama terjadi di
perusahaan lain; mereka akan berhenti berinvestasi di industri tersebut
secara keseluruhan, dan ini dapat menyebabkan harga saham jatuh.
Misalnya, jika penipuan akuntansi terjadi di satu perusahaan, otoritas
pengawas akan memeriksa semua perusahaan lain untuk mencegah
terjadinya penipuan lebih lanjut, dan investor, karena takut akan
kemungkinan penipuan lebih lanjut, mungkin akan menjual saham mereka
dan menarik diri dari pasar keuangan. menyebabkan jatuhnya harga saham
lebih lanjut. Dengan demikian, investor yang mengetahui adanya
kecurangan akuntansi yang menyebabkan anjloknya harga saham akan
cenderung menahan investasi saham sampai pasar stabil. Padahal, dalam
waktu sekitar 7 bulan, yaitu sejak 2 Desember 2001 saat Enron mengajukan
kebangkrutan hingga Juli 2002 saat World Com mengajukan kebangkrutan
indeks Dow turun sebesar 22,3%.

2.2. SOX Act


SOX Act adalah undang-undang federal AS yang diberlakukan pada Juli
2002 untuk mencegah investor dari kerugian akibat penipuan akuntansi.
Undang-undang tersebut juga dikenal sebagai Sarbanes-Oxley Act, dari
nama Senator Paul Sarbanes dan Perwakilan Michael G. Oxley yang
mengajukan RUU tersebut. Undang-undang tersebut secara resmi dikenal
sebagai Undang-Undang Reformasi Akuntansi Perusahaan Terbuka dan

13
Perlindungan Investor tahun 2002; kadang-kadang disebut Corporate
Reform Act di Jepang.
Undang-undang SOX mewakili salah satu perubahan besar dalam
undang-undang bisnis keuangan di bawah Undang-Undang Sekuritas
Federal tahun 1933 dan Undang-Undang Sekuritas dan Pertukaran Federal
tahun 1934. Undang-undang tersebut berlaku untuk perusahaan yang
terdaftar di pasar sekuritas AS dan perusahaan konsolidasinya serta
perusahaan asing terdaftar di pasar sekuritas AS mana pun.
Poin-poin terpenting dari UU ini adalah sebagai berikut. CEO dan
CFO perusahaan yang terdaftar harus secara pribadi menjamin keaslian
laporan akuntansi. Pasal 302 undang-undang mewajibkan CEO dan CFO
untuk menandatangani laporan tahunan dan triwulanan yang menegaskan
bahwa (1) pejabat yang menandatangani laporan telah membaca laporan
tersebut, (2) tidak ada fakta penting yang disalahartikan atau dihilangkan
untuk menyebabkan kesalahpahaman dalam laporan keuangan, (3)
informasi dalam laporan keuangan secara tepat menggambarkan kondisi
keuangan dan hasil operasi perusahaan, (4) CEO dan CFO bertanggung
jawab untuk menetapkan dan memelihara pengendalian internal, dengan
mekanisme pengendalian internal untuk memastikan validitas konsolidasi
laporan keuangan sudah ada dan telah dievaluasi efektivitasnya tidak lebih
dari 90 hari sebelum tanggal penutupan, (5) defisiensi serius dalam
rancangan dan pengoperasian pengendalian internal jika ada telah
diungkapkan kepada auditor dan komite audit, dan (6) kesalahan apapun
dari manajemen atau karyawan yang memiliki kepentingan.

2.2.1. Tujuan SOX Act


SOX memiliki 5 tujuan utama yaitu:
1. Meningkatkan kepercayaan publik akan pasar modal.
2. Menerapkan tata pemerintahan yang baik.
3. Menyediakan akuntabilitas yang lebih baik dengan membuatmanajemen
dan direksi bertanggung jawab akan laporan keuangan.
4. Meningkatkan kualitas audit.

14
5. Menempatkan penekanan yang lebih kuat pada struktur di sekitar dunia
usaha untuk mencegah, mendeteksi, menginvestigasi kecurangan dan
perbuatan tidak baik.

2.2.2. Implikasi Sarbanes-Oxley Act


Manfaat Penerapan Sarbanes Oxley Bagi Perusahaan
1. Perusahaan publik akan memiliki sistem pengendalian intern
yang lebih baik, sehingga
2. akuntabilitas dan integritas pelaporan keuangannya lebih dapat dipercaya
dan diandalkan.
3. Kepercayaan investor lebih meningkat.
4. Memiliki citra (image) yang positif di mata publik dan pemangku
kepentingan lainnya.
5. Membantu perusahaan untuk melakukan Good Governance Corporation
dengan baik

Manfaat Penerapan Sarbanes Oxley Bagi Konsumen


• Meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap perusahaan
• Menghindari adanya kebohongan publik oleh perusahaan
• Konsumen dapat memastikan akurasi laporan keuangan perusahaan

2.2.3. Risiko Tidak Complience (Mematuhi) SOX Bagi Perusahaan


1. Dalam Financial
Resiko tidak complience (mematuhi) terhadap SOX bagi perusahaan
dalam hal financial adalah dapat menyebabkan kebangkrutan bagi
perusahaan khususnya perusahaan publik jika ternyata terdapat fraud
dalam perusahaan tersebut. Karena dapat mengakibatkan hilangnya
kepercayaan masyarakat dan menarik semua saham-sahamnya dan akan
menyebabkan kebangkrutan bagi perusahaan.

2. Dalam Non-Financial

15
Resiko tidak complience (mematuhi) terhadap SOX bagi perusahaan
dalam hal non fnancial adalah dapat menyebabkan perlakuan buruk bagi
pegawai jika terjadi pengakuan/membeberkan dan memberi informasi
jika terjadi fraud dan membantu investigasi di dalam perusahaan. Seperti
dipecat, didemosikan, dilecehkan dan berbagai perlakuan diskrimatif
lainnya.

2.3. Kebijakan - Kebijakan yang Diatur dalam SOX Act


SOX terdiri dari 11 Titles dan 69 sections yang meliputi:

16
17
18
19
Sumber: Tuanakotta, Theodorus M.

2.4. Keunggulan dan Keterbatasan SOX


• Keunggulan Penerapan SOX
1. Tanggung Jawab Perusahaan
Undang-undang ini menekankan dan meminta perusahaan untuk
bertanggung jawab secara terafiliasi. Manajemen harus membuat
pernyataan bahwa laporan keuangan telah disajikan secara akurat dan
tidak menimbulkan salah tafsir. Selain itu, pernyataan manajemen
juga harus mencakup bahwa laporan keuangan yang disajikan telah
menerapkan sistem pengawasan internal yang sehat. Komite Audit
harus berperan aktif antara lain dengan melakukan pengawasan ketat
terhadap auditor, melakukan pemisahan antara audit service dengan

20
non-audit service, dan melakukan persetujuan dan pengungkapan
atas semua jasa non-audit.

2. Auditor
Walaupun selama ini sudah diatur tentang independensi akuntan
publik tetapi dalam undang undang ini diperketat lagi kewajiban
mempertahankan independensi akuntan dan membentuk Dewan
Pengawas Akuntan Publik. Undang-undang ini melarang pemberian
jasa non-audit diluar jasa perpajakan dan juga mencantumkan adanya
kewajiban untuk melakukan tugas bergilir terhadap pelaksana dan
penanggung jawab audit.
3. Perluasan Pengungkapan
Dalam undang-undang ini ada beberapa hal yang wajib diungkapkan,
antara lain: penilaian setiap tahun oleh manajemen dan auditor
terhadap sistem pengawasan internal, kewajiban untuk menyajikan
laporan proforma, pelaporan transaksi saham internal dalam
jangka waktu dua hari, pengungkapan semua pembiayaan yang
bersifat off-balance sheet dan pembiayaan yang bersifat kontingensi
(seperti pada industri perbankan), dan beberapa informasi tertentu
yang dianggap penting harus di laporkan secara real time.

4. Analis Saham
Analis saham harus mendapatkan pengungkapan terhadap informasi
yang berkenaan dengan kemungkinan adanya konflik kepentingan
(conflict of interest).

5. Securities Exchange Committee (SEC)


SEC memperluas objek reviewnya terhadap laporan keuangan
perusahaan, meningkatkan kekuasaan untuk memaksa perusahaan
melaksanakan peraturannnya dan menaikkan biaya hukuman terhadap
setiap pelanggaran UU pasar modal.

21
• Keterbatasan SOX
Sarbanes Oxley Act memberikan beberapa perhatian untuk pengendalian
internal terbukti dengan adanya jasa hotlines yang disediakan
untuk proses pelaporan frauds yang disaksikan oleh pegawai dan
perlindungan terhadap pegawai tersebut atas pelaporannya. Tapi
sayangnya SOX memiliki beberapa kelemahan, yang pertama adalah
memfokuskan pada pemberian sanksi dan perlakuan terhadap subject,
namun pada kenyataanya kebanyakan kasus fraud yang terjadi bukan
hanya terjadi karena individu yang melakukannya (Moral Hazard) tapi
lebih dikarenakan adanya permainan dalam sistem.
Oleh karena itu, terdapatlah limitation of Internal Controls yang
berarti kebanyakan kegagalan yang terjadi dalam internal controls
terjadi karena masing-masing individu, yang seharusnya menerapkan
prinsip internal controls ini dengan baik, dengan sengaja melakukan
pelanggaran dan bersepakat secara bersama-sama menyeleweng.Dan
sampai saat ini belum ada sistem yang dapat menakut-nakuti orang-orang
yang memiliki peluang untuk melakukan kecurangan baik dalam lingkup
manajemen ataupun individu.
Efek sanksi dengan adanya SOX nampaknya tidak terlalu ampuh
untuk dipopulerkan. Ini terbukti dengan terjadinya kasus frauds untuk
kesekian kalinya di Amerika yang secara menyeluruh mengadopsi SOX.
Bahkan terjadi beberapa kasus fraud lebih parah dan sampai-sampai
menyebabkan kerusakan ekonomi global. Ada komponen lain yang
menyebabkan internal controls tidak berjalan secara semestinya, yaitu
ketika moral hazard atas individu yang terjadi dalam sebuah perusahaan
sudah tersistem. Contoh kasusnya adalah AIG yang merupakan salah
satu perusahaan asuransi besar didunia. Hedge Fund dan peluang
pengendalian uang yang besar oleh manajemen menjadi daya tarik
tersendiri untuk melakukan skandal keuangan. Pengendalian dan
pengontrolan terhadap manajemen perusahan tidak hanya dilakukan oleh
komite audit tapi juga harus sejalan dengan regulasi dan pengontrolan
yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, daya pikir kritis terhadap

22
kondisi sebuah perusahaan yang sudah dianggap baik haruslah
ditingkatkan. Inspeksi keuangan pada sebuah perusahaan harus
dilakukan secara berkala agar pendeteksian kecurangan bisa ditemukan
lebih awal. Pembuatan regulasi dan sanksi luar biasa dalam pengendalian
moral hazard harus dilakukan agar tidak terjadi suatu kegagalan sistemik
yang akan mengakibatkan semua instrument pengendalian baik regulasi
pemerintah, kode etik perusahaan, maupun nilai-nilai/budaya dalam
perusahaaan harus kembali diperbaiki lagi dari awal.

2.5. Penerapan SOX di Indonesia


PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk sebagai perusahaan yang telah tercatat
di bursa saham dalam negeri dan luar negeri berkomitmen penuh untuk
mengembangkan dan menerapkan kebijakan serta praktek tata kelola
perusahaan dengan pembenahan internal dan pemenuhan standard
internasional. Standard internasional khususnya aturan yang ditetapkan oleh
US Securities and Exchange Commission (US SEC) yang harus diadopsi
oleh PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk, sebagai salah satu perusahaan
yang telah listing di New York Stock Exchange (NYSE), adalah Sarbanes
Oxley Act (SOA). Sistem pengendalian internal yang tercantum dalam
Sarbanes Oxley Act merupakan unsur penting dalam praktek Good
Corporate Governance. PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk saat ini
menerapkan tiga section Sarbanes Oxley Act, yaitu section 302, section 404,
dan section 906. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan tiga section
tersebut dapat diterapkan sebagai langkah awal implementasi Sarbanes
Oxley Act. Sedangkan untuk section lainnya, kemungkinan di masa
mendatang juga akan diterapkan secara bertahap bila perusahaan telah
mampu menjalankan tiga section tersebut dengan lengkap dan benar, serta
adanya pertimbangan manajemen terhadap benefit yang diperoleh.

2.6. Companies Act


Companies Act adalah seperangkat peraturan dan regulasi yang mengatur
operasi dan pengelolaan perusahaan di berbagai negara, termasuk India,

23
Inggris, Selandia Baru, dan Australia. Companies Act terutama bertujuan
untuk memastikan bahwa perusahaan beroperasi secara transparan dan para
pemangku kepentingan memiliki perlindungan yang memadai.
Undang-Undang Perusahaan India dimulai pada tahun 1850 ketika
pemerintah kolonial Inggris memberlakukan undang-undang pertama untuk
mengatur perusahaan. Seiring waktu, undang-undang tersebut telah
mengalami beberapa kali revisi, yang terbaru pada tahun 2013, yang
menggantikan Undang-Undang Perusahaan lama, 1956. Undang-undang
baru ini bertujuan untuk memodernisasi dan menyederhanakan undang-
undang sebelumnya seraya menangani masalah yang muncul seperti
tanggung jawab sosial perusahaan, aktivisme pemegang saham, dan gugatan
class action.
Companies Act 2013 memiliki beberapa ketentuan yang bertujuan
untuk menjamin kelancaran operasional perusahaan. Salah satu ketentuan
penting adalah persyaratan bagi perusahaan untuk mengadopsi anggaran
dasar yang menguraikan tujuan, hak, tugas, dan kewajiban perusahaan.
Ketentuan penting lainnya adalah persyaratan bagi perusahaan untuk
memiliki dewan direksi yang mengawasi manajemen perusahaan dan
menetapkan arah strategis. Dewan direksi diharapkan untuk bertindak demi
kepentingan terbaik perusahaan dan pemangku kepentingannya.
Companies Act juga mengamanatkan perusahaan untuk memelihara
daftar anggota, pemegang surat utang, dan direktur menurut undang-
undang. Perusahaan juga dituntut untuk menyelenggarakan pembukuan
yang baik dan menyusun laporan keuangan yang mencerminkan gambaran
kinerja keuangan perusahaan yang sebenarnya dan wajar.
Undang-undang tersebut juga menetapkan ketentuan yang berkaitan
dengan tanggung jawab sosial perusahaan, penunjukan auditor, penerbitan
sekuritas, merger, dan akuisisi, dan penutupan perusahaan. Undang-undang
menetapkan beberapa otoritas pengatur seperti Pengadilan Hukum
Perusahaan Nasional (NCLT) dan Otoritas Pelaporan Keuangan Nasional
(NFRA) untuk memastikan bahwa ketentuan Undang-undang tersebut
dilaksanakan secara transparan dan efisien.

24
Dampak dari Companies Act sangat besar pada sektor korporasi
India. Undang-undang tersebut telah membuat operasi dan manajemen
perusahaan lebih kuat dan transparan, yang mengarah pada kepercayaan
investor yang lebih besar. Undang-undang tersebut juga meningkatkan hak
pemegang saham minoritas dan memberikan perlindungan yang lebih besar
kepada pemangku kepentingan. Selain itu, UU mempromosikan tanggung
jawab sosial perusahaan dan keberlanjutan, yang mengarah ke akuntabilitas
yang lebih besar dan praktik bisnis yang bertanggung jawab.
Sebagai kesimpulan, Companies Act adalah undang-undang penting
yang mengatur operasi dan manajemen perusahaan. Undang-undang
memastikan bahwa perusahaan beroperasi secara transparan dan para
pemangku kepentingan memiliki perlindungan yang memadai. Undang-
undang tersebut telah mengalami beberapa kali revisi dari waktu ke waktu,
terakhir pada tahun 2013. Undang-undang tersebut memiliki beberapa
ketentuan penting terkait tata kelola perusahaan, termasuk pengesahan
anggaran dasar, pengangkatan direksi, dan pemeliharaan daftar undang-
undang. Dampak dari Undang-undang tersebut sangat signifikan, yang
mengarah pada kepercayaan investor yang lebih besar, peningkatan
perlindungan pemangku kepentingan, dan praktik bisnis yang lebih
bertanggung jawab dan akuntabel.

2.7. Financial Instrumen and Exchange Act


Financial Instruments and Exchange Act (FIEA) adalah undang-undang
Jepang yang diberlakukan untuk mengatur pasar sekuritas dan instrumen
keuangan. Didirikan pada tahun 1948 dan kemudian direvisi pada tahun
2006 setelah kegagalan Bursa Efek Tokyo. Ini bertujuan untuk melindungi
investor dan mempromosikan perdagangan yang adil di pasar keuangan
Jepang. Esai ini akan membahas instrumen keuangan yang diatur oleh FIEA
dan berbagai aspek dari undang-undang ini.
FIEA bertanggung jawab untuk mengatur derivatif keuangan.
Derivatif adalah sekuritas yang nilainya didasarkan pada underlying asset.
Aset ini dapat berupa obligasi, saham, mata uang, kontrak berjangka, dan

25
opsi. FIEA menguraikan persyaratan bagi perusahaan yang berurusan
dengan sekuritas semacam itu. Ini mengharuskan perusahaan untuk
mendaftar ke Badan Layanan Keuangan (FSA) dan menjalani pemeriksaan
ketat dan pemeriksaan kepatuhan.
FIEA juga mengatur transaksi sekuritas di Jepang. Perusahaan harus
mengungkapkan informasi seperti pendapatan, catatan transaksi, dan
laporan dewan direksi secara berkala. Hal ini untuk memastikan
transparansi dan akuntabilitas bagi investor. Selain itu, FIEA mengontrol
perdagangan orang dalam dan manipulasi pasar. Undang-undang tersebut
memberikan hukuman untuk manipulasi saham atau perdagangan orang
dalam, yang memberikan perdagangan yang adil kepada investor.
FIEA juga mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan
informasi material yang dapat memengaruhi keputusan investor. Ini
melarang perusahaan menyembunyikan informasi atau terlibat dalam
praktik penipuan untuk memanipulasi pasar. Ini termasuk perdagangan
orang dalam, di mana perusahaan mengungkapkan informasi rahasia kepada
beberapa orang terpilih, memberikan keuntungan yang tidak adil kepada
individu tersebut di pasar.
Terakhir, FIEA mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan
laporan keuangan mereka untuk memastikan keakuratan dan transparansi
posisi keuangan mereka. Hal ini penting untuk memastikan bahwa investor
mengetahui posisi keuangan perusahaan sebelum berinvestasi. FIEA juga
mengatur auditor yang bertanggung jawab untuk mengaudit laporan
keuangan ini. Ini memberikan pedoman bagi auditor, dan hukuman untuk
ketidakpatuhan sangat berat.
Kesimpulannya, Undang-Undang Instrumen Keuangan dan
Pertukaran adalah undang-undang penting untuk pasar keuangan Jepang. Ini
mengatur derivatif keuangan, transaksi sekuritas, perdagangan orang dalam,
manipulasi pasar, dan mempromosikan transparansi dan akuntabilitas.
Undang-undang ini memberikan perdagangan yang adil bagi investor
dengan mewajibkan perusahaan untuk mengungkapkan informasi material
dan secara akurat melaporkan posisi keuangan mereka. FIEA telah

26
memperkuat pasar keuangan Jepang dan berperan penting dalam
melindungi kepentingan investor.

2.8. Companies and The Financial instruments and Exchange Act


Companies Act dan Financial Instruments and Exchange Act (FIEA) adalah
dua undang-undang penting yang mengatur operasi perusahaan di Jepang.
Companies Act, yang pertama kali ditetapkan pada tahun 1899 dan direvisi
pada tahun 2005, menetapkan kerangka hukum untuk pendirian,
pengelolaan, dan likuidasi perusahaan di Jepang. Di sisi lain, FIEA adalah
peraturan keuangan yang mengatur pasar sekuritas dan derivatif di Jepang.
Esai ini mengeksplorasi fitur utama dari kedua Undang-undang ini dan
bagaimana pengaruhnya terhadap lingkungan bisnis di Jepang.
Companies Act mencakup berbagai masalah hukum perusahaan,
termasuk pendirian perusahaan, hak pemegang saham, merger dan akuisisi,
dan tata kelola perusahaan. Berdasarkan Undang-undang ini, sebuah
perusahaan dapat didirikan dengan mengajukan dokumen yang diperlukan
kepada Kementerian Kehakiman. Undang-undang tersebut juga
menetapkan ketentuan untuk penunjukan direktur dan pejabat, dan tanggung
jawab dewan direksi. Dewan bertanggung jawab untuk mengelola bisnis dan
urusan perusahaan, dan harus bertindak demi kepentingan terbaik
perusahaan dan pemegang sahamnya. Pemegang saham diberikan hak untuk
memberikan suara pada keputusan penting, seperti merger dan akuisisi,
serta berhak menerima dividen dari keuntungan perusahaan.
Companies Act juga mewajibkan perusahaan untuk memelihara
catatan akuntansi yang tepat dan menyiapkan serta mengajukan laporan
keuangan tahunan. Hal ini penting bagi investor dan kreditor yang
mengandalkan informasi keuangan yang akurat untuk membuat keputusan
tentang perusahaan. Undang-undang tersebut juga mengatur ketentuan
tentang likuidasi perseroan, yang dapat terjadi jika perseroan tidak mampu
membayar utang-utangnya atau pemegang saham memutuskan untuk
membubarkan perseroan.

27
FIEA, di sisi lain, berfokus pada pengaturan pasar sekuritas dan
derivatif di Jepang. Undang-undang tersebut pertama kali ditetapkan pada
tahun 1948 dan telah direvisi beberapa kali sejak saat itu. FIEA menetapkan
ketentuan untuk pendaftaran dan regulasi pelaku pasar, seperti pialang
sekuritas, penasihat investasi, dan lembaga keuangan. Undang-undang
tersebut juga menetapkan aturan untuk pengungkapan informasi, seperti
laporan keuangan dan prospektus, untuk melindungi investor dan
memastikan perdagangan yang adil dan transparan.
Di bawah FIEA, perusahaan juga harus mematuhi aturan ketat
terkait perdagangan orang dalam, manipulasi pasar, dan bentuk penipuan
sekuritas lainnya. Undang-undang memberlakukan hukuman berat untuk
pelanggaran aturan ini, termasuk denda dan penjara. FIEA juga menetapkan
ketentuan regulasi instrumen keuangan, seperti saham, obligasi, dan kontrak
berjangka.
Kesimpulannya, Companies Act dan Financial Instruments and
Exchange Act adalah dua undang-undang penting yang mengatur
lingkungan bisnis di Jepang. Undang-undang ini memberikan kerangka
hukum untuk pendirian dan pengoperasian perusahaan, perlindungan hak
pemegang saham, dan regulasi pasar keuangan. Dengan mematuhi Undang-
Undang ini, perusahaan dapat menunjukkan komitmen mereka terhadap
transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola perusahaan yang baik, yang dapat
meningkatkan reputasi mereka dan menarik investor dan pelanggan.

2.9. Perbedaan SOX Law dan FIEA


Sarbanes-Oxley Act (SOX) dan Financial Instruments and Exchange Act
(FIEA) adalah dua undang-undang penting yang diberlakukan untuk
mengatur pasar keuangan dan melindungi investor masing-masing di
Amerika Serikat dan Jepang. Sementara tujuan menyeluruh mereka
mungkin sangat mirip, ada beberapa perbedaan mendasar di antara mereka
dalam hal ruang lingkup, penerapan, dan ketentuannya.
Undang-undang SOX, ditandatangani menjadi undang-undang pada
tahun 2002, diperkenalkan setelah skandal akuntansi besar seperti Enron,

28
WorldCom, dan Tyco, yang menyebabkan hilangnya miliaran dolar bagi
investor. Tindakan ini diterapkan terutama untuk perusahaan publik di
Amerika Serikat dan bertujuan untuk meningkatkan akurasi dan keandalan
pengungkapan keuangan serta memulihkan kepercayaan di pasar modal.
Salah satu ketentuan pentingnya mengharuskan perusahaan untuk
menetapkan dan memelihara pengendalian internal yang memadai untuk
memastikan keandalan dan keakuratan pelaporan keuangan mereka.
Undang-undang ini juga membentuk Dewan Pengawas Akuntansi
Perusahaan Terbuka (PCAOB), yang memantau audit laporan keuangan
perusahaan publik dan menegakkan kepatuhan terhadap standar audit.
Sebaliknya, Financial Instruments and Exchange Act (FIEA), yang
diberlakukan di Jepang pada tahun 2006, dirancang untuk mengatur industri
sekuritas dan melindungi kepercayaan investor dengan memastikan
keadilan, transparansi, dan efisiensi pasar keuangan. FIEA mengatur
berbagai instrumen keuangan, termasuk saham, obligasi, kontrak berjangka,
dan opsi, dan berlaku untuk pasar Bursa Saham Tokyo dan over-the-counter
(OTC). Beberapa ketentuan utamanya termasuk persyaratan pendaftaran
dan pengungkapan untuk penerbit sekuritas, menetapkan aturan ketat untuk
perdagangan orang dalam, dan memberdayakan Badan Jasa Keuangan
(OJK) untuk mengawasi dan mengatur perusahaan sekuritas.
Meskipun SOX dan FIEA memiliki beberapa fitur umum, seperti
penekanan pada transparansi, keadilan, dan perlindungan investor, terdapat
beberapa perbedaan penting di antara keduanya. Salah satu elemen penting
adalah bahwa undang-undang SOX lebih berkonsentrasi pada pelaporan
keuangan dan standar akuntansi untuk perusahaan publik, sementara FIEA
dirancang untuk mengatur instrumen dan pemain keuangan yang lebih luas
di industri sekuritas Jepang. Selain itu, sementara undang-undang SOX
ditegakkan terutama oleh Securities and Exchange Commission (SEC) dan
PCAOB, badan pengawas FIEA adalah FSA. Terakhir, SOX berlaku untuk
semua perusahaan publik di Amerika Serikat, sedangkan FIEA hanya
berlaku di Jepang.

29
Sebagai kesimpulan, undang-undang SOX dan FIEA adalah
undang-undang penting yang bertujuan untuk memastikan transparansi,
keadilan, dan perlindungan investor di pasar keuangan. Meskipun mereka
memiliki beberapa kesamaan, ruang lingkup, ketentuan, dan badan
pengaturnya berbeda secara signifikan. Memahami perbedaan ini sangat
penting bagi pelaku pasar yang beroperasi di Amerika Serikat dan Jepang,
karena kepatuhan terhadap undang-undang yang berlaku sangat penting
untuk menghindari penalti dan menjaga kepercayaan investor.

2.10. Companies Act di Indonesia


Indonesia adalah salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di Asia
Tenggara, dan sektor bisnisnya berkembang pesat. Companies Act di
Indonesia adalah undang-undang yang diberlakukan untuk mengatur
perusahaan yang beroperasi di negara tersebut. Ini menetapkan persyaratan
untuk mendirikan, menjalankan, dan menutup perusahaan di Indonesia.
Untuk mendirikan perusahaan di Indonesia, suatu bisnis harus
memenuhi ketentuan Undang-Undang Perusahaan. Undang-undang
mewajibkan semua perusahaan harus terdaftar di Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia dan mendapatkan nomor registrasi bisnis. Perseroan
juga harus mempunyai tempat kedudukan, yaitu kantor atau tempat usaha
tempat diadakannya pencatatan dan pembukuan.
Companies Act mengamanatkan bahwa perusahaan harus memiliki
setidaknya dua pemegang saham dan dua direktur. Pemegang saham adalah
pemilik saham perusahaan, sedangkan direktur bertanggung jawab atas
pengelolaan bisnis dan urusan perusahaan. Undang-undang tersebut juga
mewajibkan perusahaan untuk memiliki laporan keuangan yang telah
diaudit dan mengadakan rapat umum pemegang saham tahunan untuk
menyetujui laporan keuangan dan memberikan arahan kepada perusahaan.
Companies Act di Indonesia juga mengatur cara perusahaan
beroperasi. Ini menetapkan aturan tentang bagaimana perusahaan harus
memelihara pembukuan, catatan, dan akun mereka. Undang-undang
melarang perusahaan melakukan praktik curang atau menyesatkan dan

30
mewajibkan mereka untuk mengungkapkan semua informasi yang relevan
kepada pemegang saham dan publik.
Undang-undang menetapkan bahwa perusahaan harus mematuhi
undang-undang ketenagakerjaan, seperti upah minimum dan jaminan sosial.
Ini juga mengatur cara perusahaan menjalin hubungan dengan karyawan
mereka, termasuk tunjangan karyawan, pemutusan hubungan kerja, dan
perundingan bersama.
Undang-Undang Perusahaan di Indonesia juga mengatur
pembentukan dan pengoperasian kemitraan dan kemitraan terbatas. Jenis
perusahaan ini berbeda dengan perusahaan tradisional dalam hal
manajemen, pembagian keuntungan, dan sifat pertanggungjawaban atas
tuntutan hukum.
Undang-Undang Perusahaan di Indonesia sangat penting bagi
lanskap bisnis negara. Undang-undang tersebut memberikan kerangka kerja
untuk mendirikan dan menjalankan bisnis di Indonesia, dan menetapkan
peraturan yang dirancang untuk mempromosikan keadilan, transparansi,
dan akuntabilitas dalam praktik bisnis. Perusahaan yang beroperasi di
Indonesia harus mematuhi undang-undang ini, dan kegagalan untuk
melakukannya dapat mengakibatkan hukuman dan tindakan hukum.
Companies Act di Indonesia disebut dengan Hukum Dagang atau
Undang-Undang Dagang. Ini adalah kerangka hukum yang komprehensif
yang mengatur pendirian, operasi, dan penghentian perusahaan di
Indonesia.
Hukum Dagang memberikan pedoman tentang berbagai aspek
pembentukan perusahaan seperti jenis perusahaan yang dapat didirikan,
proses yang terlibat dalam pendaftaran perusahaan, dan persyaratan
kepatuhan untuk perusahaan yang beroperasi di dalam negeri. Undang-
undang juga mendefinisikan peran dan tanggung jawab direktur, pemegang
saham, dan pemangku kepentingan lainnya di perusahaan.
Berdasarkan Hukum Dagang, ada tiga jenis perusahaan utama yang
dapat didirikan di Indonesia: Perseroan Terbatas (PT), Koperasi (Koperasi),
dan Firma (Kemitraan). PT adalah jenis perusahaan yang paling umum

31
digunakan, dan setara dengan perseroan terbatas di sebagian besar negara
lain. Modal minimum yang diperlukan untuk mendirikan PT adalah Rp 50
juta ($3.530), dan perusahaan harus memiliki setidaknya dua pemegang
saham.
Setelah sebuah perusahaan didirikan, perusahaan diharuskan untuk
mematuhi berbagai peraturan agar dapat beroperasi secara legal di
Indonesia. Ini termasuk memperoleh izin usaha, mendaftar untuk pajak, dan
memperoleh izin atau lisensi yang diperlukan yang diperlukan untuk jenis
usaha yang dijalankan. Perusahaan juga harus mengikuti standar akuntansi
dan pelaporan yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia.
Hukum Dagang juga memberikan pedoman tentang peran dan
tanggung jawab direktur perusahaan dan pemegang saham. Direksi
bertanggung jawab atas pengelolaan perusahaan sehari-hari, sedangkan
pemegang saham memiliki hak suara atas keputusan penting perusahaan
seperti perubahan Anggaran Dasar perusahaan atau pengangkatan direktur.
Salah satu bidang Hukum Dagang yang mengalami perubahan
akhir-akhir ini adalah tata kelola perusahaan. Amandemen yang dilakukan
pada tahun 2006 dan 2011 mencakup ketentuan yang bertujuan untuk
meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan
perusahaan. Amandemen ini mewajibkan perusahaan untuk membentuk
komite audit, dan untuk perusahaan terbuka, menunjuk komisaris
independen.
Kesimpulannya, Hukum Dagang atau UU Perusahaan Indonesia
memberikan kerangka hukum yang komprehensif dan terperinci untuk
perusahaan yang beroperasi di dalam negeri. Ini memastikan bahwa
perusahaan didirikan secara legal dan beroperasi sesuai dengan pedoman
dan peraturan yang ditetapkan. Undang-undang juga memastikan bahwa
berbagai pemangku kepentingan dalam perusahaan - direktur, pemegang
saham, dan pihak lainnya - memenuhi peran dan tanggung jawab mereka,
memberikan tingkat akuntabilitas dan transparansi yang diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan bisnis di Indonesia.

32
2.11. Dampak Accounting Fraud Pada Manajemen Risiko
Kecurangan akuntansi dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap
manajemen risiko dalam organisasi. Ini adalah tindakan sengaja
memanipulasi catatan dan pelaporan keuangan untuk menipu investor,
regulator, dan pemangku kepentingan lainnya tentang kesehatan keuangan
perusahaan. Kegiatan penipuan seperti itu dapat menyebabkan penurunan
reputasi organisasi, kerugian finansial, dan potensi dampak hukum. Dalam
esai ini, kita akan mengeksplorasi dampak penipuan akuntansi pada
manajemen risiko.
Pertama, kecurangan akuntansi merusak keandalan dan keakuratan
laporan keuangan, yang sangat penting untuk membuat keputusan bisnis
yang tepat. Jika aktivitas penipuan mendistorsi laporan keuangan, organisasi
dapat membuat keputusan yang salah atau kurang informasi mengenai
investasi, merger, akuisisi, dan transaksi keuangan lainnya. Oleh karena itu,
sangat penting bagi organisasi untuk memastikan bahwa laporan
keuangannya akurat dan dapat diandalkan untuk mendapatkan keyakinan
dan kepercayaan dari berbagai pemangku kepentingan.
Kedua, kecurangan akuntansi juga dapat mengekspos organisasi
terhadap risiko keuangan. Misalnya, manipulasi catatan akuntansi dapat
menyebabkan kewajiban yang tidak dilaporkan atau aset yang terlalu tinggi,
yang dapat menyebabkan rasio keuangan yang tidak akurat, seperti rasio
likuiditas, rasio utang terhadap ekuitas, dan lain-lain. Rasio ini digunakan
untuk menilai posisi keuangan organisasi dan kemampuannya untuk
membayar hutang. Setiap pemalsuan catatan keuangan dapat menyebabkan
keputusan yang salah dibuat berdasarkan informasi yang salah. Akibatnya,
hal itu dapat meningkatkan eksposur risiko keuangan organisasi, yang
menyebabkan kerugian yang signifikan.
Ketiga, kecurangan akuntansi juga dapat menimbulkan risiko
hukum. Ketika aktivitas penipuan tersebut terungkap, hal itu dapat
mengakibatkan penyelidikan, hukuman, dan tindakan hukum yang diambil
terhadap organisasi, direktur, dan pejabatnya. Tindakan hukum tersebut
dapat mengakibatkan denda yang mahal, pembayaran kompensasi,

33
kehilangan reputasi, dan implikasi hukum lainnya yang dapat menyebabkan
ketidakstabilan keuangan, kekacauan, dan kemungkinan kebangkrutan.
Terakhir, dampak kecurangan akuntansi terhadap manajemen risiko
dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan dan kredibilitas. Kurangnya
transparansi dalam pelaporan keuangan dapat berdampak buruk terhadap
kepercayaan organisasi. Ini dapat mengikis kepercayaan pada laporan
keuangan organisasi, yang dapat mengakibatkan hilangnya pelanggan,
investor, dan pemangku kepentingan lainnya. Itu dapat merusak citra merek
dan reputasi organisasi dan menyebabkan kerusakan jangka panjang,
sehingga sulit bagi bisnis untuk mendapatkan kembali kepercayaan.
Kecurangan akuntansi adalah masalah serius yang dapat berdampak
buruk pada manajemen risiko organisasi. Ini dapat menyebabkan pelaporan
keuangan yang tidak akurat, paparan risiko keuangan, risiko hukum, dan
hilangnya kepercayaan dan kredibilitas. Oleh karena itu, sangat penting bagi
organisasi untuk mempertahankan sistem pengendalian internal yang kuat
dan standar etika untuk memastikan pelaporan keuangan yang akurat dan
mengurangi risiko kecurangan akuntansi. Dengan demikian, organisasi
dapat meningkatkan praktik manajemen risiko mereka dan memastikan
pertumbuhan dan kesuksesan bisnis yang berkelanjutan.

34
BAB III
KESIMPULAN

Kasus Accounting Fraud yang sering dibicarakan adalah kasus dari perusahaan
Enron dan WorldCom. Dua perusahaan tersebut merupakan perusahaan terbesar di
dunia pada zaman dahulu. Tetapi, kedua perusahaan tersebut melakukan
kecurangan dalam akuntansi.
SOX Act adalah undang-undang federal AS yang diberlakukan pada Juli
2002 untuk mencegah investor dari kerugian akibat penipuan akuntansi. Undang-
undang tersebut juga dikenal sebagai Sarbanes-Oxley Act, dari nama Senator Paul
Sarbanes dan Perwakilan Michael G. Oxley yang mengajukan RUU tersebut.
SOX terdiri dari 11 Titles dan 69 sections.
Companies Act adalah undang-undang penting yang mengatur operasi dan
manajemen perusahaan. Undang-undang memastikan bahwa perusahaan beroperasi
secara transparan dan para pemangku kepentingan memiliki perlindungan yang
memadai. Undang-undang tersebut telah mengalami beberapa kali revisi dari waktu
ke waktu, terakhir pada tahun 2013. Undang-undang tersebut memiliki beberapa
ketentuan penting terkait tata kelola perusahaan, termasuk pengesahan anggaran
dasar, pengangkatan direksi, dan pemeliharaan daftar undang-undang.
Undang-Undang Instrumen Keuangan dan Pertukaran adalah undang-
undang penting untuk pasar keuangan Jepang. Ini mengatur derivatif keuangan,
transaksi sekuritas, perdagangan orang dalam, manipulasi pasar, dan
mempromosikan transparansi dan akuntabilitas. Undang-undang ini memberikan
perdagangan yang adil bagi investor dengan mewajibkan perusahaan untuk
mengungkapkan informasi material dan secara akurat melaporkan posisi keuangan
mereka. FIEA telah memperkuat pasar keuangan Jepang dan berperan penting
dalam melindungi kepentingan investor.
Companies Act dan Financial Instruments and Exchange Act adalah dua
undang-undang penting yang mengatur lingkungan bisnis di Jepang. Undang-
undang ini memberikan kerangka hukum untuk pendirian dan pengoperasian
perusahaan, perlindungan hak pemegang saham, dan regulasi pasar keuangan.
Dengan mematuhi Undang-Undang ini, perusahaan dapat menunjukkan komitmen

35
mereka terhadap transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola perusahaan yang baik,
yang dapat meningkatkan reputasi mereka dan menarik investor dan pelanggan.
Undang-undang SOX dan FIEA adalah undang-undang penting yang
bertujuan untuk memastikan transparansi, keadilan, dan perlindungan investor di
pasar keuangan. Meskipun mereka memiliki beberapa kesamaan, ruang lingkup,
ketentuan, dan badan pengaturnya berbeda secara signifikan. Memahami perbedaan
ini sangat penting bagi pelaku pasar yang beroperasi di Amerika Serikat dan Jepang,
karena kepatuhan terhadap undang-undang yang berlaku sangat penting untuk
menghindari penalti dan menjaga kepercayaan investor.
Undang-Undang Instrumen Keuangan dan Pertukaran adalah undang-
undang penting untuk pasar keuangan Jepang. Ini mengatur derivatif keuangan,
transaksi sekuritas, perdagangan orang dalam, manipulasi pasar, dan
mempromosikan transparansi dan akuntabilitas. Undang-undang ini memberikan
perdagangan yang adil bagi investor dengan mewajibkan perusahaan untuk
mengungkapkan informasi material dan secara akurat melaporkan posisi keuangan
mereka. FIEA telah memperkuat pasar keuangan Jepang dan berperan penting
dalam melindungi kepentingan investor.
Hukum Dagang atau UU Perusahaan Indonesia memberikan kerangka
hukum yang komprehensif dan terperinci untuk perusahaan yang beroperasi di
dalam negeri. Ini memastikan bahwa perusahaan didirikan secara legal dan
beroperasi sesuai dengan pedoman dan peraturan yang ditetapkan. Undang-undang
juga memastikan bahwa berbagai pemangku kepentingan dalam perusahaan -
direktur, pemegang saham, dan pihak lainnya - memenuhi peran dan tanggung
jawab mereka, memberikan tingkat akuntabilitas dan transparansi yang diperlukan
untuk pertumbuhan dan perkembangan bisnis di Indonesia.

36
DAFTAR PUSTAKA

Lee, H. (2019). Risk Management (Fundamentals, Theory, and Practice in Asia.


Japan: Seibundo Publishing Co., Ltd.

https://www.fsa.go.jp/en/policy/fiel/
https://www.investopedia.com/terms/s/sarbanesoxleyact.asp
https://www.lawinsider.com/dictionary/financial-instruments-and-exchange-law
https://dewey.petra.ac.id/repository/jiunkpe/jiunkpe/s1/eakt/2011/jiunkpe-ns-s1-
2011-32407023-22496-implementasi-chapter2.pdf
https://lms-paralel.esaunggul.ac.id

37

Anda mungkin juga menyukai