Anda di halaman 1dari 24

RMK FORENSIC ACCOUNTING AND

INVESTIGATIVE AUDIT
“FRAUD, FRAUD TREE, WHITE-COLLAR CRIME ;
UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI”

DOSEN PENGAMPU :
Dr. H. Rasuli,SE,M.SI.,Ak.,CA

KELOMPOK I

Riko Sawindra (2010241843 )


Yanto Hendrik Setiadi (2010241844 )
Utari Esa Nanda (2010241673 )

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS RIAU
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan tugas RMK Makalah
Forensic Accounting and Investigative Audit dengan pembahasan “ Fraud, Fraud Tree, White-
Collar Crime ; Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi “. Penyusunan makalah ini tidak terlepas
dari peran dosen pengampu yaitu BapakDr. H. M. Rasuli, SE,M.SI,Ak,CA dan teman teman mata
kuliah Forensic Accounting and Investigative Audit dalam pembuatan RMK ini.

Dalam penyusunan RMK ini, penulis banyak mendapat hambatan. Akan tetapi dengan
bantuan dari berbagai pihak, hambatan itu dapat teratasi. Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini. semoga RMK ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca dalam memahami mengenai Akuntansi Forensik dan Investigasi Fraud Semoga makalah
ini dapat memberikan informasi bagi para pembaca dan bermanfaat untuk pengembangan
wawasandan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Pekanbaru, 12 September 2021

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................i

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ ii


BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................. 3
1.3. Tujuan ................................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................... 4
2.1. Fraud (Hexagon) ................................................................................................... 3
2.2. Fraud dalam Perundangan Kita .............................................................................. 5
2.3. Fraud dalam KUHP ............................................................................................... 6
2.4. Fraud Tree ............................................................................................................. 7
2.5. White Collar Crime ............................................................................................... 8

BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 18


3.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pertanyaan yang sering timbul, mengapa manusia melakukan fraud? Atau dalam konteks
Indonesia, mengapa pejabat penting dengan kedudukan dan penghasilan tinggi (termasuk guru besar
universitas ternama dan pimpinan LSM yang mempunyai misi memberantas korupsi) justru terlibat
dalam tindakan korupsi.
Jawaban sederhana menjelaskan korupsi karena:”corruption (atau fraud) by need, by greed, and
by opportunity” atau dalam bahasa Indonesi (Korupsi karena kebutuhan, karena serakah dan karena ada
peluan). Maka pada pembahasan kali ini akan memanfaatkan hasil penelitian Donald R. Cressey untuk
menjawab pertanyaan tersebut.
Didalam suatu perusahan pasti terdapat bagian bagian perusahaan, bagian bagian ini dibeddakan
dengan devisi.Semakin banyaknya devisi didalam perusahaan,maka semakin besar prosentasi
terdapat kecurangan,baik didalam devisi itu sendiri atau dengan devisi lain bahkan antar
perusahaan. Secara umum kita mengetahui bahwa “Management is responsible for establishing,
maintaining and monitoring a well-balanced control environment in the Corporation".
Mungkin banyak diantara kita sudah mengetahui bahwa pada Februari 1997, ASB (Auditing
Standards Board) mengeluarkan Statement on Auditing Standards (SAS) Nomor 82 yang berjudul
Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit. guna mengklarifikasi tanggung jawab
auditor dalam mendeteksi dan melaporkan kecurangan (fraud) yang terjadi dalam laporan
keuangan. Kongkritnya tampak pada kalimat berikut ini: Auditor bertanggungjawab untuk
merencanakan dan melaksanakan audit guna mendapatkan keyakinan memadai bahwa laporan
keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan maupun
kecurangan. Fraud berupa korupsi lebih luas daya penghancurnya. Pada dasarnya cakupan
akuntansi forensik adalah fraud dalam arti yang luas. Association of Certified Fraud Examiners
mengelompokkkan fraud dalam tiga kelompok yaitu corruption (korupsi), asset misappropriation
(penjarahan aset), dan fraudulent financial statement (laporan keuangan yang dengan sengaja
dibuat menyesatkan). Dalam hal ini, akuntan forensik menjadi spesialis yang lebih khusus lagi
daripada akutan pada umumnya yang berspesialisasi dalam auditing. Ia menjadi fraud auditor atau
fraud examiner yang memiliki spesialisasi dalam bidang fraud.

1
Sorotan utama mengenai fraud pada umumnya dan korupsi pada khususnya adalah pada
kelemahan corporate governance atau kelemahan di sektor korporasi, tetapi prinsip umumnya
adalah kelemahan di sektor governance, baik korporasi maupun pemerintahan. Di Indonesia hal
ini sangat jelas terlihat dalam perkara-perkara korupsi dari para penyelenggara negara dan dari
kajian mengenai integritas yang dibuat KPK.

Salah satu dampak kelemahan governance adalah adanya fraud atau perkara korupsi yang
melibatkan para penyelenggara negara. Sedangkan dampak kelemahan governance di korporasi
lebih kepada pengaruh di pasar modal yaitu harga saham perusahaan akan lebih rendah dimana
seharusnya mempunyai nilai yang lebih tinggi kalau mereka kalau mereka mempunyai good
corporate governance (tata kelola perusahaan yang baik).

Ada beberapa kajian global mengenai korupsi yang menilai Indonesia antara lain adalah Corruption
Perceptions Index (CPI), Global Corruption Barometer (GCB), Bribe Payers Index (BPI), Political and
Economic Risk Consultancy (PERC), dan Global Competitiveness Index (GCI).
ada pula beberapa macam pengertianfraud ataukecurangan lainnya, yaitu sebagai berikut.
a. Menurut TommieW. Singleton dan Aaron J, kecurangan adalahperbuatan mencakup akal muslihat,
kelicikan, dan tidak jujur dan cara-cara yang tidak layak/wajar untuk menipu orang lain untuk
keuntungan diri sendiri, sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
b. Menurut G. Jack Bologna, Robert J. Lindquist dan Joseph T. Wells, Kecurangan adalah penipuan
kriminal yang bermaksud memberi manfaat keuangan kepada si penipu.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa fraud atau kecurangan adalah berbagai
macam carakecerdikan manusia yang direncanakan dan dilakukan secara individual maupun
berkelompok untuk memperoleh manfaat atau keuntungan dari pihak lain dengan cara yang tidak
benarsehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Dengan kata lain, kecurangan dalah penipuan
yang disengaja, yang dimaksudkan untuk mengambil aset atau hak orang lain.

Suatu kegiatan dapat dikategorikan sebagai suatu kecurangan jika adanya keuntungan bagi diri
sendiri atau kelompok, merugikan pihak lain, dan cara yang tidak benar, Ilegal atau perbuatan
melawan hukum

2
1.2 RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka pokok pembahasan dalam makalah ini ialah
Bagaimana Fraud. Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu berkaitan dengan Fraud
.Adapun rumusan masalah ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Apa itu Fraud (Hexagon)?
2. Bagaimana Fraud dalam Perundangan Kita
2. BagaimanaFraud dalam KUHP ?
3. Apakah yang dimaksud dengan fraud Tree ?
4. Ap aitu White-Collar Crime ?

1.3 TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah bagaimana s ecara khusus makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas Mata Kuliah Audit Forensik secara umum sama dengan adanya rumusan masalah yang telah
dipaparkan, dengan membaca makalah ini kita dapat :
1. Memehami Fraud dalam Perundangan Kita
2. Untuk mengetahui Fraud dalam KUHP
3. Untuk mengetahui fraud Tree itu seperti apa
4. Mengetahui Akuntansi Forensik dan Jenis Fraud

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Fraud (Hexagon)

Kecurangan (fraud) merupakan sebuah perbuatan yang dilakukan secara sengaja baik dalam bentuk
individu ataupun suatu pihak yang merugikan pihak lainnya demi mendapatkan keuntungan masing-
masing. Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE, 2018) menuliskan dalam laporannya,
bahwa tindakan kecurangan mengalami pertumbuhan sepanjang berjalannya waktu yang diawali dengan
niat buruk seseorang untuk bertindak melakukan kejahatan secara sengaja yang merugikan perusahaan
ataupun entitas yang beroperasi, sehingga hal tersebut dapat menyebabkan guncangan dalam
perekonomian. Pihak perusahaan harus memperhatikan dengan seksama bahwa hal ini bukanlah sebuah
hal sepele yang mudah ditangani, karena pelaku kejahatan pasti memiliki banyak strategi untuk dapat
menjalani aksinya. Pihak perusahaan harus dapat mengidentifikasi risiko yang menimbulkan kecurangan
agar dapat menekan kerugian seminimalisir mungkin dengan meningkatkan pengendalian internal yang
berjalan dalam perusahaan, dimana kejahatan dapat berjalan dengan melakukan pencurian asset,
manipulasi laporan keuangan, kerjasama antar karyawan, dan lainnya (Sari & Nugroho, 2020).

Membahas lebih jauh mengenai kecurangan, pada awalnya untuk mengetahui tindakan seseorang saat
melakukan kecurangan, awalnya didasari dengan fraud triangle yang terdiri dari: Pressure (tekanan),
Rationalization (Rasionalisasi), dan Opportunity (Peluang). Seiring berjalannya waktu, hal yang
mendasari tindakan kecurangan tersebut telah berubah menjadi fraud diamond yang memiliki 4 poin
utama, fraud pentagon yang bertambah menjadi 5 poin, hingga sampai saat ini telah tercipta fraud hexagon
yang terdiri dari 6 poin dimana model fraud hexagon ditemukan oleh Georgios L. Vousinas pada tahun
2016 (Desviana et al., 2020). Keenam poin dalam fraud hexagon terdiri dari:

Stimulus (Pressure): Pelaku pada saat ini melakukan kejahatan yang didorong oleh tekanan dimana hal
ini dapat berasal dari tekanan akan kebutuhan keuangan, target keuangan yang menurun, perekonomian
keluarga yang mendesak, dan lainnya, sehingga mendorong pelaku untuk berani melakukan pencurian kas
perusahaan.

Capability (kapabilitas): Hal ini menunjukan seberapa besar daya dan kapasiyas dari suatu pihak untuk
melakukan kecurangan di lingkungan perusahaan. Pada poin ini, salah satu contoh yang menggambarkan
dengan jelas adalah saat terjadinya perubahan direksi yang merupakan terciptanya wujud conflict of
4
interest (Sari & Nugroho, 2020).
Opportunity (peluang): Bila terdapat kelemahan dalam pengendalian internal perusahaan, pengawasan
yang melemah mendorong seseorang untuk bertindak dalam melakukan kecurangan. Celah ini dapat
mengundang hal yang fatal bagi perusahaan dimana kelemahan dalam pengendalian internal yang berjalan
dimanfaatkan oleh seseorang.

Rationalization: Pada poin tersebut, pelaku akan melakukan pembenaran atau merasa bahwa tindakannya
benar saat mereka melakukan kecurangan. Perilaku tersebut muncul disaat seseorang merasa telah berbuat
lebih bagi perusahaan, sehingga mereka terdorong untuk mengambil keuntungan yang didasari pemikiran
bahwa hal tersebut sah-sah saja selama mereka bekerja dengan benar.

Ego (Arrogance): Arogansi adalah sikap superioritas yang menyebabkan keserakahan dari orang yang
percaya bahwa pengendalian internal tidak berlaku secara pribadi. Hal ini disebabkan saat seseorang
merasa lebih tinggi kedudukannya ketimbang pihak lainnya (Desviana et al., 2020).

2.2 FRAUD DALAM PERUNDANGAN KITA


Pengumpulan dan pelaporan statistik tentang kejahatan di suatu Negara dapat dilakukan sesuai
dengan klasifikasi kejahatan dan pelanggaran (tindak pidana) menurut ketentuan perundang-undangan
Negara tersebut. Dalam Statistik Kejahatan Indonesia yang dilaporkan oleh BPS tidak selalu tersedia
dalam format yang sama, istilah kejahatan yang dipergunakan sering kali juga tidak konsisten, dan tidak
terlalu bermanfaat untuk pembahasan akuntansi forensik.
Dalam membaca dan menggunakan statistik kejahatan di Indonesia, perlu diingat bahwa masih
rendahnya kesadaran untuk melaporkan kejahatan. Banyak faktor yang menyebabkan masyarakat enggan
melaporkan kejahatan. Di antaranya, tercermin dari ungkapan sehari-hari yang sederhana. Oleh karena
itu, beberapa kajian luar negeri tentang data kejahatan di Indonesia memberi peringatan “crimes may be
unreported”.

2.3 FRAUD DALAM KUHP


Beberapa pasal dalam KUHP yang mencakup pengertian Fraud :
1. Pasal 362 tentang pencurian (definisi KUHP: “mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum”);
2. Pasal 368 tentang Pemerasan dan pengancaman (definisi KUHP: “dengan maksud untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman
5
kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu
atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang”);
3. Pasal 372 tentang penggelapan (definisi KUHP: “dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang
sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya
bukan karena kejahatan”);
4. Pasal 378 tentang perbuatan curang (definisi KUHP: “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu
muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu
kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang”);
5. Pasal 396 tentang merugikan pemberi piutang dalam keadaan pailit;
6. Pasal 406 tentng menghancurkan dan Merusak Barang (definisi KUHP: “dengan sengaja atau melawan
hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak layak dipakai atau menghilangkan barang sesuatu
yang seluruhnya atau sebagian barang orang lain”) ;
7. Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 yang secara khusus diatur dalam
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 199).
Di samping KUHP juga ada ketentuan perundang-undangan lain yang mengatur perbuatan melawan
hukum yang termasuk dalam ketegori fraud, seperti undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi

2.4 FRAUD TREE

Occupational fraud tree mempunyai tiga cabang utama :


1. Corruption
Korupsi menurut UU No. 31 tahun 1999 meliputi 30 tindak pidana korupsi dan bukan 4 bentuk
dalam ranting-ranting: conflicts of interest, bribery, illegal gratuities, economics extortion.
· conflicts of interest atau benturan kepentingan diantaranya bisnis plat merah atau bisnis pejabat dan
keluarga serta krooni mereka yang menjadi pemasik di lembaga-lembaga pemerintah dan di dunia bisnis.
· Bribery atau penyuapan merupakan bagian yang akrab dalam kehidupan bisnis dan politik Indonesia.
· Kickbacks merupakan salah satu bentuk penyuapan di mana si penjual “mengikhlaskan” sebagian dari
hasil penjualannya.
Kickback berbeda dengan bribery. Dalam bribery pemberinya tidak Mengorbankan” suatu penerimaan.
· Bid Rigging merupakan permainan tender.
· Illegal Gratuities adalah pemberian atau hadiah yang merupakan bentuk terselubung dari penyuapan.

2. Asset Misappropriation
6
Adalah pengambilan asset secara illegal atau disebut dengan mencuri. Asset misappropriation
dalam bentuk penjarahan cash dilakukan dalam 3 bentuk:
· Skimming, uang dijarah sebelum uang tersebut secara fisik masuk ke perusahaan.
· Larceny, uang sudah masuk ke perusahaan dan kemudian baru dijarah.
· Fraudulent disbursement, sekali uang arus sudah terekam dalam sistem atau sering disebut penggelapan
uang.
Tahap-tahap sebelum Fraudulent disbursement
Ø Billing schemes
Ø Payroll schemes
Ø Expense reimbursement schemes
Ø Chek tampering
Ø Register disbursement
Ø False voids
3. Fraudulent Statements
Ranting pertama menggambarkan fraud dalam menyusun laporan keuangan. Fraud ini berupa
salah saji. Cabang ranting ini ada 2:
1. menyajikan asset lebih tinggi dari yang sebenarnya.
2. menyajikan asset lebih rendah dari sebenarnya.

Dari ketiga cabang fraud tree di atas, yakni Corruption, Asset Misappropriation, Fraudulent
Statements, akuntan forensik memusatkan perhatian pada cabang Fraudulent Statements dalam audit
atas laporan keuangan. Oleh karena itu, akuntan forensik hampir tidak menyentuh fraud yang
menyebabkan laporan keuangan menjadi menyesatkan, dengan dua pengecualian.

Manfaat Fraud Tree

Fraud Tree memetakan fraud dalam lingkungan kerja. Peta ini membantu akuntan forensik
mengenali dan mendiagnosis fraud yang terjadi. Ada gejala-gejala penyakit fraud dalam auditing
dikenal sebagai red flags (indikasi). Dengan memahami gejala-gejala ini dan menguasai teknik-
teknik audit investigatif, akuntan forensik dapat mendeteksi fraud tersebut. Akuntan forensik yang
memeriksa tindak pidana korupsi perlu membuat Pohon Tindak Pidana Korupsi.

Fraud Triangle

1. Pressure

Cressey menemukan bahwa non-shareable problems yang dihadapi orang yang


diwawancarainya timbul dari situasi yang dapat dibagi enam kelompok, yaitu: Violation of
7
Ascribed Obligation; Problems Resulting from Personal Failure; Business Reversals; Physical
Isolation; Status Gaining; dan Employer- employee Relations.

2. Perceived Opportunity

Adanya non-shareable financial problem saja, tidaklah akan menyebabkan orang melakukan
fraud. Persepsi ini, perceived opportunity, merupakan sudut kedua dari fraud triangle. Ada dua
komponen persepsi tentang peluang ini yaitu general information dan technical skill atau
keahlian.

3. Rationalization

Sudut ketiga fraud triangle adalah rationalization atau mencari pembenaran sebelum
melakukan kejahatan, bukan sesudahnya.

8
2.5 Kejahatan Kerah Putih atau White Collar Crime

Kejahatan kerah putih terbatas pada kejahatan yang dilakukan dalam lingkup jabatan mereka dan
karenanya tidak termasuk kejahatan pembunuhan, perzinaan, perkosaan, dan yang lainnya tidak
dalam lingkup kegiatan para penjahat berkerah putih. Padahal ada banyak kejahatan berupa
pembunuhan dan pemerasan yang dilakukan secara terorganisasi yang berdasarkan motifnya
adalah kejahatan ekonomi yang dilakukan penjahat berkerah putih.

Berdasarkan pada fraud tree di atas, maka dapat disimpulkan bahwa secara umumfraud atau
kecurangan terbagi dalam tigayaitu:
a. Korupsi.
Korupsi ini mencakup beberapa hal seperti konflik kepentingan rekan atau keluarga dalam
proyek, penyuapan, pengambilan dana secara paksa, permainan dalam tender dan graftifikasi
terselubung.
b. Pengambilan aset secara ilegal
Pengambilan aset secara ilegal ini maksudnya adalah pengambilan aset secara tidak sah atau
melawan hukum. Adapun pengambilanaset secara illegal ini mencakup 3 hal yaitu:
 Skimming atau penjarahan, yaitu uang dijarah sebelum masuk kasperusahaan. Dengan kata
lain, dana diambil sebelum adanya pembukuan.
 Lapping atau pencurian, yaitu uang dijarah sesudah masuk kas perusahaan. Contohnya adalah
pembebanan tagihan yang tidak sesuai dengan kenyataannya, pembayaran biaya-biaya yang
tidaklogis serta pemalsuan cek.
 Kitting atau penggelapan dana, yakni adanya bentuk penggelembungan dana, atau adanya
dana mengambang (free money).21
c. Kecurangan laporan keuangan
Ini berupa salah saji material dan data keuangan palsu.Salah saji material adalah kesalahan
hitung dan angka dalam laporan keuangan.Seperti menyajikan aset atau pendapatan lebih tinggi
dari yang sebenarnya atau sebaliknya.Sedangkan data keuangan palsu adalah rekaan data
keuangan.

9
REPORT TO THE NATION

Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) secara berkala menerbitkan kajiannya


mengenai fraud di Amerika Serikat. Laporan ACFE terakhir mengenai hal ini dikenal dengan nama
Report to the Nation on Occupational Fraud and Abuse. Meskipun Report to the Nation adalah untuk,
dari, dan berkenaan dengan Amerika Serikat, Namun di dalamnya ada informasi tertentu yang bermanfaat
bagi akuntan forensik (fraud examiners).ACFE mensurvei dengan carasurvey online secara terbuka
kepada Certifed Fraud Examiners (CFEs) dengan jangka waktu satu tahun. sebagai bagian dari survey,
responden di minta untuk menyajikan sebuah naratif yang detail tentang kasus fraud yang terbesar yang
pernah mereka tangani/ investigasi dalam kurun waktu tertentu, Kasus tersebut harus memenuhi 4 kriteria
yaitu :
1. Kasus harus berhubungan atau melibatkan Occupational Fraud (didefinisikan sebagai Fraud secara
internal, atau fraud yang dilakukan oleh seseorang yang di dalam organisasi)
2. Kasus dan investigasi yang dilakukan oleh CFEs haruslah terjadi dalam kurun waktu survey.
3. Investigasi dari kasus tersebut haruslah sudah selesai pada kurun waktu survey.
4. CFEs haruslah telah yakin dengan pelaku kejahatan yang telah di identifikasi.
Jika dilihat melalui perbagian di dalam perusahaan maka bagian yang harus diwaspadai akan

adanya fraud adalah bagian Akuntansi, Operasional, Penjualan, Manajer eksekutif atau manajer tingkat

Atas, Costumer service, dan bagian pembelian.hal dapat terlihat dari survey yang dilakukan di dalam

Report to the Nation on Occupational Fraud and Abuse tahun 2012. Dan kebanyakan dari mereka

melakukan fraud karena ada dorongan dari gaya hidup, kebutuhan finansial yang mendesak, dan karena

adanya control yang kurang baik dari organisasi.

1
0
Seperti mengangani penyakit, lebih baik mencegahnya daripada “mengobati”nya. Para ahli memperkirakan
bahwa fraud yang terungkap merupakan bagian kecil dari seluruh fraud yang terjadi. Oleh karena
itu, upaya utama seharusnya adalah pada pencegahannya. Ada ungkapan yang secara mudah ingin
menjelaskan penyebab atau akar permasalahan dari fraud. Ungkapan itu adalah: fraud by need,
fraud by greed, and fraud by opportunity. Kata fraud dalam ungkapan tersebut bisa diganti dengan
corruption, financial crime, dan lain-lain.

Menghilangkan atau menekan need dan greed yang mengawali terjadinya fraud dilakukan sejak
menerima seseorang (recruitment process), meskipun kita tahu bahwa proses itu bukan jaminan
penuh. Ini terus ditanamkan melalui fraud awareness dan contoh-contoh yang diberikan pemimpin
perusahaan atau lembaga. Contoh yang diberikan atasan telah terbukti merupakan unsur pencegah
yang penting. Unsur by opportunity dalam ungkapan di atas biasanya ditekan oleh pengendalian
intern.

Di samping pengendalian interal, dua konsep penting lainnya dalam pencegahan fraud, yakni
menanamkan kesadaran tentang adanya fraud (fraud awareness) dan upaya menilai risiko
terjadinya fraud (fraud risk assessment).

Gejala Gunung Es

Meskipun belum ada penelitian mengenai besarnya fraud (termasuk korupsi) di Indonesia, sulit
untuk menyebutkan suatu angka yang andal. Akan tetapi, penelitian yang dilakukan di luar negeri
(dengan sampling) mengindikasikan bahwa fraud yang terungkap, sekalipun secara absolut besar,
namun dibandingkan dengan seluruh fraud yang sebenarnya terjadi, relatif kecil. Inilah gejala
gunung es.

Davia et al. mengelompokkan fraud dalam tiga kelompok sebagai berikut.

 Fraud yang sudah ada tuntutan hukumnya (prosecution), tanpa memperhatikan keputusan
pengadilan.
 Fraud yang ditemukan, tetapi belum ada tuntutan hukum.
 Fraud yang belum ditemukan.

Davia et al. memperkirakan bahwa dari fraud universe, Kelompok I hanyalah 20%, sedangkan
kelompok II dan III, masing-masing 40%. Kesimpulannya, Lebih banyak yang tidak kita ketahui
daripada yang kita ketahui tentang fraud. Hal yang lebih gawat lagi, fraud ditemukan secara
kebetulan.
1
1
Pengendalian Internal

Pengendalian intern atau internal control mengalami perkembangan dalam pemikiran dan
praktiknya. Oleh karena itu, Davia et al. Mengingatkan kita untuk meyakinkan apa yang dimaksud
dengan pengendalian intern, ketika orang menggunakannya dalam percakapan sehari-hari. Mereka
mencatat sedikitnya empat definisi pengendalian intern sebagai berikut.

 Definisi 1 (sebelum September 1992) yaitu Kondisi yang diinginkan, atau merupakan hasil, dari
berbagai proses yang dilaksanakan suatu entitas untuk mencegah (prevent) dan menimbulkan
efek jera (deter) terhadap fraud.
 Definisi 2 (sesudah September 1992), yaitu suatu proses yang dirancang untuk dan direncanakan
oleh dewan, manajemen, dan pegawai untuk memberikan kepastian yang memadai dalam
mencapai

1
2
kegatan usaha yang efektif dan efisien, keandalan keuangan, dan kepatuhan terhadap undang-undang
dan peraturan lainnya yang relavan. (definisi COSO)
 Definisi 3 (AICPA 1988), yaitu untuk tujuan audit saldo laporan keuangan, struktur pengendalian
intern
suatu entitas terdiri atas tiga unsur: lingkungan pengendalian, sistem akuntansi, dan prosedur-prosedur
pengendalian. (SAS No. 53)
 Definisi 4 (khusus untuk mencegah fraud), yaitu suatu sistem dengan proses dan prosedur
yang
bertujuan khusus dirancang dan silaksanakan untuk tujuan utama, kalau bukan satu-satunya tujuan,
untuk mencegah dan menghalangi (dengan membuat jera) terjadi fraud

Fraud-Specific Internal Control

Perusahaan besar berkebutuhan yang berbeda dari yang kecil. Perusahaan go public berbeda dari
yang tertutup. Terlepas dari perbedaan antar-perusahaan, dasar-dasar utama dari desain
pengendalian intern untuk mengangani fraud banyak kesamaannya. Dasar-dasar utama inilah yang
akan dibahas.

Semua pengendalian dapat digolongkan dalam pengendalian intern aktif dan pengendalian intern
pasif. Kata kunci untuk pengendalian intern aktif adalah to prevent, mencegah. Kata kunci untuk
pengendalian pasif adalah to deter, mencegah karena konsekuensinya terlalu besar, membuat jera.

Pengendalian Intern Aktif

Pengendalian yang membatasi, menghalangi, atau menutup akses si calon pelaku fraud.

Sarana-sarana yang digunakan antara lain: tanda tangan; tanda tangan kaunter (caountersigning);
password atau PIN; pemisahan tugas; pengendalian aset secara fisik; pengendalian persediaan
secara real time; pagar, gembok,tembok dan semua bangunan pengahalang fisik; pencocokan
dokumen; dan formulir yang sudah dicetak nomornya.

Kelemahan Pengendalian Intern Aktif

 Kelemahan manusia merupakan musuh utama pengendalian internal aktif


 Sangat rawan invasi (ditembus) pelaku fraud
 Biayanya mahal
 Banyak unsur pengendalian intern aktif yang menghambat pelayanan

Pengendalian Intern Pasif 1


3
Pengendalian yang tidak menampakkan adanya pengamanan, namun ada peredaman yang
membuat pelanggar atau pelaku fraud akan jera.

Sarana-sarana yang digunakan: pengendalian yang khas untuk masalah yang dihadapi (customized
control); jejak audit (audit trails); audit yang fokus (focused audits); pengintaian atas kegiatan
utama (survillance of key activities); pemindahan tugas (rotation of key personel).

Kesimpulan Pengendalian Intern Pasif

 Tidak mahal.
 Tidak tergantung pada manusia, tidak people dependent.
 Tidak memengaruhi produktifitas, tidak menghambat pelayanan.
 Tidak rawan untuk ditembus atau disusupi pelaku fraud.

1
4
MENDETEKSI FRAUD

Sejak permulaan, profesi audit yang dijalankan akuntan publik menolak mengambil tanggungjawab
dalam menemukan fraud. Namun dalam dasawarsa terakhir perubahan lebih banyak dalam retorika
daripada substansi.

Orang awam mengharapkan suatu audit umum dapat mendeteksi segala macam fraud, baik yang
melekat pada laporan keuangan maupun yang berupa pencurian asset. Namun akuntan publik
berupaya memasang pagar-pagar yang membatasi tanggung jawabnya, khususnya mengenai
penemuan atau pengungkapan fraud. Hal tersebut dikuatkan dalam SA seksi 110 tentang
tanggungjawab dan fungsi audiror indepenen sebagai berikut.

“Auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit untuk memperoleh
keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang
disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan. Oleh karena sifat bukti audit dan karakterisitik
kecurangan, auditor dapat memperoleh keyakinan memadai, namun bukan mutlak, bahwa salah
saji material terdeteksi. Auditor tidak bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan
audit guna memperoleh keyakinan bahwa salah saji terdeteksi, baik yang disebabkan oleh
kekeliruan atau kecurangan, yang tidak material terhadap laporan keuangan.”

Fraudulent Financial Reporting

Fraudulent Financial Reporting adalah kesengajaan atau kecerobohan dalam melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan, yang menyebabkan laporan keuangan
menjadi menyesatkan secara material. Penyebab Fraudulent Financial Reporting yaitu
keserakahan dan adanya tekanan yang dirasakan manajemen untuk menunjukkan prestasi.

Standar Audit Untuk Menemukan Fraud

Auditor dalam melaukan audit harus berdasarkan standar, apabila tidak posisi auditor menjadi
lemah. Davia et al. menganjurkan adanya standar yang secara spesifik ditujukan untuk menemukan
fraud yang disebut dengan fraud-specific examination.

Pemahaman minimal yang harus diketahui/disadari oleh praktisi/auditor:

 Mereka tidak bisa, karenanya tidak boleh, memberikan jaminan bahwa mereka bias menemukan
fraud. Fraud dapat atau tidak dideteksi tergantung dari keahlian dan jangka waktu pelaksanaan
1
5
audit. Hal ini tentu saja berpengaruh kepada fee yang dibayarkan pula.
 Seluruh pekerjaan didasarkan pada standar audit. Di Indonesia standar yang digunakan adalah
SPAP atau SPKN untuk keuangan Negara.
 Jumlah fee bergantung pada luasnya upaya pemeriksaan yang ditetapkan klien.
 Praktisi bersedia memperluas jasanya dari tahap proactive review ke tahap
pendalaman/investigative apabila ada indikasi terjadinya fraud.

1
6
Audit Umum Dan Pemeriksaan Fraud

Issue Audit Umum Fraud Examination


Timming Recurring Non-recurring
Audit dilakukan secara teratur, berkala, Pemeriksaan fraud tidak berulang kembali,
dan berulang kembali (recurring). dan dilakukan setelah ada cukup indikasi.
Scope General Specific
Lingkup audit adalah pemeriksaan atas Pemeriksaan diarahkan pada dugaan,
laporan keuangan secara umum. tuduhan, atau sangkaan yang spesifik.
Objective Opinion Affix Blame
Yaitu memberikan pendapat atas Untuk memastikan fraud memang
kewajaran penyajian laporan terjadi, mengapa terjadi, dan siapa yang
keuangan. bertanggungjawab.
Relationship Non-adversarial Adversarial
Sifat audit tidak bermusuhan Karena pada akhirnya pemeriksa harus
menentukan siapa yang bersalah.
Methodology Audit Techniques Fraud Examination Techniques
Audit terutama dengan data-data Pemeriksaan dilakukan dengan
keuangan memeriksa dokumen, telaah data
ekstern, dan
wawancara.
Presumption Proffesional Skepticism Proof
Auditor melakukan tugasnya Berupaya untuk mengumpulkan bukti
dengan skeptisme professional untuk mendukung atau membantah
dugaan,
tuduhan atau sangkaan terjadinya fraud.

Teknik Pemeriksaan Fraud

Ada bermacam-macam teknik audit investigative untuk mengungkap fraud, antara lain:

 Penggunaan teknik-teknik audit yang dilakukan oleh internal maupun eksternal auditor
dalam mengaudit laporan keuangan.
17
 Pemanfaatan teknik audit investigative dalam kejahatan terorganisir dan penyelundupan
pajak penghasilan, yang juga dapat diterapkan terhadap data kekayaan pejabat Negara
 Penelusuran jejak-jejak uang
 Penerapan analisis dalam bidang hukum
 Penggunaan teknik audit investigative untuk mengungkap fraud pengadaan barang
 Penggunaan computer forensic
 Penggunaan teknik interogasi
 Penggunaan teknik penyamaran
 Pemanfaatan whistleblower

18
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

Fraud atau yang sering dikenal dengan istilah kecurangan merupakan hal yang sekarang banyak
dibicarakan di Indonesia. Pengertian fraud itu sendiri merupakan penipuan yang sengaja dilakukan,
yang menimbulkan kerugian pihak lain dan memberikan keuntungan bagi pelaku kecurangan dan
atau kelompoknya.
Ada tiga cabang fraud tree, yakni Corruption, Asset Misappropriation, Fraudulent Statements,
akuntan forensik memasatikan perhatian pada cabang Fraudulent Statements dalam audit atas
laporan keuangan. Oleh karena itu, akuntan forensic hampir tidak menyentuh fraud yang
menyebabkan laporan keuangan menjadi menyesatkan, dengan dua pengecualian.
Dengan adanya Fraud Tree membantu akuntan forensic mengenali dan mendiagnosis fraud
yang terjadi. Ada gejala-gejala penyakit fraud dalam auditing dikenal sebagai red flags (indikasi).
Dengan memahami gejala-gejala ini dan menguasai teknik-teknik audit investigative, akuntan
forensic dapat mendeteksi fraud tersebut. Akuntan forensic yang memeriksa tindak pidana korupsi
perlu membuat Pohon Tindak Pidana Korupsi.
Akuntansi forensic banyak berurusan dengan fraud termasuk jenis fraud yang dikenal
dengan korupsi. Kerangka teoritis diperlukan untuk memahamu gejala-gejala dari penyakit korupsi.
Termasuk didalamnya, mengenai kebijakan apa yang mempunyai peluang untuk berhasil (atau
gagal) dan kenapa.
Sebagai kerangka teoritis, temuan baru ini bermunculan untuk makin menegaskan temuan
lama. Oleh karena itu, akuntan forensic yang menekuni masalah kurupsi perlu memutahirkan
pengetahuannya dengan kerangka teoritis yang baru.
Perangkat analisis kita yang berikutnya adalah dari bidang sosiologi . syed hussen alatas
meneliti banyak Negara di asia termasuk Indonesia. Kutipan dari bukunya memberikan perspektif
sejarah tentang korupsi di Indonesia , termasuk ucapan Suharto pada awal pemerintahannya
sewaktu mengeritik pendahulunya. Sosiolog korupsi lainnya adalah aditjondro, yang gagasannya
mengenai oligarki dimasa Suharto sampai mega wati digunakannya untuk memprediksi
penanganan kasus korupsi Suharto seperti yang diamanatkan dalam ketetapan MPR.

19
DAFTAR PUSTAKA

Tuanakotta, T. M. (2010 ). Akuntansi Forensik Dan Audit Investigatif. In T. M. Tuanakotta, Akuntansi


Forensik Dan Audit Investigatif. Salemba Empat.

20
21

Anda mungkin juga menyukai