Anda di halaman 1dari 5

MERAYAKAN KEHILANGAN – MUYONO SUYATNO

Jika berbicara tentang kehilangan, sepertinya pria paruh baya dengan perut yang selalu menonjol
seakan berlomba siapa yang paling besar antara perut atau pakaiannya itu adalah definisi paling
sempurna dari sebuah kata bernama kehilangan.
Mungkin, semua orang sepakat bahwa hilang adalah suatu hal menyakitkan karena apa pun yang
pergi tidak akan pernah kembali. Jika dijabarkan rasa sakitnya dalam sebuah kalimat… sepertinya
hal itu tidak akan pernah bisa tertulis dengan selesai karena… kebas yang dirasa dalam hati juga
kekosongan hari-hari tanpa orang yang meninggalkan pergi pun belum bisa menjabarkan
bagaimana rasa sakitnya.
Seperti pria bernama Muyono Suyatno atau kerap disapa dengan Pak Emuy. Pria dengan ciri khas
pita berwarna merah yang selalu saja menempel di kepalanya tersebut masih terduduk di sudut
ruangannya tanpa pencahayaan yang dinyalakan, hanya mengandalkan sinar matahari yang
beberapa kali berupaya untuk mengintip ke dalam ruangan.
Pita yang biasanya berada di kepalanya kini beralih ke tangan, dielusnya berulang kali pita tersebut
dengan ritme yang sama sembari diiringi dengan ringisan juga panggilan-panggilan semu yang
tidak akan pernah terjawab sampai kapan pun. “Alex… Alex di mana? Alex… Papa udah masakin
sambal cumi kesukaanmu, Lex… Alex… ayo makan, Nak…”
Bukan hanya asal berbicara sebab memang benar adanya jika sambal cumi dan beberapa lauk lain
serta nasi hangat sudah tersedia di atas lantai kamarnya.
Matanya memandang kosong, membayangkan Alex, anak kesayangannya yang juga selalu
menyayanginya, memakan masakannya dengan begitu lahap.
Alex, anaknya yang tidak pernah malu jika memiliki papa yang berbeda dengan papa lainnya.
Alex, anaknya yang tidak pernah marah ketika papanya melakukan pekerjaan yang biasanya
dilakukan oleh peran ibu.
Alex, anaknya yang selalu memamerkan kepada siapa pun bahwa papanya adalah sosok lembut
yang tidak pernah marah atau bersikap keras seperti kebanyakan papa pada umumnya.
Emuy memang berbeda, tetapi perbedaan itu yang sama sekali membuat Alex lebih menyayangi
papanya dan bertekad lebih besar lagi untuk melindungi papanya dari hal jahat yang ada di dunia.
“Tapi… sekarang kamu nggak ada, Nak…”
***
“Papa! Happy birthday, Bro!”
Emuy memalingkan wajahnya ke sumber suara, tepatnya ke arah remaja dengan kulit putih dan
mata teduh itu. Tidak pernah sekali pun Emuy tidak menaikkan kedua sudut bibirnya kala sapaan
pagi itu terdengar di telinganya. “Waduh, anak gantengku ini inget ulang tahun Papa?” tanyanya
gembira sembari berjalan menuju remaja yang dirinya sebut anak gantengku dengan kedua tangan
yang memegang satu penggorengan berisi sambal cumi.
Harum dari makanan tersebut pun terhirup, aroma pedas dari cabai dan harum dari daun jeruk pun
masuk ke ruam hidung remaja bernama Alex itu yang membuat ia tersenyum kegirangan.
Sembari Emuy fokus memindahkan sambal cumi ke mangkuk kaca berwarna hijau yang berada di
atas karpet plastik mereka, Alex segera berinisiatif untuk menciduk nasi ke dalam piring miliknya
juga piring milik papanya.
“Hari ini Papa ke mana?” ucap remaja berponi panjang sehingga menutupi sebelah matanya, tetapi
tidak menutupi ketampanan si pemilik rahang tegas itu.
Entah gen siapa yang lebih mendominasi dan turut andil dalam keindahan wajah anaknya, tetapi
yang Emuy selalu banggakan kepada orang-orang lain adalah… ini anakku, lho! Mukanya mirip
sama aku waktu masih bujang! Haha!
Emuy pun duduk di dekat anaknya, dengan posisi miring bak orang sedang melakukan sinden—
berbanding terbalik dengan anaknya yang duduk dengan kaki ditekuk sebagai tumpuan tangan,
seperti duduk di warung makan pinggir jalan. Tangannya menuangkan air mineral ke satu gelas
yang berada di hadapannya lalu diberikan kepada Alex. “Memangnya, kenapa?”
Alex hanya nyengir, menampilkan satu lesung pipitnya yang berada di sebelah kanan dan matanya
pun ikut melengkung seperti sebuah senyuman. “Ada deh! Intinya mau ajak Papa jalan-jalan aja.”
Lalu, cowok itu tertawa hingga wajah putih langsatnya berubah menjadi kemerahan.
Jelas saja hal itu membuat pemilik nama Muyono itu menukikkan kedua alisnya, menaruh curiga
terhadap sikap anaknya yang bertindak tidak seperti biasanya.
Namun, namanya juga Emuy, dia pasti percaya bahwa Alex tidak akan melakukan hal yang aneh-
aneh. Jadi, Emuy menganggukkan kepalanya setuju. Tidak terlalu mengambil pusing dengan
rencana yang dibuat oleh anaknya, pria itu lebih memilih untuk fokus mencidukkan nasi ke piring
milik Alex dan juga menuangkan semua cumi yang berada di wadah. “Makan yang banyak. Jangan
olahraga doang, tapi nggak pernah makan yang banyak! Nanti kamu sakit. Bapak nggak suka.
Sambal cumi ini kan sebagai hadiah dari Papa buat anak Papa ini. Jadi, Papa bakal ngambek kalau
nggak dihabisi.”
“Dih, yang ulang tahun kan Papa! Seharusnya Papa yang makan banyak!”
“Kamu itu hadiah untuk setiap hari Papa. Nggak cuma sekadar pas di hari ulang tahun aja. Jadi,
Papa mau merawat hadiah terbaik untuk Papa ini selama-lamanya. Nggak boleh ada yang luka
ataupun sakit! Soalnya nggak bakal bisa digantiin dengan apa pun.”
Perkataan Emuy memang seperti kata-kata afirmasi pria itu setiap harinya yang selalu Alex dengar,
tetapi… entah mengapa kata-kata kali ini berhasil menyentuh relung hati Alex yang paling dalam.
Diam-diam, saat Emuy fokus dengan nasi juga lauk yang ada di piringnya untuk di makan, juga
tayangan televisi yang selalu mereka nyalakan untuk mengisi rumah yang sepi itu, Alex menyeka
air mata yang sudah terasa panas di pelupuk matanya.
Tidak ada hal yang harus dikeluhkan jika Papa ada. Sama seperti Papa yang begitu bersyukur dan
merasa aman ketika dekat dengannya, Alex pun juga begitu.
Papanya memang tidak seperti Papa pada umumnya. Papa terlalu lembut untuk orang-orang bisa
lebih menghargainya. Papa terlalu baik untuk orang-orang yang selalu mengolok dan juga
mencacinya.
Papa… terlalu berharga untuk orang-orang yang nggak pernah menyadari bahwa menjadi berbeda
tidak lah selalu buruk. Lagipula, berbedanya Papa tidak pernah merugikan siapa pun. Papa…
hanya sosok pria yang begitu penyayang dan lebih memilih untuk bersikap lembut agar rasa
sayangnya tersampaikan kepada siapa pun di sekitarnya, bukan berlaku keras agar bisa disegani.
Papa… Papa Muyononya tidak sama… dan perbedaan itu lah yang membuat Alex sangat
menyayanginya dan berupaya sekeras mungkin agar Papa terjauhkan dari rasa sakit akibat
perkataan dan perlakuan orang lain.
Makanya, hanya di rumah lah Papa bisa berlaku seperti yang dirinya ingin lakukan. Tanpa paksaan
untuk menjadi keras, tanpa paksaan harus melakukan pekerjaan berat yang biasanya dilakukan
oleh para ayah pada umumnya, tanpa paksaan untuk bersikap seperti stereotip yang dibangun oleh
masyarakat di sekitarnya.
Yang terpenting dari semuanya… bagi Alex… Papa tetap bisa disebut Papa karena tanggung
jawabnya. Dia membesarkan Alex dengan kasih sayang, memberikan apa yang Alex butuhkan
tanpa perlu merasa kurang.
Bukankah… rasa tanggung jawab itu adalah definisi dari pria sesungguhnya?
Perilaku seperti lebih suka melakukan pekerjaan rumah seperti bersih-bersih, memasak, mencuci
dan menggosok, atau membuat pakaian di mesin jahit bukan sebuah patokan itu adalah pekerjaan
untuk pria ataupun wanita, bukan?
Jadi, Alex membiarkan papanya melakukan apa pun… asalkan kebahagiaan membersamai
papanya. Sudah cukup Papa terluka karena masa lalunya dan lingkungan. Tugas untuk membuat
papanya bahagia adalah… dirinya.
Alex tidak peernah merasa terbebani akan hal itu, karena kebahagiaan yang ada dalam hidup Alex
adalah ketika papanya bahagia. Sesederhana itu, tapi efek hangat dalam hati juga energi positif
untuk beraktivitas memang murni dirinya dapatkan ketika melihat papanya tertawa dan bahagia.
Dan… untuk membuat bahagia itu semakin besar, Alex segera mengeluarkan sebuah benda yang
sedari tadi dirinya sembunyikan dalam saku celananya. “Pa, Alex punya hadiah buat Papa,”
katanya, yang kemudian menunjukkan pita berwarna merah di telapak tangannya yang terbentang
di hadapan papanya.
“Lho, pita ibu kamu ini?” tanya Emuy memastikan. Pancaran matanya yang berbinar-binar itu
menatap lurus tanpa beralih dari pita di tangan anaknya.
Melihat papanya yang tidak melakukan pergerakan. Alex pun bangkit dari duduknya setelah
meletakkan piring ke atas lantai. Dihampirinya sang papa untuk menjepitkan pita merah tersebut
ke rambut papanya. “Gimana? Suka, nggak?”
“Suka. Papa selalu suka apa yang kamu kasih. Apalagi, ini hadiah yang ngingetin Papa ke ibumu.”
“Selamat ulang tahun sekali lagi, ya, Pa. Pitanya bagus.”
Emuy membalikkan tubuhnya ke arah sang anak, lalu pria itu segera memeluk tubuh kecil
anaknya. “Makasih, Nak. Makasih selalu ngertiin Papa.”
***
“Udah siap, Pa?” tanya Alex sembari memanaskan motornya. Siang ini, mereka menjalankan
rencana yang dibuat oleh Alex untuk segera pergi menuju ke sebuah tempat yang sudah anak itu
siapkan.
Katanya, Alex sekalian mau memperkenalkan satu temannya yang membela Alex ketika Alex
dihina memiliki Papa seperti bencong. Jadi, Alex mau mempersatukan keduanya dan berterima
kasih secara langsung, sekaligus membanggakan papanya yang selalu dirinya bela itu.
“Sudah, yuk!”
Kemudian, keduanya membelah lautan manusia dengan motor antik milik Alex. Papanya selalu
membonceng di belakang karena sedari dulu pria itu tidak berani untuk mengendalikan otomotif
seperti motor. Kendaraannya pun sedari dulu hanya lah sepeda otel yang dirinya bawa ke mana-
mana.
“Namanya siapa, Nak?”
“Temanku yang baik itu?” tanya Alex memastikan, matanya masih lurus, fokus untuk mnyetir.
“Huum.”
“Namanya nggak beda jauh sama aku, Pa. Namanya A…”
Dan belum sempat Alex menyelesaikan kalimatnya… suara debuman justru lebih keras terdengar
di telinga Emuy.
Semuanya berlalu begitu cepat, sampai Emuy tidak pernah mengingat apa yang terjadi. Yang
dirinya tau… sekarang… anaknya sudah terpental sejauh lima belas meter dari motornya berada…
karena hantaman truk… menghancurkan motor… dan… tubuh anaknya.
“ALEX!”
***
“Sekarang, Papa harus gimana, Nak? Papa… Papa… ngerasa jadi nggak berguna karena gagal
lindungi kamu…”
***
“Papa nggak mimpi kan? Papa… liat kamu… di sekolah itu…”
***

Coming really soon.


Jamet Circle vol. 2
Oktober 2023.

Anda mungkin juga menyukai