Anda di halaman 1dari 55

TUGAS MINI RESEARCH

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM


PELAJARAN IPA DENGAN MENERAPKAN PENDEKATAN
KONSTRUKTIVISME DAN MENGGUNAKAN
LEMBAR KERJA SISWA (LKS)
DI KELAS IV-A SD SWASTA
GRACIA SUSTAIN MEDAN

PROGRAM STUDI S3 TEKNOLOGI PENDIDIKAN


SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini membawa perubahan

gaya hidup manusia baik dalam bidang sosial, sains dan tekhnologi informasi maupun

pendidikan. Hal ini merupakan tantangan dan kesempatan untuk dapat meningkatkan mutu

sumber daya manusia Indonesia agar dapat bersaing dalam dunia yang penuh dengan

persaingan hidup. Salah satu cara untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia adalah

dengan meningkatkan mutu pendidikan.

Salah satu permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah kurangnya mutu

pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan di sekolah

dasar. Kurangnya variasi model pembelajaran yang digunakan oleh guru turut memberi andil

menurunnya pemahaman belajar siswa. Kenyataannya dalam proses belajar dan mengajar

guru masih banyak yang kurang mampu menggunakan variasi model, metode maupun

variasi media pembelajaran. Misalnya dalam mengajarkan IPA yang selama ini cenderung

menggunakan metode ceramah, di samping itu guru hampir tidak pernah menggunakan media

dalam pembelajaran. Joyce ( 2009:17 ) menegaskan bahwa model pembelajaran

dikembangkan untuk meningkatkan efektifitas dalam mengajar. Oleh karena itu diharapkan

guru harus mampu mengembangkan sebuah desain pembelajaran dan pendekatan yang

membuat siswa mempelajari suatu bahan pelajaran dengan mudah.

Dalam upaya peningkatan pemahaman belajar di sekolah-sekolah, guru berkewajiban

untuk menciptakan kegiatan pembelajaran yang mampu membangun sikap, pengetahuan dan

keterampilan para siswa agar tercapai hasil belajar yang optimal dan dalam suasana belajar

yang sesuai dengan standar Kompetensi Lulusan dalam kurukulum 2013. Oleh karena itu
dalam merancang kegiatan pembelajaran yang optimal diperlukan kecermatan guru dalam

memilih teori dan menyusun model pembelajaran serta pendekatan yang akan diterapkan.

Sebab tidak semua teori dan model pembelajaran cocok untuk semua mata pelajaran, karena

setiap mata pelajaran memiliki karakteristik sendiri-sendiri.

Dalam rangka pencapaian pembelajaran optimal pada waktu proses belajar mengajar

di dalam kelas serta untuk pencapaian tujuan pendidikan, guru dituntut harus memiliki

kemampuan dan keterampilan dalam mengelola proses belajar mengajar. Salah satu

kemampuan yang harus dimiliki oleh guru adalah kemampuan untuk memilih model

pembelajaran dan pendekatan sesuai dengan karakteristik anak, khususnya tentang

pembelajaran IPA yang memerlukan penjelasan konkrit dan dapat dibuktikan oleh anak.

Karena belajar dalam pandangan ahli konstruktivis terkait dengan pengalaman yang dimiliki

oleh individu.

Peristiwa belajar akan berlangsung lebih efektif jika siswa berhubungan langsung

dengan objek yang sedang dipelajari dan ada dilingkungan sekitar. Konstruktivisme adalah

salah satu aliran filsafat yang mempunyai pandangan bahwa pengetahuan yang kita miliki

adalah hasil konstruksi atau bentukan diri kita sendiri (Pribadi 2009:157).

Pendekatan konstruktivisme adalah proses belajar dan mengajar yang berfokus pada

kegiatan siswa dalam membangun pengetahuannya dan guru berperan sebagai fasilitator dan

mediator pembelajaran. Karena suatu proses belajar mengajar sengaja diciptakan untuk

kepentingan anak didik. Agar anak didik termotivasi atau bergairah dalam belajar, guru harus

berusaha menyediakan lingkungan belajar yang kondusif.

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau sains berhubungan dengan cara mencari tahu

tentang alam secara sistematis, sehingga sains bukan hanya penguasaan kumpulan

pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga

merupakan suatu proses penemuan. Sains diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta
didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih

lanjut dalam menerapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya

menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar

menjelajahi dan memahami alam sekitar secara alamiah.

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara peneliti dengan siswa dan guru kelas V

di SDS Gracia Sustain Medan pada tahun 2014 , terungkap bahwa proses pembelajaran IPA

pada materi tertentu yang berlangsung di kelas V SD tersebut tidak memuaskan. Dalam

kegiatan belajar mengajar guru selalu menyampaikan pesan (isi pelajaran) dengan kata-kata

(verbalisme). Situasi pembelajaran demikian itu tidak mengoptimalkan pemahaman siswa,

apalagi kata-kata yang digunakan oleh guru merupakan kata-kata asing atau di luar

pengetahuan siswa. Siswa pada umumnya kurang menyukai pembelajaran IPA karena

menurut mereka sulit untuk dipahami.

Penyampaian isi pelajaran yang bersifat verbalisme membuat siswa kurang

termotivasi dalam pembelajaran sains dan akan mengalami kesulitan untuk memahami makna

dan pesan yang disampaikan oleh guru. Dalam hal ini siswa SD menyerap sesuatu pesan

harus disajikan dalam bentuk nyata. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan Amri

(2013:34) bahwa dalam teori belajar konstruktivisme siswa harus menemukan sendiri dan

mentransformasikan informasi baru dengan aturan-aturan lama. Guru tidak hanya sekedar

memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi juga memberi kesempatan siswa untuk

menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri.

Pembelajaran merupakan suatu yang sangat kompleks,melibatkan dan berdampak

pada berbagai aspek yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yang didalam penelitian ini

adalah berkenaan dengan hasil belajar dan motivasi belajar siswa sebagai dampak dari antara

lain model pembelajaran konstruktivisme.


Seharusnya pelajaran IPA menjadi pelajaran yang menarik untuk dipelajari siswa

karena merupakan pelajaran yang konkrit dan fenomenanya dialami siswa dalam kehidupan

sehari-harinya. Dalam proses pembelajaran siswa idealnya secara aktif berperan menemukan

gejala-gejala alam yang sedang dipelajari tersebut. Karena itu peran guru dalam pembelajaran

sangat menentukan untuk membuat siswa aktif dan tertarik dalam mempelajari IPA tersebut.

Siswa seharusnya menjadi sentral dalam proses pembelajaran dikelas sedangkan guru

berperan aktif membantu dan mengarahkan siswa dalam menemukan yang menjadi tujuan

pembelajaran.

Pembelajaran IPA di SD Swasta Gracia Sustain belum mencapai hasil belajar yang

optimal dan masih menghadapi kendala yaitu aktivitas belajar siswa yang rendah. Dalam

hasil belajar, sebagian siswa belum mencapai hasil pembelajaran tuntas, masih dibawah

KKM. KKM mensyaratkan nilai dengan angka 70, sementara rata-rata siswa masih mencapai

nilai angka 60,8.

Berkenaan dengan aktivitas belajar diketahui bahwa sebagian siswa tidak bergairah

dan tidak memperhatikan proses pembelajaran dikelas. Berdasarkan pada paparan diatas

maka peneliti melakukan penelitiian yang bujudul : “Meningkatkan Aktivitas dan Hasil

Belajar Siswa Dalam Pelajaran IPA dengan Penerapan Model Pembelajaran Konstruktivisme

Di SDS Gracia Sustain Medan”.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan pengamatan dan wawancara peneliti dengan siswa dan guru kelas IV SDS

Gracia Sustain maka permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:

1. Pembelajaran yang masih terpusat pada guru, peserta didik hanya mendengarkan

penjelasan guru dan mencatat rangkuman materi tanpa melakukan aktivitas untuk

menambah pengetahuannya, sehingga berdampak pada aktivitas yang siswa rendah.


2. Penggunaan metode, model atau pendekatan pembelajaran IPA yang kurang tepat

mengakibatkan aktivitas belajar siswa rendah. Model pembelajaran konstruktivisme

akan lebih tepat digunakan dalam pelajaran IPA.

3. Hasil belajar IPA (Sains) siswa di SDS Gracia Sustain Medan masih di bawah KKM.

1.3 Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang dikemukakan di atas dan keterbatasan peneliti

dalam hal waktu penelitian, maka peneliti membatasi masalah pada upaya Peningkatan

Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa dalam Pelajaran IPA dengan Menerapkan Pendekatan

Konstruktivisme. Dalam penelitian ini peneliti akan melakukan penelitian tindakan kelas

selama dua bulan dan direncanakan dengan dua siklus.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian ini sebagai
berikut:
1. Seberapa besar rancangan pembelajaran yang diterapkan untuk meningkatkan aktivitas
belajar siswa?
2. Bagaimana model pembelajaran konstruktivisme diterapkan?
3. Seberapa besar peningkatan hasil belajar siswa dengan penerapan model pembelajaran
konstruktivisme?

1.5 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran penerapan pendekatan konstruktivisme

dalam meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa di SDS Gracia Sustain.

1.6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :


1. Bagi guru, hasil penelitian ini memberi informasi tentang relevansi penerapan

pendekatan konstruktivisme dalam proses belajar mengajar untuk meningkatkan

aktivitas dan hasil belajar siswa khususnya dalam pembelajaran IPA pada materi alat

indera indera pada manusia.

2. Bagi Kepala Sekolah, hasil penelitian ini merupakan masukan untuk mengembangkan

pendekatan konstruktivisme dalam proses pembelajaran IPA, terhadap guru IPA

khususnya, dan guru bidang studi lain yang relevan.

3. Bagi siswa, untuk meningkatkan Aktivitas dan hasil belajar siswa, serta memberikan

suasana belajar yang baru sebagai hasil dari penerapan pendekatan konstruktivisme.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori

2.1.1 Belajar

2.1.1.1 Pengertian Belajar

Pandangan setiap orang tentang belajar akan mempengaruhi tindakan-tindakannya

yang berhubungan dengan belajar, dan setiap orang mempunyai pandangan yang berbeda

tentang belajar. Menurut pengertian secara psikologis belajar merupakan suatu proses

perubahan, yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya

dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata pada

seluruh aspek tingkah laku.

Perubahan yang terjadi pada seseorang banyak sekali baik sifat maupun

jenisnya,karena itu tidak setiap perubahan dalam diri seseorang merupakan perubahan dalam

arti belajar. Pengertian belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses usaha yang dilakukan

seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,

sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya ( Daryanto

2010:02).

Proses berpikir siswa ada dua cara yaitu berpikir konvergen dan berpikir divergen.

Proses berpikir konvergen mengharuskan siswa mencari satu jawaban yang benar, sedangkan

proses berpikir divergen mengharuskan siswa menjajaki berbagai kemungkinan jawaban atas

suatu masalah. Sehingga perlu adanya keterpaduan antara proses berpikir konvergen dan

divergen untuk mewujudkan kreativitas siswa. Artinya untuk mengetahui jawaban yang benar

siswa perlu menjajaki berbagai kemungkinan.

Seseorang dikatakan belajar jika mengalami perubahan tingkah laku. Bloom,

menyatakan klasifikasi tujuan pembelajaran mencakup tiga ranah, yaitu ranah kognitif,
afektif dan psikomotorik. Ranah kognitif bersangkutan dengan daya pikir, pengetahuan dan

penalaran, sedangkan ranah afektif bersangkutan dengan perasaan/ kesadaran, selanjutnya

ranah psikomotorik bersangkutan dengan keterampilan fisik, keterampilan motorik, atau

keterampilan tangan.

Perubahan dalam belajar juga harus terjadi secara sadar, ini berarti bahwa seseorang

yang belajar akan menyadari terjadinya perubahan itu atau ia merasakan telah terjadi adanya

suatu perubahan dalam dirinya. Misalnya ia menyadari bahwa pengetahuannya bertambah.

Peningkatan pemahaman belajar yang dimaksud ditekankan pada kenaikan nilai pada ranah

kognitif tingkat pengetahuan, pemahaman, dan penerapan, indikator prestasi belajar siswa

dapat dilihat dari hasil tes secara tertulis.

Dari beberapa pandangan tentang belajar di atas maka dapat disimpulkan

bahwa belajar itu semua aktivitas mental atau psikis yang dilakukan oleh seseorang sehingga

menimbulkan perubahan tingkah laku yang berbeda antara sesudah belajar dan sebelum

belajar.
2.1.1.2 Hakekat Hasil Belajar

Hasil belajar siswa pada hakekatnya adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah

menerima pengalaman belajarnya. Kemampuan itu dapat berupa kompetensi pada aspek

pengetahuan, sikap dan keterampilan (Sudjana 2009:22).

Dalam setiap mengikuti proses pembelajaran di sekolah sudah pasti setiap peserta didik

mengharapkan mendapatkan hasil belajar yang baik, sebab hasil belajar yang baik dapat

membantu peserta didik dalam mencapai tujuannya.

Sebagai hasil belajar, perubahan yang terjadi dalam diri seseorang berlangsung secara

berkesinambungan tidak statis. Satu perubahan yang terjadi akan menyebabkan perubahan

berikutnya dan akan berguna bagi kehidupan ataupun proses berikutnya. Guru diharapkan

melaksanakan hasil penilaian secara berkesinambungan, karena salah satu tujuan dari

penilaian hasil belajar adalah untuk mengetahui sejauh mana anak didik telah mencapai hasil

belajar yang direncanakan sebelumnya (Daryanto 2010:03).

Hasil belajar (prestasi belajar) siswa yang diharapkan adalah kemampuan yang utuh

yang mencakup kemampuan kognitif, kemampuan psikomotorik, dan kemampuan afektif

atau perilaku. Salah satu upaya mengukur hasil belajar siswa dilihat dari usaha belajar siswa

itu sendiri. Bukti dari usaha yang dilakukan dalam kegiatan belajar dan proses belajar adalah

hasil belajar yang biasa diukur melalui tes.

Hasil belajar yang baik hanya dicapai melalui proses belajar yang baik pula. Jika

proses belajar tidak optimal sangat sulit diharapkan terjadinya hasil belajar yang baik. Dalam

proses memperoleh hasil belajar yang baik itu diperlukan metode pembelajaran yang tepat,

sehingga apa yang menjadi hasil belajar dapat terpenuhi dengan jumlah pengukuran hasil

belajar di atas standar yang ada. Selain metode ada juga yang menggunakan LKS Lembar

Kerja Siswa dalam proses pembelajaran di sekolah.


Penilaian yang dilakukan oleh guru adalah untuk mengukur tingkat pencapaian

kompetensi peserta didik, serta digunakan sebagai bahan menyusun laporan hasil belajar dan

memperbaiki proses pembelajaran.Penilaian hasil pemebelajaran menggunakan Standar

Penilaian Pendidikan dan Panduan Penilaian Kelompok.

2.1.1.3 Aktivitas Belajar Siswa

Aktivitas belajar merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan

perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan pada siswa yang mengarah pada prestasi

siswa. Aktivitas yang berhubungan dengan siswa dalam proses pembelajaran adalah

mengamati, mengucapkan, membaca, mencatat, berdiskusi, bertanya, melakukan percobaan,

berkonsentrasi dan mengekspresikan diri dalam pembelajaran.

Guru dapat menggunakan berbagai pendekatan untuk meningkatkan aktivitas belajar

siswa. Pendekatan yang digunakan harus sesuai dengan kondisi lingkungan, kebutuhan

peserta didik dan tujuan yang ingin dicapai. Guru hanya berperan memfasilitasi dan

mengarahkan peserta didik dalam berbagai aktivitas yang dilakukan diruang kelas saat

pembelajaran berlangsung.

Indikator aktivitas guru : menyampaikan pendahuluan, memberikan informasi,

memotivasi siswa, mengorganisasikan siswa dalam berdiskusi dengan kelompok belajar,

mengajukan pertanyaan, membimbing siswa dalam mengerjalcan LKS, membimbing siswa,

mengamati kegiatan siswa, menanggapi pertanyaan/gagasan siswa membimbing dalam

meyimpulkan materi pelajaran/diskusi kelas, menutup pelajaran.

Indikator aktivitas siswa: membaca dan memahami buku dan LKS, mengerjakan LKS

secara mandiri, mengerjakan dan mendiskusikan masalah yang ada dalam LKS dengan

kelompoknya, mengajukan pertanyaan dan ide, menanggapi pertanyaan pendapat kelompok


lain, sharing dalam kelas. Aktivitas siswa dikatakan efektif jika aktivitas siswa aktif lebih

besar daripada aktivitas siswa pasif.

2.1.1.4 Pengertian IPA

Konsep IPA berkembang baik, bila pengalaman langsung mendahului pengenalan

generalisasi-generalisai abstrak. Karena IPA merupakan suatu mata pelajaran yang

melatih /mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan mengikuti metode menemukan

sendiri.

Sebenarnya tidaklah mudah mendefenisikan apakah IPA itu. Ada yang

mendefenisikan bahwa “IPA merupakan ilmu yang sistematis dan dirumuskan ,yang

berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan didasarkan terutama atas pengamatan.

Memang benar bahwa IPA merupakan suatu ilmu teoritas, tetapi teori tersebut

didasarkan atas pengamatan, pencobaan-pencobaan terhadap gejala-gejala alam.

Bagaimanapun indahnya suatu teori dirumuskan, tidaklah dapat dipertahankan kalau tidak

sesuai dengan hasil-hasil pengamatan/observasi.

Fakta-fakta tentang gejala kebendaan/alam diselidiki dan diuji berulang-ulang melalui

pencobaan-percobaan (eksperimen), kemudian berdasarkan hasil eksperimen itulah

dirumuskan keterangan ilmiahnya (teorinya). Teori pun tidak dapat berdiri sendiri, teori

selalu didasari oleh suatu pengamatan.

Jadi IPA adalah suatu pengetahuaan teoritis yang diperoleh atau disusun dengan cara

yang khas/khusus, yaitu melakukan observasi, eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan

teori, dan demikian seterusnya kait-mengkait antara cara yang satu dengan cara yang lain.

2.1.2 Pendekatan Konstruktivisme

2.1.2.1 Pengertian Konstruktivisme


Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam

struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Filsafat konstruktivisme mulai digagas oleh

Mark Baldawin dan dikembangkan dan diperdalam oleh Jean Piaget bahwa “ pengetahuan itu

terbentuk bukan hanya dari objek semata, tetapi juga dari kemampuan individu sebagai

subjek yang menangkap setiap objek yang diamatinya (Sanjaya 2009:262).

Menurut konstruktivisme pengetahuan itu memang berasal dari luar, akan tetapi

dikonstruksi dalam diri seseorang. Oleh sebab itu pengetahuan terbentuk oleh dua faktor

penting, yaitu objek yang menjadi bahan pengamatan dan kemampuan subjek untuk

menginterpretasi objek tersebut. Kedua faktor ini sama pentingnya. Dengan demikian

pengetahuan itu tidak bersifat statis tetapi bersifat dinamis, tergantung individu yang melihat

dan mengkonstruksinya.

Teori konstruktivisme merupakan pandangan baru tentang ilmu pengetahuan dan

bagaimana manusia memperoleh ilmu. Teori konstruktivisme ialah suatu teori pembelajaran

yang sangat dominan dalam sistem pendidikan terutamanya dalam mata pelajaran Sains dan

Matematika mulai tahun 1980-an (dalam Nair dan Muthiah:2005) .

Konstruktivisme adalah landasan berpikir bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia

sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas ( sempit ).

Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap diambil dan diingat.

Manusia harus membangun pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman yang

nyata. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.

Esensi dari teori konstruktivisme adalah bahwa siswa harus menemukan dan

mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki,

informasi itu menjadi milik mereka sendiri (Kunandar 2009:305).

Konstruktivisme memberikan penekanan bahwa konsep bukanlah tidak penting

sebagai bagian integral dari pengalaman belajar yang harus dimiliki oleh siswa, akan tetapi
bagaimana dari setiap konsep atau pengetahuan yang dimiliki siswa itu dapat memberikan

pedoman nyata terhadap siswa untuk diaktualisasikan dalam kondisi nyata. Belajar

konstruktivisme menekankan bahwa belajar tidak hanya sekadar menghafal, tetapi

merekonstruksikan atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru lewat fakta-fakta

yang mereka alami dalam kehidupannya.

Dalam proses pembelajaran, siswa harus mendapatkan penekanan, aktif

mengembangkan pengetahuan mereka, dan bertanggung jawab terhadap hasil belajar.

Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam

kehidupan kognitif siswa.

Piaget menjelaskan bahwa anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus

menerus berusaha memahami dunia sekitarnya. Siswa dalam segala usia secara aktif terlibat

dalam proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri .

Pengetahuan tidak statis tetapi secara terus menerus tumbuh dan berubah pada saat siswa

menghadapi pengalaman-pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan

memodivikasi pengetahuan awal mereka.

Perkembangan intelektual anak terjadi pada saat berhadapan dengan pengalaman baru

dan menantang. Mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang muncul dari pengalaman

yang sedang dialaminya. Dalam upaya mendapatkan pengalaman baru, individu mengkaitkan

pengetahuan baru dengan pengetahuan awal yang telah dimilikinya dan membangun

pengertian baru.

2.1.2.2 Pendekatan Pembelajaran konstruktivisme

Dalam usaha meningkatkan kualitas pembelajaran siswa harus memiliki aktivitas

yang aktif melalui pengalaman nyata untuk memperoleh pengetahuan baru . Konflik kognitif

terjadi saat interaksi antara konsepsi awal yang telah dimiliki siswa dengan fenomena baru,
sehingga diperlukan perubahan/modifikasi struktur kognitif untuk mencapai keseimbangan,

peristiwa ini akan terjadi secara berkelanjutan, selama siswa menerima pengetahuan baru.

Perolehan pengetahuan siswa diawali dengan diadopsinya hal baru sebagai hasil

interaksi dengan lingkungannya, kemudian hal baru tersebut dibandingkan dengan konsepsi

awal yang telah dimiliki sebelumnya. Jika hal baru tersebut tidak sesuai dengan konsepsi

awal siswa, maka akan terjadi konflik kognitif yang mengakibatkan adanya

ketidaksinambungan dalam struktur kognisinya. Pada kondisi ini diperlukan alternatif strategi

lain untuk mengatasinya.

Struktur pengetahuan dikembangkan dalam otak manusia melalui dua cara, yaitu

asimilasi atau akomodasi. Asimilasi maksudnya struktur pengetahuan baru dibuat atau

dibangun atas dasar struktur pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi maksudnya struktur

pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan dengan

hadirnya pengalaman baru (Kunandar 2009:30). Tugas guru dalam proses pembelajaran

konstruktivisme (1)menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa; (2)memberi

kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri; (3)menyadarkan siswa agar

menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.

Penekanan tentang belajar dan mengajar lebih berfokus terhadap suksesnya siswa

mengorganisasi pengalaman mereka.

Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak

lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai fasiltator

yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.

Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana guru mengajar.

Sebagai fasilitator guru bertanggung jawab terhadap kegiatan pembelajaran di kelas. Diantara

tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah menstimulasi dan memotivasi siswa.
Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan siswa serta menyediakan pengalaman untuk

menumbuhkan pemahaman siswa (Suherman dkk, 2001:76).

Ciri-ciri guru yang telah mengajar dengan pendekatan konstruktivisme adalah sebagai

berikut: (1) guru adalah salah satu dari berbagai macam sumber belajar, bukan satu-satunya

sumber belajar; (2) guru membawa siswa masuk kedalam pengalaman-pengalaman yang

menantang konsepsi pengetahuan yang sudah ada dalam diri mereka; (3) guru membiarkan

siswa berpikir setelah mereka disuguhi beragam pertanyaan-pertanyaan guru; (4) guru

menggunakan teknik bertanya untuk memancing siswa berdiskusi satu sama lain; (5) guru

menggunakan istilah-istilah kognitif, klasifikasikan, analisislah, dan ciptakanlah ketika

merancang tugas-tugas; (6) guru membiarkan siswa untuk bekerja secara otonom dan

berinisiatif sendiri; (7) guru menggunakan data mentah dan sumber primer bersama-sama

dengan bahan-bahan pelajaran yang dimanipulasi; (8) guru tidak memisahkan antara tahap “

mengetahui “ dari proses “ menemukan “; (9) guru mengusahakan agar siswa dapat

mengomunikasikan pemahaman mereka karena dengan begitu mereka benar-benar sudah

belajar (brooks 1993 dalam Nurhadi, dkk 2003).

2.1.2.3 Konstruktivisme dalam Pembelajaran

Konstruktivisme menawarkan paradigma baru dalam dunia pembelajaran. Sebagai

landasan paradigma pembelajaaran, konstruktivisme menyerukan perlunya partisipasi aktif

siswa dalam proses pembelajaran, perlunya pengembagan siswa belajar mandiri, dan

perlunya siswa memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri.

Siswa tidak lagi diposisikan bagaikan bejana kosong yang siap diisi. Dengan sikap

pasrah siswa disiapkan untuk dijejali informasi oleh gurunya. Atau siswa dikondisikan

sedemikian rupa untuk menerima pengatahuan dari gurunya. Siswa kini diposisikan sebagai

mitra belajar guru. Guru bukan satu-satunya pusat informasi dan yang paling tahu. Guru
hanya salah satu sumber belajar atau sumber informasi. Sedangkan sumber belajar yang lain

bisa teman sebaya, perpustakaan, alam, laboratorium, televisi, koran dan internet.

Kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, dimana siswa membangun sendiri

pengetahuannya. Siswa mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari, ini merupakan proses

menyesuaikan konsep-konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada

dalam pikiran mereka. Dalam hal ini siswa membentuk pengetahuan mereka sendiri dan guru

membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu.

Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivisme, yaitu:

(1)mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam konteks yang relevan,

(2)mengutamakan proses, (3)menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial,

(4)pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman.

Pembelajaran konstruktivisme digunakan berdasarkan pandangan bahwa

pembelajaran merupakan kegiatan untuk memfasilitasi dan mengoptimalisasi potensi yang

dimiliki siswa secara bertahap. Dalam pembelajaran konstruktivisme guru memfasilitasi

potensi siswa melalui strategi pembelajaran yang menarik dan menyenangkan siswa dengan

dibantu berbagai media yang mendukung proses konstruksi pada diri siswa (Sukartiningsih

2005:98).

Pembelajaran konstruktivisme meliputi empat tahapan yaitu:

1. Apersepsi: Menghubungkan konsepsi awal, mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan

dari materi sebelumnya yang merupakan konsep prasyarat.

2. Eksplorasi: Mengungkapkan dugaan sementara terhadap konsep yang dipelajari,

menggali, menyelidiki dan menemukan konsep dapat melalui manipulasi benda

langsung.

3. Diskusi dan Penjelasan Konsep: Mengkomunikasikan hasil penyelidikan dan

temuannya, Guru memfasilitasi dan memotivasi kelas.


4. Pengembangan dan Aplikasi: Pemberikan penekanan terhadap konsep-konsep

esensial, merumuskan kesimpulan dan menerapkan pemahaman konseptual melalui

pengerjaan tugas atau proyek ( Sidik : 2008)

Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan dan siswa

mengungkapkan gagasan, memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang

telah dimiliki siswa, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan

tentang fenomena yang menantang siswa. Pendekatan ini mendorong siswa dapat berpikir

kreatif, imajinatif, refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasan pada saat

yang tepat. Mencoba gagasan baru, mendorong siswa untuk memperoleh kepercayaan diri.

Dengan demikian pendekatan konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif

yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan

selalu ada satu jawaban yang benar.

Proses perolehan pengetahuan akan terjadi apabila guru dapat menciptakan kondisi

pembelajaran yang ideal yang dimaksud disini adalah suatu proses belajar mengajar yang

sesuai dengan karakteristik IPA dan memperhatikan perspektif siswa sekolah dasar.

Dalam pelaksanaan teori belajar konstruktivisme ada beberapa saran yang berkaitan
dengan rancangan pembelajaran yaitu sebagai berikut :
1. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapatnya dengan
bahasa sendiri.
2. Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga

lebih kreatif dan imajinatif.

3. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.

4. Memberi pengalaman berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.

5. Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka.

6. Menciptakan lingkungan yang kondusif.


Dari berbagai pandangan diatas, bahwa pembelajaran yang mengacu pada pandangan

konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan

pengalaman mereka dengan kata lain siswa lebih berpengalaman untuk mengkonstruksikan

sendiri pengetahuan mereka asimilasi dan akomodasi.

Dalam model pembelajaran konstruktivisme terdapat keuntungan memberikan kemudahan

kepada siswa dalam mempelajari konsep IPA.

Kelebihan konstruktivisme ialah pelajar berpeluang membina pengetahuan secara aktif

melalui proses saling pengaruh antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru

(Nair dan Muthiah: 2005) .

Pendekatan konstruktivisme sangat penting dalam proses pembelajaran karena pelajar

digalakkan membina konsep sendiri dengan menghubungkan perkara yang dipelajari dengan

pengetahuan yang sedia ada pada mereka.

Hasil belajar seseorang diperoleh mulai dari pengalaman langsung (real), kenyataan

yang ada di lingkungan kehidupan seseorang kemudian melalui benda tiruan. Sampai kepada

lambang verbal (abstrak). Pengalaman langsung akan memberikan kesan paling utuh dan

paling bermakna mengenai informasi dan gagasan yang terkandung dalam pengalaman, oleh

karena itu melibatkan indera penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman dan peraba.

2.2 Kerangka Konseptual

Dalam suatu proses belajar mengajar dua unsur yang amat penting adalah metode

mengajar dan media pembelajaran. Kedua aspek ini saling berkaitan. Pemilihan salah satu

metode mengajar tertentu akan mempengaruhi jenis media pembelajaran yang sesuai.

Penggunaan model pembelajaran dan pendekatan pada tahap orientasi pembelajaran akan

sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian pesan dan isi pelajaran

pada saat itu. Selain membangkitkan motivasi dan minat siswa, model pembelajaran juga
dapat membantu siswa meningkatkan aktivitas, pemahaman, membuat pembelajaran menarik

dan membuka kemungkinan besar akan meningkatkan hasil belajar.

Belajar dengan menciptakan pengalaman sendiri, siswa akan belajar lebih banyak

belajar dari pada jika materi pelajaran disajikan hanya dengan stimulus pandang atau hanya

dengan stimulus dengar. Pengalaman belajar demikian, terdapat dalam pendekatan

konstruktivisme.

2.3 Hipotesis

Untuk menjawab permasalahan dari penelitian tindakan kelas ini di kembangkan hipotesis

penelitian sebagai berikut : Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa dalam Pelajaran

IPA dengan Menerapkan Pendekatan Konstruktivisme menggunakan LKS di Kelas IV SD

Gracia Sustain Medan.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan dilaksanakan di SD Swasta Gracia Sustain Medan yang

beralamat di JL.Turi No.139 Medan. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada

bulan Juli sampai bulan September 2014.

3.2 Subyek Penelitian

Subyek dalam penelitian tindakan kelas ini adalah siswa kelas IV SDS Gracia Sustain

Medan pada tahun pelajaran 2014 / 2015 yang terdiri dari dua kelas. Dalam penelitian ini

diambil satu kelas yaitu kelas IVA sebanyak 20 orang siswa terdiri dari 10 laki-laki dan 10

perempuan.

3.3 Pendekatan dan Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan dilaksanakan adalah penelitian tindakan kelas. Pendekatan

yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, yang berguna untuk mengungkapkan

kelemahan-kelemahan siswa dalam menyelesaikan dan mengatasi sebagai upaya untuk

meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam pelajaran IPA dengan menerapkan

pendekatan konstruktivisme.

3.4 Desain Penelitian

Dalam penelitian tindakan ini, peneliti sebagai pelaku utama dan sekaligus kolaborator.

Guru sebagai mitra peneliti yang akan melaksanakan rancangan pembelajaran di dalam kelas.
Perencanaan tindakan berdasarkan permasalahan yang ada dan pemilihan kemungkinan

pemecahan masalahnya.

Desain penelitian yang dilaksanakan adalah desain yang digambarkan dalam dalam

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) model Kemmis dan Taggart.

Model penelitian ini terdiri dari : 1) Perencanaan (planning), 2) Pelaksanaaan (acting), 3)

Pengamatan (observe), 4) Refleksi ( reflection).

Perencanaan

Refleksi SIKLUS I Pelaksanaan

Observasi

Perencanaan

Pelaksanaan
Refleksi
SIKLUS II

Observasi

Gambar 3.1 : Rancangan PTK (adaptasi dari Kurt Lewin), dalam Arikunto (2006:93)

3.5 Definisi Operasional

3.5.1 Aktivitas Belajar

Dalam penelitian ini, aktivitas belajar siswa merupakan deskripsi kualitatif aktivitas

siswa yang diperoleh berdasarkan pengamatan selama proses pembelajaran berlangsung. Di

dalam belajar perlu ada aktivitas, sebab pada prinsipnya belajar itu adalah berbuat (Sardiman
2011:103). Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Itulah sebabnya aktivitas merupakan

prinsip atau asas yang sangat penting di dalam interaksi belajar-mengajar. Sekolah harus

dijadikan tempat kerja bagi siswa, dalam belajar siswa harus aktif berbuat karena tanpa

aktivitas, proses belajar tidak mungkin berlangsung dengan baik.

3.5.2 Hasil Belajar

Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima

pengalaman belajarnya (Sudjana 2008:22). Kunandar (2008:276-277) berpendapat bahwa

“hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa setelah mengikuti suatu materi tertentu dari

bidang studi yang berupa data kuantitatif maupun kualitatif “.

Dari pendapat di atas maka hasil belajar di dalam penelitian ini diartikan sebagai

kumpulan-kumpulan pengetahuan yang diperoleh siswa setelah melalui tahap-tahap proses

belajar di sekolah. Hasil tersebut didapat dari perkembangan pengetahuan, pemahaman dan

ingatan siswa terhadap materi belajar yang telah dipelajarinya, serta hasil belajar tersebut

dapat dilihat dari test yang dilakukan oleh guru.

3.5.3 Model Pembelajaran Konstruktivisme

Dalam konstruktivisme pembelajaran dikemas menjadi proses mengonstruksi bukan

menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran siswa membangun sendiri pengetahuan

mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Menurut

konstruktivisme pengetahuan itu memang berasal dari luar, akan tetapi dikonstruksi dari

dalam diri seseorang (Sanjaya 2009:262).

Berdasarkan pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran

konstruktivisme dalam penelitian ini adalah suatu proses belajar mengajar yang

memperlihatkan siswa aktif secara mental, membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh
struktur kognitif yang dimilikinya. Guru lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator

dalam pembelajaran.

3.6 Prosedur Penelitian

Penelitian ini memiliki dua tahap, yaitu tahap pertama siklus I dan tahap yang kedua

siklus II. Hasil dari siklus I digunakan sebagai acuan menentukan perbaikan tindakan pada

siklus II.

3.6.1 Kegiatan Pada Siklus I

Pelaksanaan tindakan yang diuraikan pada siklus I adalah sebagai berikut:

1. Perencanaan

Kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan adalah :

a. Mempersiapkan materi ajar, dengan topik panca indera manusia menggunakan model

pembelajaran konstruktivisme.

b. Membuat Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran ( RPP )

c. Membuat lembar observasi yang digunakan oleh pengamat , untuk mengamati proses

pembelajaran konstruktivisme .

d. Menyusun alat evaluasi, untuk mengetahui tingkat keberhasilan dalam motivasi,

aktivitas dan hasil belajar yang telah dicapai siswa dalam setiap siklus dengan

diterapkannya model pembelajaran konstruktivisme.

2. Pelaksanaan Tindakan

Kegiatan yang dilaksanakan dalam tahap ini adalah melaksanakan rencana pembelajaran,

pelaksanaan setiap siklus berlangsung selama 2-3 minggu atau sebanyak 3-4 kali pertemuan.
Pada akhir tindakan dilakukan tes hasil belajar dan memberikan lembar angket untuk

mengetahui aktivitas siswa dalam memahami pelajaran .

3. Pengamatan

Pengamatan yang dilaksanakan meliputi implementasi dalam monitoring, pada proses

pembelajaran di kelas secara langsung, kegiatan yang diamati meliputi aktivitas guru dan

anak didik dalam pembelajaran. Observasi ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian

tindakan dengan rencana yang telah disusun dan untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan

tindakan dapat menghasilkan perubahan yang sesuai dengan yang dikehendaki.

4. Refleksi

Kegiatan refleksi dilakukan untuk mempertimbangkan data yang diperoleh dari pedoman

mengajar yang dilakukan, serta melihat kesesuaian yang dicapai dengan yang diinginkan

dalam pembelajaran yang pada akhirnya ditemukan kelemahan dan kekurangan untuk

kemudian diperbaiki dalam siklus kedua.

Setelah siklus I dijalankan dan belum menunjukkan hasil pada peningkatan pemahaman

belajar maupun motivasi dan aktivitas belajar, maka dalam hal ini dilaksanakan siklus kedua.

3.6.2 Kegiatan Pada Siklus II

1. Perencanaan Tindakan II

Perencanaan tindakan II dilakukan berdasarkan refleksi yang diperoleh dari hasil

siklus I. Dari hasil evaluasi dan analisis yang dilakukan pada pelaksanaan tindakan siklus I

dengan menemukan alternatif permasalahan yang muncul pada tindakan siklus I yang

selanjutnya diperbaiki pada siklus II dengan kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan

masih sama, yaitu:


a. Mempersiapkan materi ajar baru sesuai dengan permasalahan yang muncul pada siklus I,

dengan topik panca indera manusia setelah dilakukan diagnosa tentang kemampuan

siswa.

b. Membuat lembar observasi, untuk mengamati guru dan siswa dalam proses pembelajaran.

c. Menyusun alat evaluasi untuk mengetahui tingkat perubahan motivasi, aktivitas dan

tingkat keberhasilan belajar yang telah dicapai siswa dalam setiap siklus dengan

diterapkannya model pembelajaran konstruktivisme

2. Pelaksanaan tindakan

Kegiatan yang dilaksanakan dalam tahap ini adalah melaksanakan rencana

pembelajaran yang telah direncanakan dan telah dikembangkan dari pelaksanaan siklus I,

berupa proses pembelajaran sesuai dengan rencana pembelajaran pelaksanaan setiap siklus

berlangsung sebanyak 2-3 kali pertemuan. Pada akhir tindakan dilakukan tes hasil belajar dan

diberikan lembar angket untuk mengetahui tentang motivasi dan aktivitas siswa dalam

memahami pelajaran.

3. Pengamatan

Pengamatan yang dilaksanakan meliputi implementasi dalam monitoring pada proses

pembelajaran di kelas secara langsung. Kegiatan yang diamati meliputi aktivitas guru dan

anak didik dalam pembelajaran. Observasi ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian

tindakan dengan rencana yang telah disusun dan mengetahui sejauh mana pelaksanaan

tindakan dapat menghasilkan perubahan yang sesuai dengan yang dikehendaki. Observasi ini

untuk melihat apakah kondisi belajar mengajar di kelas sudah terlaksana sesuai dengan

program yang diberikan .

4. Refleksi
Kegiatan refleksi dilakukan untuk mempertimbangkan pedoman mengajar, serta

melihat kesesuaian yang dicapai dengan yang diinginkan dalam pembelajaran yang dilakukan

pada siklus I, pada akhirnya ditemukan kelemahan dan kekurangan tersebut pada siklus II

sudah berkurang.

3.7 Langkah-langkah pembelajaran konstruktivisme

a. Pendahuluan

1) Guru menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta manfaat dari proses

pembelajaran dan pentingnya materi pelajaran yang akan dipelajari.

2) Guru memberikan kesempatan kepada siswa mengemukakan gagasan-gagasannya.

3) Guru menjelaskan prosedur pembelajaran konstruktivisme

4) Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan jumlah siswa dan tiap

kelompok diberi lembar kerja yang harus dilakukan.

b. Inti

1) Guru memberikan motivasi kepada siswa untuk melakukan analisis sendiri bersama

kelompoknya.

2) Siswa melakukan percobaan dengan cara mengkonstruk pemahaman mereka sendiri.

3) Siswa mengerjakan lembar kerja yang telah diberikan.

4) Siswa mendiskusikan hasil temuan mereka sesuai dengan kelompoknya masing-

masing.

5) Siswa melaporkan hasil diskusi.

c. Penutup

1) Dengan bantuan guru siswa menyimpulkan hasil diskusi dan lembar kerja.

2) Guru memberi kesempatan kepada masing-masing kelompok untuk

mempresentasikan laporan kelompok masing-masing sebelum dikumpulkan.


3) Guru memberi tugas kepada siswa untuk materi yang dipelajari.

3.8 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan faktor penting demi keberhasilan penelitian. Hal

ini berkaitan dengan bagaimana cara mengumpulkan data, siapa sumbernya, dan apa yang

digunakan.

Dalam penelitian ini, alat pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah:

1. Tes Hasil Belajar

Tes diberikan untuk mengumpulkan data hasil belajar siswa. Tes awal diberikan untuk

mengetahui tingkat pemahaman siswa pada topik alat indra pada manusia. Tes juga diberikan

pada setiap akhir siklus untuk memperoleh data tentang pemahaman belajar pada topik panca

indera manusia.

Instrumen tes disusun berdasarkan kisi-kisi hasil belajar IPA pada materi alat indra

manusia. Bentuk pertanyaan tes pilihan ganda dengan 4 pilihan jawaban yaitu a, b, c, d. Soal

dirancang berpatokan pada indikator dan materi pembelajaran mencakup kawasan taksonomi

menurut Bloom yang ditunjukkan pada tabel dibawah ini.

Tabel 3.1 Kisi-kisi Tes Hasil Belajar

Materi Taksonomi
No. Indikator JLH
Pokok C1 C2 C3

1 Alat indra 1. Mengidentifikasi alat 16,17 1 3

pada indra manusia

manusia 2. Mendeskripsikan bagian- 11, 5 2,3, 6


bagian alat indra manusia 8,13

3. Menjelaskan fungsi alat 7, 10, 2

indra manusia

4. Menjelaskan cara kerja 18 4 6 3

alat indra

5. Memahami gangguan 9, 12, 14 15,20 6

dan pemeliharaan alat 19

indra manusia

Jumlah 7 6 7 20

Teknik pemberian skor dalam penelitian ini adalah dengan memberikan skor 5 untuk jawaban

yang benar dan skor 0 untuk jawaban yang salah. Dengan demikian skor minimum adalah 0

dan skor maksimum adalah 100.

2. Observasi

Observasi dilakukan untuk mengamati kegiatan di kelas selama kegiatan

pembelajaran. Kegiatan yang diamati aktivitas guru dan aktivitas siswa dalam pembelajaran.

Observasi dimaksudkan untuk mengetahui kesesuaian tindakan dengan rencana yang telah

disusun dan untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan tindakan dapat menghasilkan

perubahan yang sesuai dengan yang dikehendaki.

a. Observasi Aktivitas Guru

Lembar observasi disusun berdasarkan kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru

dengan indikator yang diamati, yaitu : 1)Persiapan, 2)Persentasi/ penyampaian pelajaran,

3)Pendekatan Pembelajaran/Pelaksanaan Pembelajaran, 4)Karakteristik pribadi guru.


Dalam penelitian ini skala penilaian yang digunakan dalam observasi aktivitas guru yaitu,

skor 1 untuk tidak baik, skor 2 untuk kurang baik, skor 3 untuk baik, dan skor 4 unttuk sangat

baik.

b. Observasi Aktivitas Siswa

Lembar aktivitas siswa digunakan untuk mengetahui peningkatan aktivitas belajar siswa dan

disusun berdasarkan indikator yang diamati, yaitu : 1)pengetahuan yang dialami, dipelajari,

dan ditemukan oleh siswa, 2)siswa melakukan sesuatu untuk memahami materi

pelajaran/membangun pemahaman, 3)siswa mengkomunikasikan sendiri hasil pemikirannya,

4)siswa berpikir reflektif.

Skala penilaian yang digunakan adalah skor 1 untuk tidak baik, skor 2 untuk kurang baik,

skor 3 untuk baik dan skor 4 untuk sangat baik.

Lembar observasi untuk aktivitas guru dan siswa terlampir dalam lampiran.

3.9 Teknik Analisis Data

Analisis data yang dilakukan berupa:

1. Reduksi Data

Proses reduksi data yang dilakukan dengan cara menyeleksi, menyederhanakan dan

mentransformasikan data yang telah disajikan dalam transkrip catatan lapangan. Kegiatan

reduksi data ini bertujuan untuk memilih dan mengelompokkan jawaban siswa dari jenis

kesalahan yang dilakukan dalam menyelesaikan soal–soal tentang sains.

2. Paparan Data

Data kesulitan siswa dalam menjawab soal yang telah direduksi kemudian disajikan

dalam bentuk paparan data kesulitan dalam menjawab soal–soal.

Demikian juga dengan data tindakan yang telah dilakukan disajikan dalam bentuk paparan

tindakan.
3. Verifikasi

Kegiatan verifikasi dilakukan terhadap paparan data. Verifikasi terhadap kesalahan-

kesalahan jawaban siswa tindakan untuk mengatasi kesulitan siswa untuk menyelesaikan soal

dan menarik kesimpulan dari data penelitian.

3. Menarik Kesimpulan

Kesimpulan adalah tinjauan ulang pada catatan di lapangan dapat ditinjau sebagai

makna yang muncul dari data yang harus diuji kebenarannya yaitu yang merupakan

validitasnya. Dalam kegiatan ini ditarik beberapa kesimpulan berdasarkan hasil penelitian

yang telah dilakukan.

3.10 Hasil Belajar

Hasil belajar siswa dapat di lihat dari skor yang diperoleh siswa tes yang diberikan.

Dari skor tersebut di hitung persentase ketuntasan belajar siswa perorangan dan klasikal.

Persentase ketuntasan belajar perorangan dihitung dengan rumus:

Si
P= x 100 %
St

P = Persentase ketuntasan belajar siswa

Si= Jumlah skor yang dicapai siswa terhadap seluruh butir soal

St = Jumlah skor total seluruh soal

Kriteria Ketuntasan Belajar perorangan tercapai apabila P≥70% ( Kriteria ketuntasan di SDS

Gracia Sustain Medan ). Sedangkan untuk menghitung persentase ketuntasan belajar klasikal

digunakan rumus:

∑ Siswa tuntas belajar ❑


P= x 100 % (Aqib, dkk, 2008)
∑ siswa
3.11 Aktivitas Belajar

Proses pembelajaran dilihat dari pengamatan terhadap aktivitas guru dalam

melaksanakan pembelajaran. Data pengamatan yang diperoleh dianalisis dengan menentukan

persentase skor rata- rata aktivitas guru, dan kemudian ditentukan kriteria keberhasilannya.

Skor aktivitas siswa dihitung dengan menggunakan rumus:

Jumlah skor
Persentase skor rata-rata (SR) = x 100 % (Tamrin, 2003)
Skor maksimal

Interpretasi skor rata- rata sebagai berikut:

90% ≤ SR < 100% Sangat baik

80% ≤ SR < 90% Baik

70% ≤ SR < 80% Cukup

60% ≤ SR < 70% Kurang

0% ≤ SR < 60% Sangat kurang

Proses pembelajaran dikatakan berlangsung baik dilihat dari pengamatan tentang

aktivitas guru dalam melakukan proses pembelajaran. Kriteria keberhasilan tindakan untuk

aspek aktivitas guru tercapai bila SR ≥ 80% (Tamrin, 2003).


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Hasil Penelitian

4.1.1 Deskripsi Hasil Pre-tes

Hasil pre-tes siswa kelas IV SDS Gracia Sustain untuk mata pelajaran IPA bahwa 45

% siswa mencapai kategori tuntas belajar dengan nilai 70 atau lebih (Lamp 1.1). Jika dilihat

dari kategori tingkat kompetensinya, hasil pre-test siswa ini menunjukkan bahwa terdapat 15

% atau 3 orang siswa yang tergolong kompeten (skor 75-84) dan 30 % atau 6 orang yang

dikategorikan cukup kompeten (skor 65-74).

Tabel 4.1 Distribusi Hasil Pre-tes siswa SDS Gracia Sustain Kelas IV pada materi alat

indera pada manusia.

No. Nilai Jumlah Persentase Keterangan

1. 85 - 100 - - Sangat Kompeten

2. 75 – 84 3 15 % Kompeten

3. 65 - 74 6 30 % Cukup Kompeten

4. < 64 11 55 % Tidak Kompeten

Berdasarkan tabel distribusi hasil belajar pre tes diatas, ada 55 % siswa yang belum mencapai

kriteria ketuntasan belajar mengajar (KKM). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 11 siswa

yang memperoleh nilai dibawah 65 dan terdapat 9 siswa yang memperoleh nilai diatas 65.

Kemampuan awal siswa yang ditunjukkan dari hasil Pre-tes masih tergolong belum

berhasil dalam belajar. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa kemampuan awal siswa

masih rendah dalam materi alat indera pada manusia.


4.1.2 Deskripsi proses siklus I

Pelaksanaan kegiatan penelitian tindakan kelas ini dibedakan atas perencanaan,

pelaksanaan tindakan, pengamatan, dan refleksi. Pada kegiatan ini peneliti menerapkan

pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran konstruktivisme, wali kelas IV

berperan sebagai observer/pengamat.

1. Perencanaan

Pada tahap perencanaan ini peneliti menyediakan :

- RPP dengan menggunakan model pembelajaran konstruktivisme pada materi alat

indera pada manusia, dimana RPP pada siklus pertama terdiri dari 2 kali pertemuan.

- Lembar observasi sebanyak 2 rangkap yang bertujuan untuk melihat kesesuaian

pelaksanaan tindakan dengan yang telah direncanakan sebelumnya dan untuk melihat

keseriusan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.

- Alat evaluasi berupa tes sebanyak 20 soal lengkap dengan kunci jawaban yang

nantinya digunakan sebagai alat ukur pada kegiatan tes siklus I.

2. Tindakan

Adapun tindakan yang dilakukan pada siklus I adalah sebagai berikut :

Pertemuan ke – 1

- Guru memberi kesempatan kepada siswa mengemukakan pendapatnya tentang alat indera

pada manusia.

- Guru menjelaskan materi tentang alat indera pada manusia.

- Guru memberi pertanyaan untuk memancing siswa mengemukakan tentang

pengalamannya yang berhubungan dengan dengan materi alat indera pada manusia

- Guru menjelaskan fungsi dan cara kerja alat indera pada manusia di dalam kehidupan

sehari-hari.
- Guru meminta siswa memberi contoh manfaat dari fungsi masing-masing alat indera pada

manusia dalam kehipan sehari-hari.

- Guru menjelaskan cara kerja masing-masing dari alat indera.

- Guru meminta siswa melakukan gerakan yang dapat membuktikan fungsi alat indera pada

manusia.

- Guru memperhatikan setiap gerakan anak.

- Guru meminta siswa memberi contoh cara menjaga fungsi alat indera tersebut.

- Guru melakukan contoh cara memelihara kesehatan alat indera pada manusia.

- Guru meminta siswa melakukan cara memelihara kesehatan alat indera.

- Guru menghubungkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari mengenai alat indera

pada manusia.

- Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya kembali tentang materi

pembelajaran yang baru dikerjakan.

- Guru melakukan evaluasi terhadap pembelajaran.

Pertemuan ke – II

 Guru memberi kesempatan kepada siswa mengemukakan pendapatnya tentang bagian-

bagian alat indera pada manusia

 Guru menjelaskan materi tentang alat indera pada manusia.

 Guru memberi pertanyaan untuk memancing siswa mengemukakan tentang

pengalamannya yang berhubungan dengan dengan materi alat indera pada manusia

 Guru membantu siswa membentuk kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang tiap

kelompok.

 Guru mengkondisikan kelas dan memberi petunjuk dalam pembuktian fungsi masing-

masing alat indera sesuai Lembar Kerja yang sudah dibagi


 Guru memberikan penjelasan dalam mengerjakan lembar kerja.

 Guru melakukan control pada tiap-tiap kelompok.

 Guru meminta siswa berdiskusi untuk mencari dan menyelesaikan masalah yang ada

dalam menyelesaikan tugas yang terdapat pada LKS.

 Guru membahas LKS dengan siswa.

 Guru menghubungkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari mengenai alat indera

pada manusia.

 Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya kembali tentang materi

pembelajaran yang baru dikerjakan.

 Guru melakukan evaluasi terhadap pembelajaran.

Setelah pertemuan 1 dan 2 terlaksana maka peneliti mengadakan tes siklus I dengan

tujuan untuk melihat peningkatan hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Adapun distribusi

hasil tes siklus I adalah sebagai berikut .

Tabel 4.2 Distribusi Hasil Belajar Siswa pada Siklus I siswa SDS Gracia Sustain Kelas
IV-A pada materi alat indera pada manusia
No. Nilai Jumlah Persentase Keterangan

1. 85 – 100 1 5% Sangat Kompeten

2. 75 – 84 3 15 % Kompeten

3. 65 – 74 7 35 % Cukup Kompeten

4. < 64 9 45 % Tidak Kompeten

Hal ini menunjukkan bahwa sudah ada peningkatan hasil belajar siswa terdapat 11

siswa yang memperoleh nilai diatas 65 dan terdapat 9 siswa yang mendapat nilai dibawah 65.

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kemampuan siswa pada penguasaan materi alat indera

pada manusia meningkat dibandingkan dengan hasil Pre-tes. Tetapi dengan memperhatikan
tabel di atas maka dinyatakan bahwa kemampuan siswa dalam memahami materi masih

rendah dengan nilai rata – rata mencapai 6,2. Dari 20 siswa terdapat (45%) atau 9 orang siswa

yang tidak mengalami ketuntasan belajar dan ( 55% ) atau 11 orang siswa masuk dalam

kategori tuntas belajar. Hasil belajar yang diperoleh siswa SDS Gracia Sustain setelah

dilakukan siklus I, diperoleh hasil bahwa siswa yang sangat berkompeten (skor 85-100)

sebanyak 5 % atau 1 orang, siswa yang kompeten (skor 75-84) sebanyak 15 % atau 3 orang

dan siswa yang cukup kompeten sebanyak 35 % atau 7 orang.

3. Pengamatan

Dalam kegiatan pengamatan ini peneliti berkolaborasi dengan guru kelas IV sebagai

observer dengan tujuan apakah penerapan tindakan telah sesuai dengan skenario

pembelajaran yang dirancang. Berdasarkan hasil pengamatan pada siklus I dengan 2 kali

pertemuan guru belum optimal dalam melaksanakan tindakan. Terutama pada penerapan

model pembelajaran konstruktivisme dalam pembelajaran. Berdasarkan hasil pengamatan pada

siklus I pada pertemuan kedua guru belum optimal dalam menerapkan model pembelajaran

konstruktivisme karena belum melibatkan semua siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran.

Hal tersebut dapat dilihat dari nilai rata-rata hasil observasi yang telah dilakukan.

Berdasarkan hasil observasi menunjukkan bahwa rata-rata penilaian oleh guru dalam

melaksanakan pendekatan konstruktivisme dapat dikategorikan baik, namun masih ada

beberapa deskriptor yang tidak terlaksana dengan baik, sehingga dapat berpengaruh terhadap

proses pembelajaran.

Selanjutnya hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa selama melaksanakan pembelajaran

dengan model konstruktivisme bahwa aktivitas siswa dalam proses pembelajaran

dikategorikan baik, namun masih ada beberapa deskriptor yang tidak terlaksana dengan baik,
sehingga perlunya perbaikan pada siklus berikutnya. Berikut ini adalah hasil pengamatan

aktivitas guru dan siswa pada siklus I :

Tabel 4.3 Pengamatan Aktivitas Guru dalam Penerapan Pendekatan Konstruktivisme


Pada Materi Alat Indera Pada Manusia
Hasil

No. Aspek Yang Diamati Pengamatan

1 2 3 4

1. Guru memberi kesempatan kepada siswa √

mengemukakan pendapatnya

2. Guru Memberi motivasi kepada siswa. √

3. Memberi kebebasan siswa berpikir kreatif tentang √

pengalamannya

4. Memberi kesempatan kepada siswa mencoba √

pengalaman baru

5. Guru memberi pengalaman baru yang sesuai dengan √

gagasan yang dimiliki siswa

6. Guru menciptakan suasana yang kondusif √

7. Mendorong siswa memperoleh kepercayaan diri √

8. Guru menjadi mediator dan melakukan kontrol saat √

siswa membentuk pengetahuannya sendiri.

Jumlah ( % ) 18 ( 56 % )
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa penerapan model pembelajaran

konstruktivisme belum optimal karena aktivitas yang dilakukan guru masih memperoleh skor

18 yaitu sekitar 56 %. Demikian juga dengan aktivitas siswa yang belum optimal dpat dilihat

dari tabel dibawah ini :

Tabel 4.4 Pengamatan Aktivitas Siswa dalam Penerapan Pendekatan Konstruktivisme


Pada Materi Alat Indera Pada Manusia
Hasil

No. Aktivitas Belajar Siswa Pengamatan

1 2 3 4

1 Memberi salam kepada guru dan berdoa √

2 Dapat menjawab pertanyaan pada apersepsi √

3 Memberi penjelasan secara singkat dan jelas √

4 Membangun pengalaman belajar √

5 Melakukan pengamatan atau penyelidikan √

6 Belajar berkelompok/berdiskusi √

7 Mengkomunikasikan gagasannya di kelompoknya √

8 Meminta bimbingan guru jika diperlukan √

9 Memberikan komentar tentang hasil kerja temannya √

10 Mengerjakan soal yang diberikan guru dengan baik √

Jumlah ( % ) 20 ( 50 % )

Tabel di atas menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran konstruktivisme

belum optimal karena aktivitas yang dilakukan siswa masih memperoleh skor 20 yaitu sekitar

50 %.
4. Refleksi

Peneliti bersama guru kelas IV berkolaborasi untuk merefleksi kegiatan pembelajaran

yang telah dilakukan oleh peneliti pada siklus I yang bertujuan untuk membicarakan apakah

pelaksanaan pembelajaran sudah sesuai dengan apa yang telah direncanakan melalui

penerapan langkah- langkah model pembelajaran konstruktivisme, kesulitan atau kendala

yang dihadapi pada saat pembelajaran berlangsung dan peningkatan hasil belajar yang

dicapai oleh siswa pada siklus I.

Berdasarkan hasil pembicaraan peneliti dengan guru kelas yang berperan sebagai

pelaksana bahwa pelaksanaan pembelajaran belum optimal hal ini ditunjukkan dari hasil

observasi, pada lembar observasi pemantauan guru poin 2 saat kegiatan pembelajaran

berlangsung menunjukkan guru selaku pelaksana tindakan belum begitu maksimal

memberikan motivasi kepada siswa pada saat pembelajaran berlangsung dan pemberian

umpan balik terhadap hasil jawaban siswa yang kurang maksimal sehingga mengakibatkan

siswa bingung tentang bagaimana yang salah dari jawaban yang ia berikan. Sedangkan pada

lembar observasi pengamatan siswa juga menunjukkan adanya 2 poin yang belum maksimal

dilakukan yaitu poin 5 dan 7 yang mengakibatkan proses pembelajaran kurang optimal. Pada

poin 5 siswa masih kurang dalam melakukan suatu pengamatan dan penyelidikan dan pada

poin ke 7 siswa kurang berani untuk memberikan gagasan dikelompoknya, siswa juga kurang

berani dalam mengomentari hasil kerja atau jawaban temannya saat melakukan diskusi.
Agar pembelajaran dalam menerapkan model pembelajaran konstruktivisme dalam materi

alat indera pada manusia menjadi optimal, seharusnya guru sebagai pelaksana tindakan harus

bisa memberikan motivasi yang tinggi kepada siswa supaya siswa sungguh-sungguh dalam

belajar sains, kemudian pemberian umpan balik juga sangat diperlukan dengan tujuan supaya

siswa paham dimana letak kesalahan dari jawaban yang mereka buat sehingga siswa tahu dan

paham dalam memperbaiki kesalahan tersebut. Dan pada saat pembelajaran guru harus

mampu mendorong siswa untuk mengungkapkan pendapatnya masing masing maupun

menanyakan materi yang belum dimengerti tanpa merasa malu atau takut. Pendekatan

konstruktivisme sangat penting dalam proses pembelajaran karena pelajar digalakkan

membina konsep sendiri dengan menghubungkan perkara yang dipelajari dengan

pengetahuan yang sedia ada pada mereka.

Pada tes siklus I ini terdapat peningkatan hasil belajar dibandingkan dari hasil pre-

tes. Pada tes awal ketuntasan hanya sebesar 45 % (9 siswa) sedangkan pada siklus I sebesar

55 % (11 siswa). Hal ini berarti telah terjadi peningkatan hasil belajar sebesar 10%. Namun

hal ini belum mencapai persyaratan ketuntasan belajar siswa yaitu 70% dari jumlah siswa.

Dengan demikian penelitian ini perlu dilanjutkan ke siklus II yang bertujuan untuk

mengoptimalkan penerapan model pembelajaran konstruktivisme dalam pembelajaran agar

indikator keberhasilan dapat tercapai dengan baik.

4.1.3 Deskripsi Proses Siklus ke - II

1. Perencanaan

Pada tahap perencanaan siklus II ini yang dilakukan peneliti adalah:

a. Merancang dan menyusun kembali RPP serta mengoptimalkan pembelajaran pada

pertemuan tiga dan empat, agar nantinya kesalahan yang telah direfleksi tidak terulang di

siklus II ini, dimana RPP pada siklus pertama terdiri dari 2 kali pertemuan.
b. Lembar observasi sebanyak 2 rangkap yang bertujuan untuk melihat kesesuaian

pelaksanaan tindakan dengan yang telah direncanakan sebelumnya dan untuk melihat

keseriusan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.

c. Tes esay sebanyak 20 soal lengkap dengan kunci jawaban yang nantinya digunakan

sebagai alat ukur pada kegiatan tes siklus II.

2. Pelaksanaan Tindakan

Adapun tindakan yang dilakukan pada siklus II adalah sebagai berikut : Pertemuan

ke - 1

- Guru memberi kesempatan kepada siswa mengemukakan pendapatnya tentang alat indera

pada manusia.

- Guru menjelaskan materi tentang alat indera pada manusia.

- Guru memberi pertanyaan untuk memancing siswa mengemukakan tentang

pengalamannya yang berhubungan dengan dengan materi alat indera pada manusia

- Guru menjelaskan fungsi dan cara alat kerja alat indera pada manusia di dalam kehidupan

sehari-hari.

- Guru meminta siswa memberi contoh manfaat dari fungsi masing-masing alat indera pada

manusia yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

- Guru meminta siswa melakukan gerakan yang dapat membuktikan fungsi alat indera pada

manusia

- Guru meminta siswa memberi contoh cara menjaga fungsi alat inder..

- Guru melakukan contoh cara menghasilkan bunyi dengan cara sederhana.

- Guru meminta siswa melakukan cara memelihara kesehatan alat indera.


- Guru menghubungkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari mengenai alat indera

pada manusia.

- Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya kembali tentang materi

pembelajaran yang baru dikerjakan.

- Guru menyimpulkan pelajaran dan menutup pelajaran

- Guru melakukan evaluasi terhadap pembelajaran.

Pertemuan ke – II

 Guru memberi kesempatan kepada siswa mengemukakan pendapatnya tentang bagian-

bagian alat indera pada manusia

 Guru menjelaskan materi tentang alat indera pada manusia.

 Guru memberi pertanyaan untuk memancing siswa mengemukakan tentang

pengalamannya yang berhubungan dengan dengan materi alat indera pada manusia

 Guru membantu siswa membentuk kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang tiap

kelompok.

 Guru mengkondisikan kelas dan memberi petunjuk dalam pembuktian fungsi masing-

masing alat indera sesuai Lembar Kerja yang sudah dibagi

 Guru memberikan penjelasan dalam mengerjakan lembar kerja.

 Guru meminta siswa berdiskusi untuk mencari dan menyelesaikan masalah yang ada

dalam menyelesaikan tugas yang terdapat pada LKS.

 Guru membahas LKS dengan siswa.

 Guru menghubungkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari mengenai alat indera

pada manusia.

 Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya kembali tentang materi

pembelajaran yang baru dikerjakan.


 Guru melakukan evaluasi terhadap pembelajaran.

Setelah pertemuan 1 dan 2 terlaksana maka peneliti mengadakan tes siklus II dengan

tujuan untuk melihat peningkatan hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Adapun hasil siklus II

dapat dilihat pada lampiran 4.3

Setelah dilakukan pembelajaran pada siklus II ternyata ada 7 siswa yang berhasil

mencapai nilai yang sangat kompeten dengan persentase 35%. Dan siswa yang tidak tuntas

belajar juga menurun menjadi 4 siswa. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan model

pembelajaran konstruktivisme mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Dengan

memperhatikan tabel pada lampiran tersebut maka dapat dilihat bahwa adanya peningkatan

hasil belajar dibandingkan dengan hasil belajar yang diperoleh siswa pada Pre-tes dan siklus

I, pada siklus II 80 % (16 orang) telah mencapai tingkat ketuntasan belajar dengan nilai rata-

rata 8,1. Sedangkan distribusi dari hasil belajar siswa dapat kita lihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.5 Distribusi HasiL Belajar Siswa pada Tes Siklus ke II siswa SDS Gracia

Sustain Kelas IV materi alat idera pada manusia


No. Nilai Jumlah Persentase Keterangan

1. 85 – 100 7 35 % Sangat Kompeten

2. 75 – 84 7 35 % Kompeten
3. 65 – 74 2 10 % Cukup Kompeten

4. < 64 4 20 % Tidak Kompeten

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa siswa yang mencapai nilai ketuntasan 80% dengan

perincian nilai 65-74 (10%), nilai 75-84 (35%), dan nilai 85-100 (35%).

3. Pengamatan

Pelaksanaan pengamatan dilakukan oleh guru kelas IV. Dari hasil pengamatan yang

dilakukan oleh observer, bahwa tindakan yang dilakukan oleh peneliti sudah cukup optimal

pada penerapan pendekatan konstruktivisme dalam proses pembelajaran. Hal ini dapat dilihat

dari instrumen penelitian berupa lembar observasi bagi pelaksana tindakan dan bagi siswa

yang dicantumkan.

Tabel 4.6 Pengamatan Aktivitas Guru dalam Penerapan Pendekatann Konstruktivisme


Pada Materi Alat Indera Pada Manusia
Hasil

No Aspek Yang Diamati Pengamatan

1 2 3 4

1. Guru memberi kesempatan kepada siswa √

mengemukakan pendapatnya

2. Guru Memberi motivasi kepada siswa. √

3. Memberi kebebasan siswa berpikir kreatif tentang √

pengalamannya
4. Memberi kesempatan kepada siswa mencoba √

pengalaman baru

5. Guru memberi pengalaman baru yang sesuai dengan √

gagasan yang dimiliki siswa

6. Guru menciptakan suasana yang kondusif √

7. Mendorong siswa memperoleh kepercayaan diri √

8. Guru menjadi mediator dan melakukan kontrol saat √

siswa membentuk pengetahuannya sendiri.

Jumlah ( % ) 29 ( 90 % )

Pada Siklus II penerapan model pembelajaran konstruktivisme sudah meningkat,

karena hampir setiap aspek pada indikator telah dilakukan dengan baik oleh guru. Dalam

Siklus II ini tingkat keberhasilan model pembelajaran konstruktivisme mendapat skor 29 atau

sekitar 90 %. Dari data yang diperoleh tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan model

pembelajaran konstruktivisme telah berhasil diterapkan dengan baik.

Tabel 4.7 Pengamatan Aktivitas Siswa dalam Penerapan Pendekatan Konstruktivisme


Pada Materi Alat Indera Pada Manusia
Hasil

No. Aktivitas Belajar Siswa Pengamatan

1 2 3 4

1 Memberi salam kepada guru dan berdoa √

2 Dapat menjawab pertanyaan pada apersepsi √

3 Memberi penjelasan secara singkat dan jelas √

4 Membangun pengalaman belajar √


5 Melakukan pengamatan atau penyelidikan √

6 Belajar berkelompok/berdiskusi √

7 Mengkomunikasikan gagasannya di kelompoknya √

8 Meminta bimbingan guru jika diperlukan √

9 Memberikan komentar tentang hasil kerja temannya √

10 Mengerjakan soal yang diberikan guru dengan baik √

Jumlah ( % ) 34 ( 85 % )

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat setelah diterapkan model pembelajaran konstruktivisme

aktivitas guru semakin meningkat begitu juga dengan aktivitas yang dilakukan siswa selama

proses pembelajaran sudah optimal dan mencapai skor 34 dengan persentase 85% .

4. Refleksi

Dari hasil pengamatan tindakan yang dilakukan oleh peneliti, penggunaan model

pembelajaran konstruktivisme dalam pembelajaran sains pada materi alat indera pada

manusia yang dilaksanakan dalam tindakan sudah terlihat lebih baik dari tindakan pada siklus

I hal ini ditandai dengan adanya peningkatan ketuntasan belajar dari seluruh siswa pada

siklus II sebesar 90 % pada pos tes II. Pembelajaran yang dilaksanakan peneliti sudah optimal

dalam menerapkan langkah-langkah model pembelajaran konstruktivisme. Hal ini

ditunjukkan dari lembar observasi yang diisi oleh pengamat sendiri sebagai observer yaitu

guru kelas IV. Dengan demikian pada siklus II ini telah mencapai ketuntasan belajar secara

klasikal. Sehingga tidak perlu melakukan tindakan pembelajaran ke siklus berikutnya.

4.2 Temuan Penelitian


Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, maka ditemukan hal-hal sebagai

berikut :

1. Pada tahap awal observasi masalah yang ditemukan peneliti adalah rendahnya hasil belajar

siswa dalam pembelajaran sains khususnya pada materi alat indera pada manusia, hal ini

disebabkan karena metode pembelajaran yang diterapkan guru kurang efektif dan

pembelajaran cenderung ke konvensional yang mengakibatkan kurang aktifnya siswa

dalam pembelajaran.

2. Nilai hasil belajar pada tahap Pre-tes sebelum diterapkan model pembelajaran

konstruktivisme yang bertujuan untuk mengetahui sejauhmana tingkat pemahaman siswa

terhadap materi alat indera pada manusia masih sangat rendah dengan arti masih banyak

siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar, yaitu jumlah siswa yang berhasil

mencapai 45 % atau sebanyak 9 siswa dari 20 siswa .

3. Pada awalnya siswa kurang paham dalam memahami alat indera pada manusia. Namun,

melalui penggunaan model pembelajaran konstruktivisme dalam pembelajaran oleh

peneliti dalam siklus I telah membuat peningkatan hasil belajar menjadi 55% atau

sebanyak 11 siswa dari 20 siswa.

4. Melalui penggunaan model pembelajaran yang sama dengan siklus I di siklus II yaitu

model pembelajaran konstruktivisme juga ditemukan peningkatan hasil belajar sehingga

jumlah siswa yang mengalami perubahan juga meningkat sebesar 80% atau sebanyak 16

orang dari 20 orang.

4.3 Pembahahasan

Berdasarkan temuan peneliti yang telah diuraikan, pelaksanan pembelajaran pada

pokok bahasan alat indera pada manusia dalam proses pembelajaran menciptakan suasana

aktif bagi siswa. Melalui model pembelajaran konstruktivisme, ternyata siswa dapat lebih

berkonsentrasi dan fokus mengikuti pembelajaran karena siswa dipancing untuk


mengemukakan pendapatnya dan melakukan kegiatan langsung yang secara otomatis

memberi pengalaman langsung pada diri siswa tersebut dan akan dapat meningkatkan

aktivitas siswa baik dari segi kognitif dan psikomotor.

Pelaksanaan pembelajaran oleh guru dengan menerapkan pendekatan

konstruktivisme sudah terlaksana dengan optimal. Dikatakan optimal karena langkah-langkah

penerapan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran sudah terlaksana sepenuhnya

pada tahap tindakan, sehingga hasil belajar siswa meningkat mulai dari hasil Pre-tes, siklus I,

dan siklus II. Pada saat pendekatan konstruktivisme diterapkan siswa lebih aktif dan

bersemangat dalam mengikuti pembelajaran. Selain menambah aktivitas siswa pendekatan

konstruktivisme juga membuat siswa lebih berani tampil di depan kelas untuk melakukan

setiap tindakan-tindakan yang harus dikerjakan sesuai dengan Lembar Kerja Siswa (LKS)

yang dibagikan. Kerjasama siswa juga sangat tercipta di dalam proses pembelajaran dengan

penerapan pendekatan konstruktivisme. Peningkatan Hal tersebut dapat dilihat pada tabel

tingkat ketuntasan hasil belajar siswa mulai dari tinndakan siklus I sampai tindakan siklus ke

II pada daftar lampiran.

Berdasarkan hasil yang diperoleh siswa pada saat mengerjakan tes dapat dilihat

terjadi peningkatan hasil belajar siswa mulai dari Pre-tes yang dilanjutkan dengan Tes Siklus

I dan Tes Siklus II, nilai rata-rata siswa naik dari 60 menjadi 63 yang kemudian meningkat

menjadi 81. untuk lebih lanjut dapat dilihat pada gambar berikut ini.
100

90
81
80

70
63
60
60

50

40

30

20

10

0
TES AWAL SIKLUS I SUKLUS II

Gambar 4.1. Grafik Peningkatan Nilai Rata-rata Siswa mulai Pre-tes, Tes Siklus I dan Tes
Siklus II

Berdasarkan grafik dapat dilihat bahwa dalam proses pembelajaran mulai dari pre-

tes, siklus I dan siklus II menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar siswa. Pada saat Pre-

tes nilai rata-rata siswa 60 kemudian pada saat siklus I meningkat menjadi 63 dan meningkat

pada siklus ke II menjadi 81.

Sedangkan untuk persentase peningkatan hasil belajar siswa mulai dari Pre-tes, siklus I

hingga siklus ke II juga dapat dilihat dari gambar berikut ini.

100%

90%
80%
80%

70%

60% 55%
50% 45%
40%

30%

20%

10%

0%
Tes Awal Siklus I Siklus II
Gambar 4.2. Persentase Peningkatan Hasil Belajar Siswa mulai Pre-tes, Tes Siklus I dan Tes
Siklus II

Ketuntasan belajar siswa secara keseluruhan mengalami peningkatan dari Pre-tes, post

test siklus I hingga post test siklus II. Adapun peningkatannya adalah pada saat Pre-tes

ketuntasan belajar siswa secara keseluruhan 45%, setelah dilakukan tindakan menggunakan

model pembelajaran konstruktivisme ketuntasan belajar siswa secara keseluruhan meningkat

10% dari jumlah ketuntasan awal menjadi 55% pada post test siklus I. Setelah dilakukan

perbaikan pada siklus II ketuntasan belajar siswa secara keseluruhan meningkat 25% dari

nilai post test siklus I menjadi 80% pada post test siklus II.

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran dengan penerapan

pendekatan konstruktivisme dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa di kelas IV

SD Swasta Gracia Sustain Medan.

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, maka diperoleh

kesimpulan bahwa penggunaan model pembelajaran konstruktivisme pada mata pelajaran

IPA dengan memperhatikan unsur-unsur eksperimen dapat meningkatkan aktivitas dan

hasil belajar siswa pada materi alat indera pada manusia di kelas IV SD Swasta Gracia Sustain

Medan tahun ajaran 2014/2015. Hal ini terbukti dari :


1. Dalam penerapan pendekatan konstruktivisme diharapkan mencapai ketuntasan belajar

mencapai 70%. Rata-rata nilai pada saat pretes sebesar 60 meningkat setelah diberikan

tindakan menjadi sebesar 63 pada siklus I dan meningkat menjadi 81 pada siklus II.

2. Belajar dengan pendekatan konstruktivisme adalah belajar dengan menciptakan

pengalaman sendiri, siswa akan belajar dengan lebih banyak aktivitas dari pada jika

materi pelajaran disajikan hanya dengan stimulus pandang atau hanya dengan

stimulus dengar. Pengalaman belajar demikian, terdapat dalam pendekatan

konstruktivisme.

3. Sebelum dilaksanakan tindakan, hasil belajar siswa masih rendah dengan ketuntasan

belajar 45% belum mencapai standar ketuntasan belajar yang telah ditetapkan yaitu

70%. Setelah dilakukan tindakan pada siklus I diperoleh tingkat ketuntasan belajar

siswa yaitu 55% secara keseluruhan yang berarti secara keseluruhan siswa belum

mencapai standar minimal ketuntasan belajar. Hasil tes pada siklus II diperoleh

tingkat ketuntasan belajar siswa sebesar 80% hal ini menunjukkan bahwa setelah

dilakukan siklus II terjadi peningkatan dan siswa secara keseluruhan sudah mencapai

standar ketuntasan belajar di atas 70%.

5.2 Saran

Berdasarkan simpulan di atas, maka disarankan :

1. Agar guru dalam melaksanakan pembelajaran khususnya pembelajaran IPA

menerapkan model pembelajaran konstruktivisme yang meningkatkan keterlibatan

siswa dan hasil belajar siswa.


2. Guru dalam mengajar hendaknya memberi kesempatan yang luas kepada siswa

sehingga siswa merasa lebih dihargai dan diperhatikan. Penghargaan ini akan

meningkatkan perilaku belajar yang semakin giat.

3. Dalam mempersiapkan media pembelajaran, hendaknya disesuaikan dengan

karakteristik dan lingkungan siswa serta melibatkan siswa dalam penggunaan media

tersebut.

4. Perlunya remedial terhadap siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar minimal

meskipun guru telah menerapkan model pembelajaran konstruktivisme pada materi

pembelajaran IPA, khususnya pada materi alat indera pada manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta; Rineka
Cipta.

Aly Abdullah, Rahma. 2008. Ilmu Alamiah Dasar , Jakarta : Bumi Nusantara.

Amri Sofan. 2013. Pengembangan dan Model Pembelajaran Dalam Kurikulum 2013,
Jakarta: Prestasi Pustakarya

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka
Cipta
Daryanto. 2010.Belajar dan Mengajar, Bandung : Yrama Widya.

Joyce, Bruce, dkk. 2009. Models Of Teaching: Model-model Pengajaran (terjemahan),


Yogyakarta : Pustaka Belajar.

Kunandar. 2007. Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan


(KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru,
Jakarta: Rajawali Pers.

Hasan M. 2008. http://www.pdfreference.com/penerapan-model-pembelajaran-


konstruktivisme. Diakses tanggal 08 Februari 2014

Muhfida. 2011. http://blog.muhfida.com/konstruktivisme-dalam-pembelajaran. Diakses


tanggal 08 Maret 2014.

Nashar. 2004. Peranan Motivasi dan Kemampuan Awal Dalam Kegiatan Pembelajaran,
Jakarta : Delia Pres.

Nasution. 2006. Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta : Bumi Aksara.

Pribadi Benny. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran, Jakarta : Dian Rakyat.

Ramadhan Tarmizi. 2008 .http://tarmizi.wordpress.com/2008/11/09/ perbuatan dan-hasil-


belajar/. Diakses tanggal 03 Februari 2014

Rusman. 2010. Model-ModelPembelajaran: Mengembangkan Propesionalisme Guru, Jakarta


: Rajawali Pers.

Sardiman. 2009. Interaksi dan motivasi Belajar Mengajar, Jakarta : Rajawali.

Subadrah Nair, Malar a/p Muthiah.2005. Penggunaan Model Konstruktivisme Lima Fasa
Needham Dalam Pembelajaran Sejarah.
http://web.usm.my/education/publication/JPPSubadrah%20%2821-42%29B.pdf.
Diakses 08 Maret 2014.

Sudjana Nana. 2009. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung : Remaja Rosda
Karya.

Sulaeman. 2007. Saya Ingin Pintar Ilmu Pengetahuan Alam.Bandung : Grafindo.

Syaiful Bahri Djamarah, Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar, Jakarta:Rineka
Cipta.

Wahyu Sukartiningsih. 2005. Peningkatan Kemampuan Membaca dan menulis permulaan


melaluipembelajaran konstruktivisme.
www.balitbangdasumsel.net/data/download/20100414124800.pdf.
Diakses tanggal 08 Maret 2014
Wina Sanjaya. 2009. Strategi Pembelajaran : Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
Jakarta : Kencana.

Zainal Aqib, dkk. 2010. Penelitian Tindakan Kelas, Bandung : Yrama Widya.

Anda mungkin juga menyukai