Anda di halaman 1dari 5

PENJELASAN UMUM TENTANG PENERAPAN KONSEP DEWA-RAJA PADA

MASA MAJAPAHIT
Oleh: Ghilman Assilmi (NPM 1306426040)

Sebagai salah satu kerajaan yang bersifat agraris, Majapahit berkembang tidak
terlepas dari latar belakang agama Hindu-Buddha yang sangat dekat dengan kalangan
istana. Sehingga penataan kerajaan ini sangatlah erat dengan penggunaan ajaran-ajaran
agama Hindu-Buddha yang selanjutnya disesuaikan berdasarkan kondisi setempat.
Menurut ajaran Brahma, jagad raya terdiri dari Jambudwipa, sebuah benua berbentuk
lingkaran dan terletak di pusat. Jambudwipa dikelilingi oleh tujuh buah samudra
berbentuk cincin, dan tujuh benua lain yang juga berbentuk cincin. Di luar samudera
terakhir ditutup dengan barisan pegunungan yang sangat besar. Di tengah-tengah
Jambudwipa berdiri Gunung Meru, gunung kosmis yang dikelilingi oleh matahari dan
bintang-bintang. Di puncak Gunung Meru terdapat kota dewa-dewa yang dikelilingi
oleh delapan dewa penjaga mata angin atau Dewa Lokapala (Geldern, 1972: 2-4).
Sedangkan menurut ajaran Buddha, pusat jagat raya ini terletak di Gunung Meru.
Gunung ini dikelilingi oleh tujuh samudera yang berbentuk seperti cincin. Di luar
barisan pegunungan terdapat lautan yang di dalamnya terdapat empat buah benua yang
terletak di empat penjuru mata angin benua yang terletak di selatan Gunung Meru
adalah Jambudwipa, sebagai tempat tinggal manusia (Geldern, 1972: 5).
Paparan di atas jelas memperlihatkan adanya persamaan antara ajaran Brahma
dengan ajaran Buddha yang terkait konsep jagat raya. Persamaan itu bisa dilihat dari
bentuknya yang sama-sama melingkar dengan susunan wilayah yang memiliki pusat
Gunung Meru. Dengan demikian konsep jagat raya tersebut memiliki makna simbolis
yang sama dari kedua agama tersebut sehingga konsep inilah yang digunakan oleh raja-
raja masa kerajaan kuna di Indonesia, khususnya pada masa Majapahit. Pusat kerajaan
bukan saja sebagai pusat politik dan kebudayaan saja, melainkan dianggap pula sebagai
pusat magis (Santoso, 2001: 110).
Menganut ajaran Hindu-Buddha, Majapahit sebagai negara kosmis, raja
dianggap sebagai titisan dewa atau keturunan para dewa. Hal ini sesuai dengan konsepsi
yang mengatakan bahwa raja harus dapat menjaga keseimbangan antara mikrokosmos
dan makrokosmos. Sehubungan dengan hal tersebut, maka raja-raja pada masa itu selalu
menggunakan nama gelar atau abhisekanama yang sesuai dengan agama serta tokoh

1
yang diperdewakannya. Bisa saja pemakaian nama dewa sebagai nama gelar ini tidak
asal pakai, melainkan disesuaikan dengan situasi politik yang terjadi pada masa ketika
raja itu berkuasa. Banyak para raja-raja Majapahit yang lebih sering menggunakan nama
titisan dari dewa Siwa dan Wisnu sebagai abhisekanamanya.
Pemakaian nama Siwa sangat wajar sebagai nama gelar raja dikarenakan di
dalam konsep agama dewa Siwa merupakan penguasa Gunung Meru, sering pula
disebut dengan istilah Bathara Girimātha (raja gunung), sehingga seorang raja
menganggap dirinya titisan atau pun keturunan Siwa agar dimaksudkan sebagai
penguasa jagat kecil di dunia. Begitupun penggunaan Wisnu berkaitan dengan sifat
Wisnu sebagai dewa pemelihara dan penyelamat dunia. Para raja menggunakannya
untuk mempertegas atau melegitimasi dirinya bahwa raja tersebut dianggap dapat
menyelamatkan dan mmembuat ketentraman di dunia (Santoso, 2001: 111-112).
Konsep yang dianut oleh raja-raja pada masa jawa kuno ini yang menganggap
atau melegitimasi dirinya sebagai titisan dewa atau keturuanan para dewa dinamakan
dengan dewa-raja. Konsep dewa-raja ini sudah muncul jauh sebelum kerajaan
Majapahit. Banyak sumber-sumber tertulis yang menyebutkan nama gelar raja dikaitkan
dengan seorang atau lebih dewa. Di dalam prasasti Wanua Tengah III 1008 Masehi, raja
Balitung menggunakan nama gelar Rudra (Siwa dalam bentuk demonis) dalam nama
gelarnya (Kusen, 1989: 122). Demikian pula Airlangga yang menganggap dirinya
penjelmaan dewa Wisnu, karena telah berhasil menyelamatkan kerajaan dari pralaya.
Berdasarkan bukti tinggalan arkeologis yang terdapat di pemandian Belahan, berupa
Wisnu naik Garuda, menunjukkan bahwa dirinya adalah penjelmaan dari dewa Wisnu.
Demikian pula dengan penggunana garudalañcana pada prasasti-prasasti yang
dikeluarkannya (Santosa, 2001: 109).
Untuk memperlihatkan adanya konsep dewa-raja pada masa Kerajaan Majapahit
marilah kita tengok sebagian besar raja-raja Majapahit yang dalam masa kekuasaannya
memperlihatkan suatu legitimasi lewat penamaan gelar raja yang dihubungkan dengan
satu atau lebih dewa yang menjadi titisan atau pun penjelmaannya.
1. Raden Wijaya
Raden Wijaya merupakan raja pertama Kerajaan Majapahit yang
memerintah dalam kurun waktu antara 1293 – 1309 M. Menggunakan gelar
Kṛtarājasa Jayawardhana dan selalu menggunakan nama dan lañcana Buddha, Siwa,

2
dan Siwa-Wisnu secara bergantian. Dalam Negarakertāgama XLIV: 3 disebutkan
bahwa Raden Wijaya ketika mengalahkan Jayakatwang bagaikan dewa Siwa yang
menghancurkan dunia. Sedangkan sebagai Wisnu, tampak dari pendharmaan
Kṛtarājasa di candi Simping, yang digambarkan dalam arca perwujudan berupa
lancana Siwa-Wisnu atau Hari-Hara. Sedangkan sebagai penganut Buddha
Kṛtarājasa Jayawardhana didharmakan di Antahpura sebagai Jina (Santiko, 2005:
91).

2. Jayanagara
Raja kedua Majapahit ini menunjukkan adanya sifat Wisnu dan Buddha. Hal
ini ditunjukkan dari beberapa prasasti dan naskah yang menyebut Jayanagara
merupakan titisan dewa Wisnu, sehingga dalam prasastinya menggunakan lancana
minadwaja. Penggunaan simbol ini ada kaitannya dengan situasi politik pada saat
Jayanagara memerintah, yakni adanya pemberontakan terhadap istana. Sehingga
penggunaan simbol Wisnu dapat menjadikan Jayanagara sebagai penyelamat dunia
dari kehancuran. Dalam prasasti Pamintihan 1246 Saka, Jayanagara disebut sebagai
jelmaan dewa Wisnu, disebut sebagai penghancur kejahatan, pelindung perairan
kerajaan dan samudra. Dalam Negarakertāgama setelah meninggal Jayanagara
didharmakan di Silapetak dan Bubat sebagai Wisnu, dan di Sukalila sebagai Buddha
(Santosa, 2001: 114-115).

3. Tribhuwanottunggadewî
Pengganti raja Jayanagara, yaitu Tribhuwanottunggadewî merupakan adik
Jayanagara. Raja wanita ini masih mengaku sebagai jelmaan dewa Wisnu, dan
disebut pula sebagai pemeluk agama Buddha yang taat. Prasasti Berumbung 1251
Saka menyebutkan bahwa Tribhuwanottunggadewî merupakaan jelmaan Wisnu
sekaligus umat Buddha. Tribhuwanottunggadewî menggunakan nama gelar
Jayawisnuwarddhani yang taat kepada ajaran Buddha
(bodhapaksabuddharmargarahamyo). Pemakaian gelar yang berhubungan dengan
Wisnu sangat dimungkinkan dikarenakan situasi perpolitikan pada masa itu sangat
dipenuhi banyak pemberontakkan. Setelah meninggal, Tribhuwanottunggadewî
didharmakan di Panggih dengan nama Pāntarapurwa (Santosa, 2001: 116).

3
4. Hayam Wuruk
Mengenai keterkaitan raja Hayam Wuruk terhadap suatu agama bisa
dilihat dengan banyaknya sumber tertulis yang menjelaskannya. Dalam
Negarakertāgama yang disusun pada masa pemerintahannya, naskah dibuka
dengan pemujaan bhatara Siva-Buddha. Selanjutnya, Prapanca sebagai
penggugah Negarakertāgama melukiskan Hayam Wuruk seperti raja gunung
(Siwa) yang memberikan perlindungan kepada seluruh rakyatnay, termasuk
golongan agamawan. Secara sepintas terlihat bahwa Prapanca lewat gubahannya
tersebut ingin menggambarkan Hayam Wuruk sebagai penjelmaan dewa Siwa di
dunia, namun dalam perjalanannya Hayam Wuruk mengunjungi tempat-tempat
suci, tidak hanya yang bersifat Siwa, melainkan juga tempat-tempat suci yang
bersifat Buddha dan karesyan. Dengan begitu perhatiannya Hayam Wuruk
terhadap kaum agamawan sehingga banyak bangunan-bangunan suci, khususnya
berupa candi yang dibangun pada masa pemerintahannya. Perhatian ini
menunjukkan bahwa raja Hayam Wuruk tidak hanya memikirkan hal-hal yang
bersifat duniawi saja, tetapi juga bersifta spiritual disesuaikan dengan sifat
kosmis yang dijalankannya. Hal ini menunjukkan bahwa konsekuensi dari
peranan raja yang bersifat kosmis mencerminkan penjelmaan dewa, keturunan
dewa, atau bahkan kedua-duanya (Santosa, 2001: 118-120).

Berdasarkan hal-hal yang telah ditunjukkan oleh raja-raja Majapahit tersebut,


seorang raja hendaknya menunjukkan sifat-sifat kedewaannya. Salah satu cara yang
dimanfaatkan seorang raja bahwa dirinya merupakan penjelmaan seorang dewa adalah
dengan cara menambahkan unsur dewa pada nama gelarnya. Cara seperti ini merupakan
cara yang umum digunakan oleh raja-raja pada zaman kuna, khususnya masa Majapahit.
Selain itu pula, adanya pendharmaan tokoh-tokoh atau raja-raja mencerminkan pula
sifat kedewaannya. Perhatian terhadap bangunan-bangunan keagamaan tempat
pendharmaan para penguasa terdahulu pun dapat menambah keyakinan tentang
munculnya konsep dewa-raja ini.

4
DAFTAR PUSTAKA

Geldern, R. von Heine. Conceptions of States and Kingship in Southeast Asia


terjemahan Deliar Noor, Konsepsi tentang Negara dan Kedudukan Raja di
Asia Tenggara. Jakarta: CV Rajawali, 1972.
Kusen. Faktor-faktor penyebab terjadinya Perubahan Status Sawah di Wanua Tengah
dalam masa Pemerintahan Raja-raja Mataram Kuna abad VIII-X. Yogyakarta:
Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1989.
Poesponegoro, Marwati Djoened (ed.). Sejarah Nasional Indonesia II, cetakan VIII.
Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
Santiko, Hariani. “Penelitian Awal Agama Hindu-Siwa pada Masa Majapahit” dalam
Hari-hara Kumpulan Tulisan tentang Agama Veda dan Hindu di Indonesia
Abad IV-XVI Masehi hal. 87-109. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia, 2005a.
Santosa, HB. Hery. Fungsi Agama dalam Pemerintahan pada Masa Kejayaan
Majapahit. Tesis Program Program Studi Arkeologi. Depok: Program
Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2001.
Soekmono, R. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius,
1981.

Anda mungkin juga menyukai