Anda di halaman 1dari 24

TUGAS MODUL GANGGUAN MATA

Dosen:
dr. Samuel Malingkas, Sp.M(K)

Disusun Oleh:

Septyarini Mesabulawan 210111010096

Elisabeth Agita Utami Hasibuan 210111010097


Lady Natasha Adelaide 210111010098
Lukman Fajar Setyawan 210111010099
Monalisa 210111010100
Richard Leonard Santoso 210111010101
Wahyu Kusuma Ajhie 210111010102
Yohana Denmei Ester Purba 210111010103
Benedict Christian Sitanggang 210111010104
Christian Hamonangan Silalahi 210111010105

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
SEMESTER 5 T.A. 2023/2024
SOAL :
Jelaskan mengenai penyakit Imunologi pada mata !

1. SKLERITIS

Definisi
Skleritis adalah peradangan sklera (lapisan fibrosa mata yang mendasari konjungtiva dan
episklera). Hal ini ditandai dengan edema dan infiltrasi seluler pada seluruh ketebalan sklera.
Skleritis terkait dengan penyakit autoimun sistemik yang mendasarinya. Skleritis
diklasifikasikan sebagai anterior (difus, nodular, atau nekrotikan dengan atau tanpa
peradangan) dan posterior, yang hanya mencakup 2-7% kasus. Skleritis posterior
didefinisikan sebagai inflamasi sklera posterior ora serrata, yang sering terjadi berhubungan
dengan penyakit inflamasi anterior.

Manifestasi
Gambaran klinis skleritis umumnya dirasakan adanya rasa nyeri berat yang dapat
menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Rasa nyeri ini terkadang dapat membangunkan dari tidur
akibat sakitnya yang sering kambuh. Pergerakan bola mata dan penekanan pada bulbus okuli
juga dapat memperparah rasa nyeri tersebut. Rasa nyeri yang berat pada skleritis dapat
dibedakan dari rasa nyeri ringan yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering
dideskripsikan pasien sebagai sensasi benda asing di dalam mata. Selain itu terdapat pula
mata merah, berair, fotofobia, dan tanpa penurunan tajam penglihatan (Easty et al,1985)

Patofisiologi
Skleritis non-infeksi adalah kondisi yang berkaitan dengan kekebalan tubuh yang sering
melibatkan pembuluh darah kecil pada sclera. Mekanisme patofisiologis bervariasi
tergantung pada jenis skleritis dan penyakit sistemik yang terkait. Umumnya, tahap awal
ditandai dengan infiltrasi sel-sel inflamasi di sclera dan episclera, diantara sitokin
proinflamasi dan molekul adesi interseluler
Subtipe anterior difus dari skleritis dikaitkan dengan respon nongranulomatous yang
melibatkan makrofag, limfosit, dan sel plasma, yang sering dianggap sebagai distribusi
perivaskular.
Pada skleritis nodular, dan khususnya pada skleritis nekrotikan, respons inflamasi lebih
signifikan dan spesifik, yang melibatkan kerusakan langsung yang dimediasi oleh antibodi
(hipersensitivitas tipe II), deposisi kompleks imun yang memicu reaksi hipersensitivitas tipe
III, atau hipersensitivitas tertunda (tipe IV). respon terutama ditandai dengan peradangan
granulomatosa dari sclera. Peradangan dapat berlanjut menjadi respon vaskulitis, berpuncak
pada nekrosis fibrinoid pada dinding pembuluh darah dan akhirnya terjadi nekrosis pada
sklera, episklera, konjungtiva, dan kornea. Sitokin proinflamasi dan metalloproteinase yang
teraktivasi dapat berperan dalam kerusakan sklera dan kornea lokal

Pemeriksaan

Laboratorium

● Antibodi sitoplasma antineutrofil (ANCA) – spesifik untuk granulomatosis dengan


poliangiitis (granulomatosis Wegener)
● Antibodi Antinuklear (ANA) – menunjukkan lupus eritematosus sistemik dan kondisi
autoimun lainnya
● Hitung darah lengkap(CBC) dengan diferensial - mengidentifikasi proses infeksi atau
inflamasi
● Protein C-reaktif – meningkat dalam kondisi inflamasi
● ESR – menunjukkan giant cell arteritis, proses peradangan atau infeksi
● HLA-B27 – lebih berguna dalam kasus uveitis; hubungan yang jarang dengan skleritis
● Serologi Lyme – menyingkiran diagnosis Penyakit Lyme, muncul dengan skleritis
anterior difus berulang
● Faktor reumatoid – untuk rheumatoid arthritis
● Enzim pengubah angiotensin (ACE) - sugestif sarkoidosis
● Lisozim serum – sugestif sarkoidosis
● Rapid plasma reagin (RPR) – sugestif untuk sifilis
● Fluorescent treponemal antibody absorption test (FTA-ABS) – sugestif untuk sifilis

Pencitraan

● Rontgen Dada – singkirkan sarkoidosis


● B-scan – menilai skleritis posterior
● MRI – dapat digunakan jika B-scan tidak meyakinkan
● CT – dapat digunakan jika MRI tidak diindikasikan (skleritis posterior)
● Ultrasound biomicroscopy (UBM) – dapat digunakan untuk membedakan episkleritis
dari skleritis
● Optical coherence tomography (OCT) – dapat menampilkan sklera yang menebal
pada segmen anterior OCT dan jaringan koroid yang menebal
● Anterior segment fluorescein and indocyanine green angiography (ICGA) – berguna
untuk memvisualisasikan nekrosis

Tatalaksana (farmakologi)

Infeksi Anterior (Pengobatan disesuaikan dengan penyebab infeksi)

Perawatan lini pertama

● Obat tetes mata kortikosteroid topikal


○ Dapat digunakan dalam kasus ringan; beberapa melaporkan keberhasilan yang
sangat terbatas
○ Prednisolon asetat 1,0% atau difluprednate 0,05% empat kali sehari adalah
pilihan
● NSAID oral
○ Bisa dimulai dengan satu agen dan beralih ke agen lain jika tidak efektif
○ Indometasin, biasa digunakan, 50 mg, 3 kali sehari
○ Ibuprofen 600 mg, 3 kali sehari
○ Naproxen 500 mg, 2 kali sehari

Pengobatan lini kedua

● Kortikosteroid oral
○ Diresepkan ketika pengobatan NSAID oral gagal
○ Prednison oral 1 mg/kg/hari; 60 sampai 80 mg per hari
○ Dosis dilanjutkan sampai satu bulan setelah resolusi skleritis, kemudian
diturunkan secara bertahap
● Injeksi kortikosteroid subkonjungtiva
○ Dapat digunakan bila steroid dikontraindikasikan
○ Penggunaan kontroversial dengan penelitian sebelumnya tentang nekrosis /
perforasi scleral
○ Laporan yang lebih baru menunjukkan peningkatan keamanan dan kemanjuran
suntikan

Perawatan lini ketiga

● Agen imunosupresif (hemat steroid)


○ Dicadangkan untuk kasus skleritis yang lebih parah, dengan kegagalan
pengobatan steroid oral atau kekhawatiran akan efek samping dengan
penggunaan steroid oral jangka panjang
○ Methotrexate adalah agen yang paling sering diresepkan; dosis awal 0,15
mg/kg per minggu dalam kombinasi dengan suplemen asam folat
○ Agen lain termasuk azathioprine, mycophenolate, dan cyclophosphamide

Perawatan lini keempat

● Biologis
○ Penelitian yang sedang berlangsung dengan penggunaan obat biologis seperti
infliximab dan rituximab telah terbukti memiliki respons pengobatan yang
positif

Infeksi Posterior (Membutuhkan perawatan intensif dan segera)

Perawatan lini pertama

● NSAID oral
○ Biasa digunakan: indometasin, naproxen, ibuprofen

Pengobatan lini kedua

● Kortikosteroid oral
- Diresepkan ketika pengobatan NSAID oral gagal

- Prednison oral 1 mg/kg/hari; 60 sampai 80 mg per hari

Perawatan lini ketiga

● Agen imunosupresif / antimetabolit


○ Dicadangkan untuk kasus skleritis parah dan kegagalan pengobatan steroid
oral dosis tinggi setelah 1 bulan
○ Agen yang biasa diresepkan termasuk methotrexate, azathioprine, dan
mycophenolate

Perawatan lini keempat

● Biologis
○ Infliximab dan rituximab

Tatalaksana non-farmakologis

● Penggunaan lensa kontak perban (BCL) atau lensa kontak terapeutik (TCL)
● Pembedahan jika penipisan sklera parah untuk mencegah rupture pada mata
2. EPISKLERITIS

Definisi
Episkleritis adalah peradangan episklera unilateral atau bilateral akut lapisan tipis jaringan
antara konjungtiva dan sklera. Episklera terdiri dari jaringan ikat longgar dengan suplai
vaskularnya berasal dari arteri ciliary anterior, yang merupakan cabang dari arteri ophthalmic.
Episkleritis dapat menyebar, sektoral atau nodular, dan paling sering idiopatik tetapi juga
sering dikaitkan dengan penyakit pembuluh darah kolagen sistemik, penyakit autoimun, dan
bahkan beberapa infeksi.

Manifestasi
Hiperemia dari pembuluh episklera yang melebar di satu atau lebih kuadran dari satu atau
kedua mata. (Keterlibatan bilateral menunjukkan penyakit sistemik yang mendasarinya).
Hiperemia pucat dengan vasokonstriktor (misalnya usus. fenilefrin 2,5%)
Episkleritis sederhana (80%)

● kemerahan sektoral atau difus


● Pembuluh episklera yang melebar mengikuti pola memancar yang teratur dan
sebagian besar tidak bergerak, tidak seperti pembuluh konjungtiva di atasnya yang
lebih halus yang bergerak bebas dengan konjungtiva.

Episkleritis nodular (20%)

● nodul (elevasi ringan konjungtiva) dengan injeksi


● dalam kebanyakan kasus, nodul dalam aperture palpebral
● pembuluh episklera yang melebar dapat digerakkan saat lesi terangkat
Biasanya tidak ada reaksi ruang anterior
Biasanya tidak ada keterlibatan konjungtiva kornea atau palpebral
Tidak berpengaruh pada ketajaman visual

Patofisiologi
Patofisiologi episkleritis adalah peradangan non-granulomatosa pada jaringan pembuluh
darah episklera.Proses inflamasi akut ini melibatkan aktivasi sel imun residen, termasuk
limfosit dan makrofag. Setelah diaktifkan, mereka melepaskan mediator inflamasi yang
menyebabkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, dan migrasi lebih
banyak sel darah putih dan makrofag. Prosesnya terbatas dan umumnya berlangsung antara 2
dan 21 hari.

Pemeriksaan
● Teteskan 1 tetes fenilefrin 2,5%, kemerahan sebagian besar memucat sebagai respons.
● Tidak ada pengujian laboratorium yang diindikasikan untuk episode pertama. Jika ada
episode yang sering atau memburuk, pertimbangkan pengujian serupa dengan
skleritis:
Antibodi antinuklear (ANA), enzim pengubah angiotensin (ACE), lisozim, rontgen
dada, antibodi sitoplasma antineutrofil (ANCA), faktor reumatoid, HLA-B27, asam
urat, profil metabolik dasar (BMP), reagin plasma cepat ( RPR), fluoresen treponemal
antibodi penyerapan (FTA-ABS), QuantiFERON, atau turunan protein plasma (PPD)

Tatalaksana
Non farmakologis
Biasanya sembuh sendiri dalam 7-10 hari; bentuk nodular dapat bertahan lebih lama
Kepastian: kondisi umumnya tidak berkembang menjadi gangguan mata yang lebih serius
Kompres dingin
Anjurkan pasien untuk kembali/mencari bantuan lebih lanjut jika gejala menetap
(GRADE*: Tingkat bukti=rendah, Kekuatan rekomendasi=kuat)

Farmakologis
Kasus ringan: tidak ada pengobatan khusus
Jika tidak nyaman: air mata buatan seperlunya selama 1-2 minggu
(GRADE*: Tingkat bukti=rendah, Kekuatan rekomendasi=kuat)

Bukti tidak konsisten untuk manfaat NSAID topikal (penggunaan di luar lisensi)
(GRADE*: Tingkat bukti=sedang, Kekuatan rekomendasi=lemah)

Kasus yang lebih parah (termasuk tipe nodular) mungkin memerlukan steroid topikal ringan
misalnya fluorometholone atau loteprednol selama 1-2 minggu. Pengukuran awal TIO harus
dilakukan sebelum memulai terapi steroid
(GRADE *: Tingkat bukti = rendah, Kekuatan rekomendasi = lemah)

Kasus yang parah mungkin mendapat manfaat dari pengobatan antiinflamasi nonsteroid
sistemik, misalnya flurbiprofen 100mg atau naproxen 500mg
(GRADE*: Tingkat bukti=sedang, Kekuatan rekomendasi=lemah)

Pasien NB yang menggunakan steroid topikal harus diperiksa ulang setelah 7-10 hari
(termasuk pengukuran TIO berulang) (lihat Pedoman Manajemen Klinis tentang OHT dan
Glaukoma terkait Steroid )
Sebagian besar kasus episkleritis bersifat ringan, sementara, dan akan sembuh tanpa
intervensi dalam 2 hingga 21 hari. Perawatan suportif dengan air mata buatan yang
didinginkan setidaknya empat kali sehari adalah rekomendasi umum. Beberapa pasien
memerlukan intervensi medis tergantung pada tingkat keparahan gejala mereka. Untuk pasien
yang memerlukan obat resep, kortikosteroid topikal ringan seperti fluorometholone 0,1% atau
loteprednol etabonate 0,5% dapat diresepkan empat kali sehari selama 1 sampai 2 minggu
kemudian dikurangi dosisnya. Meskipun risiko respon steroid yang menyebabkan hipertensi
okular jarang terjadi pada steroid ringan ini, pasien harus mengikuti 1 sampai 2 minggu
setelah memulai pengobatan untuk memantau tekanan intraokular dan mengevaluasi resolusi
episkleritis. Jika peradangan episklera tidak merespons fluorometholone 0. 1% atau
loteprednol etabonate 0,5%, maka dokter mungkin perlu meresepkan prednisolon asetat 1%
empat kali sehari. Ini adalah kortikosteroid yang lebih kuat dengan efek antiinflamasi yang
lebih besar tetapi juga memiliki risiko hipertensi okular yang lebih tinggi. Secara umum,
peradangan yang terkait dengan episkleritis tidak cukup parah untuk menjamin penggunaan
difluprednat 0,05% atau steroid oral. Steroid topikal juga dapat menyebabkan katarak
subkapsular posterior dan meningkatkan kerentanan pasien terhadap infeksi; oleh karena itu,
mereka perlu digunakan dengan bijaksana. peradangan yang terkait dengan episkleritis tidak
cukup parah untuk menjamin penggunaan difluprednat 0,05% atau steroid oral. Steroid
topikal juga dapat menyebabkan katarak subkapsular posterior dan meningkatkan kerentanan
pasien terhadap infeksi; oleh karena itu, mereka perlu digunakan dengan bijaksana.
peradangan yang terkait dengan episkleritis tidak cukup parah untuk menjamin penggunaan
difluprednat 0,05% atau steroid oral. Steroid topikal juga dapat menyebabkan katarak
subkapsular posterior dan meningkatkan kerentanan pasien terhadap infeksi; oleh karena itu,
mereka perlu digunakan dengan bijaksana.

NSAID oral seperti ibuprofen atau naproxen dapat digunakan sebagai alternatif steroid
topikal atau jika steroid topikal tidak cukup mengatasi peradangan. Dosis untuk ibuprofen
adalah 200 hingga 600mg 3 hingga 4 kali per hari, dan dosis naproxen adalah 250 hingga 500
mg dua kali per hari hingga dua minggu. NSAID oral harus digunakan dengan hati-hati
karena risiko tukak lambung dan harus diresepkan dengan antasida seperti omeprazole 20 mg
setiap hari atau ranitidin 150 mg dua kali sehari.

NSAID topikal seperti diklofenak 0,1% dan ketorolac 0,5% penggunaannya terbatas,
tetapi beberapa dokter juga meresepkan obat ini sebagai alternatif steroid.NSAID topikal
dapat mengurangi nyeri ringan dan pembengkakan yang terkait dengan episkleritis tanpa
memengaruhi tekanan intraokular. Beberapa bentuk generik diklofenak 0,1% yang lebih lama
dikaitkan dengan lelehan kornea, dan ketorolac 0,5% diketahui menyebabkan rasa perih dan
terbakar yang signifikan saat berangsur-angsur. Tanpa efek signifikan pada perjalanan
penyakit, manfaat NSAID topikal tidak melebihi risiko dan kerugiannya.
3. UVEITIS ANTERIOR

Definisi
Uveitis anterior adalah terjadi peradangan pada bagian anterior uvea. Bagian anterior
uvea adalah iris yang mengelilingi pupil dan badan ciliary yang mensintesis aqueous humor,
cairan yang mengisi bagian depan mata. Sel-sel inflamasi pada uveitis anterior dapat terlihat
di ruang anterior (iritis), dan kadang-kadang vitreous anterior (di belakang lensa, pada
iridosiklitis).

Manifestasi
● Gejala: mata merah, nyeri
● Tanda: terdapat anterior chamber cell dan flare, sinekia posterior(iris tampak
melekat pada lensa mata), keratic precipitates (agregat seluler pada endotel
kornea, biasanya terdiri dari sel epiteloid, limfosit, dan sel
polimorfonuklear)Hipopion,nodul iris,miosis pupil, dan pita keratopati
Patofisiologi
Patofisiologi uveitis secara umum tidak diketahui. Terdapat hipotesis bahwa
trauma pada mata dapat menyebabkan cedera sel atau kematian yang menyebabkan
pelepasan sitokin inflamasi yang menyebabkan uveitis pasca trauma. Uveitis yang
disebabkan oleh penyakit peradangan diperkirakan disebabkan oleh mimikri
molekuler, di mana agen infeksi bereaksi silang dengan antigen spesifik okular.
Peradangan yang mengancam penglihatan dimediasi oleh sel Th1 CD4. Biasanya,
hanya limfosit aktif yang diizinkan melewati sawar darah-retina, sehingga
menurunkan sensitisasi sel T naif terhadap protein okular. Para peneliti telah
mengusulkan ada mimikri molekuler antara peptida S-Ag retina dan peptida dari
antigen HLA-B terkait penyakit, yang mengarah pada penargetan protein okular dan
respons inflamasi.

Pemeriksaan

Pemeriksaan utama adalah pemeriksaan dengan slit-lamp untuk uveitis


anterior. Kemudian, untuk melakukan pemeriksaan tajam penglihatan dengan
menggunakan snellen chart. Lalu, mengukur tekanan bola mata guna menyingkirkan
kemungkinan glaukoma. Sementara itu, pemeriksaan pupil dengan cahaya bisa
menemukan fotofobia. Pada uveitis anterior, pemeriksaan slit-lamp mungkin
menunjukkan injeksi perilimbus dan presipitat keratik. Presipitat keratik merupakan
sel darah putih di endotelium kornea yang merupakan hallmark kasus uveitis.
Kemungkinan dapat ditemukan edema kornea, hypopyon di bilik anterior mata, dan
flares di aqueous. Hypopyon yang terlihat di bilik anterior mata dapat diberikan nilai
sebagai berikut:
● Tidak ada: 0
● Samar, hanya sedikit terdeteksi: 1+
● Moderat, detail lensa dan iris jelas: 2+
● Moderat, detail lensa dan iris kabur: 3+
● Intens, ada deposit fibrin dan koagulasi aqueous: 4+

Untuk memastikan diagnosis, dapat melakukan pemeriksaan lanjutan berupa:


● Tes penglihatan, untuk menilai ketajaman penglihatan dan melihat
respons pupil terhadap cahaya.
● Tonometri, untuk mengukur tekanan dalam bola mata.
● Pemeriksaan slit-lamp, untuk melihat adanya sel-sel peradangan di
bagian depan mata.
● Funduskopi, untuk memeriksa kondisi bagian belakang mata.
● Tes darah, untuk mendeteksi adanya peradangan di iris dan badan
siliriasis mata.
● Pemindaian dengan CT scan atau MRI, untuk melihat lokasi atau
menilai tingkat keparahan peradangan.
● Analisis cairan mata, untuk menilai tingkat keparahan peradangan.
● Angiografi mata, untuk mendeteksi sel-sel peradangan di dalam sistem
pembuluh darah mata.
● Optical coherence tomography, untuk mengukur ketebalan dan
mendeteksi sel-sel peradangan di retina dan koroid.

Tatalaksana (farmakologi)

Adapun beberapa jenis obat yang dapat digunakan untuk mengobati uveitis:

● Kortikosteroid

Kortikosteroid diresepkan untuk mengurangi peradangan dan mencegah perlengketan


mata.

● Antibiotik atau antivirus

Pada uveitis yang disebabkan oleh infeksi, dapat menggunakan obat antibiotik atau
antivirus untuk mengendalikannya.

● Obat imunosupresif

Obat imunosupresif umumnya diberikan ketika uveitis menyerang kedua mata,


pengobatan dengan kostikosteroid tidak efektif, atau uveitis makin parah dan pasien
terancam mengalami kebutaan.

Tatalaksana non-farmakologis
Operasi dilakukan jika gejala yang muncul sudah cukup parah atau
penanganan dengan obat tidak efektif. Beberapa prosedur operasi yang dapat
dilakukan adalah:

● Vitrektomi, yaitu operasi bedah mata untuk mengambil cairan vitreus di mata.
● Penanaman alat pelepas obat, yaitu operasi untuk menanam alat khusus yang
berfungsi menyalurkan obat kortikosteroid secara perlahan ke dalam mata.
4. UVEITIS INTERMEDIET

Definisi
Uveitis intermediet adalah penyakit kronis yang kambuh dengan perlahan di mana
vitreus merupakan tempat utama peradangan. Uveitis intermediet mencakup hal berikut: pars
planitis, siklitis posterior, dan hialitis. Uveitis intermediet dapat bersifat idiopatik atau terkait
dengan penyakit sistemik. Pars planitis (PP) adalah istilah yang digunakan untuk subset dari
uveitis intermediet di mana terjadi snowbanking dan/atau pembentukan snowball, tetapi
hanya jika peradangan bersifat idiopatik.

Manifestasi
Dimulai secara perlahan dengan pengaburan penglihatan, sering disertai oleh floaters
vitreous. Biasanya tidak ada rasa sakit atau kemerahan. Gejala awal seringkali bersifat
unilateral, temuan objektif biasanya hadir secara asimetris pada kedua mata. Tanda dari
uveitis intermediet:
● Sel-sel inflamasi dalam vitreous
Sel-sel vitreus dengan predominansi anterior umum terjadi. Kondensasi dan kabut vitreus
ditemukan pada kasus-kasus yang parah.
● Snowbanking (sel vitreous yang berkelompok)
Ditandai oleh plak fibrovaskular dan/atau eksudatif abu-abu–putih yang dapat terjadi pada
salah satu atau semua kuadran, tetapi paling sering ditemukan di bagian bawah.
● Periflevitis perifer
Hal ini umum terjadi, terutama pada sklerosis multipel. Pemeriksaan hati-hati pada mata
sehat pada pasien dengan penyakit tampaknya unilateral mungkin mengungkapkan
penyelubungan pembuluh darah yang ringan.
● Neovaskularisasi
Neovaskularisasi dapat terjadi, terutama di perifer retina (seringkali terkait dengan
snowbanks) dan pada kepala saraf optik. Hal ini terkadang dapat menyebabkan perdarahan
vitreus, pelepasan retina, dan pembentukan membran sirklitik.
● Pembengkakan diskus optikum
● Cystoid macular oedema (CMO)
● Pembentukan membran epiretinal pada makula
● Katarak
Katarak dapat disebabkan oleh pengobatan steroid atau oleh peradangan itu sendiri.
● Glaukoma
Glaukoma dapat terjadi pada mata dengan peradangan yang berlangsung lama, terutama jika
menerima terapi steroid jangka panjang.
● Pelepasan retina
Pelepasan jarang terjadi, namun dapat berkembang menjadi hipotoni dan fisis pada
kasus-kasus lanjut, sehingga pencegahan harus menjadi tujuan utama dalam pengelolaan.

Patofisiologi
Uveitis intermediet adalah penyakit yang dimediasi oleh sel-T, karena dalam vitreous
pasien dengan uveitis intermediet, sel-sel ini mencapai 95% dari semua jenis sel yang ada,
sebagian besar sel ini adalah CD4+. Uveitis intermediet ini bisa disebabkan oleh antigen yang
tidak diketahui. Yang mana mengarah ke gambaran klinis peradangan vitreus serta vaskulitis.
Penyebab peradangan vitreus ini sendiri adalah karena Major histocompatibility complex
(MHC) Class II yang ditemukan di endotelium vaskular menjadi bagian dalam menginisiasi
proses perekrutan sel-T yang diaktifkan dengan tujuan untuk merangsang vaskulitis lokal, hal
tersebutlah yang menyebabkan terjadinya peradangan vitreus.
Gambaran klinis vaskulitis ini sendiri disebabkan karena infiltrasi limfositik pada
venula retina pada penderita. Uveitis intermediet adalah suatu penyakit yang dimediasi oleh
sel-T karena dapat direproduksi dalam antigen S retinal / interphotoreceptor retinoid binding
protein / asam hialuronat, dan gangguan ini merespons imunosupresi dengan baik.

Pemeriksaan
Dalam penanganan Uveitis Intermediet ini yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan anamnesis serta pemeriksaan fisik, setelah itu melakukan pemeriksaan pada
bagian mata. Pemeriksaan yang pertama adalah dengan Tes penglihatan, kemudian mengukur
tekanan dalam bola mata dengan menggunakan Tonometri, setelah itu dapat dilakukan
pemeriksaan pada mata menggunakan slit-lamp dengan tujuan agar dapat melihat dengan
jelas sel-sel pada bagian mata depan yang meradang, setelah dari mata depan kemudian
dilanjutkan pemeriksaan pada mata bagian belakang dengan menggunakan funduskopi.
Apabila diperlukan dapat diilakukan pemindaian CT-Scan.
Setelah itu dapat dilakukan pemeriksaan pencitraan fotografi mata, salah satunya
adalah digital color fundus photography. Pasien yang menderita uveitis intermediet, foto
fundus digunakan untuk mendapatkan tampilan dasar lesi retina secara jelas, manifestasi
klinis uveitis intermediet yang ditemukan, seperti retina perifer seperti snowbanking,
retinoschisis, edema pada makula, serta membran epiretinal bisa ditemukan dan dideteksi
dengan menggunakan digital color fundus photography ini. Selain itu, digital color fundus
photography ini sendiri dapat membantu untuk melihat perkembangan kondisi serta respons
pasien terhadap pengobatan yang dilakukan. Apabila diperlukan, dapat juga melakukan
Optical coherence tomography (OCT) untuk menentukan derajat prognosis serta dapat
melihat perkembangan dan respons pasien terhadap pengobatan.

Tatalaksana
● Steroid topikal
Obat ini digunakan terutama untuk mengobati peradangan segmen anterior mata. Pada uveitis
intermediet ringan, pemberian steroid topikal secara berkala selama beberapa minggu
mungkin memberikan beberapa manfaat dan mengidentifikasi individu dengan risiko tinggi
peningkatan TIO tanpa harus mengikatkan diri pada tindakan suntikan depot yang
berkepanjangan.
● Suntikan steroid regional.
Suntikan lantai orbita atau posterior subtenon tergantung pada tingkat keparahan, suntikan
dilakukan 4–6 kali dengan selang waktu 2–4 minggu, disertai pemantauan TIO.
● NSAID.
Jika peradangan tetap berlanjut setelah suntikan regional, agen seperti naproxen 500 mg dua
kali sehari dapat dimulai.
● Krioterapi
Krioterapi pada pars plana dan perifer retina dengan anestesi peribulbar sangat efektif jika
peradangan tahan terhadap steroid dan mungkin cocok sebelum pemberian steroid sistemik.
Ini dapat dikaitkan dengan peningkatan sementara pada vitritis dan komplikasi lainnya
termasuk pelepasan retina, katarak, perdarahan vitreus dan AC, pembentukan membran
epiretinal, dan hipotoni.
● Laser retina perifer
Laser yang berdekatan dengan snowbanking dan/atau daerah iskemik pada FA adalah
alternatif untuk krioterapi dan mungkin sama efektifnya dengan tingkat komplikasi yang
lebih rendah.
● Steroid intraokular
Triamcinolone intravitreal telah menunjukkan manfaat, tetapi efeknya relatif singkat.
● Steroid sistemik
Modalitas ini lebih disukai daripada steroid regional jika peradangan simtomatik bersifat
bilateral. Dosis besar 1–2 mg/kg/hari dimulai, dikurangi perlahan selama beberapa bulan
sesuai dengan respons. Penting untuk mempertimbangkan kontraindikasi dan efek samping
potensial dari steroid sebelum meresepkan.
● Agen imunosupresif
Mycophenolate, methotrexate, tacrolimus, siklosporin, dan lainnya adalah alternatif dalam
peradangan tahan terhadap steroid atau sebagai agen pengganti steroid.
● Agen lain
Agen yang menunjukkan efikasi dalam penyakit yang sulit diobati meliputi interferon-beta
dan anti-TNF infliximab.
● Vitrektomi pars plana
secara signifikan mengurangi intensitas peradangan dan kekambuhan, meskipun
mekanismenya belum sepenuhnya dipahami. Ini diindikasikan pada pasien dengan pelepasan
retina tarik, membran epiretinal, CMO yang sulit diobati, kekeruhan vitreus yang padat,
perdarahan vitreus, atau neovaskularisasi perifer yang signifikan.
5. UVEITIS POSTERIOR

Definisi

Uveitis posterior didefinisikan sebagai peradangan intraokular yang terutama


melibatkan retina dan/ atau koroid. Sel-sel inflamasi dapat diamati secara difus di
seluruh rongga vitreous, di atasnya fokus peradangan aktif, atau pada wajah vitreous
posterior.

Manifestasi

Tanda-tanda di segmen posterior mata meliputi

• infiltrat inflamasi retina atau koroid

• selubung radang arteri atau vena

• pelepasan retina eksudatif, traksi*, atau rhegmatogenous*

• hipertrofi atau atrofi epitel pigmen retina*

• atrofi atau pembengkakan retina, koroid, atau kepala saraf optik*

• fibrosis preretinal atau subretinal*

• neovaskularisasi retina atau koroid*

* Menunjukkan komplikasi struktural. Tanda-tanda retina dan koroid dapat unifokal,


multifokal, atau difus.

Patofisiologi
Pada stadium awal, kongestif dan infiltrasi dari sel sel radang seperti pmn, limfosit, dan
fibrin pada koroid dan retina yang terkena. PMN lebih banyak berperan pada uveitis jenis
granulomatosa sampai terjadinya supurasi. Sebaliknya, pada uveitis non granulomatosa
limfosit lebih dominan. Apabila inflamasi berlanjut, lamina vitrea akan robek lekosit pada
retina akan menginvasi rongga vitreum timbulnya proses supurasi di dalamnya. Pada uveitis
granulomatosa kronis tampak sel mononuclear, sel epiteloid, dan giant cell sebagai nodul
granulomatosa yang tipikal. Kemudian eksudat menghilang dengan disertai atrofi dan
melekatnya lapisan koroid dan retina yang terkena. Eksudat dapat menjadi jaringan
parut. Keluarnya granula pigmen akibat nekrosis atau atrofi dari kromatofor dan sel epitelia
pigmen akan difagositosis oleh makrofag dan akan terkonsentrasi pada tepi lesi. Yang dapat
ditemukan pada uveitis posterior, antara lain:
o Sel-sel radang pada humor vitreus
o Lesi berwarna putih atau putih kekuningan pada retina dan atau koriod
o Eksudat pada retina
o Vaskulitis retina
o Edema nervus optikus

Pemeriksaan

Color fundus/FFA : Dokumentasi serial lesi dengan foto fundus berwarna dapat membantu
dalam tindak lanjut penyakit dengan pengobatan. FFA mungkin berguna untuk memastikan
aktivitas koroiditis/retinitis yang ditandai dengan hipofluoresensi awal yang khas dan
hiperfluoresensi lanjut pada kasus koroiditis aktif. Ini dapat digunakan untuk mendeteksi
gejala sisa penyakit seperti neovaskularisasi, area non-perfusi kapiler, dan pewarnaan
vaskular pada kasus vaskulitis retina. Ini dapat mengungkapkan pola kelopak bunga yang
khas pada edema makula sistoid (CME) atau sebagai kumpulan pewarna pada fase akhir di
VKH. FFA paling berguna untuk mendeteksi keberadaan, jenis, dan aktivitas neovaskularisasi
koroid (CNV), yang merupakan komplikasi yang mengancam penglihatan terkait dengan
banyak entitas uveitik posterior.

ICG : ICG lebih membantu dalam kasus lesi koroid yang lebih dalam, CNV, dan dengan
adanya perdarahan. Ini sangat berguna dalam deteksi, identifikasi, dan tindak lanjut entitas
dengan lesi koroid yang lebih dalam seperti sindrom titik putih, di mana FFA mungkin tidak
sepenuhnya dapat dikonfirmasi.
OCT : OCT adalah alat pencitraan non-kontak yang membantu dalam mendeteksi dan
memantau patologi makula seperti CME, membran epiretinal, membran CNV (CNVM), dan
lubang makula. OCT domain waktu konvensional memiliki resolusi 10 mikron sedangkan
domain spektral OCT (SD-OCT) yang lebih baru telah meningkatkan resolusi menjadi 5
mikron dan memberikan tampilan tiga dimensi yang meningkatkan potensi diagnostiknya.

Pemindaian ultrasonografi B (USG): Ini adalah alat yang sangat berguna, terutama ketika
media kabur dan dalam kasus katarak atau vitritis parah atau perdarahan vitreous. Ada
indikasi untuk pemindaian USG-B bahkan ketika ada media yang relatif jelas pada banyak
kondisi posterior dan panuveitik. Ini membantu membedakan ablasi retina rhegmatogenous
dan eksudatif berdasarkan pergeseran cairan, yang lebih merupakan karakteristik dari ablasi
retina eksudatif. Peningkatan penebalan koroid dapat menjadi temuan yang signifikan. Ini
dapat dilihat pada penyakit Vogt Koyanagi Harada (VKH) dengan manifestasi uveitis
posterior yang signifikan dan pada skleritis posterior. Ketebalan koroid normal sekitar 1,1
mm. Adanya tanda 'T' dan/atau pelebaran ruang Tenon yang dicatat pada pemindaian USG-B
merupakan patognomonik dari sklerit posterior.

Tatalaksana

Medikamentosa

Tatalaksana uveitis posterior memiliki prinsip menekan reaksi peradangan,


mencegah dan memperbaiki kerusakan struktur mata, mempertahankan fungsi
penglihatan, dan mengurangi gejala.7 Reaksi peradangan dapat dihambat dengan
kortikosteroid topikal, antara lain prednisolon 0,5%, prednisolon asetat 1%,
betametason 1%, deksametason 0,1%, dan fluorometolon 0,1%. Namun,
penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat menimbulkan risiko
peningkatan tekanan intraokular (glaukoma), katarak, dan risiko infeksi, sehingga
harus diawasi dengan cermat.Injeksi kortikosteroid periokular dapat menghindari efek
samping penggunaan steroid jangka panjang dan pada kasus yang membutuhkan
depo steroid.Kortikosteroid sistemik dapat diberikan pada uveitis derajat cukup berat
atau bilateral.
Jika radang tidak membaik dengan kortikosteroid, dapat dilanjutkan
dengan agen imunosupresan.Imunosupresan juga merupakan lini pertama pada
sindrom Behcet karena dapat mengancam jiwa.Agen imosupresan terdiri dari
golongan antimetabolit (azatioprin, metotreksat, dan mikofenolat mofenil),
supresor sel T (siklosporin dan tacrolimus) serta sitotoksik (siklofosfamid dan
klorambusil).Nyeri dapat diatasi dengan pemberian golongan obat anti-inflamasi
non-steroid (OAINS) dan siklopegik untuk mencegah komplikasi sinekia
posterior.Siklopegik yang dapat diberikan yaitu siklopentolat 0,5-2% dan homatropin.

Tatalaksana utama lain ditujukan untuk mengobati penyebab dasar.


Untuk toksoplasmosis dapat diberi terapi antitoksoplasma, meliputi
kotrimoksazol, klindamisin, pirimetamin, dan sulfadiazin.Tuberkulosis dapat
diberi terapi antituberkulosis, seperti isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan
etambutol. Pada infeksi sifilis, terapi utama adalah antibiotik golongan penisilin. Untuk
infeksi virus dapat diberi obat antivirus, seperti asiklovir, valgansiklovir, gansiklovir,
foskarnet, dan sidofovir.

Non-Medikamentosa

Pembedahan dapat dipertimbangkan pada kasus uveitis yang sudah teratasi,


untuk memperbaiki masalah fungsi penglihatan permanen yang disebabkan oleh
komplikasi, seperti katarak, glaukoma sekunder, dan ablasio retina.1,12
Vitrektomi dapat memperbaiki tajam penglihatan apabila kekeruhan vitreus
pada uveitis posterior tetap terjadi meskipun dengan pengobatan medikamentosa.
Referensi :

1. Duplechain, A., Conrady, C.D., Patel, B.C. and Baker, S. (2020). Uveitis. [online]
PubMed. Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK540993/ [Accessed
25 Mar. 2020].Acute Anterior Uveitis - EyeWiki (2019) Aao.org. Available at:
https://eyewiki.aao.org/Acute_Anterior_Uveitis.MD, T.R. (2007) ‘Cell and flare’ in
the eye (Video), TimRoot.com. Available at:
https://timroot.com/cell-and-flare-in-the-eye-video/.
2. Akpek EK, Uy HS, Christen W, Gurdal C, Foster CS. Severity of episcleritis and
systemic disease association. Ophthalmology. 1999 Apr;106(4):729-31.
3. Daniel Diaz J, Sobol EK, Gritz DC. Treatment and management of scleral disorders.
Surv Ophthalmol. 2016 Nov-Dec;61(6):702-717.
4. Lyons CJ, Hakin KN, Watson PG. Topical flurbiprofen: an effective treatment for
episcleritis? Eye (Lond). 1990;4(3):521-5
5. Sainz de la Maza M, Molina N, Gonzalez-Gonzalez LA, Doctor PP, Tauber J, Foster
CS. Clinical characteristics of a large cohort of patients with scleritis and episcleritis.
Ophthalmology. 2012;119(1):43-50
6. B Manohar Babu and S R Rathinam. Intermediate uveitis. Indian J Ophthalmol. 2010
Jan-Feb; 58(1): 21–27. doi: 10.4103/0301-4738.58469
7. Rita Pinto Proença MD MMed, Carolina Fernandes Pereira Bruxelas, MD, Marco
Dutra-Medeiros MD PhD, Nuno Moura-Coelho, MD, MMedSci, PhD Research
Assistant, Alan Palestine, MD, Edmund Tsui, MD. Intermediate Uveitis. American
Academy Of Ophthalmology Eye Wiki. 2022.
https://eyewiki.aao.org/Intermediate_Uveitis#Laboratory_studies.
8. Hoffman, R. Scott, MD. Clinical overview of Scleritis.
https://www.clinicalkey.com/#!/content/derived_clinical_overview/76-s2.0-B9780323
755733008209#hl0000276
9. Vergouwen, D.P.C. & Rothova, A. & Berge, J.C. & Verdijk, Robert & Laar, Jan &
Vingerling, Johannes & Schreurs, M.W.J.. (2020). Current insights in the pathogenesis
of scleritis. Experimental Eye Research.
https://www.researchgate.net/publication/341885082_Current_insights_in_the_pathog
enesis_of_scleritis
10. American Academy of Ophthalmology. Uveitis and Ocular Inflammation. 2021. San
Fransisco, CA: American Academy of Opthalmology.

Anda mungkin juga menyukai