Anda di halaman 1dari 48

TUGAS BELA NEGARA DAN WIDYA MWAT YASA

Sejarah Pergerakan Nasional :


Masa Kerajaan dan
Penjajahan

KELAS : A
KELOMPOK : 1

NAMA/NIM: 1. Faiz Athaya Rafif / 122230018


2. Elangnang Indra Nugraha /122230028
3. Kiflan Zen Irfani /122230032

PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI


JURUSAN TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNIK INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2023
Sejarah Pergerakan Nasional:

Masa Kerajaan dan Penjajahan

1. Masa Kerajaan

Sebelum negara Indonesia terbentuk, pada 17 Agustus 1945 bentuk pemerintahan adalah
kerajaan-ker ajaan baik besar maupun kecil yang tersebar di nusantara. Kerajaan-kerajaan tersebut
antara lain: Kerajaan Kutai, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan kerajaan sebelum Majapahit, dan
Kerajaan Majapahit.

A. Kerajaan Kutai

Awal Mula Berdirinya Kerajaan

Di daerah Muarakaman tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur berdirilah kerajaan


pertama di Indonesia pada tahun 400 M. Kerajaan tersebut bernama kerajaan Kutai. Sungai
Mahakam dapat dilayari dari pantai sampai masuk ke Muarakaman, sehingga baik untuk kegiatan
perdagangan. Sungai yang cukup besar tersebut masih ramai oleh lalu lintas air sejak masa
praaksara hingga sekarang. Kerajaan Kutai yang terkenal sebagai kerajaan hindu tertua di Indonesia
merupakan kerajaan yang memiliki sejarah panjang sebagai cikal bakal lahirnya kerajaan-kerajaan
lainnya di Indonesia.

Nama Kutai sendiri diketahui oleh para ahli mitologi saat setelah ditemukannya sebuah
prasasti, yaitu Yupa. Prasasti Yupa diidentifikasi sebagai peninggalan asli dari pengaruh agama
hindu dan budha yang menggunakan bahasa sansekerta dengan huruf pallawa. Dari prasasti inilah
kemudian ditemukan nama Raja Kudungga sebagai pendiri Kerajaan Kutai. Nama Maharaja
Kudungga ini ditafsirkan oleh para ahli sejarah sebagai nama asli Indonesia yang belum
terpengaruh dengan bahasa India. Sedangkan keturunannya seperti Raja Mulawarman dan
Aswawarman diduga memiliki pengaruh besar budaya hindu dari India.

Raja-Raja Di Kerajaan Kutai

Hal tersebut dikarenakan kata “Warman” pada setiap akhiran namanya berasal dari bahasa
sansekerta yang biasa digunakan oleh masyarakat India bagian selatan. Inilah yang mengakibatkan
banyak orang menyebut bahwa Kerajaan Kutai merupakan kerajaan yang bercorak hindu dengan
pengaruh budaya India begitu kental. Tak heran jika pola kehidupan pada masa itu juga menyerupai
kehidupan kerajaan-kerajaan hindu di India. Selanjutnya dari Prasasti Yupa diketahui juga nama-

1
nama raja yang memerintah Kerajaan Kutai setelah wafatnya pendiri tersebut, yaitu sebanyak 20
generasi sebagai berikut:

1. Maharaja Kudungga, bergelar Anumerta Dewawarman (sebagai pendiri)

2. Maharaja Aswawarman (anak dari Raja Kudungga)

3. Maharaja Mulawarman (sebagai raja yang terkenal)

4. Maharaja Marawijaya Warman

5. Maharaja Gajayana Warman

6. Maharaja Tungga Warman

7. Maharaja Jayanaga Warman

8. Maharaja Nalasinga Warman

9. Maharaja Gadingga Warman Dewa

10. Maharaja Indra Warman Dewa

11. Maharaja Sangga Warman Dewa

12. Maharaja Candrawarman

13. Maharaja Sri Langka Dewa

14. Maharaja Guna Parana Dewa

15. Maharaja Wijaya Warman

16. Maharaja Sri Aji Dewa

17. Maharaja Mulia Putera

18. Maharaja Nala Pandita

19. Maharaja Indra Paruta Dewa

20. Maharaja Dharma Setia

2
Dari 20 generasi tersebut, raja yang terkenal adalah Raja Mulawarman. Raja Mulawarman
sebagai raja terbesar di Kutai yang memeluk agama Hindu-Siwa. Beliau sangat dekat dengan kaum
Brahmana dan rakyat, hal ini dibuktikan dengan pemberian sedekah untuk upacara keagamaan.
Upacara korban sapi juga menunjukkan bahwa rakyat cukup hidup makmur, kehidupan keagamaan
dijaga dengan baik, dan rakyat sangat mencintai rajanya. Kehidupan ekonomi masyarakat
diperkirakan sebagian besar adalah sebagai petani dan pedagang. Masyarakat Kutai sebelumnya
tidak mengenal kasta. Setelah agama Hindu masuk, maka mulailah pengaruh kasta masuk dalam
lapisan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan upacara Vratyastoma oleh Kudungga. Vratyastoma,
merupakan upacara penyucian diri untuk masuk pada kasta ksatria sesuai kedudukannya sebagai
keluarga raja.

Namun, setelah peninggalan Raja Kudungga, Kutai dipimpin oleh Aswawarman.


Pemerintahan Aswawarman tidak berlangsung lama yang kemudian digantikan oleh anaknya,
Mulawarman. Kelanjutan kerajaan Kutai setelah Mulawarman tidak menunjukkan tanda-tanda yang
jelas. Namun periode setelah abad V M, berkembanglah kerajaan-kerajaan Hindu Budha di berbagai
daerah lain Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa pada fase selanjutnya agama Hindu Budha
berkembang pesat di berbagai daerah Indonesia. Indonesia memasuki zaman sejarah pada tahun 400
M, dengan ditemukannya prasasti 7 yupa (tiang batu) seperti pada Yupa adalah tugu batu yang
berfungsi sebagai tugu peringatan yang dibuat oleh para Brahmana atas kedermawanan raja
Mulawarman. Berdasarkan prasasti tersebut dapat diketahui bahwa raja Mulawarman adalah
keturunan raja Aswawarman dan Kudungga. Raja Mulawarman menurut prasasti tersebut
mengadakan kenduri dan memberi sedekah kepada para Brahmana dan para Brahmana membangun
yupa sebagai tanda terima kasih raja yang dermawan.

Masyarakat Kutai yang membuka zaman sejarah Indonesia pertama kalinya ini
menampilkan nilai-nilai sosial politik dan ketuhanan dalam bentuk kerajaan, kenduri serta sedekah
kepada para Brahmana. Bentuk kerajaan dengan agama sebagai tali pengikat kewibawaan ini
tampak dalam kerajaan - kerajaan yang muncul di Jawa dan Sumatra.Di zaman kuno, terdapat dua
kerajaan yang mencapai integrasi meliputi hampir separuh Indonesia,yaitu kerajaan Sriwijaya di
Sumatra dan Majapahit yang berpusat di Jawa. Kutai mencapai masa kejayaan pada masa
pemerintahan Raja Mulawarman seperti yang tertulis pada Yupa. Dijelaskan bahwa Mulawarman
telah melakukan upacara pengorbanan emas dengan jumlah yang sangat banyak. Emas tersebut
dibagikan kepada rakyatnya dan dijadikan persembahan kepada para dewa.

3
Kutai dari Berbagai Aspek

1. Aspek Sosial

Pada masa pemerintahan Kudungga, kerajaan Kutai mengalami masa peralihan dari bentuk
kesukuan ke bentuk negara. Kehidupan sosial pada masa kerajaan ditandai dengan adanya golongan
terdirik yang mampu menggunakan bahasa sansekerta dan aksara pallawa. Hal tersebut dibuktikan
dengan adanya upacara pemberkatan bagi pemeluk agama Hindu. Para brahmana Kutai dianggap
memiliki intelektual tinggi dikarenakan sulitnya penguasaan bahasa ini.

2. Aspek Politik

Pada masa pemerintahan Raja Mulawarman ditandai dengan keadaan politik yang stabil. Hal
ini didasarkan pada Prasasti Yupa yang menyebutkan raja Mulawarman dikatakan menjadi raja
yang berkuasa, kuat dan bijaksana.

3. Aspek Ekonomi

Dengan letaknya yang strategis yaitu berada di dekat Sungai Mahakam, membuat tanah
Kerajaan dalam keadaan subur dan sangat cocok untuk bercocok tanam. Mata pencaharian
masyarakat Kutai adalah petani, peternak dan pedagang. Hal ini dibuktikan dengan peninggalan
tertulis Yupa yang menyebutkan bahwa Mulawarman pernah memberikan 20.000 ekor sapi kepada
para brahmana. Selain itu, Kerajaan Kutai juga menerapkan pajak pada pedagang dari daerah lain
yang berdagang di wilayah Kerajaan Kutai. Pajak ini biasanya berupa barang yang mahal atau upeti.

4. Aspek Agama

Kerajaan Kutai memiliki sejarah yang kuat akan kepercayaan animisme dan dinamisme
serta Hindu sebagai agama pendatang. Terbukti pada peninggalan Yupa yang dianggap sebagai
peninggalan masa megalitikum, menhir dan punden berundak. Diyakini bahwa rakyat Kutai
dibebaskan untuk beragama walaupun kerajaan menganut ajaran agama Hindu siwa yang
bercampur brahmana.

Runtuhnya Kerajaan Kutai

Masa kejayaan Kutai tidak berlangsung lama, setelah meninggalnya Raja Mulawarman,
Kutai mengalami banyak pergantian pemimpin hingga mengalami keruntuhan pada masa
pemerintahan Raja Dharma Setia pada abad ke 13 M. Raja Dharma Setia tewas di tangan penguasa

4
Kerajaan Kutai Kertanegara yaitu Pangeran Anum Panji Mandapa. Sejak saat itu, wilayah
kekuasaan Kerajaan Kutai Martapura berada di bawah kekuasaan Kesultanan Kutai Kartanegara.

Peninggalan Kerajaan Kutai

1. Prasasti Yupa

Prasasti Yupa adalah tiang batu yang berisi berita tentang Kerajaan Kutai. Prasasti ini
dituliskan dengan aksara Pallawa menggunakan bahasa Sansekerta, yang umum digunakan di India
Selatan. Dari prasasti ini ditemukan banyak informasi penting mengenai silsilah anggota kerajaan,
lokasi sedekah, dan lain sebagainya.

2. Kura-kura Emas

Ada juga peninggalan kura-kura emas yang kini disimpan di Museum Mulawarman. Patung
kura-kura ini berukuran setengah kepalan tangan dan merupakan persembahan pangeran dari
Kerajaan China pada Putri Sultan Kutai yang bernama Aji Bidara Putih.

3. Kalung Ciwa

Kerajaan Kutai juga memiliki peninggalan berupa kalung ciwa yang ditemukan di sekitar
Danau Lipan, Muara Kaman pada tahun 1890. Kalung tersebut pun masih digunakan hingga saat ini
sebagai perhiasan kerajaan yang dipakai raja.

4. Singgasana Sultan

Ada juga peninggalan dua buah singgasana yang digunakan setelah Kerajaan Kutai jatuh ke
Kesultanan Kutai. Dua buah kursi itu berwarna kuning dan di sekitarnya dilengkapi dengan payung
dan umbul-umbul.

5. Pedang Sultan Kutai

Pedang Sultan Kutai Kartanegara, yang juga dikenal sebagai Pedang Kalimantan,
merupakan warisan dari Sultan Kutai pada abad ke-13. Pedang ini diproduksi dari emas dan dihiasi
dengan batu mulia.

6. Kering Bukit Kang

5
Kering Bukit Kang merupakan sebuah keris yang digunakan oleh Permaisuri Aji Putri
Karang Melenu yang merupakan permaisuri Raja Kutai yang pertama. Menurut cerita yang tersebar,
dulunya putri pernah ditemukan dalam sebuah gong yang hanyut di atas bambu. Di dalam gong itu
bukan hanya ada putri tapi juga telur ayam dan sebuah kering.

7. Ketopong Sultan

Peninggalan lainnya adalah sebuah ketopong yang digunakan oleh Sultan Kutai. Ketopong
ini berbahan emas dengan berat mencapai 1,98 kilogram. Ketopong ini ditemukan pada tahun 1890
di daerah Muara Kaman, Kutai Kartanegara.

B. Kerajaan Sriwijaya

Awal Berdirinya Kerajaan Sriwijaya

Sriwijaya adalah kerajaan bahari historis yang berasal dari Pulau Sumatra sekitar abad ke-7
sampai abad ke-11. Kehadirannya banyak memberi pengaruh pada perkembangan sejarah Asia
Tenggara (terutama dalam kawasan Nusantara barat). Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti
"bercahaya" atau "gemilang", dan vijaya berarti "kemenangan" atau "kejayaan"; dengan demikian,
nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Lokasi ibukota Sriwijaya dapat
dengan akurat disimpulkan berada di Kota Palembang, tepatnya di muara Sungai Musi. Sriwijaya
terdiri dari sejumlah pelabuhan yang saling berhubungan di sekitar Selat Malaka. Sriwijaya menjadi
simbol kebesaran Sumatra awal, dan salah satu kerajaan terbesar Nusantara. Pada abad ke-20,
Sriwijaya dan Majapahit menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme Belanda.

Perkembangan Kerajaan Sriwijaya

Dalam pertumbuhannya, Sriwijaya berkembang menjadi kerajaan besar. Hal ini ditunjang
oleh beberapa faktor:

(1) Letak Sriwijaya yang strategis iaitu berda dijalur lalu lintas hubungan dagang India dengan Cina
serta pelabuhannya yang tenang karena terlindung oleh Pulau Bangka dari terjangan ombak besar .

(2) Runtuhnya kerajaan Fuhan sebagai kerajaan maritime menguntungkan kerajaan Sriwijaya
karena ia bisa berkembang dalam perdagangan di Asia Tenggara.

(3) Majunya pelayaran dan perdagangan India dan Cina memberi Sriwijaya kesempatan untuk
berkembang dalam perdagangan di Asia Tenggara.

6
(4) Memiliki armada laut yang kuat untuk mengamankan lalu lintas pelayaran, perdagangan serta
daerah kekuasaannya.

Kondisi Geografis dan Ekonomi Kerajaan Sriwijaya

Meskipun sempat dianggap sebagai thalasokrasi (kerajaan berbasis maritim), penelitian baru
tentang catatan yang tersedia menunjukkan bahwa Sriwijaya merupakan negara berbasis darat
daripada kekuatan maritim. Armada laut memang tersedia tetapi bertindak sebagai dukungan
logistik untuk memfasilitasi proyeksi kekuatan darat. Menanggapi perubahan ekonomi maritim
Asia, dan terancam oleh hilangnya negara bawahannya, kerajaan-kerajaan di sekitar selat Malaka
mengembangkan strategi angkatan laut untuk menunda kemerosotannya. Strategi angkatan laut
kerajaan-kerajaan di sekitar selat Malaka bersifat menghukum untuk memaksa kapal-kapal dagang
datang ke pelabuhan mereka. Kemudian, strategi angkatan laut kerajaan-kerajaan tersebut merosot
menjadi armada perompak.

Historiografi Sriwijaya diperoleh dan disusun dari dua macam sumber utama. Catatan
sejarah Tiongkok dan sejumlah prasasti batu Asia Tenggara yang telah ditemukan dan
diterjemahkan. Catatan perjalanan biksu peziarah I Ching sangat penting, terutama dalam
menjelaskan kondisi Sriwijaya ketika ia mengunjungi kerajaan itu selama 6 bulan pada tahun 671.
Sekumpulan prasasti siddhayatra abad ke-7 yang ditemukan di Palembang dan Pulau Bangka juga
merupakan sumber sejarah primer yang penting. Di samping itu, kabar-kabar regional yang
beberapa mungkin mendekati kisah legenda, seperti Kisah mengenai Maharaja Zabag dan Raja
Khmer juga memberikan sekilas keterangan. Selain itu, beberapa catatan musafir India dan Arab
juga menjelaskan secara samar-samar mengenai kekayaan raja Zabag yang menakjubkan.
Sepertinya kisah Zabag-Khmer didasarkan pada kekuasaan Jawa atas Kamboja, bukan kekuasaan
Sriwijaya atas Kamboja.

Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan
Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat
bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkih, pala,
kapulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.
Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-
nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia
Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar Tiongkok untuk
dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan
menguasai urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.

7
Keruntuhan Kerajaan Sriwijaya

Diantara Dharmapala,ada seorang murid bernama Sakiyakirti yang kemudian menjadi guru
besar di Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Nalanda, BalaputraDewa adalah keturunan Raja Jawa yang
mengadakan hubungan baik dengan kerajaan Benggala yang diperintah oleh Dewapala Dewa yang
pernah menghadiahkan sebidang tanah untuk mendirikan asrama bagi pelajar dari Sriwijaya.
Prasasti itu juga menjelaskan bahwa Balaputradewa keturunan dari Raja Samaratungga dan Putri
Tara dari Sriwijaya kemudian menjadi raja besar. Namun hubungan Sriwijaya dengan India retak
(1023-1024m) karena adanya pertikaian mengenai penguasaan jalur lalulintas perdagangan di Selat
Malaka. Setelah BalaPutraDewa meninggal, Sriwijaya mengalami kemunduran. Faktor faktor
penyebabnya adalah:

(1) Pengganti Balaputradewa tidak sekuat Balaputra Dewa dalam hal pemerintahan dan kurang
bijaksana dalam menghadapi para pembantunya.

(2) Adanya serangan Pamalayu dari Singosari dibawah pemerintahan Kerta negara.

(3) Daerah-daerah yang berada dibawah pengaruh Sriwijaya berusaha melepaskan diri seperti Thai,
Ligor serta daerah lain di semenanjung Malaka.

(4) Adanya serangan Majapahit dalam usaha persatuan Nusantara dibawah panji Majapahit

C. Kerajaan Tarumanegara

Awal Mula Berdirinya Kerajaan

Tarumanegara menjadi kerajaan kedua di nusantara yang memiliki corak Hindu setelah
kerajaan Kutai. Kerajaan Tarumanegara berada di dekat Sungai Citarum yang berlokasi di Jawa
Barat, berdiri abad ke-4 m atau sekitar tahun 358 m. Meski berdiri di tanah Indonesia, yang saat itu
belum dikenal dengan nama negara, pendiri kerajaan ini bukan orang asli nusantara. Maharesi
Jayasingawarman atau juga dikenal dengan nama Rajadirajaguru Jayasingawarman merupakan
seorang pendatang dari India. Sosoknya menjadi raja dari kerajaan ini setelah sebelumnya menjadi
seorang pertapa, dan setelah kembali ke profesi sebelumnya takhta raja pun diberikan kepada
anaknya, Raja Dharmayawarman.

Jayasingawarman berasal dari Salankayana, India yang kemudian pergi ke nusantara


tepatnya di Kerajaan Salakanagara. Kehadirannya pun disambut Raja Dewawarman VIII, hingga
kemudian dinikahkan dengan salah satu putri raja tersebut. Setelah itu Jayasingawarman membuka
wilayah yang diperkirakan kerajaan Tarumanegara terletak di Bekasi. Setelah itu Jayasingawarman

8
mendirikan kerajaan yang dinamai Taruma sekitar 358 masehi dan seiring berjalannya waktu
dikenal dengan Tarumanegara atau juga disebut Tarumanagara. Selama 24 tahun Jayasingawarman
berkuasa meski belum bisa dikatakan bahwa kerajaan yang dipimpinnya memasuki era kejayaan.

Pendiri dari Kerajaan Tarumanegara

Karena kesulitan dalam mengetahui secara jelas bagaimana struktur genealogis raja-raja
Tarumanegara, namun dari penemuan prasasti Ciaruteun yang menyebutkan nama Purnawarman
yang disebut sebagai raja pertama sekaligus pendiri ibukota kerajaan yang saat itu bernama
Sundapura. Sementara itu dalam naskah Wangsakerta menyebutkan jika Purnawarman adalah raja
ketiga dari kerajaan Tarumanegara ini. Sementara pendirinya adalah Rajadirajaguru
Jayasingawarman di sekitar 358 masehi, namun penemuan naskah ini justru diragukan
kebenarannya oleh para ahli. Seluruh prasasti yang ditemukan diduga merujuk dari peninggalan dari
kerajaan ini.

Dari prasasti yang ditemukan itu semuanya menunjukkan Purnawarman sebagai raja yang
berkuasa, meskipun kerajaan ini kemungkinan berlangsung dari tahun 400 hingga 600 masehi.
Karena itu Tarumanegara memiliki lebih dari satu raja, Purnawarman disebut sebagai penguasa
terbesar dan raja yang terkenal pada kerajaan Tarumanegara adalah dirinya. Menurut prasasti Tugu
disebutkan kekuasaan Purnawarman meliputi banyak wilayah di bagian utara Jawa bagian barat,
mulai dari Banten hingga Cirebon. Purnawarman juga memerintahkan penggalian Sungai
Candrabaga atau juga disebut dengan kali Bekasi yang memiliki panjang sekitar 12 km dan sungai
Gomati yang menjurus ke laut. Menariknya setelah dilakukan proses penggalian dirayakan dengan
adanya persembahan 1.000 ekor sapi kepada Brahmana. Pusat kekuasaan kerajaan ini ada di sekitar
wilayah tersebut, antara Bekasi dan Karawang. Purnawarman mendirikan ibukota kerajaan yang
dinamai Sundapura dan hal ini dibuktikan munculnya kompleks Candi Batujaya dan komplek
Cibuaya.

Raja-raja di Kerajaan Tarumanegara

Tarumanegara mengalami masa pemerintahan yang dipimpin sebanyak 12 raja, kerajaan ini
mendapat pengaruh kebudayaan Hindu India. Hal ini tampak dari kebudayaan dan bahasa yang
digunakan, yakni bahasa Sanskerta yang disertai dengan huruf Pallawa dalam prasasti. Berikut ini
nama-nama raja yang pernah memerintah kerajaan tersebut.

1. Jayasingawarman (358-382 M)
2. Dharmayawarman (382-395 M)
3. Purnawarman (395-434 M)
9
4. Wisnuwarman (434-455 M)
5. Indrawarman (455-515 M)
6. Candrawarman (515-535 M)
7. Suryawarman (535-561 M)
8. Kertawarman (561-628 M)
9. Sudhawarman (628-639 M)
10. Hariwangsawarman (639-640 M)
11. Nagajayawarman (640-666 M)
12. Linggawarman (666-669 M)

Letak dari Kerajaan Tarumanegara

Letak kerajaan Tarumanegara berada di bagian barat pulau Jawa, sesuai dengan isi dari
prasasti Tugu yang menyebut kekuasaan kerajaan ini saat dipegang Purnawarman membentang dari
Banten hingga Cirebon. Beberapa pusat lokasi kekuasaan Tarumanegara meliputi Candrabaga,
Citarum, Ciliwung dan Cisadane. Karena lokasinya memang menjadi titik utama dari pertumbuhan
serta perkembangan peradaban kerajaan ini. Meski begitu tak jelas bagaimana genealogis dari raja-
raja Tarumanegara meski bisa dilihat dari prasasti dan peninggalan-peninggalan lainnya. Bahkan
karena tak jelasnya itu, pendiri kerajaan ini terdapat dua versi berbeda.

Masa Kejayaan Kerajaan Tarumanegara

Kerajaan Tarumanegara mencapai puncak kejayaan di era raja Purnawarman, sosok raja
yang memang dikenal cerdas dan berwibawa. Di masa kepemimpinannya, hal yang paling
berkembang dari kerajaan Tarumanegara adalah kondisi perekonomian yang maju dengan sangat
pesat, saking pandainya Purnawarman dalam memimpin. Selain itu kerajaan Tarumanegara di era
Purnawarman juga sukses dalam penanganan banjir yang kerap kali menerjang wilayah mereka.
Adalah proyek penggalian sungai dan kali yang membuat Purnawarman berhasil mengatasi hal
tersebut.

Meskipun di akhir proyeknya, ia harus memberi persembahan berupa seribu ekor sapi.
Menggali kali Candrabaga yang merupakan cikal bakal sungai Citarum dan membuat air mengalir
ke laut. Kemudian membuat kali sepanjang 11 kilometer hanya dalam kurun waktu 21 hari dan
diakhiri dengan persembahan seribu ekor sapi kepada kaum Brahmana. Hal ini tertuang dalam salah
satu peninggalan penting mereka, yakni prasasti Tugu.

Masa Keruntuhan Kerajaan Tarumanegara

10
Keruntuhan kerajaan ini diperkirakan terjadi di pertengahan abad ke-7 masehi, selama tiga
abad kerajaan ini berdiri hingga mengalami masa kejayaan namun hingga pada akhirnya hancur tak
tersisa. Setidaknya terdapat dua faktor utama yang membuat kerajaan Tarumanegara mengalami
keruntuhan, berikut di antaranya.

● Serangan Kerajaan Sriwijaya

Serangan ini diperkirakan terjadi di tahun 650, terlihat dari isi prasasti Kota Kapur yang menyebut
Dapunta Hyang Sri Jayanasa melancarkan serangan terhadap Bhumi Jawa. Hal itu dikarenakan
kerajaan tersebut tak mau tunduk dengan Sriwijaya, serangan ini terjadi dan diperkirakan
bersamaan dengan keruntuhan Tarumanegara dan Ho-Ling di akhir abad ke-7.

● Tarumanegara Pecah

Pecahnya Tarumanegara menjadi Sunda dan Galuh, diambil dari naskah Wangsakerta meski
kebenarannya sempat diragukan. Disebutkan bahwa Linggawarman yang berkuasa di tahun 666
disebut banyak memberi amanat kepada raja-raja kecil di daerah untuk mewakilinya, kekuasaan
dari kerajaan-kerajaan itu meningkat signifikan. Galuh berada di dekat wilayah Cirebon dan
memilih berpisah dari Tarumanegara, sementara penerus Linggawarman justru memilih mengubah
kerajaannya menjadi Sunda. Berakhirnya kerajaan Tarumanegara ditandai dengan kemunculan dua
kerajaan ini, Galuh dan Sunda. Yang kemudian menjadi kerajaan terbesar di Jawa Barat pada
masanya.salah satu peninggalan penting mereka, yakni prasasti Tugu.

Peninggalan Kerajaan Tarumanegara

● Prasasti
1. Ciaruteun yang berisi tapak kaki Purnawarman dengan pernyataan yang menyebutkan
bahwa wilayah yang mencakup Sungai Cisadane dan Ciaruteun.
2. Prasasti Tugu yang berisi mengenai proses penggalian sungai Candrabaga dan Gomati guna
mengatasi banjir.
3. Prasasti Jambu, isinya pujian terhadap Purnawarman yang bahkan sampai disamakan
dengan Dewa Indra.
4. Prasasti Telapak Gajah berisi kaki gajah yang digunakan Purnawarman ketika berperang,
gajah tersebut dinamai Airawata seperti gajah perang dewa Indra.
5. Prasasti Cidanghiyang yang juga berisi mengenai pujian-pujian terhadap Purnawarman
sebagai raja dari Tarumanegara.

11
6. Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Pasir Muara, Prasasti Pasir Awi dan prasasti Muara Cianten
juga termasuk dalam peninggalan kerajaan Tarumanegara.

● Candi
1. Situs Batujaya, merupakan komplek percandian yang ditemukan di Karawang dan bertempat
di tepi sungai Citarum. Komplek percandian ini bisa dikatakan besar dengan berisi tiga belas
artefak, di antarata Segaran I-1V dan Talagajaya I-VII.
2. Situs Cibuaya, berisi dua artefak yang diyakini merupakan peninggalan Tarumanegara
berupa candi Lemah Duwur Wadon dan Lemah Duwur Lanang. Ditemukan di Karawang,
tepatnya arah ke timur dari situs Batujaya dan lebih dekat dengan sisi utara pantai Jawa.
● Arca

Banyak sekali arca yang ditemukan di bekas wilayah kekuasaan Tarumanegara dan
diyakini sebagai peninggalan kerajaan tersebut. Khususnya di lokasi yang berdekatan
dengan candi yang disebutkan di atas, terdapat tiga buah arca yakni Wisnu, Siwa yang
berada di Tanjung Barat dan Durga yang berada di Tanjung Priok.

D. Kerajaan Mataram Kuno

Awal Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan ini berdiri di bumi Mataram yang terletak di dekat Yogyakarta sejak abad ke-8
hingga menuju ke-11. Kerajaan ini sering berpindah, sehingga berpengaruh juga pada nama
kerajaan ketika berdiri di Mataram sempat diberi nama Medang I Bhumi Mataram. Total kerajaan
ini berpindah-pindah sebanyak tujuh kali hingga sampai ke Jawa Timur di abad ke-10. Saat itu
dikenal dengan nama Kerajaan Medang, saat itu pendiri kerajaan ini bernama Rakai Mataram Sang
Ratu Sanjaya dengan periode berkuasa pada 732-760 masehi. Menariknya selama berdiri, kerajaan
Mataram diperintah oleh dua dinasti yakni dinasti Sanjaya dengan mayoritas beragama Hindu dan
dinasti Syailendra dengan agama Buddha.

Tak seperti pada kerajaan pada umumnya, Mataram saat masih bernama Medang dipimpin
kedua dinasti yang justru sibuk mencari kekuasaan. Hanya sebentar keduanya memerintah bersama,
pemerintahan Sanjaya juga memiliki beberapa pemimpin selain Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya,
di antaranya seperti Sri Maharaja Rakai Panangkaran, Sri Maharaja Rakai Pikatan. Dan terakhir
adalah Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung, sementara pada dinasti Syailendra pemimpin
pertama adalah Bhanu yang kemudian berlanjut ke Raja Wisnu hingga membuat dinasti Sanjaya

12
tunduk kepadanya. Bahkan Samaratungga yang merupakan raja terbesar dan terakhir Syailendra
juga patuh kepadanya.

Sumber Sejarah Kerajaan Mataram Kuno

● Abad ke-9

Dua wangsa bersatu dari perkawinan Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya yang merupakan
anak dari Samaratungga bernama Pramodawardhani. Meskipun rencana pernikahan itu mendapat
pertentangan karena tak disetujui Balaputra Dewa selaku adik dari Pramodawardhani setelah ia
merasa terancam oleh keberadaan Rakai Pikatan. Balaputra kemudian merebut kekuasaan, namun
usahanya itu gagal meski pada akhirnya ia kembali menjadi raja Sriwijaya usai pulang kampung.
Rakai pikatan yang sukses memenangi peperangan kemudian mendirikan Candi Loro Jonggrang
dan kini dikenal dengan nama Candi Prambanan yang berada di Sleman.

● Abad ke-10

Di abad ini pemerintahan Mataram Kuno berpindah ke Jawa Timur dan diprakarsai oleh
Mpu Sindok yang memindahkan pusat pemerintahan sekaligus kerajaan ke area tersebut. Mpu
Sindok merupakan raja pertama dan tokoh pendiri Dinasti Isana di Jawa Timur. Namun tidak
diketahui secara pasti siapa pengganti Mpu Sindok setelah itu.

● Abad ke-1

Kehancuran Dharmawangsa Teguh akibat dari serangan Kerajaan Sriwijaya setelah


mengalami kegagalan bekerja sama dengan kerajaan Wurawari. Namun ada yang selamat dari
serangan terhadap Dharmawangsa, yakni Airlangga hingga kemudian dinobatkan sebagai raja di
1.019 masehi serta mampu memperluas wilayah kekuasaan.

Silsilah Kerajaan Mataram Kuno

Menurut prasasti Canggal pada 732 masehi disebutkan bahwa pendiri kerajaan Mataram
Kuno adalah Wangsa Sanjaya. Kemudian dalam prasasti Balitung disebutkan juga beberapa nama
raja yang pernah memerintah kerajaan Mataram kuno. Berikut ini beberapa sosok yang pernah
memerintah kerajaan Mataram kuno.

1. Sanjaya
2. Rakai Panangkaran
3. Panunggalan
4. Rakai Watuk
13
5. Garung
6. Rakai Pikatan
7. Kayuwangi
8. Watuhumalang
9. Balitong

Selain itu ditemukannya prasasti Ligor dan prasasti Klurak yang menyebutkan beberapa raja
yang memerintah di kerajaan Mataram kuno. Di antaranya seperti Bhanu, Wisnu, Indra hingga
Samaratungga. Jika dilihat dari aspek politik dan pemerintahan, kerajaan Mataram Kuno masuk
dalam kerajaan yang bercorak Hindu dan Budha.

Letak Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram kuno memiliki dua periode berdasar lokasi, hal ini berkaitan dengan ibu
kota pemerintahannya. Diawali dari periode Kerajaan Medang yang berada di Jawa Tengah di
bawah kepemimpinan Wangsa Sanjaya dan Syailendra medio 732-929 masehi. Kemudian berlanjut
di Jawa Timur yang dipimpin Wangsa Isyana medio 929 -1016 masehi. Pada 929 mahesi barulah
Mataram Kuno berpindah ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok dan diketahui beberapa faktor sebagai
pendorong perpindahan ini.

Mulai dari faktor publik karena seringnya perebutan kekuasaan yang berimbas pada
terancamnya wilayah kerajaan. Kemudian adanya bencana alam, dalam hal ini letusan gunung
Merapi. Ada pula potensi ancaman dari kerajaan lain termasuk kerajaan Sriwijaya dan faktor lain
motif agama dan ekonomi. Keberadaan kerajaan Mataram yang jauh dari pelabuhan membuat Mpu
Sindok terpaksa memindahkan lokasi kerasaan agar dapat bekerja sama dengan kerajaan lain.
Hingga lokasi pusat kerajaan ini ada di Yogyakarta.

Masa Kejayaan Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno berhasil merengkuh kejayaan di era pemerintahan dinasti


Syailendra yang mulai memimpin pada abad ke-8 M. Pada momen ini Kerajaan Mataram Kuno
berhasil melakukan perluasan terhadap wilayahnya hingga mencapai Semenanjung Malaya. Selain
itu, di bidang politik, ilmu pengetahuan, budaya, kesenian, dan sosial juga berkembang dengan
sangat pesat. Salah satunya pencapaiannya adalah pembangunan Candi Borobudur.

Masa Keruntuhan Kerajaan Mataram Kuno

Peristiwa kehancuran Kerajaan Mataram Kuno disebabkan karena adanya perselisihan yang
berkelanjutan antara Jawa dengan Sumatera. Perselisihan tersebut diakibatkan adanya dendam oleh
14
Raja Kerajaan Sriwijaya, Balaputradewa kepada Rakai Pikatan Raja Kerajaan Mataram Kuno.
Permusuhan dan perselisihan antara kedua raja tersebut terus berkembang dan berlanjut bahkan
ketika dinasti Isyana berkuasa. Kala ibukota Kerajaan Mataram di pindah ke Jawa Timur, Kerajaan
Sriwijaya melancarkan serangan, namun dimenangkan oleh Mpu Sindok yang merupakan raja kala
itu.

Keruntuhan Kerajaan ini ditandai dengan meninggalnya Raja Dharmawangsa yang


merupakan cicit dari Mpu Sindok. Kala itu Raja Dharmawangsa tengah lengah karena merayakan
pernikahan putrinya, sementara istana diserang oleh Aji Wurawuri dari Lwaram yang diperkirakan
merupakan bagian dari sekutu Kerajaan Sriwijaya.

Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno

Berdiri di Jawa Tengah membuat kerajaan Mataram Kuno memiliki peninggalan yang
cukup banyak termasuk lewat prasasti dan candi. Candi memang sangat kental dengan Mataram,
mengingat kerajaan ini memiliki masyarakat yang memeluk agama Hindu-Budha. Lantas apa saja
peninggalan tersebut, berikut di antaranya.

● Prasasti Kerajaan Mataram Kuno


1. Prasasti Canggal
2. Prasasti Kalasan
3. Prasasti Mantyasih
4. Prasasti Klurak
● Candi peninggalan Kerajaan Mataram Kuno
1. Candi Bima Candi Arjuna 7. Candi Mendut
2. Candi Kalasan 8. Candi Pawon
3. Candi Plaosan 9. Candi Puntadewa
4. Candi Prambanan 10. Candi Semar
5. Candi Sewu \ 11. Candi Srikandi
6. Candi Borobudur

Sultan Agung yang menjadi raja Mataram era 1612-1645, sebutkan prestasi besar sultan
agung selama memerintah kerajaan mataram. Berikut ini beberapa prestasi yang diraihnya, di
antaranya seperti memperluas kekuasaan Jawa, Madura, Palembang sampai Banjarmasin. Sukses
mengatur dan menguasai wilayah kekuasaan dari pusat dan mengembangkan kegiatan ekonomi
agraris. Sultan Agung sudah naik takhta sejak usianya di 20 tahun dan dikenal membawa kerajaan
Mataram Islam mencapai puncak kejayaan. Kerajaan mataram islam mencapai puncak
15
kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Agung pada 1627, setelah empat belas tahun ia
memimpin sejak pertama kali didaulat sebagai raja.

E. Kerajaan Majapahit

Awal Berdirinya Kerajaan Majapahit

Majapahit konon berdiri setelah kerajaan Singasari runtuh pada 1292 M atau pada abad ke-
13. Ketika itu Kerajaan Singasari runtuh setelah terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh raja
Gelanggelang, Jayakatwang. Kemudian, pada saat Kerajaan Singasari berada di ujung tanduk, cucu
dari Raja Singasari, yaitu Raden Wijaya, melarikan diri dan meminta bantuan dari Arya Wiraraja.
Dalam pelariannya tersebut Raden Wijaya membuat sebuah desa kecil di hutan daerah Trowulan
yang diberi nama desa Majapahit. Konon, nama Majapahit diambil dari nama buah yang ditemukan
di Hutan yang bernama Maja. Tetapi, buah tersebut diketahui berasa pahit. Seiring berjalannya
waktu, desa Majapahit terus mengalami perkembangan. Bahkan Raden Wijaya berhasil menarik
perhatian dari penduduk Tumapel dan Daha. Alhasil, Raden Wijaya berhasil membangun kekuatan
dengan tambahan bantuan dari pasukan Kubilai Khan pada 1293 M. Pasukan tersebut lantas
digunakan untuk membalaskan dendam runtuhnya kerajaan Singasari dengan menyerbu
Jayakatwang.

Namun, setelah Jayakatwang Tumbang, pasukan Kubilai Khan justru diserang oleh Raden
Wijaya karena dinilai tidak tunduk dengan kekuasaan Kaisar Mongol.Keberhasilan itu membuat
Raden Wijaya memimpin kekuasaan wilayah Jawa dan Majapahit. Ia juga dinobatkan sebagai raja
pada tanggal 10 November 1293. Raden Wijaya pun memiliki gelar Kertarajasa Jayawardhana. Hal
tersebut pun diyakini menjadi awal mula berdirinya Kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit lantas
mengalami kejayaan ketika berada di bawah pimpinan cucu Raden Wijaya, Hayam Wuruk. Hayam
Wuruk diketahui memimpin Kerajaan Majapahit pada periode 1350 M hingga 1389 M.
Kepemimpinan Hayam Wuruk saat itu berjaya juga karena ada peran dari Patih Gajah Mada. Ketika
itu, Patih Gajah Mada yang diangkat sebagai patih amangku bhumi bersumpah untuk menyatukan
Nusantara. Sumpah tersebut lantas dikenal sebagai Sumpah Palapa.

Dalam Sumpah Palapa itu, Gajah Mada mengatakan ingin menguasai negara-negara seperti
Gurun, Seran, Tanjung Pura, Pahang, Haru, Dompo, Bali, Palembang, Sunda, dan Tumasik.
Sumpah tersebut pun menjadi kenyataan dimana Kerajaan Majapahit berhasil menguasai sejumlah
wilayah-wilayah tersebut. Namun, pada akhirnya kejayaan Majapahit runtuh setelah era
kepemimpinan Hayam Wuruk. Keruntuhan Majapahit disebut-sebut terjadi karena terjadinya

16
masalah internal. Wikramawardhana yang ditunjuk sebagai penguasa Majapahit setelah Hayam
Wuruk dinilai menjadi sosok yang membuat Majapahit runtuh. Pasalnya, saat penunjukkan,
Wikramawardhana menuai banyak kecaman. Kemudian diperparah dengan lepasnya daerah
kekuasaan Majapahit dan juga terjadinya wabah kelaparan pada 1426 M.

Lokasi Kerajaan Majapahit

Ada tiga pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit semasa kejayaannya. Ketiga wilayah itu
saat ini berada di Jawa Timur. Tiga wilayah itu antara lain:

1. Mojokerto

Pusat pemerintahan pertama Majapahit ada di Mojokerto. Ketika itu, Majapahit masih
pimpin oleh Raden Wijaya. Jika ditinjau saat ini, lokasi itu diperkirakan berada di tepi Sungai
Brantas.

2. Trowulan

Setelah Mojokerto, pusat pemerintahan Majapahit berpindah ke Trowulan saat dipimpin


oleh raja kedua, yakni Sri Jaya Negara. Lokasi tersebut saat ini kabarnya berada 12 km dari pusat
kota Mojokerto.

3. Daha

Sekarang ini, Daha dikenal sebagai Kediri. Daha menjadi pusat pemerintahan Kerajaan
Majapahit ketiga setelah Trowulan. Wilayah Daha ini diyakini menjadi pusat pemerintahan terakhir
dari Majapahit. Pasalnya, masalah internal dari Majapahit terjadi di Daha ini.

Kehidupan Semasa Kerajaan Majapahit

1. Aspek Politik

Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya pada tahun 1293. Raden Wijaya kemudian
dinobatkan sebagai raja pertama Kerajaan Majapahit yang bergelar Prabu Kertajasa Jayawardhana.
Raden Wijaya memerintah Majapahit selama 16 tahun dan wafat pada tahun 1309. Raden Wijaya
kemudian digantikan oleh putranya, Kalagemet. Ia bergelar Sri Jayanegara dan memerintah
Majapahit antara tahun 1309-1328. Raja Jayanegara dibunuh oleh Rakryan Dharmaputra
Winehsuka Tanca, seorang tabib yang dendam terhadap Jayanegara pada tahun 1328. Jayanegara

17
kemudian digantikan oleh saudara perempuannya, Tribuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan
Rajadewi Maharajasa. Tribhuwanatunggadewi dan Jayawisnuwardhani Maharajasa memerintah
Majapahit pada tahun 1328-1350.

Pada pemerintahan Tribhuwanatunggadewi, Gajah Mada yang saat itu memerintah Daha
dan Kahuripan dinaikkan pangkatnya menjadi Mahapatih Amangkubumi karena ia berhasil
meredam pemberontakan di Sadeng. Ia menggantikan Arya Tadah yang telah lanjut usia. Gajah
Mada kemudian mengucapkan ikrarnya, yang dikenal dengan sumpah palapa.
Tribhuwanatunggadewi memiliki putra yang bernama Hayam Wuruk, yang kemudian diangkat
menjadi raja menggantikan ibunya pada tahun 1350. Dengan bantuan Patih Amangkubumi Gajah
Mada, Hayam Wuruk berhasil membawa Kerajaan Majapahit ke puncak kebesarannya dengan
menundukan seluruh wilayah Nusantara. Namun, Nusantara kembali pecah belah setelah Gajah
Mada dan Hayam Wuruk wafat.

Tata susunan pemerintah hirarki pengklasifi kasian wilayah di Kerajaan Majapahit dibagi
menjadi beberapa tingkat yakni:

1. Bhumi merupakan pusat kerajaan dan diperintah oleh maharaja;


2. Nagara setingkat propinsi yang dipimpin oleh rajya (gubernur), natha (tuan), bhre (pangeran
atau bangsawan keluarga dekat raja), bhatara, wadhana atau adipati;
3. Watek sitingkat kabupaten yang dipimpin oleh temunggung atau wiyasa;
4. Setingkat di atas kecamatan atau kademangan dipimpin oleh lurah atau demang; e) wanua
setingkat desa yang dipimpin oleh petinggi;
5. Kabuyutan setingkat lingkungan, padukuhan, dusun kecil yang dipimpin oleh buyut atau
rama.

Aspek-Aspek Kerajaan Majapahit

● Aspek Sosial

Pada masa Kerajaan Majapahit, kehidupan sosial di masyarakat sudah tercipta kondisi tertib,
aman, damai, dan tentram. Dengan adanya kitab kutaramanawa yang digunakan dasar hukum
Kerajaan Majapahit. Peradilan dilaksanakan secara ketat, siapa yang bersalah dihukum tanpa
pandang bulu. Oleh karena itu, tercipta ketertiban dan rakyat pun merasa aman. Kedamaian dan
ketentraman dalam kehidupan masyarakat Kerajaan Majapahit ditandai berkembanganya agama
Hindu dan Buddha yang tumbuh bersama. Dengan kondisi kehidupan yang aman dan teratur, maka

18
suatu masyarakat akan mampu menghasilkan karya-karya budaya yang bermutu tinggi, seperti
beragam candi dan karya sastra.

● Aspek Ekonomi

Kemakmuran masyarakat Kerajaan Majapahit tercipta karena kehidupan dibidang ekonomi


tumbuh baik. Pertanian dan perdagangan berjalan dengan lancar. Mata uang yang dipakai untuk
perdagangan di Majapahit adalah mata uang gobog. Wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit
meliputi daratan dan perdagangan laut yang luas. Hal ini membuat Majapahit menjadi kerajaan
agraris dan maritim. Sebagai kerajaan agraris hasil utama adalah hasil pertanian seperti padi, lada,
cengkih, pala, dan kapas. Sementara itu, di bidang maritim, Kerajaan Majapahit mengembangkan
perdagangan hingga ke luar negeri. Hal ini terjadi karena keberhasilan dalam menjalankan
kebijakan politik “mitreka satata”. Perdagangan yang dikembangkan adalah sebagai pedagang
perantara yang membawa barang dagangan dari daerah satu ke daerah lainnya. Pada masa Kerajaan
Majapahit banyak sekali pelabuhan penting seperti Canggu, Surabaya, Sedayu, Tuban, Kalimas, dan
Pasuruan

● Aspek kebudayaan

Kehidupan berbudaya pada masa Kerajaan Majapahit berkembang dengan baik. Hal ini
ditandai dengan menghasilkan karya-karya budaya yang bermutu tinggi. Hasil budaya Majapahit
dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yakni berupa banguanan candi dan karya sastra.

Peninggalan Kerajaan Majapahit

1. Kitab Negarakertagama

Kitab Negarakertagama merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit dalam bentuk karya


sastra. Negara kertagama ditulis oleh Mpu Prapanca. Dalam kitab tersebut berisi tentang istilah soal
sejarah majapahit, mulai dari nama raja sampai wilayah kekuasaan kerajaan. Mpu Prapanca adalah
petinggi agama Budha di Majapahit. Kitab Negarakertagama diselesaikan saat usianya sudah senja
di sebuah lereng gunung di Desa Kamalasana.

2. Kitab Sutasoma

Kitab Sutasoma juga merupakan peninggalan sejarah berupa karya sastra yang ditulis oleh
Mpu Tantular. Kitab tersebut ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dengan aksara Bali. Konon Kitab
Sutasoma merupakan awal mula dari semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.
19
3. Candi Panataran

Candi Panataran yang terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar
merupakan salah satu situs peninggalan Majapahit. Di halaman Candi Panataran ditemukan prasasti
Palah yang berisi soal kirab Hayam Wuruk di Jawa Timur.

4. Candi Tikus

Candi Tikus ditemukan oleh Bupati Mojokerto, RAA Kromodjoyo pada 1914. Candi Tikus
ini merupakan peninggalan dari Majapahit saat dipimpin oleh Hayam Wuruk. Candi ini
diperkirakan dulunya digunakan sebagai tempat mandi para raja dan upacara tertentu.

5. Candi Jabung

Candi Jabung berada di Probolinggo, Jawa Timur. Konon bangunan tersebut dulunya pernah
dikunjungi oleh Hayam Wuruk dan juga merupakan tempat pemakaman dari seorang keluarga raja
yang bernama Bhra Gundal.

6. Gapura Bajang Ratu

Gapura ini terletak di daerah Dukuh Kraton, Desa Temon, Trowulan, Kabupaten Mojokerto,
Jawa Timur. Gapura ini diperkirakan ada pada masa pemerintahan Hayam Wuruk pada abad ke-14.
Keunikan dari Gapura ini adalah memiliki relief Ramayana di sisinya dan relief Sri Tanjung di
kakinya.

2. Masa Penjajahan

A. Masa Penjajahan Belanda

Seiring Majapahit runtuh pada awal abad XVI, agama Islam berkembang dengan pesatnya
di Indonesia. Pada abad itu bermunculan kerajaan - kerajaan Islam, seperti kerajaan Demak di Jawa
Tengah, Kesultanan Aceh di Aceh, Kesultanan Gowa – Tallo di Sulawesi, Kesultanan Ternate dan
Tidore di Maluku. Selanjutnya, setelah kerajaan Majapahit runtuh, berbagai bangsa Eropa mulai
berdatangan untuk mencari pusat tanaman rempah-rempah dan membuat koloni di berbagai wilayah
di Nusantara, antara lain Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda pada akhir abad XVI. Pada
perkembangannya, Belanda mendirikan suatu perkumpulan dagang dengan nama Vereenigde Oost
Indische Compagnie (VOC) yang dikalangan rakyat dikenal dengan istilah “kompeni”. Tujuan
Belanda mendirikan VOC adalah untuk mendapatkan keuntungan sebesar besarnya melawan

20
persaingan pesaingnya, memperkuat kedudukan Belanda dalam perang, membantu Belanda
melawan Spanyol. Pemimpin pertama VOC yaitu Pieter Both yang selanjutnya diteruskan oleh Jan
Pieterszoon Coen, yang berhasil memindahkan pusat VOC di Ambon ke Jayakarta (Jakarta).

Pada abad XVIII, perusahaan dagang Belanda ini mulai mengembangkan minat untuk
campur tangan dalam politik pribumi di pulau Jawa demi meningkatkan kekuasaan mereka pada
ekonomi lokal sehingga pada akhirnya diubahlah menjadi badan pemerintahan resmi yaitu
Pemerintahan Hindia Belanda.Hal inilah yang memicu dan membangkitkan perlawanan rakyat
Indonesia. Semangat patriotisme rakyat melawan imperialisme pemerintahan kolonial Belanda
terjadi hampir di seluruh wilayah Nusantara. Beberapa perlawanan terhadap penjajah antara lain:

1. Sultan Agung (Mataram, 1645)

Sultan Agung Hanyokrokusumo (1593-1645) adalah Raja Kerajaan Mataram yang bertahta
pada tahun 1613 hingga 1645. Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika atau dikenal juga dengan
Raden Mas Rangsang. Sultan Agung merupakan putra Raja Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah
Banowati. Sultan Agung naik tahta pada tahun 1613 pada usia 20 tahun. Sultan Agung dikenal
sebagai salah satu raja yang berhasil membawa Kesultanan Mataram mencapai puncak
kejayaannya pada tahun 1627, tepat empat belas tahun setelah Sultan Agung memerintah
Kesultanan Mataram. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, wilayah pesisir seperti Surabaya dan
Madura berhasil ditaklukkan. Pada tahun 1613 hingga 1645, wilayah kekuasaan Islam Mataram
meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. Kehadiran Sultan Agung sebagai
penguasa tertinggi membawa kekhalifahan Mataram mencapai puncak peradaban budaya. Sultan
Agung mempunyai kekayaan keahlian di bidang militer, politik, ekonomi, sosial dan budaya yang
membawa peradaban Kerajaan Mataram ke tingkat yang lebih tinggi. Kekuasaan Mataram Islam
saat itu meliputi hampir seluruh wilayah Jawa, mulai dari Pasuruan hingga Cirebon. Pada masa ini,
VOC menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia. Lebih jauh lagi, kehadiran VOC akan
menghambat penyebaran Islam di Pulau Jawa oleh Sultan Agung. Sultan Agung mempunyai prinsip
tidak pernah mau berkompromi dengan VOC atau penjajah lainnya

Sultan Agung merupakan pemimpin daerah pertama yang melakukan perlawanan agresif
terhadap Belanda yang saat itu hadir melalui kemitraan bisnis VOC (Vereenigde Oostindische
Compagnie). Perlawanan Sultan Agung terhadap VOC di Batavia terjadi pada tahun 1628 dan 1629.
Perlawanan ini terpicu karena Sultan Agung menyadari kehadiran VOC di Batavia dapat
membahayakan hegemoni kekuasaan Kesultanan Mataram di Jawa. Pada 1628, Sultan Agung
mengirim pasukan untuk melakukan serangan pertama ke VOC di Batavia. Serangan Sultan Agung
21
ke Batavia yang pertama dipimpin oleh Tumenggung Baureksa, bupati Kendal. Strategi serangan
pasukan Sultan Agung di Batavia pada 1628 adalah dengan membendung Sungai Ciliwung agar
benteng VOC kekurangan air. Meski strategi ini berhasil membuat pihak VOC terjangkit wabah
kolera, tetapi dominasi Belanda belum bisa dipatahkan.

Perang Mataram melawan VOC kembali terjadi setahun kemudian, yaitu pada 1629. Sultan
Agung kembali mengirim pasukan untuk menyerang VOC dengan strategi baru karena belajar dari
kekalahan sebelumnya. Strategi yang diterapkan di antaranya, memperkuat armada militer,
meningkatkan jumlah persenjataan, dan membangun lumbung makanan di Tegal dan Cirebon.
Serangan kedua yang dipimpin oleh Dipati Puger dan Dipati Purbaya ini berhasil membawa 80.000
pasukan Mataram sampai di Batavia. Namun, serangan ini kembali menemui kegagalan. Penyebab
utama kegagalan serangan Mataram terhadap VOC tahun 1629 adalah dibakarnya lumbung padi
pasukan Mataram oleh Belanda. Akibatnya, pasukan Mataram kekurangan bahan makanan dan
kelelahan, sehingga memilih untuk mundur.

Namun serangan Mataram Muslim terhadap VOC yang bermarkas di Batavia gagal karena tentara
VOC membakar lumbung perbekalan makanan tentara kerajaan Mataram Muslim saat itu.

2. Sultan Ageng Tirtayasa di Banten

Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad (sultan Banten ke-5)
dan Ratu Martakusuma yang lahir pada 1631. Kakeknya bernama Sultan Abdulmafakhir Mahmud
Abdulkadir atau dikenal sebagai Sultan Agung, sultan Banten ke-4 yang juga gigih memerangi
Belanda. Setelah ayahnya wafat pada 1650, Sultan Ageng Tirtayasa diangkat oleh kakeknya sebagai
Sultan Muda dengan gelar Pangeran Dipati. Kemudian setelah kakeknya wafat pada 1651, ia resmi
naik tahta menjadi raja Banten ke-6 dengan gelar Sultan Abdul Fattah Al-Mafaqih. Pada masa
kolonial, Banten merupakan salah satu kesultanan yang sangat maju sehingga banyak menarik
pedagang untuk singgah di sana, salah satunya Belanda. Di bawah kepemimpinan Sultan Ageng
Tirtayasa sekitar tahun 1650-an, Banten mulai mengalami perkembangan pesat dan menjadi daerah
yang populer. Kondisi ini kemudian membuat VOC tertarik untuk memonopoli perdagangan di
kawasan pesisir Jawa, termasuk Banten.

Perlawanan Sultan Ageng terhadap VOC dimulai pada tahun 1656. Saat itu, Sultan Ageng
memerintahkan pasukan Banten untuk melakukan gerilya besar-besaran dengan melakukan
perusakan terhadap kebun-kebun tebu VOC, menyergap serdadu patroli VOC, dan membakar
markas patroli VOC. Dengan taktik gerilya ini, VOC menjadi kewalahan dalam menghadapi
22
perlawanan dari Kesultanan Banten. Karena itulah, pada akhir tahun 1657 VOC mengajukan
penawaran gencatan senjata kepada Banten.

Untuk bisa mengambil alih wilayah Banten, VOC melakukan Devide et Impera atau Politik
Adu Domba. VOC menghasut putra mahkota Sultan Haji untuk merebut kekuasaan sang ayah,
Sultan Ageng Tirtayasa. Kala itu, Sultan Haji sedang tidak akur dengan sang ayah. Dengan hal ini
VOC melakukan politik "devide et impera". Sultan Haji mencurigai ayahnya dan menyatakan
bahwa ayahnya ingin mengangkat Pangeran Purboyo sebagai raja Banten. Pada tahun 1680, Sultan
Haji berusaha merebut kekuasaan, sehingga terjadilah perang terbuka antara Sultan Haji yang
dibantu VOC melawan Sultan Ageng Tirtayasa (ayahnya) yang dibantu Pangeran Purboyo. Sultan
Ageng Tirtayasa dan Pangeran Purboyo terdesak ke luar kota, dan akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa
berhasil ditawan oleh VOC sedangkan Pangeran sedangkan Pangeran Purboyo mengundurkan diri
ke daerah Priangan. Pada 1681, Istana Surosowan berhasil direbut oleh Sultan Haji dan VOC,
sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa berpindah ke daerah Tirtayasa untuk mendirikan keraton baru.
Sultan Ageng Tirtayasa segera mengumpulkan bekal dan kekuatan untuk kembali merebut Istana
Surosowan. Satu tahun berselang, pasukan Sultan Ageng berhasil mendesak pasukan Sultan Haji
pada 1682. Sultan Haji yang mulai kewalahan berusaha meminta bantuan kepada VOC.

Pada tahun 1682 Sultan Haji melakukan perjanjian yang isinya agar mendapatkan bantuan
dari VOC :

(1). VOC mendapat hak monopoli dagang di Banten dan daerah pengaruhnya.

(2). Banten dilarang berdagang di Maluku.

(3). Banten melepaskan haknya atas Cirebon.

(4). Sungai Cisadane menjadi batas wilayah Banten dengan VOC.

Bersama dengan VOC, Sultan Haji mampu meredam perlawanan dan memukul mundur
pasukan Sultan Ageng sampai ke Bogor. Pada akhirnya, Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap
oleh VOC pada 1683. Ia pun langsung dibawa ke Batavia dan dijadikan sebagai tahanan. Setelah
Sultan Ageng Tirtayasa digulingkan, Sultan Haji naik menjadi Raja Banten. Dengan tertangkapnya
Sultan Ageng Tirtayasa, perlawanan rakyat Banten terhadap VOC pun usai. VOC dinyatakan
berhasil menaklukkan Banten serta memonopoli perdagangan di kawasan pesisir Jawa.

23
3. Sultan Hasanuddin di Makassar (1660)

Sultan Hasanuddin, raja ke-16 Kerajaan Gowa yang lahir pada 12 Januari 1631. Sebelum
menjadi raja, nama asli beliau ialah I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng
Bonto Mangepe. Setelah ia naik tahta, barulah ia bergelar Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin
memulai perlawanan terhadap VOC pada tahun 1660. Di bawah komando Sultan Hasanuddin,
pasukan Kerajaan Gowa yang terkenal dengan angkatan lautnya yang kuat mulai bergabung dengan
kerajaan-kerajaan kecil lainnya untuk melawan dan berperang dengan VOC. VOC yang melihat
Kerajaan Gowa memperkuat pasukannya pun tak tinggal diam. VOC juga menjalin kerja sama
dengan Kerajaan Bones yang sebelumnya mempunyai hubungan buruk dengan Kerajaan Gowa. Hal
inilah yang dimanfaatkan VOC untuk menghimpun kekuatan guna menghancurkan Kerajaan
Gowa. Namun armada militer Kerajaan Gowa masih terlalu kuat untuk dihancurkan oleh VOC dan
sekutunya.

Pada tahun 1663, pemimpin Kerajaan Bone, Arung Palakka, melarikan diri ke Batavia untuk
menghindari kejaran tentara Kerajaan Gowa. Di jantung pemerintahan Hindia Belanda, ia
bersembunyi dan meminta bantuan lebih besar lagi kepada VOC untuk menghancurkan kerajaan
Gowa. Selang 3 tahun kemudian, pada tanggal 24 November 1966, dilakukan gerakan besar-
besaran oleh pasukan VOC di bawah komando Laksamana Cornelis Janszoon Speelman. Armada
VOC meninggalkan pelabuhan Batavia menuju Somba Opu (ibu kota Gowa). Pada tanggal 19
Desember 1666, armada VOC yang perkasa ini tiba di hadapan Sombaopu, ibu kota dan pelabuhan
kerajaan Gowa. Speelman awalnya ingin menipu Sultan Hasanuddin, namun karena Sultan
Hasanuddin tidak takut, Speelman segera menuntut agar Kerajaan Gowa mengganti segala kerugian
yang berkaitan dengan pembunuhan orang Makassar terhadap Belanda.

Karena peringatan VOC tidak diindahkan, Speelman mulai menembaki posisi dan
pertahanan rakyat Gowa dengan ganas. Tembakan meriam dari kapal-kapal VOC pun dibalas
dengan tembakan meriam gencar yang juga ditembakkan dari Kerajaan Gowa. Maka terjadilah baku
tembak dan duel seru antara kapal armada VOC dengan benteng pertahanan Kerajaan Gowa.
Pertempuran besar terus berlanjut. Armada VOC ditambah dengan tentara Kerajaan Bone di bawah
komando Arung Palakka. Akhirnya setelah tidak mampu menahan gempuran VOC dan Kerajaan
Bone, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November
1667. Perjanjian ini memberikan pukulan telak bagi Sultan Hasanuddin hingga ia harus untuk
mengakui monopoli. VOC yang ditentangnya. Selain itu, ia juga harus mengakui Arung Palakka
sebagai raja tulang. Wilayah Kerajaan Gowa semakin menyusut.

24
Namun hal tersebut tidak serta merta menurunkan semangat Sultan Hasanuddin dan
pasukannya. Protes tetap terjadi setelah perjanjian tersebut namun sayangnya tidak membawa hasil
maksimal sehingga VOC masih mendominasi wilayah Sulawesi Selatan. Akan tetapi, itu semua
tidak serta-merta memadamkan semangat juang Sultan Hasanuddin beserta para pasukannya.
Perlawanan-perlawanan masih terjadi pasca perjanjian, namun sayang tidak membuahkan hasil
yang maksimal sehingga VOC masih mendominasi di wilayah Sulawesi Selatan. Meski tak bisa
mengusir bangsa Barat, hingga akhir hayatnya Sultan Hasanuddin masih bersikukuh tidak mau
bekerja sama dengan Belanda. Kegigihan tersebut dibawa sampai ia wafat pada 12 Juni 1670 di
kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

4. Pattimura di Maluku (1817)

Kapitan Pattimura atau Pattimura adalah pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari
Haria, Saparua, Maluku. Terlahir pada 8 Juni 1783 di Saparua dengan nama asli Thomas Matulessy
atau Thomas Matulessy. Dalam perlawanannya melawan penjajahan Belanda, Pattimura dikenal
cerdik dan mampu menghimpun kekuatan besar rakyat Maluku sehingga mempersulit pergerakan
Belanda di Maluku. Bahkan, namanya pun disegani oleh para pemimpin VOC kala itu yang harus
memutar otak untuk menghadapi perlawanan rakyat Maluku. Tidak heran Pattimura sangat piawai
dalam pertempuran dan menghimpun pasukan. Menurut sejarah, ia pernah menjadi tentara
berpangkat Sersan dalam kekuatan militer Inggris di tanah Ambon. Selama 200 tahun rakyat
Maluku mengalami perpecahan dan kemiskinan. Rakyat Maluku memproduksi cengkeh dan pala
untuk pasar dunia, tetapi mayoritas masyarakat tidak ada keuntungan dari sisi ekonomi yang
dirasakan. Alih-alih mendapatkan keuntungan, rakyat Maluku justru semakin menderita dengan
berbagai kebijakan seperti pajak yang berat berupa penyerahan wajib (Verplichte leverantien) dan
contingenten serta blokade ekonomi yang mengisolasi rakyat Maluku dari pedagang-pedagang
Indonesia lain.

Pada fase kedua pendudukan Inggris di Maluku dalam 1810-1817 harus berakhir pada 25
Maret 1817 setelah Belanda kembali menguasai wilayah Maluku. Rakyat Maluku menolak tegas
kedatangan Belanda dengan membuat Proklamasi Haria dan Keberatan Hatawano. Proklamasi
Haria disusun oleh Pattimura. Ketika pemerintah Belanda mulai melaksanakan kekuasaannya
melalui Gubernur Van Middelkoop clan Residen Saparua Johannes Rudolf van der Berg, pecahlah
perlawanan bersenjata rakyat Maluku. Diadakan musyawarah dan konsolidasi kekuatan. Pada
forum-forum tersebut menyetujui Pattimura sebagai kapten besar yang memimpin perjuangan. Pada

25
7 Mei 1817 dalam rapat umum di Baileu negeri Haria, Thomas Matulessy dikukuhkan dalam
upacara adat sebagai Kapitan Besar.

Setelah dilantik sebagai kapten, Pattimura memilih beberapa pembantunya yang juga
berjiwa kesatria, yaitu Anthoni Rhebok, Philips Latimahina, Lucas Selano, Arong Lisapafy,
Melchior Kesaulya dan Sarassa Sanaki, Martha Christina Tiahahu, dan Paulus Tiahahu. Pattimura
bersama Philips Latumahina dan Lucas Selano melakukan penyerbuan ke benteng Duurstede.
Berita tentang jatuhnya benteng Duurstede ke tangan pasukan Pattimura dan pemusnahan orang-
orang Belanda, menggoncangkan dan membingungkan pemerintah Belanda di kota Ambon.
Gubernur Van Middelkoop dan komisaris Engelhard memutuskan militer yang besar ke Saparua di
bawah pimpinan mayor Beetjes. Ekspedisi tersebut kemudian disebut dengan ekspedisi Beetjes.
Mengetahui hal tersebut, dengan segera Kapitan Pattimura mengatur taktik dan strategi
pertempuran. Pasukan rakyat sekitar 1.000 orang diatur dalam pertahanan sepanjang pesisir mulai
dari teluk Haria sampai ke teluk Saparua. Pattimura bersama pasukannya berhasil mengalahkan
Beetjes dan tentaranya.

Pada 20 Mei 1817 diadakan rapat raksasa di Haria untuk mengadakan pernyataan kebulatan
tekad melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Peringatan kebulatan tekad ini dikenal dengan
nama Proklamasi Portho Haria yang berisi 14 pasal pernyataan dan ditandatangani oleh 21 Raja
Patih dari pulau Saparua dan Nusalaut. Proklamasi ini membangkitkan semangat juang yang
mendorong tumbuhnya front-front pertempuran di berbagai tempat bahkan sampai ke Maluku
Utara. Pada 4 Juli 1817, suatu armada kuat dipimpin Overste de Groot menuju Saparua dengan
tugas menjalankan vandalisme. Seluruh negeri di jazirah Hatawano dibumihanguskan. Siasat
berunding, serang mendadak, aksi vandalisme, dan adu domba dijalankan silih berganti. Belanda
juga melancarkan politik pengkhianatan terhadap Pattimura dan para pembantunya. Pada 11
November 1817 dengan didampingi beberapa orang pengkhianat, Letnan Pietersen berhasil
menyergap Pattimura dan Philips Latumahina. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan
mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada 16 Desember 1817 di kota Ambon.

5. Imam Bonjol di Minangkabau (1822-1837)

Tuanku Imam Bonjol lahir pada 1 Januari 1772 di Bonjol sebuah kecamatan di Kabupaten
Pasaman, Sumatera Barat. Dengan nama asli Muhammad Shahab, dia lahir di pasangan Bayanuddin
Shahab dan Hamatun. Perang Padri atau juga dikenal sebagai Perang Minangkabau terjadi pada
1803 sampai 1837 di Sumatera Barat antara Kaum Padri dan Kaum Adat. Sebelum adanya campur
tangan Belanda, perang ini melibatkan Kaum Padri yang diisi oleh orang-orang yang menginginkan
26
diterapkannya syariat Islam di tanah Minang, sedangkan Kaum Adat merupakan para bangsawan
dan para ketua-ketua adat yang ada di sana. Awal mula pecahnya perang ini adalah ketika Kaum
Padri memberangus adat istiadat yang dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam pada 1803 saat
kepulangan tiga tokoh Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang dari Mekkah dan membuat
Tuanku Nan Renceh. Kaum Padri berhasil menduduki Kerajaan Pagaruyung dipimpin oleh Tuanku
Pasaman pada 1815. Akibat dari Kerajaan yang sudah berhasil diduduki oleh Kaum Padri, maka
pada 21 Februari 1821 Kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda oleh Sultan Alam
Bagagarsyah yang sudah terdesak oleh keadaan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung di
pengasingan.

Meskipun beberapa tokoh Kaum Adat ada yang tidak menyetujui langkah Bagagarsyah, ia
tetap meminta bantuan kepada Belanda dengan syarat untuk menyerahkan Kerajaan Pagaruyung
kepada pemerintah Hindia Belanda dengan menyerahkan daerah Simawang dan Sulit Air pada April
1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Pada 8 Desember 1821, pasukan tambahan
datang untuk memperkuat area yang sudah dikuasai dan Pada 4 Maret 1822 pasukan Belanda yang
dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff sudah berhasil membuat Kaum Padri mundur dari
Pagarruyung. Pertempuran demi pertempuran terus terjadi ini membuat Kaum Padri menyusun
strategi dan bertahan di Lintau yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh. Kehadiran Tuanku Imam
Bonjol membuat Belanda semakin ketar-ketir dan terus menambah pasukan untuk melakukan
penyerangan demi penyerangan. Kehadiran Belanda semakin memperumit keadaan di tanah
Minang.

Hingga pada tahun 1833 Kaum Adat berbalik menyerang Belanda bersama-sama dengan
Kaum Padri untuk menjadi satu kekuatan. Kaum Adat dan Kaum Padri yang mulai berkompromi ini
dimulai dengan adanya Plakat Puncak Pato yang menyetujui beberapa hal seperti "Adat basandi
syarak, syarak basandi kitabullah" atau "adat yang berdasarkan agama, agama berdasarkan
Kitabullah/Al-Qur’an". Setelah bersama Kaum Adat melawan Belanda dengan bersama-sama,
akhirnya Imam Bonjol ditangkap oleh Belanda setelah dijebak dengan dalih untuk melakukan
perundingan. Perjuangannya selama kurang lebih 15 tahun akhirnya harus disudahi dengan
ditangkapnya Imam Bonjol pada 28 Oktober 1837. Setelah ditangkap dan diasingkan di Cianjur,
Jawa Barat, Imam Bonjol juga dipindahkan ke Sulawesi Utara atau lebih tepatnya di daerah Lotak.
Lotak merupakan daerah kecil yang berjarak 9 kilometer dari kota Manado, yang juga menjadi
tempat terakhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di usia 92 tahun.

27
6. Diponegoro di Mataram (1825-1830)

Pangeran Diponegoro adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III memiliki nama
asli Raden Mas Ontowiryo, lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta. Sosok Pangeran
Diponegoro dikenal secara luas karena memimpin Perang Diponegoro atau disebut sebagai Perang
Jawa karena terjadi di tanah Jawa. Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang
pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara. Perang tersebut terjadi
karena Pangeran tidak menyetujui campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Selain itu, sejak
tahun 1821 para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga
Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Van der Capellen mengeluarkan dekrit pada tanggal 6 Mei
1823 yang menyatakan bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib
dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun, pemilik lahan diwajibkan
memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa.

Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan


membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.
Kekecewaan Pangeran Diponegoro juga semakin memuncak ketika Patih Danureja atas perintah
Belanda memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya.
Beliau kemudian bertekad melawan Belanda dan menyatakan sikap perang. Pada hari Rabu, 20 Juli
1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda
untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang pecah.
Meskipun kediaman Diponegoro jatuh dan dibakar, pangeran dan sebagian besar pengikutnya
berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro beserta keluarga
dan pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan
ke arah selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah
barat dari Kota Bantul.

Pangeran Diponegoro kemudian pindah ke Selarong, sebuah daerah berbukit-bukit yang


dijadikan markas besarnya. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa
yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran
menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaannya,
sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua
istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur. Penyerangan di Tegalrejo
memulai perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun. Diponegoro memimpin
masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan

28
barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang, dengan semangat “Sadumuk bathuk, sanyari
bumi ditohi tekan pati”; “sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati”. Sebanyak 15 dari 19
pangeran bergabung dengan Diponegoro. Bahkan Diponegoro juga berhasil memobilisasi para
bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, meskipun hal ini menjadi
kontroversi tersendiri. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin
spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan
I.S.K.S. Pakubuwono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan


menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo,
pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan
panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada
tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di
sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota
laskarnya dilepaskan. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado,
kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Perang Diponegoro yang terjadi selama lima tahun (1825 – 1830) telah menelan korban
tewas sebanyak 200.000 jiwa penduduk Jawa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah
8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi. Selain melawan Belanda, perang ini juga
merupakan perang (sesama) saudara antara orang-orang keraton yang berpihak pada Diponegoro
dan yang anti-Diponegoro (antek Belanda). Akhir perang ini menegaskan penguasaan Belanda atas
Pulau Jawa. Setelah perang Diponegoro, pada tahun 1832 seluruh raja dan bupati di Jawa tunduk
menyerah kepada Belanda kecuali bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III, justru hendak
menyerang seluruh kantor belanda yang berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di jawa tengah
seperti Wonogiri, karanganyar yang banyak dihuni oleh Warok.

B. Masa Kebangkitan Nasional

Masa inilah perjuangan yang dilakukan rakyat termasuk dalam kategori bervisi nasional.
Artinya pergerakan yang dilakukan untuk menentang kaum penjajah sebelum tahun ini, masih
bersifat kedaerahan atau sebatas masing-masing memperjuangkan kelompoknya masing-
masing.Timbulnya kesadaran baru dengan cita-cita nasional disertai lahirnya organisasi modern
sejak 1908, menandai lahirnya satu kebangkitan dengan semangat yang berbeda. Dengan demikian,
masa awal perjuangan bangsa periode ini dikenal pula dengan sebutan kebangkitan nasional. Istilah

29
pergerakan nasional lainnya juga digunakan untuk melukiskan proses perjuangan bangsa Indonesia
dalam fase mempertahankan kemerdekaan (masa revolusi fisik). Pergerakan masa ini merupakan

Pada permulaan XX bangsa Indonesia mengubah caranya didalam melawan kolonialisme


pemerintahan Hindia Belanda. Bentuk perlawanan itu ialah dengan menyadarkan bangsa Indonesia
akan pentingnya bernegara. Maka lahirlah bermacam macam organisasi, baik yang bergerak dalam
bidang pendidikan, sosial, maupun politik. Kesadaran berorganisasi dan bernegara ini dipelopori
oleh Dr. Soetomo dengan mendirikan Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Penggagas berdirinya
organisasi yang didirikan para pelajar School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) di
Jakarta ini adalah Wahidin Sudirohusodo (1852-1917). Berdirinya organisasi ini menjadi awal
gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia walaupun pada saat itu organisasi ini
hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan Jawa. Dimasa sekarang tanggal berdirinya Budi
Utomo diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Penyebab Munculnya Pergerakan Nasional

Pergerakan nasional yang mewujud sebagai buah protes atas sejumlah penindasan kaum
kolonial pada rakyat di Nusantara selama bertahun-tahun, bukanlah peristiwa yang terjadi tiba-tiba
dalam fase sesaat. Akan tetapi, melewati serangkaian proses mulai dari bentuknya yang relatif
sederhana (tradisional) dengan semangat kedaerahan, hingga pergerakan dalam kategori modern
dengan rasa sebangsa sebagai energi penggeraknya. Dengan demikian, untuk menjelaskan penyebab
timbulnya harus dihubungkaitkan bersama sejumlah prakondisi baik penyebab langsung maupun
tidak langsung.

Beberapa faktor penyebab timbulnya pergerakan nasional yang bersumber dari dalam negeri
(internal), antara lain digambarkan sebagai berikut:

1. Adanya tekanan dan penderitaan yang terus menerus, sehingga rakyat Indonesia harus bangkit
melawan penjajah;

2. Adanya rasa senasib-sepenanggungan yang hidup dalam cengkraman penjajah, sehingga timbul
semangat bersatu membentuk Negara;

3. Adanya rasa kesadaran nasional dan harga diri, menyebabkan kehendak untuk memiliki tanah air
dan hak menentukan nasib sendiri

30
Tekanan dan penderitaan terus menerus yang dimaksud merupakan akumulasi dari sejumlah
tindakan kaum penjajah, mulai dari Bangsa Portugis, Belanda, Inggris, Perancis, dan Jepang.
Belanda merupakan penjajah terlama menanamkan pengaruhnya di Nusantara, sehingga berbagai
bentuk penindasan yang membuat rakyat menjadi miskin, menderita, dan tertinggal telah menjadi
catatan hitam dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Perlakuan sejenis yang dialami bersama
itulah menimbulkan perasaan senasib dan akhirnya menjelma menjadi semangat untuk membentuk
sebuah negara. Kesadaran akan pentingnya kebersatuan untuk mewujudkan impian bersama
(membebaskan diri dari belenggu penjajah), pada gilirannya membentuk kesadaran nasional.

Faktor luar negeri yang turut mempercepat proses timbulnya pergerakan nasional, antara lain:

1. Adanya paham baru, yakni liberalisme dan human rights, akibat dari Perang Kemerdekaan
Amerika (1774-1783) dan Revolusi Perancis (1789), yang sudah mulai dikenal oleh para elit
intelektual.

2. Diterapkannya pendidikan sistem Barat dalam pelaksanaan Politik Etis (1902), yang
menimbulkan wawasan secara luas bagi pelajar Indonesia, walaupun jumlahnya sangat sedikit.

3. Kemenangan Jepang terhadap Rusia tahun 1905, yang membangkitkan rasa percaya diri bagi
rakyat Asia-Afrika dan bangkit melawan bangsa penjajah (bangsa berkulit putih).

4.Gerakan Turki Muda (1896-1918), yang bertujuan menanamkan dan mengembangkan


nasionalisme Turki, sehingga terbentuk negara kebangsaan yang bulat, dengan ikatan satu negara,
satu bangsa, satu bahasa, ialah Turki.

5. Gerakan Pan-Islamisme, yang ditumbuhkan oleh Djamaluddin al-Afgani bertujuan mematahkan


dan melenyapkan imperialisme Barat untuk membentuk persatuan semua umat Islam di bawah satu
pemerintahan Islam pusat. Gerakan ini menimbul- kan nasionalisme di Negara terjajah dan
antiimperialis.

6. Pergerakan nasional di Asia, seperti gerakan Nasionalisme di India, Tiongkok, dan Filipina.

Munculnya faham-faham baru berupa liberalisme, demokrasi, dan nasionalisme pasca Revolusi
Amerika dan Revolusi Perancis, tidak terlepas dari terjalinnya hubungan antara Eropa dengan Asia
terutama sejak pembukaan terusan Suez. Di mana komunikasi lintas benua ini, menjadi media
penyebaran isme-isme termasuk semangat nasionalisme di kalangan bangsa bangsa Asia tak
terkecuali Indonesia

31
Pada tahun 1922, Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan
Nasional Taman Siswa yang sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik
agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.Di
samping itu, kita mengenal nama-nama pahlawan perintis pergerakan nasional antara lain: H.O.S
Tjokroaminoto (Sarekat Islam, 1912), Douwes Dekker atau Danudirja Setyabudhi (Indische Partij,
1912), Tjipto Mangunkusumo, dan masih banyak nama-nama yang lain. Tonggak utama dalam
sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia ditandai dengan peristiwa Sumpah Pemuda pada 28
Oktober 1928. Pada saat itu pemuda pemuda Indonesia yang dipelopori oleh Muhammad Yamin,
Soegondo Djojopoespito, J. Leimena, Amir Syarifudin, dan lain lainnya mengikrarkan“Sumpah
Pemuda Indonesia” yang berisi pengakuan akan adanya bangsa, tanah-air dan bahasa yang satu,
yakni Indonesia. Dengan janji Sumpah Pemuda ini, makin tegaslah apa yang diinginkan oleh
bangsa Indonesia, yaitu kemerdekaan tanah-air dan bangsa Indonesia. Kemerdekaan ini dapat
dicapai dengan syarat mutlak, yaitu dengan adanya rasa persatuan sebagai satu bangsa. Organisasi
yang menjadi tombak kebangkitan nasional antara lain:

1. Perkumpulan Budi Utomo

Perkumpulan ini didirikan oleh para pelajar STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche
Artsen) di bawah pimpinan R. Soetomo. Sebelum R. Soetomo dkk. mendirikan Perkumpulan Budi
Utomo, terlebih dahulu terjadi pertemuan antara dr. Wahidin Sudirohusodo dengan R. Soetomo dan
M. Soeradji pada akhir tahun 1907, di dalam gedung STOVIA. Dalam pertemuan tersebut dr.
Wahidin banyak mengemukakan tentang ide-ide untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui "st
udiefonds" (dana pendidikan). Kalau bangsa sudah cerdas maka banyak wawasan yang timbul,
sehingga tidak mudah untuk diadudomba dan diatur oleh pihak penjajah. Sedangkan dari pihak R.
Soetomo dan para pelajar STOVIA telah tertanam rasa nasionalisme, untuk berbangsa dan
bernegara. Hal ini disebabkan bahwa para pelajar STOVIA telah banyak mengetahui perjuangan di
negara-negara lain, melalui berbagai buku bacaan yang diperolehnya . Dengan demikian antara
gagasan dr. Wahidin dengan gagasan R. Soetomo dkk itu, sangat cocok bagaikan "tumbu
menemukan tutupnya". Tidak lama kemudian, akhirnya R. Soetomo dengan M. Soeradji berhasil
mengadakan pertemuan dengan kawan-kawan pelajar STOVIA lainnya , untuk membicarakan
tentang berdirinya organisasi yang bersifat nasional itu.

Pertemuan tersebut diselenggarakan secara non-formal pada hari senggang (tidak ada
pelajaran). dengan mengambil tempat di salah satu ruang, yaitu Ruang Anatomi STOVIA. Hasil
pertemuan itu sangat positif dan berhasil mendirikan organisasi yang diberi nama "Perkumpulan

32
Budi Utomo". Organisasi ini tenyata merupakan organisasi modern, karena memiliki susunan
pengurus secara lengkap dan tujuan organisasi secara jelas yang dituangkan ke dalam Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Budi Utomo. Adapun kepengurusan Budi Utomo saat
berdirinya adalah sebagai berikut

Ketua : R. Soetomo

Wakil Ketua : M. Soelaiman

Sekretaris I : Soewarno I (Gondo Soewarno)

Sekretris II : M. Goenawan

Bendahara : R. Angka

Komisaris : M. Soeradji. M. Moh. Saleh, Soewarno II (M. Soewarno) dan R.M Goembrek

Tujuan dari organisasi Budi Utomo adalah meningkatkan dan memajukan pendidikan masyarakat,
melalui pemberian kesempatan serta beasiswa bagi masyarakat yang kurang mampu. Guna
mencapai tujuannya itu, Budi Utomo melakukan beberapa kegiatan, yakni:

1. Memajukan bidang pendidikan dengan melakukan pengajaran supaya dapat meraih kemajuan
bangsa Indonesia

2. Memajukan bidang pertanian, peternakan, serta perdagangan untuk meningkatkan perekonomian


Indonesia

3. Memajukan bidang industri dan teknik guna mendukung pertumbuhan ekonomi rakyat

4. Memajukan serta menghidupkan kebudayaan yang hampir redup. Dilakukan supaya Indonesia
tidak kehilangan identitas dan untuk melestarikan budaya daerah.

Pada tanggal 3 - 5 Oktober 1908, Budi Utomo mengadakan Kongres I di Yogyakarta. Dalam
Kongres tersebut Budi Utomo menghasilkan susunan Pengurus Besar Budi Utomo , AD/ ART Budi
Utomo dan menentukan Kantor Pusat Budi Utomo . Selanjutnya para pendiri Budi Utomo yang
terdiri dari para pelajar STOVIA tersebut di alas. merupakan pengurus Budi Utomo cabang Betawi .
Sedangkan Kantor Pengurus Besar Budi Utomo berada di Yogyakarta. dengan diketuai oleh RT A.
Tirto Kusumo dan dr. Wahidin Sudirohusodo sebagai wakil ketua. Dengan demikian tampak jelas
bahwa para pelajar STOVIA hanya sebagai pendiri saja. karena untuk Pengurus Besar Budi Utomo
33
dijabat oleh orang-orang yang lebih tua. yaitu para Bupati maupun pejabat yang lain. Hal ini jelas.
suatu jiwa besar dari para pelajar STOVIA yang merasa masih muda dan sibuk dengan sekolahnya.
Melihat hasil-hasil kongres yang nilainya positif itu . tidak lama kemudian di daerah-daerah. baik di
Jawa maupun di luar Jawa banyak cabang-cabang Budi Utomo yang didirikan.

Walaupun Budi Utomo memiliki cabang-cabang cukup banyak. belum ada perubahan
langkah perjuangannya. Yaitu tetap menempuh perjuangan melalui bidang sosial-budaya.
Hubungan dengan pemerintah cukup clekat. mengingat para pengurusnya sebagian besar terdiri dari
para pegawai pemerintah. Oleh karena itu, gerakan Budi Utomo terkesan lamban clan sangat hati-
hati . Bagi anggota Budi Utomo yang 22 tidak sabar, terpaksa ke luar dari keanggotaan Budi
Utomo, antara lain dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Mereka ini menginginkan
gerakan yang militan dan langsung bergerak dalam bidang politik. Budi Utomo bukan tidak mau
bergerak dalam bidang politik, tetapi tidak boleh terlalu cepat. Sebab sejak awal tujuan Budi Utomo
pada prinsipnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Jadi masih banyak segala sesuatu yang
diperlukan dan harus tetap bekerjasama dengan pihak pemerintah. Lebih baik "Biar lambat asal
selamat daripada hidup sebentar mati tanpa bekas". Itulah semboyan Budi Utomo menggunakan
filsafat "tumbuhnya pohon beringin". Pohon ini hidupnya lambat, dengan sabar, tetapi semakin
lama semakin bertambah besar dan apabila sudah besar berdiri kokoh dan rindang, serta dapat
memberi keteduhan siapa pun yang ada di bawahnya. Budi Utomo tidak menghendaki seperti
"tumbuhnya pohon kara atau semangka". Yaitu tumbuh cepat dan berbuah banyak, tetapi sekali
berbuah (hanya satu musim) terus pohonnya mati tidak dapat hidup lagi. Hal tersebut di atas
memang terbukti, bahwa Budi Utomo cukup lama bertahan, yaitu dari tahun 1908-1926 tetap masih
bergerak dalam bidang sosial-budaya dan belum berubah ke bidang politik. Setelah Dr. Soetomo
kembali dari negeri Belanda dan mendirikan organisasi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), yang
bergerak dalam bidang politik. maka Budi Utomo baru mulai mengubah langkah perjuangan ke
dalam bidang politik.

Hal demikian terjadi disebabkan kedua organisasi ini, pada mulanya didirikan oleh Dr.
Soetomo. Setelah Dr. Soetomo mendapat pengalaman perjuangan dalam memimpin Perhimpunan
Indonesia di negeri Belanda, di mana organisasi mahasiswa itu banyak bergerak dalam bidang
politik. maka tidak sulit untuk merubah Budi Utomo dari pergerakan sosial budaya ke pergerakan
politik. Apalagi setelah seringkali adanya musyawarah antara partai-partai besar tentang menjaga
keutuhan tenaga yang bergerak secara kooperasi. maka dalam Kongres Budi Utomo tanggal 24-26
Desember 1935 di Solo terjadilah fusi (penggabungan) antara PBI dengan Budi Utomo menjadi satu
dengan nama "Partai Indonesia Raya" (PARINDRA). Yang perlu dicatat dalam perjuangan Budi
34
Utomo adalah suatu cara pergerakan Budi Utomo yang pandai membaca situasi sehingga mampu
menjadi penggerak awal dan tercatat sebagai organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia
dan selanjutnya mampu bertahan cukup lama. Akhirnya pada saat yang tepat berhasil merubah
langkah perjuangannya ke dalam perjuangan di bidang politik secara aktif Sampai pada jatuhnya
pemerintahan Hindia Belanda . Gerak langkah Budi Utomo itu masih sangat terasa yang disalurkan
melalui organisasi gabungan. yaitu Parindra.

2. lndische Vereeniging

Indische Vereeniging dipelopori oleh Noto Soeroto dan Sutan Kasayangan. Mulanya
Indische Vereeniging merupakan organisasi mahasiswa bersifat sosial-budaya yang menaungi para
pemuda Indonesia dinegeri Belanda.oleh para mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh
studinya di negeri Belanda, pada tanggal 15 November 1908.. Sebagai organisasi mahasiswa yang
berada jauh dari tanah tumpah darahnya. maka kehidupan mahasiswa tersebut secara kerjasama dan
saling tolong menolong sesama mahasiswa. Sehingga dari yang belum mengenal. tetapi karena
merasa berasal dari tanah tumpah darah yang sama maka menjadi kenal dan semakin lama semakin
bertambah akrab . Tidak sedikit para mahasiswa saling pinjam meminjam biaya. apabila diantara
mereka ada yang belum mendapat kiriman uang untuk membiayai studinya . Lama kelamaan
mereka mulai merasa satu ikatan kebudayaan yang diteruskan menjadi ikatan berbangsa dan
bernegara . Organisasi yang pada awalnya hanya bergerak dalam bidang sosial. yang lengkap
dengan kepengurusannya itu mengikuti jejak Budi Utomo. Oleh karena itu . juga mempunyai
kepengurusan. terdiri dari

Ketua : Sutan Casyangan Soripada

Sekretaris merangkap anggota : Sumitro Kolopaking

Panitia Penyusun11 AD/ ART : Sosrokartono. dan Husein Djajadiningrat

Salah satu perjuangan Indische Vereeniging saat itu ialah dengan menerbitkan buletin yang
diberi nama Hindia Poetra. Ide nasionalis yang dibawa oleh Suwardi mampu menumbuhkan
keinginan untuk mengadakan publikasi. Tahun 1916 terbitlah majalah berkala Hindia Poetra, tetapi
isinya tidak sama sekali memuat tulisan politik. Untuk menunjukkan sikap nasionalismenya,
pengurus organisasi ini kemudian mengubah nama majalah Hindia Poetra dengan Indonesia
Merdeka. Kemudian pada tanggal 14 April 1917, Indische Vereeniging mengadakan pertemuan
dengan partai politik Indonesia seperti Sarekat Islam dan Boedi Oetomo di Belanda. Karena

35
pertemuan tersebut melibatkan partai politik maka sebagian besar diskusi mengandung unsur
politis. Terdapat sebuah fakta menarik yaitu digunakannya kata Indonesia (Indonesia) dan
Indonesiers (orang Indonesia) oleh Soerjopoetro selama pertemuan berlangsung.Laporan ini secara
jelas dituliskan dalam majalah Hindia Poetra No. 9 tahun 1917. Kemudian kata tersebut menjadi
populer di kalangan mahasiswa sebagai kata pengganti Indie (Hindia) dan Indiers (orang Hindia)
yang sangat merendahkan kedudukan orang Indonesia

Oleh karena itu, pada tahun 1922, organisasi tersebut berubah menjadi Indonesische
Vereeniging. Dengan demikian penggunaan kata Indonesia secara politis mulai dipakai sejak tahun
1922, untuk menggantikan nama 'Hindia Belanda'.Sejak berubah menjadi Indonesische Vereeniging
tahun 1922, organisasi Indonesische Vereeniging semakin berhaluan politik. Untuk pertama kali
kata Indonesische dimaknai secara politis.

Dalam rapat umum 1923, organisasi ini menegaskan tiga asas pokok Perhimpunan Indonesia yaitu;

1. Indonesia menentukan nasib sendiri

2. Indonesia harus mengandalkan kekuatan dan kemauan sendiri

3. Untuk melawan pemerintah kolonial Belanda, bangsa Indonesia harus bersatu.

Selama pendiriannya saat itu, Indische Vereeniging mengalami 2 kali pergantian nama
organisasi. Indonesische Vereeniging pada tahun 1922 dan Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925
di bawah pimpinan Iwa Kusuma Sumantri. Tepatnya pada 3 Februari 1925, organisasi Indische
Vereeniging berubah namanya menjadi Perhimpunan Indonesia. Tujuannya agar mempertegas
prinsip perjuangan organisasi ini. Sejak terpilihnya Iwa Kusuma Sumantri sebagai ketua yang baru
pada 1923, sifat perjuangan politik organisasi semakin kuat. Pemberontakan Perhimpunan
Indonesia yang paling fenomenal pada 1925 yang dikenal dengan manifesto politik. Adapun
penggunaan nama Indonesia memiliki arti penting. Pertama, untuk menunjukkan identitas bangsa,
bahwa di suatu tempat di atas muka bumi ini ada sebuah bangsa bernama Indonesia. Kedua, bangsa
Indonesia memiliki kepribadian sendiri, tidak dapat disamakan dengan kepribadian bangsa Belanda.
Ketiga, kata Indonesia menunjukkan tujuan ke arah pembentukan negara nasional yang lebih tegas.

3. Sarekat Dagang Islam

Tiga tahun sebelum lahirnya BO, telah lahir sebuah gerakan nasionalis yang dipelopori oleh
cerdik cendekia dan para pedagang Islam. Gerakan yang didirikan oleh Haji Samanhudi di

36
Surakarta pada tanggal 16 Oktober 1905 ini bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). SDI merupakan
organisasi ekonomi yang berdasarkan pada agama Islam dan perekonomian rakyat sebagai dasar
penggeraknya. Di bawah pimpinan H. Samanhudi, perkumpulan ini berkembang pesat hingga
menjadi perkumpulan yang berpengaruh. R.M. Tirtoadisuryo pada tahun 1909 mendirikan Sarekat
Dagang Islamiah di Batavia. Pada saat berdirinya, SDI dengan susunan pengurus sebagai berikut :

Presiden : Sjech Achmad bin Abdoelrachman Badjenet

Wakil Presiden : dr. Mohamad Dagrim

Komisaris : Sjech Achmad bin Said Badjenet, Sjech Galib bin Said Tebe, Sjech
Mohamad bin Badjenet, Mas Railoes, dan Haji Mohamad Arsad

Kasir : Sjech Said bin Abdurrachman

Badjenet Secretaris-Adviseur : R.M . Tirto Adhi Soerjo

Dalam waktu yang tidak lama keluarga Badjenet, menarik diri dari keanggotaan SDI.
Keluarga Badjenet menghendaki bahwa organisasi tetap bertujuan untuk "organisasi dagang" yang
titik beratnya pada bidang perekonomian. Sedangkan Tirto Adhi Soerjo menghendaki bahwa
organisasi akan diarahkan kepada suatu "Pergerakan dalam bidang politik". Oleh karena itu,
sebenarnya untuk keluarga Badjenet sangat cocok masuk dalam gerakan Islam, yang tergabung
dalam SDI. Setelah keluarga Badjenet keluar dari keanggotaan SDI, maka arah dan tujuan SDI
diwarnai gerakan dalam bidang politik. Dalam ha! ini Dr. Tirto Adhi Soerjo berkeliling seluruh
Jawa tapi yang dikunjungi hanya kota-kota besar saja . Tirto Adhi Soerjo tersebut , maka di Solo
berdiri Sarekat Dagang Islam yang diketuai oleh Haji Samanhudi . Dengan demikian jelas bahwa SI
merupakan perkembangan dari SDI yang pernah didirikan di Bogor pada tanggal 27 Maret 1909
oleh Tirto Adhi Soerjo bersama-sama keluarga Badjenet.

Kegiatan SDI selanjutnya, baik yang ada di Solo maupun di daerah-daerah lain terus diawasi
oleh pemerintah. Hal ini tampak bahwa pada saat Tirto Adhi Soerjo, sedang giat-giatnya
mempropagandakan program SDI di daerah Solo ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda dan
kemudian diasingkan. Sejak itu pula pimpinan SI dijabat oleh Haji Samanhoedi. Oleh karena itu,
mengenai tahun berdirinya SDI yang tertulis dalam buku-buku untuk SD, SMP, dan SMU, banyak
yang menggunakan angka tahun 1911, karena ditinjau menurut pemerintah Hindia-Belanda.

37
Terlepas mana yang dipakai mengenai angka tahun kelahiran SDI, yang jelas bahwa SDI
termasuk suatu organisasi pergerakan nasional yang ikut mewarnai perjuangan bangsa Indonesia
untuk mencapai cita-cita nasional. Tirto Adhi Soerjo tercatat sebagai tokoh yang ulet dalam SDI
dan juga sebagai pendiri pers nasional, yaitu "Medan Prijaji". Mengenai Medan Prijaji, pemerintah
Hindia-Belanda sangat khawatir dan terlihat dalam laporan Dr. Rinkers dalam surat rahasianya yang
ditujukan kepada Gubernur Jenderal tertanggal 19 Februari 1912. Dari tulisan-tulisan Tirto Adhi
Soerjo yang dimuat dalam Medan Prijaji, pihak pemerintah sudah menaruh kekhawatiran tentang
pengaruhnya di kalangan masyarakat luas. Oleh karena itu, Tirto Adhi Soerjo sering ditangkap
dibuang keluar Jawa. Sejak Tirto Adhi Soerjo dalam pembuangan. maka kegiatan SDI diteruskan
oleh Haji Samanhoedi. Program SI yang pernah dilontarkan oleh Tirto Adhi Soerjo tampak menjadi
dasar perjuangannya Kegiatan SDI yang telah berubah dari bidang ekonomi ke arah bidang politik
itu, tampak semakin sulit untuk bergerak di daerah Solo.

Di antara daerah yang paling tepat dan mendapat sambutan dari tokoh masyarakat setempat
adalah pada saat pergerakan SDI di daerah Surabaya. Dengan demikian Surabaya-lah yang dapat
diandalkan untuk pusat pergerakan SDI. Oleh karena itu, pada tahun 1915 di Surabaya didirikan
"Central Sarekat Islam" dengan ketua terpilih Haji Samanhoedi dan wakil ketua H. Cokroaminoto
dalam kegiatan pergerakan organisasi tersebut. maka tampak jelas pergerakan dalam bidang politik
lebih diutamakan. daripada kegiatan dalam bidang ekonomi. bahwa gerakan Islam itu diperkuat
untuk membina suatu barisan Islam dalam usaha pembentukan suatu bangsa''. tetapi sebagai penerus
dalam bidang politik adalah Cokroaminoto . Oleh karena itu Cokroaminoto dalam tahun itu juga
diangkat sebagai Ketua SL namun dalam pembentukan Central Sarekat Islam tahun 1915 Haji
Samanhoedi masih didudukkan sebagai Ketua dan Cokroaminoto sebagai Wakil Ketua . karena
telah ikut merintis perjuangan SDI sejak tahun 1911 , yang seterusnya sampai SDI menjadi
pergerakan nasional untuk mencapai cita-cita pembentukan suatu bangsa , seperti yang diucapkan
oleh Cokroaminoto tersebut. Melihat kepemimpinan Cokroaminoto dalam SI, maka pihak
pemerintah Hindia-Belanda semakin curiga terhadap organisasi itu. Dibentuk suatu pemerintahan
yang bertanggung jawab kepada Parlemen. Segala kegiatan Cokroaminoto sebagai Ketua SI, dinilai
oleh pemerintah Hindia-Belanda sangat merugikan, sehingga ia dicurigai.

Namun mengingat Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada saat itu, tidak bersifat kejam,
maka mosi Cokroaminoto itu bahkan dijadikan pertimbangan untuk kebijakan dalam membentuk
semacam Dewan Perwakilan Rakyat . yang selalu bersikap keras dan kejam dalam setiap
langkahnya untuk menindak kaum pergerakan nasional. Sedangkan semasa Gubernur Jenderal
dijabat oleh Van Limburg Stirum. Oleh karena itu.apa saja yang telah dilakukan oleh Gubernur
38
Jenderal sebelumnya , tidak menjadi suatu pegangan. Cara yang dipergunakan oleh pemerintah
Hindia-Belanda untuk memecah organisasi Islam itu adalah dengan mengadakan penyusupan ke
dalam organisasi tersebut. Beberapa orang Belanda yang berpaham sosialis demokrasi didatangkan
di Hindia-Belanda. Diantara mereka ini yang paling terkenal adalah Sneevliet. Ia diberi tugas untuk
memimpin infiltrasi ke dalam tubuh organisasi Islam yang dianggap berbahaya itu. Bahkan tidak
sedikit ajaran Marxis masuk ke dalam tubuh SI itu .

Akibatnya banyak orang-orang SI yang tertarik dengan ajaran tersebut. dalam waktu yang
tidak terlalu lama , yaitu sejak kedatangan orang-orang Belanda berpaham sosialis demokrasi pada
tahun 1913, pada bulan Mei 1914 di Semarang telah berhasil didirikan Indische Sociaal
Democratische Vereniging. Banyak orang-orang SI masuk ke dalam ISDV itu, yang berarti
mempunyai keanggotaan rangkap. Sedangkan ISDV dibentuk oleh orang-orang Belanda itu.
Dengan demikian berhasillah tujuan pemerintah memecah belah organisasi yang memiliki anggota
sangat besar itu . Orang-orang SI yang masuk ke dalam ISDV. Perbedaan pandangan antara orang-
orang SI yang terpengaruh paham sosialis demokrasi dengan yang tidak terpengaruh . Tujuan Partai
Nasional Indonesia adalah mencapai Indonesia merdeka dengan menggunakan tiga asas yaitu self
help (berjuang dengan usaha sendiri) dan non mendicancy, sikapnya terhadap pemerintah juga
antipati dan non kooperasi.

Sarekat Buruh yang dibentuk itu bernama "Persatuan Pergerakan Kaum Buruh" dan
langsung di bawah SI. yang berarti mempunyai garis hubungan vertikal kepada Central Sarekat
Islam . Sarekat Buruh ini juga dipimpin oleh Cokroaminoto, Suryopranoto, Sosrokartono, dan lain-
lain. yakni seperti tersebut di atas dan yang satu lagi bernama "Vereniging van Spoor en
Tramwegpersoneel/". Melihat permasalahan tersebut di atas, maka dalam tubuh SI ada perbedaan
pandangan yang sangat mendasar. Yakni dalam ha! faham dan Sarekat Buruh. Oleh karena itu,
dalam setiap rapat selalu terjadi perdebatan yang tidak menghasilkan titik temu. Salah satu pihak
memandang dari segi Islam dan di pihak lain memandang dari segi non-Islam, yaitu sosialis
demokrasi yang berbau marxis. Dalam keadaan yang demikian, kelompok Cokroaminoto dkk.
Mengusulkan kepada CSI, agar orang-orang yang memiliki keanggotaan rangkap diberikan suatu
ketegasan untuk memilih salah satu organisasi saja. Karena dua organisasi ini, mempunyai landasan
dan tujuan yang ber. Itu disetujui oleh CSI, sehingga pada tahun 1920, terjadi perpecahan dalam
tubuh SI. Kemudian atas dorongan Semaun dkk. maka dalam Kongres ISDV ke-7 tanggal 23 Mei
1920. Dalam rapat tersebut diputuskan bahwa :

1. Dibentuk organisasi penyatuan Sarekat Buruh dengan nama "Persatuan Vakbond Hindia" (PVH)

39
2. Apabila ada seorang pimpinan buruh ditangkap. kaum buruh akan mengadakan pemogokan
Ternyata Semaun dkk. sangat memaksakan untuk pemogokan, sehingga kelompok Cokroaminoto.
Menyatakan keluar dari PVH dan sekaligus juga merubah sikapnya dari kooperatif ke non
kooperatif. Dalam hal ini, berarti SI keluar dari Volksraad , dan rnenarnakan organisasinya rnenjadi
"Partai Sarekat Islam" (PSI).

4. Partai Nasional Indonesia

Partai Nasional Indonesia (PNI) adalah nama yang digunakan oleh beberapa partai politik
Indonesia sejak tahun 1927 sampai tahun 2000-an. PNI pertama kali didirikan oleh Soekarno pada 4
Juli 1927 di Bandung. Partai Nasional Indonesia sendiri menjadi partai politik tertua yang diketuai
oleh Tjipto Mangoenkoesoemo, Sartono, Iskak Tjokroadisurjo, dan Sunaryo. Partai Nasional
Indonesia lahir sebagai organisasi untuk mengekspresikan rasa nasionalisme Indonesia pada masa
pra kemerdekaan. Kemudian pada 4 Juli 1927, Soekarno, membentuk sebuah gerakan yang
dinamakan Persatuan Nasional Indonesia. Kemudian pada Mei 1928, terjadi perubahan nama
menjadi Partai Nasional Indonesia. Tujuan adanya organisasi ini adalah kemandirian ekonomi dan
politik untuk kepulauan Indonesia. PNI sendiri dibentuk didasarkan pada gagasan untuk tidak
bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda. Susunan Partai Nasional Indonesia adalah sebagai
berikut :

Ketua :Soekarno

Sekretaris/Bendahara :Tjipto Mangoenkoesoemo

:Mr. Budhyarto Martoatmodjo

:Iskak Tjokroadisurjo

Anggota :Samsi Sastrawidagda

:Sartono

:Sunario Sastrowardoyo

:Ir. Anwari

Pada akhir Desember 1929, PNI memiliki sebanyak 10.000 anggota. Hal ini kemudian
membuat para pihak berwenang merasa khawatir, sehingga Soekarno dan tujuh pemimpin partai

40
lainnya ditangkap pada Desember 1929. Mereka diadili karena dianggap mengancam ketertiban
umum. Akibat permasalahan ini, PNI pun dibubarkan pada 25 April 1931. Sampai akhirnya, pada
19 Agustus, Soekarno yang baru saja dilantik menjadi Presiden dalam rapat bersama PPKI
mengusulkan untuk membentuk negara partai sebagai media bagi rakyat dalam mendukung
pemerintah. PPKI kemudian mendirikan partai negara yang dinamai Partai Nasional Indonesia,
diambil dari nama partai pra-perang Soekarno.

5. Sumpah Pemuda 1928

Pada tanggal 28 Oktober 1928 terjadilah penonjolan peristiwa sejarah perjuangan Bangsa Indonesia
mencapai cita-citanya, Pemuda-pemuda Indonesia yang di pelopori Muh. Yamin, Kuncoro
Purbopranoto dan lain-lain mengumandangkan Sumpah Pemuda yang berisi pengakuan akan
adanya Bangsa, Tanah Air dan Bahasa Satu, yaitu Indonesia. Peristiwa sumpah pemuda dilatar
belakangi oleh munculnya dorongan untuk bersatu dalam diri pemuda Indonesia yang terbelah
akibat perbedaan suku, agama dan ras. Ungkapan istilah Sumpah Pemuda dimunculkan pada
Kongres pemuda 2 diselenggarakan pada 27-28 Oktober 1928 di Weltevreden oleh sebuah panitia
dengan susunan sebagai berikut:

Ketua: Soegondo Djojopoespito (PPPI)

Wakil Ketua: R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)

Sekretaris: Muhammad Yamin (Jong Sumatranen Bond)

Bendahara: Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)

Pembantu I: Djohan Mohammad Tjaja (Jong Islamieten Bond)

Pembantu II: R. Katja Soengkana (Pemuda Indonesia)

Pembantu III: R. C. L. Senduk (Jong Celebes)

Pembantu IV: Johannes Leimena (Jong Ambon)

Pembantu V: Rochjani Soe’oed (Pemoeda Kaoem Betawi)

Melalui sumpah pemuda ini makin tegaslah apa yang diinginkan oleh Bangsa Indonesia, yaitu
kemerdekaan tanah air, menyatukan perjuangan bangsa Indonesia, menekankan kebanggaan akan
bahasa Indonesia, menjaga keutuhan bangsa dan bangsa itu memerlukan adanya persatuan sebagai
41
bangsa yang merupakan syarat mutlak. Sebagai tali pengikat persatuan itu adalah Bahasa Indonesia.
Realisasi perjuangan bangsa pada tahun 1930 yakni dengan berdirinya Partai Indonesia sebagai
pengganti PNI yang dibubarkan. Kemudian golongan Demokrat yang terdiri dari Moh. Hatta dan
Sutan Syahrir mendirikan PNI Baru, dengan semboyan “ Kemerdekaan Indonesia harus dicapai
dengan kekuatan sendiri

5. Masa Penjajahan Jepang

Setelah Belanda diserbu oleh tentara Nazi Jerman pada 5 Mei 1940 dan akhirnya jatuh pada
10 Mei 1940, Ratu Wilhelmina dengan segenap aparat mengungsi ke Inggris sehingga pemerintah
Belanda masih dapat berkomunikasi dengan pemerintah jajahannya di Indonesia.Janji Belanda
tentang Indonesia merdeka di kemudian hari dalam kenyataannya hanya suatu kebohongan belaka
yang tidak pernah terwujud. Sampai akhir pendudukan Belanda, kemerdekaan bangsa Indonesia
tidak pernah diberikan.

Pada tanggal 7 Desember 1941 meletuslah Perang Pasifik, dengan ditandai dibomnya Pearl
Harbour oleh Jepang. Secara resmi Jepang menguasai Indonesia sejak 8 Maret 1942, ketika
Panglima Tertinggi Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati, Bandung. Jepang
mempropagandakan kehadiran di Indonesia untuk membebaskan Indonesia dari cengkraman
belanda. Pada kenyataannya hal itu tidak lebih dari siasat atau tipu muslihat agar rakyat Indonesia
mau membantu Jepang untuk menghancurkan Belanda. Kenyataan yang dihadapi oleh Bangsa
Indonesia bahwa sesungguhnya pendudukan Jepang tidak kalah kejam dengan penjajahan Belanda,
bahkan pada zaman penjajahan Jepang, Bangsa Indonesia mengalami puncak penderitaan dan
penindasan. Kekecewaan rakyat Indonesia akibat perlakuan jepang itu menimbulkan perlawanan-
perlawanan terhadap Jepang baik secara ilegal maupun secara legal, antara lain :

1. Perjuangan Terbuka Melalui Organisasi Bentukan Jepang

a. Gerakan 3 A

Usaha pertama kali yang dilakukan Jepang untuk memikat dan mencari dukungan
membantu kemenangannya dalam rangka pembentukan negara Asia Timur Raya adalah Gerakan 3
A yang mempunyai semboyan Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon
Pemimpin Asia . Organisasi tersebut dicanangkan pada bulan April 1942. Gerakan 3 A ini dipimpin
oleh Hihosyi Syimizu (propagandis Jepang) dan Mr. Samsudin (Indonesia). Untuk mendukung
gerakan tersebut

42
dibentuklah barisan pemuda dengan nama Pemuda Asia Raya di bawah pimpinan Sukarjo
Wiryopranoto dengan menerbitkan surat kabar Asia Raya.

b. Pusat Tenaga Rakyat (Putera)

Gerakan 3 A dianggap tidak efektif sehingga dibubarkan. Pada bulan Maret 1943
pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang dipimpin oleh Empat Serangkai,
yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur. Tujuannya
memusatkan segala potensi masyarakat Indonesia untuk membantu Jepang dalam Perang Asia
Pasifik. Bagi Indonesia untuk membangun dan menghidupkan kembali aspirasi bangsa yang
tenggelam akibat imperialisme Belanda. Untuk mencapai tujuan tersebut maka kegiatan yang harus
dilakukan meliputi menumbuhkan dan memperkuat kewajiban dan rasa tanggung jawab rakyat
dalam menghapus pengaruh Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat; mengambil bagian dalam usaha
mempertahankan Asia Raya; memperkuat rasa persaudaraan Indonesia–Jepang;mengintensifkan
pelajaran bahasa Jepang; memperhatikan tugas dalam bidang sosial ekonomi.

c. Badan Pertimbangan Pusat (Cuo Sangi In)

Cuo Sangi In adalah suatu badan yang bertugas mengajukan usul kepada pemerintah serta
menjawab pertanyaaan mengenai soal-soal politik, dan menyarankan tindakan yang perlu dilakukan
oleh pemerintah militer Jepang. Badan ini dibentuk pada tanggal 1 Agustus 1943 yang
beranggotakan 43 orang (semuanya orang Indonesia) dengan Ir. Soekarno sebagai ketuanya.

d. Himpunan Kebaktian Jawa (Jawa Hokokai)

Putera oleh pihak Jepang dianggap lebih bermanfaat bagi Indonesia daripada untuk Jepang.
Akibatnya, pada tanggal 1 Januari 1944 Putera diganti dengan organisasi Jawa Hokokai. Tujuannya
adalah untuk menghimpun kekuatan rakyat dan digalang kebaktiannya. Di dalam tradisi Jepang,
kebaktian ini memiliki tiga dasar, yakni pengorbanan diri, mempertebal persaudaraan, dan
melaksanakan sesuatu dengan bakti. Tiga hal inilah yang dituntut dari rakyat Indonesia oleh
pemerintah Jepang. Dalam kegiatannya, Jawa Hokokai menjadi pelaksana distribusi barang yang
dipergunakan untuk perang, seperti emas, permata, besi, dan alumunium dan lain-lain yang
dianggap penting untuk perang.

43
e. Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI)

Satu-satunya organisasi pergerakan nasional yang masih diperkenankan berdiri pada masa
pendudukan Jepang ialah MIAI. Golongan ini memperoleh kelonggaran karena dinilai paling anti-
Barat sehingga akan mudah dirangkul. MIAI diakui sebagai organisasi resmi umat Islam dengan
syarat harus mengubah asas dan tujuannya. Kegiatannya terbatas pada pembentukan baitul mal
(badan amal) dan menyelenggarakan peringatan hari hari besar keagamaan. Dalam asas dan tujuan
MIAI yang baru ditambahkan kalimat "turut bekerja dengan sekuat tenaga dalam pekerjaan
membangun masyarakat baru, untuk mencapai kemakmuran bersama di lingkungan Asia Raya di
bawah pimpinan Dai Nippon". MIAI sebagai organisasi tunggal Islam golongan Islam, mendapat
simpati yang luar biasa dari kalangan umat Islam. Kegiatan MIAI dirasa sangat membahayakan
bagi Jepang sehingga dibubarkan dan digantikan dengan nama Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi) yang disahkan oleh gunseikan pada tanggal 22 November 1943 dengan K.H. Hasyim
Asy'ari sebagai ketuanya.

2. Pergerakan Nasional Perjuangan Bawah Tanah

Perjuangan bawah tanah adalah perjuangan yang dilakukan secara tertutup atau rahasia.
Perjuangan bawah tanah pada umumnya dilakukan oleh para pemimpin bangsa kita yang bekerja di
instansi-instansi pemerintah Jepang. Jadi, mereka kelihatannya sebagai pegawai, namun dibalik itu
mereka melakukan kegiatan yang bertujuan menghimpun dan mempersatukan rakyat meneruskan
perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Perjuangan bawah tanah terdapat di berbagai daerah,
seperti Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, dan Medan. Di Jakarta ada beberapa kelompok yang
melakukan perjuangan bawah tanah. Kelompok-kelompok tersebut, antara lain sebagai berikut.

1. Kelompok Sukarni

Pada masa pendudukan Jepang, Sukarni bekerja di Sendenbu atau Barisan Propaganda
Jepang bersama Moh. Yamin. Gerakan ini dilakukan dengan menghimpun orang-orang yang
berjiwa revolusioner, menyebarkan cita-cita kemerdekaan, dan membungkam kebohongan
kebohongan yang dilakukan oleh Jepang.Untuk menutupi gerakannya, Kelompok Sukarni
mendirikan asrama politik dengan nama Angkatan Baru Indonesia. Di dalam asrama inilah para
tokoh pergerakan nasional yang lain, seperti Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. Ahmad Subarjo,
dan Mr. Sunaryo mendidik para pemuda yang berkaitan dengan pengetahuan umum dan masalah
politik.

44
2. Kelompok Ahmad Subarjo

Ahmad Subarjo ada masa pendudukan Jepang menjabat sebagai Kepala Biro Riset Kaigun
Bukanfu (Kantor Perhubungan Angkatan Laut) di Jakarta. Ahmad Subarjo berusaha menghimpun
tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang bekerja dalam Angkatan Laut Jepang. Atas dorongan dari
kelompok Ahmad Subarjo inilah maka Angkatan Laut berhasil mendirikan asrama pemuda dengan
nama Asrama Indonesia Merdeka. Di Asrama Merdeka inilah para pemimpin bangsa Indonesia
memberikan pelajaran-pelajaran yang secara tidak langsung menanamkan semangat nasionalisme
kepada para pemuda Indonesia.

3. Kelompok Sutan Syahrir

Kelompok Sutan Syahrir berjuang secara diam-diam dengan menghimpun mantan teman-
teman sekolahnya dan rekan seorganisasi pada zaman Hindia Belanda. Dalam perjuangannya,
Syahrir menjalin hubungan dengan pemimpin-pemimpin bangsa yang terpaksa bekerja sama dengan
Jepang. Syahrir memberi pelajaran di Asrama Indonesia Merdeka milik Angkatan laut Jepang
(Kaigun) bersama dengan Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ahmad Subarjo, dan Iwa Kusuma
Sumantri.

4. Kelompok Pemuda

Kelompok pemuda ini pada masa pendudukan Jepang mendapat perhatian khusus sebab
akan digunakan untuk menjalankan kepentingan Jepang. Pemerintahan militer Jepang menanamkan
pengaruhnya melalui kursus-kursus dan lembaga-lembaga pendidikan, seperti kursus di Asrama
Angkatan Baru Indonesia yang didirikan oleh Angkatan Laut Jepang. Akan tetapi, para pemuda
Indonesia tidak mudah termakan oleh propaganda Jepang. Pada masa pendudukan Jepang, di
Jakarta ada dua kelompok pemuda yang aktif berjuang yang terhimpun dalam Ika Gaigakhu
(Sekolah Tinggi Kedokteran) dan Badan Permusyawaratan/Perwakilan Pelajar Indonesia
(BAPEPPI). Organisasi inilah yang aktif berjuang bersama kelompok yang lain. Tokoh-tokohnya,
antara lain Johan Nur, Eri Sadewa, E.A.Ratulangi, dan Syarif Thayeb.

3. Pergerakan Nasional Perjuangan Bersenjata Melawan Jepang

Para pemimpin pergerakan nasional semakin tidak tahan menyaksikan penderitaan dan
kesengsaraan rakyat yang memilukan. Oleh karena itu, sebagian dari mereka mulai bangkit
menentang Jepang dengan cara perlawanan senjata. Perlawanan bersenjata terhadap Jepang terjadi
di berbagai daerah, antara lain sebagai berikut:
45
1. Di Aceh, perlawanan meletus di daerah Cot Plieng pada bulan November 1942 di bawah
pimpinan Tengku Abdul Jalil. Perlawanan ini akhirnya dapat ditumpas oleh tentara Jepang dan
Abdul Jalil mati ditembak.

2. Di Jawa Barat, perlawanan meletus pada bulan Februari 1944 yakni di daerah Sukamanah di
bawah pimpinan K.H. Zainal Mustafa. Ia tidak tahan lagi melihat kehidupan rakyat yang sudah
semakin melarat dan menderita akibat beban bermacam-macam setoran dan kerja paksa. Di
samping itu, K.H. Zainal Mustafa juga menolak melakukan seikeirei, hal ini dinilai bertentangan
dengan ajaran Islam sehingga ia menghimpun rakyat untuk melawan Jepang. Seikeirei, yaitu
penghormatan kepada Kaisar Jepang yang dianggap sebagai ketunan Dewa Matahari dengan cara
menghadap ke timur laut (Tokyo) dan membungkukkan badan dalam-dalam.

3. Di Aceh, perlawanan muncul lagi pada bulan Nopember 1944 yang dilakukan oleh prajurit-
prajurit Giyugun di bawah pimpinan Teuku Hamid. Ia bersama satu peleton anak buahnya
melarikan diri ke hutan kemudian melakukan perlawanan. Untuk menumpas pemberontakan ini,
Jepang melakukan siasat yang licik, yakni menyandera seluruh anggota keluarganya. Dengan cara
ini akhirnya Teuku Hamid menyerah dan pasukannya bubar.

4. Di Blitar, perlawanan meletus pada tanggal 14 Februari 1945 di bawah pimpinan Supriyadi,
seorang Komandan Pleton I Kompi III dari Batalion II Pasukan Peta di Blitar. Perlawanan di Blitar
ini merupakan perlawanan terbesar pada masa pendudukan Jepang.Demikianlah Materi Pergerakan
Nasional pada Masa Pendudukan Jepang (Perjuangan Terbuka, Bawah Tanah dan Bersenjata).

46
DAFTAR PUSTAKA

Marwati Djoened, Poesponegoro. Sejarah Nasional Indonesia Jilid 5: Zaman Kebangkitan


Nasional & Masa Hindia Belanda. Balai Pustaka (Persero), PT, 2008.

Murni, SPD. (2005). Pergerakan Nasional Indonesia. Jurusan Sejarah Fakultas Sastra USU.

Sartono Kartodirjo, dkk., Sejarah Nasional Indonesia V, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan-Balai Pustaka, 1977), hlm. 181.

Ahmadin (2015). SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL INDONESIA. RAYHAN INTERMEDIA.


1-39

Arfand (2021). Kerajaan Majapahit. Diakses pada 9 September 2023 pada pukul 11.00

https://ksatrialiterasi.man1gresik.sch.id/2021/07/26/kerajaan-majapahit/

Widya Lestari Ningsih (2021). Sultan Ageng Tirtayasa: Asal-usul, Peran, dan Perjuangan. Diakses
pada 9 September pukul 11.30

https://www.kompas.com/stori/read/2021/05/04/181948179/sultan-ageng-tirtayasa-asal-usul-peran-
dan-perjuangan

Pangesti, Rika. "Sejarah Perhimpunan Indonesia, Awal Mula Gerakan Mahasiswa Tanah Air."
Detikedu, 22 Dec. 2021. Diakses pada 9 September 2023 pukul 12.00

www.detik.com/edu/detikpedia/d-5866252/sejarah-perhimpunan-indonesia-awal-mula-gerakan-
mahasiswa-tanah-air

Meilani Teniwut (2022). Kisah Perjuangan Kapitan Pattimura dan Hal Positif yang Bisa Dicontoh.
Diakses pada 9 September 2023 pukul 12.30

https://mediaindonesia.com/humaniora/534199/kisah-perjuangan-kapitan-pattimura-dan-hal-positif-
yang-bisa-dicontoh

47

Anda mungkin juga menyukai