Instruktur SL:
drg. Kosno Suprianto, MDSC, Sp.Perio
Anggota :
Amirah Balqis (2011411015)
Garvinia Pamberga (2011413018)
Hafizatul Fitrah (2011412004)
Keisha Joventa (2011413006)
Mariska Rizki Ananda (2011412021)
Miftahul Rizka Amalia (2011412018)
Penyusun
MODUL 5
FARMASI KEDOKTERAN GIGI
Skenario 5
LAGI - LAGI RESEP OBAT
Bapak Firman 58 tahun datang ke Poliklinik Penyakit Mulut atas rujukan dari
Poliklinik Penyakit Dalam. Bapak Firman mengeluhkan sejak 2 bulan ini, pipi kiri bagian
dalamnya terasa luka dan perih. Luka dirasakan makin melebar dan bertambah sakit. Bapak
Firman juga mengeluhkan mulutnya terasa kering dan panas. Dari anamnesis diketahui Bapak
Firman mengonsumsi obat hipertensi dan diabetes melitus sejak 6 tahun yang lalu. Setelah
melakukan pemeriksaan klinis, dokter memberikan penjelasan bahwa penyakit yang diderita
Bapak Firman disebabkan oleh obat-obat yang dikonsumsi yang memicu respon imun. Mulut
kering yang dialami dikarenakan ada beberapa obat yang mempengaruhi kerja sistem saraf
otonom yang berperan mengatur sekresi kelenjar saliva.
Mengingat banyaknya obat yang dikonsumsi pasien, dan pertimbangan adanya
interaksi obat tertentu, Dokter yang bertugas di Poliklinik Penyakit Mulut kemudian
memberikan resep obat topikal berupa salep yang mengandung antiinflamasi dan
antihistamin, serta obat kumur yang mengandung antimikroba dan anestetik. Untuk
mengurangi rasa sakit, Dokter juga memberikan analgetik tablet per oral. Dokter lalu
menjelaskan dosis dan cara pemakaian obat tersebut. Pasien disarankan untuk berkonsultasi
dengan dokter internist yang menanganinya untuk dapat memberikan toleransi terhadap
penggunaan beberapa obat yang dicurigai sebagai penyebab lesi oral tersebut. Bagaimana
saudara menjelaskan kasus Bapak Firman tersebut?
Langkah 1. Mengklarifikasi terminologi yang tidak diketahui dan mendefinisikan hal-
hal yang dapat menimbulkan kesalahan interpretasi.
1. Antinflamasi
Golongan obat yang menekan atau mengurangi peradangan.
Antiinflamsi steriod dan non steroid
2. Antihistamin
Obat yang mampu menetralkan reaksi histamin pada tubuh. Biasa digunakan untuk
pengobatan alergi
3. System saraf otonom
bagian sistem saraf perifer motorik yang bertanggung jawab untuk hemostastik
4. Obat topical
Jenis obat yang pemakaian di permukaan kulit atau selaput lender
5. Analgetik
Jenis obat yang digunakan meredakan rasa nyeri
6. Antimikroba
Suatu agen atau obat yang membunuh/menghentikan/ menghambat pertumbuhan mikroba
7. Anestetik
Obat yang digunakan untuk membuat pasien mati rasa/menghilangkan kesdaran pasien
yang digunakan saat operasi
Dosis
Takaran obat yang harus diberikan untuk menghasilkan efek yang diharapkan (efek yang
berkhasiat)
Khasiat
Istilah klinik yang dapat diukur untuk menyatakan penyemb uhan,pengurangan
peringanan (profilaksis ) suatu penyakit yang dapat dicapai dengan obat.
Farmakon
Dalam bahasa sehari hari sama artinya dengan bahan obat dan obat. Dalam psutaka ilmiah
diartikan sebagai senyawa biologi secara umun
2. Distribusi
· Transport obat melalui aliran darah/limfe ke tempat kerja obat (jaringan atau organ)
· Distribusi obat yang telah diabsorpsi tergantung beberapa faktor yaitu:
a) Aliran darah. Setelah obat sampai ke aliran darah, segera terdistribusi ke organ
berdasarkan jumlah aliran darah. Organ dengan aliran darah terbesar adalah jantung, hepar,
dan ginjal. Sedangkan distribusi ke organ lain seperti kulit, lemak, dan otot lebih lambat
b) Permeabilitas kapiler. Distribusi obat tergantung pada struktur kapiler dan struktur obat.
c) Ikatan protein. Obat yang beredar di seluruh tubuh dan berkontak dengan protein dapat
terikat atau bebas. Obat yang terikat protein tidak aktif dan tidak dapat bekerja. Hanya obat
bebas yang dapat memberikan efek. Obat dikatakan berikatan protein tinggi bila >80% obat
terikat protein
sifat obat
patologi
status gizi dan nutrisi
usia
afinitas terhadap organ
ikatan protein
pasokan daran
· Berdasarkan sifat obat dibagi atas
- Terdistribusi ke plasma
- Terdistribusi dalam plasma dan ekstrasel laim
- Terdistribusi ekstrasel dan intrasel
3. Metabolisme
· Metabolisme atau biotransformasi obat adalah proses tubuh mengubah komposisi obat
sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar tubuh.
· Obat dapat dimetabolisme melalui beberapa cara yaitu:
a) menjadi metabolit inaktif kemudian diekskresikan; dan
b) menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri dan
c) bisa dimetabolisme lanjutan.
· Beberapa obat diberikan dalam bentuk tidak aktif kemudian setelah dimetabolisme
baru menjadi aktif (prodrugs).Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran
endoplasmic reticulum (mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolisme yang lain
(ekstrahepatik) adalah: dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit, juga di lumen kolon
(oleh flora usus).
· Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak) menjadi
polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat
aktif umunya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian dapat berubah menjadi lebih aktif, kurang
aktif, atau menjadi toksik.
· Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme adalah sebagai berikut.
a) Kondisi Khusus. Beberapa penyakit tertentu dapat mengurangi metabolisme, antara lain
penyakit hepar seperti sirosis.
b) Pengaruh Gen. Perbedaan gen individual menyebabkan beberapa orang dapat
memetabolisme obat dengan cepat, sementara yang lain lambat.
c) Pengaruh Lingkungan. Lingkungan juga dapat mempengaruhi metabolisme, contohnya:
rokok, keadaan stress, penyakit lama, operasi, dan cedera
d) Usia.Perubahan umur dapat mempengaruhi metabolisme, yaitu usiabayi versus dewasa
versus orang tua.
e) Keberadaan obat lain : inductor enzim dan inhibitor enzim
4. Eksresi
· artinya eliminasi atau pembuangan obat dari tubuh.
· Sebagian besar obat dibuang dari tubuh oleh ginjal dan melalui urin. Obat jugadapat
dibuang melalui paru-paru, eksokrin (keringat, ludah, payudara), kulit dan traktusintestinal.
· Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi melalui ginjal
dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk
aktif merupakan cara eliminasi obat melalui ginjal.
· Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 (tiga) proses, yakni
filtrasi glomerulus, sekresi aktif di tubulus, dan reabsorpsi pasif di sepanjang tubulus.
· Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12 bulan, dan setelah dewasa
menurun 1% per tahun.
· Organ ke dua yang berperan penting, adalah melalui empedu ke dalam usus dan keluar
bersama feses.
· Ekskresi melalui paru terutama untuk eliminasi gas anastetik umum (Gunawan,
2009).untuk bahan/metabolit berbentuk gas. Tergantung pada volume pernapasan contoh :
alcohol, rokok
· Faktor yang dapat mempengaruhi eksresi :
- Sifar fisikokimia
- pH urin
- aliran darah
- usia
- kondisi patologi
Hal-hal lain terkait Farmakokinetik adalah sebagai berikut.
a. Waktu Paruh. Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan sehingga setengah dari obat
dibuang dari tubuh. Faktor yang mempengaruhi waktu paruh adalah absorpsi, metabolism
dan ekskresi.Waktu paruh penting diketahui untuk menetapkan berapa sering obat harus
diberikan.
b. Onset, puncak, dan durasi kerja obat. Onset adalah waktu dari saat obat diberikan hingga
obat terasa kerjanya. Waktu onset ini sangat tergantung pada rute pemberian dan
farmakokinetik obat. Puncak, adalah waktu di mana obat mencapai konsentrasi tertinggi
dalam plasma. Setelah tubuh menyerap semakin banyak obat maka konsentrasinya di dalam
tubuh semakin meningkat sehingga mencapai konsentrasi puncak respon. Durasikerjaobat
adalah lama waktu obat menghasilkan suatu efek terapi atau efek farmakologis.
Interaksi Obat
Interaksi obat adalah peristiwa dimana aksi suatu obat di ubah atau dipengaruhi oleh obat lain
yang di berikan bersamaan. Interaksi obat terjadi jika suatu obat mengubah efek obat lainnya.
Kerja obat yang diubah dapat menjadi lebih atau kurang aktif. Pengobatan dengan beberapa
obat sckaligus (Poifarmasi) yang menjadi kebiasaan para dokter memudahkan terjadinya
interaksi obat. Suatu survey yang di laporkan pada tahun 1997 mengenai Polifarmasi pada
penderita yang dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa insidens efek samping pada
penderita yang mendapat 0-5 macam obat adalah 3,5%, sedangkan yang mendapat 16-20
macam obat adalah 54%. Peningkatan insidens efek samping yang jauh melebihi peningkatan
jumlah obat yang di berikan bersama ini diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat yang
juga makin meningkat. Berdasarkan mekanisme interaksi obat secara garis besar dapat di
bedakan menjadi 3 mekanisme yaitu:
1. Interaksi Farmasetik
Interaksi ini terjadi diluar tubuh (sebelum obat di berikan) antara obat yang tidak bisa di
campur (inkompatibel). Pencampuran obat demikian menyebabkan terjadinya interaksi
langsung secara fisika atau kimiawi, yang hasilnya mungkin terlihat sebagai pembentukan
endapan, perubahan warna dan lain-lain, atau mungkin juga tidak terlihat. Interaksi ini
biasanya berakibat inaktivasi obat. Beberapa tindakan untuk menghindari interaksi farmasetik
yaitu:
a) Jangan memberikan suntikan campuran obat kecuali kalau yakin betul bahwa tidak ada
interaksi antar masing-masing obat
b) Dianjurkan sedapat mungkin juga menghindari pemberian obat bersama-sama lewat infus
c) Selalu memperhatikan petunjuk pemberian obat dari pembuatnya (manufacturer leaflet),
untuk melihat peringatan-peringatan pada pencampuran dan cara pemberian obat (terutama
untuk obat-obat parenteral misalnya injeksi infus dan lain-lain)
d) Sebelum memakai larutan untuk pemberian infus, intravenosa atau yang lain, diperhatikan
bahwa perubahan warna, kekeruhan, dari larutan
e) Siapkan larutan hanya kalau diperlukan saja
f) Botol infus harus selalu diberi label tentang jenis larutannya, obat- obatan yang sudah di
masukkan, termasuk dosis dan waktunya.
g) Jika harus memberi per infus dua macam obat, berikan 2 jalur infus, kecuali kalau yakin
tidak ada interaksi.
2. Interaksi farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi absorpsi, distribusi,
metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar plasma obat kedua meningkat atau
menurun. Akibatnya, terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan efektivitas obat tersebut.
Interaksi farmakokinetik tidak dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan
obat yang berinteraksi, sekalipun struktur kimia yang mirip, karena anter obat segolongan
terdapat variasi sifat-sifat fisikokimia yang menyebabkan variasi sifat-sifat
farmakokinetiknya.
1) Interaksi proses absorpsi
Interaksi ini dapat terjadi akibat perubahan harga PH obat pertama. Pengaruh absorpsi suatu
obat mungkin terjadi akibat pengurangan waktu huni dalam saluran cerna atau akibat
pembentukan kompleks.
2) Interaksi proses distribusi
Jika dalam darah pada saat yang sama terdapat tempat ikatan pada protein plasma. Persaingan
terhadap ikatan protein merupakan proses yang sering yang sesungguhnya hanya baru relevan
jika obat mempunyai ikatan protein yang tinggi, lebar, terapi rendah dan volume distribusi
relatif kecil. Kompetisi untuk ikatan dalam jaringan terjadi misalnya antara digoxin dan
kuinidin dengan akibat peningkatan kadar plasma digoxin.
3) Interaksi pada proses metabolisme
Interaksi dalam metabolisme dapat terjadi dengan dua kemungkinan, yakni pemacu enzim
atau penghambat enzim. Suatu obat presipitan dapat memacu metabolisme obat lain (obat
objek) sehingga mempercepat eliminasinya.
4) Interaksi pada proses eliminasi
Interaksi pada proses eliminasi melaui ginjal dapat tejadi akibat perubahab PH dalam urin
atau karena persaingan tempat ikatan pada sistem tranformasi yang berfungsi untuk ekskresi.
3. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang mempunyai khasiat atau
efek samping yang berlawanan. Interaksi ini disebabkan oleh kompetisi pada reseptor yang
sama, atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologik yang sama. Interaksi
ini biasanya dapat diperkirakan dari pengetahuan tentang farmakologi obat- obatan yang
berinteraksi. Pada umumnya, interaksi yang terjadi dengan suatu obat akan terjadi juga
dengan obat-obat sejenisnya. Interaksi ini terjadi dengan intensitas yang berbeda pada
kebanyakan pasien yang mendapat obat-obat yang berinteraksi (Anonim, 2000)
Efek yang terjadi pada interaksi farmakodinamik yaitu:
a) Sinergisme
Interaksi farmakodinamik yang paling umum terjadi adalah sinergisme antara dua obat yang
bekerja pada sistem, organ, sel atau enzim yang sama dengan efek farmakologi yang sama.
b.) Antagonisme
Interiaksi terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang berlawanan
sehingga mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat.
c.) Efek reseptor tidak langsung
Kombinasi ini dapat bekerja melalui mekanisme saling mempengaruhi efek reseptor yang
meliputi sirkulasi kendali fisiologi atau biokimia.
Efek dan keparahan interaksi obat dapat sangat bervariasi antara pasien yang satu dengan
pasien lainnya. Berbagai faktor dapat mempengaruhi kerentanan pasien terhadap interaksi
obat. Pasien yang rentan terhadap interaksi obat antara lain :
a. Pasien lanjut usia
b. Pasien yang minum lebih dari satu macam obat
c. Pasien yang mempunyai gangguan fungsi hati dan ginjal
d. Pasien dengan penyakit akut
e. Pasien dengan penyakit tidak stabil
f. Pasien yang mempunyai karakteristik genetik tertentu
g. Pasien yang dirawat lebih dari satu dokter
Anti Bakteri
obat antibiotik golongan penghambat sintesis dinding sel dibagi menjadi dua kelas yaitu
golongan B-laktam dan polipeptida.
-Antibiotik Golongan B-Laktam.
obat golongan ini mempunyai struktur kimia yang mengandung cincin B-laktam. obat ini
bersifat bakterisidal. cincin B-laktam tersebut bertanggung jawab terhadap aktivitas
antimikrobial. Pada resistensi, terdapat bakteri yang mensekresi enzim B-laktamase
(penisilase atau sefalosporinase) yang dapat membuka cincin B-laktam mengakibatkan
inaktivasi antimikrobial.
1. Penisilin
terdapat empat golongan senyawa penisilin, yaitu
a. penisilin alami, bersifat sensitif terhadap penisilase dan spektrum sempit hanya pada
bakteri gram positif. Contohnya penisilin dan penisilin
b. resisten terhadap penisilase, produk sintesis yang resisten terhadap enzim B-laktamase dan
berspektrum sempit hanya pada bakteri gram positif. contohnya methisilin, oksasilin,
kloksasilin.
c. Aminopenisilin. Bersifat sensitif terhadap penisilase dan spektrum lebih luas (gram positif
dan gram negative). Contohnya amoksisilin dan ampisilin.
d. turunan penisilin lain dengan spektrum diperluas. Golongan penisilin ini aktif terhadap
pseudomonas dan klebsiella, namun tidak efektif terhadap bakteri gram positif. Contohnya
mezlosilin dan piperasilin.
penisilin mengalami eksresi melalui proses sekresi tubular aktif. menghambatan pada proses
tersebut oleh probenesid menyebabkan proses eksresi penisilin terhambat sehingga kadarnya
dalam darah lebih besar dan aksi penisilin menjadi lebih lama. oleh karena itu, penisilin
sering dikombinasi dengan probenesid. efek samping yang terpenting dari penisilin adalah
reaksi hipersensitasi atau reaksi alergi yaitu disebabkan oleh degradasi produk penisilin yang
berinteraksi dengan protein inang menjadi antigenik. contoh obat golongan penisilin ini
adalah Ampicillin, Amoxil, corsamox, hufanoxil, novamox, protamox, rampicillin, vulamox.
2. Sefalosporin
Generasi pertama bersifat sensitif terhadap enzim B-laktamase dan berspektrum sempit.
Dalam hal ini, berspektrum sempit adalah relatif, karena sebenarnya aksinya atau spektrum
sefalosporin generasi pertama adalah sefazolin atau sefaleksin.
Generasi kedua mempunyai stabilitas yang lebih baik, dan aktivitasnya terhadap bakteri gram
negatif lebih tinggi. Contoh generasi kedua adalah sefaklor, sefamandol dan sefoksitin.
Generasi ketiga mempunyai spektrum luas dan lebih resisten terhadap enzim B-laktamase.
contoh generasi ketiga adalah sefotaksim, seftazidim dan seftriakson. obat generasi ini (dan
geberasi kedua) dapat menembus barier darah otak dan digunakan pada pengobatan
meningitis. generasi keempat mempunyai aktivitas baik terhadap bakteri gram positif maupun
gram negatif, dan mempunyai resistensi terhadap enzim B-laktamase yang lebih baik. contoh
dari generasi keempat adalah sefepim dan sefripom.
3. karbapenem
karbapenem merupakan antibiotika golongan B-laktam yang baru, contohnya adalah
imipenem dan meropenem. Keduanya hanya bisa diberikan secara intravena.
4. Monobaktam
monobaktam juga merupakan antibiotika golongan B-laktam baru, mempunyai struktur B-
laktam monosiklik.
b. tetrasiklin
tetrasiklin masuk ke dalam sel bakteri melalui sistem transport yang tergantung energi.
Tetrasiklin juga dapat digunakan pada infeksi bakteri baik bakteri gram positif maupun gram
negatif. resistensi terhadap tetrasiklin terjadi Ketika bakteri bermutasi sehingga
mengakibatkan obat tidak masuk dalam sel bakteri.
c. kloramfenikol
kloramfenikol merupakan antibiotika berspektrum luas. obat ini efektif digunakan terhadap
bakteri aerob maupun anaerob, kecuali pseudomonas aeruginosa. mekanisme aksinya
menghambat proses transpepsidasi pada sintesis protein.
d. makrolida
obat ini diabsorpsi dengan baik dalam tubuh, namun makanan dapat mengganggu
absorpsinya. obat ini dapat mengalami eksresi melalui empedu. obat ini digunakan pada
penyakit infeksi myoplasma, pneumonia, penyakit legionnaire, difteri, pertusis dan infeksi
klamidial. mekanisme aksinya adalah menghambat proses translokasi pada sintesis protein.
Contoh antibiotika golongan ini adalah eritromisin, azitromisin dan claritromisin.
e. clindamisin
obat golongan ini dinamakan juga linkosamid. obat ini relative jarang digunakan
dibandingkan lainnya.
Antagolonis folat
Asam folat merupakan senyawa yang digunakan dalam sintesis asam amino dan DNA dalam
sel. Bakteri tidak dapat mengabsorspsi asam folat sehingga harus membuat sendiri dari
substrat PABA (para-amino benzoic acid, glutamat dan pteridin. Di lain pihak, manusia tidak
dapat membuat asam folat. pada manusia, asam folat merupakan vitamin B kompleks.
Antagonis folat mempunyai spektrum luas dan efektif terhada baik bakteri gram positif dan
negatif. contoh obat antagonis folat lainnya adalah sulfasetamid, sulfasalazin, sulfadiazin dan
sulfapiridin.
Antifungal
Antifungi dibedakan menjadi dua yaitu : obat infeksi fungi sistemik dan obat infeksi fungi
superfisial. penyakit akibat infeksi fungi sistemik antara lain kandidiasis idiasis sistemik,
meningitis kroptokokal, blastomikosis, kokki;diomikosis dan parakokki;diomikosis.
(edangkan infeksi fungi superfisial adalah dermatokises dan kandidiasis. Dermtomikoses
terjadi pada kulit, rambut dan kuku disebabkan karena trychopyton, microsporum dan
epidermophyton sp. 8andidiasis terjadi pada membran mukosa mulut, vagina dan juga kulit.
jenis golongan obat anti jamur topical yang sering digunakan yaitu:
1. Antifungi golongan poliene
obat termasuk golongan ini adalah amfoterisin B dan nistatin. obat ini mempunyai aksi
mengikat ergosterol, suatu sterol pada membran fungi, sehingga membentuk pori;pori atau
saluran dan menghasilkan peningkatan permeabilitas. Hal ini akan menyebabkan
menyebabkan kebocoran membran terhadap berbagai berbagai molekul kecil termasuk
termasuk elektrolit. Pada sel mamalia juga mengandung sterol yaitu kolesterol.
Namun, amfoterisin B mempunyai afinitas yang besar terhadap ergosterol dibanding sterol
dibandingkan terhadap kolesterol. Efek samping amfoterisin B adalah nefrotoksisitas. obat
tersebut tidak diabsorbsi dalam saluran pencernaan sehingga diberikan secara intravena
atau topikal.
Indikasi: Infeksi HSV-1 dan HSV-2, baik lokal maupun sistemik (keratitis herpetik, herpetik
ensefalitis, herpes genitalia, herpes neonaal dan herpeslabialis), infeksi VZV (varicella dan
herpes zoster) dengan dosis yg lebih tinggi
Dosis
Herpes genital : 5 x 200 mg sehari,
Herpes zoster : 4 x 400 mg sehari.
Keratitis herpetik : krim ophtalmik 3%
Herpes labialis ; krim 2%
HSV berat dan infeksi VZV : intravena 30 mg/KgBB per hari
· Valasiklovir
Indikasi
Valasiklovir terbukti efektif dalam terapi infeksi yang disebabkan oleh virus herpes simpleks,
virus varicella-zoster dan sebagai profilaksis terhadap penyakit yang disebabkan
sitomegalovirus
Sediaan dan dosis
Untuk herpes genital per oral 2 kali sehari 500 mg tablet selama 10hari.
Untuk herpes zoster 3 kali sehari 2 tablet 500 mg selama 7 hari.
· Pensiklovir
Diindikasikan yntuk Infeksi herpes simpleks mokokutan, khususnya herpes labialis rekuren
(cold sores).
Dosis
Diberikan secara topikal dalam bentuk 1% krim.
Anti Imflamasi
Antiinflamasi didefinisikan sebagai obat-obat atau golongan obat yang memiliki aktivitas
menekan atau mengurangi peradangan. Radang atau inflamasi dapat disebabkan oleh
berbagai rangsangan yang mencakup luka-luka fisik, infeksi, panas dan interaksi antigen-
antibodi.
Berdasarkan mekanisme kerja obat-obat antiinflamasi terbagi dalam dua golongan, yaitu obat
antiinflamasi golongan steroid dan obat antiinflamasi non steroid. Mekanisme kerja obat
antiinflamasi golongan steroid dan non-steroid terutama bekerja menghambat pelepasan
prostaglandin (Prostaglandin adalah zat dengan struktur kimia menyerupai hormon. Peran
prostaglandin terbilang penting karena dibutuhkan dalam sistem reproduksi serta proses
penyembuhan luka )
Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID)
adalah kelompok obat yang digunakan untuk mengurangi peradangan, meredakan nyeri, dan
menurunkan demam. NSAID sering digunakan untuk mengatasi sakit kepala, nyeri
menstruasi, keseleo, atau nyeri sendi.
NSAID tersedia dalam bentuk kapsul, tablet, krim, gel, suppositoria dan suntik. Dalam
mengatasi nyeri, NSAID atau OAINS bekerja dengan cara menghambat hormon pemicu
peradangan, yaitu hormon prostaglandin. Dengan berkurangnya peradangan, rasa nyeri juga
akan berkurang dan demam akan turun.
Antiinflamasi
Histamin merupakan salah satu faktor yang menimbulkan kelainan akut dan kronis, sehingga
perlu diteliti lebih lanjut mekanisme antihistamin pada pengobatan penyakit alergi (Pohan SS,
2007). Antihistamin banyak digunakan untuk pengobatan berbagai kondisi, termasuk reaksi
alergi akut, rhinitis alergi, alergi, konjungtivitis asma alergi, urtikaria. Antihistamin adalah
zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin terhadap tubuh dengan jalan
memblok reseptor-histamin (Tjay Tan Hoan & Rahardja Kirana, 2007).
Analgenika adalah obatobat yang dapat mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran. Analgetik pada umunya diartikan sebagai suatu obat yang efektif
untuk menghilangkan sakit kepala, nyeri otot, nyeri sendi, dan nyeri lainnya misalnya nyeri
pasca besalin, dismenore ( nyeri haid ) dan lain-lain sampai pada nyeri hebat. Hamper smua
analgetik ternyata memiliki efek antipiretik dan anti inflamasi.
Asam silasat, paracetamol mampu mengatasi nyeri ringan sampai sedang, tetapi nyeri yang
hebat membutuhkan analgetik sentral yaitu analgetik narkotik. Efek antipiretik menyebabkan
obat tersebut mampu menurunkan suhu tubuh pada keadaan demam sedangkan obat inflamasi
berguna untuk mengobati radang sendi (artritis rheumatoid).
Ada dua jenis analgetik, analgetik narkotik dan analgetik non narkotik. Selain berdasarkan
struktur kimianya, pembagian diatas juga didasarkan pada nyeri yang dapat dihilangkan.
Analgetik narkotik merupakan turunan opium yang berasal dari tumbuhan Papever
somniferum atau dari senyawa sintetik. Analgetik ini digunakan untuk meredakan nyeri
sedang sampai hebat dan nyeri yang bersumber dari organ viseral. Penggunaan berulang dan
tidak sesuai aturan dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan.
Semua anlagetik narkotik dapat mengurangi nyeri yang hebat tetapi potensi, onzzet, dan efek
sampingnya berbeda-beda secara kualitatif maupun kuantitatif. Efek samping yang paling
sering adalah mual, muntah, konstipasi, dan ngantuk. Dosis yang besar dapat menyebabkan
hipotensi serta depresi pernapasan.
Morfin dan petidinn merupakan analgetik narkotik yang paling banyak dipakai untuk nyeri
hebat walaupun menimbulkan mual dan muntah. Obat ini di indonesia tersedia dalam bentuk
injeksi dan masih merupaan standar yang digunakan sebagai pembanding bagi analgetik
narkotik lainnya. Selain menghilangkan nyeri, morfin dapat menimbulkan euforia dan
gangguan mental. Berikut adalah contoh analgetik narkotik yang sampai sekarang masih
digunakan di Indonesia :
a. Morfin HCl
Farmakokinetik Morfin tidak dapat menembus kulit utuh tetapi dapat diansorbsi melalui kulit
luka morfin juga dapat menembus mokosa. Dengan kedua cara pemberian in absorbs morfin
kecil sekali
Indikasi
Diindikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati
dengan obat analgesic non opioid. Morfin sering digunakan nyeri yang menyertai infark
miokard; neoplasma; kolik renal atau kolik empedu; oklusio akut pembuluh darah perifer,
pulmonal atau koroner; perikarditis akut, pleuritis dan pneumotoraks spontan dan nyeri
akibat trauma.
Kontra Indikasi
Orang lanjut usia dan pasien penyakit berat, emfisem, kifoskoliosis, korpulmonarale kronik
dan obesitas yang ekstrim.
Efek Samping
Idiosinkrasi dan Alergi. Morfin dapat menyebabkan mual dan muntaah terutama pada wanita
berdasarkan idiosinkrasi. Bentuk idiosinkrasi lain ialah timbulnya eksitasi dengan tremor,
dan jarangjarang dillirium lebihjarang lagi konfulsi dan insomnia. Bayi dan anak kecil tidak
lebih peka terhadap alkaloid opium, asal saja dosis diperhitungkan berdasarkan berat badan,
tetapi orang lanjut usia dan pasien Penyakit berat agaknya lebih peka terhadap efek morfin .
Farmakokinetik
Absorbsi meferidin setelah cara pemberian apapun langsung baik, akan tetapi kecepatan
absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM.
Indikasi
Mefridin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia pada beberapa keadaan klinis
seperti tindakan diagnostic sistoskopi, pielografiretrograd dan gastroskopi. Mefiridin
digunakan jagu untuk menimbulkan analgesia obstetric dan sebagai obat praanastetik
Kontra Indikasi
Pada pasien penyakit hati dan orang tua dosis obat harus dikurangi karena terjadinya
perubahan pada disposisi obat. Selain itu dosis meperidin perlu dikurangi bila diberikan
bersama antisipkosis, hipnotif sedative dan obat-obat lain penekanSSP. Pada pasien yang
sedang mendapat MAO inhibitor pemberian meperidin dapat menimbulkan kegelisahan,
gejala eksitasi dan demam.
Efek samping
Pusing, berkeringat, euporia, mulut kering, mual, muntah, perasaan lemah, gangguan
penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi
c.Metadon
Farmakokinetik
Setelah suntikan metadon subkutan ditemukan kadar dalam plasma yang tinggi dalam 10
menit pertama. Metadon diabsorbsi secara baik di usus dan dapat ditemukan diplasma
setealah pemberian secara oral, kadar puncak dicapai setelah 4 jam.
Indikasi
Analgesia : Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi oleh metadon sama dengan jenis nyeri yang
dapat dipengaruhi morfin. Antitusif : Metadon merupakan antitusif yang baik, efek anti tusif
1,5 -2 mg /oral sesuai dengan 15-20 mg kodein, tetapi kemungkinan timbulnya adiksi pada
metadon jauh lebih besar dari pada kodein. Oleh karena itu sekarang metadon sudah mulai
ditinggalkan sebagai antitusif
Kontra Indikasi
Semua golongan opioid kontra indikasi untuk : Akut abdomen, trauma kepala, kerusakan
paru-paru berat
Efek Samping
Menyebabkan perasaan ringan, pusing, kantuk, fungsi mental terganggu, berkerigat, pruritus,
mual dan muntah. Efek samping yang jarang timbul adalah delirium, halusinasi selintas dan
urtikaria hemoragik.
d.Propoksifen
Farmakokinetik
Propoksifen diabsorbsi setelah pemberian oral maupun parenteral. Seperti kodein, efektivitas
jauh berkurang jika propoksifen diberikan secara oral.
Indikasi
Hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan sampai nyeri sedang, yang tidak cukup baik
diredakan oleh asetosal. Kombinasi propoksifen dengan asetosal sama kuat seperti
kombinasi kodein dengan asetosa
Efek samping
Propoksifen memberikan efek mual, anoreksia, sembelit, nyeri perut dan kantuk, kurang
lebih sama dengan kodein
Indikasi
Nyeri & radang pada penyakit artritis (rheumatoid arthritis, juvenile arthritis, osteoarthritis)
& gangguan non sendi (otot kerangka), nyeri ringan sampai berat termasuk dismenorea,
paska bedah, nyeri & demam pada anak-anak
Kontra Indikasi
Ibuprofen tidak dianjurkan diminum oleh wanita hamil dan menyusui karena ibuprofen
relative lebih lama dikenal dan tidak menimbulkan efek samping serius pada dosis analgesic
Efek samping
a.Gangguan saluran cerna : dispepsia, heartburn, mual, muntah, diare, konstipasi, anoreksia
dll.
b.Gangguan sistem saraf : sakit kepala, pusing, Gangguan pendengaran & penglihatan :
tinitus, penurunan pendengaran, gangguan penglihatan sakit kuning, kenaikan SGOT &
SGPT.
c.Lain-lain : retensi cairan, gagal jantung kongestif, tekanan darah meningkat, hipotensi,
aritmia, reaksi hipersenstivitas, mulut kering Dosis Artritis : 400-800 mg 3-4 kali sehari
(maksimun 3.2 g/hari) Juvenile artritis : 30-40 mg/kg berat badan per hari dalam 3-4 dosis
terbagi (maksimum 50 mg/kg berat badan) Nyeri ringan s/d sedang : 200-400 mg tiap 4-6
jam, bila perlu (max 1,2 g/hari)
b.Paracetamol/acetaminophen
Mekanisme kerja
Paracetamol bekerja mengurangi produksi prostaglandin yang terlibat dalam proses nyeri
dan edema dengan menghambat enzim cyclooxygenase (COX).
Efek samping
Efek samping sering terjadi antara lain hipersensitivitas dan kelainan darah. Penggunaan
kronis dari 3-4 gram sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis diatas 6 gram
mengakibatkan nekrosis hati yang tidak reversibel. Overdose bisa menimbulkan antara lain
mual, muntah dan anorexia. Hanya parasetamol yang dianggap aman bagi wanita hamil dan
menyusui meskipun dapat mencapai air susu. Efek iritasi, erosi dan pendarahan lambung
tidak terlihat, demikian juga gangguan pernafasan.
Indikasi
Di Indonesia penggunaan parasetamol sebagai analgesic dan antipiretik, telah menggantikan
penggunaan salisilat. Sebagai analgesic lainnya, parasetamol sebaiknya tidka diberikan
terlalu lama karena kemungkinan menimbulkan nefropati analgesic.
Kontra Indikasi
Penggunaan semua jenis analgesic dosis besar secara menahun terutama dalam kombinasi
berpotensi menyebabkan nefropati analgesic.
Dosis
oral : 0.5-1 gram tiap 4-6 jam hingga maksimum 4 jam perhari. Anak 2 bulan : 60 mg pada
demam pasca operasi Dibawah usia 3 bulan hanya dengan nasehat dokter. 3 bulan-1 tahun :
60-120 mg perhari dosis-dosis ini boleh diulang tiap 4-6jam bila diperlukan (maksimum
sebanyak 4 dosis dalam waktu 24 jam )
2.Penghambat adrenergik
- Menghambat kerja obat adrenergik.
- Tidak digunakan pada kedokteran gigi
3.Kolinergik
- meningkatkan kerja /aktivitas parasimpatis
- tidak digunakan pada kedokteran gigi
4.Peghambat kolinergik (Parasimpatolitik)
-.Menghambat kerja parasimpatis
- tidak digunakan pada kedokteran gigi
5. Obat ganglion
-Obat yang bekerja pada ganglion
-tidak digunakan pada kedokteran gigi
Obat Antikolinergik
Antagonis kolinergik (disebut juga obat penghambat kolinergik, parasimpatolitik, atau obat
antikolinergik). Golongan antagonis kolinergik bekerja dengan cara menghambat pengikatan
asetilkolin pada reseptor kolinergik muskarinik. Asetilkolin berperan dalam transfer sinyal
antarsel yang memengaruhi kontraksi otot di dalam tubuh.
Antikolinergik menghambat asetilkolin agar tidak berikatan dengan reseptornya di sel-sel
saraf di bagian tubuh tertentu. Secara awam, obat-obatan ini mencegah aktivitas asetilkolin
agar tidak memicu pergerakan otot secara tak sadar di paru-paru, saluran pencernaan, hingga
saluran kemih. Efek antikolinergik tersebut membuatnya bermanfaat dalam menangani
banyak kondisi medis, mulai dari masalah aktivitas kandung kemih, keracunan, serta masalah
pergerakan otot yang berkaitan dengan penyakit Parkinson. Obat-obatan antikolinergik juga
diberikan pada pasien untuk mengiringi proses anestesi sebelum operasi.
Penggolongan obat antikolinergik yaitu alkaloid belladonna contohnya atropine. Atropin
mempunyai khasiat antikolinergik kuat dan merupakan antagonis khusus dari efek muskarin
asetilkolin.
Efek Atropine
· Mata: Atropine menghambat semua aktivitas kolinergik pada mata sehingga
menimbulkan midriasis yang persisten (dilatasi pupil), mata menjadi tidak bereaksi terhadap
cahaya, dan sikloplegika (ketidakmampuan memfokuskan pada penglihatan dekat).
· Gastrointestinum (GI): Atropine dapat digunakan sebagai antispasmodik untuk
mengurangi aktivitas saluran cerna.
· Sistem kemih: Atropine digunakan pula untuk mengurangi keadaan hipermotilitas
kandung kemih.
· Kardiovaskular: Atropine menimbulkan efek divergen pada sistem kardiovaskular,
tergantung pada dosisnya. Pada dosis rendah, efek yang menonjol adalah penurunan denyut
jantung (bradikardia).
· Sekresi: Atropine menghambat kelenjar saliva sehingga timbul efek pengeringan pada
lapisan mukosa mulut (xerostomia). Kelenjar saliva sangat peka terhadap atropine. Kelenjar
keringat dan kelenjar air mata juga terpengaruhi.
Cara-cara perhitungan dosis obat untuk yang dapat dipakai adalah sebagai berikut:
1. Didasarkan perbandingan dengan dosis obat untuk orang dewasa (tidak dapat diperlukan
bagi semua obat)
a. Menurut perbandingan umur (dibandingkan dengan umur orang dewasa 20-24 tahun)
seringkali kurang tepat
b. Menurut perbandingan berat badan (dibandingkan dengan berat badan orang dewasa
70kg)
c. Menurut perbandingan Luas Permukaan Tubuh (LPT) (dibandingkan dengan LPT dewasa
1,73 m2)
2. Didasarkan atas ukuran fisik anak secara individual
Dasar ini dipergunakan bagi banyak jenis obat. Perhitungan dosis secara individual ini lebih
baik daripada perhitungan / perbandingan dengan dosis dewasa. Ada dua cara untuk
menghitung dosis individual untuk anak, yaitu :
a. Sesuai dengan berat badan anak dalam Kg.
b. Sesuai dengan LPT anak dalam m2 (LPT anak dapat diperhitungkan dari tinggi dan berat
badan anak menurut rumus Du Bois & Du Bois atau dapat dilihat pada Nomogram Du Bois
& Du Bois (lihat Nomogram)
c. Memakai rumus R.O.Mosteller
6. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Tentang Penulisan Resep Obat
Tindakan dokter untuk penderita
Yang pertama sebagai dokter gigi kita harus anamnesis terlebih dahulu, lalu pemeriksaan
fisik intra dan ekstra maka tegaklah diagnosisnya lalu kita dapat kasih terapi seperi non obat
(KIE) dan obat, di obat ini kita beri obatnya dan beri infonya setelah itu baru evaluasi.
Jenis2 terapi
a. Terapi non farmakologi
1) Pembedahan
2) Radioterapi (penyinaran)
3) Fisioterapi
4) Pengaturan pola makan
5) Pengaturan pola hidup
6) KIE
b. Terapi farmakologi
1) Terapi profilaktif (obat yang mencegah perkembangan penyakit) : terapi profilaktif
dalam tindakan bedah.
2) Terapi simtomatik : meredakan gejala (demam,pusing)
3) Terapi kausal : menghilangkan penyebab (infeksi)
Ketentuan resep:
Resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap.
Apabila resep tidak dapat dibaca dengan jelas atau tidak lengkap, apoteker wajib
menanyakan kepada penulis resep.
Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan
resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep.
Apabila dokter penulis resep tetap pada pendiriannya, tanggung jawab sepenuhnya
dipikul oleh dokter yang bersangkutan (dokter wajib menyatakannya secara tertulis
atau membubuhkan tanda tangan yang lazim di atas resep).
Apabila apoteker menganggap pada resep terdapat kekeliruan yang berbahaya dan
tidak dapat menghubungi dokter penulis resep, penyerahan obat bisa dibatalkan.
Dokter gigi diberi izin untuk menulis segala macam obat dengan cara parenteral
(injeksi) atau cara-cara pemakaian lain, khusus untuk mengobati penyakit gigi dan
mulut.
Untuk penderita yang memerlukan pengobatan segera, dokter dapat memberikan
tanda "cito/statim/urgent (segera), PIM/periculum in mora (berbahaya bila ditunda)"
pada bagian kanan resep, dan harus didahulukan dalam pelayanannya.
Resep p.p/pro paupere (resep untuk orang miskin), dimaksud agar apotek dapat
meringankan harga obat atau bila dapat diberi gratis.
Pada resep asli yang diberi tanda "ni"ne iteratur (tidak boleh diulang), maka apotek
tidak boleh mengulangi penyerahan obat atas resep yang sama
Resep yang mengandung narkotika: harus ditulis tersendiri, tidak boleh ada iterasi
(ulangan), dituliskan nama pasien, alamat pasien ditulis dengan jelas, aturan pakai
(signa) ditulis dengan jelas, tidak boleh ditulis s.u.c /signa usus cognitus (sudah tahu
aturan pakai).
DAFTAR PUSTAKA
Sunaryo, Hadi dkk. 2020. Buku Ajar Farmakologi Obat Sistem Saraf . Jakarta: UHAMKA
PRESS.
Budiasa, Ketut dan Anak Agung Gede Arjana. 2016. Menentukan Dosis Obat Dan Cara
Pemberiannya. Diakses dari :
https://repositori.unud.ac.id/protected/storage/upload/repositori/
73e4067fb2da489fbf2677adcc3f9701.pdf
Ningsih, Evi Widiya. 2010. Identifikasi Interaksi Obat Pada Pasien Penyakit Dalam Rawat
Inap Di Rumah Sakit Umum Daerah Margono Soekardjo Purwokerto. Bachelor Thesis,
Universitas Muhammadiyah Purwokerto.