Anda di halaman 1dari 7

MAKALA

TELAAH KITAB AYUB

OLEH:

SEPTIANI. K. SETIAWAN SS

KELAS:

8D
Penderitaan bisa dialami bagi semua orang baik laki-laki ataupun perempuan, mau itu tua
ataupun muda, bahkan anak-anak juga Setiap orang ataupun keluarga pasti pernah menghadapi
tragedi hidupnya masing-masing, misalnya peristiwa sakit, krisis keuangan, penyakit, kematian,
kehilangan dan sebagainya. Dengan itu saya ingin membawa kamu untuk menelaah apa saja
penderitaan orang percaya, salah satu kitab yang menarik perhatian untuk dibahas adalah kitab
Ayub. Kisah Ayub hingga kini masih tetap menjadi bahan pembicaraan ketika seseorang
menghadapi penderitaan. Ayub adalah seorang yang saleh, jujur, takut akan Allah dan menjauhi
kejahatan dapat mengalami penderitaan yang begitu berat. Pasti dibenak kalian tertanam
pertanyaan. “Kenapa orang percaya dan baik seperti Ayub mengalami penderita yang seperti ini?”.
“Kenapa Ayub masih percaya dengan Allah padahal sudah mengalami penderitaan yang amat
sangat sakit ini, ya?”. Nah, maka daripada itu, kita akan membahas tentang kisah Ayub ini.

Kita harus belajar dari kisah Ayub. Firman Tuhan mengatakan Ayub seorang yang saleh dan jujur,
takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.

“Ada seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub; orang itu saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan
menjauhi kejahatan” (Ayub 1:1).

Berdasarkan bahasa Ibraninya disini dikatakan bahwa Ayub seorang yang terhormat, seorang
yang berkarakter (positif), dan orang yang secara moral tidak tercemar. Dengan kata lain, Ayub
adalah orang benar di hadapan Allah.
Bukankah banyak orang yang berpikir bahwa orang yang yang saleh dan benar tidak akan masuk
dalam pencobaan dan penderitaan. Meski begitu, Allah tetap mengizinkan Ayub masuk dalam
pencobaan dan penderitaan.

Loh? Kenapa ya? Kenapa Ayub diizinkan Allah untuk mengalami percobaan?

Pertama, Ayub kehilangan lima ratus pasang lembu dan lima ratus keledai betina karena dirampas
orang Syeba. Kedua, Ayub kehilangan tujuh ribu ekor kambing domba beserta para penjaganya
karena disambar api dari langit. Ketiga, Ayub kehilangan tiga ribu ekor unta dan para penjaganya
karena diserbu orang Kasdim. Keempat, Ayub kehilangan tujuh putera dan tiga puterinya sekaligus
karena rumah tempat puteranya mengadakan pesta rubuh menimpa mereka (Ayb. 1:13-19).

Suatu hari, anak-anak Ayub mengadakan pesta di rumah kakak tertua mereka. Tiba-tiba seorang
utusan berlari ke rumah Ayub. Dia berkata, “Kami sedang membajak ladang dengan lembu, dan
keledai sedang merumput di ladang terdekat. Tiba-tiba orang-orang Sheba datang menyerang kami
dan menangkap semua hewan dan membunuh semua hambamu. Hanya satu pelayan yang bisa
melarikan diri untuk memberi tahu tuannya.” Sebelum dia selesai berbicara, pelayan lain datang
dan berkata, “Domba dan gembala telah disambar petir sehingga mereka semua mati. Hanya satu
pelayan yang bisa melarikan diri untuk memberi tahu tuannya.” Sebelum dia selesai berbicara,
pelayan lain datang dan berkata, “Tiga tentara Kasdim telah menyerang kita. Mereka merebut
unta-unta itu, dan membunuh semua hamba tuannya. Hanya satu pelayan yang bisa melarikan diri
untuk memberi tahu tuannya.” Sebelum dia selesai berbicara, pelayan lain datang dan berkata,
“Anak-anakmu mengadakan pesta di rumah putra sulungmu. Tiba-tiba badai yang kuat bertiup dari
padang pasir, dan menghancurkan rumah itu serta membunuh semua anak tuannya. Hanya satu
pelayan yang bisa melarikan diri untuk memberi tahu tuannya.” (Ayub 1:13-19).

Coba perhatikan baik-baik, di setiap peristiwa malang yang dialami Ayub, teks menggunakan frase
‘sementara orang itu berbicara’, artinya keempat masalah dan penderitaan yang menimpa Ayub
terjadi sekaligus di waktu yang bersamaan. Duh, Ayub kuat banget, kan?

Saya ingin bertanya. Apakah pencobaan dan penderitaan yang dialami Ayub sudah selesai?

Jawabannya adalah belum. Ayub harus menghadapi pencobaan dan penderitaan kelima di mana
Ayub ditimpa barah busuk di sekujur tubuhnya

“Kemudian Iblis pergi dari hadapan TUHAN, lalu ditimpanya Ayub dengan barah yang busuk dari
telapak kakinya sampai ke batu kepalanya” (Ayub 2:7).

Kemalangan Ayub belum berakhir karena istrinya yang seharusnya menjadi ‘tiang penopang’
dalam hidup Ayub justru mengejeknya dan menyuruh Ayub mengutuki Allah.
Maka berkatalah isterinya kepadanya: ”Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah
Allahmu dan matilah!” (Ayub 2:9).

Tidak lama setelah itu, teman-teman Ayub secara tidak langsung menuduh apa yang dialami Ayub
akibat dosa. Jika kita hitung kembali, Ayub menghadapi tujuh pencobaan dan pencobaan-
pencobaan yang dihadapi Ayub bukanlah pencobaan-pencobaan yang ringan.

Mungkin saja orang bisa lapang dada ketika harus kehilangan harta bendanya. Akan tetapi siapa
yang dapat menerima dan bertahan jika seseorang harus kehilangan semua anak yang dikasihinya
pada waktu bersamaan? Siapa yang dapat menerima dan bertahan jika isterinya, orang yang
dicintai dan dikasihi Ayub malah mengejek dan menyuruhnya mengutuki Allah ketika berada
dalam masalah demi masalah? Siapa yang dapat menerima dan bertahan jika ada teman-teman
akrab menuduhnya menderita karena dosa? Padahal teks jelas menyatakan, Ayub seorang yang
saleh dan jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.

Ayub adalah pribadi yang benar dihadapan Allah. Walau Ayub diizinkan Allah masuk dalam
masalah demi masalah di dalam hidupnya. Walau Ayub diizinkan Allah menghadapi pencobaan
demi pencobaan di dalam hidupnya. Walau Ayub diizinkan Allah mengalami kemalangan demi
kemalangan di dalam hidupnya. Walau Ayub harus menghadapi hal-hal yang pahit di dalam
hidupnya. Namun firman Tuhan menyatakan bahwa Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya.
Sekali lagi, Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya.

Tetapi jawab Ayub kepadanya: ”Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau
menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” Dalam kesemuanya itu
Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya. (Ayub 2:10).

Ayub tidak menyalahkan alam. Ayub tidak menyalahkan situasi. Ayub tidak menyalahkan para
penjaga. Ayub tidak menyalahkan para perampok. Ayub tidak menyalahkan isterinya. Ayub tidak
menyalahkan teman-temannya. Ayub tidak menyalahkan dirinya sendiri. Ayub tidak menyalahkan
sekelilingnya. Terlebih lagi, Ayub tidak menyalahkan Allah seperti yang dinyatakan dalam teks,
‘Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang
patut'

“Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang
patut”. (Ayub 1:22).

Ayub tetap hidup benar di hadapan Allah.

Anda mungkin juga menyukai