Anda di halaman 1dari 19

KONSEP MEDIA DAN SUMBER BELAJAR

DALAM PEMBELAJARAN

A. Sumber Belajar menurut AECT


Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik
dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (UU No. 20 Tahun 2003).
Sumber belajar memberikan pengalaman belajar dan tanpa sumber belajar
maka tidak mungkin dapat terlaksana proses belajar dengan baik (Sitepu, 2014:
18).
Salah satu komponen dalam definisi AECT 2004 adalah memfasilitasi
belajar (Januszewski dan Molenda, 2008:2). Memfasilitasi, dalam hal ini
meliputi mendesain lingkungan belajar, pengorganisasian sumber belajar, dan
menyediakan alat media untuk belajar.
Definisi sumber belajar, salah satunya dikemukakan oleh Association for
Educational Communication and Technology (AECT). AECT (dalam Sitepu, 2014:
19) menyatakan bahwa sumber belajar yaitu berbagai atau semua sumber baik
berupa data, orang, dan wujud tertentu yang dapat digunakan siswa dalam
belajar, baik secara terpisah maupun terkombinasi sehingga mempermudah
siswa dalam mencapai tujuan belajar. Sejalan dengan pendapat itu, Seels dan
Richey (1994: 13) menjelaskan bahwa sumber belajar adalah segala sumber
pendukung untuk kegiatan belajar, termasuk sistem pendukung dan materi
serta lingkungan pembelajaran. Sumber belajar bukan hanya alat dan materi
yang dipergunakan dalam pembelajaran, tetapi juga meliputi orang, anggaran,
dan fasilitas. Sumber belajar bisa termasuk apa saja yang tersedia untuk
membantu seseorang belajar.
AECT mengelompokkan komponen sumber belajar dalam Kawasan
teknologi pendidikan pada pesan, obat, bahan alat, prosedur, dan lingkungan
(Sitepu, 2014: 19). Enam klasifikasi sumber belajar tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:

1
1. Pesan, yaitu informasi/ajaran yang diteruskan oleh komponen lain dalam
bentuk gagasan, fakta, arti dan data.
2. Orang, yakni manusia yang bertindak sebagai penyimpan, pengolah, dan
penyaji pesan. Termasuk kelompok ini misalnya dosen, guru, tutor.
3. Bahan, yaitu perangkat lunak yang mengandung pesan untuk disajikan
melalui penggunaan alat/perangkat keras, ataupun oleh dirinya sendiri.
Berbagai program media termasuk kategori materials, seperti transportasi,
slide, film, audio, video, modul, majalah, buku dan sebagainya yang
mengandung materi pembelajaran.
4. Alat, yakni sesuatu (perangkat keras) yang digunakan yang digunakan
untuk menyampaikan pesan yang tersimpan dalam bahan. Misalnya
overhead proyektor, slide, video tape/recorder.
5. Teknik, yaitu prosedur atau acuan yang dipersiapkan untuk penggunaan
bahan, peralatan, orang, lingkungan untuk menyampaikan pesan.
Misalnya pengajaran terprogram/modul, simulasi, demonstrasi, tanya
jawab.
6. Lingkungan, yaitu situasi atau suasana sekitar dimana pesan disampaikan.
Baik lingkungan fisik ataupun non fisik.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sumber belajar


adalah semua sumber seperti pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan latar yang
dimanfaatkan peserta didik sebagai sumber untuk kegiatan belajar dan dapat
meningkatkan kualitas belajarnya.
Berkaitan dengan ruang lingkup sumber belajar, Miarso (2015: 204)
menetapkan komponen sumber belajar adalah pesan, orang, bahan, alat,
teknik, dan latar. Kegiatan belajar dapat dilaksanakan di mana saja, di sekolah,
di rumah, di tempat kerja, di tempat ibadah, dan di masyarakat luas. Selain itu,
belajar juga dapat dilakukan dengan rangsangan dari dalam diri sendiri
pembelajar (internal) dan dari apa dan siapa saja di luar diri pembelajar
(eksternal).

2
Terkait dengan pemilihan sumber belajar, Dick dan Carey (2005: 27)
mengatakan bahwa kriteria pemilihan sumber belajar, yaitu Kesesuaian
dengan tujuan pembelajaran; ketersediaan sumber setempat, artinya bila
sumber belajar yang bersangkutan tidak terdapat pada sumber-sumber yang
ada maka sebaiknya dibeli atau dirancang atau dibuat sendiri; apakah tersedia
dana, tenaga, dan fasilitas yang cukup untuk mengadakan sumber belajar
tersebut; faktor yang menyangkut keluwesan, kepraktisan, dan ketahanan
sumber belajar yang bersangkutan untuk jangka waktu yang relatif lama; dan
efektifitas biaya dalam jangka waktu yang relatif lama.

B. Klasifikasi Media Pendidikan


Media merupakan bentuk jamak dari medium yang berasal dari Bahasa
Latin, medius berasal dari Bahasa Latin medium, artinya tengah, pengantar, atau
perantara. Dalam Bahasa Arab, media disebut wasail bentuk jama dari wasilah
yakni sinonim alwasth yang artinya juga tengah. Kata tengah itu sendiri berarti
berada di antara dua sisi, maka disebut juga sebagai perantara sehingga
pengertian media dapat mengarah pada sesuatu yang mengantar atau
meneruskan informasi (pesan) antara sumber (pemberi pesan) dan penerima
pesan (Munadi, 2008: 6).
Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan (Association of
Education and Communication Technology/ AECT) menyatakan bahwa
media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk
menyalurkan pesan/informasi. Menurut Gagne yang dikutip oleh Sadiman,
Rahardjo, Anung, dan Rahardjito (1996) media adalah berbagai jenis
komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar.
Sementara Briggs (dalam Sadiman, et al., 1996) berpendapat bahwa media
adalah segala alat fisik yang dapat menyampaikan pesan serta merangsang
siswa untuk belajar.
Asosiasi Pendidikan Nasional (National Education Association/ NEA)
menyebutkan batasan yang berbeda. Dikatakan bahwa media dalam lingkup
pendidikan adalah bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun

3
audiovisual serta peralatannya dan media hendaknya dapat dimanipulasi,
dapat dilihat, didengar, dan dibaca (Sadiman, et al., 1996: 6).
Miarso (2016: 392) menjelaskan bahwa media pembelajaran adalah
segala sesuatu yang digunakan untuk menyalurkan pesan serta dapat
merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan si belajar sehingga
dapat mendorong terjadinya proses belajar yang disengaja, bertujuan, dan
terkendali.
Berdasarkan uraian di atas ada persamaan-persamaan, yaitu bahwa
media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyampaikan dan
menyalurkan pesan dari pengirim (sumber) ke penerima sehingga dapat
merangsang fikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sedemikian rupa
sehingga proses belajar terjadi dalam kondisi yang dirancang untuk mencapai
tujuan dan terkendali.
Masuknya berbagai pengaruh ke dalam khazanah pendidikan seperti
ilmu cetak-mencetak, behaviorisme, komunikasi, dan laju perkembangan
teknologi elektronik, media dalam perkembangannya tampil dalam berbagai
jenis dan format (modul cetak, film, televisi, film bingkai, film rangkai,
program radio, computer) masing-masing dengan ciri dan kemampuannya.
Kemudian timbul usaha-usaha pengelompokkan atau klasifikasi menurut
kesamaan ciri atau karakteristiknya (Sadiman et al., 1996: 19).
Beberapa usaha ke arah taksonomi media tersebut antara lain adalah:
1. Rudy Bretz.
Bretz (dalam Munadi, 2012: 52) membagi media berdasarkan indra yang
terlibat, Oleh karena itu, Bretz memilih tiga unsur pokok sebagai dasar dari
setiap media, yaitu suara, visual, dan gerak. Visual sendiri dibedakan
menjadi tiga, yatu gambar, garis, dan simbol. Di samping itu, Bretz juga
membedakan antara media siar (telecomunication) dan media rekam
(recording) sehingga terdapat 8 klasifikasi media, yaitu media audio visual
gerak, media audio visual diam, media audio semi gerak, media visual
gerak, media visual diam, media semi gerak, media audio, dan media cetak.
2. Duncan

4
Duncan menyusun taksonomi media pendidikan menurut hirarki
pemanfaatannya. Duncan menjajarkan antara biaya investasi, kelangkaan,
dan keluasan lingkup sasarannya, kemudahan pengadaan serta
penggunaan, keterbatasan lingkup sasaran dan rendahnya biaya dengan
tingkat kerumitan perangkat media (Sadiman et al., 1996: 20).
3. Briggs
Briggs (dalam Sadiman et al., 1996: 23) mengidentifikasi 13 macam media
yang dipergunakan dalam proses belajar mengajar, yaitu objek, model,
suara langsung, rekaman audio, media cetak, pembelajaran terprogram,
papan tulis, media transparansi, film rangkai, film bingkai, film televisi dan
gambar.
4. Gagne
Berdasarkan fungsi pembelajaran, Gagne membuat 7 macam
pengelompokan media, yaitu benda untuk didemonstrasikan, komunikasi
lisan, media cetak, gambar diam, gambar gerak, film bersuara, dan mesin
belajar (Munadi, 2012: 51).
5. Haney dan Ullmer
Haney dan Ullmer (dalam Miarso, 2016: 396) membuat taksonomi media
untuk mengklasifikasikan media berdasarkan ciri-ciri tertentu. Ada tiga
kategori utama bentuk media pembelajaran yaitu media penyaji yang
mampu menyajikan informasi, media objek yang mengandung informasi,
dan media interaktif yang memungkinkan untuk berinteraksi.
Media penyaji dikelompokkan menjadi tujuh. Kelompok 1: grafis, bahan
cetak, dan gambar diam. Kelompok 2: Media proyeksi diam. Kelompok 3:
Media audio. Kelompok empat: audio ditambah media visual diam.
Kelompok lima: gambar hidup (film). Kelompok enam: televisi. Kelompok
7: multimedia.
Media objek adalah benda tiga dimensi yang mengandung informasi, tidak
dalam bentuk penyajiannya tetapi melalui ciri fisiknya seperti ukurannya,
bentuknya, beratnya, susunannya, warnanya, dan fungsinya. Media objek
meliputi dua kelompok, yaitu objek sebenarnya dan objek pengganti. Objek

5
sebenarnya dibedakan menjadi objek alami dan objek buatan manusia.
Objek alami adalah segala sesuatu yang terdapat di alam baik yang hidup
maupun tidak hidup. Kedua, objek-objek buatan manusia misalnya
gedung-gedung. Sedangkan objek pengganti banyak dikenal dengan nama
replica, model, dan benda tiruan.
Media interaktif mengharuskan siswa berinteraksi selama mengikuti
pelajaran baik interaksi dengan sumber belajar, interaksi dengan sesama
siswa, dan interaksi dengan lingkungan.
6. Smaldino, Lowther, dan Russell
Smaldino, Lowther, dan Russell (2012: 7) membagi enam kategori dasar
media, yaitu teks, audio, video, perekayasa (manipulative), benda-benda,
dan orang-orang. Tujuan dari media adalah untuk memudahkan
komunikasi dan belajar.
7. Sadiman, Rahardjo, Anung, dan Rahardjito
Untuk tujuan-tujuan praktis, Sadiman et al (1996) menyebutkan
karakteristik jenis media yang digunakan di Indonesia, yaitu media grafis,
media audio, dan media proyeksi diam.

Taksonomi di atas hanya merupakan petunjuk mengenai bentuk


rangsangan dan kegiatan apa yang dilakukan dengan media yang
bersangkutan. Usaha pengklasifikasian tersebut juga mengungkapkan bahwa
karakteristik atau ciri-ciri khas suatu media berbeda menurut tujuan atau
maksud pengelompokkan. Kemp (1989: 45) menyatakan bahwa karakteristik
media ini merupakan dasar pemilihan media sesuai dengan situasi belajar
tertentu. Dan strategi yang paling baik adalah memanfaatkan secara optimal
media yang ada, jadi bukan kecanggihan media yang perlu dijadikan dasar
untuk memilih dan menggunakan media dalam proses pembelajaran. (Miarso,
2016: 399).

C. Landasan Teori Belajar

6
Yusufhadi miarso (2016:88) berdasarkan pengertian “teori” Snelbecker
mengemukakan teori yang secara umum dirumuskan sebagai segala aspek
ilmu yang tidak semata-mata bersifat empirik, dan yang sangat khusus adalah
ringkasan pernyataan yang melukiskan dan menata sejumlah pengamatan
empirik. Sehingga dapat dikatakan pula bahwa teori adalah seperangkat ide,
konstruk atau variabel, definisi, dan proposisi yang memberikan gambaran
suatu fenomena atau peristiwa secara sistematik dengan cara menentukan
hubungan antar-variabel.

Santrock (2004:266) menyatakan bahwa pembelajaran (learning) dapat


didefinisikan sebagai pengaruh permanen atas perilaku, pengetahuan, dan
keterampilan berpikir, yang diperoleh melalui pengalaman. Pembelajaran
sendiri melibatkan perilaku akademik dan non akademik, dimana
pembelajaran dapat berlangsung dimana saja di seputar anak. Berdasarkan hal
tersebut diatas maka diambillah kesimpulan bahwa teori belajar merupakan
suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan
belajar mengajar antara guru dan siswa, perancangan metode pembelajaran
yang akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas. Kaitannya dengan
pembelajaran tersebut, beberapa pandangan tentang pendekatan pembelajaran
akan dibahas berikut ini.

1. Landasan Teori Belajar Behavioristik

Menurut Santrock (2004:268) menyatakan bahwa pendekatan


behavioral menekankan arti penting dari bagaimana anak membuat
hubungan antara pengalaman dan perilaku. Dalam aliran ini menekankan
pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.

Ivan Pavlov dalam Santrock (2004:268) menyatakan bahwa


pengkondisian klasik (classical conditioning) adalah sebuah stimulus yang
secara otomatis menghasilkan respon tanpa ada pembelajaran terlebih
dahulu.

7
Santrock (2004:272) berdasarkan hukum efek thorndike (law effect)
yang dinyatakan oleh E.L. Thorndike (1906) menjelaskan bahwa perilaku
yang diikuti dengan hasil positif akan diperkuat dan bahwa perilaku yang
diikuti hasil negatif akan diperlemah. Berdasarkan hukum thorndike ini
dapat dimanfaatkan dengan menjadikan materi pembelajaran di penggal
menjadi bagian kecil-kecil, dan ketika siswa telah menyelesaikan satu
bagian diberikanlah efek positif misalnya memberikan pujian atas
usahanya.

Smaldino.et.al (2011:13) Skinner yang dikenal dengan teori Operant


Conditioning, mengungkapkan bahwa penguatan atau pemberian ganjaran
pada respon yang diinginkan dapat menunjukkan pola perilaku. Hasilnya
yaitu kemunculan instruksi terprogram yang belakangan berkembang
menjadi instruksi dibantu computer. Teori inilah yang kemudian sangat
berpengaruh terhadap proses pengemasan materi atau bahan ajar,
contohnya dengan pengajaran melalui computer based instructional (CBI).

2. Landasan Teori Belajar Kognitivistik

Slavin (2011:58-61) menyatakan bahwa perkembangan kognisi


merupakan perubahan bertahap dan teratur yang menyebabkan proses
mental menjadi semakin rumit dan canggih. Teori ini menekankan pada
proses belajar daripada hasil belajar, jadi pada teori belajar ini tidak hanya
sekedar melibatkan stimulus dan respon tetapi juga melibatkan proses
berfikir yang sangat kompleks.

Sharon, lowther, dan russel (2011:13) mengutip dari Swiss Jean


Piaget yang menyatakan bahwa perkembangan kognitif merupakan suatu
proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas mekanisme
biologis perkembangan sistem syaraf. Teori perkembangan kognisi piaget
menyatakan bahwa kecerdasan atau kemampuan kognisi mengalami
empat tahapan, yaitu:

a) Tahap sensorimotor (saat lahir hingga usia 2 tahun)

8
Pada tahap sensorimotor, intelegensi anak lebih didasarkan pada
tindakan inderawi anak terhadap lingkungannya, seperti melihat,
meraba, menjamah, mendengar, dan lain-lain.
b) Tahap praoperasi (usia 2 hingga 7 tahun)
Pada tahapan ini bahasa dan konsep anak berkembang dengan
kecepatan luar biasa. Namun pada saat ini pula anak sangat egosentris,
mereka sulit menerima pendapat orang lain.
c) Tahap Operasi Konkret (usia 7 hingga 11 tahun)
Tahap operasi konkret (concrete operations) dicirikan dengan
perkembangan sistem pemikiran yang didasarkan pada aturan-aturan
tertentu yang logis.
d) Tahap Operasi Formal (usia 11 tahun hingga dewasa)
Pada tahap ini, seorang remaja sudah dapat berpikir logis, berpikir
dengan pemikiran teoritis formal berdasarkan proposisi-proposisi dan
hipotesis, dan dapat mengambil kesimpulan lepas dari apa yang dapat
diamati saat itu. Cara berpikir yang abstrak mulai dimengerti.

Gagne dalam Kayvan Khadjooi, kamran rostami, sauid ishaq


(2011) menyatakan bahwa belajar sebagai seperangkat proses kognitif yang
mengubah sifat stimuli dari lingkungan menjadi beberapa tahapan
pengolahan informasi yang diperlukan untuk memperoleh kapasitas yang
baru. Dalam pemrosesan informasi terdapat tahapan esensial yang harus
dilakukan secara berurutan, yaitu: memperoleh perhatian,
menginformasikan peserta didik dari tujuan (harapan), merangsang
mengingat pembelajaran sebelumnya (pengambilan), menyajikan stimulus
(persepsi selektif), menyediakan bimbingan belajar (encoding semantik),
memunculkan kinerja (merespons), memberikan umpan balik (penguatan),
menilai kinerja (pengambilan), dan meningkatkan retensi dan transfer
(generalisasi).
Peristiwa ini harus memenuhi atau menyediakan kondisi yang
diperlukan untuk belajar dan berfungsi sebagai dasar untuk merancang
instruksi dan memilih media yang sesuai.

9
Instruksi berdasarkan teori kognitivistik ini memberikan "kondisi
untuk belajar" dengan menawarkan kegiatan yang cocok untuk setiap jenis
keterampilan. Dalam teknologi pendidikan Teori dari Gagne dapat
digunakan untuk merencanakan pelajaran menggunakan setiap jenis
perangkat lunak instruksional (latihan, tutorial, simulasi).

3. Landasan Teori Belajar Konstruktivistik

Santrock (2004:389) menyatakan bahwa prinsip konstruktivisme


menekankan bahwa individu akan belajar dengan baik apabila mereka
secara aktif mengkonstruksi pengetahuan dan pengalaman. Pada
konstruktivisme menekankan agar individu secara aktif menyusun dan
membangun (to construct) pengetahuan dan pemahaman. Bagi aliran
konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu.
Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun guru lebih
diposisikan sebagai fasiltator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar
dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Makna belajar dalam
konstruktivisme adalah aktivitas yang aktif, dimana peserta didik membina
sendiri pengetahuannya.

Menurut Jean Piaget dalam (2011:42-43) menyatakan bahwa dasar


dari belajar adalah aktivitas anak bila ia berinteraksi dengan lingkungan
sosial dan lingkungan fisiknya. Lebih menekankan bahwa pengetahuan
dibangun dari diri anak sendiri melalui pikirannya. Kecerdasan dan
kemampuan anak mengalami kemajuan melalui empat tahapan yaitu :
a) Skema
Skema adalah Sekumpulan konsep yang digunakan ketika berinteraksi
dengan lingkungan.
b) Asimilasi
Proses pengintegrasian informasi baru ke struktur kognitif/skema
yang sudah ada.

10
c) Akomodasi
Proses penyesuaian antara struktur kognitif ke dalam situasi yang
baru.
d) Equilibrasi/Keseimbangan
Proses penyesuaian yang berkesinambungan antara asimilasi dan
akomodasi. Hal ini sebagai penyeimbang agar siswa dapat terus
berkembang dan menambah ilmunya.
Slavin (2011:58-61) mengemukakan bahwa karya vygotsky
didasarkan pada dua gagasan utama. Pertama bahwa perkembangan
intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks historis dan
budaya anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem
isyarat mengacu pada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk
membantu orang berfikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah,
dengan demikian perkembangan kognitif anak mensyaratkan
sistem komunikasi budaya dan belajar menggunakan sistem-sistem
ini untuk menyesuaikan proses-proses berfikir diri sendiri. Menurut
Slavin ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan, yaitu:

(1) Dikehendakinya setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar


kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda,
sehingga siswa dapat berinteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas
yang sulit dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan
masalah yang efektif di dalam daerah pengembangan
terdekat/proksimal masing-masing.
(2) Pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan pentanggaan
(scaffolding). Dengan scaffolding, semakin lama siswa semakin dapat
mengambil tanggungjawab untuk pembelajarannya sendiri. Dalam
scaffolding ini banyak dukungan yang diberikan kepada anak selama
tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi dukungan
tersebut dan meminta anak memikul tanggung jawab yang semakin
besar begitu dia sanggup.

11
4. Landasan Teori Belajar Sosial

Pijakan awal teori belajar sosial adalah bahwa manusia belaj


ar melalui pengamatannya terhadap perilaku orang lain.
Belajar melalui pengamatan secara sederhana melibatkan pengamatan
perilaku orang lain, yang disebut model, dan kemudian meniru perilaku
model tersebut. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang
dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui
peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini
juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian
reward dan punishment, seorang individu akan berpikir dan memutuskan
perilaku sosial mana yang perlu dilakukan

Teori belajar sosial dikenalkan oleh Albert Bandura, yang mana


konsep dari teori ini menekankan pada komponen kognitif dari pikiran,
pemahaman dan evaluasi. Menurut Bandura, orang belajar melalui
pengalaman langsung atau pengamatan (mencontoh model). Salah satu
cara paling efektif yang dipelajari siswa adalah dengan mengamati perilaku
yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar mereka. Berikut adalah model
sosial kognitif Bandura yang dikenal dengan model determinisme resiprokal.
Perilaku
Perilaku

Faktor Person Lingkungan

Gambar 2.1 Model determinisme resiprokal (santrock,2004)


Lingkungan
Faktor Person
Albert Gambar
bandura 2.1dalam
Model santrock (2004:
determinisme 285) mengatakan bahwa
resiprokal
(santrock,2004)
ketika murid belajar, mereka dapat merepresentasikan atau
mentransformasi pengalaman mereka secara kognitif. Pada model
pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran penting.
Faktor person pada belakangan ini dikenal sebagai self efficacy, yang berupa
keyakinan bahwa seseorang bisa menguasau situasi dan menghasilkan

12
hasil positif. Hal ini berpengaruh besar terhadap perilaku. Misalnya,
seorang murid yang self efficacy nya rendah mungkin tidak mau berusaha
belajar untuk mengerjakan ujian karena dia tidak percaya bahwa belajar
akan bisa membantunya mengerjakan soal. Berikut akan dibahas proses
pembelajaran oleh Bandura:

a) Pembelajaran observasional, bisa disebut juga imitasi atau modeling,


adalah pembelajaran yang dilakukan ketika seseorang mengamati dan
meniru perilaku orang lain.
b) Pembelajaran regulasi diri. Pembelajaran regulasi diri adalah
memunculkan dan memonitor sendiri pikiran, perasaan, dan perilaku
untuk mencapai suatu tujuan.
Teori Bandura ini dalam implikasinya terhadap dunia pendidikan
menjadikan siswa cenderung meniru apa yang guru lakukan, daripada
memperhatikan apa yang dikatakan guru. Sehingga Video dapat
memberikan contoh model yang tidak akan dimiliki oleh para guru.

D. Landasan Teori Komunikasi

Sadiman (1996:11) menyatakan bahwa proses belajar mengajar pada


hakikatnya adalah proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari
sumber pesan melalui media tertentu ke penerima pesan. Pesan, sumber pesan,
media dan penerima pesan adalah bentuk komunikasi. Kaitannya dengan
pembelajaran dinyatakan oleh santrock (2015:9) bahwa keahlian berbicara,
mendengar, mengatasi hambatan komunikasi verbal, memahami komunikasi
non verbal dari murid, dan mampu memecahkan konflik secara konstruktif
diperlukan dalam mengajar. Kemampuan komunikasi ini juga harus mampu
dilakukan dengan orang tua murid.

Pesan sendiri oleh Sadiman (1996:12) didefinisikan sebagai isi ajaran


dan didikan yang ada di kurikulum dituangkan oleh guru atau sumber lain ke
dalam symbol-simbol komunikasi, baik symbol verbal maupun non verbal

13
atau visual. Sementaara menurut Wina Sanjaya (2016:79) sumber pesan
merupakan orang yang menyampaikan pesan. Penerima pesan adalah orang
yang akan menerima informasi. Penyampaian pesan ke dalam simbol-simbol
komunikasi inilah yang disebut encoding. Sementara proses penafsiran symbol
oleh siswa disebut decoding.

Namun dalam penyampaian pesan terkadang terjadi kesalahan tafsir


atau kegagalan. Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat atau
penghalang proses komunikasi. Penghambat tersebut biasa dikenal dengan
istilah barriers, atau noises. Seperti misalnya hambatan psikologis, dimana
minat, sikap, pendapat, kepercayaan, intelegensi, pengetahuan, atau hambatan
fisik berupa kelelahan, sakit, keterbatasan daya indera dan cacat tubuh
merupakan contoh penghambat dalam komunikasi. Siswa yang tidak
mempunyai minat terhadap mata pelajaran tertentu, atau tidak menyukai guru
pengajar, ataupun mungkin tidak menyukai topik bahasan akan berbeda hasil
belajarnya dibandingkan dengan siswa yang menyukai hal tersebut semua.
Berikut ini akan ditampilkan ilustrasi kegagalan proses komunikasi.

Gambar 2.2. Proses komunikasi yang gagal (sadiman,1996:13)

Karena adanya hambatan tersebut baik itu didalam diri siswa maupun
pengajar, maka ketika menyampaikan pesan ataupun menerima pesan
menjadikan proses komunikasi belajar mengajar seringkali menjadi tidak
efektif.

Proses komunikasi pemmbelajaran dikatakan berjalan efektif apabila


hambatan dapat dihilangkan. Media pendidikan sebagai salah satu sumber

14
belajar yang dapat menyalurkan pesan dapat membantu mengatasi hambatan
tersebut. Perbedaan minat, intelegensia, gaya belajar, keterbatasan indera, cacat
tubuh, dan lain-lain dapat diatasi dengan pemanfaatan media pendidikan.
Berikut akan diperlihatkan gambar proses komunikasi yang berhasil dengan
adanya media melalui proses belajar mengajar.

Gambar 2.3 Proses komunikasi yang berhasil (Sadiman,1996:15)

Ada dua model komunikasi yang berpengaruh terhadap komunikasi


pembelajaran, yaitu:

1. Model Lasswell
Wina sanjaya mengutip dari mulyana (2016:83) berdasarkan
pernyataan Lasswell, yaitu “Who says what in which channel to whom with
what effect?”. Sehingga komponen komunikasinya adalah :
Who : siapa yang mengirim pesan
Says what : pesan apa yang disampaikan
On what channel : melalui mapa pesan itu disampaikan (media/alat
bantu pesan)
To whom it may concern : siapa yang menerima pesan
At what effect : apa hasil dari komunikasi.
Model ini menggambarkan bahwa komunikasi pasti selalu berhasil,
tanpa mempertimbangkan adanya hambatan

2. Model Komunikasi Schramme


Pada model komunikasi ini menurut Wina Sanjaya (2016:85)
bahwa komunikasi bukan hanya sekedar penyampaian pesan, namun

15
bagaimana pesan itu diolah melalui penyandian (encoder) oleh komunikan
dan diterjemahkan melalui penyandian ulang (decoder) yang dilakukan oleh
penerima pesan, dan selama proses penerjemahan itu mungkin terdapat
hambatan (noises) sehingga ada kemungkinan kesalahan penerimaan
pesan. Berdasarkan hal tersebutlah dilihat pentingnya sebuah umpan balik
atau feedback untuk melihat apakah pesan yang disampaikan sesuai dengan
maksud komunikan atau tidak. Berikut akan ditampilkan model
komunikasi schrammen

Gambar 2.4 Model Komunikasi Schrammen (Wina, 2016:85)


Berdasarkan gambar tersebut, dapat dinyatakan bahwa komponen-
komponen komunikasi adalah:

a) Pengirim atau komunikator adalah orang yang mengirimkan pesan


b) Penyandian atau encoding, proses yang dilakukan komunikaor untuk
mengemas maksud atau pesan yang akan disampaikan, baik secara symbol,
suara, dan sebagainya
c) Saluran media adalah tempat dimana pesan dalam bentuk symbol-simbo
tadi dilewatkan dari komunikator ke komunikan
d) Penyandian ulang atau decoding adalah proses yang dilakukan oleh
komunikan untuk menginterprestasikan simbol-simbol yang diterimanya
menjadi bermakna
e) Penerima pesan atau komunikan adalah individu atau kelompok yang
menjadi sasaran komunikasi.

16
f) Umpan balik atau feedback adalah informasi yang kembali dari komunikan
ke komunikator sebagai respon terhadap pesan yang disampaikan
komunikator.

Berdasarkan dua model tersebut model schammer dapat dikatakan


model yang cukup komprehensif mengenai komunikasi, karena dengan
kemungkinan akan adanya hambatan yang timbul, dilakukanlah feedback
terlebih dahulu yang memperlihatkan apakah komunikasi berjalan dengan baik
atau tidak. Jika terjadi hambatan maka hambatan tersebut dapat segera di atasi
agar komunikasi dapat berlangsung sesuai maksud dari pesan yang
disampaikan.

E. Teori Kerucut Pengalaman Dale


Bermacam peralatan digunakan guru untuk menyampaikan pesan
(ajaran) kepada siswa melalui penglihatan dan pendengaran untuk
menghindari verbalisme. Salah satu gambaran yang dijadikan acuan sebagai
landasan teoritis pemanfaatan media dalam proese pembelajaran adalah
kerucut pengalaman Dale. Dalam usaha memanfaatkan media dalam proses
pembelajaran, Edgar Dale mengadakan klasifikasi pengalaman menurut
tingkat dari yang paling konkret ke yang paling abstrak (Munadi: 2012: 18-19)
.

17
Gambar 2.5. Kerucut Pengalaman Dale (sumber: Raymond S. pastore, Principles
of teaching, Bloomsburg University dalam
http://teacherworld.com/potdale.html tanggal 23 Maret 2019)

Kerucut ini melukiskan analogi visual berdasarkan tingkat kekonkretan


dan keabstrakan metode mengajar dan bahan pembelajaran. Tujuannya untuk
menggambarkan deretan pengalaman dari yang bersifat langsung hingga ke
pengalaman melalui simbol komunikasi (Seels&Richey, 1994: 16)

Pengalaman belajar konkret yang secara langsung dialami siswa terletak di bagian
bawah kerucut. Menurut analisis Dale bahwa pengalaman langsung mendapat
tempat utama dan terbesar sedangkan belajar melalui abstrak berada di puncak
kerucut. Kerucut ini menggambarkan bahwa seseorang dapat dikatakan memiliki
cara belajar yang berkualitas apabila telah mampu memaknai simbol-simbol abstrak,
karena cara belajar demikian itu memiliki pengertian atau wawasan yang tertinggi
(high insight). Untuk menuju kepada high insight tentu melalui fase dan tahapan-
tahapan perantara terlebih dahulu (Munadi, 2012:20). Dale (dalam seels&Richey:
1994: 16), kerucut pengalaman merupakan upaya awal untuk memberikan alasan
tentang kaitan teori belajar dengan komunikasi audiovisual

DAFTAR PUSTAKA

Dick, Walter dan James O Carey. (2005). The Systematic Design of Instruction. Boston:
Longman

Kadjooi, Kayvan, Kamran Rostami, dan Sauid Ishaq. (2011). How to use Gagne's model
of instructional design in teaching psychomotor skills. Elektronik Jurnal
Gastroenterol Hepatol Bed Bench.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4017416/ (Diakses 26
Maret 2019).

Kemp, Jerrold E. dan Don C. Smellie. Planning, Producing, and Using Instructional
Media. 6th Ed. New York: Harper&Row.

18
Miarso, Yusufhadi. (2015). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta:
Prenadamedia Grup.

Munadi, Yudhi. (2012). Media Pembelajaran: Sebuah Pendekatan Baru. Jakarta: Gaung
Persada Press.

Prawiradilaga, Dewi Salma. (2012). Wawasan Teknologi Pendidikan. Jakarta: Penerbit


Kencana.

Sadiman, Arif S., Rahardjo, Anung Haryono, dan Rahardjito. (1996). Media Pendidikan:
Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: Pustekom Dikbud dan
PT. Raja Grafindo Persada.

Sanjaya, Wina. (2016). Media Komunikasi Pembelajaran. Jakarta: Prenada Media Grup

Santrock, John W. (2015). Psikologi Pendidikan, terjemahan Tri Wibowo B.S. Jakarta:
Penerbit Kencana.

Seels, Barbara B. dan Ritta C. Richey. (1994). Teknologi Pembelajaran: Definisi dan
Kawasannya, terjemahan Dewi S. Prawiradilaga, Raphael Rahardjo, Yusufhadi
Miarso. Jakarta: Unit Penerbitan Universitas Negeri Jakarta.

Smaldino, Sharon E., James D. Russel, Deborah L. Lowther. (2012). Instructional


Technology & Media For Learning, terjemahan Arif Rahman. Jakarta: Penerbit
Kencana.

Wina, Sanjaya. (2016). Media Komunikasi Pembelajaran. Jakarta. Prenadamedia


Group.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jtp/article/view/9536/6391

19

Anda mungkin juga menyukai