Anda di halaman 1dari 2

Wayang Klithik

Wayang ini diciptakan orang pada abad ke-17, tetapi siapa penciptanya tidak diketahui.
Masing-masing jaman diwakili dengan bentuk wayang sendiri-sendiri. Jaman Purwa,
Ramayana, Mahabharata diwakili wayang Purwa. Jaman Madya diwakili oleh Wayang Gedog
Madya dengan cerita panji dan Jaman Wasana diwakili Wayang Wasana yang disebut
wayang klitik.

Jika Wayang Purwa dan Wayang gedog Madya berbentuk ukiran kulit secara keseluruhan
hingga menimbulkan bayangan pada kelir, maka wayang klitik berupa ukiran papan kayu
dengan tangan keduanya dari kulit. Nama Klitik ini tercipta karena suara yang ditimbulkan
oleh gesekan antara wayang yang dibuat dari kayu tersebut.

Jumlah wayang Klitik untuk tokoh-tokoh pokoknya tidak lebih dari dua puluh buah, dengan
tambahan sekitar 10 buah yang diambilkan dari tokoh-tokoh wayang Bratasena, Anoman,
Gunungan, rampogan dan wayang ricikan jenis binatang gajah, kuda dan sebagainya.

Seperti halnya wayang purwa, wayang klitik juga mengenal cirri-ciri menurut gaya Yogya,
gaya Surakarta dan gaya Mangkunegaran. Gaya Yogyakarta kurang anatomis, terutama pada
pahatan kakinya, sehingga mengarah pada bentuk primitif seperti halnya pada tokoh wayang
kulit Bima sehingga menimbulkan kesan bahwa gaya Yogya lebih tua umurnya daripada gaya
Surakarta. Hal ini perlu penelitian lebih lanjut. Yang jelas, watak Yogya mengarah pada gagah
dan bregas penuh kesederhanaan dan gaya Surakarta mengarah pada kehalusan serta
ketenangan. Hal ini tentunya tidak lepas dari kemantapan kehidupan keraton. Dari segi
bentuk, Wayang Klitik gaya Surakarta masih mendekati bentuk wayang kulit sedang gaya
Yogya justru mengarah pada bentuk wayang golek.

Perangkat untuk mengiringi pertunjukan wayang klitik ini, memakai gamelan dengan laras
slendro berjumlah lima macam, yakni : kendang, saron, ketuk, kenong, kempul (barung) dan
gong suwukan.

Wayang Gedhog
Wayang Gedog adalah jenis pementasan wayang kulit yang tidak mengisahkan cerita
Ramayana atau Mahabarata, tapi mengambil cerita Kisah Raden Panji, hingga wayang
Gedong sering disebut juga wayang Panji.

Secara teknis pedalangan, Wayang Gedog lebih rumit dibandingkan dengan Wayang Kulit
Purwa. Dalang Wayang Gedog harus menguasai gending-gending yang digunakan untuk
iringan pertunjukan.

Berikut ini adalah dua di antara beberapa perbedaan antara pakeliran Wayang Gedog
dengan wayangkulit Purwa.

1. Pada pakeliran Wayang Kulit Purwa, pada jejer pertama, diawali dengan munculnya
parekan, sang Raja, dan tokoh-tokoh yang menghadap raja. Sedangkan pada Wayang Gedog,
yang muncul pertama adalah patih dan para punggawa, kemudian raja dijemput lewat tokoh
Nyi Menggung. Sang patih diiringi punggawa lalu naik ke Sitihinggil diikuti ampil-ampil yang
membawa kelengkapan upacara, baru setelah itu sang Raja keluar.

2. Adegan Bancak-Doyok dalam Wayang Gedog setara dengan adegan gara-gara pada
Wayang Kulit Purwa. Namun, pada adegan Bancak-Doyok, digunakan iringan pathet
manyura pelog, yang merupakan peralihan dari pelog pathet nem (tengah malam) ke pelog
pathet barang (dini hari).
Cerita wayang gedog yang bersumber pada cerita Panji muncul pada zaman Kerajaan Kediri
dan Majapahit hingga dalam pertunjukannya juga menampilkan kerajaan-kerajaan yang
menjadi latar belakang pemerannya antara lain Jenggala, Singasari dan Kediri atau Daha.
Istilah Panji sebagai gelar kesatria dan raja muncul pada zaman pemerintahan Jayabaya di
Kediri pada abad XI.

Sedangkan, istilah Gedog berasal dari suara dog, dog, yang ditimbulkan dari ketukan sang
dalang pada kotak wayang yang terletak di samping dalang.

Dalam naskah Serat Centini dituliskan bahwa yang menciptakan wayang gedog adalah Sunan
Ratu Tunggul, pada zaman kerajaan Demak, dengan candra sengkala (penanggalan/angka
tahun): Gaman Naga ing Udipatya atau melambangkan angka tahun saka 1485.

Bentuk peraga Wayang Kulit Gedog, mirip sekali dengan Wayang Kulit Purwa. Bentuk
sumping, dodot, tangan, dan kakinya sama, hanya bentuk sunggingan dan tatahannya yang
berbeda. Beberapa tokoh Wayang Kulit Gedog memakai irah-irahan (tutup kepala)
berbentuk tekes, serta kainnya berbentuk rapekan atau dodot, misalnya tokoh Panji
Inukertapati. Sementara itu, tokoh putri rambutnya terurai.

Tokoh-tokoh rajanya memakai garuda mungkur dan gelung keling. Dalam cerita Panji tidak
ada tokoh raksasa dan kera. Sebagai gantinya, terdapat tokoh Prabu Klana dari Makassar
yang memiliki tentara orang-orang Bugis.

Namun, tidak selamanya tokoh klana berasal dari Makassar, terdapat pula tokoh-tokoh dari
Bantarangin (Ponorogo), seperti Klana Siwandana, kemudian dari Ternate seperti prabu
Geniyara dan Daeng Purbayunus, dari Siam seperti Prabu Maesadura, dan dari negara Bali.

Pagelaran wayang gedog biasanya dilaksanakan pada malam hari.Gamelan pengiringnya


memakai laras pelog. Pementasan wayang gedog sangat jarang dilakukan, lantaran hingga
akhir abad ke-20, generasi muda sudah tak akrab lagi dengan jenis wayang ini.

Sumber Wacana:
https://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_klithik
https://wayang.wordpress.com/2006/10/27/wayang-klitik/
https://wayang.wordpress.com/2006/10/27/wayang-gedog/
https://metrum.co.id/wayang-gedog-cerita-panji-dalam-pewayangan/

Sumber Dokumentasi:
https://www.youtube.com/watch?v=gbe6TNOTiqc
https://drive.google.com/drive/folders/1FiDWN1w7FI8Hvvn4rWiQWqDIRa2s0m1S

Anda mungkin juga menyukai