Anda di halaman 1dari 7

BAB II

BAGAIMANA MANUSIA MEMPERSEPSI UJARAN


PENGANTAR
Kita tidak menyadari bahwa ujaran yang diwujudkan dalam bentuk bunyi-
bunyi yang melewati udara itu sebenarnya merupakan suatu hal yang sangat
komplek. Bahkan yang sering terjadi ialah bahwa belum lagi kita menangkap dan
memahami suatu deretan kata yang diucapkan, pembiacara tadi telah berlanjut
dengan kata-kata yang lain sehingga akhirnya kita ketinggalan.
1. PENELITIAN MENGENAI PERSEPSI UJARAN
Meskipun Willis tahun 1829 dan Helmholtz tabun 1859 telah
mempelajari ciri fisik dari bunyi, penelitian menge- nai bagaimana kita
mempersepsi ujaran baru mulai menjelang Perang Dunia II (Gleason dan
Ratner 1998).
Dari tahun 1936-39 Dudly dari Bell Telephone Laboratory,
Amerika, mengembangkan mesin yang dinamakan vocoder. Mesin ini
mulanya adalah untuk menyampaikan signal melalui kabel telepun jarak
jauh. Akan tetapi, kualitasnya tidak cukup baik sebagai piranti
komunikasi.
Pada tahun 1940-an perusahaan telepun ini mengembangkan
spektogram, yakni, alat untuk merekam suara dalam bentuk garis-garis
tebal-tipis dan panjang-pendek yang dinamakan spektogram, Kualitas
bunyi makin lama makin dapat dijadikan lebih baik dan peralatan untuk
kajian mengenai bunyi juga makin menjadi canggih.
2. MASALAH DALAM MEMEPERSEPSI UJARAN
Dalam bahasa Inggris orang rata-ratanya mengeluarkan 125-180
kata tiap menit. Penyaji berita di televisi mencapai 210 kata telah
menelitinya, tetapi karena kata-kata dalam bahasa Indonesia dan pelelang
bisa mencapai lebih dari itu (Gleason dan Ratner 1998). Maka dapat
diduga bahwa orang Indonesia pun mengeluarkan jumlah bunyi vang sama
tiap detiknya, yakni, antara 25-30 bunyi. Dengan demi- kian, tiap kali kita
berbicara satu menit kita telah akan mengeluarkan antara 1500 -1800
bunyi.
Getar pita Suara untuk wanita berkisar antara 200-300 per detik,
sedangkan untuk pria hanya sekitar 100. Karena itu, suara seorang pria
kedengaran lebih "berat." Suara anak lebih tinggi dari suara wanita karena
getaran pita suaranya DIsa mencapai 400 per detik. Perbedaan-perbedaan
ini tentu saja memunculkan bunyi vang berbeda-beda, meskipun kata yang
diucapkan itu sama.
3. MEKANISME UJARAN
Sumber dari bunyi adalah paru-paru. Paru-paru kita berkembang
dan berkempis untuk menyedot dan mengeluarkan udara Melalui saluran
di tenggorokan, udara ini keluar melalui mulu atau hidung. Dalam
perjalanan melewati mulut atau ada kalanya udara itu dibendung oleh
salah satu bagian dari mulut kita sebelum kemudian dilepaskan. Hasil
bendungan udara inilah yang menghasilkan bunyi.
Pada mulut terdapat dua bagian: bagian atas dan bagian ba- wah
mulut. Bagian atas mulut umumnya tidak bergerak sedang- kan bagian
bawah mulut bisa digerakkan. Bagian-bagian ini adalah:
1. Bibir: atas dan bibir bawah dapat membentuk bunyi yang
dinamakan bilabial. Bunyi seperti [p], [b], dan [m] adalah
bunyi bilabial
2. Gigi: gigi ini dapat membentuk bunyi labiodental. Contoh
untuk bunyi seperti ini adalah bunyi [f] dan [v]. gigi juga dapat
membentuk bunyi dental seperti bunyi [f] dan [d] dalam bahasa
indonesia
3. Alveolar. Bunyi [t] dan [d] dalam bahas inggris adalah contoh
bunyi alveolar
4. Palatal keras (hard palate): daerah ini ada di rongga atas mulut,
persis di belakang daerah alveolar. Bentuk bunyi yang
dinamakan alveopalatal seperti bunyi [c] dan [j]
5. Palatal lunak (soft palate): palatal lunak dapat diletakkan
bagian belakang lidah untuk membentuk bunyi yang
dinamakan velar seperti bunyi [k] dan [g]
6. Uvula: bila uvula berlekatan dengan dinidng laring maka udara
disalurkan melalui mulut dan menghasil bunyi yang dinamakan
oral.
7. Lidah: lidah dibagi menjadi beberapa bagian
(a) Ujung lidah (tip of tounge)
(b) Mata lidah (blade)
(c) Depan lidah (front)
(d) Belakang lidah
8. Pita suara menentukan perbedaan antara satu konsonan dengan
konsonan yang lain.
9. Faring (pharynx): saluran udara menuju ke rongga mulut atau
rongga hidung.
10. Rongga hidung: rongga untuk bunyi-bunyi nasal seperti /m/
dan /n/.
11. Rongga mulut: untuk bunyi-bunyi oral seperti /p/, /bl, lal, dan
/i/.
3.1 BAGAIMANA BUNYI DIBUAT
Di samping pembagian bunyi menjadi bunyi nasal dan oral seperti
dinyatakan di atas, bunyi juga dapat dibagi menjadi dua kelompok
besar: konsonan dan vokal. Perbedaan antara kedua macam bunyi ini
terletak pada cara pembuatannya.
3.1.1 PEMBUATAN BUNYI KONSONAN
Bunyi dibuat dengan memanfaatkan bagian mulut seperti
lidah, bibir, dan gigi. Bagian-bagian ini dinamakan artikulator.
Untuk membuat bunyi konsonan perlu diperhatikan tiga faktor.
Perta- ma adalah titik artikulasi, yakni, tempat di mana
artikulator itu berada, berdekatan, atau berlekatan.
Faktor kedua dalam membuat bunyi konsonan adalah cara
artikulasi, yakni, bagaimana caranya udara dari paru-paru itu
kita lepaskan. Apabila udara itu kita tahan dengan ketat di
mulut lalu kemudian kita lepaskan dengan serentak maka bunyi
tadi akan menimbulkan semacam letupan. Karena itu, bunyi ini
dinamakan bunyi plosif atau stop. Dalam bahasa Indonesia
sering dipakai istilah bunyi hambat. Masing-masing pasangan
bunyi mrmang berbeda dan perbedaan ini disebabkan oleh
faktor ketiga, yakni, status pita suara.
3.1.2 PEMBUATAN BUNYI VOKAL
Berbeda dengan konsonan, kriteria yang dipakai untuk
mem- bentuk bunyi vokal adalah (1) tinggi-rendahnya lidah,
(2) posisi lidah, (3) ketegangan lidah, dan (4) bentuk bibir.
Karena lidah itu lentur, maka lidah dapat digerakkan untuk
dinaikkan atau diturunkan. Naik-turunnya lidah menyebabkan
ukuran rongga mulut berubah. Bila lidah berada di posisi
tinggi, maka ruang yang akan dilalui oleh udara dari paru-paru
menjadi sempit.
3.1.3 FONOTAKTIK
Tiap bahasa memiliki sistem sendiri-sendiri untuk mengga-
bungkan fonem agar menjadi suku dan kemudian kata. Dengan
demikian maka tidak mustahil adanya dua bahasa yang memi-
liki beberapa fonem yang sama tetapi fonotaktiknya, yakni,
sistem pengaturan fonemnya, berbeda. Bahasa Inggris sangat
kaya dengan gugus kosonan: ada 45 gugus yang dapat berada
di awal, dan 190 gugus di akhir kata (Fries 1945).
Bahasa Indonesia tidak kaya dengan gugus konsonan, tetapi
bahasa Indonesia moderen kini telah menyerap gugus asing
sehingga memungkinkan adanya tiga konsonan di awal suku,
meskipun bentuk-bentuk ini hanya terdapat pada kata-kata
pinjaman. Di akhir suku, kalau pun ada, kata-kata ini sangat
jarang ditemukan.
3.1.4 STRUKTUR SUKUKATA
Suatu sukukata terdiri dari dua bagian utama, yakni, onset
(pembuka) dan rima (rhyme). Rima terdiri dari nukleus
(nucleus) dan koda (coda). Suatu suku dapat memiliki ketiga-
tiganya: onset, nukleus, dan koda.
Dalam bahasa Indonesia, dan bahasa manapun, bila ada dua
konsonan atau lebih yang mendahului nukleus maka konsonan
yang lebih dekat dengan nukleus selalu lebih sonoran – suatu
sifat bunyi yang kadar fonetiknya didominasi oleh ciir-ciri yang
berkaitan dengan vois.
3.1.5 FITUR DISTINGIF
Fitur-fitur distingtif yang ada pada konsonan adalah:
a. Vokalik dan Konsonantal: semua konsonan adalak
[+konsonantal) dan |-vokalik] sedangkan semua vokal
adalah [+vokalik] dan [-konsonantal]
b. Anterior: bunyi yang dibuat di bagian depan mulut adalah
[+anterior]. Jadi, bunyi /p/ adalah [+anteriorl sedangkan /k/
adalah [-anterior].
c. Koronal (coronal): bunyi yang dibuat di bagian tengah atas
mulut adalah [+koronal]. Jadi, bunyi se perti /p/ adalah [-
koronal] tetapi /s/ adalah [+koro- a. b. nal).
d. Kontinuan (continuant): bunyi yang dibuat dengan aliran
udaranya bisa terus berlanjut. Tentu saja bunyi Id/ adalah [-
kontinuan] sedangkan /f/ adalah [+konti- nuan].
e. Straiden (strident): bunyi yang dibuat dengan iring- an
desahan suara. Dengan definisi ini maka /g/ ada- lah [-
straiden] sedangkan /s/ adalah [+straiden].
f. Nasal: bunyi yang dibuat dengan udara keluar mela- lui
hidung. Karena itu, /m/ adalah [+nasal] tetapi /t/ adalah [-
nasal].
g. Vois: bunyi yang disertai getaran pada pita suara. Semua
vokal adalah [+vois] sedangkan /s/ adalah [- vois] dan /z/
adalah [+vois].
3.1.6 VOICE ONSET TIME
Voice Onset Time masing suku terdiri dari beberapa fonem.
Kata ban sepen atas, misalnya, terdiri dari tiga fonem /b/, la/,
dan /n/. T dari satu bunyi ke bunyi yang lain tentunya
memerlukan w masing-masing bunyi. Transisi dari /b/ ke /an/
pada /ban sama dengan transisi /p/ ke /an/ seperti pada kata
pan. Voice Onset Time, yang sering disingkat sebagai VOT lah
waktu antara (a) lepasnya udara untuk pengucapan sU
konsonan dengan (b) getaran pita suara untuk bunyi vokal va
mengikutinya. Dari eksperimen yang dilakukan orang didapati
bahwa untuk bahasa Inggris suatu bunyi yang VOTnya antara
0-20 milisekon akan terdengar sebagai bunyi [+vois]
sedangkan yang 40-60 milisekon adalah [-vois].

3.2 DIGNIFIKASI BAGI PSIKOLINGUISTIK


Telinga orang Indonesia, misalnya, tidak terlatih untuk mendengar
bunyi [p] yang diikuti oleh aspirasi (yakni, getaran udara pula oleh
bagaimana bunyi-bunyi itu dibuat, fitur-fitur mana Signifikansinya ang
keras waktu kita mengucapkan bunyi tertentu) seperti pada ahasa
Inggris. Bila kita mengucapkan bunyi /p/ bahasa Inggris senerti pada
kata pan dengan benar, dan di dekat mulut kita ada sudut kertas yang
kita siapkan, maka sudut kertas itu pasti akan tersentak dan bergerak.
Hal ini tidak terjadi pada bahasa kita kalau kita mengucapkan kata
yang sama ini. Karena itu, orang Indonesia pada umumnya tidak dapat
pula mendengar adanya aspirasi ini waktu mendengar kata-kata Inggris
seperti pat, pick, dan pass.
3.3 TRANSMISI BUNYI
Bunyi yang dikeluarkan oleh manusia ditransmisikan ke telinga
pendengar melalui gelombang udara. Pada saat suatu bunyi di-
keluarkan, udara tergetar olehnya dan membentuk semacam ge-
lombang. Gelombang yang membawa bunyi ini bergerak dari depan
mulut pembicara ke arah telinga pendengar. Dengan mekanisme yang
ada pada telinga, manusia menerima bunyi ini dan dengan melalui
syaraf-syaraf sensori bunyi ini kemudian "dikirimkan" ke otak kita
untuk diproses dan kemudian ditang- kapnya. Lihatlah visualisasi di
halaman berikut (mengikuti Garman, 1994: 4).
Pemrosesan di otak dibimbing oleh pengetahuan kita tentang
bahasa tersebut, termasuk pengetahuan kita tentang bagaimana bunyi-
bunyi itu dibuat dan fitur apa saja yang terlibat.
4. PERSEPSI TERHADAP UJARAN
Pada dasarnya ada tiga tahap dalam pemrosesan persepsi bunyi (Clark
& Clark 1977):
1. Tahap auditori: Pada tahap ini manusia menerima ujaran sepotong
demi sepotong. Ujaran ini kemudian ditanggapi dari segi fitur
akustiknya. Konsep-konsep seperti titik artikulasi, cara artikulasi, fitur
distingtif, dan VOT sangat bermanfaat di sini karena ihwal seperti
inilah yang memisahkan satu bunyi dari bunyi yang lain. Bunyi-bunyi
dalam ujaran itu kita simpan dalam memori auditori kita.
2. Tahap fonetik: bunyi-bunyi itu kemudian kita identifikasi. Kemudian
VOT-nya juga diperhatikan karena VOT inilah yang akan menentukan
kapdan getaran pada pita suara itu terjadi. Segemen-segmen bunyi ini
kemudian kita simpan di memori fonetik. Perbedaan antara memori
auditori dengan memori fonetik adalah bahwa pada memori auditori
semua variasi alofonik yang ada pada bunyi itu kita simpan sedangkan
pada memori fonetik hanya fitur-fitur yang sifatnya fonemik saja.
3. Tahap fonologis: Pada tahap ini mental kita menerapkan aturan
fonologis pada deretan bunyi yang kita dengar untuk menentukan
apakah bunyi-bunyi tadi sudah mengikuti aturan fonotaktik yang pada
bahasa kita. Untuk bahasa Inggris, bunyi /n/ tidak mungkin memulai
suatu suku kata. Karena itu, penutur Inggris pasti tidak akan
menggabungkannya dengan suatu vokal. Seandainya ada urutan bunyi
ini dengan bunyi yang berikutnya, dia pasti akan menempatkan bunyi
ini dengan bunyi di mukanya, bukan di belakangnya. Dengan demikian
deretan bunyi /b/, lal, Inl, lil, dan /s/ pasti akan dipersepsi sebagai beng
dan is, tidak mungkin be dan ngis.
5. MODEL-MODEL UNTUK PERSEPSI
Dalam rangka memahami bagaimana manusia mempersepsi bunyi
sehingga akhirnya nanti bisa terbentuk komprehensi, para ahli
psikolonguistik mengemukakan model-model teoritis yang diharapkan
dapat menerangkan bagaimana proses persepsi itu terjadi. Sampai saat ini
ada empat model teoritis yang telah diajukan orang.
5.1 MODEL TEORI MOTOR UNTUK PERSEPSI UJARAN
Model yang diajukan oleh Liberman dkk ini, yang dalam bahasa
Inggris disebut sebagai Motor Theory of Speech Perception,
menyatakan bahwa manusia mempersepsi bunyi dengan mema- kai
acuan seperti pada saat dia memproduksi bunyi itu (Liberman dkk
1967 dalam Gleason dan Ratner, 1998).
Seperti dinyatakan sebelumnya, bagaimana suatu bunyi diucapkan
dipengaruhi oleh bunyi-bunyi lain di sekitarnya. Namun demikian,
bunyi itu akan tetap merupakan fonem yang sama, meskipun wujud
fonetiknya berbeda. Persamaan ini disebabkan oleh arti- kulasinya
yang sama pada waktu mengucapkan bunyi tersebut. Jadi, meskipun
bunyi /b/ pada kata /buka/ dan /bisa/ tidak persis sama dalam
pengucapannya, kedua bunyi ini tetap saja dibuat dengan titik dan cara
artikulasi yang sama.
5.2 MODEL ANALISIS DENGAN SINTESIS
Dalam model ini dinyatakan bahwa pendengar mempunyai sistem
produksi yang dapat mensintesisikan bunyi sesuai dengan mekanisme
yang ada padanya. Hasil dari analisis dipakai untuk memunculkan atau
mensintesiskan suatu ujaran yang kemudian dibandingkan dengan
ujaran yang baru dipersepsikan. Bila antara ujaran yang dipersepsi
dengan ujaran yang disintesiskan itu cocok maka terbentuklah persepsi
yang benar.
5.3 FUZZY LOGICAL MODEL
Menurut model ini (Massaro, 1987, 1989) persepsi ujaran terdiri
dari tiga proses: evaluasi fitur, integrasi fitur, dan kesimpulan Dalam
model ini ada bentuk prototipe, yakni, bentuk yane memiliki semua
nilai ideal yang ada pada suatu kata, termasuk fitur-fitur distingtifnya.
Informasi dari semua fitur yang masuk dievaluasi, diintegrasi, dan
kemudian dicocokkan dengan deskripsi dari prototipe yang ada pada
memori kita. Setelah dicocokkan lalu diambil kesimpulan apakah
masukan tadi cocok dengan yang terdapat pada prototipe.
Model ini dinamakan fuzzy (kabur) karena bunyi, sukukata, atau
kata yang kita dengar tidak mungkin persis 100% sama dengan
prototipe kita.
5.4 MODEL COHORT
Model untuk mengenal kata ini (Marslen-Wilson dan Welsh, 1978
dan Marslen-Wilson, 1987 dalam Gleason dan Ratner, 1998; lihat juga
Dominic W. Massaro 1994) terdiri dari dua tahap. Pertama, tahap di
mana informasi mengenai fonetik dan akustik bunyi-bunyi pada kata
yang kita dengar itu memicu ingatan kita untuk memunculkan kata-
kata lain yang mirip dengan kata tadi. Pada tahap kedua, terjadilah
semua kata yang mulai dengan /p/ akan teraktifkan: pahala, ngar
bunyi /r/ maka kata pahala dan pujaan akan tersingkirkan proses
eliminasi secara bertahap.
5.5 MODEL TRACE
Model ini mula-mulanya adalah model untuk persepsi huruf tetapi
kemudian dikembangkan untuk mempersepsi bunyi (McClelland dan
Rumelhart 1981; Elman dan McClelland 1984; 1986). Model TRACE
berdasarkan pada pandangan yang koneksionis dan mengikuti proses
top-down. Artinya, konteks leksikal dapat membantu secara langsung
pemrosesan secara perseptual dan secara akustik.
6. PERSEPSI UJARAN DALAM KONTEKS
Bunyi selalu diujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain
sehingga bunyi-bunyi itu membentuk semacam deretan bunyi. Lafal suatu
bunyi yang diujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain tidak sama
dengan lafal bunyi itu bila dilafalkan secara sendiri-sendiri. Karena itulah
maka betapa pun berbedanya lafal suatu bunyi, pendengar akan tetap
menganggapnya sama bila perbedaan itu merupakan akibat dari adanya
bunyi lain yang mempengaruhinya.
Akan tetapi, sebagai pendengar kita tetap saja dapat memilah-
milahnya dan akhirnya menentukannya. Pengetahuan kita sebagai penutur
bahasa membantu kita dalam proses persepsi. Faktor lain yang membantu
kita dalam mempersepsi suatu ujaran adalah pengetahuan kita tentang
sintaksis maupun semantik bahasa kita. Suatu bunyi yang terucap dengan
tidak jelas dapat diterka dari wujud kalimat di mana bunyi itu terdapat.

Anda mungkin juga menyukai