Anda di halaman 1dari 86

KEGIATAN BELAJAR 2: ASPEK KEBAHASAAN DAN KETERAMPILAN

BERBAHASA

A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan

Setelah Bapak/Ibu mempelajari materi dalam kegiatan belajar ini,


diharapkan mampu untuk menguraikan konsep dasar tentang aspek kebahasaan
untuk MI/SD. Selain itu, BApak/Ibu diharapkan mampu memahami aspek
keterampilan berbahasa peserta didik di MI/SD untuk kepentingan penyusunan
desain pembelajaran Bahasa Indonesia untuk MI/SD dengan pendekatan tematik
integratif dalam konteks pendidikan abad 21.

B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan

Adapun subcapaian dalam kegiatan pembelajaran ini adalah:


1. Menelaah hakikat fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik untuk MI/SD
serta hakikat aspek keterampilan berbahasa untuk peserta didik MI/SD;
2. Mengidentifikasi perkembangan fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik
serta keterampilan berbahasa Indonesia;
3. Memahami paradigma baru fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik serta
keterampilan berbahasa Indonesia;
4. Menilai konsep fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik serta
keterampilan berbahasa Indonesia sebagai displin ilmu;
5. Menguraikan ruang lingkup kajian fonologi, morfologi, sintaksis, dan
semantik serta keterampilan berbahasa Indonesia pada kurikulum MI/SD;
6. Merancang materi fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik serta
keterampilan berbahasa Indonesia dalam konteks pendidikan abad 21;
7. Mengidetifikasi metode, model dan media untuk pembelajaran fonologi,
morfologi, sintaksis, dan semantik serta keterampilan berbahasa Indonesia di
MI/SD;
8. Menelaah penilaian hasil belajar Bahasa Indonesia untuk MI/SD.

C. Uraian Materi
Pada Kegiatan belajar 2, Bapak/Ibu akan belajar mengenai konsep dasar
tentang aspek kebahasaan untuk MI/SD. Selain itu, Bapak/Ibu diharapkan
mampu memahami aspek keterampilan berbahasa peserta didik di MI/SD dari
sudut pandang Islam. Berikut uraian materi pada kegiatan belajar 2:
ASPEK KEBAHASAAN: FONOLOGI, MORFOLOGI, SINTAKSIS, SEMANTIK
1. FONOLOGI
a) Batasan dan Kajian Fonologi

6
Istilah fonologi berasal dari bahasa Yunani yaitu phone = ‘bunyi’, logos
= ‘ilmu’. Secara harfiah, fonologi adalah ilmu bunyi. Fonologi merupakan
bagian dari ilmu bahasa yang mengkaji bunyi. Objek kajian fonologi yang
pertama bunyi bahasa (fon) yang disebut tata bunyi (fonetik) dan yang kedua
mengkaji fonem yang disebut tata fomen (fonemik). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa fonologi adalah cabang ilmu bahasa (linguistik) yang
mengkaji bunyi-bunyi bahasa, proses terbentuknya dan perubahannya.
Fonologi mengkaji bunyi bahasa secara umum dan fungsional.
b) Beberapa Konsep Mengenai Tata Bunyi
1) Fonem
Istilah fonem dapat didefinisikan sebagai satuan bahasa terkecil
yang bersifat fungsional, artinya satuan fonem memiliki fungsi untuk
membedakan makna. Fonem dalam bahasa mempunyai beberapa
macaam lafal yang bergantung pada tempatnya dalam kata atau suku
kata. Contoh fonem /t/ jika berada di awal kata atau suku kata,
dilafalkan secara lepas. Pada kata /topi/, fonem /t/ dilafalkan lepas.
Namun jika berada di akhir kata, fonem /t/ tidak diucapkan lepas. Bibir
kita masih tetap rapat tertutup saat mengucapkan bunyi, misal pada kata
/buat/.
2) Alofon
Varian fonem berdasarkan posisi dalam kata, misal fonem pertama
pada kata makan dan makna secara fonetis berbeda. Variasi suatu fonem
yang tidak membedakan arti dinamakan alofon. Alofon dituliskan
diantara dua kurung siku […]. Kalau [p] yang lepas kita tandai dengan
[p] saja, sedangkan [p] yang tak lepas kita tandai dengan [p>]. Maka kita
dapat berkata bahwa dalam Bahasa Indonesia fonem /p/ mempunyai
dua alofon, yakni [p] dan [p>].
3) Kajian Fonetik
a. Klasifikasi Bunyi
Berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara dalam
saluran suara.
− Vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak
mengalami rintangan. Pada pembentukan vokal tidak ada
artikulasi.
− Konsonan adalah bunyi bahasa yang dibentuk dengan
menghambat arus udara pada sebagian alat ucap. Dalam hal
ini terjadi artikulasi.

7
− Bunyi semi-vokal adalah bunyi yang secara praktis termasuk
konsonan, tetapi karena pada waktu diartikulasikan belum
membentuk konsonan murni.
Berdasarkan jalan keluarnya arus udara.
− Bunyi nasal, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menutup
arus udara keluar melalui rongga mulut dan membuka jalan
agar arus udara dapat keluar melalui rongga hidung.
− Bunyi oral, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan jalan
mengangkat ujung anak tekak mendekati langit-langit lunak
untuk menutupi rongga hidung, sehingga arus udara keluar
melalui mulut.
Berdasarkan ada tidaknya ketegangan arus udara saat bunyi di
artikulasikan.
− Bunyi keras (fortis), yaitu bunyi bahasa yang pada waktu
diartikulasikan disertai ketegangan kuat arus.
− Bunyi lunak (lenis), yaitu bunyi yang pada waktu
diartikulasikan tidak disertai ketegangan kuat arus.
Berdasarkan lamanya bunyi pada waktu diucapkan atau
diartikulasikan
− Bunyi panjang
− Bunyi pendek
Berdasarkan derajat kenyaringannya
Bunyi dibedakan menjadi bunyi nyaring dan bunyi tak
nyaring. Derajat kenyaringan ditentukan oleh luas atau besarnya
ruang resonansi pada waktu bunyi diucapkan. Makin luas ruang
resonansi saluran bicara waktu membentuk bunti, makin tinggi
derajat kenyaringannya. Begitu pula sebaliknya.
Berdasarkan perwujudannya dalam suku kata
− Bunyi tunggal, yaitu bunyi yang berdiri sendiri dalam satu suku
kata (semua bunyi vokal atau monoftong dan konsonan).
− Bunyi rangkap, yaitu dua bunyi atau lebih yang terdapat dalam
satu suku kata. Bunyi rangkap terdiri dari
− Diftong (vokal rangkap): [ai], [au], [ei], dan [oi].
− Klaster (gugus konsonan): [pr], [kr], [tr], [str], [bl], dsb.
Berdasarkan arus udara
− Bunyi egresif, yaitu bunyi yang dibentuk dengan cara
mengeluarkan arus udara dari dalam paru-paru. Bunyi egresif
dibedakan menjadi :

8
a) Bunyi egresif pulmonik: dibentuk dengan mengecilkan
ruang paruparu,otot, perut dan rongga dada.
b) Bunyi egresif glotalik: terbentuk dengan cara merapatkan
pita suara sehingga glotis dalam keadaan tertutup.
− Bunyi ingresif, yaitu bunyi yang dibentuk dengan cara
menghisap udara ke dalam paru-paru.
a) Ingresif glotalik: pembentukannya sama dengan egresif
glotalik tetapi berbeda pada arus udara.
b) Ingresif velarik: dibentuk dengan menaikkan pangkal
lidah ditempatkan pada langit-langit lunak. Kebanyakan
bunyi bahasa Indonesia merupakan bunyi egresif.
b. Pembentukan Vokal, Konsonan, Diftong, dan Kluster
Pembentukan Vokal
Vokal dibedakan berdasarkan tinggi rendahnya lidah,
bagian lidah yang bergerak, bentuk bibir, dan strikturnya. Berikut
ini jenis-jenis vokal berdasarkan cara pembentukannya, yakni:
− Berdasarkan bentuk bibir: vokal bulat, vokal netral, dan vokal
tak bulat;
− Berdasarkan tinggi rendahnya lidah: vokal tinggi, vokal
madya (sedang), dan vokal rendah;
− Berdasarkan bagian lidah yang bergerak: vokal depan, vokal
tengah, dan vokal belakang;
− Berdasarkan strikturnya: vokal tertutup, vokal semitertutup,
vokal semi-terbuka, dan vokal terbuka.
Pembentukan Konsonan
Pembentukan konsonan didasarkan pada empat faktor,
yakni daerah srtikulasi, cara artikulasi, keadaan pita suara, dan
jalan keluarnya udara. Berikut ini klasifikasi konsonan tersebut:
− Berdasarkan daerah artikulasi : konsonan bilabial, labio
dental, apikodental, apikoalveolar, palatal, velar, glotal, dan
laringal;
− Berdasarkan cara artikulasi : konsonan hambat, frikatif, getar,
lateral, nasal, dan semi-vokal;
− Berdasarkan keadaan pita suara : konsonan bersuara dan
konsonan tak bersuara;
− Berdasarkan jalan keluarnya udara : konsonan oral dan
konsonan nasal.
Pembentukan Diftong
Diftong adalah dua buah vokal yang berdiri bersama dan
pada saat diucapkan berubah kualitasnya. Perbedaan vokal dengan

9
diftong adalah terletak pada cara hembusan nafasnya. Diftong
dalam bahasa indonesia adalah sebagai berikut:
− Diftong /au/, pengucapannya [aw]. Contohnya: [harimaw]
/harimau/, [kerbaw] /kerbau/
− Diftong /ai/, pengucapannya [ay]. Contohnya: [santay]
/santai/, [sungay] /sungai/
− Diftong /oi/, pengucapannya [oy]. Contohnya : [amboy]
/amboi/, [asoy] /asoi/
− Diftong /ei/, pengucapanya [ey]. Contohnya: [survey]
/survei/, [geyser] /geiser/
Pembentukan Kluster
Gugus atau kluster adalah deretan konsonan yang terdapat
bersama pada satu suku kata.
− Gugus konsonan pertama: /p/,/b/,/t/,/k/,/g/,/s/ dan
/d/.
− Gugus konsonan kedua: /l/,/r/ dan /w/.
− Gugus konsonan ketiga: /s/,/m/,/n/ dan /k/.
− Gugus konsonan keduanya adalah konsonan lateral /l/,
misalnya:
/pl/ [pleno] /pleno/
/bl/ [blaƞko] /blangko/
dan begitu seterusnya hingga konsonan kedua /r/ dan
/w/.
− Jika tiga konsonan berderet, maka konsonan pertama selalu
/s/, yang kedua /t/,/p/ dan /k/ dan yang ketiga adalah /r/
atau /l/. Contohnya :
/spr/ [sprey] /sprei
/skr/ [skripsi] /skripsi/
/skl/ [sklerosis] /sklerosis/
4) Kajian Fonemik
Istilah fonem dapat didefinisikan sebagai satuan bahasa terkecil
yang bersifat fungsional, artinya satuan fonem memiliki fungsi untuk
membedakan makna. Fonem juga dapat dibatasi sebagai unit bunyi yang
bersifat distingtif atau unit bunyi yang signifikan.
Dalam hal ini perlu adanya fonemisasi yang ditujukan untuk
menemukan bunyi-bunyi yang berfungsi dalam rangka pembedaan
makna tersebut. Dengan demikian fonemisasi itu bertujuan untuk (1)
menentukan struktur fonemis sebuah bahasa, dan (2) membuat ortografi
yang praktis atau ejaan sebuah bahasa.

10
Untuk mengenal dan menentukan bunyi-bunyi bahasa yang
bersifat fungsional atau fonem, biasanya dilakukan melalui “ kontras
pasangan minimal”. Dalam hal ini pasangan minimal ialah pasangan
bentukbentuk bahasa yang terkecil dan bermakna dalam sebuah bahasa
(biasanya berupa kata tunggal) yang secara ideal sama, kecuali satu bunyi
berbeda. Sekurang-kurangnya ada empat premis untuk mengenali
sebuah fonem, yakni (1) bunyi bahasa dipengaruhi lingkungannya, (2)
bunyi bahasa itu simetris, (3) bunyi bahasa yang secara fonetis mirip,
harus digolongkan ke dalam kelas fonem yang berbeda, dan (4) bunyi
bahasa yang bersifat komplementer harus dimasukkan ke dalam kelas
fonem yang sama.
a. Realisasi Fonem
Realisasi fonem adalah pengungkapan yang sebenarnya dari
ciri atau satuan fonologis, yakni fonem menjadi bunyi bahasa. Realisasi
fonem erat kaitannya dengan variasi fonem. Variasi fonem merupakan
salah satu wujud pengungkapan dari realisasi fonem. Secara segmental
fonem bahasa Indonesia dibedakan atas vokal dan konsonan.
b. Variasi Fonem
Variasi fonem adalah wujud pelbagai manifestasi bersyarat
maupun tak bersyarat dari fonem. Ujud variasi suatu fonem yang
ditentukan oleh lingkungannya dalam distribusi yang komplementer
disebut varian alofonis atau alofon.
5) Gejala Fonologi Bahasa Indonesia
a. Penambahan Fonem
Penambahan fonem pada suatu kata pada umumnya berupa
penambahan bunyi vokal. Penambahan ini dilakukan untuk
kelancaran ucapan.
b. Penghilangan Fonem
Penghilangan fonem adalah hilangnya bunyi fonem pada awal,
tengah dan akhir sebuah kata tanpa mengubah makna. Penghilangan
ini biasanya berupa pemendekan kata.
c. Perubahan Fonem
Perubahan fonem adalah berubahnhya bunyi atau fonem pada
sebuah kata agar menjadi terdengar jelas untuk tujuan tertentu
d. Kontraksi
Kontraksi adalah gejala yang memperlihatkan adanya satu atau
lebih fonem yang dihilangkan. Kadang-kadang ada perubahan atau
pengganti fonem.
11
e. Analogi
Analogi adalah pembentukan suatu kata baru berdasarkan
suatu contoh yang sudah ada (Keraf, 1987)
f. Fonem Suprasegmental
Fonem vokal dan konsoan merupakan fonem segmental karena
dapat diruas-ruas. Fonem tersebut hanya bosa terwujud bersama-sama
dengan ciri-ciri supersegmental seperti tekanan, jangka dan nada. Di
samping ketiga ciri itu, pada untaian terdengar pula ciri
supersegmental lain, yakni intonasi dan ritme. Pada tataran kata,
tekanan, jangka, dn nada dalam bahasa Indonesia tidak membedakan
makna. Namun, pelafalan kata yang menyimpang dalam hal tekanan,
dan nada akan terasa janggal.

2. MORFOLOGI
a) Pengertian Morfologi
Morfologi disebut juga ilmu bahasa yang mempelajari seluk beluk
kata. Verhaar (1984:52) berpendapat bahwa morfologi adalah bidang
linguistik yang mempelajari susunan bagian kata secara gramatikal.
Morfologi juga tediri dari dua bahasan (1) bidang linguistik yang mempelajari
morfem dan kombinasi-kombinasinya; (2) bagian dari struktur bahasa yang
mencakup kata dan bagian-bagian kata, yaitu morfem. Berdasarkan definisi-
definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa morfologi adalah bidang
linguistik yang mempelajari hubungan antara morfem yang satu dengan
morfem yang lain untuk membentuk sebuah kata.
b) Kedudukan Morfologi dalam Linguistik
Morfologi merupakan bidang kajian bahasa yang mempelajari
struktur-struktur atau bentuk penyusunan kata. Morfologi dalam hirarki
ilmu kebahasaan berada di antara kajian-kajian yang lainnya, yakni:
Wacana
Sintaksis
Morfologi
Fonologi
Dengan demikian kajian morfologi mempunyai keterkaiatan dengan
fonologi maupun sintaksis. Keterkaitan dengan fonologi terletak pada adanya
kajian morfonologi atau merfofonemik yaitu proses morfologi dengan
munculnya fonem /y/ pada dasar hari bila diberi sufiks –an. Contohnya
sebagai berikut.
hari + an hariyan

12
Atau pindahnya konsonan /b/ pada jawab apabila diberi sufiks –an.
jawab + ja.wa.ban
KeterkaItan dengan sintaksis terlihat pada kajian morfosintaksis
(gabungan kata morfologi dan sintaksis). Contoh: kata dalam kajian
morfologi merupakan satuan terbesar, dengan kata dalam kajian sintaksis
merupakan satuan terkecil dalam pembentukan kalimat (sintaksis). Jadi,
satuan bahasa yang disebut kata itu, menjadi objek dalam kajian morfologi
dan kajian sintaksis.
Pembentukan struktur kata atau bentuk kata disebut juga proses
morfologis dalam bahasa Indonesia melalui afiksasi, reduplikasi, dan
pemajemukan.
1) Afiksasi
Afikasasi adalah penggabungan akar kata dengan pokok afiks. Afiks
ada tiga jenis, yaitu awalan (prefiks), sisipan (infiks), akhiran (sufiks),
dan gabungan awalan dan akhiran (konfiks).
a. Prefiks (Awalan)
Prefiks be(R)-
Prefiks be(R)- memiliki beberapa variasi. Be(R)- bisa berubah menjadi
be- dan bel-. Be(R)- berubah menjadi be- jika (a) kata yang dilekatinya
diawali dengan huruf r dan (b) suku kata pertama diakhiri dengan er
yang di depannya konsonan.
be(R)- + renang → berenang .
be(R)+ ternak → beternak
be(R)+ kerja →bekerja
Prefiks me (N)-
Prefiks me(N)- mempunyai beberapa variasi, yaitu me(N)- yaitu
mem-, men-, meny-,meng-, menge-, dan me-. Prefiks me(N)- berubah
menjadi mem- jika bergabung dengan kata yang diawali huruf /b/,
/f/, /p/, dan /v/, misalnya,
me(N)- + baca →membaca
me(N)- + pijat → memijat
Prefiks me(N)- berubah menjadi men- jika bergabung dengan
kata yang diawali oleh huruf /d/, /t/, /j/, dan /c/, misalnya,
me(N)- + data → mendata,
me(N)- + tulis → menulis,
me(N)- + jadi → menjadi,
me(N)- + cari → mencari.
Prefiks me(N)- berubah menjadi meny- jika bergabung dengan kata
yang diawali oleh huruf /s/, misalnya,
me(N)- + sindir → menyindir,
13
me(N)- + sisir → menyisir.
Prefiks me(N)- berubah menjadi meng- jika bergabung dengan
kata yang diawali dengan huruf /k/ dan /g/, misalnya,
me(N)- + kupas → mengupas
me(N)- + goreng → menggoreng.
Prefiks me(N)- berubah menjadi menge- jika bergabung
dengan kata yang terdiri dari satu suku kata, misalnya,
me(N)- + lap → mengelap,
me(N)- + bom→ mengebom,
me(N)- + bor → mengebor.
Prefiks pe (R)-
Prefiks pe(R)- merupakan nominalisasi dari prefiks be(R).
Perhatikan contoh berikut!
berawat→ perawat
bekerja → pekerja.
Prefiks pe(R)- mempunyai variasi pe- dan pel-. Prefiks pe(R)-
berubah menjadi pe jika bergabung dengan kata yang diawali
huruf r dan kata yang suku katanya berakhiran er. Contohnya
sebagai berikut.
pe(R)- + rawat →perawat dan pe(R)- + kerja → pekerja.
Prefiks pe(R)- berubah menjadi pel- jika bergabung dengan kata
ajar, misalnya:
pe(R)- + ajar → pelajar.
Prefiks pe (N)-
Prefiks pe(N)- mempunyai beberapa variasi. Prefiks pe-(N)- sejajar
dengan prefiks me(N)-. Variasi pe(N)- memiliki variasi pem-, pen-,
peny-, peng-, pe-, dan penge-.
Prefiks pe(N)- berubah menjadi pem- jika bergabung dengan kata
yang diawali oleh huruf /t/, /d/, /c/, dan /j/, misalnya:
Penuduh
Pendorong
Pencuci
Penjudi
Prefiks pe(N)- berubah menjadi 14 pem- jika bergabung dengan
kata yang diawali oleh huruf /b/ dan /p/, misalnya:
Pebaca
Pemukul
Prefiks pe(N)- berubah menjadi peny- jika bergabung dengan kata
yang diawali oleh huruf /s/, misalnya: penyaji.

14
Prefiks pe(N)- berubah menjadi peng- jika bergabung dengan kata
yang diawali oleh huruf /g/ dan /k/, misalnya, penggaris dan
pengupas.
Prefiks pe(N)- berubah menjadi penge- jika bergabung dengan kata
yang terdiri atas satu suku kata, misalnya:
Pengebom
Pengepel
pengecor.
Prefiks pe(N)- berubah menjadi pe- jika bergabung dengan kata
yang diawali oleh huruf /m/, /l/, dan /r/, misalnya, pemarah,
pelupa, dan perasa.
Prefiks te(R)-
Prefiks te(R)- mempunyai beberapa variasi, yaitu ter- dan tel- ,
misalnya, terbaca, ternilai, tertinggi, dan telanjur.
b. Infiks (Sisipan)
Infiks termasuk afiks yang penggunaannya kurang produktif.
Infiks dalam bahasa Indonesia terdiri dari tiga macam: -el-, -em-,
dan –er-.
Infiks -el-, misalnya, geletar, gelembung;
Infiks -er-, misalnya, gerigi, seruling; dan
Infiks -em-, misalnya, gemuruh, gemetar
c. Sufiks (Akhiran)
Sufiks dalam bahasa Indonesia mendapatkan serapan asing seperti
wan, wati, man. Adapun akhiran yang asli terdiri dari –an, -kan,
dan –i.
sufiks -an, misalnya, dalam, makanan, pujian, jajanan;
sufiks -i, misalnya, dalam pukuli, bisiki, pinjami, lukai;
sufiks -kan, misalnya, dalam berikan, lemparkan; dan
sufiks -nya, misalnya, dalam mudahnya, jiwanya, berdirinya.
d. Konfiks
Konfiks adalah “gabungan prefiks (awalan) dan sufiks (akhiran) yang
merupakan satu afiks yang tidak terpisah-pisah. Artinya, afiks
gabungan 15 itu muncul secara serempak pada morfem dasar dan
bersama-sama membentuk satu makna gramatikal pada kata
bentukan itu. Berikut ini konfiks yang terdapat dalam bahasa
Indonesia.
Konfiks pe(R)-an misalnya, dalam perdamaian, perubahan,
Konfiks pe(N)-an misalnya, dalam pendinginan, pendaratan,

15
Konfiks ke-an misalnya, kedaulatan, kemanusian,
Konfiks be(R)-an misalnya, berdekatan, berbantuan.
2) Reduplikasi
Reduplikasi adalah proses pengulangan kata dasar baik keseluruhan
maupun sebagian. Reduplikasi dalam bahasa Indonesia dapat dibagi
sebagai berikut:
a. Pengulangan seluruh
Dalam bahasa Indonesia perulangan seluruh adalah perulangan
bentuk dasar tanpa perubahan fonem dan tidak dengan proses
afiks. Misalnya: anak → anak-anak hati → hati-hati
b. Pengulangan sebagian
Pengulangan sebagian adalah pengulangan sebagian morfem
dasar, baik bagian awal maupun bagian akhir morfem. Misalnya:
saji → sesaji berapa → beberapa
c. Pengulangan dengan perubahan fonem
Pengulangan dengan perubahan fonem adalah morfem dasar yang
diulang mengalami perubahan fonem. Misalnya: sayur → sayur-
mayur ramah → ramah-tamah
d. Pengulangan berimbuhan
Pengulangan berimbuhan adalah pengulangan bentuk dasar diulang
secara keseluruhan dan mengalami proses pembubuhan afiks. Afiks
yang dibubuhkan bisa berupa prefiks, sufiks, atau konfiks. Misalnya
: buah → buah-buahan kuning → kekuning-kuningan tarik → tarik-
menarik
e. Pemajemukan/ Kata Mejemuk
Dua buah kata yang digabungkan kemudian menimbulkan arti/
makna baru. Contoh: terdiri dari kata sapu dan tangan memiliki
makna◊sapu tangan berbeda dengan kata sapu tangan. meja
memiliki makna tidak hanya tempat makan, makan◊meja makan
tidak memiliki makna tempat. Ketika digabungkan memiliki makna
baru.
c) Konstruksi Morfologis
1) Endosentris dan Eksosentris
Endosentris ialah konstruksi morfologis yang salah satu atau semua
unsurnya mempunyai distribusi yang sama dengan konstruksi tersebut,
sedangkan konstruksi eksosentris ialah unsur-unsurnya tidak sama
dengan konstruksi tersebut (Samsuri, 181:200; Prawirasumantri, 1986:19).

16
Endosentris dan eksosentris dalam tatanan morfologi terdapat pada kata
majemuk sedangkan dalam tatanan sintaksis terdapat pada frase. Agar
pengertian endosentris dan eksosentris lebih terpahami perhatikan contoh
berikut!
a. 1). Rumah sakit itu baru dibangun.
2). Rumah itu baru dibangun.
b. 1). Mereka mengadakan jual beli.
2). Mereka mengadakan jual. *)
3). Mereka mengadakan beli. *)
Dengan mengadakan perbandingan kalimat 1a dan 1b, kita dapat
menyimpulkan bahwa konstruksi rumah sakit mempunyai distribusi yang
sama dengan dengan salah satu unsurnya, yaitu rumah. Pada kalimat 2a
ada konstruksi jual beli. Kedua unsurnya yakni jual dan beli tidak memilki
distribusi yang sama. Hal itu terbukti bahwa kalimat 2b dan 2c bukan
merupakan kalimat bahasa Indonesia. Kita tidak akan menemukan dua
kalimat seperti itu. Konstruksi rumah sakit merupakan contoh endosentris,
sedangkan konstruksi jual beli merupakan contoh eksosentris.
2) Komposisi dalam Morfologis
Komposisi adalah proses penggabungan dasar dengan dasar
(biasanya berupa akar maupun bentuk berimbuhan) untuk mewadahi
suatu “konsep” yang belum tertampung dalam sebuah kata. Proses
komposisi ini dalam bahasa Indonesia merupakan satu mekanisme yang
cukup penting dalam pembentukan dan pengayaan kosakata yang kita
ketahui sangat terbatas. Umpamanya, dalam bahasa Indonesia kita sudah
punya kata merah, yaitu salah satu jenis warna. Namun, dalam kehidupan
kita warna merah itu tidak semacam, ada warna merah seperti warna
darah; warna merah seperti warna jambu; warna merah seperti warna
delima, dan sebagainya. Maka untuk membedakan semuanya kita buatlah
gabungan kata merah darah, merah jambu, merah delima, dan sebagainya.
a. Komposisi Verbal
Komposisi verbal adalah komposisi yang pada satuan klausa
berkategori verbal. Komposisi verbal dapat dibentuk dari dasar:
− Verba + verba, seperti duduk termenung, menyanyi menari,
makan minum.
− Verba + nomina, seperti gigit jari, tolak peluru, lompat galah.
− Verba + ajektifa, seperti terbaring gelisah, jalan cepat, loncat
jauh.

17
− Adverbia + verba, seperti sudah bangun, belum makan , masih
tidur.
b. Komposisi Nomina
Komposisi nomina adalah komposisi yang pada satuan klausa
berkategori nomina. Komposisi nomina dapat dibentuk dari dasar:
− Nomina + nomina, seperti adik kaka, sate ayam, meja kayu.
− Nomina + verba, seperti mesin cuci, buku ajar, meja belajar.
− Nomina + ajektifa, seperti guru muda, mobil kecil, meja hijau.
− Adverbial + nomina, seperti bukan koin, banyak serigala,
beberapa orang.
c. Komposisi Ajektiva
Komposisi ajektiva adalah komposisi yang pada satuan klausa,
berkategori ajektiva. Komposisi ajektiva dapat dibentuk dari dasar:
− Ajektiva + ajektiva, seperti besar kecil, tua muda, putih abu-
abu.
− Ajektiva + nomina, seperti merah darah, keras hati, biru laut.
− Ajektiva + verba, seperti takut pegi, malu menjawab, berani
tanding.
− Adverbia + ajektiva, seperti, tidak ramah, agak iri, sangat
menyenangkan.
3) Morfofonemik
Morfofonemik adalah cabang linguistik yang mempelajari
perubahan bunyi yang diakibatkan oleh adanya pengelompokkan morfem.
Nelson Francis (1958) mengatakan bahwa morfofonemik mempelajari
variasivariasi yang tampak pada struktur fonemik alomorf-alomorf
sebagai akibat pengelompokkan menjadi kata (Ahmadslamet, 1982:69).
Pengertian lain dilontarkan oleh Samsuri (1982:201) bahwa morfofonemik
merupakan studi tentang perubahan-perubahan fonem yang disebabkan
hubungan dua morfem atau lebih serta pemberian tanda-tandanya.
Morfofonernik bahasa Indonesia dapat dibedakan menjadi enam macam
yaitu: (1) penghilangan bunyi; (2) penambahan bunyi; (3) perubahan
bunyi; (4) perubahan dan pe nambahan bunyi; (5) perubahan dan
penghilangan bunyi; dan (6) peloncatan bunyi.
a. Penghilangan Bunyi
Proses penghilangan bunyi dapat terjadi atas:
Bunyi /N/ pada meN- dan peN- yang hilang karena pertemuan kedua morfem
tersebut dengan bentuk dasar yang berbunyi atau berfonem awal /r, l, y, w/
dan nasal. Misalnya:
meN- + rinci → merinci

18
meN- + lucu → melucu
meN- + yakini → meyakini
meN- + wangi → mewangi
meN- + nyanyi → menyanyi
meN- + minyak → meminyak
meN- + ngeong → mengeong
meN- + nanti → menanti
Fonem /r/ pada morfern ber-, ter-, dan per- hilang bila yang berbunyi atau
berfonem awal /r/ atau yang suku pertamanya berakhir dengan bunyi /r/.
misalnya:
ber- + roda → beroda
ber- + serta → beserta
ber- + kerja → bekerja
ter- + rasa → terasa
ter- + pedaya → terpedaya
ter- + rayu → terayu
b. Penambahan Bunyi
Proses penambahan bunyi terjadi pada:
Pertemuan antara morfem -an, ke-an, per-an, menyebabkan timbulnya fonem
atau bunyi bila bentuk dasar itu berakhir dengan vokal /a/. Misalnya:
-an + sapa → sapaan
ke-an + sama → kesamaan
per-an + kata → perkataan
Catatan:
Jika peN-an dipertemukan dengan bentuk dasar yang diawali bunyi /p, t, k,
dan s/ dan diakhiri oleh vocal maka morfofonemis yang terjadi berupa perubahan,
penghilangan dan penambahan bunyi. Contoh:
peN-an + tanda → penandaan
peN-an + padu → pemaduan
peN-an + kaji → pengajian
peN-an + sampai → penyampaian
Pertemuan antara morfem -an, ke-an, per-an dengan bentuk dasar yang
berakhir dengan bunyi /i/ akan menyebabkan timbulnya bunyi /y/. Misalnya:
-an + hari → arian
ke-an + serasi → keserasian
per-an + api → perapian

19
Pertemuan antara morfem , ke-an, per-an dengan bentuk dasar yang berkhir
dengan fonem /u, o/ akan menyebabkan timbulnya fonem /w/. Misalnya:
-an + jamu → jamuan
ke-an + lucu → kelucuan
per-an + sekutu → persekutuan
-an + kilo → kiloan
ke-an + loyo → keloyoan
per-an + toko → pertokoan
c. Perubahan Bunyi
Perubahan bunyi akan terjadi pada:
Pertemuan morfem meN- dan peN- dengan bentuk dasar yang dimulai oleh
fonem atau bunyi /d/ dan bunyi /s/ khusus pada bentuk dasar yang berasal dari
bahasa asing akan terjadi perubahan bunyi /N/ menjadi /n/. Misalnya:
meN- + datang → mendatang
meN- + survai → mensurvei
peN- + damar → pedamar
peN- + supply → pensupply
Pertemuan morfem meN- dan peN- pada bentuk dasar yang berawal dengan
bunyi atau fonem /b, f/ akan terjadi perubahan bunyi /N menjadi /m/. Misalnya:
meN- + buru → memburu
meN- + fitnah → memfitnah
peN- + buang → pembuang
peN- + fitnah → pemfitnah
Pertemuan morfem meN- den peN- dengan bentuk dasar yang berawal
dengan fonem /c, j/, maka fonem /N/ akan berubah menjadi /n/. Misalnya:
meN- + cakar → mencakar
meN- + jajal → menjajal
peN- + ceramah → penceramah
Pertemuan morfem meN- dan peN- dengan. bentuk dasar yang berbunyi
awal /g, h, x/ dan voka1 , maka fonem /N/ akan berubah menjadi /η/. Misalnya:
meN- + garap → menggarap
meN- + hasut → menghasut
meN- + khayal → mengkhayal
meN- + ambil → mengambil
meN- + intip → mengintip
meN- + ukur → mengukur
meN- + ekor → mengekor

20
meN- + orbit → mengorbit
peN- + garis → penggaris
peN- + harum → pengharum
peN- + khianat → pengkhianat
peN- + angkat → pengangkat
peN- + isap → pengisap
peN- + umpat → pengumpat
peN- + olah → pengolah

Pertemuan morfem ber- dan per— pada bentuk dasar ajar mengakibatkan
perubahan bunyi /r/ men jadi /1/. Peristiwa ini sebenarnya merupakan peristiwa
unik, sebab hanyac terjadi pada bentuk dasar ajar sehingga ada yang mengatakan
suatu “kekecualian”. Perhatikanlah:
ber- + ajar → Belajar
per- + ajar → Pelajar

Pertemuan morfem ke-an dan -i dengan bentuk dasar berfonem akhir /?/
menyebabkan fonem tersebut berubah menjadi /k/. Misalnya:
duduk /dudu?/ + ke-an → kedudukan
bedak /beda?/ + -i → bedaki
d. Perubahan dan Penambahan Bunyi
Proses perubahan dan penambahan fonem dapat terjadi pada:

Pertemuan morfem meN- dan peN- pada bentuk dasar yang terdiri atau satu
suku kata menyebabkan perubahan bunyi /N/ menjadi /η/ dan penambahan bunyi
/∂/. Misalnya:
meN- + bel → Mengebel
meN- + cat → mengecat
meN- + tik → mengetik

Pertemuan morfem peN-an pada bentuk dasar berfonem awal /d, c, j/ dan
berfonem akhir /a, i, u, dan o/ menyebabkan perubahan /N/ menjadi /n/ dan
bertambahnya /?, y, w/. Contonnya:
peN-an + data → Pendataan
peN-an + dahulu → pendahuluan
peN-an + cahaya → pencahayaan
peN-an + cari → pencarian
peN-an + calo → pencaloan
peN-an + jaga → penjagaan

21
peN-an + juri → penjurian

Pertemuan morfem peN-an pada bentuk dasar yang berfonem awal /b, f/ dan
berfonem akhir vokal /a, i, u, dan o/ menyebabkan perubahan /N/ menjadi /m/ dan
bertambahnya bunyi /?, y, w/. Contohnya:
peN-an + buka → Pembukaan
peN-an + beri → pemberian
peN-an + buku → pembukuan
peN-an + blangko → pemblangkoan
peN-an + fakta → fakta
peN-an +foto → foto

Pertemuan morfem peN-an pada bentuk dasar yang berfonem awal /g, h, kh/
dan berfonem akhir vocal /a, i, u, o/ menyebabkan perubahan /N/ menjadi /m / dan
bertaoibahnya bunyi /?, Y, w/. Contohnya:
peN-an + guna → Penggunaan
peN-an + gali → penggalian
peN-an + gadai → penggadaian
peN-an + ganggu → penggangguan
peN-an + harga → penghargaan
peN-an + hijau → penghijauan

Pertemuan morfem peN-an pada bentuk dasar yang dimulai oleh vokal dan
diakhiri oleh vokal /a, i, u, o/ menyebabkan perubahan /N/ menjadi / dan
bertambahnya bunyi /?, y, w/. Contohnya:
peN-an + ada → Pengadaan
peN-an + adu → pengaduan
peN-an + andai → pengandaian
peN-an + utama → pengutamaan
peN-an + urai → penguraian
peN-an + intai → pengintaian
peN-an + operasi → pengoprasian
e. Perubahan dan Penghilangan Bunyi
Proses perubahan dan penghilangan bunyi terjadi pada:
Pertemuan peN- dan meN- pada bentuk dasar yang dimulai oleh fonem /p/
akan perubahan /N/ menjadi /m/ dan fonem awal bentuk dasar hilang.
Contohnya:
peN- + peras → Pemeras

22
meN- + paksa → Memaksa

Pertemuan morfem peN- dan meN- pada bentuk dasar yang dimulai oleh
fonem /t/ akan mengakibatkan perubahan /N/ menjadi /n/ dan hilangnya
fonem awal bentuk dasar. Contohnya:
peN- + tari → Penari
meN- + tending → Menendang

Pertemuan morfem peN- dan meN- pada bentuk dasar yang diawali fonem
/k/ akan mengakibatkan perubahan fonem /N/ menjadi /η/ dan hilangnya
fonem awal bentuk dasar. Contohnya:
peN- + karang → Pengarang
meN- + kurung → Mengurung

Pertemuan morfem peN— dan meN— pada bentuk dasar yang diawali fonem
/s/ akan mengakibatkan perubahan fonem /N/ menjadi /η/ dan hilangnya
fonem awal bentuk dasar yang bersangkutan. Contohnya:
peN- + sayang → Penyayang
meN- + saring → Menyaring
f. Peloncatan Bunyi
Prawirasumantri (1986:40) menambahkan satu lagi bentuk
morfofonemik bahasa Indonesia yaitu peloncatan burnyi. Peloncatan
fonem ini terjadi apabi1a dua atau 1ebih bertukar tempat akibat
petemuan morfem-morfem dalam bahasa Indonesia ditemukan
sebuah gejala ini, yakni peloncatan fonem /a/ dan /m/ pada kata
padma dalam merah padam.

3. SINTAKSIS
a) Hakikat Sintaksis
Sintaksis adalah ilmu bahasa yang mempelajari struktur gramatikal
dari frase, klausa, kalimat, dan wacana. Alat-alat sintaksis adalah alat-alat
untuk menghubungkan kata-kata menjadi kelompok dengan struktur
tertentu. Adapun yang dimaksudkan dengan struktur adalah hubungan
setara dan bertingkat dari kelompok tersebut. Jadi, eksistensi struktur
sintaksis terkecil ditopang oleh alat bantu yang berupa urutan kata, bentuk
kata, intonasi, dan konjungsi. Peranan alat-alat sintaksis itu tampaknya tidak
sama antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Ada bahasa yang

23
lebih mementingkan urutan, ada yang lebih mementingkan bentuk kata atau
intonasi. Ada beberapa alat sintaksis, yakni:
Pertama adalah urutan. Pada umumnya dalam setiap bahasa peranan, urutan
kata ikut menentukan makna gramatikal. Contoh:
Roti makan ibu.
Ibu makan roti.
Dari dua contoh di atas penutur bahasa Indonesia, dapat dikenali
bahwa urutan “Roti makan ibu” tidak berterima, sedangkan urutan “Ibu
makan roti” dengan mudah dapat dipahami oleh penutur bahasa Indonesia.
Kedua berupa bentuk kata. Pada umumnya bentuk kata dapat dikenali dengan
melekatnya afiks pada kata tersebut. Afiks-afiks ini memperlihatkan makna
gramatikal yang bermacam-macam antara lain: jumlah, persona, jenis, kala,
aspek, modus, diatesis, aktif, pasif. Contoh :
Dari urutan “Roti makan ibu”. Kata makan diberi afiks sehingga menjadi
dimakan.
Ketiga adalah intonasi. Dalam ragam lisan intonasi berperan penting untuk
mengungkapkan makna. Misalnya, “Ali guru SD”, di antara Ali dan guru SD
terdapat jeda yang membatasi antara Ali dan guru SD.
Alat sintaksis yang lain adalah partikel atau kata tugas. Partikel atau
kata tugas sebagai unsur bahasa memiliki ciri-ciri antara lain:
Biasanya tidak menglami proses morfologis
Biasanya tidak memiliki makna leksikal
Keanggotaannya tertutup
Jumlahnya terbatas

b) Satuan Sintaksis
Sintaksis sebagai subsistem bahasa mencakup kata dan satuansatuan
yang lebih besar serta hubungan-hubungan diantaranya. Pada umumnya
pembicaraan yang lebih meluas dan mendalam dalam studi sintaksis selain
alat-alat sintaksis adalah satuan-satuan sintaksis. Kata merupakan satuan
terkecil dalam sintaksis. Satuan yang lebih besar dari kata, sebagai yang
umum dibicarakan dalam sintaksis, berturut-turut ialah frase, klausa dan
kalimat.
1) Kata
Dalam tataran gramatikal, kata adalah satuan terkecil daalm kalimat.
Kata memiliki potensi untuk berdiri sendiri, dan dapat
berubah/berpindah dalam kalimat. Dalam kalimat jawaban misalnya
“sudah” (“jawaban: sudahkah engkau belajar? Atau dalam kalimat seruan,

24
misalnya ”ambil” (suruhan kepada seorang murid untuk mengambil
buku). Demikian juga halnnya dengan ciri dapat berpindah dalam
kalimat. Misalnya kata “semalam”, dapat berpindah di awal kalimat, di
tengah atau di akhir kalimat. Contohnya:
Semalam hujan turun
Hujan semalam turun
Hujan turun semalam
2) Frase
Satuan sintaksis yang lebih besar dari kata adalah frase. Frase adalah
satuan gramatikal yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak berciri
klausa, atau tidak memiliki ciri predikat, dan pada umumnya menjadi
pembentuk klausa. Seperti halnya dengan kata frase memiliki potensi
untuk berdiri sendiri menjadi kalimat.
Klasifikasi Frase
Berdasarkan tipe strukturnya, frase dibedakan atas frase eksosentris dan
frase endosentris. Frase eksosentris adalah frase yang tidak memiliki inti
frase. Memiliki ciri menggunakan kata depan. Contoh:
di rumah
ke sekolah
dari pasar
pada meja
kepada orang tua
Adapun frase endosentris adalah frase yang memiliki inti frase. Frase
endosentris dibagi menjadi tiga, yakni:
− Frase endosentris koordinatif, yakni frasa yang memiliki potensi
untuk dihubungkan dengan konjungsi koordinatif, seperti: dan, atau, atau
baik …. Contoh:
Sawah ladang
Kaya miskin
Tua muda
− Frase endosentris subordinatif, yakni meskipun memiliki
kedudukan unsur yang setara, frasa ini tidak tersusun atas unsur-unsur
yang setara sehingga tidak dapat dihubungkan dengan konjungsi.
Conyoh:
Agak kaku
Sangat cepat
Lebih muda
25
− Frase endosentris apostif, yakni menggunakan aposisi untuk
menandakan dua unsur pusat yang saling merujuk. Contoh:
Agus, anak Bu Sari, sedang belajar mengemudi.
Bahasaku, Bahasa Indonesia
Dia menulis surat untuk Shinta, kakaknya.
3) Klausa
Satuan sintaksis yang lebih besar dari frase adalah klausa. Klausa adalah
satuan gramatikal yang disusun oleh kata dan atau frase, dan yang
memiliki satu predikat. Pada umumnya klausa merupakan unsur
pembentuk (konstituan) kalimat. Contoh:
Alya membaca buku itu….
Aldo mahasiswa ….
Alys dan Aldo membaca buku itu….

Klausa dapat menjadi kalimat, jika ke dalam klausa itu diberikan intonasi
final atau kalau dalam klausa diakhiri dengan titik. Contoh:

Aldo membaca buku itu.


Aldo melihat Alya datang.

Klausa juga dapat diubah dengan diperluas dan perluasan itu dengan
menambahkan keterangan waktu, tempat, cara, dan lain-lain. Contoh:

Kemarin Aldo membaca buku itu.


Alya menulis surat sejelas-jelasnya.
4) Kalimat
Satuan sintaksis yang lebih besar dari klausa adalah kalimat. Kalimat
adalah satuan gramatikal yang disusun oleh konstituen dasar dan
intonasi final. Konstituen dasar itu dapat berupa klausa, frase, maupun
kata. Contoh:

Aldo membeli buku (klausa)


Buku baru! (frase)
Buku! (kata)

Kalimat di atas jika dilafakan maka akan jelas peranan intonasi final
dalam menentukan status kalimat. Kalimat satuan sintaksis dapat
diperluas dengan menambah klausa dengan sifat hubungan parataktis
koordinatif atau subordinatif.
a. Klasifikasi Kalimat
Berdasarkan jumlah klausanya, kalimat dibedakan atas: kalimat
tunggal, kalimat bersusun, dan kalimat majemuk.

26
− Kalimat Tunggal, yakni kalimat yang terdri dari satu klausa bebas.
Contoh:

Dia datang dari Bandung.


Nenekku masih sehat.
Saya sedang membaca buku di kamar.

− Kalimat Bersusun, yakni kalimat yang terjadi dari satu klausa bebas
dan sekurang-kurangnya satu kalimat terikat. Ada beberapa
sebutan untuk sebutan kalimat bersusun, misalnya kalimat
majemuk bertingkat, atau kalimatmajemuk subordinatif. Contoh:

Kalau Alya menangis, Aldo pun ikut menangis.


Aldo tidak pergi ke sekolah karena sedang sakit.
Karena ada banyak tidak siap, ujian dibatalkan.

− Kalimat Majemuk Kalimat majemuk adalah kalimat yang terjadi


dari beberapa klausa bebas yang disebut juga sebagai kalimat setara.
Contoh :

Alya membuka jendel kamar lalu membersihkan tempat tidur.


Aldo hobi bermian bola dan sering menciptaakan gol.
Berdasarkan struktur klausanya, kalimat dibedakan atas: kalimat
lengkap dan kalimat tak lengkap.

− Kalimat Lengkap, yakni kalimat yang mengandung klausa lengkap.


Sekurang-kurangnya terdapat unsur objek dan predikat. Contoh:

Ibu guru mengajar bahasa Indonesia di depan kelas.


Adik bermain sepeda di halaman rumah.

− Kalimat Tak Lengkap, yakni kalimat yang tidak lengkap, hanya


terdiri dari subjek saja, predikat saja, objek saja, atau keterangna
saja. Contoh:

Selamat Pagi!
Silahkan antre.
Alya!
Berdasarkan amanat wacana, kalimat dibedakan atas:
− Kalimat Deklaratif, yakni kalimat yang mengandung intonasi
deklaratif yang dalam ragam tulis diberi tanda titik. Contoh:

Gaji guru honor tidak dinaikan.


Dalam bulan ramadhan kaum muslim berpuasa.

27
− Kalimat Introgatif, yakni kalimat yang mengandung intonasi
introgatif, yang dalam ragam tulis biasanya diberi tanda tanya).
Contoh:

Apakah anda seorang guru?


Di mana tempat terjadinya Perang Dunia II?

− Kalimat imtratif, yakni kalimat yang mengandung intonasi


imperatif yang dalam ragam tulis biasanya diberi tanda seru.
Contoh:

Berikan hadiah ini kepada temanmu!


Bukalah pintu itu!

− Kalimat aditif , yakni kalimat terikat yang bersambung pada kalimat


pernyataan, dapat lengkap dapat tidak. Contoh:

Sedangkan bulan Mei, terang hujan tidak ada.


Cuma belum punya anak.

− Kalimat Responsif, yakni kalimat terikat yang bersambung pada


kalimat pertanyaan, dapat lengkap dapat tidak. Contoh:

Ya!
Tadi malam!

− Kalimat interjektif, yakni kalimat yang dapat terikat atau tidak.


Contoh:

Wah ini baru namanya penampilan!


Semoga Allah memberikan pentunjuk!
Berdasarkan pembentukan kalimat dari klausa inti dan perubahnnya kalimat,
dibedakan atas kalimat ini dan bukan inti.

− Kalimat Inti, yakni kalimat inti yang dibentuk dari klausa inti yang
lengkap, bersifat deklaratif, aktif, netral, atau afirmatif. Biasanya
disebut kalimat dasar. Contoh:

FN + FV : Bapak datang
FN + FV + FN : Ibu membeli sayur
FN + FN : Ayah guru.

− Kalimat Noninti, yakni kalimat inti dapat diubah menjadi kalimat


noninti dengan berbagai proses transformasi: pemasifan,
pengingkaran, penanyaan, pemerintahan, penginversian,
pelesapan, dan penambahan. Contoh:

28
Buku dibaca oleh Alya.
Alyatidak membaca buku.
Apakah Alyamembaca buku?
Berdasarkan jenis klausa, kalimat dibedakan atas kalimat verbal dan
kalimat nonverbal.

− Kalimat verbal, yakni kalimat yang dibentuk dari klausa verbal.


Contoh:

Alya menulis surat,


Ibu bertamu ke rumah bibi.
Surat dutulis Alya.

− Kalimat nonverbal, yakni kalimat yang dibentuk oleh klausa non


verbal sebagai kontituen dasarnya. Contoh:

Nenekku pensiunan guru.


Mereka di kamar depan.
Ibu guru itu cantik sekali.
Berdasarkan fungsi kalimat sebagai pembentuk paragraf, kalimat dibedakan
atas: kalimat bebas dan kalimat terikat.

− Kalimat Bebas. yakni Kalimat bebas adalah kalimat yang


mempunyai potensi untuk menjadi ujaran lengkap, atau kalimat
yang dapat memulai sebuah paragraf wacana tanpa konteks lain
yang memberi penjelasan.

− Kalimat Terikat. Yakni kalimat yang tidak dapat berdiri sendiri


sebagai ujaran lengkap. Contoh:

Sekarang di Riau amat sukar mencari terubuk (1). Jangankan


ikannya, telurnya pun sangat sukar dipeloreh (2). Kalau pun
bisa diperoleh, harganya melambung selangit (3). Makanya, ada
kecemasan masyarakat nelayan di sana bahwa terubuk yang
spesifik itu akan punah (4).
Kalimat 1 pada teks di atas Sekarang di Riau amat sukar mencari terubuk
adalah satu contoh kalimat bebas. Tanpa harus diikuti kalimat (2), (3),
dan (4), kalimat sudah dapat menjadi ujaran lengkap yang bisa
dipahami. Sedangkan kalimat (2), (3), dan (4) pada teks itu adalah
kalimat terikat. Ketiga kalimat itu secara sendiri-sendiri tidak dapat
dipahami, sehingga tidak dapat berdiri sendiri sebagai sebuah ujaran.
5) Wacana
Jenis wacana dapat dibedakan: Deskripsi, eksposisi, argumentasi,
narasi, persuasi.

29
a. Deskripsi

Kata deskripsi berasal dari bahasa latin describere yang berarti


menggambarkan atau memerikan sesuatu hal. Dari segi
istilah,deskrpsi adalah suatu bentuk karangan yanng melukiskan
sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sehingga pembaca
dapat mencitrai (melihat,mendengar,mencim dan merasakan)apa
yang dilikiskan itu sesuai dengan citra penulisannya. Deskripsi atau
pemerian merupakan sebauh bentuk tulisan yang bertalian dengan
usaha para penulis untuk memberikan perincian-perincian dari obyek
yang sedang dibicarakan. Kata deskripsi berasal dari kata latin
describe yang berarti menulis tentang, atau membeberkan sesuatu hal.
Sebaliknya kata deskripsi dapat diterjemahkan menjadi pemerian yang
berasal dari kata peri-memerikan yang berarti melukiskan sesuatu hal.
(Keraf, 1981.hlm. 93). Deskripsi adalah pelukisan atau pengggambaran
melalui kata-kata tentang suatu benda, tempat, suasana, atau keadaan.
Seorang penulis deskripsi mengharapkan pembaca melalui tulisannya,
dapat melihat apa yang dilihatnya, dapat mendengar apa yang
didengarnya, merasakan apa yang dirasakannya, serta sampai kepada
kesimpulan yang sama. Ciri-ciri karangan deskripsi menurut Semi
(2003:41) ciri penanda deskripsi sekaligus sebagai pembeda dengan
jenis karangan yang lain adalah sebagai berikut:
− Deskripsi lebih berupaya memperlihatkan detail atau perincian
tentang objek. Maksudnya, untuk menghasilkan tulisan deskripsi
yang baik seorang penulis harus mampu memperlihatkan suatu
objek secara detail dan lebih terperinci. Misalnya, penulis ingin
menuliskan tentang seorang anak perempuan, maka penulis harus
mampu melukiskan berapa umur gadis itu, bagaiamana
pakaiannya, bagaimana rambutnya dan sebagainya.
− Deskripsi lebih bersifat memberi pengaruh sensitivisme dan
membentuk imajinasi pembaca. Maksudnya, pembaca ikut
merasakan tentang objek yang dilukiskan itu seolah-olah dapat
dirasakan dengan imajnasi (daya khayal) yang disuguhkan penulis.
Misalnya penulis ingin menggambarkan kampus yang indah.
− Deskripsi disampaikan dengan gaya yang memikat dan dengan
pilihan kata yang menggugah. Maksudnya, pilihan kata dalam
tulisan deskripsi dapat menggugah perasaan pembaca, setelah
membaca sebuah tulisan deskripsi maka imajinasi pembaca akan
terpancing. Misalnya penulis ingin melukiskan suasana di dalam
sebuah kereta api yang 35 sesak, maka ia harus mampu memilih

30
diksi dan gaya bahasa yang tepat, sehingga imajinasi pembaca
terpansing.
− Deskripsi lebih banyak memaparkan tentang sesuatu yang
didengar, dilihat, dan dirasakan sehingga objeknya pada umumnya
benda, alam, warna dan manusia.
− Organisasi penyampaian lebih banyak menggunakan susunan
ruang (spartial order). Maksudnya, tulisan yang melukiskan tentang
suatu tempat, suatu ruang dan sebagainya.
Macam-macam deskripsi berdasarkan kategori yang lazim, ada
dua objek yang diungkapkan dalam deskripsi, yakni orang dan
tempat. Atas dasar itu, karangan deskripsi dipilih atas dua kategori,
yakni karangan deskripsi orang dan karangan deskripsi tempat.
Karangan deskripsi orang dibedakan sebagai berikut.
− Deskripsi keadaan fisik. Deskripsi fisik bertujuan memberi
gambaran yang sejelas-jelasnya tentang keadaan tubuh seorang
tokoh.deskripsi ini banyak bersifat objektif.
− Deskripsi keadaan sekitar Deskripsi keadaan sekitar, yaitu
penggambaran keadaan yang mengelilingi sang tokoh, misalnya
penggambaran tentang aktivitasaktivitas yang dilakukan, pekerjaan
atau jabatan, pakaian, tempat kediaman, dan kendaraan, yang ikut
menggambarkan watak seseorang.
Adapun sehubungan dengan karangan deskripsi tempat,
tempat memegang peranan yang sangat penting dalam setiap
peristiwa. Tidak ada peristiwa yang terlepas dari lingkungan dan
tempat. Semua kisah akan selalu mempunyai latar belakang tempat.
Jalannya sebuah peristiwa akan lebih menarik jika dikaitkan dengan
tempat terjadinya peristiwa (Akhadiah, 1997). Dalam memilih cara
yang paling baik untuk melukiskan tempat, perlu kita pertimbangkan
beberapa pokok persoalan untuk menyusun deskripsinya yaitu harus
memperhatikan suasana hati, pengarang harus dapat menetapkan
suasana hati manakah yang paling menonjol untuk dijadikan
landasan. Sikap pengarang ketika membuat karangan deskripsi
mengenai tempat menunjukan sifat dan suasana hati yang menguasai
pikiran pengarang pada waktu itu. Sikap dan suasan hati itu
dipertajam dengan penglaman sehari-hari sehingga mempengaruhi
penerapan terhadap objek deskripsi. Untuk mempermudah
pendeskripsian, berikut ini disajikan rambu-rambu/langkah-langkah
menulis karangan Deskripsi yang dapat kita ikuti.
− Menentukan apa yang akan dideskripsikan: Apakah akan
mendeskripsikan orang atau tempat.

31
− Merumuskan tujuan pendeskripsian: Apakah deskripsi dilakukan
sebagai alat bantu karangan narasi, eksposisi, argumentasi, atau
persuasi.
− Menetapkan bagian yang akan dideskripsikan: Jika yang
dideskripsikan orang, apakah yang akan dideskripsikan itu. Ciri-ciri
fisik, watak, gagasannya, atau benda-benda yang di sekitar tokoh,
jika yang dideskripsikan tempat, apakah yang akan dideskripsikan,
keseluruhan tempat atau hanya bagian-bagian tertentu saja yang
menarik.
− Memerinci dan menyistematiskan hal-hal yang menunjang
kekuatan bagian yang akan dideskripsikan: hal-hal apa saja yang
akan ditampilkan untuk membantu memunculkan kesan dan
gambaran kuat mengenai sesuatu yang dideskripsikan. Pendekatan
apa yang akan digunakan penulis.

Contoh 1
Rumah kuno itu sunyi. Ruang tengah senantiasa ada
dalam suasana remang-remang karena jendela di pinggir pada
diambl oleh kamar-kamar di kanan kirinya. Meja murmer yang
dengan kaki rampingnya berdiri seperti kijang kena pesona dewa-
dewa, terletak tepat dibawah mahkota lampu minyak yang sudah tak
ada lampuna lagi. Cahaya sedikit yang ada dalam ruangan itu
datangnya dari sumber di penjuru lain: sebuah baloon lampu yang
dipasang di atas lubang pintu, lebih atas lagi daripada lukisan huruf
arab yang berbunyi “Allah” dan seuntai kulit ketupat yang sudah
kering. Cahaya suram 25 watt yang dengan susah payah menerangi
kelam yang mengental di ruangan antik itu, tambah muram pula
oleh debu dan sarang laba-laba yang kecuali di situ juga merajalela
di segenap sudut. Di kesua pojok belakang berdiri dua almari yang
tak serupa. Yang satu pintunya berkaca, tapi ditutupi oleh sehelai
kain biru yang usang, sehingga tamu-tamu boleh menerka-nerka isi
almari itu barang-barang porselan yang mahal, kuih-kuih yang
lezat ataukah kosong sama sekali. Alamri yang satu hitam besar lagi
pula bergembok gede seperti gembok gudang pelabuhan. Kursi
goyang rapuh di sudut depan, hidup rukun dengan tetangganya:
sebuah clubfauteuli hitam besar yang bersalut perlak yang di
tengahnya sudah habis, sehingga kelihatan goni yang menonjol-
nonjol oleh desakan pegas di bawahnya.
(Nugroho Notosusanto, Tayuban)

32
Contoh 2
Wina membuka pintu kelasnya perlahan-lahan.
Dilihatnya sebuah jendela yang terbuka. Di bawah jendela, tampak
sebuah meja guru yang memakai tapalak putih. Di atas taplak putih
itu ada sebuah vas bunga dari kayu. Vas bunga tersebut bergambar
beberapa kuntum bunga matahari seperti bunga yang ada
didalamnya. Di sebelahnya tergeletak sebuah agenda kelas yang
terbuka dan kalender duduk. Wina lalu memasuki ruang kelasnya
dengan langkah yang lambat. Dia memalingkan pandangan ke arah
kanan. Tampak satu buah “white board” yang bersih tanpa coretan.
Di sebelah kiri “white board” tersebut, terpasang sebuah tempat
spidol berwarna biru muda, serasi dengan dinding yang bercatut
biru tua. Dan di sebelah kanan “white board” terpasang satu papan
mading yang penuh tulisan-tulisan karya siswa. Wina memutar
pandanganya ke belakang kelas. Ada sebuah pribahasa berbahasa
inggris yang berwarna kuning bertuliskan ‘practice make perpect’
di bawahnya terpasang sebuah system periodik unsur- 38 unsur di
kiri kananya juga terpasng sebuah denah duduk dan daftar
kelompok belajar. Selain itu, ditatapnya dinding kiri kelas. Di sana
terpasang struktur organigram dan sebuah daftar regu kerja dari
karton berwarna kuning. Struktur organigram dan daftar regu
kerja tersebut ditutupi oleh plastik bening. Wina berpaling ke
dinding kanan. Di sana tergantung daftar pelajaran berwarna
kuning. Daftar pelajaran itu disusun tak berurutan, huruf-
hurufnya pun dari guntingan majalah. Meski tampak tidak rapi,
namun cukup bagus dan menarik. Wina menyusuri deretan bangku
kosong di depanya. Tak usah dihitung lagi karena pasti ada 40 meja
dan 80 kursi. Dan tanpa kata Wina berjalan ke bangkunya sendiri,
dan duduk manis di sana. (Rahayu Setianingsih, 2013)

b. Eksposisi (paparan)

Eksposisi berasal dari kata exposition yang berarti


membuka.dapat pula diartikan sebagai tulisan yang bertujuan untuk
memberitahu, mengupas, menguraikan, atau menerangkan sesuatu.
Dalam karangan eksposisi masalah yang dikomunikasikan adalah
informasi. Hal dikomunikasikan adalah: (a) Data faktual, (b) suatu
analisis atau suatu penafsiran yang objektif terhadap seperangkat
fakta. (c) mungkin sekali berupa fakta tentang seseorang yang
berpegang teguh pada suatu pendirian yang khusus. Asalkan tujuan
utamanya untuk memberikan informasi. Langkah-langkah yang dapat
ditempuh dalam membuat eksposisi adalah sebagai berikut: (1)

33
menentukan topik karangan, (2) menentukan tujuan penulisan, dan (3)
merencanakan paparan dengan membuat kerangka yang lengkap dan
tersusun baik.
Contoh 1
Ikan merupakan salah satu binatang yang biasa
diprlihara oleh manusia. Ikan sangat beragam mulai dari warna,
jenis juga harganya. Dengan memelihara ikan, akan memberikan
ketenangan, kesegaran bagi pemiliknya begitu juga orang
melihatnya. Dalam memelihara ikan kita harus berhati-hati,
karena jika perawatannya tidak sesuai maka ikan air tawar, jenis
dan warna ikan air laut juga lebih beragam.
Untuk memelihara ikan, hal pertama yang harus
disiapkan yaitu akuarium. Akuarium harus ditata seindah
mungkin dan sesuai dengan keadaan sebenarnya, dengan begitu
ikan-ikan akan merasa betah. Setelah akuarium diisi dengan air,
selanjutnya ikan dimasukan ke akuarium tersebut. Dalam
memilih ikan sebaiknya yang masih segar, dan kondisinya baik
tanpa ada cacat ataupun goresan.
Dalam memberi makan ikan harus teratur,jangan
terlalu banyak karena akan membuat air keruh, olehnya ikan akan
mati. Memberi makan ikan sebaiknya dilakukan tiga atau sampai
empat kali sehari, pilihlah makanan ikan yang sesuai dan bergizi.
Air untuk ikan air tawar makin lama makin keruh, oleh
karena itu harus diganti minimal sekali dalam seminggu. Ketika
mengganti air akuarium, ikan-ikan harus dipindahkan terlebih
dahulu ke dalam ember yang berisi air bersih.
Hati-hati dalam memilih jenis ikan, jangan sampai ikan
yang besar disatukan dengan ikan kecil, bisa-bisa ikan besar
tersebut memangsa ikan kecil. Akuarium juga dapat diletakan di
ruang tamu, hal ini dapat memberikan nilai tambah yaitu
membuat asri suasana dan juga memberikan kesegaran bagi orang
yang melihatnya. Kesegaran yang diberikan oleh pemandangan di
akuarium dapat membuat orang yang stress menjadi bugar,dan
bersemangat kembali. Tak heranlah banyak orang yang
mempunyai hobi memelihara ikan, baik ikan air tawar maupun
ikan air laut.

c. Argumentasi (bahasan)

Tulisan argumentasi adalah karangan yang terdiri atas paparan


alasan dan penyintesisan pendapat untuk membangun suatu
kesimpulan.Karangan ini ditulis dengan maksud untuk memberikan

34
alasan, memperkuat atau menolak sesuatu pendapat, pendirian ,
gagasan. Karangan argumentasi dikembangkan dengan dua teknik,
yaitu: (1) teknik induktif adalah penyusunan argumentasi yang
dilakukan dengan mengemukakan lebih dahulu bukti-bukti,
kemudian diambil kesimpulan yang bersifat umum, dan (2) teknik
deduktif adalah dimulai dengan suatu kesimpulan umum yang
kemudian disusul uraian mengenai hal-hal yang khusus, alasan-alasan
atau bukti-bukti yang terdapat dalam argumentasi deduktif ini disebut
premis.
Contoh 1
Pantai Parangtritis memang memiki keindahan
eksotis yang membuat wisatawan ramai berkunjung, tetapi juga
sering menelan korban. Yang disayangkan, sebagian masyarakat
Indonesia masih saja menganggap peristiwa tersebut berkaitan
dengan hal-hal mistis, yakni dikarenakan Ratu Pantai Selatan
meminta tumbal. Padahal, ada penjelasan ilmiah di balik
musibah tersebut. Para praktisi ilmu kebumian menegaskan
bahwa penyebab utama hilangnya sejumlah wisatawan di Pantai
Parangtritis, Bantul, adalah akibat terseret “rip current”.
Dengan kecepatan mencapai 80 kilometer per jam, arus balik
tidak hanya kuat, tetapi juga mematikan.
Jadi, banyaknya korban tenggelam tidak ada kaitannya
sama sekali dengan anggapan para masyarakat. Ali Susanto,
Komandan SAR Pantai Parangtritis, juga menambahkan bahwa
di sepanjang Pantai Parangtritis juga banyak terdapat palung
(pusaran air) yang tempatnya selalu berpindah-pindah dan sulit
diprediksi. Kondisi inilah yang sering banyak menimbulkan
korban mati tenggelam.

d. Narasi (kisahan)

Narasi atau naratif adalah tulisan berbentuk karangan yang


menyajikan serangkaian peristiwa atau kejadian menurut urutan
terjadinya (kronologis) dengan maksud memberi makna kepada
sebuah atau rentetan kejadian sehingga pembaca dapat memetik
hikmah dari cerita itu. Prinsip-prinsip narasi adalah sebagai berikut.
− Alur (plot). Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus
bertalian satu sama lain, bagaimana suatu insiden mempunyai
hubungan dengan insiden yang lain, dan bagaimana situasi dan
perasaan karakter (tokoh) yang terlibat dalm tindakan-tindakan
itu yang terikat dalam suatu kesatuan waktu. Oleh karena itu, baik
tidaknya penggarapan sebuah alur dapat dinilaii dari beberapa hal

35
berikut: (1) apakah tiap insiden susul-menyusul secara logis dan
alamiah; (2) apakah tiap pergantian insiden sudah cukup
terbayang dan dimatangka dalam insiden sebelumnya; (3) atau
apakah insiden terjadi secara kebetulan. (Keraf, 1983)
− Penokohan. Salah satu ciri khas narasi ialah mengisahkan tokoh
cerita bergerak dalam suatu rangkaian perbuatan atau
mengisahkan tokoh ceria terlibat dalam suatu peristiwa dan
kejadian. Sebenarnya tidak ada ketentuan yang pasti perihal
jumlah tokoh dalam narasi. Pertimbangan utama ialah fungsional
atau tidaknya tokoh tersebut membina kesatuan kesan. Ada
pengarang yang membatasi kepada satu tokoh sentral, tetapi ada
juga yang memilih lebih dari satu tokoh. Yang penting pemilihan
dan pembatasan tokoh harus tetap dilakukan agar tindakan atau
peristiwa yang ditampilkan tidak berlaku pada banyak tokoh
sehingga arahnya tetap terkontrol.
− Latar (setting). Latar ialah tempat atau waktu terjadinya perbuatan
tokoh atau peristiwa yang dialami tokoh. Dalam karangan narasi
terkadang tidak disebutkan secara jelas tempat tokoh berbuat atau
mengalami peristiwa tertentu. Sering kita jumpai cerita hanya
mengisahkan latar secara umum, misalnya dikatakan: di tepi
hutan, di sebuah desa atau di sebuah pulau. Dalam latar waktu,
misalnya disebutkan: jaman dahulu, pada suatu senja, pada suatu
malam atau pada suatu hari. Namun demikian, ada juga yang
menyebutkan latar tempat dan waktu secara pasti. Penyebutan
nama latar secara pasti atau secara umum dalam narasi sebenarnya
menyangkut esensi dan tujuan yang hendak dicapai narasi itu
sendiri.
− Sudut Pandang. Sudut pandang dalam narasi menjawab
pertanyaan siapakah yang menceritakan kisah. Apapun sudut
pandang yang dipilih pengarang akan menentukan sekali gaya
dan corak cerita. Sebab, watak dan pribadi pencerita akan banyak
menentukan cerita yang dituturkan pada pembaca.
Sehubungan dengan hal tersebut, langkah-langkah menulis
karangan narasi adalah sebagai berikut.
− Menentukan tema dan amanat yang akan disampaikan.
− Tetapkan sasaran pembaca.
− Rancang peristiwa-peristiwa utama yang akan ditampilkan dalam
bentuk sekema alur.
− Bagi peristiwa utama itu kedalam bagian awal, perkembangan,
dan akhir cerita.

36
− Rinci peristiwa-peristiwa utama kedalam detail-detail peristiwa
sebagai pendukung cerita.
− Susun tokoh dan perwatakan, latar dan sudut pandang.
Contoh 1
Tepat ketika tanggal 10 Maret, sekolahku libur selama
sembilan hari dan akan berakhir pada tanggal 18 Maret. Aku dan
seluruh keluargaku tidak menyia-nyiakan waktu ini untuk
mengadakan liburan keluarga. Ketika itu aku memilih berlibur ke
Pantai Parangtritis.
Pagi-pagi aku telah berbenah dan menyiapkan semua
perbekalan yang nantinya diperlukan. Sepanjang perjalanan, aku
iringi dengan nyanyian lagu riang. Betapa senangnya aku ketika
sampai di pantai tersebut. Dengan hati suka ria, aku sambut
Pantai Parangtritis dengan senyumku. Pantai Parangtritis,
pantai nan elok yang menjadi favoritku. Tanpa menyia-nyiakan
waktu, aku mengajak kakakku untuk bermain air. Kuambil air dan
aku ayunkan ke mukanya. Dengan canda tawa, kami saling
berbalasan. Puas rasanya, terasa hilang semua kepenatan karena
kesibukan tiap harinya. Di sana, aku dan seluruh keluargaku
saling berfoto-foto untuk mengabadikan momen yang indah ini.
Tak terasa waktu berjam-jam telah ku habiskan di sana. Hari pun
mulai sore menandakan perpisahan dan kembali pulang. Tak rela
rasanya kebahagiaan ini akhirnya selesai. Dalam benakku, aku kan
kembali esok.

e. Persuasi

Tulisan yang bermaksud mempengaruhi orang lain dalam


persuasi selain logika perasaan juga memegang peranan penting.
Untuk dapat menyusun karangan persuasi yang efektif, diperlukan
kemampuan menciptakan persuasi, yaitu kemampuan memanfaatkan
alat-alat persuasi sebagai berikut. Alat-alat persuasi mencakup: (1)
Bahasa, bahasa adalah alat komunikasi, sebagai alat bahasa sangat
luwes dalam menjalankan fungsinya. Artinya, bahasa dapat dipakai
oleh pemakainya untuk kepentingan apa saja selama dalam batas-
batas fungsinya sebagai alat komunikasi; (2) Nada, yang dimaksud
disini adalah nada pembicaraan. Nada tersebut berkaitan denga sikap
pengarang dalam menyampaikan gagasannya; serta (3) Detail, dalam
karangan persuasi, detail cukup penting dalam kedudukannya dalam
alat persuasi.
Adapun yang dimaksud detail dalam hal ini adalah uraian
terhadap ide pokok sampai ke bagian yang sekecil-kecilnya. Untuk

37
memilih detail pengembangan persuasi, hal-hal yang perlu
dipertimbangkan adalah: (1) Penting-tidaknya detail itu untuk
keperluan persuasi dan pemahaman pembaca; (2) Jumlah detail yang
harus dikumpulkan untuk mendukung ide pokok; (3) Macam detail
yang harus diangkat untuk mendukung ide pokok; (4) Kapan setiap
detail itu dihadirkan; serta (5) Ada tidaknya korelasi dan relevansi
detail dengan ide pokok yang sebaiknya di angkat.
Detail yang baik adalah detail yang esensial dalam mendukung
tujuan persuasi, yakni: (1) Organisasi, menyangkut masalah
pengaturan detail dalam sebuah karangan. Dalam persuasi,
pengaturan detail menggunakan prinsip “mengubah keyakinan dan
pandangan”. Artinya, detail-detail itu bagaimana pun pengaturannya
harus kita usahakan mampu mengarahkan keyakinan dan pandangan
pembaca. Penataan detaildetail ini ada beberapa cara, antara lain, cara
induktif, cara deduktif, cara kronologi, dan cara penonjolan; serta (2)
Kewenangan (authority), dapat kita sebut sebagai alat persuasi.
Kewenangan tidak selalu berkaitan dengan kewenangan
hukum. Kewenangan menyangkut “penerimaan dan kesadaran”
pembaca terhadap pengarang. Seorang pengarang diyakini
pembacanya sebagai orang yang berwenang apabila dia: (1)
Mempunyai dasar hukum menduduki jabatan-jabatan tertentu; (2)
Berkecimpung dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan tertentu; dan
(3) Mampu menunjukka pola pikir yang bermutu tinggi.
Contoh 1
Indonesia adalah negeri yang beraneka ragam. bangsa
yang multikultur, banyak sekali kebudayaan yang tersebar dari
ujung barat sampai ujung timur. Kebudayan nasional yang
menjadi ciri khas bangsa khususnya. Sebagai warga yang hidup
di Indonesia, sebaiknya saat ini kita harus berpikir bahwa
kebudayaan Indonesia mulai harus dijaga. Kenapa kebudayaan
bangsa Indonesia harus dijaga? Ada beberapa faktor yang
menyebabkan kebudayaan Indonesia harus dijaga. Diantaranya,
banyak orang yang tidak mengenal budayanya sendiri.
Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia lebih
banyak menyebabkan seseorang malas untuk mengetahui bahkan
untuk mengenalnya. sehingga tak heran jika ada orang yang tidak
tahu tentang kebudayaan Indonesia. Bahkan dia sempat aneh dan
terheran-heran jika melihat tari kecak misalnya atau
mendengarkan lagu soleram. karena dia tak pernah
mengetahuinya dan memang tak pernah mau tahu.

38
Tak hanya itu, globalisasi atau modernisasi yang terjadi
pada dunia saat ini mempunyai pengaruh besar terhadap
kelestarian budaya Indonesia. Melalui modernisasi kebudayaan
dengan mudah kebudayaan asing dapat masuk ke Indonesia. Dan
memang tidak mengherankan, kita bisa lihat dengan jelas dari
beberapa media, kebudayaan asing telah merambah luas ke seluruh
penjuru nusantara. Kebudayaan-kebudayaan asing ini ternyata
lebih mudah membudaya dari pada kebudayaan asli yang sudah
ada. Contohnya saja dalam cara berpakaian, kita lebih sering
mengikuti orang-orang di luar sana untuk cara berpakaian.
Dengan masuk dan berkembangnya budaya asing ke
Indonesia membuat kebudayaan-kebudayaan daerah tersingkir.
Tak jarang banyak kebudayaan daerah yang tidak lagi
dimunculkan atau malah dapat dikatakan menghilang.
Kebudayaan-kebudayaan daerah ini mulai meredup setelah
kedatangan kebudayaan asing. Seperti wayang yang sekarang
jarang sekali kita dapat menyaksikan pertunjukannya secara
langsung. Atau tari jaipong yang benar-benar asli, karena yang
sering kita lihat adalah tari jaipong yang sudah banyak mengalami
perubahan.
Generasi muda Indonesia pun ternyata lebih menyukai
kebudayaan asing. Mereka kurang mencintai kebudayaannya
sendiri, bahkan ada yang menganggapnya kampungan. Terlihat
bahwa generasi muda sekarang lebih bergaya hidup hedonistic
atau gaya hidup penuh hura-hura. Generasi muda saat ini lebih
menyenangi kebebasan tanpa batas daripada kebebasan dengan
batasan norma. Musik yang mereka dengarkan bukan lagi
gendang, karismen atau tanjidor tapi musik yang mereka
dengarkan adalah “house music” atau musik DJ, R&B, Hiphop,
metal dan lain-lain. Tarian mereka bukan lagi jaipongan, kecak,
atau pendet tapi tarian mereka dengarkan adalah modern dance,
break dance dan lain-lain.
Oleh karena itu, memang sudah saatnya kita sebagai
orang Indonesia umumnya dan sebagai generasi muda terpelajar
khusunya, harus mulai berpikir untuk menjaga kebudayaan
Indonesia. Karena kebudayaan Indonesia adalah ciri khas bangsa
Indonesia yang menjadi kebanggaan tersendiri dari bangsa
Indonesia. Masyarakat dan pemerintah adalah pelaku sentral
dalam proses pelestarian kebudayaan nasional.
Kebudayaan Indonesia sebaiknya kita pelihara, kita juga
dan kita lestarikan bersama-sama. Jangan sampai kita kehilangan
budaya kita sendiri. Marilah kita sama-sama menjaga kebudayaan
39
Indonesia agar jangan sampai terkubur dan hanya menjadi sejarah
anak cucu kita di masa yang akan dating. Marilah kita bersama-
sama menjaganya!

4. SEMANTIK

a) Pengertian Semantik
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani yaitu sema (kata benda) yang
berarti tanda atau lambang, yang mengandung makna to signify atau
memaknai. Sebagai istilah teknis, semantik mengandung pengertian “studi
tentang makna”. Kata semantik kemudian disepakatai sebagai istilah yang
digunakan dalam bidang linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam
bahasa. Kata semantik juga diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang
arti, yaitu salah satu dari tiga analisis bahasa: fonologi, gramatikal dan
semantik.
Selain semantik, adapula istilah lain seperti semiotika, semiologi,
semasiologi, sememik, dan semik yang juga mempelajari tentang makna atau
arti dalam suatu tanda atau lambang. Namun, istilah semantik lebih umum
digunakan dalam studi linguistik karena istilah yang lain mempunyai cakupan
objek yang lebih luas seperti tanda lalu lintas, kode morse, tanda dalam
matematika dan sebagainya. Sedangkan cakupan semantik hanyalah makna
atau arti yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal. (abdul
chaer)
b) Manfaat Semantik
Manfaat yang diperoleh dari studi semantik tergantung dari bidang
pekerjaan kita sehari-hari. Misalnya bagi seorang guru atau calon guru bahasa,
pengetahuan mengenai semantik, akan memberi manfaat teoritis dan juga
manfaat praktis. Manfaat teoritis karena sebagai guru bahasa akan banyak
materi atau penegtahuan yang diajarkan, teori-teori semantik ini akan
menolongnya memahami dengan lebih baik bahasa yang akan diajarkannya
itu. Sedangkan manfaat praktis akan diperolehnya berupa kemudahan bagi
dirinya dalam mengajarkan bahasa itu kepada muridmuridnya. Seorang guru
bahasa, selain harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang luas
mengenai segala aspek bahasa, juga harus memiliki pengetahuan teori
semantik secara memadai. Tanpa pengetahuan ini dia tidak dapat menjelaskan
dengan tepat perbedaan dan persamaan semantis dalam dua buah bentuk kata,
serta bagaimana menggunakan kedua bentuk kata yang mirip itu dengan
benar.
Bagi seorang wartawan yang bekerja untuk sebuah surat kabar dan
pemberitaan, pengetahuan semantik akan memudahkannya dalam memilih

40
dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan
informasi kepada masyarakat. Sedangkan untuk orang awam, pengetahuan
tentang dasar-dasar semantik diperlukan untuk dapat memahami dunia di
sekelilingnya. Semua informasi yang ada di lingkungan didapat melalui
bahasa. Sebagai manusia bermasyarakat tidak mungkin mereka bisa hidup
tanpa memahami alam sekeliling mereka yang berlangsung melalui bahasa.
(abdul chaer)
c) Makna Bahasa
1) Makna Leksikal
Makna leksikal adalah makna yang ada pada leksem-leksem dari
bahasa tersebut. Leksem adalah istilah yang lazim digunakan dalam studi
semantik untuk menyebut satuan-bahasa bermakna. Istilah leksem ini
kurang lebih dapat disamakan dengan istilah kata yang bisaanya digunakan
dalam studi morfologi dan sintaksis, dan yang lazim didefinisikan sebagai
satuan gramatikal bebas terkecil. Perbedaannya, leksem dapat berupa
sebuah kata seperti kata meja, kucing dan makan; dapat pula berupa
gabungan kata seperti meja hijau, dalam arti ‘pengadilan’ dan bertekuk lutut
dalam arti ‘menyerah’.
Untuk mencari makna leksikal, kita dapat memeriksanya di dalam
kamus untuk mengetahui makna leksikal dari sebuah leksem yang belum
kita ketahui karena kamus biasanya akan menyajikan makna leksikal di
awal pada sebuah entri. Sementara makna lain, seperti makna polisemi,
makna kias, dan lainnya disajikan setelah makna leksikal itu. Misalnya, kata
tikus makna leksikalnya adalah ‘sebangsa binatang pengerat yang dapat
menyebabkan timbulnya penyakit tifus’. Makna ini tampak jelas dalam
kalimat Tikus itu mati diterkam kucing, atau dalam kalimat Panen kali ini gagal
akibat serangan hama tikus. Kata tikus pada kedua kalimat itu jelas merujuk
kepada binatang tikus, bukan kepada yang lain. Sementara dalam kalimat
Sudah terlalu banyak tikus berdasi di negara ini bukanlah makna leksikal karena
merujuk pada seoran manusia, yang perbuatannya mirip dengan perbuatan
tikus.
2) Makna Gramatikal
Makna gramatikal adalah makna yang “muncul” sebagai hasil proses
gramatika, seperti afiksasi, redupliksi, dan komposisi. Jadi, makna
gramatikal merupakan makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya
sebuat kata di dalam kalimat.
Proses afiksasi dapat menimbulkan makna gramatikal. Misalnya,
proses afikasi awalan ter- pada kata angkat dalam batu seberat itu terangkat
juga oleh adik melahirkan makna ‘dapat’ dan dalam kalimat ketika balok itu

41
ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan makna gramatikal ‘tidak
sengaja’. Kedua merupakan proses reduplikasi, proses reduplikasi
digunakan dalam menyatakan makna ‘jamak’ di Bahasa Indonesia. Seperti
kata buku yang bermakna ‘sebuah buku’ menjadi buku-buku yang bemakna
‘banyak buku’. Terakhir, pada proses komposisi atau penggabungan dalam
Bahasa Indonesia juga banyak melahirkan makna gramatikal. Makna
gramatikal komposisi sate ayam tidak sama dengan komposisi sate madura.
Makna kata pertama menyatakan ‘asal bahan’ dan yang kedua menyatakan
‘asal tempat’. Begitu juga komposisi anak asuh tidak sama maknanya dengan
komposisi orangtua asuh. Makna kata pertama ‘anak yang diasuh’ sedangkan
yang kedua bermakna ‘orangtua yang mengasuh’.
3) Makna Denotatif
Makna denotatif merupakan makna yang sesuai dengan hasil
observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau
pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-
informasi faktual objektif. Oleh karena itu, makna denotatif sering disebut
sebagai makna sebenarnya, bukan kiasan atau perumpamaan. Contohnya
kata perempuan dan wanita yang memiliki makna denotatif yang sama, yaitu
‘manusia dewasa bukan laki-laki’.
4) Makna Konotatif
Makna konotatif merupakan kata yang mempunyai “nilai rasa”, baik
positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak
memiliki konotasi. Misalnya terdapat pada kedua kalimat berikut ini:
Perempuan itu ibu saya
Ah, dasar perempuan!
Makna denotatif terdapat pada kata perempuan, yang berarti ‘manusia
dewasa bukan laki-laki’. Sedangkan makna konotatif juga terdapat pada kedua
kalimat. Pada kalimat kedua secara psikologis perempuan mengandung
makna suka bersolek, suka pamer, egoistis. Sedangkan pada makna kalimat
pertama makna perempuan mengandung sifat keibuan, kasih sayang, dan
lemah lembut.
5) Makna Konstektual
Maksud makna konstekstual adalah: pertama, makna penggunaan
sebuah kata (atau gabungan kata) dalam konteks kalimat tertentu; kedua,,
makna keseluruhan kalimat (ujaran) dalam konteks situasi tertentu. Contoh:
Semester ini saya tidak mengambil mata kuliah statistika (kata mengambil
bermakna ‘mengikuti’)

42
Diam-diam dia mengambil uang saya dari laci meja (kata mengambil
bermakna ‘mencuri’)
Tahun depan perusahaan kami akan mengambil 20 orang pegawai baru (kata
mengambil bermakna ‘menerima’)
Kabarnya pak lurah akan mengambil pemuda itu sebagai menantunya (kata
mengambil bermakna ‘menjadikan’)
Pak Guru mengambil buku itu dari lemari dan meletakkannya di meja (kata
mengambil bermakna ‘memindahkan’)
Dari seluruh kalimat tersebut, kata mengambil memiliki makna yang
berbeda. Dalam semantik makna dari sebuah kata yang berbeda-beda ini
disebut makna polisemi.
Dalam percakapan, seringkali makna percakapan atau ujaran itu
tidak digunakan menurut makna harfiahnya, melainkan “makna lain” yang
sesuai dengan konteks situasinya. Misalnya, kalau pada pagi hari seorang
suami berkata pada istrinya, “Bu, sudah hampir pukul tujuh”. Maka makna
ujaran itu bukanlah untuk memberiktahukan tentang waktu kepada
isitrinya, melainkan bermakna bahwa si suami memberi tahu istrinya,
bahwa si suami harus segera berangkat ke kantor. Jadi, si istri diminta untuk
menyiapkan sarapan. Dalam kajian tutur makna seperti ini disebut makna
perlokusi, yaitu makna yang dimaui oleh pihak penutur.
Masalah terakhir dalam kajian makna kontekstual adalah masalah
adanya satuan ujaran yang dimaknai berbeda-beda oleh sejumlah
pendengar atau pembaca menurut pemahaman atau tafsirannya masing-
masing. Makna yang dipahami oleh pendengar dan pembaca ini dalam
kajian tindak tutur disebut makna ilokusi. Hal ini dalam kajian semantik
lazim disebut ketaksaan (ambiguitas). Terdapat banyak penyebab sehingga
terjadinya kasus ketaksaan ini. Di antaranya adalah karena kekurangan
konteks, baik konteks kalimat maupun konteks situasi. Contohnya, ujaran
“Minggu lalu kami bertemu paus”, dapat dimaknai (oleh pendengar maupun
pembaca) sebagai, minggu lalu kami bertemu dengan ikan besar yang disebut
paus. Atau juga, minggu lalu kami bertemu dengan pemimpin agama katolik Roma
yang disebut paus. Maka kalimat tersebut haruslah diberi pelengkap sehingga
tidak menimbulkan ketaksaan.
Minggu lalu, ketika berlayar di laut lepas itu, kami bertemu paus.
Minggu lalu, ketika berkunjung ke roma, kami bertemu paus.
6) Makna Idiom
Idiom adalah ungkapan bahasa yang artinya tidak secara langsung
dapat dijabarkan dari unsur-unsurnya (Moeliono, 1984: 177). Menurut

43
Badudu (1989: 47). “... idiom adalah bahasa yang teradatkan ...” Oleh karena
itu, setiap kata yang membentuk idiom berarti didalamnya sudah ada
kesatuan bentuk dan makna. Dengan kata lain, idiom adalah ungkapan
bahasa berupa gabungan kata (frase) yang maknanya sudah menyatu dan
tidak dapat ditafsirkan dengan makna unsur yang membentuknya. Contoh:
selaras dengan, insaf akan, berbicara tentang, terima kasih atas, berdasarkan
pada/kepada.
membanting tulang, bertekuk lutut, mengadu domba, menarik hati, keras
kepala
Pada contoh (1) terlihat bahwa kata tugas dengan, akan, tentang, atas,
dan pada/kepada dengan kata-kata yang digabunginya merupakan
ungkapan tetap sehingga tidak dapat diubah atau digantikan dengan kata
tugas yang lain. Demikian pula pada contoh (2) Idiom-idiom tersebut tidak
dapat diubah dengan kata-kata yang lain.
7) Peribahasa
Peribahasa adalah ayat atau kelompok kata yang mempunyai
susunan yang tetap dan mengandung pengertian tertentu, bidal, pepatah.
Beberapa peribahasa merupakan perumpamaan yaitu perbandingan makna
yang sangat jelas karena ia didahului oleh perkataan seolah-olah, ibarat, bak,
seperti, laksana, macam, bagai dan umpama.
Sedangkan definisi peribahasa menurut arti kata adalah kelompok
kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud
tertentu (dalam peribahasa termasuk juga bidal, ungkapan, perumpamaan).
Bentuk-bentuk peribahasa antara lain:
− Pepatah, adalah jenis peribahasa yang berisi nasihat atau ujaran dari
orang tua. Contoh: Air tenang menghanyutkan. Berarti orang
pendiam, tetapi banyak ilmu.
− Perumpamaan, adalah jenis peribahasa yang berisi perbandingan.
Contoh: Bagai makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tak
dimakan bapak mati. Berarti serba sulit dalam menentukan sikap.
− Pameo, adalah jenis peribahasa yang dijadikan semboyan. Contoh:
Patah Sayap, bertongkat paruh. Berarti tidak putus asa.
Berikut adalah contoh peribahasa yang lain beserta artinya:
− Besar pasak daripada tiang.
Artinya: Lebih besar pengeluaran daripada pendapatan. Bisa dibilang
orang yang tidak bisa mengatur keuangan
− Ada uang abang di sayang, tak ada uang abang ditendang.

44
Artinya: Hanya mau bersama disaat senang saja tetapi tidak mau tahu
disaat sedang susah.
− Air beriak tanda tak dalam.
Artinya: Orang yang banyak bicara biasanya tidak banyak ilmunya.
− Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading,
manusia mati meninggalkan nama.
Artinya: Setiap orang yang sudah meninggal pasti akan dikenang
sesuai dengan perbuatannya di dunia.
− Bagai pungguk merindukan bulan.
Artinya: Seseorang yang membayangkan atau menghayalkan sesuatu
yang tidak mungkin.
− Bagai Makan Buah Simalakama.
Artinya: Bagai seseorang yang dihadapkan pada dua pilihan yang
sangat sulit untuk dipilih.
− Menang jadi arang, kalah jadi abu.
Artinya: Kalah ataupun menang sama-sama menderita.
− Bagaikan abu di atas tanggul.
Artinya: Orang yang sedang berada pada kedudukan yang sulit dan
mudah jatuh.
− Ada Padang ada belalang, ada air ada pula ikan.
Artinya: Di mana pun berada pasti akan tersedia rezeki buat kita.
− Adat pasang turun naik.
Artinya: Kehidupan di dunia ini tak ada yang abadi, semua
senantiasa silih berganti.
− Membagi sama adil, memotong sama panjang.
Artinya: Jika membagi maupun memutuskan sesuatu hendaknya
harus adil dan tidak berat sebelah.
d) Pertalian Makna
1) Sinonim
Secara etomologi kata sinonim berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu
onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’ maka secara
harfiah kata sinonimi berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’
secara sematik. Sinonimi adalah nama lain untuk benda atau hal yang sama.
Verhaar (1978) mengatakan sinonimi adalah ungkapan (bisa berupa kata,
frase atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan
lain. Selain itu, menurut ( Nunung dan Mahmud, 2011 hal 89) sinonim
adalah suatu istilah yang mengandung pengertian (1) telaah mengenai
bermacammacam kata yang memiliki makna yang sama, (2) keadaan yang
menunjukan keadaan yang menunjukan dua kata atau lebih memiliki
makna yang sama, dan (3) nama lain untuk benda yang sama. Dengan

45
demikian, sinonim dapat diartikan sebagai kata-kata yang memiliki makna
yang sama antara ungkapan yang lain. Dengan kata lain, sinonim juga dapat
dikatakan sebagai bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan
bentuk lain berupa kata, kelompok kata, maupun kalimat. Contohnya:
mati, tewas, wafat dan meninggal.
pintar, cerdas, cerdik, cakap, pandai.
cantik, bagus, baik, indah, puspa, molek, bunga, kembang
benar, betul.
Hubungan makna antara dua kata yang bersinonim bersifat dua arah.
Apabila kata bunga bersinonim dengan kata kembang, maka kata kembang
bersinonim dengan kata bunga.
Pada uraian di atas dikatakan sinonim memiliki makana yang mirip.
Hal ini berarti bahwa dua kata atau lebih yang bersinonim kesamaan
maknanya tidak seratus persen harus sama. Kata nasib dan takdir
mempunyai makna yang kurang lebih sama atau makna kedua kata itu
mirip. Dengan memperthatikan contoh di atas, jelas bahwa kata-kata yang
bersinonim itu tidak mutak memiliki makna yang persis sama, Oleh karena
itu, kata-kata yang dapat di pertukarkan begitu saja jarang ada. Pada suatu
tempat kita mungkin dapat menukarkan kata mati dan meninggal, tetapi di
tempat laintidak dapat. Menurut (Nunung dan mahmud, 2011:91) Ada
beberapa faktor yang menyebabkan ketidakmungkinan untuk menukarkan
sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim, yaitu: faktor waktu, faktor
tempat dan daerah, faktor social, faktor kegiatan, serta faktor nuansa makna

2) Antonim
Kata antonim berasal dari kata yunani kuno, yaitu onoma yang artinya
‘nama’ dan anti yang berarti ‘melawan’ maka antonim berarti ‘nama lain
untuk benda lain pula’. Secara sematik Veehaar (1978) mendefinisikan
sebagai: ungkapan (bisaanya kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau
kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain.
Selain itu, menurut (Nunung dan Mahmud, 2011: 92) antonim adalah dua
buah kata yang mengandung makna berlawanan. Oleh karena itu, kata-kata
yang memiliki makna berlawanan sering disebut antonim. Contohnya:
siang >< malam
laki-laki >< perempuan
panas >< dingin
tinggi >< rendah
Sama halnya dengan sinonim, hubungan makna kata yang
berantonimpun bersifat dua arah. Jadi, apabila kata bagus berantonim

46
dengan kata buruk, kata buruk berantonim dengan kata bagus. Begitu pula
jika kata mahal berantonim dengan kata murah, kata murahpun berantonim
dengan kata mahal.

3) Homonim
Kata homonim berasal dari bahasa yunani kuno onoma yang
artinya’nama’ dan homo yang artinya’sama’. Secara harfiah homonim dapat
di artikan sebagai ‘ nama sama untuk benda atau hal lain.Secara sematik,
Vehaar (1987) memberi definisi homonim sebagai ungkapan (berupa
kata,frase atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga
brupa kata, frase atau kalimat ) tetapi maknanya tidak sama. Selain itu,
menurut (Nunung dan Mahmud, 2011 : 101) homonimi adalah dua kata
atau lebih yang memiliki bentuk yang sama. Ada dua kemungkinan sebab
terjadinya homonimini, yaitu
− Bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau
dialek yang berlainan.
− Bentuk-bentuk yang bersinonim itu terjadi sebagai hasil proses
morfologi
Sama halnya dengan sinonim dan antonim, homonim ini pun dapat
terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, tataran kalimat.
Contohnya : Bang untuk panggilan laki-laki dewasa bank tempat untuk
menabung.

4) Polisemi
Menurut (Nunung dan Mahmud, 2011: 99) polisemi adalah relasi
makna yang berbeda-beda, tetapi masih dalam suatu aluran arti .Polisemi
merupakan suatu unsur fundamental tutur manusia yang dapat muncul
dengan berbagai cara. Terdapat lima sumber, empat diantaranya terletak
pada bahasa yang bersangkutan sedangkan yang satu lagi muncul dari
pengaruh bahasa asing. Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa
yang memiliki makna lebih dari satu. Contohnya:
Kepala: kata kepala dalam bahasa indonesia memiliki makna
Bagian tubuh
Pemimpin
Polisemi sangat dekat dengan istilah lain, yaitu homonimi yang
berarti dua kata atau lebih, tetapi memiliki bentuk yang sama. Dalam
polisemi atau homonimi kita berhadapan dengan dua kata atau lebih.
Masalah bagaimana kita membedakan apakah kata itu polisemi atau
homonim adalah bahwa polisemi adalah kata yang memiliki beberapa arti,
sedangkan homonimi adalah dua kata atau lebih yang kebetulan tulisan dan

47
bunyinya sama, atau tulisan sama bunyinya berbeda, atau tulisan berbeda
tetapi bunyinya sama.

5) Hiponim
Kata hiponim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onama berarti
‘nama’ dan hypo berati ‘di bawah’ secara semantik Verhaar (1978: 137 )
menyatakan hoponim ialah ungkapan yang maknanya dianggap
merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain. hoponim ialah
semacam relasi antarkata yang berujud atas bawah, atau dalam suatu makna
terkandung sejumlah komponen yang lain . kelas atau mencakup sejumlah
komponen yang lebih kecil , sedangkan kelas bawah merupakan komponen-
komponen yang tercakup dalam kelas atas. Contohnya:
Kata anggrek dan bunga.
Kata anggrek berhiponim terhadap bunga, sebab anggrek adalah salah satu
jenis bunga, kemudian kata tongkol hiponim terhadap kata ikan sebab makna
tongkol berada termasuk dalam makna kata ikan, sedangkan ikan bukan
hanya tongkol melainkan juga termasuk bandeng, tenggiri, teri dan lain-
lain.

6) Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang
bermakna ganda atau memiliki dua arti. Konsep ini tidak salah, namun juga
kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan polisemi. Keduanya
sama-sama bermakna sama, hanya kalau polisemi kegandaan maknanya
berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal
dari satuan gramatika yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi
sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Contohnya,
frase orang malas lewat di sana dapat diartikan sebagai (1) jarang ada orang
yang lewat sana, atau (2) hanya orang-orang malas yang lewat sana.

7) Redundansi
Istilah redundansi sering diartikan sebagai penggunaan kata yang
berlebih dalam suatu kalimat. Contohnya kalimat Roti dimakan Alvin
maknanya tidak akan berubah bila dikatakan Roti ditendang oleh Alvin.
Pemakaian kata oleh pada kalimat kedua dianggap sebagai suatu
redundansi, yang berlebih-lebihan atau mubazir dan sebenarnya tidak
perlu. Karena makna dari kedua kalimat itu sama saja.
Contoh lain, kalimat Gadis itu mengenakan baju berwarna biru adalah
redundansi dari kalimat Gadis itu berbaju biru. Atau kalimat Inilah obat satu-
satunya yang paling mujarab adalah redundansi dari kalimat Inilah obat yang
paling mujarab. Kalau dilihat dari segi keefektifan kalimat sebagaimana

48
dituntut dalam pelajaran menulis secara baik dan cermat, memang kalimat-
kalimat redundans itu sebaiknya tidak digunakan. Dan lebih baik
menggunakan kalimat yang lebih hemat dalam pemakaian kata.
e) Perubahan Makna
1) Meluas (generalisasi)
Perubahan makna meluas merupakan gejala yang terjadi pada
sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah
‘makna’, tetapi karena berbagai faktor menjadi memiliki makna-makna lain.
Misalnya kata ibu, mulanya bermakna ‘orangtua yang melahirkan kita’
.Kemudian berkembang menjadi ‘perempuan yang dianggap derajat lebih
tinggi ’. Akibatnya, perempuan yang mengajar di sekolah kita sebut ibu.
2) Menyempit (spesialisasi)
Perubahan menyempit merupakan gejala yang terjadi pada sebuah
kata yang pada mulanya mempunyai makna yang cukup luas, kemudian
berubah menjadi terbatas hanya pada sebuah makna saja. Misalnya kata
sarjana yang pada mulanya berarti ‘orang pandai’ atau ‘cendikiawan’,
kemudian hanya berarti ‘orang yang lulus dari perguruan tinggi tingkat
strata satu (S-1)’.
3) Peninggian (ameliorasi)
Menurut (Nunung dan Mahmud, 2011 : 110 ) makna amelioratif
adalah suatu proses perubahan makna yang pada mulanya memiliki makna
lebih rendah daripada makna sekarang. Dengan kata lain, makna baru lebih
tinggi atau lebih baik dari pada makna dahulu. Misalnya, kata wanita,
sekarang maknanya dirasakan lebih tinggi daripada kata perempuan. Kata
isteri dan nyonya, maknanya lebih tinggi daripada kata bini. Kata suami
maknanya lebih tinggi dari pada kata laki.
Contoh lain, kata gambaran yang semula hanya mengandung makna
hasil kegiatan menggambar, dengan masuknya kata abstraksi, kata
gambaran akhirnya dapat mengandung perngertian pembayangan secara
imajinatif,kata anda lebih baik daripada kau. Kata tunanetra lebih baik dari
pada kata buta, kata narapidana lebih baik dari pada kata orang hukuman, kata
hamil lebih baik dari pada kata bunting, kata pembantu lebih baik dari pada
kata babu, kata melahirkan lebih baik dari pada kata beranak, kata tunasusila
lebih baik dari pada kata pelacur, kata tunarungu lebih baik daripada kata
tuli.
4) Penurunan (peyorasi)
Peyorasi adalah perubahan makna yang mengakibatkan sebuah kata
atau ungkapan menggambarkan sesuatu yang kurang baik, kurang enak,
kurang menyenangkan, atau kurang bermutu dibandingkan dengan makna
semula (dulu). Dalam peyorasi makna baru dirasakan lebih rendah nilainya

49
daripada makna yang lama. Misalnya, kata tuli mengalami peyorasi karena
dulu tidak dirasakan mengandung makna yang jelek. Sekarang maknanya
dirasakan kurang baik, kurang sopan dan terasa kasar. Ungkapan kaki
tangan dipakai dalam arti yang kurang baik, yaitu pembantu dalam
kejahatan atau pembantu pihak yang tidak disukai seperti tampak dalam
kaki tangan musuh, kaki tangan imperialis. Kata bini yang pada mualnya
dianggap lebih baik yang berarti perempuan kemudian berarti perempuan
yang telah menikah sekarang dirasakan kurang hormat.
Ungkapan laki-bini dulu setingkat dengan suami-isteri, sekarang
dalam hubungan yang baik umpamanya dalam surat undangan tidak
pernah dipakai laki-bini tetapi suami-isteri atau beserta nyonya. Kata
ngamar semula mengandung makna berada di kamar tetapi akhirnya
mengandung pengertian negatif sehingga pemakaiannya pun berusaha di
hindari.
5) Pemahaman (asosiasi)
Asosiasi adalah perubahan makna yang terjadi karena adanya
persamaan sifat sehinga suatu kata atau istilah dapat dipakai unuk
pengertian yang lain. Misalnya, kata lintah darat dipakai untuk menyebut
orang yang mempunyai sifat seperti lintah, yaitu yang menghisap harta
benda orang lain. Kata biang keladi dipakai untuk menyebut orang yang
menjadi penyebab atau pemimpin perbuatan jahat. Kata benalu digunakan
untuk orang yang mempunyai sifat seperti benalu, yaitu yang selalu ikut
menumpang pada keluarga yang lain secara cuma-cuma. Agar lebih jelas
makna kata-kata tersebut, perhatikanlah pemakaiannya pada kalimat di
bawah ini!
Orang yang tinggi besar itu menjadi lintah darat di kampungnya
Siapa yang menjadi biang keladi dalam keributan ini?
Apa kerja benalu di sini?
Sebagai contoh lain, perhatikan pula beberapa contoh asosiasi di bawah ini!
Kursi itu telah perebukan tokoh politik
Rasakan, kini dia kena getahnya
Bapak naik garuda ke Singapura
6) Pertukaran (sinestesia)
Sinestesia berasal dari bahasa yunani sun artinya sama dan aisthetikas
artinya nampak. Perubahan makna akibat adanya kecenderungan untuk
mengubah tanggapan dengan tujuan untuk menegaskan maksud disebut
sinestesia. Dengan kata lain, sinestesia adalah pertukaran tanggapan antara
indera yang satu dan indera yang lainnya. Misalnya, rasa pedas yang
seharusnya ditanggap dengan alat indera perasa pada lidah tertukar

50
menjadi dianggap oleh alat indera pendengaran seperti tampak dalam
ujaran kata-katanya cukup pedas.
Contoh lain:
Wajahnya enak dipandang
Wajahnya dingin sekali
Hatimu jelek benar
Kata-katanya pedih sekali
Ceritamu menggelikan kami
Nama guru kami harum benar
Suaranya empuk didengar
Mukanya manis sekali
Kedengarannya memang nikmat
Pandangannya sangat tajam

KETERAMPILAN BERBAHASA: MENYIMAK, BERBICARA, MEMBACA, DAN


MENULIS
1. KETERAMPILAN MENYIMAK
a) Definisi Keterampilan Menyimak
Hakikatnya keterampilan menyimak adalah melatih pendengaran dan
daya ingat. Aspek keterampilan menyimak bertujuan agar siswa mampu
menangkap, memilih, memahami, mengingat dan mengumpulkan informasi
dari apa yang disimak atau didengar.
“Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang lisan-
lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk
memperoleh informasi, menangkap isi, serta memahami makna komunikasi
yang tidak disampaikan oleh si pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan”.
(Tarigan: 1983) menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan
lambanglambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta
interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta
memahami makna komunikasi yang telah di sampaikan oleh pembicara.
Sedangkan dalam pembelajaran di sekolah, daya simak siswa sangat
mempengaruhi keberhasilan siswa dalam menangkap, memahami, dan
menelaah informasi. Menyimak juga mempengaruhi ketiga keterampilan
bahasa yang lain. Menyimak juga merupakan proses awal anak dapat mengenal
bahasa. Dari menyimak anak dapat berbicara, membaca, dan menulis.
Selain itu, siswa dapat pula melatih kepekaan terhadap lingkungan
sekitar. Misalnya dari pembacaan sebuah cerita. Selama proses menyimak, siswa

51
seolah-olah terbawa oleh alur yang dibuat oleh pengarang cerita. Dari
penyimakan tersebut pula siswa dapat mengidentifikasi permasalahan dan
solusi dari cerita.
b) Perbedaan menyimak, mendengar dan mendengarkan
Menyimak, mendengar dan mendengarkan merupakan sebuah kegiatan
yang hampir sama, namun sebenarnya terdapat perebdaan dari ketiga aktivitas
tersebut. Menurut Akhadiat (dalam Sutari dkk 1997: hlm. 18- 65 19) menyimak
adalah suatu proses yang mencakup kegiatan mendengarkan bunyi bahasa,
mengidentifikasi, menginterpretasi, dan mereaksi atas makna yang terkandung
di dalamnya.
Kemudian menurut Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan menyimak adalah
suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh
perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh
informasi, menangkap isi serta memahami makna komuniksi yang disampaikan
oleh si pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.
Sutari, (1998: hlm. 16) menyimpulkan bahwa mendengar mempunyai
makna, dapat menangkap suara (bunyi) dengan telinga, sadar atau tidak. Kalau
ada bunyi, alat pendengaran kita akan menangkap bunyi tersebut. Proses
mendengar terjadi tanpa perencanaan, tetapi datang secara kebetulan,mungkin
juga tidak.
Sedangkan mendengarkan adalah merespon atau menerima bunyi secara
sengaja. Memperhatikan dengan baik apa yang dikatakan oleh orang lain yang
sudah mulai melibatkan unsur kejiwaan yang berarti aktivitas mental sudah
muncul, hanya belum setinggi aktivitas menyimak.
c) Tujuan Menyimak
Adapun tujuan orang menyimak sesuatu itu beraneka ragam, antara lain:
menyimak untuk belajar, menyimak untuk menikmati, menyimak untuk
mengevaluasi, menyimak untuk mengapresiasi, menyimak untuk
mengkomunikasikan ide-ide, menyimak untuk membedakan bunyi-bunyi,
menyimak untuk memecahkan masalah, dan menyimak untuk meyakinkan
d) Manfaat Menyimak
Menurut Setiawan (dalam Darmawan 2001: hlm. 11-12) manfaat
menyimak ada banyak antara lain sebagai berikut :
− Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup yang berharga bagi
kemanusiaan sebab menyimak memiliki nilai informatif yaitu memberikan
masukan-masukan tertentu yang menjadikan kita lebih berpengalaman.
− Meningkatkan intelektualitas serta memperdalam penghayatan keilmuan
dan khazanah ilmu kita.

52
− Memperkaya kosakata, menambah perbendaharan ungkapan yang tepat,
bermutu dan puitis. Orang yang banyak menyimak komunikasinya menjadi
lebih lancar dan kata-kata yang digunakan lebih variatif.
− Memperluas wawasan, mengingkatkan penghayatan hidup, serta membina
sifat terbuka dan objektif.
− Meningkatkan kepekaan dan kepedulian sosial.
− Meningkatkan citra artistik jika yang kita simak itu merupakan bahan
simakan yang isinya halus. Banyak menyimak dapat menumbuhsuburkan
sikap apresiatif, sikap menghargai karya atau pendapat orang lain dan
kehidupan ini serta meningkatkan selera estetis.
− Menggugah kreativitas dan semangat mencipta untuk menghasilkan ujaran-
ujaran dan tulisan-tulisan yang berjati diri. Jika banyak menyimak, kita akan
mendapat ide-ide yang cemerlang dan segar, pengalaman hidup yang
berharga. Semua itu akan mendorong kita untuk giat berkarya dan kreatif.
e) Tahap-tahap Menyimak
Ruth G. Stricland dalam Tarigan (1986) menyimpulkan ada sembilan
tahapan menyimak, mulai dari yang tidak memiliki ketentuan sampai pada
yang sangat bersungguh-sungguh, yaitu sebagai berikut:
− Menyimak berkala, yang terjadi pada saat anak merasakan keterlibatan
langsung dalam pembicaraan mengenai dirinya.
− Menyimak dengan perhatian dangkal, karena sering mendapat gangguan
dengan adanya selingan-selingan perhatian kepada hal-hal di luar
pembicaraan.
− Setengah menyimak karena terganggu oleh kegiatan menunggu kesempatan
untuk mengekspresikan isi hati anak.
− Menyimak serapan karena anak keasikan menyerap hal-hal yang kurang
penting, jadi merupakan penjaringan pasif yang sesungguhnya.
− Menyimak sekali-sekali, menyimpan sebentar-sebentar apa yang di simak,
karena perhatiannya terganggu oleh keasikan lain dan hanya mendengarkan
hal-hal yang menarik saja.
− Menyimak asosiatif; hanya mengingat pengalaman-pengalaman pribadi
secara konstan, yang mengakibatkan penyimak benar-benar tidak memberi
reaksi terhadap pesan yang di sampaikan pembicara.
− Menyimak dengan reaksi berkala terhadap pembicara dengan memberi
komentar maupun pertanyaan.
− Menyimak secara seksama, mengikuti jalan pikiran pembicara dengan
sungguh-sungguh.
− Menyimak secara aktif untuk mendapatkan serta menemukan pikiran,
pendapat, dan gagasan pembicara.

53
Terdapat pakar lain yang mengemukakan adanya tujuh tahapan dalam
menyimak:
− Isolasi:
Pada tahapan ini, penyimak mencatat aspek-aspek individual kata lisan dan
memisah-misahkan atau mengisolasikan bunyi-bunyi, ide-ide, fakta-fakta,
organisasi-organisasi khusus, begitu pula stimulus-stimulus lainnya.
− Identifikasi:
Sekali stimulus tertentu telah dapat dikenal maka suatu makna atau identitas
pun diberikan kepada setiap butir yang berdikari itu.
− Integrasi:
Kita mengintegrasikan atau menyatupadukan sesuatu yang kita dengar
dengan informasi lain yang telah kita simpan dan rekam dalam otak kita.
Oleh karena itulah, pengetahuan umum sangat penting dalam tahap ini.
Kalau proses menyimak berlangsung, kita harus terlebih dahulu mempunyai
beberapa latar belakang atau pemahaman mengenai bidang pokok pesan
tertentu. Kalau kita tidak memiliki bahan penunjang yang dapat
dipergunakan untuk mengintegrasikan informasi yang baru itu, jelas
kegiatan menyimak itu akan menemui kesulitan atau kendala.
− Inspeksi:
Pada tahap ini, informasi baru yang telah kita terima dikontraskan dan
dibandingkan dengan segala informasi yang telah kita miliki mengenai hal
tersebut. Proses ini akan menjadi paling mudah berlangsung kalau informasi
baru justru menunjang prasangka atau prakonsepsi kita. Akan tetapi, kalau
informasi baru itu bertentangan dengan ide-ide kita sebelumnya mengenai
sesuatu, kita harus mencari serta memilih hal-hal tertentu dari informasi itu
yang lebih mendekati kebenaran.
− Interpretasi:
Pada tahapan ini, kita secara aktif mengevaluasi sesuatu yang kita dengar dan
menelusuri dari mana datangnya semua itu. Kita pun mulai menolak dan
menyetujui serta mengakui dan mempertimbangkan informasi tersebut
dengan sumber-sumbernya.
− Interpolasi:
Selama tidak ada pesan yang membawa makna dalam dan member informasi,
tanggung jawab kitalah untuk menyediakan serta memberikan data-data dan
ide-ide penunjang dari latar belakang pengetahuan dan pengalaman kita
sendiri untuk mengisi serta memenuhi butir-butir pesan yang kita dengar.
− Introspeksi: dengan cara merefleksikan dan menguji informasi baru, kita
berupaya untuk mempersonalisasikan informasi tersebut dan
menerapkannya pada situasi kita sendiri. (Hunt; 1981: hlm. 18-19).

54
f) Hal-hal yang Perlu Disimak
Khusus mengenai bahasa, sebagai pelajar haruslah menyimak serta
mengenal dan memahami hal-hal berikut:
− Bunyi-bunyi fonemis atau bunyi-bunyi distingtif bahasa yang bersangkutan,
dan pada akhirnya variasi-variasi fonem yang bersifat personal atau dialek
seperti dipakai atau diucapkan oleh beberapa pembicara asli, penduduk
pribumi
− Urutan-urutan bunyi beserta pengelompokan-pengelompokannya;
panjangnya jeda, pola-pola intonasi
− Kata-kata tugas beserta perubahan-perubahan bunyi sesuai dengan posisinya
di depan kata-kata lain.
− Infeksi-infeksi untuk menunjukkan jamak, waktu, milik, dan sebagainya
− Perubahan-perubahan bunyi dan pertukaran-pertukaran fungsi yang
ditimbulkanoleh derivasi, misalnya adil, keadilan, pengadilan, mengadili,
dan diadili.
− Pengelompokkan-pengelompokkan structural, misalnya yang berhubungan
dengan frasa-frasa verbal, preposisional
− Petunjuk-petunjuk urutan kata yang menyangkut fungsi dan makna
− Makna kata-kata yang bergantung pada konteks atau situasi pembicaraan,
misalnya: kaki, dan sop kaki
− Kata-kata salam, kata-kata sapaan, kata-kata pendahuluan, dan katakata
keraguan yang terdapat dalam ujaran atau pembicaraan
− Makna budaya (cultural meaning) yang terkandung atau tersirat dalam suatu
pesan atau ujaran
g) Hal yang Perlu Diperhatikan untuk Meningkatkan Kemampuan Menyimak
Dalam upaya meningkatkan kemampuan menyimak terdapat beberapa
strategi. Berbagai strategi dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan
menyimak. Guru dapat memberikan cerita yang tidak terlalu panjang di kelas.
Namun, sebelum membaca, guru harus mendiskusikan etika atau sopan santun
dalam menyimak dan perbedaan antara kritik yang konstruktif atau negatif.
Diskusi tersebut hendaknya menekankan harapan agar murid-murid saling
menghormati dan membina kesetiakawanan.
Setelah membacakan cerita atau artikel, guru hendaknya mengadakan
diskusi mengenai bagian-bagian cerita atau artikel tersebut yang patut dipuji
atau perlu diperbaiki. Guru sebaiknya mendaftar segi-segi positif dan negatif
tersebut di papan tulis atau dengan menggunakan projektor, sehingga setiap
anak dapat melihat dan mendengar hal-hal penting yang sedang di diskusikan.
Pada saat inilah guru dapat menekankan kepada murid-murid untuk
mengajukan pertanyaan dengan cara yang sopan dan pada saat inilah guru

55
dapat memberikan dorongan kepada anak untuk memperbaiki pertanyaannya
agar menjadi jelas dan menggunakan bahasa yang baku. Apabila tidak ada anak-
anak yang memberikan komentar terhadap cerita atau artikel yang telah
dibacakan, guru dapat menyarankan agar mereka berperan seolah-olah menjadi
pengarang cerita atau artikel tersebut. Komentar apa yang mereka inginkan dari
pembaca seandainya mereka menjadi pengarang cerita atau artikel yang telah
dibacakan oleh guru (Yeager, 1991: hlm. 96).
h) Peran yang Harus Diperhatikan dalam Meningkatkan Kemampuan
Menyimak
Peran guru sebagai penyimak
Dalam kelas yang efektif, guru memberikan penekanan pada
keterampilam menyimak seperti halnya pada keterampilan membaca dan
menulis. Menyimak merupakan sarana yang utama untuk belajar, oleh karena
itu kebiasaan perlu dikembangkan. Cara yang terbaik untuk mengembangkan
murid-murid sebagai penyimak efektif. Tunggulah sampai suatu pertanyaan
dikemukakan secara lengkap sebelum menjawab pertanyaan murid. Demikian
juga murid-murid dibiasakan melakukan hal yang serupa. Ringkasan apa yang
anda dengar, yakinkan diri bahwa Anda dan pembicara memiliki pemahaman
yang sama terhadap suatu informasi. Apabila perlu dikemukakan kembali,
pertanyaan yang harus Anda jawab atau yang harus dijawab oleh orang lain.
Berikan dorongan untuk saling bertukar pendapat. Ingatkan muridmurid
bahwa menjadi penyimak yang baik sama pentingnya dengan menjadi
pembicara yang efektif (Yeager, 1991: hlm. 98).
Partisipasi kelompok
Dalam kelas yang berdasarkan pendekatan pembelajaran bahasa secara
holistik, murid-murid lebih banyak bekerja dalam kelompok. Kelompok-
kelompok tersebut bersifat informal, misalnya bekerja secara berpasang-
pasangan untuk diskusi atau persiapan bermain peran. Dapat pula berupa
kelompok yang disusun dengan perencanaan yang matang untuk tujuan
tertentu, misalnya menyelesaikan suatu proyek. Kelompok dapat diarahkan
untuk mencapai tujuan pembelajaran secara khusus, dapat pula untuk
menolong anak-anak yang ingin meningkatkan keterampilan tertentu misalnya
meningkatkan kemampuan menyimak.
Kerja kelompok dapat menolong murid-murid mengembangkan sikap
sosial yang positif, memberikan penguatan keterampilan berbahasa yang
spesifik, dan membantu guru menyelenggarakan pembelajaran sebaik mungkin.
Selama setahun setiap anak akan menjadi anggota kelompok yang berbeda-
beda. Keuntungan dari kelompok tersebut terletak pada bantuan dari teman dan
terjadinya kegiatan belajar. Keberhasilan kelompok biasanya merupakan

56
pencerminan perencanan dan upaya-upaya guru. Keberhasilan suatu kelompok
sangat tergantung pada anggota-anggotanya. Sebaiknya guru mulai dengan
memberikan tugas yang jelas berupa keterampilan tertentu yang perlu
ditingkatkan dalam suatu kelompok, kemudian baru memiliki anggota
kelompok.
i) Indikator Menyimak
Indikator Menyimak di Kelas Rendah
Kelas satu (5 1 /2 – 7 tahun)
− Menyimak untuk menjelaskan, menjernihkan pikiran dan untuk
mendapat jawaban atas pertanyaan.
− Dapat mengulangi secara tepat apa-apa yang telah didengarkan.
− Menyimak bunyi-bunyi tertentu pada kata-kata lingkungan.
Kelas dua (6 1 /2 – 8 tahun)
− Menyimak dengan kemampuan memilih yang meningkat.
− Membuat saran-saran, usul-usul, dan mengemukakan pertanyaan untuk
mengecek pengertiannya.
− Sadar akan situasi, bila sebaiknya menyimak atau sebaliknya.
Indikator Menyimak di Kelas Tinggi
Kelas tiga dan empat (7 1 /2 – 10 tahun)
− Sungguh-sungguh sadar akan nilai menyimak sebagai sumber informasi
dan kesenangan.
− Menyimak pada laporan orang lain, dengan maksud tertentu serta dapat
menjawab pertanyaan yang bersangkutan dengan itu.
− Memperlihatkan keangkuhan dengan kata-kata atau ekspresi yang tidak
mereka pahami maknanya.
Kelas lima dan enam (91 /2 – 11 tahun)
− Menyimak secara kritis terhadap kekeliruan, kesalahan, propaganda, dan
petunjuk yang keliru.
− Menyimak pada aneka ragam cerita puisi, rima kata-kata, dan
memperoleh kesenangan dalam menemui dalam tipe-tipe baru.
j) Jenis-jenis Menyimak
Menyimak berdasarkan sumber suara yang disimak:
Menyimak intra personal listening atau menyimak intra pribadi, yaitu
sumber suara yang disimak dapat berasal dari diri sendiri.
Menyimak inter personal listening atau menyimak antarpribadi, yaitu sumber
suara yang disimak berasal dari luar diri penyimak.
Menyimak berdasarkan taraf aktivitas penyimak

57
Kegiatan bertaraf rendah/ silent listening, dalam kegiatan bertaraf
rendah penyimak baru samapai pada kegiatan memberikan dorongan,
perhatian, dan menunjang pembicaraan. Biasanya aktivitas itu bersifat non-
verbal (mengangguk-angguk, senyum, sikap tertib dan penuh perhatian atau
melalui ucapan-ucapan pendek seperti benar, saya setuju, ya dan sebagainya).
Kegiatan bertaraf tinggi/ active listening, penyimak sudah dapat mengutarakan
kembali isi bahan simakan yang berarti penyimak sudah memahami isi bahan
simakan.
Menyimak berdasarkan taraf hasil simakan:
− Menyimak tanpa mereaksi, yaitu penyimak mendengar sesuatu beruoa
suara atau teriakan, namun yang bersangkutan tidak memberikan reaksi
apa-apa.
− Menyimak terputus-putus, yaitu pikiran penyimak bercabang, tidak
terpusat kepada bahan simakan. Penyimak sebentar menyimak sebentar
tidak menyimak kemudian menyimak kembali dan seterusnya.
− Menyimak terpusat, yaitu yaitu pikiran penyimak terfokus pada sesuatu
misalnya pada aba-aba untuk mengetahui bila saatnya mengerjakan
sesuatu.
− Menyimak pasif, yaitu menyimak hampir sama dengan menyimak tanpa
mereaksi namun dalam menyimak pasif sudah ada reaksi walau sedikit.
− Menyimak dangkal, yaitu penyimak hanya menangkap sebagian isi
simakan. Bagian-bagian penting tidak disimak, mungkin karena sudah
mengetahui, menyetujui atau menerima.
− Menyimak untuk membandingkan, yaitu penyimak menyimak sesuatu
pesan kemudian membandingkan pesan tersebut dengan pengalaman
dan pengetahuan penyimak yang relevan.
− Menyimak organisasi materi, yaitu penyimak berusaha mengetahui
organisasi materi yang disampaikan pembicara, ide pokoknya beserta
detail penunjangnya.
− Menyimak kritis, yaitu penyimak menganalisis secara kritis terhadap
materi yang disampaikan pembicara. Bila diperlukan, penyimak minta
data atau keterangan terhadap pernyataan yang disampaikan pembicara.
− Menyimak kreatif dan apresiatif, yaitu penyimak memberikan responsi
mental dan fisik yang asli terhadap bahan simakan yang diterima. (Green
and Petty, 1969: hlm. 162)
2. KETERAMPILAN BERBICARA
a) Pengertian Keterampilan
Keterampilan berbicara merupakan keterampilan dalam menggunakan
bahasa lisan. Untuk mendapatkan suatu keterampilan berbicara yang baik
diperlukan suatu proses. Cook (dalam Murcia & Olshtain, 2001: 164)

58
menyebutkan bahwa lisan terjadi karena dihasilkan dan diproses secara
langsung, tidak ada pengulangan dan perubahan atau penataan kembali kata-
kata sebagaimana di dalam menulis, tidak ada waktu istirahat dan berfikir, dan
selagi berbicara atau menyimak, kita tidak dapat mengulang dan
memperhatikan sebuah wacana.
Bailey dan Savage (dalam Celce Murcia, 2001: 103) mengemukakan
kemampuan berbicara pada suatu bahasa sama dengan mengenali bahasa itu,
karena berbicara merupakan alat komunikasi manusia yang paling dasar. Brown
(2001: 267) menyatakan bahwa keterampilan berbicara sangat erat berhubungan
dengan keterampilan menyimak. Interaksi antara kedua performansi
keterampilan tersebut diterapkan dengan kuat dalam percakapan.
Hal tersebut menyatakan bahwa keterampilan berbicara tidak dapat
dipisahkan dari pemahaman menyimak. Secara umum, semakin baik
pemahaman menyimak siswa akan tercermin keterampilan berbicara yang lebih
baik. Faktor-faktor, kondisi, dan komponen-komponen yang mendasari
keefektifan berbicara perlu diperhatikan. Input bahasa dan aktivitas berbicara
yang cukup, secara perlahan akan membantu siswa untuk mampu berbicara
dengan fasih dan akurat.
Gorys Keraf (dalam Depdikbud, 1996: 33) menerangkan hakikat
keterampilan berbicara adalah sebagai berikut.
− Keterampilan berbicara adalah keterampilan yang sangat penting untuk
berkomunikasi.
Untuk dapat berbicara dengan baik diperlukan keterampilan berbicara.
Keterampilan berbicara adalah wujud komunikasi yang utama. Dengan
keterampilan berbicara kita mengontrol proses komunikasi.
− Keterampilan berbicara adalah suatu proses yang kreatif.
Dengan keterampilan berbicara kita dapat menyampaikan berbagai macam
informasi (fakta, peristiwa, gagasan, pendapat, tanggapan, dan sebagainya),
kita dapat mengemukakan kemauan dan keinginan, serta mengungkapkan
berbagai macam perasaan dengan komunikasi yang aktif dan kreatif.
− Keterampilan berbicara adalah hasil proses belajar.
Keterampilan berbicara perlu sekali dikuasai oleh para siswa di sekolah.
Keberhasilan berbicara yang baik dapat dikuasai melalui proses belajar dan
berlatih secara teratur. Untuk itu diperlukan perencanaan pengajaran yang
baik yang disusun berdasarkan kurikulum yang digunakan. Dalam
perencanaan pengajaran keterampilan berbicara yang baik dikemukakan
dengan jelas tujuan pengajaran yang hendak dicapai, materi, metode dan
teknik serta kegiatan pembelajaran, serta menilai keberhasilan siswa.
− Keterampilan berbicara adalah media untuk memperluas wawasan.

59
Keterampilan berbicara merupakan media untuk memperluas pengetahuan
dan wawasan siswa dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan keterampilan
berbicara yang baik siswa dapat memperoleh informasi tentang apa, siapa, di
mana, bilamana, mengapa, dan bagaimana mengenai berbagai hal yang siswa
temui, baik lingkungan sekolah maupun masyarakat.
− Keterampilan berbicara dapat dikembangkan dengan berbagai topik.
Dengan mengambil topik pembicaraan dari mata pelajaran lain, pengajaran
keterampilan berbicara akan memperoleh berbagai manfaat. Pertama,
kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara akan lebih bersifat fungsional
dalam menunjang keberhasilan siswa dalam mengikuti berbagai macam
kegiatan pembelajaran di sekolah. Kedua, jangkauan topik pembicaraan yang
diangkat dalam kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara menjadi lebih
luas sehingga topik yang dibicarakan bias bervariasi. Ketiga, pembelajaran
keterampilan berbicara bisa merupakan salah satu wahana untuk
mewujudkan keinginan untuk menghubungkan pengajaran Bahasa
Indonesia dengan mata-mata pelajaran yang lain.
Berdasarkan pengertian keterampilan dan pengertian berbicara di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan berbicara adalah kemampuan untuk
mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan ide, pikiran, gagasan, atau isi
hati kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan yang dapat dipahami
oleh orang lain. Aktivitas siswa yang dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan
keterampilan berbicara adalah dengan berinteraksi atau berkomunikasi dengan
orang-orang yang ada di sekitarnya, salah satunya dengan bermain sosiodrama.
Dengan sosiodrama siswa dapat berkomunikasi, menemukan pengalaman,
meningkatkan pengetahuan, dan mengembangkan bahasanya sehingga
keterampilan berbicara siswa dapat meningkat.
b) Keterampilan Berbicara Siswa di SD
Menurut Tarigan (2015: 16) berbicara adalah kemampuan mengucapkan
bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan
ataumenyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan. Sebagai perluasan dari
bahasan ini dapat dikatakan bahwa berbicara merupakan suatu sistem tanda-
tanda yang dapat didengar (audible) dan yang terlihat (visible) yang
memanfaatkan sejumlah otot dan jaringan otot tubuh manusia demi maksud
dan tujuan gagasan-gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Berbicara
adalah suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang disusun
dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang pendengar atau
penyimak. Berbicara merupakan instrumen yang mengungkapkan kepada
penyimak hampir-hampir secara langsung apakah sang pembicara memahami
atau tidak, baik bahan pembicaraannya maupun para penyimaknya; apakah
dia bersikap tenang serta bisa menyesuaikan diri atau tidak, pada saat dia

60
mengkomunikasikan gagasan-gagasannya; dan apakah dia waspada serta
antusias atau tidak, Mulgrave (dalam Tarigan, 2015: 16).
Onch & Winker (dalam Tarigan, 2015: 17) mengatakan bahwa
pembicaraan atau berbicara merupakan gaungan dari melaporkan dan
menjamu begitu pula mungkin sekaligus menghibur dan meyakinkan. Berikut
ini beberapa prinsip umum yang mendasari kegiatan berbicara, yaitu
membutuhkan paling sedikit dua orang, mempergunakan suatu sandi
linguistik yang dipahami bersama, menerima atau mengakui suatu daerah
referensi umum, merupakan suatu pertukaran antara partisipan,
menghubungkan setiap pembicara dengan yang lainnya dan kepada
lingkungannya dengan segera, berhubungan atau berkaitan dengan masa kini,
hanya melibatkan aparat atau perlengkapan yang berhubungan dengan
suara/bunyi bahasa dan pendengaran (vocal and auditory apparatus), secara
tidak pandang bulu menghadapi serta memperlakukan apa yang nyata dan
apa yang diterima sebagai dalil.
Pembelajaran berbicara harus berlandaskan konsep dasar berbicara
sebagai sarana berkomunikasi dan sejumlah landasan lainnya. Menurut Logan
(dalam Resmini dkk (2009: 151) konsep dasar berbicara sebagai sarana
berkomunikasi mencakup beberapa hal, yakni:
− Berbicara dan menyimak adalah dua kegiatan resiprokal
Kegiatan menyimak pasti diawali dengan kegiatan berbicara. Kegiatan
berbicara baru berarti bila diikuti kegiatan menyimak. Kegiatan berbicara
dan menyimak saling melengkapi dan berpadu menjadi komunikasi
lisan, seperti dalam bercakap-cakap, diskusi, bertelepon, tanya jawab dan
sebagainya.
− Berbicara adalah proses individu berkomunikasi
Berbicara digunakan sebagai alat komunikasi, apabila dikaitkan dengan
fungsi bahasa maka berbicara digunakan sebagai sarana memperoleh
pengetahuan mengadaptasi, mempelajari lingkungannya, dan
mengontrol lingkungannya.
− Berbicara adalah ekspresi kreatif
Melalui berbicara kreatif, manusia melakukan tidak sekedar menyatakan
ide, tetapi juga memanifestasikan kepribadiannya. Berbicara bukan
hanya mengkomunikasikan ide, tapi juga alat untuk menciptakan dan
memformulasikan ide baru.
− Berbicara adalah tingkah laku yang dipelajari
Siswa memerlukan kesempatan berlatih dan belajar berbicara karena
tidak ada orang yang langsung terampil berbicara tanpa melalui latihan.
Berbicara adalah tingkah laku yang harus dipelajari, baru bisa dikuasai.
Menurut Tarigan (dalam Resmini dkk 2009:152) keterampilan berbicara

61
siswa harus dibina oleh guru melalui latihan pengucapan, pelafalan,
pengontrolan suara, pengendalian diri, pengontrolan gerak-gerik tubuh,
pemilihan kata, kalimat dan pelafalannya, pemakaian bahasa yang baik,
dan pengorganisasian ide.
− Berbicara dipengaruhi kekayaan pengalaman
Berbicara adalah ekspresi diri, bila seorang pembicara kaya dengan
pengalaman, maka dengan mudah yang bersangkutan menguraikan
pengetahuan atau pengalamannya. Bila pembicara miskin pengetahuan
dan pengalaman maka yang bersangkutan akan mengalami kesukaran
berbicara.
− Berbicara sarana memperluas cakrawala
Berbicara dapat digunakan untuk mengekspresikan ide, perasaan,
imajinasi dan untuk menambah pengetahuan dan memperluas cakrawala
pengalaman. Dari rasa takjub terhadap keadaan sekitarnya, anak akan
terus bertanya sehingga akan bertambah cakrawala mereka.
− Kemampuan linguistik dan lingkungan berkaitan erat
Anak merupakan produk lingkungan, jika dalam lingkungan hidupnya
ia sering diajak berbicara dan segala pertanyaan diperhatikan dan
dijawab, serta lingkungan itu sendiri menyediakan kesempatan untuk
belajar dan berlatih berbicara maka dapat diharapkan anak tersebut
terampil berbicara.
− Berbicara adalah pancaran pribadi
Salah satu aspek yang dapat dijadikan acuan kepribadian adalah
bagaimana seseorang itu berbicara. Berbicara pada hakikatnya
melukiskan apa yang ada dalam hati, pikiran, perasaan, keinginan, ide
dan lain-lain. Oleh karena itu, berbicara merupakan gambaran
kepribadian.
Pembicaraan merupakan gabungan dari melaporkan dan menjamu
begitu pula mungkin sekaligus menghibur dan meyakinkan (Ochs and Winker
dalam Tarigan, 2015:17). Berikut ini beberapa prinsip umum yang mendasari
kegiatan berbicara menurut Tarigan (2015:17), antara lain:
− Membutuhkan paling sedikit dua orang
− Pembicaraan dapat dilakukan oleh satu orang dan hal ini sering terjadi,
misalnya oleh orang yang sedang mempelajari bunyi-bunyi bahasa
beserta maknanya.
− Mempergunakan satu sandi linguistik yang dipahami bersama
− Bahkan andaikatapun dipergunakan dua bahasa, namun saling
pengertian, pemahaman bersama itu tidak kurang pentingnya.
− Menerima atau mengakui suatu daerah referensi umum

62
− Daerah referensi yang umum mungkin tidak selalu mudah
dikenal/ditentukan, namun pembicaraan menerima kecenderungan
untuk menemukan satu diantarana.
− Merupakan suatu pertukaran antar partisipan
− Kedua pihak partisipan yang memberi dan menerima dalam
pembicaraan saling bertukar sebagai pembicara dan penyimak.
− Menghubungkan setiap pembicara dengan yang lainnya dan kepada
lingkungannya dengan segera.
− Perilaku lisan sang pembicara selalu berhubungan dengan responsi yang
nyata atau yang diharapkan, dari sang penyimak, dan sebaliknya. Jadi
hubungan itu bersifat timbal balik atau dua arah.
− Berhubungan atau berkaitan dengan masa kini
− Hanya dengan bantuan berkas grafis material, bahasa dapat luput dari
kekinian dan kesegeraan.
− Hanya melibatkan aparat atau perlengkapan yang berhubungan dengan
suara/bunyi bahasa dan pendengaran (vocal and auditory apparatus)
− Walau kegiatan-kegiatan dalam pita audio-lingual dapat melepaskan
gerak-visual dan grafik material, namun sebaliknya tidak akan terjadi.
− Secara tidak pandang bulu menghadapi serta memperlakukan apa yang
nyata dan apa yang diterima sebagai dalil.
Keseluruhan lingkungan yang dapat dilambangkan oleh pembicaraan
mencakup bukan hanya dunia nyata yang mengelilingi para pembicara tetapi
juga secara tidak terbatas dunia gagasan yang lebih luas yang harus mereka
masuki karena mereka dan manusia berbicara sebagai titik pertemuan kedua
wilayah ini tetap memerlukan penelaahan serta uraian yang lebih lanjut dan
mendalam (Brooks dalam Tarigan, 2015:18). Menurut Tarigan (2015:16), tujuan
utama berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan
pikiran secara efektif, seyogianyalah sang pembicara memahami makna segala
sesuatu yang ingin dikomunikasikan. Ada tujuh tujuan berbicara yang
dikemukakan Tarigan, yaitu:
− Berbicara untuk menghibur
Difokuskan pada kegiatan berbicara untuk menyenangkan pendengar
dengan bebagai cara. Biasanya berbicara dengan tujuan menghibur ini
banyak dilakukan oleh pelawak atau orang yang biasanya melucu.
− Berbicara untuk menginformasikan
Dilaksanakan bila seseorang ingin menjelaskan suatu proses,
menguraikan, menafsirkan atau mengionterpretasikan sesuatu hal,
memberi, meneybarkan atau menanamkan pengetahuan, menjelaskan
kaitan hubungan relasi antar benda atau peristiwa.
− Berbicara untuk menstimulasi

63
Pembicara harus pintar merayu, mempengaruhi, meyakinkan
pendengarnya agar turut pada keingina pembicara.
− Berbicara untuk meyakinkan Berbicara untuk meyakinkan
pendengarannya akan sesuatu agar apa yang dibicarakan dapat dituruti
dan dipahami kebenarannya.
Berbicara untuk menggerakan Berbicara dengan tujuan menstimulasi dan
meyakinkan pada akhirnya dapat menggerakan pendengar yang
mendengarkan.
Menurut Tarigan (2015), paling sedikit ada lima landasan yang
digunakan dalam mengkasifikasi berbicara. Kelima landasan tersebut adalah
situasi, tujuan metode penyampaian, jumlah penyimak, peristiwa khusus, dan
situasi. Aktivitas berbicara tidak mungkin berlangsung tanpa situasi, dan
lingkungan tertentu. Situasi dan lingkungan itu dapat bersifat formal atau
resmi maupun bersifat imformal atau tak resmi. Dalam situasi formal
pembicara dituntut berbicara secara formal, sebaliknya dalam situasi tak
formal pembicara harus berbicara secara tak formal. Jenis-jenis kegiatan
berbicara informal meliputi: tukar pengalaman, percakapan, menyampaikan
berita, menyampaikan pengumuman, bertelepon, dan memberi petunjuk
(logan dkk, dalam tarigan 2015). Selain itu, ada pula jenis-jenis kegiatan
berbicara formal, yaitu: ceramah. perencanaan dan penilaian, wawancara,
prosedur parlementer, dan bercerita (Logan dkk, dalam Tarigan 2015).
Arsjad (1987:35), menuliskan bahwa jenis-jenis berbicara antara lain
diskusi kelompok meliputi diskusi panel, simposium, seminar, lokakarya,
brainstorming, pidato dan ceramah. Untuk dapat berdiskusi, di samping
menguasai maetri juga dituntut mempunyai pengetahuan tentang diskusi
tersebut. Memiliki kemampuan berbicara dalam kelompok akan membantu
keterampilan berbicara secara individual. Tarigan (2015: 24) mengatakan
bahwa secara garis besar, berbicara dapat dibagi atas:
Berbicara dimuka umum pada masyarakat (public speaking) yang mencakup
empat jenis, yaitu:
− Berbicara dalam situasi-situasi yang memberitahukan atau
melaporkan.
− Berbicara dalam situasi-situasi yang bersifat kekeluargaan atau
pesahabatan.
− Berbicara dalam situasi-situasi yang bersifat membujuk, mengajak,
mendesak, dan meyakinkan.
− Berbicara dalam situasi-situasi yang bersifat merundingkan dengan
tenang dan hati-hati.
Berbicara pada konferensi (conference speaking) yang meliputi:

64
Diskusi kelompok (group discussion), yang dapat dibedakan menjadi (1) tidak
resmi atau informal: kelompok studi (study group), kelompok pembuat
kebijaksanaan (policy making groups), dan komik, serta (2) resmi (formal) yang
mencakup: konferensi, diskusi panel, dan symposium, prosedur parlementer
(parlementary prosedure), serta debat.
Menurut Arsjad (1987:87) untuk mengefektifkan berbicara, pembicara
perlu memperhatikan faktor kebahasaan dan non kebahasaan. Faktor
kebahasaaan antara lain:
− Ketepatan ucapan, yang meliputi ketepatan pengucapan vokal dan
konsonan.
Pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi
bahasa secara tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan berlatih mengucapkan
bunyi-bunyi bahasa. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat dapat
mengalihkanperhatianpendengar. Artikulasi dan pola ucapan setiap siswa
berbeda, masing-masing orang mempunyai ciri tersendiri.
Sampai saat ini lafal bahasa Indonesia belum dibakukan, namun
upaya kearah tersebut sudah lama dikemukakan, bahwa ucapan atau lafal
yang baku dalam bahasa Indonesia adalah ucapan yang bebas dari ciriciri
dialek setempat atau ciri-ciri lafal daerah. Misalnya dalam pelafalan huruf,
suku kata dan kata yang belum sesuai dengan pelafalan dalam bahasa
Indonesia, seperti misalnya pelafalan /c/ dengan /se/, dalam kata WC
dilafalkan /we-se/ seharusnya /we-ce/, kata AC dilafalkan /a-se/
seharusnya /a-ce/.
− Penempatan tekanan.
Penempatan tekanan, nada, jangka, intonasi dan ritme yang sesuai
akan menunjukkan daya tarik tersendiri dalam berbicara, bahkan
merupakan faktor penentu dalam keefektifan berbicara. Kurang tepatnya
pembicara dalam peempatan tekanan, nada, jangka, intonasi dan ritme akan
menimbulkan perhatian pendengar berbalih kepada cara berbicara
pembicara, sehingga topik atau pokok pembicaraan kurang diperhatikan.
− Penempatan persendian.
− Penggunaan nada taua irama.
− Pilihan kata.
− Pilihan ungkapan.
− Variasi kata.
Kata dan ungkapan yang digunakan dalam berbicara hendaknya
baik, konkret dan bervariasi. Pemilihan kata dan ungkapan yang baik akan
sesuai dengan keadaan pendengarnya. Pilihlah kata yang jelas agar mudah
dipahami oleh pendengar.
− Tata bentukan.

65
− Struktur kalimat.
Susunan penuturan berhubungan dengan penataan pembicaraan
atau uraian tentang sesuatu. Pembicaraan yang menggunakan kalimat
efektif akan lebih memudahkan pendangar menangkap isi pembicaraan.
− Ragam kalimat.
Sementara itu, faktor nonkebahasaan yang dimaksudkan antara lain
yaitu:
− Keberanian dan semangat.
Dalam kegiatan berbicara terjadi proses lahirnya buah pikiran atau
pendapat secara lisan. Untuk dapat mengungkapkan pendapat tentang
sesuatu diperlukan keberanian. Seseorang yang mengemukakan ide atau
pendapat, harus memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.
− Kelancaran.
Dalam berbicara harus memiliki sikap yang wajar, tenang dan tidak kaku.
Bersikap wajar berbarti bersikap biasa sebagaimana adanya tidak mengada-
ada. Sikap yang tenang adalah sikap dengan perasaan hati yang tidak
gelisah, tidak gugup, dan tidak tergesa-gesa. Dan sikap tenang dapat
menjadikan jalan pikiran dan pembicaraan menjadi lebih lancar.
− Kenyaringan suara.
Kenyaringan suara perlu diperhatikan oleh pembicara untuk menunjang
keaktivan berbicara. Tingkat kenyaringan suara hendaknya disesuaikan
dengan situasi, tempat, jumlah pendengar yang ada.
− Pandangan mata.
Pada waktu berbicara pandangan harus diarahkan pada lawan pembicara,
baik dalam pembicaraan perseorangan ataupun kelompok.
− Gerak-gerik dan mimik.
Salah satu kelebihan dalam kegiatan berbicara dibandingkan dengan
kegiatan berbahasa yang lainnya adalah adanya gerak-gerik dan mimik
yang dapat memperjelas atau menghidupkan pembicaraan.
− Keterbukaan.
Keterbukaan dalam menghargai pendapat orang lain berarti menghormati
atau mengindahkan pikiran orang lain, baik pendapat itu benar ataupun
tidak.
− Penalaran.
Seorang pembicara hendaknya memperhatikan unsur penalaran yaitu, cara
berfikir yang logis untuk sampai pada simpulan. Hal itu menunjukkan
bahwa dalam pembicaraan seorang pembicara terdapat urutan pokok-
pokok pikiran logis sehingga jelas arti atau makna pembicaraannya.
− Penguasaan topik.

66
Penguasaan topik pembicaraan berarti pemahaman suatu pokok
pembicaraan. Dengan pemahaman tersebut seorang pembicara memiliki
kesanggupan untuk mengemukakan topik itu kepada para pendengar.
Taraf kemampuan berbicara peserta didik ketika masuk persekolahan
sangat bervariasi mulai dari taraf baik atau lancar, sedang, gagap, atau kurang.
Ada peserta didik yang lancar menyatakan keinginan, rasa senang, sedih, sakit
atau letih. Bahkan mungkin dapat menyatakan pendapatnya mengenai sesuatu
wadah dalam taraf sederhana. Beberapa peserta didik lainnya masih malu-
malu dan takut berdiri di hadapan teman sekelasnya. Bahkan tidak jarang kita
lihat beberapa peserta didik berkeringat dingin, berdiri kaku, lupa segalanya
bila ia dihadapkan peserta didik pada lainnya Djago Tarigan, dalam Resmini
(2012). Kondisi peserta didik seperti ini digambarkan tadi, hendaknya menjadi
landasan ketika guru melaksanakan pembelajaran berbicara di kelas. Artinya
kemampuan peserta didik itu beragam sesuai dengan latar belakangnya
masing-masing. Oleh karena itu, kemampuan awal peserta didik dalam
berbicara harus menjadi catatan guru pada waktu pembelajaran berbicara
dilaksanakan. Hal ini keliru bila seorang guru memperlakukan setiap peserta
didik sama pada waktu berbicara. Bila itu terjadi, maka peserta didik yang
masih malu-malu atau takut berbicara di hadapan temannya tetapi disamakan
dengan peserta didik yang sudah lancar dan berani berbicara, akan mendapat
hambatan. Sebaliknya kemampuan setiap peserta didik diukur dari awal
kemampuan peserta didik itu sendiri yang jelas berbeda-beda.
Menurut Ari (2012) berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa
yang berkembang pada kehidupan anak, yang hanya didahului oleh
keterampilan menyimak, dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara
atau berujar dipelajari dan dipahami secara berkelanjutan terutama di sekolah.
Berbicara berhubungan dengan perkembangan kosa-kata yang diperoleh sang
anak melalui kegiatan menyimak dan membaca di sekolah. Siswa yang belum
matang dalam perkembangan bahasa juga merupakan suatu keterlambatan
dalam kegiatan-kegiatan berbahasa. Juga perlu disadari bahwa keterampilan-
keterampilan yang diperlukan bagi kegiatan berbicara efektif dalam
keterampilan berbahasa yang lainnya.
Anak SD sudah mampu memahami tata bahasa dengan baik, kosa
kata yang dikuasai mencapai kurang lebih seribu kata. Pada masa ini,
anakanak jarang menggunakan kalimat-kalimat pasif, serta kalimat-kalimat
yang menyatakan lampau. Pada usia ini, kemampuan berbicara anak menjadi
sangat mirip dengan orang dewasa. Mereka berbicara dalam kalimat yang
lebih panjang dan lebih rumit. Mereka lebih banyak menggunakkan kata
hubung, kata depan dan artikel. Mereka menggunakan kalimat kompleks dan

67
dapat menangani semua bagian pembicaraan. Selain itu, anak-anak pada usia
SD berbicara dengan lancar, benar dan dapat dimengerti.
Berikut ini merupakan tahapan perkembangan bicara anak (Ari:
2012)
Kurang dari 1 tahun
− Belum dapat mengucapkan kata-kata
− Belum dapat mengungkapkan bahasa dalam arti yang sebenarnya
− Dapat membedakan beberapa ucapan orang dewasa
Usia 1 tahun
− Mulai mengoceh
− Bermain dengan bunyi (bermain dengan jari-jari tangan dan kakinya)
− Perkembangan pada tahap ini disebut pralinguistik
− Ketika bayi dapat mengucapkan beberapa kata, mereka memiliki ciri-
ciri perkembangan yang universal
− Bentuk ucapan hanya satu kata, sederhana, mudah diucapkan dan
memiliki arti konkret (nama benda, kejadian atau orang-orang di sekitar
anak)
− Mulai pengenalan semantik
Usai 2 tahun
− Mengetahui kurang lebih memiliki 50 kata
− Kebanyakan mulai mencapai kombinasi dua kata yang dikombinasikan
dalam ucapan-ucapan tanpa kata petunjuk, kata depan atau betnuk lain
yang seharusnya digunakan
− Mulai mengenal berbagai makna kata tetapi tidak dapat menggunakan
betnuk bahasa yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin, dan waktu
terjadinya peristiwa.
− Mulai dapat membuat kalimat-kalimat pendek.
Usia taman kanak-kanak
− Memiliki dan memahami sejumlah besar kosa kata
− Mampu membuat pertanyaan-pertanyaan, kalimat majemuk dan
berbagai betnuk kalimat
− Dapat berbicara dengan sopan dengan orang tua dan guru
Usia sekolah dasar
− Peningkatan perkembangan bahasa, dari bahasa lisan ke bahasa tulis
− Peningkatan perkembangan penggunaan bahasa
Usia remaja
− Penggunaan bahasa yang khas sebagai bagian dari terbentuknya
identitas diri
− Usia ini merupakan usia yang sensitif untuk belajar berbahasa

68
Usia dewasa
− Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara individu yang satu
dengan yang lainnya dalam perkembangan bahasa sesuai dengan
tingkat pendidikan, peranan dalam masyarakat, dan jenis pekerjaan.

Pembelajaran bahasa Indonesia di SD bertujuan agar siswa dapat


mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi sesuai dengan konteks
peristiwa tutur secara efektif dan santun. Pembelajaran keterampilan berbicara
dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi
yang bersifat produktif lisan secara efektif, baik yang dilakukan di luar kelas
maupun di dalam kelas. Di luar kelas, siswa yang terampil berbicara tentunya
akan lebih mudah berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang baik dan
santun. Adapun di dalam kelas, keterampilan berbicara sangat penting dalam
menunjang keberhasilan belajar siswa dalam mata pelajaran lain yang
menuntut siswa untuk terampil melakukan diskusi, melaporkan, menceritakan
kembali, menjelaskan, mendeskripsikan, dan menjawab pertanyaan guru, dan
berbagai bentuk kegiatan berbicara lainnya. Tentu saja, keterampilan berbicara
tidak hanya terkait dengan aspek berbahasa produktif lisan saja, namun siswa
juga dituntut memiliki pengetahuan, pengalaman, dan wawasan yang luas
yang mendukung kualitas pembicaraan yang dilakukannya.
Dalam standar kompetensi lulusan untuk keterampilan berbicara
adalah menggunakan wacana lisan untuk mengungkapkan pikiran, perasaan,
dan informasi dalam kegiatan perkenalan, tegur sapa, percakapan sederhana,
wawancara, percakapan telepon, diskusi, pidato, deskripsi peristiwa dan
benda di sekitar, memberi petunjuk, deklamasi, cerita, pelaporan hasil
pengamatan, pemahaman isi buku dan berbagai karya sastra untuk anak
berbentuk dongeng, pantun, drama, dan puisi. Standar kompetensi lulusan
tersebut dicapai melalui serangkaian kegiatan pembelajaran keterampilan
berbicara berdasarkan standar kompetensi mulai kelas I sampai dengan kelas
VI. Menurut Soelestijono (2012), dalam pembelajaran berbicara, halhal yang
penting diperhatikan guru antara lain:
− Upaya kegiatan berbahasa yang dilakukan bersiat alamiah dan
kontekstual
− Pastikan pembelajaran berbicara dilakukan dalam bentuk aktivitas
berbicara atau mengucapkan pikiran, perasaan, dan informasi secara
lisan oleh siwsa
− Kegiatan berbicara mensyaratkan siswa untuk berani mengungkapkan
pikiran, perasaan, dan informasi secara lisan. Sebelum penugasan
kegiatan berbicara, pastikan bahwa siswa yang bersangkutan telah
memiliki keberanian untuk berbicara. Jika belum, guru dapat melatih
keberanian berbicara dulu melalui berbagai metode dan strategi

69
pembelajaran. Coba diskusikan dengan teman di samping Saudara
tentang metode dan strategi pembelajaran yang dapat dilakukan guru
untuk membiasakan siswa berani berbicara.
− Untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman komprehensif,
pembelajaran berbicara disarankan dilakukan secara terpadu dengan
pembelajaran aspek keterampilan berbahasa yang lain, intra maupun
antarmata pelajaran
3. KETERAMPILAN MEMBACA
a) Pengertian Keterampilan Membaca
Membaca merupakan suatu kegiatan atau proses kognitif yang berupaya
untuk menemukan berbagai informasi yang terdapat dalam tulisan. Hal ini
berarti membaca merupakan proses berpikir untuk memahami isi teks yang
dibaca. Oleh sebab itu, membaca bukan hanya sekedar melihat kumpulan huruf
yang telah membentuk kata, kelompok kata, kalimat, paragraf, dan wacana saja
tetapi lebih dari itu bahwa membaca merupakan kegiatan memahami dan
menginterpretasikan lambang/tanda/tulisan yang bermakna sehingga pesan
yang disampaikan penulis dapat diterima oleh pembaca.
Menurut Tarigan (2015, hlm. 7) “membaca adalah suatu proses yang
dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, yang
hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata/bahasa tulis”.
Membaca juga merupakan kegiatan berinteraksi dengan bahasa yang dikodekan
dalam bentuk cetakan (Resmini, 2007, hlm. 75). Menurut Nurgiyantoro (dalam
Kurniawati, 2012, hlm. 2) membaca merupakan aktivitas mental untuk
memahami apa yang dituturkan pihak lain melalui sarana tulisan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian
membaca adalah suatu proses pengolahan yang bermula dari kata untuk
memperoleh pesan tertulis dengan tujuan memperoleh pemahaman yang
bersifat menyeluruh tentang isi bacaan dan merupakan kegiatan komunikasi
tidak langsung antara penulis dan pembaca.
Dalam Kurikulum 2013, pembelajaran membaca dibedakan menjadi dua
tingkatan, yaitu: (1) membaca di kelas awal (untuk kelas 1, 2, 3), dan (2)
membaca dan menulis di kelas tinggi (untuk kelas 4, 5, dan 6). Di kelas awal
keterampilan membaca lebih fokus pada membaca lancar yang diwujudkan
dengan membaca nyaring untuk membaca teknis (Widyastuti, 2017). Sementara
itu, di kelas tinggi keterampilan membaca dititikberatkan pada membaca
pemahaman dalam konteks membac adalam hati, serta membaca estetis dalam
konteks membaca nyaring. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa membaca
dalam Kurikulum 2013 di jenjang MI/SD digolongkan menjadi dua yaitu: (1)
membaca permulaan (di kelas awal), dan (2) membaca pemahaman dan menulis
ilmiah serat menulis kreatif (di kelas tinggi).

70
b) Tujuan Membaca
Menurut Tarigan (2015, hlm. 9) tujuan utama membaca adalah untuk
mencari serta memperoleh informasi, mencakup isi, memahami makna bacaan.
Berikut ini, tujuan membaca menurut Anderson (dalam Tarigan, 2015, hlm. 9-
11):
− Membaca untuk menemukan atau mengetahui penemuan-penemuan yang
telah dilakukan oleh tokoh; apa-apa yang telah dibuat oleh tokoh; apa yang
telah terjadi pada tokoh khusus, atau untuk memecahkan masalah-masalah
yang dibuat oleh tokoh. Membaca seperti ini disebut membaca untuk
memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta (reading for details or facts).
− Membaca untuk mengetahui mengapa hal itu merupakan topik yang baik
dan menarik, masalah yang terdapat dalam cerita, apa-apa yang dipelajari
atau yang dialami tokoh, dan merangkumkan hal-hal yang dilakukan oleh
tokoh untuk mencapai tujuannya. Membaca seperti ini disebut membaca
untuk memperoleh ide-ide utama (reading for main ideas).
− Membaca untuk menemukan atau mengetahui apa yang terjadi pada setiap
bagian cerita, apa yang terjadi mula-mula pertama, kedua, dan
ketiga/seterusnya – setiap tahap dibuat untuk memecahkan suatu masalah,
adegan-adegan dan kejadian, kejadian buat dramatisasi. Ini disebut membaca
untuk mengetahui urutan atau susunan, organisasi cerita (reading for sequence
or organization).
− Membaca untuk menemukan serta mengetahui mengapa para tokoh
merasakan seperti cara mereka itu, apa yang hendak diperlihatkan oleh
pengarang kepada para pembaca, mengapa para tokoh berubah, kualitas-
kualitas yang dimiliki para tokoh yang membuat mereka berhasil atau gagal.
Ini disebut membaca untuk menyimpulkan, membaca referensi (reading for
inference).
− Membaca untuk menemukan serta mengetahui apa-apa yang tidak biasa,
tidak wajar mengenai seseorang tokoh, apa yang lucu dalam cerita, atau
apakah cerita itu benar atau tidak benar. Ini disebut membaca untuk
mengelompokkan, membaca untuk mengklasifikasikan (reading to classify).
− Membaca untuk menemukan apakah tokoh berhasil atau hidup dengan
ukuran-ukuran tertentu, apakah kita ingin berbuat seperti yang diperbuat
oleh tokoh, atau bekerja seperti cara tokoh bekerja dalam cerita itu. Ini disebut
membaca menilai, membaca mengevaluasi (reading to evaluate).
− Membaca untuk menemukan bagaimana caranya tokoh berubah, bagaimana
hidupnya berbeda dari kehidupan yang kita kenal, bagaimana dua cerita
mempunyai persamaan, dan bagaimana tokoh menyerupai pembaca. Ini
disebut membaca untuk memperbandingkan atau mempertentangkan
(reading to compare or contrast).

71
Untuk mencapai tujuan membaca, perlu digunakan beberapa cara dan
penekanan yang tepat agar citra rasa dalam membaca benar-benar dapat
dirasakan dengan baik. Adapun pendekatan-pendekatan yang dimaksud
adalah (Yastuti, 2012, hlm. 4):
− Membaca harus selektif, artinya kita tidak bisa melaksanakan segala sesuatu
yang kita sukai dipaksakan harus disukai oleh orang lain. Bahan bacaan yang
kita senangi belum tentu disenangi oleh orang lain (siswa).
− Individual, artinya citra rasa juga bersifat selektif bagi setiap orang. Citra rasa
terbentuk oleh karena ada kesamaan jiwa pengarang dengan pembaca.
c) Jenis-jenis Membaca
Menurut Tarigan (Dalman, 2014, hlm. 63) mengemukakan bahwa secara
garis besar membaca dibagi menjadi dua yaitu: membaca Nyaring dan membaca
dalam hati. Membaca Nyaring adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang
merupakan alat bagi guru, murid ataupun pembaca bersama-sama dengan
orang lain atau pendengar untuk menangkap serta memahami informasi,
pikiran, dan perasaan seorang pengarang. Adapun membaca dalam hati secara
umum dibagai menjadi dua, yaitu:
Membaca ekstensif, yakni membaca secara luas. Objeknya meliputi sebanyak
mungkin teks dalam waktu yang sesingkat mungkin, meliputi:
− Membaca survey, merupakan membaca yang ditujukan untuk meneliti
terlebih dahulu apa yang akan ditelaah. Hal ini biasanya dilakukan sebelum
mulai membaca secara keseluruhan.
− Membaca sekilas (skimming), yakni sejenis membaca yang membuat mata
bergerak dengan cepat, melihat, memperhatikan bahan tertulis untuk
mencari dan mendapatkan informasi.
− Membaca dangkal, membaca ditujukan untuk memperoleh pemahaman yang
dangkal yang bersifat luaran dan tidak mendalam dari suatu bacaan.
Membaca intensif, dibagi menjadi:
− Membaca telaah isi Membaca telaah isi ditujukan untuk mengetahui dan
menelaah isi dari teks secara mendalam.
− Membaca telaah bahasa Membaca telaah bahasa dibedakan menjadi dua,
yaitu membaca bahasa dan membaca sastra.

d) Komponen Kegiatan Membaca


Farida Rahim (2008: 12) menyampaikan bahwa kegiatan membaca terdiri
dari dua komponen yaitu: a) proses membaca, dan b) produk membaca.
1) Proses Membaca
Farida Rahim (2008: 12) menyampaikan bahwa proses membaca
terdiri dari 9 aspek, yaitu sensori, perseptual, urutan, pengalaman, pikiran,
pembelajaran, asosiasi, sikap, dan gagasan. Proses sensori visual menurut
Farida Rahim (2008: 12) diperoleh dengan pengungkapan simbol-simbol
72
grafis melalui indra penglihatan. Anak- anak belajar membedakan secara
visual simbol-simbol grafis (huruf atau kata) yang digunakan untuk
mempresentasikan bahan lisan.
Kegiatan perceptual dijelaskan Farida Rahim (2008: 12) sebagai
aktivitas mengenal suatu kata sampai pada suatu makna berdasarkan
pengalaman yang lalu. Aspek urutan merupakan kegiatan mengikuti
rangkaian tulisan yang tersusun secara linear, yang umumnya tampil dalam
satu halaman dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah. Pengalaman
merupakan aspek penting dalam proses membaca. Farida Rahim (2008: 12)
menyampaikan bahwa anak-anak yang memiliki pengalaman banyak akan
mempunyai kesempatan yang lebih luas dalam mengembangkan
pemahaman kosakata dan konsep yang mereka hadapi dalam membaca
dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pengalaman terbatas.
Untuk memahami makna bacaan, pembaca terlebih dahulu harus
memahami kata-kata dan kalimat yang dihadapinya. Kemudian pembaca
membuat simpulan dengan menghubungkan isi preposisi yang terdapat
dalam materi bacaan. Agar proses ini dapat berlangsung pembaca harus
berpikir sistematis, logis, dan kreatif.
Guru dapat membimbing siswa meningkatkan kemampuan berpikir
melalui membaca dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan yang
dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Adapun pertanyaan
pertanyaan yang diberikan sehubungan dengan bacaan tidak hanya
pertanyaan yang menghasilkan jawaban yang berupa fakta. Proses
membaca selanjutnya yaitu aspek asosiasi meliputi mengenal hubungan
antara simbol dengan bunyi bahsa dan makna (Farida Rahim, 2008: 13).
Selanjutnya, Farida Rahim (2008: 13) menerangkan bahwa masih ada aspek
proses membaca yang lain yaitu sikap atau afektif berkenaan dengan
kegiatan memusatkan perhatian, membangkitkan kegemaran membaca,
menumbuhkan motivasi membaca ketika sedang membaca. Motivasi dan
kesenangan membaca sangat membantu siswa untuk memusatkan
perhatian pada membaca.
Aspek dari proses membaca yang terakhir menurut Farida Rahim
(2008: 13) adalah pemberian gagasan dimulai dengan penggunaan sensori
dan perseptual dengan latar belakang pengalaman dan tanggapan afektif
serta membangun makna teks yang dibacanya secara pribadi. Makna
dibangun berdasarkan pada teks yang dibacanya, tetapi tidak seluruhnya
ditemui di dalam teks. Pembaca akan menghasilkan makna yang berbeda
dari teks yang sama jika pengalaman dan reaksi afektif dari pembaca
tersebut berbeda (Farida Rahim, 2008:14).

73
2) Produk Membaca
Komponen kegiatan membaca yang kedua yaitu produk membaca.
Farida Rahim (2008: 12) menjelaskan bahwa produk membaca merupakan
komunikasi dari pemikiran dan emosi antara penulis dan pembaca.
Komunikasi juga bisa terjadi dari konstruksi pembaca melalui integrasi
pengetahuan yang telah dimiliki pembaca dengan informasi yang disajikan
dalam teks. Komunikasi dalam membaca tergantung pada pemahaman
yang dipengaruhi oleh seluruh aspek proses membaca.
e) Aspek-aspek Membaca
Henry Guntur Tarigan (1985: 11) menjelaskan ada dua aspek penting dari
membaca yaitu keterampilan yang bersifat mekanis dan keterampilan yang
bersifat pemahaman. Keterampilan yang bersifat mekanis (mechanical skills)
yaitu keterampilan yang berada pada kedudukan yang lebih rendah. Aspek ini
menurut Henry Guntur Tarigan (1985: 11) mencakup pengenalan bentuk huruf,
pengenalan unsur-unsur linguistik (fonem, kata, frase, pola klausa, kalimat, dan
lain-lain), pengenalan hubungan/ korespondensi pola ejaan dan bunyi
(kemampuan menyuarakan bahan tertulis), dan kecepatan membaca bertaraf
lambat. Adapun keterampilan yang bersifat pemahaman (comprehension skills)
menurut Henry Guntur Tarigan (1985: 11) yaitu keterampilan yang berada pada
kedudukan yang lebih tinggi. Aspek ini mencakup memahami pengertian
sederhana (leksikal, gramatikal, retorikal), memahami signifikasi atau makna,
evaluasi atau penilaian, kecepatan membaca fleksibel, yang mudah disesuaikan
dengan keadaan.
f) Prinsip-prinsip Membaca
Burns (1982) mengemukakan 14 prinsip pengajaran membaca. Prinsip-
prinsip yang dikemukakan didasarkan pada generalisasi hasil penelitian
tentang pengajaran membaca dan pada hasil observasi praktik membaca.
Prinsip-prinsip ini diharapkan dapat mengarahkan guru dalam merencanakan
pengajaran membaca. Berikut dipaparkan keempat belas prinsip tersebut.
− Membaca adalah tindakan kompleks dengan banyak faktor yang harus
dipertimbangkan.
− Membaca merupakan proses interpretasi terhadap makna dari simbolsimbol
yang tertulis
− Membaca melibatkan kegiatan mengkonstruksi makna dari passage makna
dari bagian yang tertulis
− Tidak ada satu cara yang paling tepat untuk mengajarkan membaca
− Belajar membaca merupakan proses yang berkelanjutan
− Siswa harus diajari pengenalan kata yang memungkinkan mereka dapat
mengenali pelafalan dan makna kata-kata sulit secara independen

74
− Guru harus mendiagnosis kemampuan membaca siswa dan menggunakan
hasil diagnosisi tersebut sebagai dasar untuk merencanakan pengajaran
− Membaca dann keterampilan berbahasa lainnya sangat berkaitan
− Membaca merupakan bagian integral dari semua area isi pengajaran dalam
program pendidikan.
− Siswa perlu untuk mengetahui mengapa membaca itu penting
− Kesenangan membaca harus dianggap sebagai hal yang penting
− Kesiapan membaca harus dipertimbnagkan dalam semua level pembelajaran
− Membaca harus diajarkan melalui cara yang menngarahkan siswa untuk
mengalami kesuksesan
− Pentingnya dorongan untuk mengarahkan dan memantau diri dalam proses
Membaca
g) Indikator Membaca di Kelas Rendah (Membaca Permulaan)
1) Pengertian membaca di kelas rendah
Pembelajaran membaca pada kelas rendah (kelas 1, 2, 3) merupakan
pembelajaran membaca tahap awal. Kemampuan membaca pada kelas
rendah tersebut akan menjadi dasar pembelajaran membaca di kelas-kelas
berikutnya.
Membaca permulaan menekankan pada proses penyandian membaca
secara mekanikal. Membaca permulaan mengacu pada proses recoding dan
decoding. Membaca merupakan suatu proses yang bersifat fisik dan
psikologis. Proses yang bersifat fisik berupa kegiatan mengamati tulisan
secara visual. Dengan indera visual, pembaca mengenali dan membedakan
gambar-gambar bunyi serta kombinasinya. Melalui proses recoding,
pembaca mengasosiasikan gambar-gambar bunyi beserta kombinasinya itu
dengan bunyi-bunyinya. Dengan proses tersebut, rangkaian tulisan yang
dibacanya menjelma menjadi rangkaian bunyi bahasa dalam kombinasi kata,
kelompok kata, dan kalimat yang bermakna.
Selain itu, pembaca mengamati tanda-tanda baca untuk membantu
memahami maksud baris-baris tulisan. Proses psikologis berupa kegiatan
berpikir dalam mengolah informasi. Melalui proses decoding, gambar-
gambar bunyi dan kombinasinya diidentifikasi, diuraikan kemudian diberi
makna. Proses ini melibatkan Knowledge of the World dalam skemata yang
berupa kategorisasi sejumlah pengetahuan dan pengalaman yang tersimpan
dalam gudang ingatan. Menurut La Barge dan Samuels proses membaca
permulaan melibatkan tiga komponen, yaitu (a) Visual Memory (VM), (b)
Phonological Memory (PM), dan (c) Semantic Memory (SM). Lambang lambang
fonem tersebut adalah kata, dan kata dibentuk menjadi kalimat. Proses
pembentukan tersebut terjadi pada ketiganya. Pada tingkat Visual Memory
(VM), huruf, kata dan kalimat terlihat sebagai lambang grafis, sedangkan

75
pada tingkat Phonological Memory (PM) terjadi proses pembunyian lambang.
Lambang tersebut juga dalam bentuk kata, dan kalimat. Proses pada tingkat
ini bersumber dari Visual Memory (VM) dan Phonological Memory (PM).
Akhirnya pada tingkat Semantic Memory (SM) terjadi proses pemahaman
terhadap kata dan kalimat.
Selanjutnya dikemukakan bahwa untuk memperoleh kemampuan
membaca diperlukan tiga syarat, yaitu kemampuan membunyikan (a)
lambang-lambang tulis, (b) penguasaan kosakata untuk memberi arti, dan (c)
memasukkan makna dalam kemahiran bahasa. Pada tingkatan membaca
permulaan, pembaca belum memiliki ketrampilan kemampuan membaca
yang sesungguhnya, tetapi masih dalam tahap belajar untuk memperoleh
ketrampilan atau kemampuan membaca.
Membaca pada tingkatan ini merupakan kegiatan belajar mengenal
bahasa tulis. Melalui tulisan itulah siswa dituntut dapat menyuarakan
lambang-lambang bunyi bahasa tersebut,untuk memperoleh kemampuan
membaca diperlukan tiga syarat, yaitu kemampuan membunyikan (a)
lambang-lambang tulis, (b) penguasaan kosakata untuk memberi arti, dan (c)
memasukkan makna dalam kemahiran bahasa. Membaca permulaan
merupakan suatu proses ketrampilan dan kognitif. Proses ketrampilan
menunjuk pada pengenalan dan penguasaan lambang-lambang fonem,
sedangkan proses kognitif menunjuk pada penggunaan lambang-lambang
fonem yang sudah dikenal untuk memahami makna suatu kata atau kalimat.
2) Tujuan Membaca Permulaan
Pembelajaran membaca permulaan diberikan di kelas I, II, dan III.
Tujuannya adalah agar siswa memiliki kemampuan memahami dan
menyuarakan tulisan dengan intonasi yang wajar, sebagai dasar untuk dapat
membaca lanjut. Tujuan membaca permulaan juga dijelaskan dalam
(Depdikbud, 1994:4) yaitu agar “Siswa dapat membaca kata-kata dan kalimat
sederhana dengan lancar dan tepat“.
Pelaksanaan membaca permulaan di kelas I Sekolah Dasar dilakukan
dalam dua tahap, yaitu membaca periode tanpa buku dan membaca dengan
menggunakan buku. Pembelajaran membaca tanpa buku dilakukan dengan
cara mengajar dengan menggunakan media atau alat peraga selain buku
misalnya kartu gambar, kartu huruf, kartu kata dan kartu kalimat.
Pembelajaran membaca dengan buku merupakan kegiatan membaca dengan
menggunakan buku sebagai bahan pelajaran.
3) Pentingnya membaca permulaan
Kemampuan membaca yang diperoleh pada membaca permulaan
akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca lanjut. Sebagai
kemampuan yang mendasari kemampuan berikutnya maka kemampuan

76
membaca permulaan benar-benar memerlukan perhatian guru, sebab jika
dasar itu tidak kuat, pada tahap membaca lanjut siswa akan mengalami
kesulitan untuk dapat memiliki kemampuan membaca yang memadai.
Padahal kemampuan membaca sangat diperlukan oleh setiap orang yang
ingin memperluas pengetahuan dan pengalaman, mempertinggi daya pikir,
mempertajam penalaran, dan memperluas wawasan, untuk mencapai
kemajuan dan peningkatan diri. Oleh sebab itu, bagaimana pun guru kelas
rendah (kelas 1,2,3) harusah berusaha sungguh-sungguh agar ia dapat
memberikan dasar kemampuan membaca yang memadai kepada anak didik.
Hal itu akan dapat tewujud melalui pelaksanaan pembelajaran yang baik.
Untuk dapat melaksanakan pembelajaran yang baik, perlu ada perencanaan
baik materi, metode, maupun pengembangannya.
4) Perkembangan Membaca Permulaan
Kemampuan awal membaca mungkin diperoleh melalui interaksi
sosial bukan melalui pembelajaran formal. Dalam kegiatan membaca cerita
yang dilakukan oleh orang tua, tampak baik orang tua maupun anak
berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Orang tua menggunakan berbagai
teknik agar anak memusatkan perhatian, mengajukan pertanyaan, dan
mendorong agar anak mencoba membaca.
Orang tua juga berperan sebagai guru sebaiknya memperkenalkan
buku-buku cerita kepada anak sedini mungkin. Tentu saja buku yang
digunakan adalah yang banyak gambarnya dan berwarna-warni sehingga
menarik perhatian anak. Pada awalnya memang anak hanya memperhatikan
gambar-gambar yang ada pada buku tersebut. Namun, apabila orang tua
kadang-kadang membacakan cerita yang ada di samping gambar-gambar
tersebut, hal itu secara tidak langsung mengajarkan kepada anak tentang
susunan ceritanya.
Selain kegiatan membaca yang dilakukan orang tua, acara acara
televisi ada yang bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan membaca.
Sebagai contoh dora dan A Ba Ta Tsa (Neno Warisman). Melalui kegiatan-
kegiatan tersebut anak-anak secara tidak langsun mempelajari tulisan-tulisan
yang mengandung informasi yang mereka peroleh. Ada beberapa fase
perkembangan membaca, yaitu:
− Fase pramembaca (3-6 tahun) anak-anak mengenal huruf dan mempelajari
perbedaan huruf dan angka. Kebanyakan anak akan mengenal nama jika
ditulis.
− Fase ke-1 (7-8 tahun) kira-kira anak kelas dua, anak-anak memperoleh
pengetahuan tentang huruf, suku kata, dan kata sederhana melalui cerita.
− Fase ke-2 kira-kira kelas tiga dan empat anak-anak dapat menganalisis
kata-kata yang tidak diketahuinya menggunakan pola tulisan.

77
− Fase ke-3 dari kelas empat sampai kelas dua SMP, anak dapat memahami
bacaan.
− Fase ke-4 pada akhir SMP sampai SMA anak mampu mneyimpulkan dan
mengenal maksud penulisan dalam bacaan.
− Fase ke-5 pada tingkat perguruan tinggi dan seterusnya, orang dewasa
dapat mengintegrasikan hal-hal yang dibaca dan menanggapi materi
bacaan secara kritis.
5) Persiapan membaca permulaan
Berbagai tahapan dalam membaca permulaan perlu diketahui oleh
para guru. Tahapan-tahapan ini akan mengarahkan para guru untuk
melaksanakan pembelajaran sesuai dengan yang disarankan oleh para ahli.
Berikut dijelaskan tahapan-tahapan dalam membaca permulaan:
a. Darmiyati dan Budiasih menjelaskan bahwa membaca permulaan
diberikan secara bertahap. Pertama, pramembaca. Pada tahap ini, siswa
diajarkan: (1) sikap duduk yang baik, (2) cara meletakan/menempatkan
buku di meja, (3) cara memegang buku, (4) cara membalik halaman buku
yang tepat, dan (5) melihat/memperhatikan gambar atau tulisan. Kedua,
membaca. Pada tahap ini, siswa diajarkan : (a) lafal dan inotasi data dan
kalimat sederhana (menirukan guru), (b) huruf-huruf yang banyak
digunakan dalam kata dan kalimat sederhana yang sudah dikenal siswa
(huruf-huruf diperkenalkan secara bertahap sampai pada 14 huruf
(Darmiyati dan Budiasih, 1997)
b. Menurut Supriyadi, dkk., seorang guru mengajarkan membaca
permulaan anak dapat dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai
berikut: (1) latihan lafal, baik vokal maupun konsonan; (2) latihan
nada/lagu ucapan; (3) latihan penguasaan tanda-tanda baca; (4) latihan
pengelompokkan kata/frase ke dalam satuan-satuan ide (pemahaman);
(5) latihan kecepatan mata; (6) latihan ekspresi (membaca dnegan
perasaan) (Supriyadi, 1992).
c. Sabarti Akhidah menyebutkan lima langkah dalam membaca permulaan,
yaitu: (1) menentukan tujuan pokok bahasan yang akan diberikan; (2)
mengembangkan bahan pengajaran (kartu huruf, kartu kata, kartu
kalimat); (3) cara penyamapaiannya (cara mengaktifkan dan metode yang
digunakan); (4) tahap latihan (menggunakan kartu huruf dan siswa juga
bisa dikelompokkan); (5) evaluasi (merefleksi pembelajaran dan menilai
kemampuan membaca permulaan siswa) (Sabarti, 1993)
6) Faktor yang menyebabkan anak kesulitan membaca permulaan
Membaca merupakan proses memperoleh makna dari barang cetak
(Spodek dan Sacacho, 1994 dalam http://digilib.unnes.ac.id). Dalam praktek
lapangan, banyak kita jumpai pada anak usia SD, terutama di kelas rendah

78
masih terhitung banyak siswa yang mengalami kesulitan belajar dalam hal
membaca bacaan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor
internal (yang berasal dari diri pembaca) maupun faktor eksternal (yang
berasal dari luar diri pembaca). Faktor internal antara lain meliputi: minat
baca, kepemilikan kompetensi pembaca, motivasi dan kemampuan
pembacanya. Sedangkan faktor eksternal antara lain meliputi unsur-unsur
yang berasal dari lingkungan baca.
Faktor Internal
− Minat baca Minat merupakan kegiatan siswa dengan penuh
kesadaran terhadap suatu objek, oleh karena itu minat perlu
dikembangkan dan dilatih dengan pembiasaan- pembiasaan terus
menerus. Jika minat baca anak rendah maka tingkat keberhasilan
anak dalam membaca akan sulit tercapai. Minat baca anak harus
ditumbuhkembangkan sejak dini. Dan untuk membangkitkan minat
baca siswa, guru harus memberikan motivasi dan bimbingan pada
diri siswa.
− Motivasi Kegiatan pembelajaran akan berhasil dan tercapai
tujuannya jika dalam diri siswa tertanam motivasi. Motivasi dalam
proses pembelajaran berfungsi untuk: (1) fungsi membangkitkan
(arousal function) yaitu mengajak siswa belajar, (2) fungsi harapan
(expectasi function) yaitu apa yang harus bisa dilakukan setelah
berakhirnya pengajaran, (3) fungsi intensif (incentive function) yaitu
memberikan hadiah pada prestasi yang akan datang, (4) fungsi
disiplin (disciplinary function) yaitu menggunakan hadiah dan
hukuman untuk mengontrol tingkah laku yang menyimpang (Abd.
Rachman, 1993 : 115 dalam http://digilib.unnes.ac.id)
− Kepemilikan Kompetensi Membaca Keterampilan berbahasa ada
empat, yaitu : keterampilan membaca, berbicara, menyimak dan
menulis. Keterampilan dalam membaca diperlukan latihan- latihan
tahap demi tahap. Kegiatan membaca terkait dengan pengenalan
huruf, bunyi dan huruf atau rangkaian kata, makna atau maksud dan
pemahaman terhadap makna atau maksud. Jika kegiatan membaca
tidak dilakukan secara teratur maka keterampilan membaca yang
dimiliki anak akan berkurang dengan sendirinya.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal ini meliputi unsur-unsur yang berasal dari
lingkungan baca. Dalam hal ini sekolah sebagai pusat kebudayaan harus
menciptakan siswa yang gemar membaca melalui perpustakaan sekolah.
Sekolah harus dapat menciptakan suasana perpustakaan yang

79
menyenangkan dan memberi kenyamanan siswa dalam belajar. Lingkungan
baca sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan membaca anak. Lingkungan
baca anak yang menyenangkan akan memberi kenyamanan bagi si pembaca
dan mempermudah anak dalam membaca.
7) Kesulitan yang dihadapi anak dalam membaca permulaan
Dalam pelaksanaan pengajaran membaca, guru seringkali dihadapi
pada anak yang mengalami kesulitan belajar membaca khususnya di kelas
rendah. Kesulitan-kesulitan tersebut antara lain: (a) kurang mengenali huruf
dan (b) ketidakmampuan anak dalam mengenal huruf-huruf alfabetis
seringkali dijumpai oleh guru yang sulit membedakan huruf besar/kapital
dan huruf kecil. Ketidakmampuan tersebut adalah sebagai berikut.
− Membaca kata demi kata. Jenis kesulitan ini biasanya berhenti membaca
setelah membaca sebuah kata, tidak segera diikuti dengan kata berikutnya.
Hal ini disebabkan oleh gagal menguasai keterampilan pemecahan kode
(decoding), gagal memahami makna kata, dan kurang lancar membaca.
− Parafase yang salah. Dalam membaca anak seringkali melakukan
pemenggalan (berhenti membaca) pada tempat yang tidak tepat atau tidak
memperhatikan tanda baca, khususnya tanda koma.
− Miskin pelafalan. Ketidaktepatan pelafalan kata disebabkan anak tidak
menguasai bunyi-bunyi bahasa (fonem).
− Penghilangan. Penghilangan yang dimaksud adalah menghilangkan (tidak
dibaca) kata atau frasa dari teks yang dibacanya. Biasanya disebabkan
ketidakmampuan anak mengucapkan hurufhuruf yang membentuk kata.
− Pengulangan. Kebiasaan anak mengulangi kata atau frasa dalam membaca
disebabakan oleh faktor tidak mengenali kata, kurang menguasai huruf,
bunyi, atau rendah keterampilannya.
− Pembalikan. Beberapa anak melakukan kegiatan membaca dengan
menggunakan orientasi dari kanan ke kiri. Kata nasi dibaca isan. Selain itu,
pembalikan juga dapat terjadi dalam membunyikan huruf-huruf, misal
huruf b dibaca d, huruf p dibaca g. Kesulitan ini biasanya dialami oleh
anak-anak kidal yang memiliki kecenderungan menggunakan orientasi
dari kanan ke kiri dalam membaca dan menulis.
− Penyisipan. Kebiasaan anak untuk menambahkan kata atau frase dalam
kalimat yang dibaca juga dipandang sebagai hambatan dalam membaca,
misalnya, anak menambah kata seorang dalam kalimat “anak sedang
bermain”.
− Penggantian. Kebiasaan mengganti suatu kata dengan kata lain disebabkan
ketidakmampuan anak membaca suatu kata, tetapi dia tahu dari makna
kata tersebut. Misalnya, karena anak tidak bisa membaca kata mengunyah
maka dia menggantinya dengan kata makan.

80
− Menggunakan gerak bibir, jari telunjuk dan menggerakkan kepala.
Kebiasaan anak menggerakkan bibir, menggunakan telunjuk dan
menggerakan kepala sewaktu membaca dapat menghambat
perkembangan anak dalam membaca.
− Kesulitan konsonan. Kesulitan dalam mengucapkan bunyi konsonan
tertentu dan huruf yang melambangkan konsonan tersebut.
− Kesulitan vocal. Dalam bahasa Indonesia, beberapa vokal dilambangkan
dalam satu huruf, misalnya e selain melambangkan bunyi e juga
melambangkan bunyi é (dalam kata keras, kepala, kerang, telah dan
sebagainya) huruf-huruf yang melambangkan beberapa bunyi seringkali
menjadi sumber kesulitan anak dalam membaca.
− Kesulitan kluster, diftong dan digraph. Dalam bahasa Indonesia dapat
dijumpai adanya kluster (gabungan dua konsonan atau lebih), diftong
(gabungan dua vokal), dan digraf (dua huruf yang melambangkan satu
bunyi). Ketiga hal tersebut merupakan sumber kesulitan anak yang sedang
belajar membaca.
− Kesulitan menganalisis struktur kata. Anak seringkali mengalami kesulitan
dalam mengenali suku kata yang membangun suatu kata. Akibatnya anak
tidak dapat mengucapkan kata yang dibacanya.
− Tidak mengenali makna kata dalam kalimat dan cara mengucapkannya. Hal ini
disebabkan kurangnya penguasaan kosakata, kurangnya penguasaan
struktur kata dan penguasaan unsur konteks (kalimat dan hubungan antar
kalimat).
8) Bimbingan untuk Mengatasi Kesulitan Anak dalam Membaca Permulaan
Peran guru sebagai fasilitator sangat berpengaruh besar terhadap
perkembangan peningkatan belajar anak. Keberhasilan belajar anak tidak
lepas dari cara guru membimbing dan mendidik siswanya. Bimbingan yang
harus dilakukan guru dalam menghadapi anak yang mengalami kesulitan
membaca antara lain :
− Bimbingan terhadap anak yang kurang mengenali huruf Langkah yang
harus ditempuh guru dalam membantu anak yang mengalami kesulitan
kurang mengenali huruf ini dapat berupa: huruf dijadikan bahan
nyanyian; menampilkan huruf dan mendiskusikan bentuk
(karakteristiknya) khususnya huruf-huruf yang memiliki kemiripan
bentuk (misalnya p, b, dan d).
− Bimbingan terhadap anak yang membaca kata demi kata Langkah yang
dilakuan guru untuk mengatsi anak yang mengalami kesulitan jenis ini
adalah: Gunakanlah bacaan yang tingkat kesulitannya rendah; Anak
disuruh menulis kalimat dan membacanya dengan keras; Jika kesulitan ini
disebabkan oleh kurangnya penguasaan kosakata, maka perlu pengayaan

81
kosakata; serta Jika anak tidak menyadari bahwa dia membaca kata demi
kata, rekamlah kegiatan anak membaca dan putarlah hasil rekaman
tersebut.
− Bimbingan terhadap anak yang salah memparafrase. Langkah yang
dilakukan untuk mengatasi kesulitan ini yaitu dengan cara: Jika kesalahan
disebabkan ketidaktahuan anak terhadap makna kelompok kata (frasa),
sajikan sejumlah kelompok kata dan latihkan cara membacanya; Jika
kesalahan disebabkan oleh ketidaktahuan anak tentang tanda baca,
perkenalkan fungsi tanda baca dan cara membacanya; Berikan paragraf
tanpa tanda baca, suruhlah anak untuk membacanya; serta selanjutnya
ajaklah anak untuk menuliskan tanda baca pada paragraf tersebut.
− Bimbingan terhadap anak yang miskin pelafalan. Untuk mengatasi
kesulitan pelafalan, guru dapat menggunakan cara berikut: Bunyi-bunyi
yang sulit diucapkan perlu diajarkan secara tersendiri; Bagi anak yang
tidak dapat mengucapkan kata secara tepat berikan latihan khusus
pengucapan kata-kata tertentu yang dipandang sulit.
− Bimbingan terhadap anak yang mengalami penghilangan kata Untuk
mengatasi hal ini ditempuh cara: Anak disuruh membaca ulang; Kenali
jenis kata atau frasa yang dihilangkan; Berikan latihan membaca kata atau
frasa.
− Bimbingan terhadap anak yang sering mengulangi kata Upaya yang
dilakukan guru dalam hal ini antara lain: Anak perlu disadarkan bahwa
mengulang kata dalam membaca merupakan kebiasaan buruk; Kenali jenis
kata yang sering diulang; Siapkan kata atau frasa jenis untuk dialatihkan.
− Bimbingan terhadap anak yang sering melakukan pembalikan kata. Upaya
mengatasi kesulitan ini dapat dikukuhkan dengan cara sebagai berikut:
Anak perlu disadarkan bahwa membaca (dalam bahan yang
menggunakan sistem alfabetis) menggunakan orientasi dari kiri ke kanan;
Bagi anak yang kurang menguasai hubungan huruf-bunyi, siapkan kata-
kata yang memiliki bentuk serupa untuk dilatihkan; serta Latihan
hendaknya dilakukan dalam bentuk kata yang bermakna, misalnya : huruf
p dan b dilatihkan dengan menggunakan kata pagi dan bagi.
− Bimbingan terhadap anak yang memiliki kebiasaan menyisipkan kata.
Untuk mengatasi hal ini, bimbinglah anak dengan menyuruh anak
membaca dengan pelan-pelan dan mengingatkan bahwa dia telah
menambahkan kata dalam membaca.
− Bimbingan terhadap anak yang memiliki kebiasaan mengganti suku kata.
Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan dengan cara: Gunakan bahan
bacaan yang teramsuk kategori mudah; Identifikasi kata-kata yang sulit
diucapkan oleh anak; Latihkan cara mengucapkan kata-kata tersebut.

82
− Bimbingan terhadap anak yang memiliki kebiasaan menggunakan gerak
bibir, jari telunjuk dan menggerakan kepala. Untuk mengubah kebiasaan
anak yang selalu menggerakkan bibir sewaktu membaca dalam hati, dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut: Anak disuruh mengumumkan
suatu kalimat, selanjutnya suruh anak untuk mengulangi membaca
kalimat tersebut tanpa mengunyam; Jelaskan pada anak bahwa membaca
mengunyam dapat menghambat keefektifan membaca. Sedangkan untuk
menghadapi anak yang menggunakan jari telunjuk dalam membaca, dapat
dilakukan kegiatan: Perhatikan apakah anak mengalami gangguan mata;
Gunakan bacaan yang cetakannya besar dan jelas; Latihkan teknik
membaca prosa; dan Peringkatkan anak untuk tidak menggunakan jari
telunjuk dalam membaca.
− Bimbingan terhadap anak yang kesulitan mengucapkan bunyi konsonan
dapat dilakukan bimbingan antara lain: Kembangkan anak dalam
mendengarkan konsonan yang sulit misalnya tuliskan kata-kata yang
dimulai dengan konsonan (depan, adat, dapat, diri dan sebagainya); Suruh
anak mencari dan mengumpulkan kata yang didalamnya terkandung
konsonan tersebut; Latihkan anak mengucapkan kata-kata yang di
dalamnya terkandung Konsonan.
− Bimbingan terhadap anak yang mengalami kesulitan vokal, untuk
mengatasi anak yang mengalami kesulitan ini dapat dilakukan: Tanamkan
pengertian pada diri anak bahwa huruf-huruf tertentu dalam
melambangkan lebih dari satu bunyi misalnya : huruf e dapat
melambangkan bunyi e dan é; Berikan contoh huruf e yang melambangkan
bunyi e dan é dalam kata-kata; Ajaklah anak mengumpulkan kata yang di
dalamnya terkandung huruf tersebut.
− Bimbingan terhadap anak yang mengalami kesulitan kluster, diftong dan
digraph. Untuk mengatasi kesulitan ini lakukan: Kenalkan kluster
(misalnya st, kl, gr, pr, sw), diftong (misalnya ai, oi, ui) dan digraf
(misalnya sy, ng, kh, dan ny) dalam kata atau kalimat; Tuliskan kata atau
kalimat yang mengandung kluster, diftong, dan digraf.
− Mintalah anak untuk mengumpulkan kata-kata yang di dalamnya
terkandung kluster, diftong, dan digraf; Perintahkan anak membacakan
kata-kata yang telah dikumpulkan.
− Bimbingan terhadap anak yang kesulitan menganalisis struktur kata
Untuk mengatasi kesulitan ini lakukanlah: Catatlah kata-kata yang
seringkali dipandang sulit untuk diucapkan oleh anak; Perkenalkan kata-
kata yang seringkali dipandang sulit untuk diucapkan oleh anak;
Perkenalkan kata-kata tersebut kepada anak dengan memanfaatkan

83
metode yang ada; Suruhlah anak mencari kata-kata lain yang sejenis dan
membacanya.
− Bimbingan terhadap anak yang sulit mengenali makna kata dalam kalimat
dan cara mengucapkannya. Untuk mengatasi anak yang mengalami
kesulitan ini lakukan: Ambil satu kata dan daftarkan kata turunannya
(misalnya kata : membaca, membacakan, dibaca, dibacakan, bacaan, dan
terbaca).
− Bimbinglah anak untuk mengenali kata baca dan turunannya yang
terdapat dalam bacaan tersebut. Alihkan pada kata lain (misalnya kata
tulis, gambar, makan, lari dan sebagainya).
h) Indikator Membaca di Kelas Tinggi
1) Pengertian Membaca di Kelas Tinggi
Pembelajaran membaca pada kelas tinggi (kelas 4,5,6) merupakan
pembelajaran membaca lanjutan. Pembelajaran membaca lanjutan diberikan
di kelas IV, V, VI yang bertujuan agar siswa memiliki kemampuan menyimak,
menginterpretasi, mengevaluasi, memahami ide pokok dari suatu bacaan.
Membaca pemahaman (reading for understanding) adalah sejenis membaca
yang bertujuan untuk memahami: Standar atau norma-norma sesastraahn
(letery standards); Resensi kritis (critical review); Drama tulis (printed drama);
serta Pola-pola fiksi (patterns of fiction).
Membaca pemahaman adalah suatu proses untuk mengenali atau
mengidentifikasi teks, kemudian mengingat kembali isi teks. Membaca
pemahaman juga dapat berarti sebagai suatu kegiatan membuat urutan
tentang uraian/menggorganisasi isi teks, bisa mengevaluasi sekaligus dapat
merespon apa yang tersurat atau tersirat dalam teks. Pemahaman
berhubungan laras dengan kecepatan. Pemahaman atau comprehension,
adalah kemampuan membaca untuk mengerti: ide pokok, detail penting, dan
seluruh pengertian.
2) Tujuan Membaca di Kelas Tinggi
Tujuan utama dalam membaca adalah mendapatkan informasi yang
tepat dan benar. Hal ini ditegaskan oleh Rahim (2007: 11) membaca bertujuan
untuk mendapatkan informasi atau pesan dari teks. Membaca dengan tujuan,
cenderung lebih memahami dibandingkan dengan yang tidak mempunyai
tujuan. Menurut Tarigan (2008: 9) tujuan utama dalam membaca adalah
untuk mencari serta memperoleh informasi, mencakup isi, memahami
makna, arti (meaning) erat sekali hubungannya dengan maksud tujuan atau
intensif kita dalam membaca.
Hal ini sesuai pendapat Nurhayati (2009: 4) bahwa tujuan membaca
mempunyai kedudukan yang sangat penting karena akan berpengaruh pada
proses membaca dan pemahaman membaca. Resmini (2006: 94) menjelaskan

84
bahwa pembelajaran membaca harus mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan
tersebut yaitu:
− Menikmati keindahan yang terkandung dalam bacaan.
− Membaca bersuara memberikan kesempatan kepada siswa
menikmati bacaan.
− Menggunakan strategi tertentu untuk memahami bacaan.
− Menggali simpanan pengetahuan atau schemata siswa tentang suatu
topik.
− Menghubungkan pengetahuan baru dengan schemata siswa.
− Mencari informasi untuk pembuatan laporan yang akan disampaikan
dengan lisan dan tertulis.
− Melakukan penguatan dan penolakan terhadap ramalanramalan
yang dibuat oleh siswa sebelum melakukan perbuatan membaca.
− Memberikan kesempatan kepada siswa melakukan eksperimentasi
untuk meneliti sesuatu yang dipaparkan dalam sebuah bacaan.
− Mempelajari struktur bacaan.
− Menjawab pertanyaan khususnya yang dikembangkan oleh guru
atau sengaja diberikan oleh penulis bacaan.
Berdasarkan beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa tujuan
membaca adalah mendapatkan informasi dari bacaan sesuai dengan tujuan
masing-masing pembaca. Membaca dengan suatu tujuan, cenderung lebih
memahami dibandingkan dengan orang yang tidak mempunyai tujuan
dalam membaca, dan akan dengan mudah memperoleh banyak pengetahuan
tentang isi, makna, arti dari suatu bahan bacaan.
3) Tahap Pembelajaran Membaca di Kelas Tinggi
Dalam proses pembelajaran khususnya di kelas tinggi ada beberapa
hal yang mendasari sistem pengajaran tersebut yaitu:
Tahap Menyimak. Dalam kegiatan menyimak ada tahapan yang harus
dilakukan oleh penyimak agar penyimak benar-benar memahami informasi
yang disimaknya. Tahapan itu adalah:
− Tahap mendengar
− Dalam tahap ini, kita baru mendengar segala sesuatu yang
dikemukakan oleh sang pembicara dalam ujaran atau
pembicaraannya. Jadi kita masih berada dalam tahap hearing.
− Tahap memahami
− Setelah kita mendengar, akan ada keinginan bagi kita untuk mengerti
atau memahami dengan baik isi pembicaraan yang disampaikan oleh
sang pembicara. Maka sampailah, kita dalam tahap pemahaman.
− Tahap menginterpretasi

85
− Dalam tahap ini, penyimak yang baik, yang cermat dan teliti, belum
puas kalau hanya mendengar dan memahami isi ujaran sang
pembicara; dia ingin menafsirkan atau rnenginterpretasikan isi,
butirbutir pendapat yang terdapat dan tersirat dalam ujaran itu.
Dengan demikian, sang penyimak telah tiba pada tahap interpreting.
− (d)Tahap mengevaluasi
− Setelah memahami serta dapat menafsir atau menginterpretasikan isi
pembicaraan, sang penyimak pun mulailah menilai atau
mengevaluasi pendapat serta gagasan sang pembicara, di mana
keunggulan dan kelemahan, di mana kebaikan dan kekurangan sang
pembicara; maka dengan demikian sudah sampai pada tahap
evaluating.
Tahap Menanggapi
− Tahap ini merupakan tahap terakhir dalam kegiatan menyimak; sang
penyimak menyambut, mencamkan, menyerap serta menerima
gagasan atau ide yang dikemukakan oleh sang pembicara dalam
ujaran atau pembicaraannya; sang penyimak pun sampailah pada
tahap menanggapi (responding). Tanggapan dapat berupa penolakan
atau pendapat.
4. KETERAMPILAN MENULIS
a) Pengertian Menulis
Menulis merupakan salahsatu keterampilan berbahasa, menulis
merupakan sebuah kegiatan untuk menuangkan ide atau gagasan ke dalam
sebuah tulisan. Menulis adalah sebuah proses, yaitu proses penuangan
gagasan atau ide ke dalam bahasa tulis yang dalam praktiknya proses
menulis diwujudkan dalam beberapa tahapan yang merupakan sistem yang
utuh. Menulis, seperti juga halnya ketiga keterampilan berbahasa lainnya,
merupakan suatu proses perkembangan. Menulis menuntut pengalaman,
waktu, kesempatan, pelatihan keterampilan-keterampilan khusus, dan
pengajaran langsung menjadi penulis.
b) Prinsip Keterampilan Menulis
Dalam rangka mewujudkan pembelajaran menulis yang harmonis,
bermutu, dan bermartabat, harus diketahui terlebih dahulu prinsip-prinsip
pembelajaran menulis. Diharapkan prinsip-prinsip ini akan menjadi
pedoman bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran menulis sehingga
mencapai tujuan yang dicita-citakan. Prinsip-prinsip pembelajaran menulis
tersebut dikemukakan Brown (2001) sebagai berikut:
− Pembelajaran menulis harus merupakan pelaksanaan praktik menulis
yang baik. Dalam hal ini guru harus membiasakan siswa menulis
dengan mempertimbangkan tujuan, memerhatikan pembaca,

86
menyediakan waktu yang cukup untuk menulis, menerapkan teknik
dan strategi menulis yang tepat, dan melaksanakan menulis sesuai
dengan tahapan penulisan.
− Pembelajaran menulis harus dilaksanakan dengan menyeimbangkan
antara proses dan produk.
− Pembelajaran menulis harus memperhitungkan latar belakang budaya
literasi siswa.
− Pembelajaran menulis harus senantiasa dilaksanakan dengan
menggunakan pendekatan whole language khususnya
menggabungkan antara membaca dan menulis.
− Pembelajaran menulis harus dilaksanakan dengan menerapkan
kegiatan menulis otentik seoptimal mungkin, menulis otentik adalah
menulis yang bermakna bagi siswa sekaligus dibutuhkan siswa dalam
kehidupannya sehari-hari.
− Pembelajaran menulis harus dilaksanakan dalam tiga tahapan yakni
tahap pramenulis, tahap menulis, dan tahap pascamenulis.
− Gunakan strategi pembelajaran menulis interaktif, kooperatif, dan
kolaboratif.
− Gunakan strategi yang tepat untuk mengkoreksi kesalahan siswa
dalam menulis.
− Pembelajaran menulis harus dilakukan dengan terlebih dahulu
menjelaskan aturan penulisan misalnya jenis tulisan, konvensi tulisan,
dan retorika menulis yang bagaimana yang harus digunakan siswa
selama tugas menulis.
Tulisan yang dibuat siswa haruslah tulisan otentik yang bermakna dan
bermanfaat bagi siswa. strategi pembelajaran interaktif, kolaboratif, dan
kooperatif merupakan strategi yang memungkinkan siswa menulis secara
tepat. Selanjutnya guru harus pula memberikan pengetahuan yang memadai
tentang jenis tulisan, konvensi penulisan, retorika dalam menulis sehingga
siswa mampu menulis sesuai dengan tujuan. Terakhir peran guru dalam
memberikan umpan balik pada siswa sangat diperlukan. Guna melaksanakan
peran ini guru harus memanfaatkan penilaian otentik atau penilaian formatif
dalam pembelajaran menulis. Selain beberapa prinsip di atas, masih terdapat
beberapa prinsip lain pembelajaran menulis. Beberapa prinsip tersebut
adalah sebagai berikut:
− Pembelajaran menulis hendaknya meneraokan pola tulis, pikir,
kontrol, agar siswa terbiasa menulis dan mau menulis.
− Pembelajaran menulis hendaknya memiliki tujuan jangka panjang agar
siswa kreatif menulis.

87
− Pembelajaran menulis hendaknya diikuti dengan penyediaan sarana
publikasi tulisan sehingga siswa lebih termotivasi menulis.
− Pembelajaran menulis hendaknya disertai bentuk penilaian formatif
yang tepat sehingga guru dapat secara tepat sasaran memperbaiki
kelemahan siswa dalam menulis.
− Pembelajaran menulis hendaknya menekankan kreativitas siswa
dalam menulis meliputi kemampuannya menulis secara orisinal,
lancar, luwes, dan bermanfaat.
− Pembelajaran menulis hendaknya dilengkapi dengan pemanfaatan
teknologi dalam menulis.
Bertemali dengan prinsip-prinsip pembelajaran menulis di atas, guru
harus benar-benar meningkatkan kompetensinya dalam hal menulis.
Kompetensi yang dimaksud adalah kemampuannya menulis secara langsung
dan pengetahuannya tentang teori menulis. Selain itu, guru harus secara
kreatif menciptakan proses pembelajaran menulis yang mendorong motivasi
intrinsik siswa berkembang sehingga siswa terpacu untuk mau dan bisa
menulis. Yang tak kalah penting adalah guru harus menerapkan proses
pembelajaran menulis secara tepat berbasis proses menulis yang
sesungguhnya.

D. Latihan
Setelah Bapak/Ibu membaca dan memahami materi utama dan penunjang.
Langkah selanjutnya agar supaya terlatih dan lebih memahami kegiatan belajar
KB 2, silahkan bapak/Ibu mengerjakan tugas berikut:
“Homonim, Homofon, dan Homograf”
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai penggunaan
suatu kata yang memiliki makna berbeda, tetapi lafal dan ejaannya
sama. Untuk hal demikian, kita sebut sebagai homonim. Ada juga kata
yang diucapkan sama dengan kata lain, tetapi berbeda ejaan dan
maknanya. Untuk hal ini, kita menyebutnya homofon. Sementara kata
yang ejaannya dengan kata lain, tetapi berbeda lafal dan maknanya
disebut homograf. Buatlah masing-masing 3 contoh homonim,
homofon, dan homograf beserta. Buat juga penerapannya dalam suatu
kalimat berpola SPOK (Subjek, Predikat, Objek, dan Keterangan).
1. Mengkategorikan berbicara sebagai suatu keterampilan berbahasa.
Kasus:
Bacalah teks berikut!
Bu Siti meminta setiap siswa menceritakan gambar seri
yang dipajangnya di depan kelas. Berdasarkan tugas tersebut,

88
sebagian besar siswa kurang lancar dan kurang percaya diri dalam
menceritakan gambar. Dengan demikian, tujuan pembelajaran
yang dirumuskan Bu Siti belum dapat tercapai dengan baik.
Berdasarkan kenyataan itu, Bu Siti harus menciptakan proses
pembelajaran yang dapat membantu permasalahan yang dihadapi
sebagian besar siswanya.
Perintah:
a. Analisislah permasalahan yang dihadapi siswa pada kasus di atas sehingga
mereka kurang lancar dan kurang percaya diri dalam menceritakan gambar!
b. Tentukan pula proses pembelajaran yang efektif yang dapat dilakukan Bu
Siti dalam membantu permasalahan sebagian besar siswanya!

2. Menegaskan keterampilan membaca di kelas rendah dan kelas tinggi dan


menyimpulkan jenis-jenis membaca melalui sebuah kasus.
Kasus:
Bacalah teks berikut!
Beni adalah siswa kelas V Sekolah Dasar (SD). Ia
ditugaskan membaca teks yang ada di buku siswa. Beni membaca
teks dengan suara keras dan tangan menunjuk setiap baris bacaan.
Guru membiarkan cara Beni membaca yang demikian. Setelah
membaca teks, Beni diminta menjawab soal-soal yang
berhubungan dengan isi teks. Hasil analisis jawaban Beni,
diperoleh bahwa Beni hanya benar 2 dari 5 soal yang diberikan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Beni mempunyai
kemampuan yang rendah dalam memahami isi teks.
Perintah:
a. Analisislah kesalahan Beni dalam membaca teks seperti kasus di atas
sehingga ia mempunyai kemampuan yang rendah dalam memahami isi
bacaan!
b. Kemukakan pula teknik membaca yang tepat yang harus dilakukan Beni
agar pemahaman terhadap isi teks yang dibaca meningkat!

3. Mengkategorikan menyimak sebagai suatu keterampilan berbahasa.


Kasus:
Bacalah teks berikut!
Pak Udin mengajar di kelas V SD. Pada suatu ketika, pak
Udin mengajarkan mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan topic
bercerita fiksi (dongeng) tentang anak durhaka. Materi tersebut

89
disampaikan dengan teknik bercerita diselingi Tanya jawab
tentang anak durhaka yang tidak mengakui ibu kandungnya
sendiri. Selama proses pembelajaran berlangsung, pak Udin
melihat beberapa siswa kurang berminat untuk mengikuti
pelajaran, mereka terlihat bercanda dengan kawan sebelahnya.
Namun, pak Udin kurang peduli terhadap anak yang kurang
perhatian tersebut. Setelah kegiatan belajar berlangsung sekitar 40
menit, pak Udin mengakhiri ceritanya dan memberikan
pertanyaan tertulis kepada siswa yang berkaitan dengan materi
yang diceritakan tadi. Pada saat mengerjakan tugas tersebut,
beberapa siswa terlihat saling bertanya tentang jawaban dari
pertanyaan yang diajukan. Pak Udin sendiri kurang peduli
terhadap apa yang dilakukan siswa ketika menjawab pertanyaan.
Pada saat pelajaran selesai, pak Udin langsung memerintahkan
kepada siswa untuk segera mengumpulkan pekerjaannya.
Perintah:
Cara mengajar pak Udin di atas kurang tepat. Sebutkan langkah-langkah
yang seharusnya dilakukan oleh pak Udin agar proses pembelajaran berjalan
secara efektif!

4. Mengkategorikan menulis sebagai suatu keterampilan berbahasa.


Kasus:
Bacalah teks berikut dengan teliti!
Siswa kelas V menulis deskripsi tentang benda-benda di
sekitar. Setelah siswa selesai menulis, hasil tulisan siswa langsung
dikumpulkan dan dinilai. Berdasarkan perolehan nilai hasil
tulisan, sebagian besar tulisan siswa kurang menggambarkan
deskripsi benda secara utuh. Banyak bagian benda yang belum
dideskripsikan dengan baik. Berdasarkan permasalahan ini
disimpulkan bahwa siswa belum mampu menulis deskripsi sesuai
dengan tujuan pembelajaran yang ditetapkan.
Perintah:
a. Analisislah kesulitan yang dihadapi siswa ketika menulis deskripsi
berdasarkan ilustrasi kasus di atas!
b. Tentukan pula proses pembelajaran yang efektif yang dapat dilakukan guru
agar siswa mampu mendeskripsikan benda secara utuh!
c. Apakah pembelajaran di atas dapat mengadopsi salah satu dari indikator
moderasi beragama? Jelaskan pendapat saudara!

90
E. Referensi Tambahan
Untuk lebih jelasnya Bapak/Ibu dapat mempelajari materi penunjang KB
2 melalui tautan mengenai dibawah ini. Selamat belajar semoga bermafaat.
● Artikel/Jurnal/Buku/Modul:
1. https://nasiroh-ilmu.blogspot.com/2011/01/tahap-tahap-
pemerolehan-bahasa.html,
2. https://obsesi.or.id/index.php/obsesi/article/download/160/118,
https://journal.iain-
samarinda.ac.id/index.php/lentera_journal/article/view/429
3. http://research.unissula.ac.id/file/publikasi/211315023/3959t__PEME
ROLEHAN_BAHASA_PADA_ANAK.pdf,
● Video:
1. https://www.youtube.com/watch?v=TVrTQtD_4XM,
2. https://www.youtube.com/watch?v=oO_ijdIzLtc
3. https://www.youtube.com/watch?v=IOuYyiYgR98
4. https://www.youtube.com/watch?v=-smPsBInmxA
5. https://www.youtube.com/watch?v=bCUdwZ3pnuo
Selain materi di atas Bapak/Ibu dapat menambah pengayaan materi
melalui sumber lain yang berkaiatan dengan materi tersebut sehingga
pemahaman Bapak/Ibu menjadi lebih baik.

91

Anda mungkin juga menyukai