Anda di halaman 1dari 16

BUNYI BAHASA DAN TATA BUNYI

MAKALAH Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kapita Selekta Dosen : PRANA D. ISWARA, M.Pd

Disusun Oleh: Kelompok 03 Ade Listiyana S Cucu Yuliawati Rini Siti Nuraeni 0903131 (23) 0903137 (05) 0903119 (07)

PROGRAM S1 KELAS PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR UPI KAMPUS SUMEDANG 2010

PEMBAHASAN BUNYI BAHASA DAN TATA BUNYI

Bunyi bahasa merupakan bunyi, yang merupakan perwujudan dari setiap bahasa, yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang berperan di dalam bahasa. Bunyi bahasa adalah bunyi yang menjadi perhatian para ahli bahasa. Bunyi bahasa ini merupakan sarana komunikasi melalui bahasa dengan cara lisan. Dalam pembentukan bunyi bahasa ada tiga faktor utama yang terlibat, yaitu (1) sumber tenaga, (2) alat ucap penghasil getaran, dan (3) rongga pengubah getaran. Makna bunyi hanya ada dalam fonemik (fonologi) dengan demikian berdasarkan ada tidaknya makna bunyi (fon) maka fonologi dibagi atas fonetik dan fonemik. Fonetik mengkaji bunyi (fon) tanpa menghiraukan apakah bunyi itu bermakna atau tidak. Sedang fonemik mengkaji bunyi yang bermakna saja (fonem). Contoh fonem adalah /a/, /b/, /c/, /d/, ... /x/, /y/, /z/. Selain itu ada pula alofon misalnya alofon /k/ adalah /?/ (glotal stop), dan seterusnya. Jadi ada perbedaan antara fonetik dan fonemik. Fonetik menyelediki perbedaan tanpa memperhatikan fungsi/makna bunyi tersebut. Fonemik menyelidiki bunyi bahasa menurut fungsinya/maknanya. Fonemik mengkaji bunyi bahasa yang membedakan makna yang dipunyai oleh morfem tertentu perbedaan makna kata yang disebabkan oleh fonem yang berbeda itu bisa dijelaskan dengan menggunakan pasangan minimial (minimal paira). Contoh pasangan minimal terdapat pada contoh berikut ini /baku/ /paku/ Fonem /b/ dan /f/ membedakan makna kata baku dan faku /aci/ /aji/ Makna kata /aci/ berbeda dengan kata /aji/ karena fonem /c/ dan /j/ berbeda

/kami/

/kamu/

Fonem /i/ dan /u/ membedakan makna kata kami dan kamu

Beberapa konsep yang perlu diketahui adalah: 1. Vokal dan konsonan 2. Diftong dan gugus konsonan 3. Fonem dan grafem

1. Vokal dan Konsonan a. Vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak mengalami rintangan dan kualitasnya ditentukan oleh tiga faktor: 1. tinggi-rendahnya posisi lidah (tinggi, sedang, rendah) 2. bagian lidah yang dinaikkan (depan, tengah, belakang) 3. bentuk bibir pada pembentukan vokal itu (normal, bundar, lebar/terentang) Bila dalam menghasilkan suatu bunyi-ujaran, udara yang keluar dari paruparu tidak mendapat halangan sedikit juga, kita mendapat bunyi-ujaran yang disebut vokal . Jenis dan macamnya vokal tidak tergantung dari kuat-lembutnya udara, tetapi tergantung dari beberapa hal berikut: 1. Posisi bibir. Yaitu bentuk bibir pada waktu mengucapkan suatu bunyi. Bibir dapat mengambil posisi bundar atau rata. a. Bila bentuknya bundar terjadilah vokal bundar : o, u, a. b. Bila bentuknya rata terjadilah vokal tak bundar : i, e.

2. Tinggi-rendahnya lidah. Lidah adalah bagian dari rongga mulut yang amat elastis. Jika ujung dan belakang lidah dinaikkan, terjadilah bunyi yang disebut vokal belakang, misalnya: u, o, dan a. Jika lidah rata, akan terjadi bunyi-ujaran yang disebut vokal pusat, yaitu e (pepet). 3. Maju-mundurnya lidah. Yang menjadi ukuran maju mundurnya lidah adalah jarak yang terjadi antara lidah dan alveolum. Apabila lidah itu dekat ke alveolum, bunyi-ujaran yang terjadi disebut vokal atas, misalnya i dan u. Bila lidah diundurkan lagi, terjadilah bunyi yang disebut vokal tengah, misalnya e. Bila lidah diundurkan sejauhjauhnya, terjadilah bunyi yang disebut vokal bawah, misalnya a. Batasan : Vokal adalah bunyi-ujaran yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-paru tidak mendapat halangan. 4. Diftong. Sebelum membicarakan jenis ujaran lain yang disebut konsonan, perlu dibicarakan satu hal yang dalam Tatabahasa Tradisional disebut diftong. Menurut Tatabahasa Tradisional, diftong adalah dua vokal berturutan yang diucapkan dalam suatu kesatuan waktu misalnya seperti yang terdapat dalam kata-kata ramai, pantai, pulau, dan sebagainya. Urutan vokal seperti dalam kata dinamai, ditandai, dll. tidak termasuk diftong, karena tiap-tiapnya diucapkan dalam kesatuan waktu yang berlainan. Dalam tutur sehari-hari sering terjadi bahwa diftong itu dirubah menjadi satu bunyi tunggal (monoftong), misalnya: kata-kata pantai, ramai, pulau berubah menjadi pante, rame, pulo, dsb. Proses perubahan bunyi diftong menjadi monoftong dalam Tatabahasa Tradisional disebut monoftongisasi. Sebaliknya dapat

terjadi bahwa kata-kata yang pada mulanya mengandung bunyi monoftong mengalami perubahan menjadi diftong, misalnya kata-kata sentosa dan anggota dirubah menjadi sentausa dan anggauta. Proses ini disebut diftongisasi. Dalam Linguistik Modern pengertian diftong tidak digunakan lagi karena tidak sesuai dengan hakekat dari bunyi-bunyi tersebut. Bila kita secara tegas mencatat bunyi-bunyi tersebut dengan mempergunakan prinsip-prinsip Linguistik Modern, maka ada yang ada hanya urutan-urutan konsonan-vokal. Secara fonetis kata-kata tersebut di atas akan ditulis: /ramay/, /pantay/, /pulaw/, dan sebagainya. b. Konsonan Bila dalam menghasilkan suatu bunyi-ujaran, udara yang keluar dari paru-paru mendapat halangan, maka terjadilah bunyi yang disebut konsonan . Halangan yang dijumpai udara itu dapat bersifat sebagian yaitu dengan menggeserkan atau mengadukkan arus udara itu. Dengan memperhatikan bermacam-macam factor untuk menghasilkan konsonan, maka kita dapat membagi konsonan-konsonan: 1. Berdasarkan artikulator dan titik artikulasinya. 2. Berdasarkan macam halangan udara yang dijumpai udara yang mengalir keluar. 3. Berdasarkan turut-tidaknya pita suara bergetar. 4. Berdasarkan jalan yang dilalui udara ketika keluar dari rongga-rongga ujaran. Batasan : Konsonan adalah bunyi-ujaran yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-paru mendapat halangan. 1. Berdasarkan artikulator dan titik artikulasinya, konsonan-konsonan dapat dibagi atas: a. Konsonan bi-labial, bunyi yang dihasilkan dengan mempertemukan kedua

belah bibir: /p/, /b/, /m/, dan /w/. Karena kedua belah bibir sama-sama bergerak, serta keduanya juga menjadi titik sentuh dari bibir yang lainnya, maka sekaligus mereka bertindak sebagai artikulator dan titik artikulasi. b. Konsonan labio-dental, adalah bunyi yang dihasilkan dengan mempertemukan gigi atas sebagai titik artikulasi dan bibir bawah sebagai artikulatornya: /f/ dan /v/. c. Konsonan apiko-interdental, adalah bunyi yang terjadi dengan ujung lidah yang bertindak sebagai artikulator dan daerah antar gigi sebagai titik artikulasinya: /t/ dan /n/. d. Konsonan apiko-alveolar, adalah bunyi yang dihasilkan oleh ujung lidah sebagai artikulator dan lengkung kaki gigi sebagai titik artikulasinya: /d/ dan /n/. e. Konsonan palatal, adalah bunyi yang dihasilkan oleh bagian tengah lidah sebagai artikulator dan langit-langit keras sebagai titik artikulasinya: /c/, /j/, dan /ny/. f. Konsonan velar, adalah bunyi yang dihasilkan oleh belakang lidah sebagai artikulator dan langit-langit lembut sebagai titik artikulasinya: /k/, /g/, /ng/, dan /kh/. g. Hamzah (glottal stop), adalah bunyi yang dihasilkan dengan posisi pita suara tertutup sama sekali, sehingga menghalangi udara yang keluar dari paru-paru. Celah antara kedua pita suara tertutup rapat. h. Laringal, adalah bunyi yang terjadi karena pita suara terbuka lebar. Bunyi ini dimasukkan dalam konsonan karena udara yang keluar mengalami gesekan.

2. Berdasarkan halangan yang dijumpai udara ketika keluar dari paru-paru, konsonan dapat pula dibagi-bagi atas: a. Konsonan hambat (stop), merupakan konsonan yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-paru sama sekali dihalangi: /p/, /b/, /k/, /t/, /d/, dll. Dalam pelaksanaannya, konsonan hambat dapat disudahi dengan suatu letusan; dalam hal ini konsonan hambat itu disebut konsonan peletus atau konsonan eksplosif, misalnya konsonan p dalam kata pukul, lapar. Atau konsonan hambat itu dapat dilaksanakan dengan tidak ada letusan; maka hambat itu bersifat implosif, misalnya /t/ dalam kata berat, parit, dll. Dengan cara sederhana dapat dikatakan bahwa hambat eksplosif terdapat bila suatu konsonan hambat diikuti vokal, sedangkan konsonan hambat implosif terjadi bila konsonan hambat itu tidak diikuti vokal. b. Frikatif (bunyi geser) , merupakan konsonan yang terjadi bila udara yang keluar dari paru-paru digesekkan: /f/, /h/, dan /kh/. c. Spiran, merupakan konsonan yang terjadi bila udara yang keluar dari paru-paru mendapat halangan berupa pengadukan diiringi bunyi desis: /s/, /z/, /sy/. d. Likuida, atau disebut juga lateral , merupakan bunyi yang dihasilkan dengan mengangkat lidah ke langit-langit sehingga udara terpaksa diaduk dan keluat melalui kedua sisi: /l/. e. Getar atau trill, adalah bunyi yang dihasilkan dengan mendekatkan lidah ke alveolum atau pangkal gigi, kemudian lidah itu menjauhi alveolum lagi, dan seterusnya terjadi berulang-ulang dengan cepat, sehingga udara yang keluar digetarkan. Bunyi ini, yang dihasilkan dengan ujung lidah sebagai artikulator disebut getar apikal . Di samping itu dalam Ilmu Bahasa dikenal pula semacam

bunyi getar lain yang mempergunakan anak tekak sebagai artikulatornya, dan yang bertindak sebagai titik artikulasinya adalah belakang lidah. Konsonan getar macam ini disebut getar uvular . Getar apikal dilambangkan dengan /r/, sedangkan getar uvular secara fonetis dilambangkan dengan /R/.

3. Berdasarkan bergetar tidaknya pita suara, konsonan terbagi atas: a. Konsonan bersuara, jika pita suara turut bergetar: /b/, /d/, /n/, /g/, /w/, dsb. b. Konsonan tak bersuara, jika pita suara tidak bergetar: /p/, /t/, /c/, /k/, dsb. 4. Berdasarkan jalan yang diikuti arus udara ketika keluar dari rongga ujaran, konsonan terbagi atas: a. Konsonan oral, jika udaranya keluar melalui rongga mulut: /p/, /b/, /k/, /d/, /w/ b. Konsonan nasal, jika udaranya keluar melalui rongga hidung: /m/, /n/, /ny, /ng/.

2. Diftong dan Gugus Diftong berhubungan dengan vokal, sedangkan gugus berhubungan dengan konsonan.

Diftong merupakan gabungan vokal dengan /w/ atau /y/, contohnya /aw/ pada /kalaw/ dan /baau/ (untuk kata "kalau" dan "bangau"), tetapi bukan /au/ pada /mau/ dan /bau/.

Gugus adalah gabungan dua konsonan, atau lebih, yang termasuk dalam satu suku kata yang sama. /kl/ dan /br/ (seperti dalam "klinik" dan "obral") adalah gugus, sedangkan /mp/ dan /rc/ (seperti dalam "tampak", "timpa", "arca", dan "percaya") bukanlah gugus dalam bahasa Indonesia.

a. Diftong adalah vokal yang berubah kualitasnya. Dalam sistem tulisan diftong biasa

dilambangkan oleh dua huruf vokal. Kedua huruf vokal itu tidak dapat dipisahkan. Bunyi /aw/ pada kata "harimau" adalah diftong, sehingga <au> pada suku kata "mau" tidak dapat dipisahkan menjadi "mau" seperti pada kata "mau". Demikian pula halnya dengan deretan huruf vokal <ai> pada kata "sungai". Deretan huruf vokal itu melambangkan bunyi diftong /ay/ yang merupakan inti suku kata "-ngai". Diftong berbeda dari deretan vokal. Tiap-tiap vokal pada deretan vokal mendapat hembusan napas yang sama atau hampir sama; kedua vokal itu termasuk dalam dua suku kata yang berbeda. Bunyi /aw/ dan /ay/ pada kata "daun" dan "main", misalnya, bukanlah diftong, karena baik [a] maupun [u] atau [i] masingmasing mendapat aksen yang (hampir) sama dan membentuk suku kata tersendiri sehingga kata "daun" dan "main" masing-masing terdiri atas dua suku kata.

b. Gugus konsonan adalah deretan dua konsonan atau lebih yang tergolong dalam satu suku kata yang sama. Bunyi [pr] pada kata "praktik" adalah gugus konsonan, tetapi [kt] pada kata yang sama itu bukanlah gugus konsonan. Pemisahan bunyi pada kata itu adalah praktik. Dengan contoh di atas jelaslah bawha tidak semua deretan konsonan itu selalu membentuk gugus konsonan. Dalam bahasa Indonesia cukup banyak kata yang memiliki dua konsonan yang berdampingan, namun belum tentu deretan itu merupakan gugus konsonan. Contoh lain dari deretan dua konsonan yang bukan gugus konsonan adalah "cipta", "aksi", dan "harga".

3. Fonem dan grafem a. Fonem adalah bunyi bahasa yang berbeda atau mirip kedengarannya. Dalam ilmu bahasa fonem itu ditulis di antara dua garis miring: /.../.

/p/ dan /b/ adalah dua fonem karena kedua bunyi itu membedakan arti. Contoh: pola /pola/ parang /parag/ peras /pras/ : bola /bola/ : barang /barag/ : beras /bras/

Fonem dalam bahasa dapat mempunyai beberapa macam lafal yang bergantung pada tempatnya dalam kata atau suku kata. Fonem /p/ dalam bahasa Indonesia, misalnya, dapat mempunyai dua macam lafal. Bila berada pada awal suku kata, fonem itu dilafalkan secara lepas. Pada kata /pola/, misalnya, fonem /p/ itu diucapkan secara lepas untuk kemudian diikuti oleh fonem /o/. Bila berada pada akhir kata, fonem /p/ tidak diucapkan secara lepas; bibir kita masih tetap rapat tertutup waktu mengucapkan bunyi ini. Dengan demikian, fonem /p/ dalam bahasa Indonia mempunyai dua variasi. Variasi suatu fonem yang tidak membedakan arti dinamakan alofon. Alofon dituliskan di antara dua kurung siku [...]. Kalau [p] yang lepas kita tandai dengan [p] saja, sedangkan [p] yang tak lepas kita tandai dengan [p >], maka kita dapat berkata bahwa dalam bahasa Indonesia fonem /p/ mempunyai dua alofon, yakni [p] dan [p >]. Adapun alofon adalah anggota sebuah fonem. Fonem /i/ mempunyai dua alofon. Demikian juga dengan fonem /o/, /e/, /u/. Alofon pada bahasa inggris lebih banyak daripada alofon bahasa indonesia. Makanya kita sering mendengar dialek atau ideolek karena pengucapan fonemnya berbeda dengan kebanyakan di regional itu. Dialek adalah nama lain ragam dari daerah atau logat (lihat Moeliono, 1993: 3). Bahasa indonesia memiliki banyak dialek; dengan banyaknya pengguna dengan

bahasa ibu (bahasa daerah) yang berbeda. Sebagaiman bahasa sunda juga mempunyai banyak dialek: dialek Cianjur, dialek Cirebon, dialek Banten dan lain-lain. Idiolek adalah ragam penutur. Artinya setiap penutur mempunyai ragam bahasa yang berbeda dengan penutur lain. Istilah idiolek; menurut Saussure; Ferdinand de Saussure; istilah parole, yaitu ujaran yang dipakai individu (lihat Krisdalaksana, 1974: 13).

b. Grafem berbicara tentang huruf, sedangkan fonem berbicara tentang bunyi. Seringkali represenasi tertulis kedua konsep ini sama. Misalnya untuk menyatakan benda yang dipakai untuk duduk yang bernama "kursi", kita menulis kata kursi yang terdiri dari grafem <k>, <u>, <r>, <s>, dan <i>, dan mengucapkannya pun /kursi/ dari segi grafem ada lima satuan, dan dari segi fonem juga ada lima satuan. Akan tetapi, hubungan satu-lawan-satu seperti itu tidak selalu kita temukan. Kata "ladang" mempunyai enam grafem, yakni <l>, <a>, <d>, <a>, <n>, dan <g>. Dari segi bunyinya perkaatan yang sama itu hanya mempunyai lima fonem, yakni /l/, /a/, /d/, /a/, dan // karena grafem <n> dan <g> hanya mewakili satu fonem // saja. Bunyi yang dinyatakan oleh grafem <p> dan <g> dalam bahasa Indonesia jelas sangat berbeda. Sebaliknya, bunyi yang dinyatakan oleh grafem <p> dan <b> sangat berdekatan. Dengan perbedaan dan kemiripan seperti itu maka dalam percakapan telepon, perkataan "pula" dan "gula" tidak akan keliru ditangkap, sedangkan "pola" dan "bola" dapa dengan mudah membingungkan kita. 1. Tanda Bunyi yang Berupa Huruf Grafem adalah tanda untuk menyimbolkan bunyi. Bahasa indonesia mempunyai 28 fonem. Ke 28 fonem itu, ditandai dengan 25 grafem 25 huruf.

2. Tanda Bunyi yang Berupa Tanda Baca Selain mengenal huruf sebagian grafem, kita mengenal 15 tanda baca dalam bahasa indonesia. Tanda baca ini melengkapi suprasegmental dalam bahasa lisan. Tanda bunyi yang merupakan jeda atau suprasegmental lain adalah: a. titik b. koma c. titik koma d. titik dua e. tanda hubung f. tanda pisah g. tanda elipsis h. tanda tanya i. tanda seru j. tanda kurung k. tanda kurung siku l. tanda petik m. tanda petik tunggal n. tanda garis miring Penggunaannya tanda baca telah diatur dalam (EYD) Tanda bunyi (grafem) ada pula yang berupa tanda baca. Tanda baca merupakan bunyi suprasegmental dalam bahasa lisan. Bunyi suprasegmental juga merupakan fonem karena membedakan makna. Contoh yang membedakan makna : Siti, istri pak lurah yang baru itu, cantik. Siti, istri pak lurah yang baru itu, cantik.

Siti / istri / pak lurah yang baru itu / cantik. Siti/ istri pak lurah / yang baru itu / cantik.

3. Tanda Bunyi Lainnya sebagai Transkripsi Lisan Menjadi Tertulis a. Huruf Kapital (All Caps) Huruf yang diberi tanda kapital (atau semua kapital) bisa saja menunjukkan penekanan atau untuk memperjelas bagian-bagian tertentu dalam sebuah tulisan. b. Huruf Miring/Bergaris Bawah Huruf miring atau bergaris bawah menandai penekanan (emphais) pada kata yang digarisbawahi atau dicetak miring. Kita mengenal huruf miring atau juga garis bawah. Interpretasi dari huruf miring atau juga garis bawah ini bisa macam-macam. Dalam kalimat uaran, orang mennekankan suatu kata, maka dalam transkripsi tertulisnya, orang menggunakan huruf miring atau garis bawah. Dia pergi ke pasar kemarin. Dia pergi ke pasar kemarin. Dia pergi ke pasar kemarin. Dia pergi ke pasar kemarin. Tekanan-tekanan yang terdengar pada kalimat lisan itu merupakan unsur suprasegmental yang ditranskripsikan ke dalam bentuk tulisan (tertulis). Di samping itu kita mengenal pula tanda petik () dan tanda petik tunggal () penggunaan huruf miring, bergaris bawah, tanda petik, dan tanda petik tunggal diatur dalam EYD. Sebagai contoh perhatikan penulisan di bawah ini:

Ke mana propesor kita ini? Ia berkata, ke manapropesor kita ini?

PENGARUH DAN PEMENGARUH BUNYI BAHASA A. Proses Asimilasi Proses asimilasi adalah pengaruh yang mempengaruhi bunyi tanpa mempengaruhi identitas fonem dan terbatas pada asimilasi fonetis saja. Berdasarkan arah pengaruh bunyinya, proses asimilasi dibedakan menjadi : a. Asimilasi Progresif b. Asimilasi Regresif B. Artikulasi penyerta Proses pengaruh bunyi yang disebabkan oleh artikulasi ini dibedakan menjadi : a. Labialisasi, yaitu pembulatan bibir pada artikulasi primer sehingga terdengar binyi semi-vokal [w] pada bunyi utama tersebut. Misalnya, bunyi [t] pada kata tujuan terdengar sebagai bunyi [tw]. b. Retrofleksi, yaitu penarikan ujung lidah ke belakang pada artikulasi primer, sehingga terdengar bunyi [r] pada bunyi utama. Misalnya, [k r] dari bunyi [k] pada kata kardus. c. Palatalisasi, yaitu pengangkatan daun lidah ke arah langhit-langit keras pada artikulasi primer. Misalny bunyi [p] pada kata piara terdengarsebagai [py]. d. Velarisasi, yaitu pengangkatan pangkal lidah ke arah langit-langit lunak pada artikulasi primer. Misalnya, bunyi [m] pada kata mahluk terdengar sebagai [mx]. e. Glotalisasi, yaitu proses penyerta hambatan pada glottis atau glottis tertutup rapat sewaktu artikulasi primer diucapkan. Vokal dalam bahasa Indonesia sering diglotalisasi. Misalnya, bunyi [o] pada kata obat terdengar sebagai [?o].

C. Pengaruh bunyi karena distribusi Pengaruh bunyi karena distribusi menimbulkan proses-proses sebagai berikut : a) Aspirasi, yaitu pengucapan suatu bunyi disertai dengan hembusan keluarnya udara dengan kuat sehingga terdengar bunyi [h]. Misalnya, konsonan letup bersuara [b,d,j,g] terdengar sebagai [bh,dh,jh,gh]. b) Pelepasan, yaitu pengucapan bunyi hambat letup yang seharusnya dihambat tetapi tidak dihambat dan dengan serentak bunyi berikutnya diucapkan. Pelepasan dibedakan menjadi tiga, yaitu : - Lepas tajam atau lepas penuh - Lepas nasal - Lepas sampingan - Pemgafrikatan.

D. Kehomorganan Kehomorganan yaitu konsonan yang mempunyai sifat khusus. Terdapat dua jenis kehomorganan, yaitu : a. Kehomorganan penuh b. Kehomorganan sebagian

TRANSKRIPSI BUNYI BAHASA Transkripsi adalah penulisan tuturan atau perubahan teks dengan tujuan untuk menyarankan lafal bunyi, fonem, morfem atau tulisan sesuai dengan ejaan yang berlakudalam suatu bahasa yang menjadi sasarannya. Transkripsi dibedakan menjadi. a. Transkripsi fonetis, yaitu penulisan pengubahan menurut bunyi. Tanda [] b. Transkripsi fonemis, yaitu transkripsi bahasa menurut fonem. Tanda //

c. Transkripsi fonemis, yaitu penulisan pengubahan menurut morfem. Tanda {} d. Transkripsi ortografis, yaitu penulisan pengubahan menurut huruf atau ejaan bahasa yangt menjadi tujuannya. Tanda <> Transliterasi adalah penggantian huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain tanpa menghiraukan lafal bunyi kata yang bersankutan. Misalnya, transliterasi dari aksara jawa dialihkan ke huruf abjad latin.

Anda mungkin juga menyukai