Anda di halaman 1dari 5

B.

PENGERTIAN FONETIK

Secara umum fonetik adalah ilmu yang mempelajari struktur bunyi bahasa. Definisi lain dari fonetik
adalah satu bidang ilmu yang mengkaji ciri-ciri bahasa yang konkret, dapat diukur, artikularis, akustis,
dan auditif serta mencakup pembentukan bunyi dan pembedaan bunyi bahasa. Fonetik terkait erat
dengan fonologi yang membahas tentang fonem bunyi bahasa yang membedakan arti, ciri-ciri,
hubungan dan sistem yang relefan.

Lebih lanjut dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa Jerman sebagai bahasa asing (Deutsch als
Fremdsprache), fonetik dilihat sebagai (1) dasar-dasar fonologis dan fonetik bahasa Jerman, (2) norma-
norma pelafalan serta jenis-jenisnya, dan (3) kegiatan yang berkaitan dengan metode (koreksi dan
latihan pelafalan). (Hirschfeld dalam Paananen, 2010:9)

Dari makna sebenarnya fonetik dapat dibagi menjadi tiga kajian, yaitu fonetik artikulatoris yang
membahas tentang artikulasi dan pemroduksian bunyi serta menjelaskan organ-organ artikulasi dan
perananya bagi pembentukan bunyi. Fonetik akustik berkaitan dengan ciri-ciri fisik bunyi bahasa. Vokal
dan intonasi dijelaskan dalam kajian fonetik ini. Sedangkan fonetik auditif berhubungan dengan
penerimaan bunyi oleh pendengar, bagaimana prosesnya di dalam telinga, di syaraf pendengaran dan di
otak. Dalam pembelajaran bahasa asing fonetik auditif inilah yang paling berguna, meskipun pada
dasarnya fonetik akustik juga memperhatikan intonasi dan vokal (Haal dalam Paanen, 2010:9).

1. Pembentukan Bunyi

Dalam pembentukan bunyi ada tiga komponen yang terlibat, yaitu:

Komponen subglotal (paru-paru dan saluran pernafasan) yang menghasilkan arus udara

Pangkal tenggorokan (laring) yang mengubah arus udara yang teratur dalam rangkaian letupan udara
secara periodik (sumber tenaga akustis).

Saluran bunyi supralaringal terdiri dari faring, rongga mulut, dan rongga hidung (Féry, 2004:30).

Proses pembentukan bunyi dibagi dalam tiga fase, yaitu:

Untuk berbicara dibutuhkan udara, dimana biasanya produksi bunyi dihasilkan saat udara dilepaskan.
Fase ini disebut sebagai inisiasi.

Udara yang keluar dapat mengalami perubahan pada pita suara yang terletak pada pangkal tenggorokan
atau laring. Gerakan membuka dan menutup pita suara secara auditiv menghasilkan getaran.
Pemroduksian getaran ini terjadi dalam fase fonasi.
Arus udara yang mengalir di rongga faring dan rongga mulut mendapatkan gangguan terutama oleh
pergerakan lidah dan bibir. Modulasi arus udara ini dibedakan menjadi bunyi halus dan bunyi keras
(Klänge und Geräusche). Dalam arti sempit fase ini disebut sebagai artikulasi. Sedangkan artikulasi dalam
makna yang lebih luas adalah keseluruhan pembentukan bunyi termasuk kedua fase sebelumnya
(Meibauer, 2006:72).

Beberapa ahli memberikan keterangan yang berbeda-beda tentang pembagian alat ucap manusia.
Namun demikian secara garis besar dapat disimpulkan bahwa alat ucap tersebut terbagi menjadi dua,
yaitu bagian atas mulut dan bagian bawah. Bagian atas mulut umumnya tidak bergerak, sedangkan
bagian bawah mulut bisa digerakkan.

Arus udara yang keluar dari paru-paru dapat mengalami perubahan pada pita suara yang terletak pada
pangkal tenggorokan (laring). Arus udara itu dapat membuka kedua pita suara yang merapat sehingga
menghasilkan bunyi-bunyi tertentu, yaitu:

Bunyi oral, adalah bunyi bahasa yang arus udaranya melalui rongga mulut.

Bunyi nasal, adalah bunyi bahasa yang arus udaranya melalui rongga hidung.

Bunyi yang dinasalisasi/disengaukan, adalah bunyi yang arus udaranya sebagian melalui rongga hidung
dan sebagian melalui rongga mulut.

2. Konsonan

Dardjowidjojo (2010: 35) menyebutkan tiga faktor yang perlu diperhatikan untuk menghasilkan bunyi
konsonan, yaitu (a) titik artikulasi, (b) cara artikulasi, dan (c) pita suara. Berikut ini dijelaskan peran
ketiga faktor tersebut.

Titik artikulasi

Titik artikulasi adalah tempat dimana artikulator itu berada, berdekatan, atau berlekatan. Berdasarkan
titik artikulasinya, bunyi dibedakan menjadi beberapa jenis. Jenis- jenis tersebut adalah:

1) Bunyi bilabial dihasilkan bila bibir atas dan bibir bawah berlekatan. Pada bahasa Indonesia dan
bahasa Jerman yang termasuk dalam bunyi ini adalah bunyi [p], [b], dan [m]. Meskipun demikian ketiga
bunyi ini melewati saluran udara yang berbeda. Bunyi [p] dan [b] melewati mulut, sehingga disebut
bunyi oral. Sedangkan [m] melalui hidung dan disebut bunyi nasal.

2) Bunyi labiodental dihasilkan apabila bibir bawah bersentuhan dengan ujung gigi atas. Dalam
bahasa Indonesia yang termasuk dalam bunyi ini adalah bunyi [f]. Sementara dalam bahasa Jerman
selain bunyi [f] termasuk juga bunyi [v].
3) Bunyi alveolar dibentuk dengan ujung lidah atau daun lidah menyentuh atau mendekati gusi. [t],
[d], [l], [n], [s], dan [z] dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jerman sama-sama terbentuk dengan cara
tersebut.

4) Bunyi dental yang dibentuk dengan ujung lidah menyentuh atau mendekati gigi atas. Sebagian
penutur bahasa Indonesia mengenal bunyi [t] dan [d] jenis ini, sedangkan dalam bahasa Jerman yang
tergolong dalam bunyi ini adalah [ṯ] dan [ḏ].

5) Bunyi palatal merupakan bunyi yang dihasilkan saat depan lidah menyentuh atau mendekati langit-
langit keras, contoh dalam bahasa Indonesia adalah bunyi [c], [j], dan [y]. Hal ini sedikit berbeda dengan
bahasa Jerman, yaitu pada bunyi [ç] dan [j] saja.

6) Bunyi velar dibuat dengan menempelkan bagian belakang lidah ke arah langit-langit lunak (velum).
Bunyi yang dihasilkan dalam kedua bahasa sama, yaitu [k], [g], dan [ŋ].

7) Bunyi glotal terjadi karena pita suara dirapatkan sehingga arus udara dari paru-paru tertahan.
Bunyi ini huga sering disebut sebagai bunyi hamzah dan dilambangkan [?]. [h] juga termasuk dalam
bunyi ini.

Cara artikulasi

Hal ini berkaitan dengan bagaimana caranya udara dari paru-paru dilepaskan. Berdasarkan cara
artikulasinya, bunyi bahasa dibedakan menjadi beberapa macam:

1) Bunyi hambat (plosif)

Apabila udara itu tertahan di mulut dengan ketat dan kemudian dilepaskan secara serentak maka akan
menimbulkan semacam letupan, bunyi inilah yang dinamakan bunyi plosif atau stop atau bunyi hambat.
Bunyi [p], [b], [t], [d], [k], dan [g] termasuk dalam kategori yang sama, yaitu bunyi plosif.

2) Bunyi frikatif
Apabila arus udara melewati saluran yang sempit, maka akan terdengar desis. Bunyi yang demikian
disebut bunyi frikatif, misalnya [f] dan [s].

3) Bunyi afrikatif

Bunyi ini adalah bunyi plosif yang diikuti oleh bunyi frikatif, artinya dihasilkan melalui artikulator yang
sama dengan bunyi frikatif. Misalnya [c] dalam bahasa Indonesia atau [ts] dalam bahasa Jerman.

4) Bunyi nasal

Untuk menghasilkan bunyi nasal diperlukan aliran udaran yang cukup banyak melalui rongga hidung.
Biasanya bunyi nasal ini tidak bersuara (stimmhaft). Contohnya [m] dan [n].

5) Bunyi lateral

Jika ujung lidah bersentuhan dengan gusi dan udara keluar melalui samping lidah, maka bunyi yang
dihasilkan dengan cara ini adalah bunyi lateral. Satu-satunya bunyi dalam kedua bahasa (Indonesia-
Jerman) yang termasuk dalam bunyu ini adalah [l].

6) Bunyi getar

Bunyi getar dihasilkan jika ujung lidah menyentuh tempat yang sama dan berulang-ulang, contohnya [r].

Pita suara

Pita suara dapat terbuka penuh, agak tertutup, atau tertutup. Ketika seseorang tidak berbicara maka
pita suaranya akan terbuka lebar. Dari faktor ini dapat dibedakan bunyi yang bersuara dan tidak
bersuara (stimmlos und stimmhaft).

1) Bunyi bersuara dihasilkan jika pita suara bergetar, misalnya pada bunyi [b], [d], [g]. Pada saat
mengucapkan bunyi-bunyi tersebut pita suara agak tertutup dan ada udara yang mendesaknya untuk
terbuka sehingga terjadilah getaran pada pita suara.
2) Bunyi tak bersuaradihasilkan saat pita suara agak terbuka dan tidak bergetar. Contohnya bunyi [p],
[t], [k].

Berikut ini disajikan daftar konsonan bahasa Indonesia dan bahasa Jerman.

Anda mungkin juga menyukai