Anda di halaman 1dari 17

Tinjauan Pustaka

Sebagai bahan perbandingan dalam membuat makalah, penulis telah melakukan


tinjauan kepustakaan (literature review). Sejauh ini hasil tinjauan pustaka yang
sudah dilakukan penulis:
Makalah dengan judul “Unsur-unsur Segmental dan Suprasegmental dalam
Tataran Bunyi Bahasa”. Makalah ini menjelaskan mengenai definisi unsur
segmental dan suprasegmental, klasifikasi unsur segmental dan suprasegmental
dan juga deskripsi bunyi segmental. Sumber data yang digunakan adalah Fonologi
Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia (Masnur
Muslich, 2012), Linguistik Umum (Abdul Chaer, 2014), dan Fonologi Bahasa
Indonesia (Abdul Chaer, 2013).
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Komunikasi adalah syarat terjadinya interaksi sosial. Dalam
kehidupan sehari-hari, manusia selalu berkomunikasi dengan manusia lain.
Komunikasi tersebut tidak hanya dilakukan dengan menggunakan ujaran atau
bahasa lisan namun juga menggunakan bahasa tulisan. Seiring
berkembangnya zaman, kebutuhan berkomunikasi manusia semakin
kompleks. Hal tersebut menempatkan bahasa sebagai alat komunikasi yang
sangat penting. Agar komunikasi dapat berjalan dengan lancar, diperlukan
bahasa yang dapat dipahami bersama.
Menurut Hyman, Rinehard, dan Wiston (1999), wujud bahasa yang
utama adalah bunyi, dan bunyi itu disebut bunyi bahasa. Lalu yang dimaksud
dengan bunyi pada bahasa adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa dapat disegmentasikan atau
dipisah-pisahkan. Bunyi yang dapat disegmentasikan terdapat unsur-unsur
yang menyertainya, yaitu unsur segmental dan suprasegmental. Oleh karena
itu, penulis akan mengkaji lebih rinci mengenai unsur-unsur segmental dan
suprasegmental dalam tataran bunyi bahasa guna memeroleh pemahaman
yang lebih mendalam.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan unsur segmental dan suprasegmental?
2. Apa saja klasifikasi unsur segmental dan suprasegmental?
3. Apa saja bentuk-bentuk deskripsi bunyi segmental?

1.3 Tujuan
1. Guna mengetahui dan memahami unsur segmental dan suprasegmental
2. Guna mengetahui klasifikasi unsur segmental dan suprasegmental
3. Guna mengetahui bentuk-bentuk deskripsi bunyi segmental
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Unsur Segmental dan Suprasegmental


2.1.1 Unsur Segmental
Segmental mengacu pada pengertian bunyi-bunyi yang dapat
disegmentasikan atau dipisah-pisahkan (Suhairi dalam verhaar,2010:
48). Kata “minuman” misalnya, dapat disegmentasikan menjadi
/m/,/i/,/n/,/u/,/m/,/a/,/n/. Hal tersebut menunjukkan adanya fonem.
Sedangkan menurut muslich (2008: 80), bunyi segmental adalah bunyi
yang dihasilkan oleh pernapasan, alat ucap, dan pita suara. Bunyi yang
dapat disegmentasikan, seperti semua bunyi vokal dan konsonan adalah
bunyi segmental (Chaer, 2013: 35). Bunyi ujar merupakan suatu
runtutan bunyi yang saling sambung-menyambung, terus-menerus,
diselang-seling dengan jeda singkat maupun tidak singkat disertai
dengan keras lembutnya bunyi, tinggi rendah bunyi, panjang pendek
bunyi, dan sebagainya. Dalam arus ujar itu, ada bunyi segmental yang
dapat disegmentasikan (Chaer, 2013: 53).
Jadi, unsur segmental adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia yang dapat disegmen-segmenkan atau dipisah-pisahkan baik
bunyi vokoid maupun kontoid.

2.1.2 Unsur Suprasegmental


Menurut Muslich (2008: 81), unsur suprasegmental disebut juga
prosodi. Bunyi atau unsur suprasegmental adalah bunyi yang tidak
dapat disegmentasikan, seperti tekanan, nada, jeda, dan durasi (Chaer,
2013: 35). Bunyi suprasegmental adalah bunyi yang menyertai bunyi
segmental yang biasanya dapat berupa tekanan nada (intonation),
panjang-pendek (pitch), dan getaran suara yang dapat menunjukkan
suatu emosi tertentu (Marsono, 1999: 115). Menurut Verhaar (2010:
55), bunyi suprasegmental meliputi intonasi, nada, aksen, dan tekanan.
Jadi, bunyi suprasegmental adalah bunyi yang tidak dapat
disegmentasikan karena kehadiran bunyi ini selalu mengiringi,
menemani, atau menyertai bunyi segmental (bunyi-bunyi Bahasa ketika
diucapkan, ada yang disegmen-segmenkan, diruas-ruaskan, atau
dipisah-pisahkan, baik vokoid maupun kontoid).
2.2 Klasifikasi Bunyi Segmental dan Suprasegmental
Unsur segmental dan suprasegmental dapat diklasifikasikan menjadi:
2.2.1 Klasifikasi Bunyi Segmental
Klasifikasi bunyi segmental menurut Masnur (2008: 46), dapat
didasarkan dalam berbagai macam kriteria, yaitu: (1) ada tidaknya
gangguan, (2) mekanisme udara, (3) arah udara, (4) pita suara, (5)
lubang lewatan udara, (6) mekanisme artikulasi, (7) cara gangguan, (8)
maju mundurnya lidah, (9) tinggi rendahnya lidah, dan (10) bentuk
lidah.
1. Ada tidaknya gangguan
Gangguan yang dimaksud di sini yaitu penyempitan atau
penutupan yang dilakukan oleh alat-alat ucap atas arus udara
dalam pembentukan bunyi. Dilihat dari ada tidaknya gangguan
ketika bunyi diucapkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu bunyi vokoid dan bunyi kontoid. Bunyi vokoid adalah bunyi
yang dihasilkan tanpa adanya penyempitan atau penutupan pada
daerah artikulasi. Ketika bunyi diujarkan, yang diatur hanyalah
ruang resonansi pada rongga mulut melalui pengaturan posisi
lidah dan bibir. Pengaturan hanya tertuju pada ruang resonansi
karena terbatasnya pengaturan posisi lidah dan bibir ketika suatu
bunyi diujarkan. Menurut Daniel Jones ada 8 titik vokoid yang
disebut dengan Vokal Kardinal.
Sedangkan bunyi kontoid adalah bunyi yang dihasilkan dengan
melibatkan penyempitan atau penutupan pada daerah artikulasi.
Bunyi kontoid memiliki lebih banyak jenis bila dibanding dengan
bunyi-bunyi vokoid.
2. Mekanisme udara
Mekanisme udara merupakan sumber atau proses datangnya udara
yang berfungsi untuk mengggerakkan pita suara sebagai sumber
bunyi. Dilihat dari kriteria ini, bunyi Bahasa bisa dihasilkan dari
tiga kemungkinan mekanisme udara, yaitu
Mekanisme udara pulmonalis, mekanisme udara laringal atau
faringal, dan mekanisme udara oral.
1) Mekanisme udara pulmolis yaitu udara yang dari paru-paru
menuju ke luar
2) Mekanisme udara laringal atau faringal adalah udara yang
datang dari laring atau faring. Caranya glotis ditutup terlebih
dahulu kemudian rongga mulut ditutup pada velum atau
uvula. Velik juga ditutup. Kemudian akar lidah ditarik
kebelakang dan menaikkan jakun sehingga rongga laring dan
faring mengecil. Maka terjadilah pemadatan udara dalam
rongga laring dan faring sehingga apabila salah satu tutup
dibuka (glottis, velum, velik), udara akan keluar
meninggalkan laring dan faring.
3) Mekanisme udara oral adalah udara yang datang dari mulut.
Dengan cara, menutup rongga mulut pada velum dan salah
satu tempat de depan. Kemudian, rongga mulut diperkecil
sehingga terjaadi pemadatan udara sehingga apabila suatu
tutup dibuka maka udara akan keluar meninggalkan rongga
mulut.
3. Arah udara
Berdasarkan arah udara ketika bunyi dihasilkan, bunyi dapat
dikelompokkan menjadi bunyi egresif dan bunyi ingresif.
1) Bunyi egresif adalah bunyi yang dihasilkan dari arah udara
menuju ke luar melalui rongga mulut atau rongga hidung.
2) Bunyi ingresif adalah bunyi yang dihasilkan dari arah udara
masuk ke dalam paru-paru. Contoh : ketika kita terisak, maka
secara tidak langsung kita akan menghasilkan bunyi menuju
kedalam.
4. Pita suara
Berdasarkan bergetar tidaknya pita suara ketika bunyi dihasilkan,
bunyi dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu bunyi mati atau
bunyi bersuara dan bunyi hidup atau bunyi tak bersuara.
1) Bunyi mati atau bunyi tak bersuara adalah bunyi yang
dihasilkan dengan cara pita suara tidak melakukan gerakan
membuka dan menutup sehingga getarannya tidak signifikan.
Contohnya adalah [k],[p],[t],[s].
2) Bunyi hidup atau bunyi bersuara adalah bunyi yang
dihasilkan dengan cara pita suara melakukan gerakan
membuka dan menutup secara cepat sehingga pita suara
bergetar secara signifikan . Contohnya adalah [g],[b],[d],[z].

Untuk mengetahui bahwa bunyi yang dihasilkan tergolong


bunyi bersuara atau tidak bersuara maka kita bisa membuktikan
dengan cara menutup kedua lubang telinga dengan telapak tangan
ketika membunyikan bunyi konsonan tertentu. Misalnya saat kita
mengucapkan bunyi [b] dan [g] maka getaran dalam dada akan
terasa lebih keras dibanding ketika mengucapkan bunyi [p] dan
[k].

5. Lubang lewatan udara


Berdasarkan lewatan udara ketika bunyi dihasilkan, bunyi dapat
dikelompokkan menjadi bunyi oral, bunyi nasal, dan juga bunyi
sengau.
1) Bunyi oral, adalah bunyi yang dihasilkan dengan cara udara
keluar melalui rongga mulut, dengan cara menutup velik pada
dinding faring. Untuk mengetahui apakah bunyi yang kita
hasilkan merupakan bunyi oral atau tidak kita bila
mengeceknya dengan cara membungkam mulut kita dengan
telapak tangan. Ketika kita tidak bisa membunyikan [k]
dengan mulut terbungkam, berarti [k] merupakan bunyi oral.
2) Bunyi nasal, adalah bunyi yang dihasilkan dengan cara udara
keluar melalui rongga hidung, dengan menutup rongga mulut
dan membuka velik lebar-lebar. Untuk mengetahui apakah
bunyi yang kita hasilkan merupakan bunyi nasal atau tidak
kita bisa membuktikannya dengan cara menutup kedua
lubang hidung kita. Ketika kita tidak bisa mengucap suatu
huruf missal [m] ketika kita menutup lubang hidung maka
huruf [m] termasuk huruf nasal.
3) Bunyi sengau, adalah bunyi yang dihasilkan ketika udara
keluar melalui rongga mulut dan rongga hidung, dengan
membuka velik sedikit. Bunyi “bindheng” (istilah Jawa) ini
hanya terdapat di beberapa bahasa di dunia, Misalnya Bahasa
Jerman.
6. Mekanisme artikulasi, adalah alat ucap bagian mana yang bekerja
atau bergerak ketika bunyi bahasa dihasilkan. Mekanisme
artikulasi dikelompokkan menjadi bunyi bilabial, bunyi
labiodental, dan bunyi apikodental sebagai berikut :
1) Bunyi bilabial, yaitu bunyi yang terjadi antara bibir bawah
merapat pada bibir atas. Bibir bawah sebagai artikulator dan
bibir atas sebagai titik artikulasi. Misalnya, bunyi [b], [p],
[m].
2) Bunyi labiodental, yaitu bunyi yang terjadi pada gigi bawah
dan bibir atas. Bibir bawah sebagai artikulator dan gigi atas
sebagai titik artikulasi. Misalnya, [f], [v].
3) Bunyi apikodental, yaitu bunyi yang terjadi antara ujung
lidah (apeks) dan gigi (dentum) atas. Ujung lidah sebagai
artikulator dan gigi atas sebagai titik artikulasi. Missal, [t],
[d], dan [n].
4) Bunyi apikoalveolar, yaitu bunyi yang terjadi antara ujung
lidah dengan gusi atas. Lidah sebagai artikulator dan gusi atas
sebagai titik artikulasi. Missal, [t], [d], [n].
5) Bunyi laminoplatal, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh tengah
lidah (lamina) dengan langit-langit keras (platum). Misalnya,
[c], [j].
6) Bunyi dorsovelar, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh pangkal
lidah dan langit-langit lunak. Misalnya, [k], [g].
7) Bunyi dorsouvular, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh pangkal
lidah dengan anak tekak. Misalnya, bunyi [q].
8) Bunyi laringal, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh tenggorokan.
Misalnya, bunyi pada [h].
9) Bunyi glottal, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh lubang tau
celah (glotis) pada pita suara. Caranya, pita suara merapat
sedemikian rupa sehingga menutup glotis. Misalnya, [?] atau
hamzah.
7. Cara gangguan
Dilihat dari cara gangguan arus udara oleh artikulator, ketika bunyi
diucapkan, bunyi dapat dikelompkkan sebagai berikut
1) Bunyi stop (hambat), bunyi yang dihasilkan ketika arus udara
ditutup rapat sehingga udara berhenti seketika, lalu dilepaskan
kembali secara tiba-tiba. Tahap pertama (penutupan) disebut
implosive (atau stop implosif), tahap kedua (pelepasan) disebut
eksplosif (atau stop eksplosif). Misalnya, [p’] pada [atap’] disebut
bunyi stop implusif, [p] pada [paku] disebut bunyi stop eksplosif.
Contoh bunyi stop yang lain : [b],[t],[d],[k],[g],[?].
2) Bunyi kontinum (alir), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara
arus udara tidak ditutup secara total sehingga arus udara tetap
mengalir. Berarti bunyi-bunyi selain bunyi stop merupakan bunyi
kontinum. Yaitu bunyi afrikatif, frikatif, tril dan lateral.
3) Bunyi afrikatif (paduan), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara
arus udara ditutup rapat, tetapi kemudian dilepas secara berangsur-
angsur. Misalnya [c] dan [j].
4) Bunyi Frikatif (geser), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara
arus udara dihambat sedemikian rupa sehingga udara tetap dapat
keluar melalui salah satu alat ucap . Misalnya, [f],[v],[s],[z],[š],[x]
5) Bunyi Tril (getar), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus
udara ditutup dan dibuka berulang-ulang secara cepat. Misalnya
[R] dan [r].
6) Bunyi lateral (samping), bunyi yang dihasilkan dengan cara arus
udara ditutup sehingga udra masih bisa keluar melalui salah satu
atau kedua sisi-sisinya. Misalnya [l] pada kata [lima].
7) Bunyi nasal (hidung), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara arus
udara yang lewat rongga mulut ditutup rapat, tetapi arus udara
dialirkan lewat rongga hidung. Misalnya [m],[n],[ñ],[ŋ].

8. Tinggi Rendahnya Lidah


Dilihat dari tinggi rendahnya lidah ketika bunyi itu diucapkan, bunyi
dapat dikelompokkan menjadi 5, yaitu bunyi tinggi, bunyi agak tinggi,
bunyi tengah, bunyi agak rendah, dan bunyi rendah.
1) Bunyi tinggi adalah bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi
lidah meninggi, mendekati langit-langit keras. Caranya, rahang
bawah agak merapat ke rahang atas. Misalnya [i] pada [kita], [u]
pada [hantu].
2) Bunyi agak tinggi, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi
lidah meninggi, sehingga agak mendekati langit-langit keras.
Caranya, rahang atas agak merapat ke rahang atas. Misalnya [e]
pada [l], [o] pada [soto].
3) Bunyi tengah, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi
lidah di tengah. Caranya, rahang bawah dalam posisi netral atau
biasa. Misalnya [ə] pada [səgəra]. [ə] pada [apəl], [ə] pada [əmas].
Akibat kenetralan inilah, bunyi ini biasa diucapkan secara tidak
sadar oleh pembicara sebagai “pengisi waktu”ketika lupa atau
sebelum mengucapkan kata-kata yang ingin diungkapkan.
4) Bunyi agak rendah, yaitu bunyi yang dihasilkan degan cara posisi
lidah agak merendah, sehingga agak menjauhi langit-langit keras.
Caranya, rahang bawah menjauh dari rahang atas, dibawah posisi
netral. Misalnya, [ɛ] pada [ɛlisa].
5) Bunyi rendah adalah bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi
lidah merendah sehingga menjauhi langit-langit keras. Caranya,
rahang bawah diturunkan sejauh-jauhnya dari rahang atas.
Misalnya [a] pada kata [bata].

9. Maju mundurnya lidah


Bunyi berdasarkan maju mundurnya lidah, dapat dikelompookkan
menjadi 3, yaitu:
1) bunyi depan, adalah bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian
depan lidah dinaikkan. Misalnya [i],[I], [e], [ɛ], [a].
2) bunyi pusat, adalah bunyi yang dihasilkan dengan cara lidah
merata, tidak ada bagian lidah yang dinaikkan. Missal, [ə].
3) bunyi belakang, adalah bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian
belakang lidah dinaikkan. Missal, [u], [U], [o], [O], [α].

10. Bentuk bibir


Bunyi berdasarkan bentuk bibir dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
1) Bunyi bulat, adalah bunyi yang dihasilkan dengan cara posiisi
bibir berbentuk bulat. Misal, [u],[U],[o],[O].
2) Bunyi tidak bulat, adalah bunyi yang dihasilkan dengan cara
posisi bibir merata. Misal, [i], [I], [e], [ɛ], [a].

2.2.2 Klasifikasi Bunyi Suprasegmental


2.2.2.1 Bunyi Suprasegmental
Bunyi suprasegmental mempunyai unsur atau disebut juga ciri-
ciri prosodi sebagai berikut:
1. Tekanan (stress)
Muslich (2010) menyatakan bahwa ketika bunyi-bunyi
segmental diucapkan atau diujarkan, tidak pernah lepas
dari keras atau lemahnya bunyi. Hal itu disebabkan oleh
keterlibatan energi otot ketika bunyi itu diujarkan atau
diucapkan. Bunyi dikatakan mendapat tekanan apabila
energi otot yang dikeluarkan lebih besar ketika bunyi itu
diucapkan, dan begitu juga sebaliknya.
Dalam praktiknya, kerasnya bunyi juga berpengaruh
pada ketinggian bunyi karena energi otot berpengaruh
pada ketegangan pita suara. Oleh karena itu, kedua bunyi
suprasegmental dapat dibedakan.
Variasi tekanan dapat dikelompokkan menjadi empat,
yaitu:
1. Tekanan keras (')
2. Tekanan sedang (-)
3. Tekanan rendah (`)
4. Tekanan yang ditandai dengan tidak adanya tanda
diakritik
Dalam Bahasa-bahasa tertentu, variasi tekanan tersebut
dapat membedakan makna pada tataran kata, tekanan
selalu bersifat silabis atau tekanan selalu diarahkan pada
silaba tertentu. Sedangkan pada tataran kalimat, tekanan
bersifat leksis, yaitu tekanan selalu diarahkan pada kata
tertentu yang ingin ditonjolkan.
Chaer (2009) menjelaskan bahwa tekanan stress
berkaitan dengan keras atau lemahnya suatu bunyi.
Bunyi segmental yang di ucapkan dengan arus bunyi
yang kuat menyebabkan amplitudo nya melebar, dengan
disertai dengan tekanan yang keras. Sebaliknya , bunyi
segmental yang diucapkan dengan arus bunyi yang
lemah menyebabkan amplitudonya menyempit, dengan
disertai dengan tekanan yang lunak. Tekanan tersebut
terjadi secara sporadis dan juga berpola. Bersifat
distingtif, yang artinya dapat membedakan makna, tetapi
mungkin juga tidak bersifat distingtif.
2. Nada
Muslich (2010) menjelaskan bahwa ketika bunyi-
bunyi segmental diucapkan selalu melibatkan nada, baik
itu nada tinggi, sedang, maupun rendah. Hal tersebut
disebabkan oleh ketegangan pita suara, arus udara, dan
juga posisi pita suara ketika bunti itu diujarkan. Makin
tegang pita suara, menyebabkan kanaikan arus udara dari
paru-paru, makin tinggi pula nada bunyi yang dihasilkan.
Begitu juga dengan posisi pita suara, pita suara yang
bergetar lebih cepat akan menentukan tinggi nada ketika
berfonasi.
Menurut Chaer (2009) nada atau pitch merupakan
tinggi rendahnya suatu bunyi. Jika suatu bunyi
diujarkan dengan frekuensi getaran yang tinggi, maka
akan disertai dengan nada yang tinggi pula. Sebaliknya,
jika suatu bunyi diujarkan dengan frekuensi getaran yang
rendah, maka akan disertai dengan nada yang rendah
pula.

3. Jeda atau Persendian


Menurut Muslich (2010) yang dimaksud dengan
penghentian adalah pemutusan suatu arus bunyi-bunyi
yang diujarkan oleh penutur. Oleh sebab itu, akan terjadi
kesenyapan diatara bunyi-bunyi yang dujarkan tersebut.
Kensenyapan pada arus bunyi bisa berada di posisi awal,
tengah, dan akhir ujaran.
Sedangkan menurut Chaer (2009) menjelaskan bahwa
jeda atau persendian berkenaan dengan penghentian
bunyi pada suatu arus ujaran. Dikatakan sebagai jeda
karena terdapat penghentian di dalam suatu arus ujaran,
dan dikatakan sebagai persendian karena di tempat
perhentian tersebut terdapat dua segmen ujaran. Jeda
dapat bersifat penuh dan sementara.
4. Durasi
Chaer (2009) menjelaskan bahwa durasi pada suatu
bunyi berhubungan dengan panjang atau pendeknya,
lama atau singkatnya suatu bunyi yang diujarkan. Tanda
untuk bunyi panjang adalah titik dua di sebelah kanan
bunyi yang dujarkan (….:) atau tanda garis kecil di atas
bunyi segmental yang diujarkan (-). Dalam Bahasa
Indonesia durasi bersifat fonemis, yakni tidak dapat
membedakan makna kata.

2.2.2.2 Bunyi Pengiring


Bunyi pengiring atau bunyi tambahan adalah bunyi-bunyi
yang kemunculannya tidak disengaja oleh penutur. Bunyi
pengiring merupakan bunyi yang ikut serta muncul ketika
bunyi utama dihasilkan. Keikutsertaan alat-alat ucap ini terjadi
secara ilmiah atau tidak disengaja oleh penutur. Transkripsinya
pun dibedakan dengan bunyi utama, yaitu ditulis kecil di atas
bunyi utama.
Terdapat Sembilan macam-macam bunyi pengiring yaitu:
1. Bunyi Efektif
Bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara glottis ditutup
sebelum dan sewaktu bunyi utama diucapkan, sehingga
ketika glottis dibuka terdengar bunyi glotal [ˀV].
2. Bunyi Klik
Bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara dengan cara
lidah belakang menempel rapat pada velum sebelum dan
sewaktu bunyi utama diucapkan, sehingga ketika
penempelan pada velum dilepas terdengar bunyi [Kk].
3. Bunyi Aspirasi
Bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara arus udara
yang keluar lewat mulut terlalu keras sehingga terdengar
bunyi [Kh].
4. Bunyi Eksplosif (bunyi lepas)
Bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara arus udara
dilepaskan kembali setelah dihambat total. Lawannya
adalah adalah bunyi implosif (bunyi tak lepas).
5. Bunyi Retrofleksi
Bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara menarik lidah
ke belakang segera atau ketika bunyi utama diucapkan,
sehingga terdengar bunyi [Kr].
6. Bunyi Labialisasi
Bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara kedua bibir
dibulatkan dan disempitkan segera atau ketika bunyi
utama diucapkan sehingga terdengar bunyi [Kw].
7. Bunyi Palatalisasi
Bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara lidah tengah
dinaikkan mendekati langit-langit keras (palatum) segera
atau ketika bunyi utama diucapkan sehingga terdengar
bunyi [Ky].
8. Bunyi Glotalisasi
Bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara glottis ditutup
sesudah bunyi utama diucapkan sehingga terdengar bunyi
[V?].
9. Bunyi Nasalisasi
Bunyi sertaan yang dihasilkan dengan cara memberikan
kesempatan arus udara melalui rongga hidung sebelum
atau sesaat artikulasi bunyi utama diucapkan sehingga
terdengar bunyi [mb], [nd], atau [ŋg]. hal ini biasa terjadi
pada kontoid stop bersuara (hidup).
2.2.2.3 Diftong dan Kluster
Bunyi-bunyi segmental, baik vokoid maupun kontoid ada
yang diucapkan secara rangkap. Hal ini ditandai dengan
adanya satuan hembusan udara ketika bunyi itu diucapkan.
Perangkapan bunyi vokoid disebut diftong, sedangkan
perangkapan bunyi kontoid disebut kluster.
1. Diftong
Diftong adalah dua vokal rangkap. Diftong ini
berhubungan dengan sonoritas atau tingkat kenyaringan
suatu bunyi. Ketika dua deret bunyi vokoid diucapkan
dengan satu hembusan udara, akan terjadi ketidaksamaan
sonoritasnya. Salah satu bunyi vokoid pasti lebih tinggi
sonoritasnya dibanding dengan bunyi vokoid yang lain.
Vokoid yang lebih rendah sonoritasnya lebih mengarah
atau menyerupai bunyi nonvokoid. Peristiwa meninggi
dan menurunnya sonoritas inilah yang disebut diftong.
Dalam praktiknya, diftong dapat dibagi menjadi dua
macam, yaitu diftong menurun (falling dipthong) dan
diftong menaik (rising diphthong).
1. Diftong menurun (falling dipthong)
Diftong menurun (falling dipthong) adalah diftong
yang ketika diucapkan, vokal pertama bersonoritas,
sedangkan vokal kedua kurang bersonoritas, bahkan
cenderung ke bunyi nonvokal. Contohnya: [bangaw]
‘bangau’ dan [sungay] ‘sungai’.
2. Diftong menaik (rising diphthong)
Diftong menaik (rising diphthong) adalah diftong
yang ketika diucapkan, vokal pertama kurang
bersonoritas, sedangkan vokal kedua sonoritas
menguat.
Contohnya: [bwah] ‘buah’.

2. Kluster
Kluster adalah dua atau lebih konsonan rangkap.
Kluster ini merupakan bagian dari struktur fonetis yang
disadari oleh penuturnya. Jadi, pengucapannya pun harus
sesuai dengan struktur fonetis. Sebab, jika
pengucapannya salah akan berdampak pada pembedaan
makna. Dalam Bahasa Indonesia, kluster muncul sebagai
akibat pengaruh struktur fonetis unsur serapan. Pada
umumnya, kluster Bahasa Indonesia seputar kombinasi
berikut:
1. Jika kluster terdiri atas dua kontoid (konsonan) yang
berlaku adalah:
-kontoid pertama hanyalah sekitar [p], [b], [t], [d], [k],
[g], [f], dan [s].
-kontoid kedua hanyalah sekitar [l], [r], [w], [s], [m],
[n], [k].
Contohnya [dr] pada [drama], [sr] pada [pasrah], dan
[ps] pada [psikologi]
2. Jika kluster terdiri atas tiga kontoid yang berlaku
adalah:
-kontoid pertama [s]
-kontoid kedua [t] atau [p]
-kontoid ketiga [r] atau [l]
Contohnya [str] pada [strategi]
Karena di dalam kosakata asli Bahasa Indonesia, tidak
mempunyai kluster maka ketika menggunakan kluster
kata-kata serapan, penutur cenderung untuk
menduasukukan dengan menambahkan [ə] misalnya
pada kata [prangko], sering diucapkan [pərangko] dan
kata [stempel], sering diucapkan [sətempel]
2.2.2.4 Silaba (Suku kata)
Para linguis atau fonetisi dalam memahami suku kata
ini, didasarkan pada dua teori, yaitu teori sonoritas dan teori
prominans. Teori sonoritas menerangkan bahwa suatu
rangkaian bunyi Bahasa yang diucapkan oleh penutur selalu
terdapat puncak-puncak kenyaringan (sonoritas) di antara
bunyi-bunyi yang diucapkan. Puncak kenyaringan ini dapat
ditandai dengan adanya denyutan dada yang menyebabkan
udara didorong keluar oleh paru-paru. Satuan kenyaringan
yang diikuti dengan satuan denyutan dada yang menyebabkan
udara keluar dari paru-paru inilah yang kemudian disebut
dengan satuan silaba atau suku kata.
Contoh kata [mendaki] terdiri atas tiga puncak
kenyaringan, yaitu [ə] pada [mən], [a] pada [da] dan [i] pada
[ki]. Dengan demikian, kata [məndaki] mempunyai tiga suku
kata. Suku kata pertama berupa bunyi sonor [ə] yang
didahului kontoid [m] dan diikuti kontoid [n]; suku kata
berupa bunyi sonor [a] yang didahului kontoid [d]; dan suku
kata ketiga berupa bunyi sonor [i] yang didahului kontoid [k].
Teori prominans menitikberatkan pada gabungan
sonoritas dan ciri-ciri suprasegmental, terutama jeda. Ketika
rangkaian bunyi itu diucapkan, selain terdengar satuan
kenyaringan bunyi, juga terasa adanya jeda di antaranya,
yaitu kesenyapan sebelum dan sesudah puncak kenyaringan.
Menurut teori ini, batas di antara bunyi-bunyi puncak diberi
tanda [+]. Jadi, kata tersebut terdiri atas tiga suku kata atau
silaba.
Dalam praktinya persoalan silabisasi atau penyukuan
dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1. Silabisasi fonetis
Silabisasi fonetis adalah penyukuan kata yang didasarkan
pada realitas pengucapan, ditandai dengan satuan
hembusan napas dan bunyi sonor.
2. Silabisasi fonemis
Silabisasi fonemis adalah penyukuan kata yang
didasarkan pada struktur fonem Bahasa yang
bersangkutan.
3. Silabisasi morfologis
Silabisasi morfologis adalah penyukuan kata yang
memperhatikan proses morfologis ketika kata itu
dibentuk.
2.3 Deskripsi unsur bunyi Segmental
Bunyi segmental, baik vokoid maupun kontoid yang diucapkan oleh
penutur Bahasa sangat variatif, apalagi setelah diterapkan. Jumlah dan
variasi bunyi tersebut bisa dideskripsikan sebagai berikut:
1. Bunyi vokoid
Bunyi Ciri-ciri Contoh Kata
[i] Tinggi, depan, tak bulat [bila] ‘bila’
[ī] Agak tinggi , tak bulat [adī?] ‘adik’
[e] Tengah, depan, tak bulat [ide] ‘ide’
[ɛ] Agak rendah, depan, tak bulat [nɛnɛ?] ‘nene?’
[a] Rendah, depan, tak bulat [cari] ‘cari’
[u] Tinggi, belakang, bulat [buku] ‘buku’
[U] Agak tinggi, belakang, bulat [batU?] ‘batuk’
[o] Tengah, belakang, bulat [toko] ‘toko’
[O] Agak rendah, belakang, bulat [tOkOh] ‘tokoh’
[α] Rendah, belakang, bulat [allαh] ‘allah’
[ə] Tengah, pusat, tak bulat [əmas] ‘emas’
2. Bunyi kontoid
Bunyi Ciri-ciri Contoh Kata
[p] Mati, oral, bilabial, plosif [paku] ‘paku’
[b] Hidup, oral, bilabial, plosif [baru] ‘baru’
[t] Mati, oral, apiko-dental, plosif [tidUr] ‘tidur’
[d] Hidup, oral, apiko-dental, plosif [dari] ‘dari’
[k] Mati, oral, velar, plosif [kaku] ‘kaku’
[g] Hidup, oral, velar, plosif [gali] ‘gali’
[?] Mati, oral, glottal, plosif [jara?] ‘jara?’
[c] Mati, oral, lamino-palatal, afrikatif [ciri] ‘ciri’
[j] Hidup, oral, lamino-palatal, [jara?] ‘jara?’
afrikatif
[f] Mati, oral, labio-dental, frikatif [final] ‘final’
[s] Mati, oral, apiko-alveolar, frikatif [satu] ‘satu’
[z] hidup, oral, apiko-alveolar, frikatif [zaman] ‘zaman’
[š] Mati, lamino-palatal, frikatif [šarat] ’syarat’
[x] Mati, oral, frikatif [xas] ’khas’
[Ɣ] Hidup, oral, velar, frikatif [tablîƔ] ‘tabligh’
[h] Mati, oral, laringal, frikatif [tahan] ‘tahan’
[‫]׀‬ Hidup, oral, apiko-alveolar, trill [lama] ’lama’
[m] Hidup, nasal, bilabial [makan] ’makan’
[n] Hidup, nasal, apiko-dental [minta] ’minta’
[n] Hidup, nasal, apiko-alveolar [tanam] ’tanam’
[ñ] Hidup, nasal, lamino-palatal [ñala] ‘nyala’
[ŋ] Hidup, nasal, velar [ŋilu] ’ngilu’
[w] Mati, oral, bilabial [waktu] ’waktu’
[y] Mati, oral, lamino-palatal [yatim] ’yatim’
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Berdasarkan penjelasan yang ada di atas, penulis menyimpulkan bahwa
unsur segmental adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia yang
dapat disegmen-segmenkan atau dipisah-pisahkan baik bunyi vokoid maupun
kontoid. Sedangkan unsur suprasegmental adalah bunyi yang tidak dapat
disegmentasikan karena kehadiran bunyi ini selalu mengiringi, menemani,
atau menyertai bunyi segmental (bunyi-bunyi Bahasa ketika diucapkan, ada
yang disegmen-segmenkan, diruas-ruaskan, atau dipisah-pisahkan, baik
vokoid maupun kontoid).
Klasifikasi unsur segmental berdasarkan berbagai macam kriteria, yaitu
ada tidaknya gangguan, mekanisme udara, arah udara, pita suara, lubang
lewatan udara, mekanisme artikulasi, cara gangguan, maju mundurnya lidah,
tinggi rendahnya lidah, dan bentuk bibi.
Klasifikasi unsur suprasegmental dikelompokkan menjadi empat jenis yaitu,
nada, tekanan, panjang pendeknya bunyi atau (tempo), dan jeda.
Bunyi pengiring adalah bunyi yang ikut serta muncul ketika bunyi utama
dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh ikut sertanya alat-alat ucap lain ketika alat
ucap pembentuk bunyi utama difungsikan. Oleh karena itu, ada yang
mengistilahkan koartikulasi atau artikulasi sertaan.
Diftong adalah bunyi vocal rangkap yang tergolong dalam satu suku kata dan
satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Bunyu kluster adalah dua atau
lebih konsonan rangkap dan pengucapannya pun harus sesuai dengan struktur
fonetis, sebab jika salah pengucapan akan berdampak pada pembedaan
makna. Silaba atau suku kata adalah satuan ritmis terkecil dalam satu arus
ujaran.

3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penyusun merekomendasikan
berupa saran-saran yaitu makalah ini belum sempurna, karena hanya
mengumpulkan beberapa data yang sudah ada di dalam buku lalu
menyusunnya. Maka untuk kebutuhan pembuatan makalah berikutnya,
dengan tema pembahasan yang sama, diharapkan bisa lebih baik dari ini dan
lebih luas data yang diperoleh.
Daftar pustaka

Chaer, Abdul.2013. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta : PT. Renika Cipta


Muslich, Masnur. 2012. Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriptif
Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.
Chaer, Abdul 2014. Linguistik Umum. Jakarta : Renika Cipta.
Verhaar, J.W.M. 2012. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai