Anda di halaman 1dari 10

TUGAS PENDAHULUAN

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS


MODUL 9: APLIKASI SIG UNTUK PEMETAAN
PARAMETER KUALITAS AIR

Disusun Oleh:
Rachela Amanda Aprillia Putri
26050122140128
Oseanografi C

Koordinator Mata Kuliah Sistem Informasi Geografis:


Dr. Muhammad Helmi, S.Si., M.Si.
NIP. 196911120 200604 1 001

Tim Asisten:
Stephanie Michelle Gunady 26050121130063
Atika Siti Nuraisyah 26040120130066
Erlinda Sofiani Levina 26050121120012
Gheyhaliza Anti 26050121120005
Nilamsari Dinda Andini 26050121140090
Shafa Nur Fadhillah 26050121120029
Ariel O. P. Simatupang 26050121130062

DEPARTEMEN OSEANOGRAFI
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2023
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Google Earth Engine

Menurut Ahmed dan Harishnaika. (2023), Google Earth Engine (GEE) merupakan
platform yang memiliki lingkungan pemrograman interaktif dan berperan penting dalam
pemantauan serta analisis lingkungan dalam jangka waktu yang panjang. Platform ini
memiliki kemampuan untuk menyimpan catatan pengamatan bumi dalam jangka waktu yang
panjang, karena sangat penting dalam pemantauan dan analisis lingkungan. GEE juga
menyediakan antarmuka pemrograman aplikasi (API) yang mendukung JavaScript dan
Python, memungkinkan pengguna untuk mengotomatiskan analisis geospasial dengan mudah.
Selain itu, platform ini dilengkapi dengan berbagai alat visualisasi dan pengolahan data yang
memfasilitasi pembuatan peta interaktif, grafik, dan animasi untuk menjelajahi hasil analisis
dengan cara yang intuitif. Platform ini sangat menekankan konsep data terbuka dengan
menyediakan akses gratis ke berbagai data geospasial historis dan aktual. GEE telah banyak
digunakan dalam pemantauan lingkungan, membantu para peneliti dan praktisi untuk
memahami perubahan lingkungan dengan lebih baik. Namun, penting untuk dicatat bahwa
GEE memiliki beberapa keterbatasan dalam hal visualisasi. Platform ini hanya mampu
menampilkan data geospasial global dalam dua dimensi dan tidak memiliki kemampuan
visualisasi yang lebih canggih dibandingkan dengan Google Earth. Salah satu keunggulan
utama GEE adalah kemampuannya untuk mengakses beragam data citra satelit, seperti
Landsat dan Sentinel tanpa perlu mengunduh data secara lokal. Dapat diartikan bahwa
pengguna dapat melakukan analisis geospasial tanpa infrastruktur komputasi lokal yang kuat,
karena semua pemrosesan data terjadi di komputasi awan.
Google Earth Engine (GEE) adalah sebuah platform komputasi awan dari tahun 2010 hingga
sekarang telah berhasil mengatasi berbagai tantangan dalam analisis data geospasial global.
Google Earth Engine mengandalkan cloud computing dan telah terbukti sebagai alat yang
sangat efektif dalam melakukan analisis data geospasial, baik dalam skala kecil maupun besar.
Saat ini, GEE telah menjadi platform komputasi awan yang sangat populer dalam ilmu sistem
bumi. Platform tersebut sering digunakan untuk memproses data yang berkaitan dengan
berbagai bidang, termasuk pertanian, air, tutupan lahan, bencana, perubahan iklim, tanah,
lahan basah, hutan, urbanisasi, dan banyak bidang lainnya. GEE memberikan pengguna akses
ke data pengamatan bumi yang dapat diunduh secara publik dalam skala petabyte, dilengkapi
dengan algoritma canggih yang memudahkan analisis data geografi. Dalam perbandingan
dengan platform cloud lain seperti Amazon Web Services (AWS) dan Microsoft Azure, GEE
mendukung beragam jenis data geospasial. Sehingga platform tersebut memberikan
fleksibilitas yang lebih besar. Selain itu, Google Earth Engine memberikan layanan secara
gratis untuk semua pengguna. Fokus utama yang diberikan ialah manfaatnya, terutama bagi
negara-negara berkembang (Yang et al., 2022).

2.2 Monitoring Kualitas Air


Monitoring kualitas air dapat dilakukan baik pada perairan permukaan seperti sungai dan
danau, maupun di dalam perairan bawah tanah. Keberhargaan monitoring kualitas air dapat
ditemukan dalam kemampuannya untuk mendeteksi polusi, mengantisipasi potensi risiko
kesehatan masyarakat, dan mengidentifikasi dampak pada lingkungan. Monitoring kualitas air
adalah suatu proses penting yang melibatkan pengamatan dan pengukuran beragam parameter
fisik, kimia, dan biologis dalam air untuk mengevaluasi keadaan serta kebersihan air.
Kegiatan ini bertujuan untuk mengawasi potensi ancaman terhadap kesehatan manusia,
kelestarian lingkungan, dan ekosistem perairan. Parameter yang seringkali diukur mencakup
konsentrasi zat kimia seperti logam berat, senyawa kimia organik, dan nutrien, serta sifat fisik
seperti suhu, kekeruhan, dan tingkat keasaman (pH). Data yang diperoleh melalui kegiatan ini
dapat digunakan untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan kebijakan pengelolaan
sumber daya air, perlindungan ekosistem perairan, serta penanganan isu-isu seperti eutrofikasi
dan pencemaran air. Dalam perkembangan lebih lanjut, teknologi modern termasuk
penggunaan sensor canggih dan sistem pemantauan jarak jauh telah memungkinkan
monitoring kualitas air menjadi lebih efisien dan responsif dalam mendapatkan data yang
akurat dan real-time. Hal ini memberikan kemajuan penting dalam upaya pelestarian sumber
daya air dan lingkungan secara keseluruhan (Rahmawati, 2023).
Dalam pemahaman pemantauan kualitas air di muara, penting untuk memperhatikan
perubahan yang dinamis yang terjadi akibat interaksi antara air tawar dan air laut. Salah satu
parameter yang menjadi sangat kritis untuk dipantau adalah tingkat salinitas, karena tingkat
salinitas ini dapat memengaruhi keberlanjutan kehidupan organisme akuatik dan hutan
mangrove yang berada di sekitar muara. Selain itu, pengukuran oksigen terlarut diperlukan
untuk mengevaluasi tingkat kehidupan organisme perairan, sementara analisis nutrien seperti
nitrat dan fosfat dapat memberikan wawasan tentang potensi masalah eutrofikasi di muara
tersebut. Pemantauan kualitas air di muara juga melibatkan pencatatan aktivitas manusia di
daerah tersebut, seperti pembuangan limbah industri atau domestik. Kemampuan untuk
mendeteksi pencemaran oleh bahan kimia berbahaya menjadi sangat penting dalam rangka
melindungi ekosistem dan kesehatan masyarakat yang mungkin bergantung pada sumber daya
perairan di muara tersebut. Untuk meningkatkan efektivitas pemantauan, teknologi canggih
seperti sensor otomatis dan sistem pemantauan jarak jauh dapat digunakan. Hal tersebut
dapat memungkinkan pemantauan kualitas air secara real-time, sehingga dapat merespons
dengan cepat terhadap perubahan kondisi lingkungan di muara. Dapat juga memberikan data
yang lebih akurat, dan memungkinkan tindakan yang lebih responsif dalam menjaga
keberlanjutan ekosistem perairan di area tersebut. Pemantauan kualitas air di muara sungai
atau perairan muara memiliki peran yang sangat penting dalam pemahaman ekosistem
perairan yang sangat kompleks. Muara seringkali dijadikan sebagai titik pertemuan antara air
tawar sungai dan air asin laut, menciptakan kondisi lingkungan yang unik. Interaksi ini dapat
berdampak signifikan pada parameter kualitas air seperti salinitas, kandungan oksigen terlarut,
serta konsentrasi nutrien (Chuzaini dan Dzulkiflih, 2022).

2.3 Indeks Kualitas Air


2.3.1 NDWI (Normalized Difference Water Index)
Menurut Adhityas et al. (2023), NDWI memberikan nilai yang cenderung lebih tinggi
pada area yang memiliki keberadaan air, sementara nilai yang lebih rendah, bahkan negatif,
menunjukkan keberadaan vegetasi atau daratan yang kurang memiliki air. Rumus NDWI ini
menggunakan dua parameter, yaitu reflektansi dalam band hijau (Green) dan band inframerah
(NIR). Penggunaan NDWI memiliki aplikasi yang sangat penting dalam pemantauan dan
pemetaan sumber daya air, seperti sungai, danau, dan wilayah pesisir. Indeks ini secara luas
digunakan dalam analisis citra satelit untuk mendukung berbagai penelitian dalam bidang
hidrologi, manajemen sumber daya air, dan pemantauan lingkungan secara umum. NDWI
dihitung berdasarkan nilai-nilai di band hijau dan NIR, dan rentang nilai NDWI biasanya
berkisar antara -1 hingga +1. Secara umum, nilai negatif NDWI mengindikasikan area yang
terdiri dari bangunan dan lahan terbuka yang memiliki kandungan air yang kurang signifikan,
sementara nilai positif biasanya mewakili area dengan keberadaan air dan vegetasi yang lebih
tinggi. Salah satu fokus khusus adalah penggunaan NDWI (Normalized Difference Water
Index) dalam menjalin hubungan dengan LST (Land Surface Temperature).
Menurut Guha et al. (2019), Normalized Difference Water Index (NDWI) adalah sebuah
indeks yang digunakan untuk mendeteksi dan memetakan keberadaan air dalam citra satelit
atau data optik lainnya. Indeks ini memanfaatkan perbedaan dalam kemampuan air dan
vegetasi dalam menyerap cahaya pada berbagai panjang gelombang di spektrum
elektromagnetik. Oleh karena itu, dalam konteks pemantauan lingkungan atau sumber daya
alam, NDWI sering digunakan untuk mengidentifikasi dan memetakan berbagai badan air
seperti sungai, danau, dan waduk. Selain itu, NDWI juga digunakan untuk memantau
perubahan dalam tutupan lahan dan vegetasi. Penggunaan NDWI memberikan wawasan yang
mendalam tentang dinamika air dan lingkungan, sehingga menjadi alat yang sangat berguna
dalam penelitian terkait manajemen sumber daya air, pemantauan ekosistem perairan, serta
pemetaan perubahan lingkungan. NDWI memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap
perbedaan dalam penyerapan cahaya oleh air dan tumbuhan. NDWI digunakan sebagai
parameter biofisika kunci dalam membentuk korelasi dengan Land Surface Temperature
(LST). NDWI dihitung berdasarkan nilai reflektansi di band hijau dan Near-Infrared (NIR).
Rumus NDWI dapat dirumuskan sebagai berikut:

2.3.2 NDCI (Normalized Difference Chlorophyll Index)


Dalam rumus NDCI ini, "rededge" merujuk pada nilai reflektansi pada band rededge,
yang sering terletak di sekitar panjang gelombang 700–750 nm, sedangkan "green" merujuk
pada nilai reflektansi pada band hijau. Ketika nilai NDCI tinggi, hal ini mengindikasikan
kandungan klorofil yang tinggi dalam tanaman atau ekosistem, sementara nilai yang lebih
rendah atau bahkan negatif dapat mengisyaratkan kurangnya klorofil atau adanya stres pada
tanaman. NDCI sering digunakan dalam pemantauan kesehatan tanaman dan perubahan
vegetasi. Data yang diperoleh dari sensor pada satelit atau pesawat udara yang sensitif
terhadap spektrum cahaya digunakan untuk menghasilkan peta spasial yang
memvisualisasikan distribusi klorofil dalam suatu wilayah. Klorofil-a digunakan secara luas
di seluruh dunia sebagai pengganti langsung fitoplankton dalam pemantauan perairan alami.
Penerapan NDCI mencakup pemantauan pertumbuhan tanaman, deteksi stres pada tanaman,
dan evaluasi kesehatan vegetasi dalam berbagai konteks, termasuk pertanian, kehutanan, dan
manajemen lingkungan. Penelitian yang dilakukan oleh Manuel dan Blanco pada tahun 2023
menunjukkan relevansi dan kegunaan NDCI dalam pemantauan dan analisis lingkungan.
NDCI telah terbukti memiliki hubungan yang kuat dengan konsentrasi klorofil-a, yang
menjadi petunjuk utama tentang keberadaan fitoplankton, termasuk alga dan bakteri, di
perairan alami (Syariz, 2022).
Klorofil adalah pigmen yang memberikan warna hijau pada tanaman, alga, dan bakteri
yang melakukan fotosintesis. Peran utama klorofil adalah menangkap energi dari cahaya,
yang disebut foton, dan mentransfernya ke protein dalam pusat fotosintesis. Energi ini
digunakan untuk mengubah air menjadi oksigen serta menghasilkan elektron. Elektron ini
selanjutnya digunakan dalam pembentukan senyawa ATP dan NADPH, yang mendukung
proses pengikatan karbon dioksida (CO2). Klorofil dalam tumbuhan terdiri dari dua jenis
utama, yaitu klorofil a dan klorofil b. Klorofil a memiliki tingkat serapan maksimal pada
panjang gelombang sekitar 665 nm, sedangkan klorofil b memiliki serapan maksimal sekitar
652 nm. Klorofil adalah senyawa siklik yang terdiri dari empat cincin pirrol dan inti ion
magnesium. Sama seperti NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), NDCI
mengandalkan perbedaan dalam penyerapan cahaya pada dua panjang gelombang yang
berbeda. Namun, perbedaannya adalah bahwa NDCI fokus secara khusus pada klorofil, yang
merupakan pigmen hijau yang memainkan peran penting dalam proses fotosintesis. Rumus
umum untuk NDCI dapat dinyatakan sebagai berikut:

Klorofil a cenderung bersifat nonpolar, sementara klorofil b memiliki sifat sedikit lebih polar.
Karena sifat-sifat ini, klorofil dapat larut dalam pelarut seperti metanol, alkohol, campuran
aseton, dan bahkan air. Normalized Difference Chlorophyll Index (NDCI) adalah sebuah
indeks yang digunakan untuk mengukur kandungan klorofil dalam tanaman atau dalam
lingkup ekosistem (Lewandatu et al., 2019).

2.3.3 NDTI (Normalized Difference Turbidity Index)


Dalam mengidentifikasi kondisi perairan menggunakan teknologi penginderaan jauh,
tingkat kekeruhan air merupakan faktor kunci yang sangat dipertimbangkan. Kekeruhan air
ini adalah ukuran sejauh mana cahaya tersebar dalam perairan, dan pengaruhnya dapat dilihat
dari kandungan material terlarut yang ada dalam perairan tersebut. Untuk mengidentifikasi
sedimentasi, para peneliti menggunakan Normalized Difference Turbidity Index (NDTI), yang
merupakan perbandingan antara cahaya yang dipantulkan dari spektrum merah dan hijau,
untuk menganalisis tingkat kekeruhan di dalam waduk. Ini sangat berguna dalam memahami
tingkat kekeruhan perairan. Penggunaan teknologi penginderaan jauh memberikan sejumlah
keuntungan dalam pengukuran kedalaman perairan, termasuk waktu pengukuran yang lebih
singkat, serta efisiensi biaya dan tenaga yang lebih baik. Khususnya, citra satelit optis,
terutama citra multispektral, terbukti sangat bermanfaat dalam mengukur kedalaman perairan
dengan memanfaatkan pantulan cahaya pada kolom perairan. Hasil dari penginderaan jauh
dengan menggunakan data dari satelit Landsat terbukti sangat efektif dalam mengidentifikasi
dan menganalisis tingkat kekeruhan perairan. Pentingnya dengan kekeruhan dalam perairan
tampak dari pengaruhnya terhadap dinamika topografi dasar perairan, seperti alur sungai yang
berkelok-kelok, parit, tanggul, serta struktur perlapisan sedimen. Hal ini mengungkapkan
adanya korelasi yang kuat antara tingkat kekeruhan dan pada kedalaman perairan dalam
proses sedimentasi (El-Mezayen et al., 2023).
Menurut Al-Ramahi et al. (2023), dalam Normalized Difference Turbidity Index (NDTI),
air yang bersih atau tidak mengandung sedimen memiliki karakteristik respons radiometrik
yang spesifik. Ini mencakup tingkat reflektansi yang rendah pada pita warna hijau (kurang
dari 10%), reflektansi yang sangat rendah pada pita warna merah, dan hampir tidak ada
reflektansi pada pita Near Infrared (NIR). Namun, saat tingkat kekeruhan air meningkat
karena peningkatan partikel tersuspensi, reflektansi pada pita warna merah menjadi lebih
besar daripada reflektansi pada pita warna hijau. Akibatnya, citra perairan keruh dapat
menyerupai citra tanah gundul. Pentingnya hubungan positif antara konsentrasi sedimen
tersuspensi dan sinyal penginderaan jauh adalah bahwa ini memungkinkan estimasi muatan
total sedimen tersuspensi melalui analisis regresi. Hubungan ini dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor, termasuk sifat optik, jenis fisik sedimen, sudut pengamatan sensor, dan
faktor-faktor lainnya. Hubungan tersebut akan berkontribusi pada pemahaman yang lebih baik
tentang penggunaan NDTI dalam mengukur kekeruhan air dan konsentrasi sedimen
tersuspensi. Karakteristik spektral dari air yang keruh ini menjadi dasar untuk
mengidentifikasi piksel air keruh melalui penggunaan NDTI. Karena respons radiometrik
pada pita warna merah jauh lebih tinggi daripada respons radiometrik pada pita warna hijau,
terdapat hubungan yang berkebalikan antara panjang gelombang warna hijau dan merah.
Kekeruhan mencerminkan sejauh mana cahaya terganggu oleh material sedimen yang
tersuspensi dalam air.

2.4 Kondisi Kualitas Air di Muara Serayu


Muara sungai merupakan bagian paling bawah dari Daerah Aliran Sungai (DAS) yang
berfungsi sebagai pembuangan dan penyaluran materi-materi dalam air, khususnya yang
berada di bagian tengah atau wilayah peralihan hulu ke hilir. Muara Sungai Serayu
merupakan hilir dari DAS Serayu yang terletak di Kabupaten Cilacap. Muara sungai ini sering
mengalami pendangkalan dan penutupan aliran air ketika musim kemarau. Pembangunan
pemecah gelombang di sekitar muara sungai mampu mengurangi dampak penutupan aliran air
oleh material sedimen. Akan tetapi, material sedimen yang keluar dari muara sungai dapat
terdistribusi ke laut selatan Jawa yang memiliki kondisi oseanografi yang komplek. Oleh
karena itu, pemantauan distribusi MPT pada perairan muara Sungai Serayu sehubungan
dengan keberadaan dermaga PLTU Bunton dan Karangkandri perlu dilakukan. Data tersebut
sangat bermanfaat dalam memberikan informasi dinamika pesisir pantai selatan (Hartono,
2015).
Daerah Aliran Sungai (DAS) Serayu telah mengalami perubahan land use. Dibagian hulu
sungai, telah terjadi perubahan lahan kritis hutan menjadi lahan pertanian. Hal ini berdampak
pada laju erosi, sedimentasi dan kekeruhan seperti yang dilaporkan oleh Balai Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Bioprospektif perairan untuk perikanan dapat digambarkan
dengan produktivitas primer dan sekunder. Laju produktivitas primer sangat dipengaruhi oleh
cahaya matahari atau intensitas cahaya dan kandungan nutrien. Hubungan antara produktivitas
primer dan cahaya matahari yang memperoleh r=82 dan produktivitas primer tertinggi
diperoleh sebesar 34 mg.C.m-3.h-1. Biomassa fitoplankton meningkat, diikuti dengan
peningkatan biomassa zooplankton (Rahayu et al., 2017).
DAFTAR PUSTAKA

Ahdityas, R., A. Sukmono, dan Sasmito, B., 2023. Analisis Kualitas Perairan Waduk Cacaban
dengan Menggunakan Data Citra Landsat 8 & 9 Multitemporal. Jurnal Geodesi
Undip, 12 (2): 161-170.
Ahmed, S. A. dan Harishnaika, N., 2023. Land use and land cover classification using
machine learning algorithms in google earth engine. Earth Science Informatics, 1-17.
Al-Ramahi, F. K. M., Mohammed, S. B. dan M. H. Hasan. 2023. Monitoring the Water
Quality of the Tigris River and Producing Maps to Determine the Locations of
Turbidity in the Water for the Year 2022 in Baghdad Governorate. In IOP Conference
Series: Earth and Environmental Science (Vol. 1223, No. 1, p. 012020). IOP Publishing.
Chuzaini, F.dan Dzulkiflih, D., 2022. IoT Monitoring Kualitas Air dengan Menggunakan
Sensor Suhu, pH, dan Total Dissolved Solids (TDS). Inovasi Fisika Indonesia, 11(3):
46-56.
El-Mezayen, M. M., dan Abd El-Hamid, H.T., 2023. Assessment of Water Quality and
Modeling Trophic Level of Lake Manzala, Egypt Using Remotely Sensed
Observations after Recent Enhancement Project. Journal of the Indian Society of
Remote Sensing, 51 (1):197-211.
Guha, S., H. Govil dan Diwan, P., 2019. Analytical study of seasonal variability in land
surface temperature with normalized difference vegetation index, normalized
difference water index, normalized difference built-up index, and normalized
multiband drought index. Journal of Applied Remote Sensing., 13 (2): 024518-024518.
Hartono. 2015. Pemanfaatan Citra Landsat 8 Multitemporal Untuk Pemetaan Muatan Padatan
Tersuspensi Pada Muara Sungai Serayu Jawa Tengah. Jurnal Bumi Indonesia, 1 (1): 1-
10.
Lawendatu, O. P., J. Pontoh dan Kamu, V., 2019. Analisis kandungan klorofil pada berbagai
posisi daun dan anak daun aren (Arrenga pinnata). Chemistry Progress., 12(2):67-71.
Rahayu, N. L., Lestari, W. dan Erwin, R. A., 2017. Bioprospektif Perairan Berdasarkan
Produktivitas: Studi Kasus Estuari Sungai Serayu Cilacap, Indonesia. Biosfera, 34 (1):
15-21.
Rahmawati, S. D. 2023. Analisis Parameter Kunci Kualitas Air Sungai Kaligarang
Menggunakan Metode Water Pollution Index. Higeia. Journal of Public Health
Research and Development, 7 (2).
Syariz, M. A. 2022. A Convolutional Neural Network With Transfer Learning For
Chlorophyll-A Concentrations Retrieval In Mesotrophic Lakes Using Sentinel-3
Imagery (Doctoral dissertation, Institut Teknologi Sepuluh Nopember).
Yang, L., Driscol,J. S., Sarigai, Q., Wu, H. C. Dan Lippitt, C. D., 2022. Google Earth Engine
and artificial intelligence (AI): a comprehensive review. Remote Sensing, 14 (14): 3253.

Anda mungkin juga menyukai