Anda di halaman 1dari 21

0

Sekarang bukan lagi mimpi hidup dari menulis.

Ya, menulis dan menghasilkan uang untuk hidup, bukan


lagi angan-angan.

Dulu, aku pun demikian, memiliki impian seperti kamu.


Kini? Alhamdulillah aku sedang menjalaninya.

Karena aku nggak ingin menjalani ini sendirian, aku juga


ingin kamu merasakan apa yang aku rasakan.

Alhamdulillah, ini adalah ebook ke-5 yang kutulis untuk


dibaca oleh banyak orang, termasuk kamu dan nggak
perlu bayar. Alias GRATIS. Anggap saja aku sedang
bersedekah ilmu.

Semoga memberi dampak untuk kehidupan dan karier


kamu, ya?

Aamiin.

Founder ImpactfulWriting®
Mentor CertifiedImpactfulWriter.com

1
Hari ini aku memutuskan untuk menonton film Avatar, yang
tayang pada tanggal 23 September 2022. Tapi aku
menontonnya di tanggal 26 September 2022.

Aku mengajak temanku, tapi dia bilang nggak bisa,


katanya setelah menghadiri wisudaan adiknya.

Jadi apa boleh buat, aku putuskan untuk menonton sendiri.


Haha.

Bagiku, ketika melakukannya sendiri ada ruang kosong


untuk berdialog dengan diri sendiri. Ya, aku mendapatkan
insight setelah menonton film ini.

Aku jadi penasaran kalau kamu udah membaca ebook


Writer’s Growth Circle ini apa perasaan yang akan kamu
rasakan?

Penasaran? Mari kita lanjutkan!

Awalnya aku kecewa, ternyata yang diputar pada bulan


September ini, film Avatar 1, meski begitu, aku tetap
menikmatinya, karena aku nggak teliti untuk memeriksa
trailer.
2
Karena saking ngebet pengen nonton Avatar 2 kali ya?
Jadi langsung beli tiket tanpa lihat trailer. Hahaha.

Ketika ruangan theater mulai gelap, tertulis “Avatar 1


(2022)”,

“wait, kok Avatar 1 sih?”

Aku segera searching, meski nggak boleh buka hape


ketika theater sudah dimulai, ya.

Berhubung aku duduknya paling atas (dan sepi juga), jadi


yaudahlah nggak keliatan dan menganggu ini. Sekadar
meyakinkan diri saja.

“oh, ternyata Avatar 2 rilisnya akhir tahun, bulan desember


ini. Anjir James Cameron bisaan banget, mau rilis Avatar
2, dapetin cuan dulu dari Avatar 1.”

Aku terus berdialog dengan diriku sendiri, antara kesal dan


males, karena aku udah nonton di Disney Hotstar.

Sebelumnya aku memasukkan kata kunci film Avatar di


Google, dan memang sudah ada timeline Avatar 1, 2, 3, 4,
5. Tahunnya pun sudah ditentukan.

Dan ini yang bikin penikmatnya penasaran banget,


termasuk aku. Hahaha. Tapi, di tengah-tengah dialog tiba-
tiba diriku berkata:

“kalau ingin hidup dari karya, maka berkarya saja


terus-menerus”

Kenapa begitu? Nanti kamu akan tahu jawabannya.

3
Kenapa aku menceritakan film Avatar dan James
Cameron?

Ada kesamaan antara kita dengan penulis naskah Avatar


ini, yakni seniman alias pekerja kreatif.

Aku nggak akan menceritakan apa isi filmnya, karena ini


bukan review film, tapi bagaimana kita bisa hidup dari
karya dan tumbuh terus menerus.

Kamu tau film Titanic?

Ya, sebelum ada film Avatar, film ini terlaris sepanjang


masa, keuntungan yang dihasilkan mencapai miliaran
dolar.

Inginnya Cameron setelah merilis film Titanic, di tahun


1994, ia ingin melanjutkan untuk menulis dan membuat film
Avatar.

Tapi, di tahun tersebut, teknologi untuk membuat film


Avatar, belum memadai, belum bisa mendukung visinya
untuk membuat film Avatar.

Hingga ia menunda 15 tahun lamanya untuk merilis film


Avatar.

Akhirnya rilis di tahun 2009 dengan memecahkan rekor


baru. Yakni film terlaris sepanjang masa, menyalip film
Titanic yang dibuat oleh orang yang sama!

Menakjubkan! Bukan?

Butuh 4 tahun untuk memproduksi film Avatar, kalau


rilisnya 2009, berarti filmnya dibuat di tahun 2005. Iya?
4
Aku tau informasi ini dari Ryan Holiday, yang ia tulis dalam
Perennial Seller, mungkin buku itu juga perlu kamu baca,
hehe.

Untuk menciptakan karya yang luar biasa, memang


membutuhkan waktu, tapi hasilnya sebanding dengan
yang didapat. Mantap, banget, ya? Haha.

Tapi, poinnya bukan itu, itu hanya intermezzo, kalau kita


ingin hidup dari karya, maka berkarya saja terus-menerus.

Lanjut?

“Saya ingin menghasilkan uang dari film-film saya,


sehingga saya bisa melanjutkan membuat film” - Walt
Disney

Kebanyakan penulis yang pernah kutemui, belum


menyadari betapa pentingnya menghasilkan uang dari
tulisan yang mereka buat.

Masih berdalih takut nggak orisinal kalau menulis karena


uang, takut dipersepsikan nggak baik oleh orang lain, juga
alasan hanya sekadar kesenangan saja.

Padahal boleh jadi belum memaksimalkan pemasaran


atau mungkin nggak tau caranya?

5
Sebelum aku menonton film Avatar, Impactful Writing udah
memposting Writer’s Growth Circle.

Yang mana kalau seorang seniman atau pekarya ingin


terus tumbuh, dua hal yang perlu dilakukan, menciptakan
karya dan memasarkan karya.

Seandainya James Cameron nggak memasarkan “Avatar


1 2022” ini, nggak akan ada pemasukan lagi dari film
Avatar 1 (persisnya dari sumber penjualan tiket). Aku
melihatnya suatu strategi yang cerdas.

Mungkin saja, James Cameron memutar film Avatar 1 lagi


karena jarak filmnya cukup lama, dari 2009 ke 2022, agar
antusiasme penikmatnya tetap terjaga, ia hadirkan kembali
film tersebut.

Atau agar nanti Avatar 2-nya makin mantap, ia menyiapkan


budget promosi yang didapat dari pemutaran film Avatar 1
ini.

Bayangin, kalau James Cameron nggak ada budget buat


promosiin filmnya? Atau nggak ada budget buat
memproduksi film Avatar selanjutnya?

Mungkin nggak ada timeline Avatar 1 s.d. 5. Hehe, iya?

Seperti yang Seth Godin bilang dalam The Icarus


Deception, “…karya seni yang tak terjual, bukan seni”. Aku
setuju dengan itu.

Karena, setiap di dunia ini berpasang-pasangan:

Ada penjual, ada pembeli;

6
Ada penulis, ada pembaca;

Ada pekarya, ada penikmat.

Jadi kalau menulis sekadar kesenangan tapi masih


membutuhkan kebutuhan finansial, sungguh naif kalau
nggak memaksimalkan tulisan untuk menjadi sumber
penghasilan.

Ini yang bikin skill menulis atau tulisan kita gini-gini aja,
karena referensinya terbatas, ya, karena budgetnya juga
terbatas.

Mau beli buku, nggak ada budgetnya. Mau iktu kelas,


nggak ada budgetnya.

Coba dibalik, misalnya hasil dari menulis, dialokasikan lagi


untuk menambah referensi dan wawasan.

Karena pengetahuan seperti pohon, yang bisa terasa


manfaatnya ketika selang beberapa waktu.

Seperti membaca buku, nggak langsung paham, ada


proses dalam memahami apa yang kita baca.

Kumenyebutnya proses inkubasi atau orang lain


menyebutnya internalisasi.

Jadi kalau kita ingin hidup dari karya, penting sekali


melakukan dua hal ini, karena dua hal ini akan membesar
yang berdampak pada pertumbuhan kualitas tulisan dan
pribadi kita.

Jadi, kebayang banget ya? Kalau kita udah nulis, lalu


pasarkan.
7
Karena bagaimana orang lain tau kita punya karya, kalau
kita nggak mengomunikasikannya ke publik?

Pemasaran itu ibarat kita mengomunikasikannya ke


banyak orang, dengan cara yang bisa diterima oleh
mereka.

Bukan sekadar bilang, “WOY! Ini karya gue, beli dong!”


nggak gitu juga, ya. Hehe. Makanya kita perlu belajar
memasarkan karya.

Bukan sekadar memasarkan, tapi ada cara yang elegan


tanpa perlu takut penolakan.

Menariknya apa yang aku sampaikan barusan adalah


circle yang ketiga, kesatu dan keduanya adalah ini:

Menulis dan membaca;

Belajar dan mengajarkan;

Baru menciptakan karya dan memasarkan karya.

Atau aku menyebutkanya:

Circle yang pertama itu pondasi;

Circle yang kedua itu akselerasi;

Circle yang ketiga itu monetisasi.

Kamu bisa lihat ilustrasi di bawah ini.

8
9
Sebelum menghasilkan kamu perlu pondasi yang kuat,
agar apa? Ya, nggak mudah rapuh dan runtuh.

Ketika kamu hanya melakukan satu aktivitas saja, kamu


akan keluar dari circle, dan akhirnya kamu nggak
bertumbuh sebagaimana mestinya.

Pentingnya kamu menyeimbangkan antaran membaca


dan menulis.

10
Lalu, setelah pondasi, ada akselerasi.

Ketika kamu sedang mempelajari sesuatu, lalu kamu ingin


cepat paham, kamu praktikkan dan ajarkan.

Karena itu yang membuat pengetahuan yang kita dapatkan


dari membaca, lebih mudah dipahami.

Apa bisa dari pondasi langsung ke monetisasi?

Tentu saja bisa, hanya saja akan terasa lama, karena


belum memahami seutuhnya.

Mengajarkan itu nggak selalu kita sampaikan lewat lisan,


juga bisa kita sampaikan melalui tulisan.

Jadi, bangun pondasi, perkuat dengan akselerasi, dan


jangan lupa untuk motenisasi.

Agar apa?

Hidup dan bertumbuh dari karya.

Makin excited untuk hidup dan bertumbuh dari karya?

Yuk, lanjuuuut!

Kalau ada penulis yang anti-jualan, anti-pemasaran,


sebenarnya itu kondisi sedang nggak sadar, kalau apa
yang ia lakukan adalah pemasaran.
11
Ya, memasarkan gagasannya.

Bayangin, kamu punya ide atau gagasan untuk bisa hidup


dengan tenang tanpa overthinking.

Mustahil orang lain bisa tau apa yang kita pikirkan, kalau
kita nggak tuangkan ke dalam tulisan.

Para penulis internasional dan legendaris, melakukan dua


hal ini, dan dua hal ini adalah bagian dari Writer’s Growth
Circle.

Apa itu?

Pertama, memasarkan gagasan ke dalam bentuk karya,

Kedua, memasarkan karya kepada banyak audiens.

Buku terlaris seperti How to Win Friends and Influence


People karya Dale Carnegie, nggak terlepas dari peran
copywriter.

“Maksudnya memasarkan gagasan itu gimana Kadika?”

Kalau memasarkan poin kedua, orang lain jadi membeli


apa yang kita jual, kan? Iya?

Kalau memasarkan gagasan itu (poin ke satu), ketika kita


menulis bagaimana cara berdamai dengan diri sendiri,

…lalu pembaca merasakan manfaatnya dengan


melakukan saran yang kita berikan, atau pemahaman yang
kita berikan.

12
Itu sudah termasuk memasarkan, kita berhasil
menanamkan benak ke pembaca untuk melakukan suatu
tindakan.

Diperjelas oleh Napoleon Hill dalam Selling You, “menjual


adalah seni menanamkan dalam pikiran orang lain suatu
motif yang akan menghasilkan tindakan menguntungkan”.

“kok menjual sih, kak, katanya memasarkan?”

Ya, memasarkan dan menjual dua hal yang berbeda, tapi


saling berkaitan.

Ibarat dua sisi koin, kalau hanya ada satu sisi koin, ya,
nggak bernilai, tapi kalau keduanya ada, menjadi bernilai
bukan?

Masih semangat untuk menuntaskan ebook ini? :D

Kalau ada cara yang elegan, kenapa pakai cara yang


menyusahkan? Wkwk.

Aku suka sekali jualan sejak SD, motifnya satu, aku ingin
banyak jajan. Dulu sugestinya, kalau banyak jajan, bakalan
bodoh.

Padahal, nggak juga, tergantung apa yang dibeli. Aku


menerima ketika diberi nasihat itu, tapi aku berinisiatif
untuk menambah uang jajan, yakni dengan jualan.
13
Pernah suatu waktu, aku dipanggil oleh guruku ke depan
meja kelas.

“Dika, kamu jualan poster Naruto, ya?”

Setengah gugup aku berkata, “iii… iya, Pak…”

“Berapa kamu jualnya?” tanya guruku dengan santai,


cuman aku overthinking aja, takut berpengaruh terhadap
nilaiku di kelas. Hahaha.

“Saya jual seribu lima ratus, Pak”, jawabku dengan yakin.

“Oh, gitu, yaudah, balik lagi ke tempat duduk.”

“Oke, pak”.

Ternyata cuman ditanyain aja, bukan bermaksud gimana-


gimana. Setelah aku duduk, aku menyesal kenapa aku
nggak mengatakan ini:

“Hmm. Bapak mau beli juga, ya?”

Hahaha. Dasar!

Dulu aku belum seberani seperti sekarang untuk jualan.

Oke, cukup cerita masa lalunya.

Ada cara jualan yang elegan, tanpa perlu takut penolakan


dan tanpa ada paksaan untuk membeli, menarik?

Ya, menjual dengan sales page (kebanyakan orang


menyebutnya landingpage).

Sekarang bayangin, betapa capek dan lelahnya, kalau


harus ngomong atau ngetik pesan ke satu orang yang
14
belum tentu beli produk atau karya yang kita jual.
Kebayang?

Misal, balas chat A, belum lagi chat B masuk, lalu chat C


nanya lagi. Gitu aja terus sampe kelelahan.

Betapa pentingnya seorang pekarya memanfaatkan


waktunya dengan cerdas.

Tapi, kalau sales page? Kamu hanya perlu fokus


mendatangkan ke link web atau sales page.

Sales page itu seperti: certifiedimpactfulwriter.com,


contentwriter.id, dan satuskill.com.

Sejak 2015, aku mengenal dunia internet marketing,


persepsiku berubah tentang jualan, kalau dulu jualan
menawarkan langsung, kalau di internet, nggak begitu.

Kita hanya perlu memancing atau mencuri perhatian


seseorang dengan konten yang kita buat, lalu arahkan ke
sales page yang udah kita buat.

Tentu, kita nggak perlu capek-capek ngomong atau ngetik


untuk menjelaskan apa karya kita, kenapa mereka perlu
membelinya, karena sudah jelas dan lengkap dalam web
tersebut.

Tentu saja nggak sekadar menulis, “inilah karyaku,


membahas tentang bla, bla, bla”. Nggak gitu caranya, ada
seninya. :D

Ini adalah sales page pertamaku ketika menjual buku indie,


bukubsg.blogspot.com.

15
Meski saat itu aku baru masuk ke dunia digital. Maksudku,
berinteraksi dengan orang yang baru aku kenal, tapi ada
orang yang membeli karyaku. Haha.

Karena sales page atau landing page ini mampu


mengatasi ketakutan seseorang ketika membeli.

Ada risetnya, kamu akan terkejut ketika mengetahui angka


yang dihasilkan kalau pake sales page.

Berapa? Teruslah membaca.

“Dulu saya belajar menjual, sekarang saya belajar


bagaimana orang lain tertarik” - Hingdranata Nikolay

Setelah fokus menjual secara online sejak 2015, aku


memerhatikan banyak sekali perubahan, dan ternyata
bukan aku saja yang merasakan ini, seorang senior trainer
(Pak Hing maksudnya) saja mengatakan demikian.

Dulu, kalau ada yang belum transfer, aku follow-up sampe


closing, hahaha.

Sekarang? Aku biarkan saja sistem yang memberi


informasi. Karena ada perbedaan rasa ketika follow-up,
ada perasaan ngarep agar orang lain beli.
16
Kalau kata penulis Covert Selling, “kalau kita sering follow-
up orang untuk transfer, kesannya produk kita nggak laku
:D”. Gituuu. Hahaha.

Sekarang bayangin, ada seorang teman membawa kabar,


tapi sayangnya ia hanya membawa kabar yang tak
lengkap.

“Kamu dimana, aku mau cerita, gawat banget ini mah!”

“yaudah ke rumah aja”

“eh nanti aja ya”

Sampe teman kamu lupa kalau dia mau cerita, tapi kamu
terus penasaran. Kamu akan nagih dia cerita atau tetap
penasaran? Haha.

Mungkin kalau nggak begitu dekat, akan bodoamat, tapi


kalau udah deket, alias bestie? Wah, bisa ditodong ya?
Biar segera cerita karena penasaran banget.

Nah, pentingnya kita membuat konten yang penasaran,


yang bikin seseorang makin kepo dengan apa yang kita
jual.

Maka dari itu, jangan niat jualan, tapi bikin aja konten yang
penasaran, dan sediakan jawabannya.

Karena mereka akan mulai mencari jawaban atas rasa


penasaran yang mereka rasakan.

17
Dan, kamu tau? Untuk jawaban atas rasa penasaran
mereka?

Kalau belum, teruslah membaca.

“Landing page mampu mengatasi ketakutan pembeli yang


mampu meningkatkan konversi rate hingga 80%” –
Hubspot.com

Sadar atau nggak, dari awal tulisan aku bikin kamu


penasaran hingga kamu membacanya sampai selesai,
iya? Hihi.

Oke, lanjut!

Ternyata data yang dikeluarkan hubspot itu bullshit, aku


malah menghasilkan 1100% setelah menggunakan
landing page atau sales page.

Hahaha… artinya sales page memberi pengaruh terhadap


keputusan seseorang, ketika ingin melakukan transaksi.

Maka dari itu menurutku, copywriting itu perannya dua,


menarik perhatian dan meyakinkan calon pembeli.

Misalnya iklan di Google atau di Instagram, pasti iklannya


menggoda untuk mengklik, ‘kan?

18
Nah, tugasnya memang sampe di situ, bikin orang mau
ngeklik hingga mendarat ke sales page.

Tugas berikutnya adalah diyakinkan untuk segera


transfer.

So, sudah siapkah untuk hidup dan tumbuh dari karya?

Selamat belajar dan berproses. ^^

19
20

Anda mungkin juga menyukai