Anda di halaman 1dari 241

EMISI METANA PADA LAHAN

PADI SAWAH ORGANIK DI SRAGEN

DISERTASI

Oleh :

MUJIYO
NIM : 09/292969/SPN/00392

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS PERTANIAN


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
EMISI METANA PADA LAHAN
PADI SAWAH ORGANIK DI SRAGEN

Disertasi
untuk memperoleh derajat Doktor dalam Ilmu Pertanian
Minat Ilmu Tanah
Universitas Gadjah Mada

Dipertahankan di hadapan
Tim Penguji Program Pascasarjana
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
pada tanggal 20 September 2013

Oleh :

MUJIYO
NIM : 09/292969/SPN/00392

Lahir di :
Sukoharjo, Jawa Tengah
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Alhamdulillaahi rabbil ’aalamiin kami panjatkan kehadirat


Allah SWT, karena hanya dengan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, penyusunan
disertasi yang berjudul “Emisi Metana pada Lahan Padi Sawah Organik di
Sragen” ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana dan harapan. Disertasi
terdiri dari tiga bagian; (1) bagian awal berisi judul penelitian, pengesahan,
pernyataan, kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, daftar lampiran,
intisari dan abstract, (2) bagian utama berisi pendahuluan, tinjauan pustaka,
metode penelitian, hasil dan pembahasan, kesimulan dan saran, dan (3) bagian
akhir berisi ringkasan, summary, daftar pustaka dan lampiran.
Cakupan isi disertasi dilatarbelakangi oleh lahan padi sawah yang telah
dinilai sebagai penghasil emisi GRK metana (CH4) akan menimbulkan polemik
pro-kontra terhadap keberlanjutan pengelolaannya dan berdampak pula terhadap
penurunan manfaat sistem pertanian. Upaya yang diperlukan adalah dengan
melakukan upaya menekan emisi CH4 secara periodik melalui karakterisasi lahan
dan pengukuran besarnya emisi CH4, bagaimana pengelolaan lahan agar dapat
menurunkan emisi, namun masih dapat menjaga dan atau meningkatkan
produktivitas lahan. Teknologi pengelolaan, khususnya penggunaan Azolla, yang
disampaikan dalam disertasi ini diharapkan memberikan solusi bagaimana upaya
reklamasi lahan sawah berkadar bahan organik rendah dapat terus dilakukan
secara berkelanjutan melalui sistem padi sawah organik, namun tetap dapat
menurunkan emisi CH4.
Keberhasilan seluruh tahapan pelaksanaan penelitian dan penyusunan
disertasi berkat bantuan dan dukungan oleh berbagai pihak dalam bentuk apapun,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Kesempatan pertama penulis
menghaturkan rasa penghargaan dan terimakasih setulusnya kepada Promotor
Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Hendro S., SU., Ko-Promotor I Bapak Dr. Ir. Eko
Hanudin, MS. dan Ko-Promotor II Bapak Dr. Ir. Jaka Widada, MP. Beliau-beliau
ini hadir, turut serta, mendampingi dan membimbing dalam segala ikhwal

v
perkuliahan, pelaksanaan penelitian sampai dengan penulisan disertasi. Penulis
menyampaikan rasa hormat dan terimakasih atas saran dan kritik membangun
kepada Ibu Dr. Ir. Sri Nuryani Hidayah Utami, M.Sc., Bapak Dr. Ir. Dja’far
Shiddieq, MSc., Bapak Prof. Dr. Didik Indradewa, Dip.Agr.St. dan Bapak Dr. Ir.
Benito H. Purwanto, MP., M.Agr.Sc. Sentuhan terakhir oleh Bapak Prof. Dr. Ir.
Bambang Djadmo K., M.Sc. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Suntoro, M.S. memberikan
banyak koreksi terhadap esensi disertasi dan bahkan sampai koreksi redaksional
yang sangat bermanfaat.
Kesempatan kedua penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia
2. Rektor UGM, Direktur DAA UGM, Dekan Fakultas Pertanian UGM, Ketua
Jurusan Ilmu Tanah, Ketua Program Studi S3 Ilmu Tanah, Bapak/Ibu dosen di
Jurusan Ilmu Tanah dan seluruh pengelola program pasca sarjana, Bu Yani
dan Mas Wahudi
3. Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), Dekan Fakultas Pertanian
UNS, Ketua Jurusan Ilmu Tanah, Ketua Laboratorium di Jurusan Ilmu Tanah
FP UNS, seluruh staf adminsistrasi dan laboran
4. Bappeda, Kesbangpollinmas, Dipertan, Bapeluh Kabupaten Sragen, Cabang
Dinas Pertanian Kecamatan Sambirejo, dan Kepala Desa Sukorejo beserta
seluruh perangkat desa
5. Ketua dan anggota petani Kelompok Tani “Sri Makmur” Dusun Pondok, Desa
Sukorejo dan Kelompok Tani “Margo Rukun I” Dusun Gempol, Desa
Sukorejo, Bapak Ali sekeluarga, Bapak Suroso sekeluarga dan Bapak Ngadi
sekeluarga, terimakasih atas kesediaannya menerima penulis sebagai anggota
keluarga
6. Rekan-rekan S3 Ilmu Tanah UGM angkatan 2009: Bu Ninuk, Pak Riyo, Bu
Robby, Bu Eni, Pak Kun dan Pak Danny, dan juga rekan yang lain: Pak
Shalakudin, Bu Mihar, Pak Syarief, Pak Rif’an, Pak Hatta, Bu Tri, Mbak Ita,
Bu Khadijah, Mbak Afi, Pak Anton, Mas Arif Anshori dan Mbak Wulan.

vi
7. Mas Dodo dan adik-adik mahasiswa semua; Nukhak, Demi, Ferdian Lintang,
Ilham, Ali, Yuan, Heri, Catur, Dyan, Novika, Uya, Puji, Yosinta, Annisa
Niken, Okky, Donny, Haris, Maria Niken, dan Prida yang telah banyak
membantu pelaksanaan penelitian, mohon ma’af apabila tertinggal tidak
disebutkan semuanya
Kesempatan berikutnya penulis menyampaikan terimakasih kepada
seluruh Bapak/Ibu di Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNS, nyuwun sewu
tidak disebutkan satu per satu, panjenengan semua sudah memberikan suri
tauladan yang patut dihikmahi. Bu Ninuk, matur nuwun sudah dan selalu
menemani sebagai sahabat, ibu dan guru. Pak Dadi, terimakasih atas diskusi
ilmiahnya tentang Azolla. Pak Sur, matur nuwun sudah memberikan suri teladan
bagaimana semestinya kita ini hidup dan memberikan manfaat kepada orang lain.
Pak Marno, kesehajaan itu justru memberikan kewibawaan. Mas Yen, Mas Sidik,
Mbak Tum, Mas Darsono dan Dik Nita, terimakasih atas kerjasama dan rasa
kekeluargaan selama di laboratorium. Bu Erlyna, Bu Sum, Pak Anam, Bu Hand
(almarhumah), Bu Nandar dan Pak Heru di Fakultas Pertanian UNS, terimakasih
atas rasa kerjasama dan kekeluargaan yang telah diberikan selama ini. Pak
Bambang Joko Sudibyo, SH., MH., Fakultas Hukum UNS, matur nuwun atas
nasehat-nasehat filosofisnya.
Kesempatan istimewa penulis menyampaikan penghargaan untuk semua
anggota keluarga. Eny Sugiyanti, AMd., istri tercinta, rasanya tidak ada kata yang
bisa menyampaikan ungkapan rasa terimakasih dan penghargaan atas dukungan,
pengertian dan pengorbanan jiwa raga, terimakasih Ma. Anak pertama,
Muhammad Firdaus Wiraatmaja, terimakasih sahabat kecilku. Anak kedua,
Afidah Shafiana Wiraatmaja, terimakasih bidadari kecilku. Kalian semua
membuat semangat ini tetap terus ada.
Almarhum Bapak dan Almarhumah Ibu, pengorbanan dan perjuangan
hidup panjenengan tidak sia-sia, ya Allah ampunilah dosa-dosanya, sayangilah
mereka sebagaimana mereka merawat dan mendidikku dan berilah mereka
keluarga yang lebih baik di sisi-Mu dan pertemukanlah kami kembali, amiin.

vii
Kakak, adik, keponakan dan cucu, dinamika keluarga kita semakin memperkukuh
silahturahim dan kasih sayang. Almarhum Bapak Mertua, perjalanan hidup
keluarga masih panjang dan sampai saat ini sudah sesuai dengan gegayuhan
panjenengan, semoga terus berlanjut, ya Allah ampunilah dosa-dosanya,
sayangilah dan pertemukanlah kami semua nanti dalam suatu keluarga yang lebih
baik di sisi-Mu, amiin. Ibu Sri Sumanti, terimakasih atas tulus kasih sayangya,
sampai tidak bisa membedakan ibu kandung ataukah ibu mertua. Om Lilik dan
keluarga, terimakasih atas semua dukungan dan semangatnya.
Kesempatan terakhir penulis menyampaikan mohon ma’af yang sebesar-
besarnya kepada yang terlupakan ditulis dan tidak dapat disebutkan satu per satu,
terimakasih atas semua jasa baiknya.
Penulis mendo’akan semoga amal baik yang bisa maupun yang tidak bisa
disebutkan di atas mendapat pahala syurga dari Allah SWT, amiin. Kehilangan
Almarhum Bapak Ali di tengah penulisan ini (3 Agustus 2013) semakin
menambah keinginan mewarisi semangat beliau untuk membangun pertanian
yang berselaras dengan alam dan mewariskannya kepada generasi yang akan
datang. Khususan Almarhum Bapak Ali: Allahummakhtim lanaa bil islaam,
wakhtim lanaa bil imaan, wakhtim lanaa bihusnil khootimah.
Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih banyak kekurangan dan
kelemahan, oleh karena itu saran dan kritik membangun sangat diharapkan.
Semoga hasil penelitian ini dapat membawa manfaat bagi ilmuwan, praktisi
(termasuk petani) dan pengambil kebijakan serta pihak lain yang berkepentingan.

Yogyakarta, 20 September 2013

Penulis

viii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………................ ii
HALAMAN PERNYATAAN ………………………………………............... iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………………... v
DAFTAR ISI ………..………………………………………………………… ix
DAFTAR TABEL …………………………………………………………….. xii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………..... xv
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………….. xvii
INTISARI ……………………………………………………………………... xix
ABSTRACT …………………………………………………………………... xx
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………….................... 1
B. Perumusan Masalah .................................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………….... 5
D. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 6
E. Kebaruan dan Keaslian Penelitian .............................................................. 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Padi Sawah Organik ........................................................................ 11
B. Emisi GRK Metana (CH4) ……………………………………………….. 14
C. Faktor Penentu Emisi Metana pada Tanah Sawah ………………….......... 16
D. Mekanisme Produksi Metana dan Pelepasannya ke Atmosfer …………... 20
E. Manfaat Azolla sebagai Sumber Bahan Organik dan Hara N ………….... 24
F. Peranan Azolla Menurunkan Emisi Metana ……………………………... 27
G. Landasan Teori …………………………………………………………… 29
H. Hipotesis .………………………................................................................. 31

ix
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Alur Pikir Penelitian .................................................................................... 32
B. Tahap Penelitian ………………………………………….......................... 33
C. Penelitian Tahap I: Karakterisasi Lahan dan Potensi Emisi Metana .......... 34
1. Pendekatan Penelitian ........................................................................... 35
2. Waktu dan Tempat ............................................................................... 35
3. Bahan dan Alat ..................................................................................... 36
4. Tata Laksana Penelitian ........................................................................ 36
5. Teknik Analisa Data ............................................................................. 40
D. Penelitian Tahap II: Percobaan Rumah Kaca ............................................. 41
1. Pendekatan Penelitian ........................................................................... 42
2. Waktu dan Tempat ............................................................................... 42
3. Bahan dan Alat ..................................................................................... 42
4. Rancangan Percobaan ........................................................................... 43
5. Tata Laksana Penelitian ........................................................................ 45
6. Teknik Analisis Data ............................................................................ 48
E. Penelitian Tahap III: Percobaan Lapangan ................................................. 49
1. Pendekatan Penelitian ........................................................................... 50
2. Waktu dan Tempat ............................................................................... 50
3. Bahan dan Alat ..................................................................................... 50
4. Rancangan Percobaan ........................................................................... 51
5. Tata Laksana Penelitian ........................................................................ 53
6. Teknik Analisa Data ............................................................................. 56
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penelitian Tahap I: Karakterisasi Lahan dan Potensi Produksi CH4 .......... 57
1. Keadaan Umum Wilayah ..................................................................... 57
2. Karakterisasi Tanah dan Lahan ……………………………………… 59
3. Emisi CH4 ………………………………………………..................... 76
4. Pilihan Lokasi Percobaan Penelitian ………………………………… 86

x
B. Penelitian Tahap II: Percobaan Rumah Kaca ............................................. 87
1. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman ......................................................... 87
2. Sifat Tanah Akhir ................................................................................. 102
3. Emisi CH4 ............................................................................................. 106
4. Alternatif Pilihan Rekomendasi ........................................................... 117
C. Penelitian Tahap III: Percobaan Lapangan ................................................. 120
1. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman ......................................................... 120
2. Sifat Tanah Akhir ................................................................................. 135
3. Emisi CH4 ............................................................................................. 139
4. Alternatif Pilihan Rekomendasi ........................................................... 148
D. Pembahasan Umum ..................................................................................... 151
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ................................................................................................. 166
B. Saran Rekomendasi ..................................................................................... 166
RINGKASAN .................................................................................................... 168
SUMMARY ....................................................................................................... 176
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 183
LAMPIRAN ....................................................................................................... 194

xi
DAFTAR TABEL

Tabel Judul Tabel Halaman


1. Macam perlakuan percobaan rumah kaca dengan pupuk kandang
sapi, pupuk Azolla, inokulum Azolla dan kombinasinya …................... 43
2. Macam perlakuan percobaan lapangan dengan pupuk kandang
sapi, pupuk Azolla, inokulum Azolla dan kombinasinya …................... 51
3. Keterangan titik profil P1 (sawah organik), P2 (sawah semi organik),
P3 (sawah konvensional) dan P4 (hutan jati) ………………………..... 59
4. Rasio debu/klei, KPK/klei dan debu/Fe bebas tanah P1 (sawah
organik), P2 (sawah semi organik), P3 (sawah konvensional) dan
P4 (hutan jati) …..................................................................................... 74
5. C-organik, C biomassa mikrobia, potensi produksi dan oksidasi CH4
tanah P1 (sawah organik), P2 (sawah semi organik), P3 (sawah
konvensional) dan P4 (hutan jati) ……………………………………... 77
6. Korelasi potensi produksi CH4 dengan beberapa parameter terpilih
hasil analisis sifat tanah sawah organik, sawah semi organik, sawah
konvensional dan hutan jati .................................................................... 78
7. Tinggi dan jumlah anakan tanaman padi sawah organik pada
percobaan rumah kaca ….……………………………………………... 90
8. Berat gabah per malai, berat 1.000 biji, berat segar brangkasan,
gabah kering panen, dan indeks panen padi sawah organik pada
percobaan rumah kaca .………………………………………………... 91
9. Korelasi parameter tanaman dan sifat tanah terpilih sistem padi
sawah organik pada percobaan rumah kaca …………………………... 92
10. Rata-rata NH4+, NO3- tanah dan GKP sistem padi sawah organik
pada perlakuan pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla hasil
percobaan rumah kaca ………………………………………………… 94
11. Kandungan C, N, P dan K pada akar, tajuk dan gabah tanaman
padi sawah organik pada percobaan rumah kaca ……………………... 96

xii
Tabel Judul Tabel Halaman
12. Serapan C, N, P dan K pada tajuk dan akar tanaman padi sawah
organik pada percobaan rumah kaca ...................................................... 97
13. Korelasi serapan hara dan parameter terpilih sistem padi sawah
organik pada percobaan rumah kaca ………………………………….. 101
14. Sifat tanah sawah organik awal sebelum percobaan penanaman ........... 102
15. Sifat tanah sawah organik akhir setelah percobaan penanaman di
rumah kaca ……………………………………………………………. 103
16. Sifat tanah sawah organik akhir setelah percobaan penanaman
di rumah kaca dan harkat kesuburannya ................................................ 104
17. Korelasi status kesuburan tanah dan parameter terpilih sistem padi
sawah organik pada percobaan rumah kaca …………………………... 105
18. Sifat tanah dan air (rata-rata pada umur 38, 70 dan 95 HST) sistem
padi sawah organik pada percobaan rumah kaca ................................... 107
19. Methanogen dan methanotrof (rata-rata 38, 70 dan 97 HST),
emisi 38, 70 dan 97 HST, dan emisi 1 MT sistem padi sawah organik
pada percobaan rumah kaca ................................................................... 112
20. Korelasi emisi dengan parameter terpilih sistem padi sawah organik
pada percobaan rumah kaca …………………………………………... 114
21. Rata-rata emisi oleh sistem padi sawah organik pada perlakuan
pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla hasil percobaan rumah kaca ..... 115
22. Rata- rata sifat air terpilih dan emisi oleh sistem padi sawah organik
pada perlakuan inokulum Azolla hasil percobaan rumah kaca ……….. 115
23. GKP, status kesuburan tanah akhir dan emisi CH4 oleh sistem
padi sawah organik pada percobaan rumah kaca ................................... 118
24. Tinggi dan jumlah anakan tanaman padi sawah organik pada
percobaan lapangan ….………………………………........................... 125
25. Berat gabah per malai, berat 1.000 biji, berat segar brangkasan,
gabah kering panen dan indeks panen tanaman padi sawah organik
pada percobaan lapangan ..……………………………………………. 126

xiii
Tabel Judul Tabel Halaman
26. Korelasi parameter tanaman dan sifat tanah terpilih sistem padi
sawah organik pada percobaan lapangan ……………………………... 128
27. Rata-rata NH4+ tanah dan GKP oleh padi sawah organik pada
perlakuan pupuk kandang sapi , pupuk azolla dan inokulum Azolla
hasil percobaan lapangan ....................................................................... 128
28. Kandungan C, N, P dan K pada akar, tajuk dan gabah padi sawah
organik pada percobaan lapangan …………………………………….. 131
29. Serapan C, N, P dan K pada tajuk dan akar padi sawah organik
pada percobaan lapangan …………………………............................... 132
30. Korelasi serapan hara dan parameter terpilih sistem padi sawah
organik pada percobaan lapangan …………………………………….. 134
31. Sifat tanah sawah organik akhir setelah percobaan penanaman di
lapangan ……………………………………………………................. 136
32. Sifat tanah sawah organik akhir setelah percobaan penanaman
di lapangan dan harkat kesuburannya .................................................... 137
33. Korelasi status kesuburan tanah dan parameter terpilih sistem
padi sawah organik pada percobaan lapangan ………………………... 138
34. Sifat tanah dan air (rata-rata pada umur 35, 68 dan 96 HST) padi
sawah organik pada percobaan lapangan ............................................... 141
35. Methanogen dan methanotrof (rata-rata 35, 68 dan 96 HST),
emisi 35, 68 dan 96 HST, dan emisi 1 MT oleh padi sawah organik
pada percobaan lapangan ....................................................................... 142
36. Korelasi emisi dengan parameter terpilih sistem padi sawah
organik pada percobaan lapangan .......................................................... 145
37. Rata-rata emisi oleh padi sawah organik pada perlakuan pupuk
kandang sapi dan pupuk Azolla hasil percobaan lapangan .................... 146
38. Rata-rata sifat air terpilih dan emisi oleh sistem padi sawah
organik pada perlakuan inokulum Azolla hasil percobaan lapangan ..... 147
39. GKP, status kesuburan tanah akhir dan emisi CH4 oleh sistem padi
sawah organik hasil percobaan lapangan ............................................... 149
xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Gambar Halaman


1. Pelepasan CH4 ke atmosfer melalui difusi, ebulisiasi dan perantara
tanaman ................................................................................................ 22
2. Jalur perjalanan metana dari rizosfer ke atmosfer melalui pori
mikro pada permukaan daun bagian bawah dan stomata pada
pundi-pundi daun …………………..................................................... 23
3. Alur pikir penelitian ………………………………………………… 32
4. Tahap penelitian ................................................................................... 33
5. Tahap karakterisasi lahan dan potensi emisi CH4 ................................ 34
6. Tahap percobaan rumah kaca ............................................................... 41
7. Denah penempatan satuan percobaan rumah kaca ............................... 44
8. Tahap percobaan lapangan ................................................................... 49
9. Denah/layout penempatan satuan percobaan lapangan ........................ 52
10. Peta titik pengamatan profil dan pengambilan sampel. P1 sawah
organik, P2 sawah semi organik, P3 sawah konvensional dan
P4 hutan jati …………………………………………………………. 58
11. Grafik rata-rata curah hujan dan evapotranspirasi bulanan …………. 61
12. Penampang profil P1 ............................................................................ 65
13. Penampang profil P2 ............................................................................ 68
14. Penampang profil P3 ............................................................................ 70
15. Penampang profil P4 ............................................................................ 72
16. Garis regresi potensi produksi CH4 dengan C-organik ........................ 79
17. Penampang profil P1 sawah organik dan P2 sawah semi organik
(atas) dan perbandingannya di horison II (bawah) .............................. 80
18. Pola produksi CH4 pada tanah C-organik tinggi .................................. 84
19. Pola produksi CH4 pada tanah C-organik sedang ................................ 84
20. Pola produksi CH4 pada tanah C-organik rendah ................................ 85

xv
Gambar Judul Gambar Halaman
-1 -1
21. Penutupan inokulum Azolla 1,33 ton ha (atas), 2 ton ha (tengah),
dan 4 ton ha-1 (bawah) ……………………………………………….. 87
22. Grafik pertumbuhan tinggi tanaman padi sawah organik pada
percobaan rumah kaca ……………………………………………….. 88
23. Grafik pertumbuhan jumlah anakan tanaman padi sawah organik
pada percobaan rumah kaca ………………………………................. 89
24. Rata-rata emisi harian .......................................................................... 113
25. Penutupan inokulum Azolla 4 ton ha-1 setelah 9 hari penebaran
(tanaman padi umur 14 HST) .............................................................. 120
26. Azolla masih bertahan pada saat panen padi sawah organik (tanda
panah), tampak atas (insert) ................................................................. 121
27. Tanaman padi sistem organik pada percobaan lapangan ..................... 122
28. Grafik pertumbuhan tinggi tanaman padi sawah organik pada
percobaan lapangan ………………………………………………….. 123
29. Grafik pertumbuhan jumlah anakan tanaman padi sawah organik
pada percobaan lapangan ………………………………..................... 124
30. Rata-rata emisi harian ……………………………………………...... 144

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Lampiran Halaman


1. Metode analisis sifat tanah ............................................................... 194
2. Metode analisis sifat air ................................................................... 195
3. Metode analisis jaringan tanaman dan Azolla ................................. 196
4. Metode analisis pupuk kandang sapi ……………………………... 196
5. Metode analisis emisi CH4 ………………………………………... 197
6. Metode analisis methanogen dan methanotrof ……….................... 197
7. Pemerian horison tanah sawah organik (P1) …………………….... 198
8. Sifat fisika dan biologi tanah sawah organik (P1) ………………... 200
9. Sifat kimia tanah sawah organik (P1) …………………………….. 200
10. Kandungan Fe tanah sawah organik (P1) ………………………… 201
11. Gambar hasil difraksi sinar-X tanah sawah organik (P1) ................ 201
12. Horison diagnostik tanah sawah organik (P1) ……………………. 202
13. Klasifikasi tanah sawah organik (P1) ……………………….......... 203
14. Pemerian horison tanah sawah semi organik (P2) ………………... 204
15. Sifat fisika dan biologi tanah sawah semi organik (P2) …………... 206
16. Sifat kimia tanah sawah semi organik (P2) ……………………….. 206
17. Kandungan Fe tanah sawah semi organik (P2) …………………… 207
18. Gambar hasil difraksi sinar-X tanah sawah semi organik (P2) ........ 207
19. Horison diagnostik tanah sawah semi organik (P2) ………………. 208
20. Klasifikasi tanah sawah semi organik (P2) ……………………….. 209
21. Pemerian horison tanah sawah konvensional (P3) ………………... 210
22. Sifat fisika dan biologi tanah sawah konvensional (P3) ………….. 212
23. Sifat kimia tanah sawah konvensional (P3) ………………………. 212
24. Kandungan Fe tanah sawah konvensional (P3) …………………... 213
25. Gambar hasil difraksi sinar-X tanah sawah konvensional (P3) ....... 213
26. Horison diagnostik tanah sawah konvensional (P3) ……………… 214
27. Klasifikasi tanah sawah konvensional (P3) ………………………. 215

xvii
Lampiran Judul Lampiran Halaman
28. Pemerian horison tanah hutan jati (P4) …………………………… 216
29. Sifat fisika dan biologi Tanah hutan jati (P4) …………………….. 218
30. Sifat kimia tanah hutan jati (P4) ………………………………….. 218
31. Kandungan Fe tanah hutan jati (P4) ………………………………. 219
32. Gambar hasil difraksi sinar-X tanah hutan jati (P4) ........................ 219
33. Horison diagnostik tanah hutan jati (P4) …………………………. 220
34. Klasifikasi tanah hutan jati (P4) ………………………................... 220
35. Sifat kimia pupuk kandang sapi dan Azolla yang digunakan
dalam percobaan penanaman di rumah kaca dan lapangan ………. 221

xviii
INTISARI

Sistem padi sawah organik mutlak menggunakan pupuk organik, yang


dinilai dapat meningkatkan produksi gas metana (CH4). Azolla merupakan sumber
pupuk organik dan berpengaruh menurunkan emisi CH4 dari tanah sawah.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui perbedaan sifat tanah dan
produksi CH4 pada sawah organik, semi organik dan konvensional, dan
mengetahui sifat tanah yang mempengaruhi potensi emisi CH4, (2) Mengetahui
pengaruh pupuk kandang sapi, pupuk Azolla (dibenamkan), inokulum Azolla
(ditumbuhkan bersama tanaman padi) dan kombinasinya terhadap sifat tanah,
pertumbuhan dan hasil tanaman padi, dan emisi CH4, dan (3) Menentukan
rekomendasi penggunaan dan cara aplikasi pupuk kandang sapi dan Azolla yang
dapat memperbaiki sifat tanah, meningkatkan hasil tanaman padi, dan
menurunkan emisi CH4.
Penelitian dilaksanakan dengan 3 tahap: (1) Karakterisasi lahan dan
analisis potensi produksi CH4 di laboratorium. Sifat tanah sawah organik
diperbandingkan dengan sawah semi organik dan konvensional. Potensi produksi
CH4 ditentukan dengan mengukur CH4 oleh tanah yang diinkubasi dengan
genangan, (2) Percobaan rumah kaca untuk penanaman padi sawah organik
menggunakan berbagai perlakuan. Perlakuan menggunakan pupuk kandang sapi,
pupuk Azolla, inokulum Azolla, dan kombinasinya didasarkan pada pemenuhan
120 kg N ha-1, dan (3) Percobaan lapangan untuk penanaman padi sawah di lahan
organik, menggunakan perlakuan yang sama dengan percobaan rumah kaca.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat tanah sawah organik berbeda
dengan tanah sawah semi organik dan konvensional. Tanah sawah organik
mempunyai warna matriks lebih gelap, dan C-organik, konsentrasi massa humus,
C dan N biomassa mikrobia, dan potensi produksi CH4 lebih tinggi dari pada
tanah sawah semi organik dan konvensional. Sifat tanah yang paling
mempengaruhi emisi CH4 adalah kandungan C-organik.
Pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla meningkatkan hasil gabah kering
panen (GKP) berturut-turut sebesar 14,77% dan 9,24%, tetapi tidak berpengaruh
nyata terhadap emisi CH4. Inokulum Azolla menurunkan emisi CH4 sebesar
52,91%, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap GKP. Penggunaan pupuk
kandang sapi 4 ton ha-1 + inokulum Azolla 2 ton ha-1, pupuk Azolla 2,5 ton ha-1 +
inokulum Azolla 2 ton ha-1, dan pupuk kandang sapi 2,67 ton ha-1 + pupuk Azolla
1,67 ton ha-1 + inokulum Azolla 1,33 ton ha-1 dapat meningkatkan GKP dan
menurunkan emisi CH4.
Penggunaan inokulum Azolla dapat diterapkan sebagai salah satu cara
untuk menurunkan emisi gas rumah kaca CH4 pada budidaya padi sawah organik.

Kata kunci: emisi CH4, sawah organik, Azolla

xix
ABSTRACT

Organic paddy system absolutely uses organic fertilizer which assessed


can increase the methane (CH4) production. Azolla is organic fertilizer source and
affects to reduce CH4 emission from paddy field.
This research aimed to: (1) Know the differences of soil properties and
CH4 production potential in organic paddy field, semi-organic and conventional,
and to know the soil property which most influences CH4 emission potential, (2)
Know the influence of cow manure, Azolla fertilizer (incorporated into the soil),
Azolla inoculum (dual cropping with the rice plant) and its combination to the soil
properties, the growth and yield of rice plant, and CH4 emission, and (3) Decide
recommendation and the way to applicate cow manure and Azolla which can
improve soil properties, increase rice yield, and reduce CH4 emission.
This research was conducted into 3 steps: (1) Field characterization and
analyzing of CH4 production potential in laboratory. Soil properties in organic
paddy field were compared to semi-organic and conventional paddy field. CH4
production potential was determined by measuring CH4 by means of soil which
incubated with puddle, (2) Greenhouse experiment for planting organic paddy
using various treatments. Treatments using cow manure, Azolla fertilizer, Azolla
inoculum, and its combination based on requirement of 120 kg N ha-1, and (3)
Field experiment for planting paddy in organic field using some treatments as in
greenhouse experiment.
The result of the research showed that soil properties of organic paddy
field were different from the soil of semi-organic and conventional. Soil in the
organic paddy field had darker matrix color, and C-organic, humus mass
concentration, microbial biomass C and N, and CH4 production potential were
higher than the soil in semi-organic and conventional paddy field. Soil property
which most influences CH4 emission was C-organic content.
Cow manure and Azolla fertilizer increased the harvest dry grain (HDG)
14.77% and 9.24%, respectively, but did not significantly affect CH4 emission.
Azolla inoculum reduced CH4 emission 52.91%, but did not significantly affect
HDG. The application of cow manure 4 tons ha-1 + Azolla inoculum 2 tons ha-1,
Azolla fertilizer 2.5 tons ha-1 + Azolla inoculum 2 tons ha-1, and cow manure 2.67
tons ha-1 + Azolla fertilizer 1.67 tons ha-1 + Azolla inoculum 1.33 tons ha-1 could
increase HDG and reduce CH4 emission.
The application of Azolla inoculum can be applied as a way to reduce
greenhouse gas emission of CH4 in organic paddy cultivation.

Keywords: CH4 emission, organic paddy field, Azolla

xx
1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan dramatis paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang terjadi

sejak tahun 80-an telah memperkenalkan konsep pembangunan berkelanjutan.

Konsep ini berdampak kepada peningkatan kepedulian terhadap pentingnya

memelihara kelestarian ekosistem dan kualitas lingkungan dalam pemanfaatan

sumberdaya alam. Upaya pemecahan persoalan produksi dan produktivitas

pertanian oleh karena itu harus diimbangi dengan upaya pelestarian fungsi

sumberdaya alam dan lingkungan.

Sebagian besar lahan sawah di Indonesia sementara itu berkadar bahan

organik rendah (C-organik < 2%) sebagai akibat intensitas penanaman terus-

menerus dengan penggunaan pupuk anorganik dan sebagian besar hasil panen

(jerami) diangkut keluar, serta tidak ada penambahan bahan organik yang lain

(Karama, 2001; Syamsiyah dan Mujiyo, 2006). Rata-rata bahan organik tanah

sawah di Palur Sukoharjo 1,96% (Mujiyo dan Syamsiyah 2006). Kandungan C-

organik rendah merupakan ciri khas tanah-tanah di daerah tropika yang

disebabkan oleh tingginya suhu dan laju dekomposisi, serta kurangnya

pengembalian bahan organik ke dalam tanah (Sanchez, 1976).

Salah satu usaha untuk mengatasi degradasi lahan sawah berkadar bahan

organik rendah, petani di Indonesia mengimplementasikannya dengan sistem padi

sawah organik, yang salah satu komponen utamanya adalah dengan penggunaan

pupuk (bahan) organik. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa

penggunaan pupuk organik pada tanah sawah ternyata meningkatkan produksi gas
2

metana (CH4). Rangkaian proses dekomposisi bahan organik melalui proses

oksidasi-reduksi akan diakhiri dengan pembentukan CO2 dan CH4 (Le Mer and

Roger, 2001; Nieder and Benbi, 2008). Bahan organik berpengaruh tidak

langsung terhadap peningkatan emisi metana melalui peranannya menurunkan

potensial redoks (Eh) tanah. Produksi metana dalam tanah akan meningkat seiring

penurunan Eh dibawah -100 mV (Hou et al., 2000; Li, 2007).

CH4 merupakan salah satu emisi GRK dari tanah sawah dan berpotensi

menyebabkan global warming karena dapat menyerap radiasi infra-merah. Potensi

pemanasan global (GWP = global warming potential) CH4 dapat mencapai 10x

(sepuluh kali) lebih besar dari pada potensi pemanasan global oleh CO2 (Boeckx

and Cleemput, 1996). Nieder and Benbi (2008) sementara itu menyampaikan

bahwa CH4 mempunyai kemampuan memancarkan panas 21x (dua puluh satu

kali) lebih tinggi dari pada CO2.

Sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar emisi CH4 dan N2O,

sebesar 59% pada tahun 1990, dan diperkirakan 57% pada tahun 2020 (USEPA,

2006). Emisi CH4 menyumbang 20% dari total emisi gas rumah kaca (Inubushi et

al., 2001). Adachi et al. (2006) menyatakan 7% dari total emisi gas rumah kaca

adalah emisi CH4 yang berasal dari ekosistem padi sawah. Reddy and DeLaune

(2008) sementara itu menyebutkan bahwa emisi metana global sebesar 5.108 ton

tahun-1, dan tanah sawah menyumbang 5.107 ton tahun-1 atau sebesar 10% nya.

Petani di Desa Sukorejo, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen, telah

melaksanakan sistem padi sawah organik sejak tahun 2001, dan sudah disertifikasi

oleh INOFICE (Indonesian Organic Farming Certification) sebagai penghasil


3

pangan organik untuk ruang lingkup beras organik pada tahun 2008. Penggunaan

pupuk hanya dari pupuk kandang sapi sebanyak 8 ton ha-1 pada tahun-tahun

pertama, kemudian hanya 2 ton ha-1 pada tahun-tahun berikutnya dengan beberapa

penambahan masukan kompos jerami, penggunaan Azolla, hormon organik

(campuran madu dan susu). Beberapa varietas padi yang ditanam adalah IR-64,

mentik dan beras merah dengan rata-rata hasil gabah kering panen (GKP) 7,5 –

8,5 ton ha-1 (Sutrisno, 2009).

Syamsiyah et al. (2010), Mujiyo et al. (2010) dan Hartati et al. (2010)

menyampaikan salah satu kendala yang dihadapi dalam melaksanakan sistem padi

sawah organik di daerah penelitian adalah keberlanjutan penyediaan pupuk

organik. Kendala lainnya beberapa petani belum merasa puas kalau tanaman

hanya dipupuk dengan pupuk kandang (pupuk kandang sapi), karena tanaman

tidak segera tumbuh subur, tidak tampak hijau, dan jumlah anakan sedikit. Petani

akhirnya masih menggunakan pupuk kimia, dan yang biasa digunakan adalah

pupuk Urea, agar supaya tanaman cepat tumbuh subur.

Lahan pertanian yang telah dinilai sebagai salah satu penghasil emisi

GRK, akan menimbulkan polemik pro-kontra terhadap keberlanjutan pengelolaan

lahan pertanian, dan akan berdampak pula terhadap penurunan manfaat sistem

pertanian. Kebiasaan beberapa petani yang masih menggunakan pupuk kimia

(Urea) juga merupakan kendala bagi keberlanjutan standar produksi beras

organik, sehingga perlu mendapat perhatian dan jalan pemecahan masalahnya.

Salah satu strategi yang dapat diterapkan untuk mengatasi kedua permasalahan

tersebut sekaligus adalah dengan penggunaan Azolla.


4

Azolla dapat ditanam bersama-sama dengan tanaman padi, mampu

menghasilkan biomassa yang besar dalam waktu singkat, mempunyai kemampuan

menambat N2 udara, sehingga selain sebagai sumber bahan organik dapat

digunakan juga sebagai pupuk N, teknik ini lebih mudah dan murah untuk

diaplikasikan ke lapangan (Arifin, 1996), serta efek penggunaannya dapat

menurunkan emisi CH4 dari lahan sawah, karena Azolla dapat memacu oksidasi

CH4 (Bharati et al., 2000; Prasanna et al., 2002; Sasa et al., 2003).

B. Perumusan Masalah

Ciri khas dari sistem padi sawah organik adalah penggunaan pupuk

(bahan) organik yang lebih tinggi dari pada sistem padi sawah konvensional/kimia

maupun semi organik. Penggunaan pupuk organik akan meningkatkan kandungan

bahan organik tanah, dan berdampak kepada perubahan sifat fisika, kimia dan

biologi tanah. Bahan organik akan meningkatkan produksi CH4 melalui

pengaruhnya terhadap penurunan Eh dan penyediaan sumber C. Penelitian

pengukuran CH4 oleh karena itu perlu dilakukan untuk mengetahui berapa potensi

produksi (potensi emisi) CH4 dari tanah sawah organik. Pengukuran potensi emisi

CH4 dapat dilakukan dengan cara inkubasi sampel tanah di laboratorium.

Azolla dapat dimanfaatkan untuk budidaya padi sawah organik sebagai

sumber bahan organik dan pupuk N, dan untuk menurunkan emisi CH4. Penelitian

percobaan penanaman padi sawah organik dengan menggunakan Azolla oleh

karena itu perlu dilakukan untuk mengetahui bagaimana peranan Azolla terhadap

sifat/kesuburan tanah, pertumbuhan dan hasil tanaman padi, dan emisi CH4.

Percobaan penanaman padi sawah organik dengan menggunakan pupuk kandang


5

sapi (kebiasaan petani) dan Azolla sebagai pupuk organik (dibenamkan) maupun

sebagai inokulum (ditumbuhkan bersama dengan tanaman padi) diharapkan dapat

dapat memperbaiki sifat tanah, meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman

padi, dan menurunkan emisi CH4.

Azolla mempunyai kandungan C/N rasio rendah, yang apabila

diaplikasikan sebagai pupuk organik akan menghasilkan emisi CH4 lebih rendah

dibandingkan dengan pupuk organik dengan C/N rasio lebih tinggi. Azolla yang

diaplikasikan sebagai inokulum akan meningkatkan konsentrasi oksigen dan

kemungkinan juga konsentrasi nitrat dan nitrit di dalam air genangan sawah.

Oksigen, nitrat dan nitrit terlarut merupakan agen pengoksidasi CH4, dengan

demikian akan mengurangi jumlah CH4 yang diemisikan.

C. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui perbedaan sifat tanah dan emisi CH4 pada lahan sawah organik,

semi organik dan konvensional, dan mengetahui sifat tanah yang menentukan

potensi emisi CH4.

b. Mengetahui pengaruh pupuk kandang sapi, pupuk Azolla (dibenamkan),

inokulum Azolla (ditumbuhkan bersama tanaman padi) dan kombinasinya

terhadap sifat tanah, pertumbuhan dan hasil tanaman padi, dan emisi CH4.

c. Menentukan rekomendasi penggunaan dan cara aplikasi pupuk kandang sapi

dan Azolla yang dapat memperbaiki sifat tanah, meningkatkan hasil tanaman

padi, dan menurunkan emisi CH4.


6

D. Manfaat Hasil Penelitian

1. Menemukan teknologi pemanfaatan Azolla sebagai sumber bahan organik dan

pupuk N untuk melengkapi dan atau mengganti pupuk kandang sapi pada

budidaya padi sawah organik. Upaya reklamasi lahan berkadar bahan organik

rendah dengan menggunakan Azolla dapat dilakukan secara berkelanjutan yang

meminimalkan emisi GRK CH4 dan menjaga produktivitas tanaman.

2. Hasil penelitian akan memberikan dampak optimalisasi faktor produksi untuk

menghasilkan produk pertanian (beras) yang memenuhi aspek kuantitas dan

kualitas secara berkelanjutan dan mencapai ketahanan pangan bagi bangsa

Indonesia.

E. Kebaruan dan Keaslian Penelitian

Kebaruan penelitian dibandingkan hasil penelitian sebelumnya adalah

sebagai berikut;

1. Lokasi penelitian di lahan padi sawah organik, yang sudah disertifikasi oleh

INOFICE (Indonesian Organic Farming Certification) pada tahun 2008,

sementara itu percobaan oleh Bharati et al. (2000) dilaksanakan bukan di lahan

sawah organik yang dicirikan masih menggunakan pupuk Urea.

2. Penelitian pada tahap karakterisasi tanah dan lahan akan mencari faktor

penentu emisi CH4. Pengukuran emisi CH4 melalui penentuan potensi produksi

dan oksidasi CH4 dengan cara inkubasi sampel tanah di laboratorium. Sampel

tanah berasal dari sawah organik, semi organik, konvensional, dan hutan jati.

Joulian et al. (1996) mengukur potensi produksi CH4 pada tanah yang diberi

berbagai sumber C. Oelbermann and Schiff (2008) dan Liu et al. (2011)
7

menggunakan sampel tanah yang mempunyai kandungan C-organik rendah dan

tinggi untuk mengetahui perbedaan produksi CH4.

3. Penelitian oleh Bharati et al. (2000) ada perlakuan yang menggunakan Urea

dan tidak ada yang hanya dengan inokulum Azolla, sedangkan penelitian yang

dilakukan ini tidak ada yang menggunakan Urea, melainkan dengan pupuk

kandang sapi, dan ada perlakuan yang hanya menggunakan inokulum Azolla.

Penelitian oleh Bharati et al. tersebut menghubungkan antara emisi metana

dengan oksigen terlarut pada air genangan, sementara itu penelitian ini selain

menghubungkan emisi metana dengan oksigen terlarut tersebut, juga

menghubungkan emisi metana dengan konsentrasi nitrat dan nitrit pada air

genangan, dan dihubungkan dengan fenomena nitrate and nitrite methane

oxidation (Slonczewski, 2009; Ettwig et al., 2010).

4. Penelitian oleh Sasa et al. (2003) menggunakan Azolla dan mengintegrasikan

dengan menggunakan ikan pada padi sawah (sistem minapadi), sedangkan

penelitian yang dilakukan ini tidak menggunakan ikan.

Penelitian ”Emisi Metana pada Lahan Padi Sawah Organik di Sragen” ini

belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Lingkup penelitian ini mengkaji

karakteristik tanah pada lahan padi sawah organik, semi organik dan

konvensional, dan hubungannya dengan emisi CH4, dan kemudian melakukan

percobaan penanaman padi sawah organik di lingkungan terkontrol rumah kaca

dan dilanjutkan di lapangan. Macam perlakuan menggunakan pupuk kandang

sapi, pupuk Azolla, inokulum Azolla, dan kombinasinya.


8

Lokasi penelitian di Desa Sukorejo, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten

Sragen. Setyanto (2004) sementara itu pernah mengukur potensi produksi CH4

pada 1 sampel tanah di Desa Ngemplak, Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Sragen.

Berikut ini beberapa penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya yang terkait dengan lingkup penelitian yang dilakukan:

No. Tahun Peneliti Lingkup Penelitian Hasil Penelitian


1. 1996 Joulian et al. Produksi CH4 pada Tanah diberi algae (C/N
inkubasi sampel 12) menghasilkan
tanah yang diberi produksi CH4 2 kali lebih
berbagai macam tinggi dari pada
sumber C perlakuan kontrol tanpa
pemberian sumber C,
sementara itu pemberian
jerami (C/N 40)
menghasilkan produksi
CH4 8 kali lebih tinggi
dari pada kontrol
2. 2000 Bharati et al. Penelitian Inokulum Azolla mampu
penanaman padi menurunkan emisi CH4,
sawah dengan oleh mekanisme
perlakuan pupuk pelepasan oksigen Azolla
Urea, pupuk Azolla, ke dalam tanah yang
dan inokulum dapat mengurangi
Azolla, dan suasana reduksi. Azolla
pengaruhnya meningkatkan
terhadap hasil padi konsentrasi oksigen
dan emisi CH4 terlarut pada air
genangan. Penggunaan
Azolla demikian juga
meningkatkan hasil
gabah yang tidak berbeda
nyata dengan
penggunaan Urea.
3. 2002 Prasanna et al. Penggunaan Azolla Azolla mampu
pada lahan sawah memitigasi CH4 dari
dan pengaruhnya tanah sawah dengan
terhadap emisi CH4 mekanisme Azolla
tersebut menstimulir
oksidasi CH4
9

No. Tahun Peneliti Lingkup Penelitian Hasil Penelitian


4. 2003 Sasa et al. Penggunaan Azolla Takaran Azolla 2 ton ha-1
pada minapadi dan pada sistem minapadi
pengaruhnya dapat menekan emisi
terhadap CH4 dan meningkatkan
produktivitas dan hasil ikan dan padi
emisi CH4
5. 2004 Setyanto Pengukuran potensi Tingkat potensi produksi
produksi CH4 dari CH4 pada 17 jenis tanah
lahan sawah pada di Jawa Tengah berbeda-
berbagai jenis tanahbeda, dan dikelompokkan
di Jawa Tengah (17 dalam kategori tinggi
jenis tanah) (>4.360 kg CH4 ha-1 80
hari-1), sedang (4.360-
2.332 kg CH4 ha-1 80
hari-1), dan rendah (<
2.332 kg CH4 ha-1 80
hari-1).
Potensi produksi CH4
pada tanah di Desa
Ngemplak, Kecamatan
Sidoharjo, Kabupaten
Sragen sebesar 1.761 kg
CH4 ha-1 80 hari-1 yang
termasuk harkat rendah.
6. 2004 Setyanto Emisi CH4 dan usaha Penggunaan varietas padi
mitigasinya pada IR64, Memberamo, dan
beberapa cara Way Apo Buru dapat
pengelolaan lahan menurunkan emisi CH4
sawah. antara 19,2% sampai
Perlakuan percobaan dengan 60,2%
meliputi varietas dibandingkan dengan
padi, cara irigasi, varietas Cisadane.
dan cara tanam. Aplikasi irigasi dengan
cara penjenuhan, selang-
seling dan pulse dapat
menurunkan emisi CH4
antara 27,1% sampai
dengan 62,4%
dibandingkan dengan
cara digenangi terus
menerus.
Penanaman dengan cara
pindah tanam dapat
menurunkan emisi CH4
10

No. Tahun Peneliti Lingkup Penelitian Hasil Penelitian


antara 29,5% sampai
dengan 35,9%
dibandingkan dengan
cara sebar benih
langsung.
7. 2008 Oelbermann and Produksi CH4 pada Tanah yang mempunyai
Schiff (2008) inkubasi sampel tanah C-organik tinggi juga
2011 Liu et al. (2011) yang mengandung C- menghasilkan rata-rata
organik berbeda-beda produksi CH4 yang
tinggi.
8. 2011 Ariani et al. Emisi CH4 pada Perlakuan pupuk
sawah yang kandang menghasilkan
menggunakan pupuk emisi CH4 lebih rendah
organik (jerami dan dari pada perlakuan
pupuk kandang) jerami.
11

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Padi Sawah Organik

Budidaya pertanian organik di Indonesia mulai diperkenalkan oleh

beberapa petani yang sudah mapan dan memahami keunggulannya. Pertanian

organik disambut oleh masyarakat dengan pemahaman yang berbeda-beda. Petani

di Jawa lebih maju karena pada umumnya adalah petani yang sudah mapan, dan

komoditas yang dikembangkan adalah sayuran dan buah-buahan. Petani di Jawa

Tengah selain mengembangkan sayuran dan buah-buahan, juga mulai

mengembangkan padi organik. Kabupaten Sragen telah mencanangkan gerakan

Sragen Organik, dengan mendukung petani yang menanam padi organik, antara

lain dengan membeli hasil panen sampai produksinya stabil dan petani dapat

mandiri (Husnain dan Syahbuddin, 2005).

Sistem pertanian organik menurut Departemen Pertanian Tahun 2001,

pada pencanangan program Go Organic 2010, adalah sistem produksi pertanian

yang holistik dan terpadu, yang mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas

agro-ekosistem secara alami, sehingga mampu menghasilkan pangan dan serat

yang cukup, berkualitas dan berkelanjutan. Ciri-ciri pertanian organik adalah: (1)

Mengupayakan perbaikan siklus biologi, termasuk daur jasad renik, fauna tanah,

tanaman dan binatang untuk menambah bahan organik tanah, (2) Pergiliran jenis

tanaman yang tepat, berkelanjutan dan penggunaan pupuk kandang serta hijauan

secara rasional, (3) Tidak menggunakan pestisida kimia, (4) Tidak menggunakan

bibit hasil rekayasa genetika, (5) Menghindari penggunaan zat pengatur tumbuh
12

dan pupuk kimia sintesis, dan (6) Menghindari penggunaan hormon tumbuh dan

bahan aditif sintesis dalam makanan ternak.

Menurut Suryanto (2005) terdapat banyak batasan tentang sistem pertanian

organik, namun pada hakekatnya sistem ini mengelola produksi pertanian secara

ekologis dengan meningkatkan biodiversitas, siklus biologis dan aktivitas biologi

tanah, dengan asupan bahan dari luar (terutama bahan kimia buatan) seminimal

mungkin dan mampu mempertahankan, bahkan meningkatkan keharmonisan

ekosistem. Kualitas lingkungan diharapkan tidak menurun, produktivitas tetap

terjaga dan produk sehat yang aman dikonsumsi. Badan Standardisasi Nasional

(2010) menyebutkan bahwa sistem pertanian organik adalah sistem manajemen

produksi holistik yang meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agro-

ekosistem, termasuk aneka hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah.

Sistem padi sawah organik secara harfiah dan esensi tidak jauh berbeda

dengan sistem pertanian organik secara umum. Pembeda dari kedua sistem adalah

jenis komoditasnya khusus yaitu komoditas padi yang dikelola dengan teknik

tanah sawah. Tanah sawah bukan merupakan terminologi klasifikasi untuk suatu

jenis tanah tertentu, melainkan istilah yang menunjukkan cara pengelolaan

berbagai jenis tanah untuk budidaya padi sawah. Secara fisik, tanah sawah

dicirikan oleh terbentuknya lapisan oksidatif atau aerobik di atas lapisan reduktif

atau anaerobik di bawahnya sebagai akibat penggenangan (Patrick and Reddy,

1978; Ponnamperuma, 1985).

Salah satu permasalahan penerapan padi sawah organik di Indonesia

adalah penyediaan pupuk organik, karena ketersediaan pupuk organik secara


13

umum belum memadai, baik kios saprodi penyedia maupun kuantitas pupuk

organiknya. Sebagian besar kios saprodi belum menyediakan pupuk organik

secara memadai, kondisi sebaliknya terjadi pada pupuk anorganik. Ketersediaan

pupuk anorganik yang lebih mudah diakses dari pada pupuk organik, merupakan

tantangan bagaimana dapat menyediakan pupuk organik yang memenuhi aspek

kualitas, kuantitas dan ketepatan waktu (Syamsiyah dan Mujiyo, 2006).

Bahan organik berperanan penting terhadap kesuburan fisik, kimia dan

biologi tanah, oleh karena itu pengelolaannya harus secara terpadu dengan

pemberian pupuk organik secara berkelanjutan. Bentuk pupuk organik yang dapat

digunakan adalah pupuk yang berupa senyawa organik (Roesmarkam, 2001) dan

berasal dari kotoran hewan, bahan tanaman dan limbah, seperti pupuk kandang,

hijauan tanaman, limbah pertanaman dan limbah agroindustri (Sutanto, 2002).

Salah satu kendala penyediaan pupuk organik adalah rendahnya

kepemilikan ternak oleh petani. Syamsiyah dan Mujiyo (2006) menyebutkan

bahwa kepemilikan ternak besar (sapi, kerbau, kuda) oleh petani di Kabupaten

Cirebon, Subang, Purwakarta, Madiun, Kediri, dan Jombang pada tahun 2006

kurang sebanding dengan rata-rata luas kepemilikan lahannya. Rata-rata

kepemilikan ternak tersebut oleh petani responden 2,5 ekor, sementara itu rata-

rata kepemilikan lahan sawah 1,4 ha. Lahan sawah apabila diasumsikan

menggunakan pupuk hanya dari kotoran ternak tersebut, maka setiap 1 lahan

harus didukung minimal oleh 4 ekor sapi. Setiap bulan 4 ekor sapi ini akan

menghasilkan 1.200 kg pupuk siap pakai atau 4.800 kg setiap musim tanam (4
14

bulan). Asumsi ini menunjukkan bahwa kepemilikan ternak oleh petani di enam

kabupaten tersebut baru mencukupi 44,40% dari kebutuhan.

Lokasi penelitian demikian juga kondisinya sama, jumlah ternak besar

(sapi, kerbau dan kuda) yang dimiliki oleh petani belum mencukupi. Luas sawah

di Kecamatan Sambirejo, Sragen sekitar 1.489 ha, dan jumlah ternak tersebut

sekitar 3.432 ekor (BPS dan BAPPEDA Sragen, 2008). Jumlah ternak ideal untuk

mendukung pertanian padi sawah organik di daerah ini sekitar 5.956 ekor, yang

berarti masih kekurangan jumlah ternak sebanyak 2.524 ekor.

B. Emisi GRK Metana (CH4)

Salah satu emisi GRK yang potensial menimbulkan global warming

adalah metana (CH4). Metana merupakan molekul gas CH4 hasil pembentukan

ikatan kimia kovalen antara 1 atom C dan 4 atom H yang mempunyai

kecenderungan untuk menggunakan pasangan elektron secara bersama-sama

menurut struktur Lewis (Snyder, 2004).

Metana merupakan salah satu gas rumah kaca utama yang dapat menyerap

radiasi infra-merah sehingga berkontribusi terhadap pemanasan global. Potensi

pemanasan global (GWP = global warming potential) metana dapat mencapai 10x

(sepuluh kali) lebih besar dari pada potensi pemanasan global oleh CO2 (Boeckx

and Cleemput, 1996). Nieder dan Benbi (2008) menyampaikan bahwa metana

mampu memancarkan panas 21x (dua puluh satu kali) lebih tinggi dari pada CO2.

Metana sering disebut sebagai gas rawa yang mempunyai waktu tinggal di

atmosfer selama 12 tahun, tidak ada potensi rosot, dan menyebabkan penipisan

lapisan ozon bumi sehingga harus diturunkan emisinya (Nieder and Benbi, 2008).
15

Emisi gas metana menyumbang 20% dari total emisi gas rumah kaca (Inubushi et

al., 2001). Adachi et al. (2006) menyatakan 7% dari total emisi gas rumah kaca

adalah emisi metana yang berasal dari ekosistem padi sawah. Sudadi (2002)

menyebutkan emisi metana dari tanah sawah pada tahun 1990 diperkirakan

mencapai 2.107 – 1,2.108 ton tahun-1 atau sekitar 12,5% dari emisi metana global

sebesar 4,7.108 – 6,5.108 ton tahun-1.

Sektor pertanian (kegiatan fermentasi, budidaya tanaman termasuk padi,

pembakaran savana, pengelolaan pupuk, pembakaran sisa tanaman dan hutan, dan

lainnya) adalah penyumbang terbesar emisi non-CO2, yaitu CH4 dan N2O, sebesar

59% pada tahun 1990, dan diperkirakan 57% pada tahun 2020. China, India,

Thailand, Indonesia, Vietnam, dan Myanmar bersama-sama memancarkan 78%

dari seluruh emisi dari padi sawah. Emisi dari China diproyeksikan meningkat

10% antara tahun 1990 dan 2020, sementara emisi dari India, Thailand, Indonesia,

Vietnam, dan Myanmar diperkirakan akan meningkat sebesar 36% selama periode

yang sama. Proyeksi kenaikan emisi 1990 – 2020 terutama disebabkan

meningkatnya permintaan beras akibat pertumbuhan jumlah penduduk di negara-

negara konsumen beras (USEPA, 2006).

Las et al. (2006) kontribusi tanah sawah pada skala nasional terhadap total

emisi GRK masih cukup tinggi. Oleh karena itu, perlu upaya penurunan emisi

CH4 dari tanah sawah, agar kekhawatiran berbagai dampaknya terhadap

lingkungan di Indonesia dapat ditekan. Kepedulian terhadap metana, selain karena

reaktivitasnya yang tinggi, berkaitan pula dengan peningkatan drastis emisi dan
16

konsentrasinya di atmosfer, serta konsekuensinya terhadap peningkatan

pemanasan global.

C. Faktor Penentu Emisi Metana pada Tanah Sawah

Faktor yang sangat berpengaruh terhadap besarnya produksi metana pada

tanah sawah adalah: sifat tanah (Eh, bahan organik, status hara, mineralogi, pH,

tekstur, suhu tanah), iklim (curah hujan, suhu), tanaman (jenis/varietas), dan cara

budidaya (pengolahan tanah, cara tanam, pemupukan, pengairan, penyiangan,

panen) (Yagi et al., 1990; Li, 2007; Changseng, 2007).

Faktor utama produksi metana pada tanah sawah adalah potensial redoks

(Eh), karena bakteri methanogen hanya dapat melakukan metabolisme dan aktif

pada kondisi tanpa oksigen atau pada nilai Eh yang sangat rendah. Li (2007)

menyampaikan Eh optimum untuk produksi metana -150 – -350 mV. Hou et al.

(2000) menyampaikan bahwa emisi metana dari tanah sawah secara nyata terjadi

pada kondisi Eh di bawah -100 mV. Bharati et al. (2000) menyebutkan pada tanah

sawah yang tidak dipupuk rata-rata Eh -109,75 mV dan menghasilkan emisi

metana sebesar 94,94 kg CH4 ha-1.

Nilai Eh tanah sawah secara berangsur menurun setelah penggenangan

akibat terjadinya proses reduksi sekuensial terhadap senyawa oksidatif inorganik

oleh bahan organik. Penurunan Eh tanah selain oleh kadar bahan organik yang

tinggi, juga distimulasi oleh kadar Fe3+ dan suhu yang tinggi, serta kadar NO3-,

MnO2 dan O2 yang rendah (Ponnamperuma, 1985; Bouwman, 1990). Penambahan

Fe yang berasal dari limbah tungku pembakaran telah dilaporkan menekan emisi

metana dari tanah sawah (Furukawa and Inubushi, 2002).


17

Bahan organik tanah didekomposisikan oleh mikrobia secara bertahap

melalui mekanisme respirasi aerobik, reduksi nitrat, fermentasi umum, reduksi

sulfat dan fermentasi metana. Bahan organik akan didegradasikan melalui

serangkaian proses oksidasi-reduksi dan menghasilkan CO2 dan CH4. Bahan

organik menstimulasi produksi metana sebagai akibat peningkatan produksi

fermentatif dari prekursor CH4. Produksi metana oleh karena itu dapat distimulasi

oleh eksudasi akar atau aplikasi pupuk organik seperti jerami padi, pupuk

kandang, kompos, dan lainnya (Conrad, 1989). Aplikasi bahan organik akan

meningkatkan produksi metana melalui pengaruhnya terhadap penurunan Eh dan

penyediaan sumber C (Schutz et al., 1990).

Laju dan tingkat produksi metana namun demikian tergantung dari jumlah

dan kualitas bahan organik yang diaplikasikan. Aplikasi jerami padi (nisbah C/N

tinggi) meningkatkan produksi metana secara nyata, sedangkan penambahan

kompos (telah terhumifikasi, nisbah C/N rendah) tidak memberikan pengaruh

(Agnihotri et al., 1998). Hal ini dimungkinkan karena mikrobia methanogenesis

kecukupan sumber C organik dari bahan jerami untuk memproduksi metana.

Penggunaan jerami yang telah dikomposkan sempurna dapat menurunkan 49%

emisi metana dibandingkan tanpa dikomposkan dahulu. Penggunaan jerami segar

3 bulan sebelum tanam dapat menurunkan 23% emisi metana dibandingkan

dengan sesaat sebelum tanam (Shin et al., 1996).

Pupuk organik yang mengandung sulfat dan nitrat, yang dapat bertindak

sebagai penerima elektron, sangat menghambat produksi metana (Conrad, 1989).

Penggunaan fosfat juga secara nyata menghambat proses methanogenesis dalam


18

pembentukan metana (Conrad et al., 2000). Kompetisi antara bakteri methanogen

dengan bakteri pereduksi sulfat terhadap bahan organik akan terjadi dengan

adanya sulfat, dan proses ini akan lebih menghasilkan CO2 daripada CH4 (Conrad

and Schutz, 1988). Aplikasi nitrat akan menunda pembentukan metana hingga

reduksi nitrat berakhir dan Eh tanah telah cukup menurun bagi berlangsungnya

proses reduksi lebih lanjut. Nitrat selain itu juga memberikan efek toksik terhadap

bakteri methanogen (Bouwman, 1990).

Bakteri methanogen hanya dapat menggunakan beberapa jenis substrat

sebagai sumber C dan energi, yaitu CO2, CO, asam format dan beberapa senyawa

termetilasi seperti metanol, asetat, trimetilamin, dimetilsulfit (Kiene et al., 1986;

Vogels et al., 1988), dan senyawa polimer yang mengandung monomer glukosa,

asam lemak, asam amino (Nieder and Benbi, 2008). Bahan organik oleh karena itu

harus didekomposisikan terlebih dahulu oleh spesies-spesies mikrobia melalui

proses fermentasi sekuensial menjadi senyawa yang sesuai dengan kebutuhan

substrat bakteri methanogen. Kualitas substrat organik primer dengan demikian

sangat menentukan laju produksi metana (Rennenberg et al., 1992).

Sebagian besar bakteri methanogen bersifat neutrofilik atau tumbuh

optimal pada kisaran pH yang sempit sekitar 7,0 (Conrad and Schutz, 1988),

Nieder dan Benbi (2008) menyebutkan pada kisaran pH 6 – 8. Penggenangan

meningkatkan pH tanah masam dan menurunkan pH tanah alkalin, maka pH tanah

juga merupakan faktor penting penentu produksi metana pada tanah sawah.

Peningkatan pH akan meningkatkan produksi CH4 dan degradasi bahan organik,

begitu juga sebaliknya (Conrad, 1989).


19

Jenis mineralogi tanah mempengaruhi produksi metana berkaitan dengan

luas permukaan, kondisi donor-eseptor elektron, senyawa inhibitor reduksi

(Roden, 2003). Bond dan Lovley (2002) melaporkan kemampuan memproduksi

metana yang berbeda oleh lima jenis mikrobia methanogen dalam media yang

mengandung oksida Fe3+ dan ekstraseluler quinon.

Suhu merupakan salah satu faktor penting bagi berlangsungnya produksi

metana pada tanah sawah (Conrad et al., 1987), suhu optimumnya 25 – 30 0C

(Nieder and Benbi, 2008). Mayoritas bakteri methanogen yang telah diisolasi

bersifat mesofilik, aktivitas optimalnya terjadi pada suhu 30 - 40 oC (Vogels et al.,

1988). Perubahan suhu harian maupun musiman oleh karena itu sangat

berpengaruh terhadap produksi metana pada tanah sawah. Peningkatan suhu dari

17 ke 30 oC dan tersedia cukup substrat menyebabkan peningkatan produksi

metana 2,5 sampai 3,5 kali lipat.

Iklim berpengaruh sangat nyata terhadap besarnya emisi metana pada

tanah sawah. Hujan merupakan faktor utama penyedia sumber air, dan berdampak

terhadap kesinambungan pengairan (penggenangan) dan mempengaruhi kondisi

tanah dalam pembentukan metana. Iklim menentukan ketersediaan sumber bahan

organik, status hara, komposisi mineralogi, pH, suhu tanah, dan cara budidaya.

Penanaman padi di musim penghujan mengemisikan CH4 lebih tinggi dari pada di

musim kemarau, walaupun hubungan antara emisi dengan musim ini belum dapat

dijelaskan secara terperinci, mengingat produksi padi di musim penghujan

mengalami penurunan (Graham, 2002).


20

Varietas/kultivar padi berpengaruh terhadap besarnya emisi metana karena

berkaitan dengan perbedaan perakaran, produksi biomassa dan jumlah anakan.

Hasil penelitian Setyanto et al. (2004) menyebutkan kultivar IR-64, Way

Opoburu, Memberamo dan Cisadane mengemisikan metana masing-masing

sebesar 37,7, 58,9, 61,1 dan 94,8 kg CH4 ha-1. Kultivar IR-64 menghasilkan emisi

metana paling rendah dengan produksi gabah yang tidak berbeda nyata dengan

kultivar lainnya.

Penanaman padi dengan cara sistem sebar-benih menghasilkan produksi

metana yang berbeda dengan sistem transplantasi (pemindahan bibit). Periode

pertumbuhan pada cara sebar-benih lebih pendek dan permukaan tanah dapat

teraerasi 1-2 minggu setelah persiapan lahan. Penanaman dengan cara

pemindahan bibit menyebabkan tanah lebih terganggu, yang menyebabkan

pelepasan sejumlah besar CH4 yang terjebak di dalam tanah (Neue, 1993).

Pencabutan gulma menyebabkan gangguan mekanik terhadap tanah, sehingga

melepaskan metana yang terjebak di dalam pori-pori tanah. Pembenaman gulma

ke dalam lapisan reduktif merupakan sumber metana tambahan. Perjalanan

metana dari tanah sawah ke atmosfer melalui gulma juga lebih efisien

dibandingkan melalui tanaman padi (Holzapfel - Pschorn et al., 1986).

D. Mekanisme Produksi Metana dan Pelepasannya ke Atmosfer

Proses produksi metana di dalam tanah disebut dengan methanogenesis.

Metana dihasilkan di dalam tanah sawah setelah terjadi reduksi O2, nitrat,

mangan, besi, dan sulfat yang dapat menyediakan aseptor elektron untuk

mengoksidasi bahan organik menjadi CO2 (Nieder and Benbi, 2008).


21

Dekomposisi bahan organik dapat terjadi melalui fermentasi methagonik yang

menghasilkan CH4 dan CO2 menurut reaksi:

C6H12O6 3 CO2 + 3 CH4

Proses perubahan ini memerlukan aktivitas 4 (empat) populasi mikrobia

untuk menghancurkan molekul kompleks menjadi senyawa sederhana melalui

tahap: (1) Hidrolisis polimer menjadi monomer (glukosa, asam lemak, asam

amino) oleh mikrobia hidrolitik, (2) Acidogenesis senyawa monomer yang

terbentuk selama fermentasi dan akan menghasilkan asam lemak volatil, asam

organik, alkohol, H2 dan CO2 oleh mikroflora fermentasi, (3) Acetogenesis dari

senyawa yang dihasilkan sebelumnya oleh fermentasi homoacetogenetik atau

sekelompok mikroflora, dan (4) Methanogenesis dari senyawa sederhana yang

dapat digunakan oleh mikrobia methanogen, khususnya H2 + CO2, asetat,

senyawa metil sederhana atau alkohol dan CO2 (Nieder dan Benbi, 2008).

Methanogenesis yang memerlukan kondisi potensial redoks hanya dapat

dilakukan oleh mikrobia anaerobik yang disebut dengan Methanogenic archaea,

yang dapat bekerjasama dengan bakteria lain. Methanogens pada tanah sawah

dapat menghasilkan CH4 dari hasil reduksi CO2 dan H2 (hydrogenotrophic) atau

dari fermentasi asetat menjadi CH4 dan CO2 (acetoclastic) (Nieder and Benbi,

2008; Thauer et al., 2008), atau reduksi metanol menjadi CH4 (Reddy and

DeLaune, 2008).
22

Gambar 1. Pelepasan CH4 ke atmosfer melalui difusi, ebulisiasi dan


perantara tanaman. (Sumber: Nieder and Benbi, 2008)

Mekanisme perjalanan CH4 ke atmosfer ada 3 (tiga) cara, yaitu: difusi

molekul, ebulisiasi (gelembung gas), dan melalui tanaman. Total CH4 diemisikan

pada lahan sawah di daerah iklim sedang lebih dari 90% melalui tanaman,

sementara itu di daerah tropika sebagian besar CH4 diemisikan melalui ebulisiasi,

khususnya selama awal musim tanam dan pada daerah yang menggunakan

masukan bahan organik tinggi.

Tanaman sebagai perantara perjalanan CH4 merupakan mekanisme utama

emisi CH4 dari lahan sawah, dan berkontribusi 50 – 90% dari total emisi CH4.

Metana dibawa ke akar tanaman melalui ruang intersellular lysegenous dan

aerenchyma, dan dilepaskan ke atmosfer melalui suatu rongga kecil, suatu pori
23

mikro pada permukaan daun bagian bawah dan melalui stomata pada pundi-pundi

daun.

Gambar 2. Jalur perjalanan metana dari rizosfer ke atmosfer melalui


pori mikro pada permukaan daun bagian bawah dan
stomata pada pundi-pundi daun.
(Sumber: Reddy and DeLaune, 2008)

Laju pengaliran CH4 walaupun merupakan fungsi dari jumlah total CH4 di

dalam tanah, tetapi masih memungkinkan gas ini digunakan pada lapisan tipis

oksidasi yang tersekat dari permukaan tanah dan daerah rhizosfer. Emisi aktual ke

atmosfer oleh karena itu lebih rendah dari jumlah yang dihasilkan. Jumlah CH4

yang diemisikan bervariasi 3 – 91% dari total produksi di dalam tanah. Bakteri

methanotrof mengoksidasi CH4 dengan bantuan enzim methanemonooxygenase.

Laju oksidasi metana meningkat pada suhu 5 0C ke 36 0C (Mingxing and Jing,

2002 dalam Nieder and Benbi, 2008). Suhu 25 – 35 0C dan pH 6 – 8 adalah

kondisi optimum untuk oksidasi metana di tanah sawah.


24

E. Manfaat Azolla sebagai Sumber Bahan Organik dan Hara N

Azolla merupakan jenis tanaman paku-pakuan air yang bersimbiosis

dengan suatu blue green algae (ganggang hijau biru) Anabaena azollae yang

terdapat di dalam rongga daun. Kemampuan menyemat N2 udara disebabkan oleh

adanya sel heterosis di dalam Anabaena azollae yang mengandung enzim

nitrogenase (Arifin, 1996; Foth, 1994). Enzim ini dapat mengubah N2 udara

menjadi amonia (NH4+), yang selanjutnya diangkut ke inang Azolla. Azolla

merangkum hasil sematan N2 menjadi asam-asam amino (Arifin, 1996).

Spesies Azolla yang telah dikenal dan sudah banyak dibudidayakan; A.

pinnata, A. mexicana, A. microphylla, A. imbricata, A. caroliniana dan A.

filiculoides. Masing-masing spesies mempunyai persyaratan tumbuh yang

berbeda-beda untuk dapat tumbuh dan menambat N2 secara maksimal. Beberapa

faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan Azolla adalah sinar matahari, pH

air, kesuburan tanah, kegaraman, temperatur, gulma dan penyakit (Khan, 1988).

Azolla biasa hidup di lingkungan yang basah atau berair seperti kolam,

danau, sawah, saluran air dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan namanya yaitu

Azolla yang berasal dari bahasa Yunani azo yang berarti kering dan ollyo yang

berarti mati. Azolla namun demikian dapat berkembang biak pada tanah yang

berlumpur, atau becek, bahkan dapat bertahan hidup pada tanah yang mempunyai

kadar lengas di sekitar kapasitas lapangan.

Azolla mengandung 0,2 – 0,3 % N dari berat segar dengan C/N rasio 15 –

18 : 1. Azolla juga mengandung lemak kasar 24 – 30%, gula terlarut 3,4 – 3,5%,

pati 6,54%, khlorofil 0,34 0,55%, P 0,5 – 0,9%, Ca 0,4 – 1,0%, K 2,0 – 4,5%, Mg
25

0,5 – 0,6%, Mn 0,11 – 0,16%, Fe 0,06 – 0,26% dan abu 10,5%. Produksi Azolla

kering berkisar antara 10,8 – 24,4 ton ha-1 tahun-1 pada pertanaman monokultur,

dengan hasil N yang disemat 575 – 1.500 kg ha-1 tahun-1 (Khan, 1988).

Penyematan N oleh Azolla dengan inokulasi 2 ton ha-1 selama 106 hari

dapat mencapai 120 – 140 kg N ha-1 atau rata-rata 1,1 – 1,3 kg N hari-1. Besarnya

penyematan N akan tetapi bervariasi bila Azolla dibudidayakan bersama dengan

tanaman padi, antara 0,4 – 2,9 kg N hari-1 (Arifin, 1996). Mujiyo et al. (1998)

menyebutkan bahwa Azolla 7,07 gram yang dipelihara dalam pot diameter 30 cm

di rumah kaca selama 30 hari pada jenis tanah Alfisol dengan tinggi genangan

macak-macak (0 cm) mampu menghasilkan biomassa segar 271,08 gram atau

menjadi 3.800% dan mengandung 3,99 gram N atau sekitar 1,47%.

Mujiyo et al. (1998) menambahkan bahwa efektivitas penambatan N2 oleh

Azolla berbeda-beda pada perlakuan tinggi genangan di beberapa jenis tanah.

Tinggi genangan 0 cm menghasilkan efektivitas penambatan N2 paling tinggi,

yang disebabkan karena akar Azolla cenderung masuk ke dalam tanah dan lebih

tahan terhadap cekaman lingkungan. Efektivitas penambatan N2 paling tinggi

dicapai pada jenis tanah Alfisol dengan perlakuan tinggi genangan 0 cm, yang

disebabkan kandungan N di dalam tanah rendah. Kandungan N rendah memacu

aktivitas enzim nitrogenase (Hakim et al. 1986).

Pemanfaatan Azolla di bidang pertanian sudah sejak lama dilakukan

terutama di Cina, Vietnam dan India, namun di Indonesia belum banyak

dilakukan. Kendalanya adalah kurangnya informasi mengenai teknik budidaya

yang sesuai untuk menghasilkan biomassa dan mutu Azolla yang maksimal.
26

Usaha ini juga memerlukan dukungan ketersediaan inokulum yang berkelanjutan

dengan varietas-varietas unggul yang sesuai untuk suatu daerah dengan jenis

tanah tertentu (Lales and Marte, 1986).

Pemberian Azolla dapat meningkatkan hasil padi sawah 18 – 19% atau

600 – 750 kg ha-1 (Khan, 1988). Moore cit Lumpkin dan Plucknett (1980)

menyatakan bahwa peningkatan hasil padi maksimum dicapai sebesar 54% pada

pemberian Azolla sebanyak 10 – 12 ton biomassa segar per hektar dengan cara

dibenamkan. Pemberian Azolla segar 26 ton ha-1 diberikan tiga kali menghasilkan

padi setara dengan pemupukan N mineral 90 kg N ha-1 (Lales and Marte, 1986).

Azolla dapat digunakan sebagai pupuk dalam bentuk segar, kering atau dalam

bentuk kompos. Azolla segar 100 kg menghasilkan Azolla kering 4 – 6 kg. Azolla

segar 10 ton setara dengan 100 kg ZA atau 50 kg Urea (Khan, 1988).

Azolla mycrophylla ditumbuhkan bersama padi sawah dan dibenamkan

berkala dapat menyumbang 40 ton biomassa segar setara dengan 60 kg N ha-1,

meningkatkan KPK (Kapasitas Pertukaran Kation) dan C-organik tanah (Prihatani

dan Komariah, 1986 dalam Setyorini et al., 2002). Sutanto (2002) menyebutkan

penggunaan Azolla 7,5 ton ha-1 pada padi sawah meningkatkan kandungan bahan

organik tanah 0,09 kali perlakuan kontrol tanpa Azolla.

Azolla selain sebagai sumber bahan organik dan unsur N, juga

mempunyai beberapa manfaat: (1) Azolla sebagai mulsa dipermukaan tanah yang

kekurangan air mampu menghambat evaporasi, sehingga kadar air di dalam tanah

dapat dipertahankan selama 20 – 30 hari, (2) Azolla cepat tumbuh dan

berkembang menutupi permukaan air, sehingga menghambat pertumbuhan gulma,


27

(3) Azolla sebagai filter/penyaring air dari pencemaran logam berat dan menekan

perkembangbiakan nyamuk, dan (4) Azolla dapat dijadikan sebagai sumber bahan

makanan ternak, unggas dan ikan (Arifin, 1996).

F. Peranan Azolla dalam Menurunkan Emisi Metana

Beberapa penelitian penggunaan Azolla pada lahan sawah yang sudah

dilakukan sebelumnya, baik di Indonesia maupun di luar negeri, memperoleh hasil

yang menarik hubungannya dengan emisi CH4. Sasa et al. (2003) menyebutkan

Azolla 2 ton ha-1 pada sistem minapadi dapat menekan emisi CH4 dan

meningkatkan hasil ikan dan padi. Prasanna et al. (2002) juga menyampaikan

penggunaan Azolla microphylla mampu menekan emisi CH4 dari tanah sawah

dengan mekanisme Azolla tersebut memacu oksidasi CH4.

Bharati et al. (2000) menyebutkan peningkatan oksigen terlarut dan

potensial redoks di dalam tanah diikuti oleh penurunan emisi CH4. Inokulum

Azolla menurunkan emisi CH4, yang disebabkan oleh mekanisme pelepasan

oksigen Azolla ke dalam tanah sehingga mengurangi suasana reduksi. Azolla akan

meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut pada ruang antara tanah dan air yang

menggenang. Azolla demikian juga meningkatkan hasil gabah yang tidak berbeda

nyata dengan penggunaan Urea.

Holzapfel - Pschorn et al. (1986) menyatakan pencabutan gulma

menyebabkan gangguan mekanik terhadap tanah, sehingga meningkatkan

pelepasan metana yang terjebak di dalam pori-pori tanah. Asumsi dari pernyataan

tersebut adalah keberadaan Azolla di permukaan tanah di sela-sela rumpun padi

secara fisik akan menghambat pelepasan metana dari dalam pori-pori tanah.
28

Hasil penelitian Schutz et al. (1990) dan Agnihotri et al. (1998) dapat

menjadi rujukan, bahwa penggunaan bahan (pupuk) organik pada lahan sawah

akan menurunkan produksi metana apabila C/N rasionya rendah. Asumsi hasil

penelitian tersebut, maka penggunaan Azolla yang mempunyai C/N rasio rendah,

akan menurunkan emisi metana. Khan (1988) menyatakan rata-rata C/N rasio

Azolla 15 – 18 : 1, sementara itu Mujiyo et al. (1998) menyebutkan C/N rasio

Azolla jenis Azolla microphylla sebesar 14 : 1. Penggunaan pupuk kandang sapi

yang telah matang (C/N rasio 8 : 1) sebesar 0, 1, dan 2 ton ha-1 di lahan sawah

Palur, Mojolaban, Sukoharjo, menghasilkan emisi metana yang tidak berbeda

nyata dan semuanya masih dalam batas yang sangat rendah (Sumani et al., 2009).

Hasil penelitian lain sementara itu menyimpulkan bahwa Azolla pada

tanah sawah memacu produksi CH4. Ying et al. (2000) menyatakan bahwa Azolla

yang ditanam bersama dengan padi sawah dapat meningkatkan emisi CH4, melalui

mekanisme Azolla menjembatani perjalanan CH4 dari air yang menggenang ke

atmosfer. Pendapat ini selaras dengan yang dikemukakan oleh Holzapfel -

Pschorn et al. (1986) bahwa gulma merupakan perantara perjalanan metana yang

lebih efisien dibandingkan tanaman padi.

Upaya menurunkan emisi metana karena penggunaan Azolla perlu

dilakukan dengan tidak berdampak menurunkan hasil padi. Yagi et al. (1997) dan

Yagi (2002) telah mengevaluasi cara penurunan yang berbeda-beda dari sisi

efektivitas, ekonomi, dan produktivitas. Usaha drainase di tengah musim tanam

adalah cara yang efektif, tetapi hal ini akan meningkatkan biaya untuk tenaga
29

kerja dan kemungkinan menyebabkan produksi gas N2O, demikian juga dengan

laju perkolasi tinggi akan menyebabkan pelindian NO3-.

Wassmann et al. (2009) memberikan alasan bahwa resiko pembentukan

gas N2O oleh pilihan penekanan dengan pengelolaan air tersebut tidak akan

meningkatkan ancaman emisi GRK, karena secara total masih tetap menurunkan

potensi pemanasan global (GWP = global warming potential) sepanjang

penggunaan pupuk N tidak berlebihan dan sesuai dengan kondisi tanah dan

kebutuhan tanaman. Pengelolaan lahan sawah dengan pengairan selang-seling

dengan penggunaan kompos jerami, yang sudah menjadi kebiasaan petani di

Korea, mampu secara efektif menurunkan emisi metana (Shin et al., 1996).

G. Landasan Teori

Perbedaan riwayat pengelolaan lahan akan berdampak kepada perbedaan

sifat kimia, fisika dan biologi tanahnya. Pengelolaan lahan padi sawah organik,

yang dicirikan dengan penggunaan pupuk organik secara berkesinambungan

sepanjang musim tanam berdampak terhadap sifat kimia, fisika dan biologi tanah,

mengingat pupuk (bahan) organik sangat berperanan terhadap sifat-sifat tanah

tersebut. Buol et al. (1980) menyebutkan apabila sifat-sifat dari dua tanah/horison

yang diperbandingakan mempunyai nilai indeks kemiripan < 50 maka dinyatakan

bahwa kedua tanah/horison tersebut tidak mirip, 50 – 79 diragukan mirip, dan >

80 mirip.

Rata-rata kandungan bahan organik tanah pada lahan sawah di Indonesia <

2% (Karama, 2001; Syamsiyah dan Mujiyo, 2006). Penggunaan pupuk organik

pada sistem padi sawah organik yang lebih tinggi dari pada sistem padi sawah
30

semi organik dan konvensional, akan meningkatkan kandungan bahan organik

tanah. Sutanto (2002) menyatakan bahwa penggunaan Azolla 7,5 ton ha-1 pada

lahan padi sawah meningkatkan kandungan bahan organik tanah 0,09 kali dari

pada kontrol tanpa Azolla. Bahan organik tanah berperanan terhadap emisi metana

melalui dua mekanisme: (1) Bahan organik merupakan substrat bahan dasar

pembentukan metana, dan (2) Bahan organik mendorong penurunan Eh.

Azolla merupakan sumber bahan organik potensial pada tanah sawah.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pemberian Azolla dapat mengganti

pupuk N dan dapat meningkatkan hasil tanaman padi. Azolla akan menurunkan

emisi metana karena C/N rasionya lebih rendah dari pada pupuk kandang sapi

(Agnihotri et al., 1998). Azolla dapat meningkatkan oksigen terlarut pada air

genangan yang dapat mengoksidasi metana, sehingga akan menurunkan emisinya

(Bharati et al., 2000). Azolla kemungkinan juga meningkatkan konsentrasi nitrat

dan nitrit di dalam air genangan. Nitrat dan nitrit dapat mengoksidasi metana

menjadi CO2, N2 dan H2O (Slonczewski, 2009; Ettwig et al., 2010), sehingga

menurunkan emisi metana. Emisi metana dari lahan padi sawah dikategorikan

rendah apabila nilai emisinya < 100 kg CH4 ha-1 (Setyanto, 2010).

Penggunaan pupuk kandang sapi, pupuk Azolla dan inokulum Azolla

secara bersamaan diharapkan dapat saling melengkapi pengaruh baik terhadap

perbaikan sifat tanah, peningkatan pertumbuhan dan hasil tanaman padi, dan

penurunan emisi CH4. Penggunaan kombinasi perlakuan: (1) Pupuk kandang sapi

yang mempunyai C/N rasio lebih tinggi dari pada Azolla akan meningkatkan

kandungan bahan organik tanah, (2) Pupuk Azolla yang mempunyai C/N rasio
31

lebih rendah dan kandungan N lebih tinggi dapat memberikan sumbangan hara N

dan menurunkan emisi metana, dan (3) Inokulum Azolla selain memberikan

sumbangan hara N juga akan meningkatkan oksigen, nitrat dan nitrit terlarut yang

dapat mengoksidasi CH4.

H. Hipotesis

1. Sifat tanah pada sawah organik berbeda dengan sawah semi organik,

konvensional, dan hutan jati. Kandungan bahan organik tanah sawah organik

adalah > 2%, yang lebih tinggi dari pada tanah sawah semi organik dan

konvensional. Faktor kandungan bahan organik tanah mempunyai P-Value <

0,05 terhadap produksi CH4, sehingga merupakan faktor penentu besarnya

potensi emisi CH4 di dalam tanah.

2. Penggunaan pupuk kandang sapi, pupuk Azolla, inokulum Azolla dan

kombinasinya meningkatkan kesuburan tanah, pertumbuhan dan hasil tanaman

padi, dan menurunkan emisi CH4.

3. Kombinasi pupuk kandang sapi 2,67 ton ha-1 (setara 40 kg N ha-1) + pupuk

Azolla 1,67 ton ha-1 (setara 40 kg N ha-1) + inokulum Azolla 1,33 ton ha-1

(setara 40 kg N ha-1) merupakan pilihan rekomendasi yang disarankan untuk

memperbaiki sifat/kesuburan tanah (bahan organik tanah > 2%), meningkatkan

pertumbuhan dan hasil tanaman padi (produktivitas > 8 ton GKP ha-1), dan

menurunkan emisi CH4 (< 100 kg CH4 ha-1).


32

III. METODE PENELITIAN

A. Alur Pikir Penelitian

EMISI GRK ; GLOBAL


CO2, CH4, N2O, WARMING
HFC, SF6

INDUSTRI,
PEMBANGKIT LISTRIK, SEKTOR PERTANIAN
TRANSPORTASI, DLL.

1
LAHAN PERTANIAN
KARAKTERISASI

PADI SAWAH ORGANIK

Sifat Tanah ; Iklim ; Tanaman Budidaya ;


Bahan organik Pengolahan tanah
Curah hujan Jenis Cara tanam
Bahan mineralogi Pemupukan
Status hara Suhu Varietas
Pengairan
pH • Eh Eksudat akar Penyiangan
Tekstur • Suhu Panen
PERCOBAAN

KONDISI TANAH DAN LAHAN PENGELOLAAN ;


TANAMAN DAN LAHAN
PENGUKURAN

3
2 DINAMIKA EMISI GRK

VARIASI EMISI GRK


PRODUKTIVITAS LAHAN
4
REKOMENDASI

PEMILIHAN REKOMENDASI
PENGELOLAAN PADI SAWAH ORGANIK

PENEKANAN EMISI GRK


KESINAMBUNGAN PRODUKTIVITAS LAHAN

Gambar 3. Alur pikir penelitian. Lahan pertanian sebagai sumber


emisi GRK dan upaya penelitian memperoleh rekomendasi
pengelolaan lahan yang dapat menurunkan emisi.
33

B. Tahap Penelitian

Penelitian dilaksanakan melalui 3 (tiga) tahap, yaitu: (1) Karakterisasi

lahan dan potensi emisi CH4, (2) Percobaan laboratorium rumah kaca, dan (3)

Percobaan lapangan. Sistematika kegiatan dan target luaran setiap tahap kegiatan

adalah sebagai berikut;


Informasi ;
Tahap I : Perbedaan sifat tanah antar sistem sawah,
dan lahan kering
Karakterisasi Lahan dan Perbedaan potensi produksi dan oksidasi
Potensi Emisi Metana metana antar sistem sawah, dan lahan
kering
Sifat tanah penentu emisi CH4

Lahan percobaan :
Faktor penentu emisi CH4 faktor perlakuan
percobaan
Pertimbangan khusus ;
Kemudahan keterjangkauan dan aksesbilitas
Kemudahan penyusunan rancangan percobaan
Ketersediaan lahan oleh petani

Pengaruh Azolla ;
Tahap II : Sifat tanah
Percobaan Rumah Kaca Pertumbuhan dan hasil padi
Emisi CH4

Perlakuan :
Ekstrapolasi Memperbaiki sifat tanah
Hasil Meningkatkan pertumbuhan dan hasil padi
Menurunkan emisi CH4

Rekomendasi penggunaan Azolla ;


Tahap III :
Memperbaiki sifat tanah
Percobaan lapangan Meningkatkan pertumb. dan hasil padi
Menurunkan emisi CH4

Gambar 4. Tahap penelitian. Karakterisasi dan percobaan penanaman


padi sawah organik di rumah kaca dan lapangan.
34

C. Penelitian Tahap I: Karakterisasi Lahan dan Potensi Emisi CH4

Kegiatan tahap ini adalah karakterisasi lahan termasuk tindakan

pengelolaan lahan oleh petani, dan potensi produksi dan oksidasi metana.

Peta Tanah Peta Geologi Peta Topografi Peta Landuse

OVERLAY
(Tumpang Susun)

S.KONVENSIONAL S. SEMI ORGANIK S. ORGANIK HUTAN ALAMI

CHECKING
KARAKTERISASI
WAWANCARA REVISI
PRODUKSI DAN
OKSIDASI METANA

Produksi dan
Sifat Tanah Pengelolaan Lahan Oksidasi Metana

ANALISIS DATA

Perbedaan sifat tanah antar sistem sawah


Perbedaan emisi CH4 antar sistem sawah
Sifat tanah penentu emisi CH4

Faktor penentu emisi CH4

Gambar 5. Tahap karakterisasi lahan dan potensi emisi CH4.


Pemetaan, survei, karakterisasi lahan, analisa
laboratorium dan analisis data.
35

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan explorative research dengan melalui pendekatan

survei dan wawancara, serta didukung dengan analisis di laboratorium. Penentuan

satuan peta lahan (SPL) didasarkan atas keseragaman geologi, jenis tanah, dan

topografi. Titik profil dan pengambilan sampel dipilih untuk mewakili loka

pengamatan pada masing-masing SPL, yang didasarkan atas pertimbangan hasil

pengamatan peta terkait, pra-survei dan informasi setempat.

Pengamatan yang dilakukan pada masing-masing loka profil adalah sifat

fisika, kimia, biologi, mineral tanah, tindakan pengelolaan lahan, dan potensi

produksi dan oksidasi metana. Uji kemiripan (similaritas) dilakukan untuk

mengetahui kemiripan sifat tanah, dan uji korelasi untuk mengetahui hubungan

antara faktor sifat tanah, pengelolaan lahan, dan emisi (produksi dan oksidasi)

CH4.

2. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Juni 2012.

Tahap survei dan wawancara dilaksanakan di hamparan lahan kelompok tani padi

sawah organik dan sekitarnya di Desa Sukorejo Kecamatan Sambirejo, Kabupaten

Sragen. Analisis dan persiapan pemetaan dilaksanakan di Laboratorium Pedologi

dan Survei Tanah, Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UNS Surakarta.

Analisis sifat kimia dan fisika tanah dilakukan di Laboratorium Kimia dan

Kesuburan, Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UNS Surakarta. Analisis jenis

mineralogi dilaksanakan di Balai Penelitian Tanah, Bogor. Inkubasi sampel tanah

dan Analisis Gas Chromatography (GC) dilaksanakan di Laboratorium Gas


36

Rumah Kaca (GRK), Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Jakenan, Pati, dan di

Laboratorium MIPA Pusat UNS.

3. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi: peta (rupa

bumi, penggunaan lahan, geologi, jenis tanah), khemikalia untuk analisis sampel

tanah dan air, khemikalia produksi dan oksidasi metana, khemikalia analisis GC.

Kebutuhan alat yang digunakan meliputi; alat tulis perkantoran, seperangkat

komputer dilengkapi scanner, printer dan software ArcView 3.3 GIS (Geographic

Information System), alat survei lapangan (GPS, kompas, klinometer, altimeter,

kamera), alat penyidikan tanah di lapangan (cangkul, palu pedologi, pisau belati,

lup, meteran, MSCC, pH meter, penetrometer, pipet), alat untuk analisis

laboratorium sampel tanah dan air, inkubator tanah, alat pengukuran produksi dan

oksidasi metana, dan analisis GC.

4. Tata Laksana Penelitian

Secara garis besar pelaksanaan penelitian dibagi menjadi 4 kegiatan;

a. Pemetaan SPL

SPL sawah dibuat dengan menumpangsusunkan (overlay) Peta Geologi, Peta

Jenis Tanah dan Peta Topografi skala 1 : 50.000. Pemetaan ini menggunakan

software ArcView GIS 3.3. Layout peta SPL dengan legenda utama jenis

batuan geologi, jenis tanah, kondisi topografi dengan keterangan luas masing-

masing. Obyek penelitian dipilih masing-masing 1 (satu) SPL yang mewakili

tipe penggunaan lahan sawah organik, semi organik, konvensional, dan hutan
37

alami (kontrol), yang mempunyai keseragaman geologi, jenis tanah, dan

topografi.

Kriteria tipe penggunaan lahan sawah organik adalah penggunaan pupuk

hanya dengan pupuk organik, sawah semi organik adalah penggunaan pupuk

kimia dan pupuk organik, sawah konvensional adalah penggunaan pupuk

sebagian besar pupuk kimia, pupuk organik hanya kadang-kadang, dan hutan

alami adalah penggunaan lahan berupa hutan, dengan vegetasi pohon

campuran.

Titik profil dan pengambilan sampel beserta letak koordinat juga diploting

pada masing-masing pewakil SPL secara sengaja, dengan mempertimbangkan

aspek keterwakilan, keterjangkauan dan aksesbilitas.

b. Survei dan Karakterisasi Tanah dan Lahan

Survei dilakukan dengan melakukan gerak penjelajahan dan mengecek batas-

batas SPL. Boardlist (daftar isian) data dan informasi mengacu pada buku

Guidelines for Soil Description (FAO, 1990) dan Petunjuk Teknis Pengamatan

Tanah oleh Balitanah (Hidayat et al., 2004). Profil dibuat dengan ukuran lebar

1,5 m, panjang 2 m dan kedalaman 1,5 m. Pencandraan jenis tanah mengikuti

prosedur Soil Taxonomy USDA (Soil Survey Division Staff, 2010). Analisis

sifat tanah di lapangan mengikuti Poerwowidodo (1992). Analisis sifat tanah

mengikuti referensi yang disebutkan pada Lampiran 1.

Sifat fisika tanah yang diamati adalah warna, tekstur, struktur, konsistensi,

permeabilitas, dan ketahanan (penetrometer). Sifat kimia tanah yang diamati

adalah pH (H2O, KCl, NaF), Eh, gleisasi, C-organik (dengan fraksi humat dan
38

fulvat), N total, C/N rasio, P2O5 tersedia, P2O5 total, K2O tersedia, K2O total,

KPK (Kapasitas Pertukaran Kation), KB (Kejenuhan Basa), dan Fe oksida

bebas, amorf, dan asosiasi organik. Sifat biologi tanah yang diamati adalah C

dan N biomassa.

Jenis mineral yang diamati adalah mineral sekunder pada horison B yang

paling banyak mengandung fraksi klei.

c. Karakterisasi Lahan

Karakter lahan yang diamati adalah iklim (curah hujan, suhu), tanaman

(varietas), dan cara budidaya (pengolahan tanah, cara tanam, pemupukan,

pengairan, panen).

d. Pengukuran Emisi CH4

Potensi emisi CH4 ditentukan dengan pengukuran potensi produksi dan

oksidasi CH4. Potensi produksi CH4 diukur dengan inkubasi sampel tanah di

laboratorium, kemudian gas yang dihasilkan dibaca dengan GC dengan flame

ionization detector (FID). Sampel tanah kering angin diameter 0,5 mm

sebanyak 20 gram dimasukkan ke dalam gelas inkubasi dan diberi aquades

hingga volume 40 mL, diaduk hingga homogen dan kemudian dimasukkan ke

dalam inkubator. Pedoman pengukuran produksi gas selengkapnya mengikuti

Susilowati (2007), dimodifikasi dengan menambahkan senyawa acetylene

sebagai inhibitor oksidasi metana (Watanabe et al., 1995; Watanabe et al.,

1997; Chan and Parkin, 2000). Acetylene ditambahkan pada ruang head space

sebanyak 50 mL setiap 1 L udara (Watanabe et al., 1995). Sampel gas diambil


39

dan diukur pada hari pertama jam ke-0 (C0) dan jam ke-24 (C24). Pengulangan

pengambilan sampel gas dilakukan selama 8 kali dengan interval setiap 5 hari.

Perhitungan konsentrasi gas:


C1 Cx C1 x A2
= Cx =
A1 A2 A1
Keterangan;
C1 : Konsentrasi gas standar (ppm)
A1 : Area pembacaan dari integrator untuk standar (satuan luas)
A2 : Area pembacaan dari contoh gas (satuan luas)
Cx : Konsentrasi gas yang diukur (ppm)

Perhitungan produksi gas:


Vhs BM Tst
Produksi CH4 = ( C24 – C0 ) x x x
Keterangan ; B Vm (Tst + T)
Keterangan;
Vhs : Volume head space (mL)
B : Berat sampel tanah (g)
BM : Berat molekul CH4 (16,123 g)
Vm : Volume molekul CH4 pada kondisi standar (273,2 0K) = 22,41 L
Tst : Suhu kondisi standar (273,2 0K)
T : Suhu udara saat inkubasi (0C)
Satuan hasil perhitungan produksi CH4 adalah µg CH4 kg-1 tanah hari-1.

e. Pengukuran Potensi Oksidasi CH4

Pengukuran sama dengan potensi produksi CH4 di atas, namun dengan tidak

menambahkan senyawa acetylene sebagai inhibitor oksidasi metana (Watanabe

et al., 1995; Watanabe et al., 1997; Chan and Parkin, 2000). Selisih produksi

CH4 yang dihasilkan dengan inhibitor dengan tanpa inhibitor merupakan

jumlah CH4 yang dioksidasi (potensi oksidasi CH4).


40

5. Teknik Analisis Data

Klasifikasi tanah mengikuti Soil Taxonomy USDA (Soil Survey Division

Staff, 2010). Penentuan tingkat pelapukan tanah menggunakan uji similaritas

(Boul et al., 1980), dengan menggunakan rasio debu/klei, KPK/klei, dan debu/Fe

bebas (van Wambeke, 1962; Tessens, 1975; de Leenheer et al., 1952 dalam:

Subagjo and Buurman, 1980). Rasio Fe bebas/debu dimodifikasi dengan dibalik

menjadi debu/Fe bebas, bertujuan agar sebanding dengan rasio debu/klei dan

KPK/klei. Nilai indeks kemiripan (I) > 80% berarti kedua horison mirip, I = 50 –

79% diragukan, dan I < 50% tidak mirip. Analisis cluster digunakan untuk

membantu interprestasi hasil. Indeks kemiripan yang menghasilkan nilai nisbi

(NN) kecil menunjukkan tanah relatif telah mengalami pelapukan lebih lanjut dari

pada tanah dengan nilai nisbi lebih besar.

Penentuan keeratan hubungan antara sifat fisika, kimia, biologi tanah dan

faktor pengelolaan lahan dengan produksi dan oksidasi metana dengan

menggunakan analisis korelasi (Steel and Torie, 1981). Penentuan faktor sifat

fisika kimia biologi tanah dan pengelolaan lahan yang menentukan emisi (potensi

produksi dan oksidasi) CH4 dengan analisis stepwise regression (Draper and

Smith, 1981; Montgomery and Peck, 1991).


41

D. Penelitian Tahap II: Percobaan Rumah Kaca

Penanaman padi sawah organik dengan media pot di rumah kaca dengan

pemilihan perlakuan yang didasarkan dari pra-survei dan landasan teori, serta

dengan mempertimbangkan hasil penelitian tahap pertama.

Pra-survei Landasan Teori

Kondisi lahan : Referensi hasil penelitian


Pertumbuhan awal tanaman sebelumnya :
lambat Penurunan sifat tanah sawah
Petani sawah organik masih berkadar bahan organik
menggunakan pupuk Urea rendah
Penggunaan jumlah pupuk Emisi metana pada lahan
kandang masih terbatas padi sawah organik tinggi
Manfaat Azolla sebagai
sumber bahan organik dan
Hasil Penelitian
N, serta menurunkan emisi
Tahap I :
Faktor penentu emisi metana
(produksi dan oksidasi)
metana

PERCOBAAN RUMAH
KACA RAL

MACAM PERLAKUAN CARA PERLAKUAN TARAF PERLAKUAN

SIFAT TANAH PERTUMB. DAN EMISI METANA


HASIL TANAMAN

ANALISIS DATA

Cara, macam dan taraf perlakuan/pengelolaan ;


Memperbaiki sifat/kesuburan tanah
Meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman
Menurunkan emisi metana

Gambar 6. Tahap percobaan rumah kaca. Penentuan rancangan,


percobaan penanaman padi sawah organik dan analisis data.
42

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan metode experiment yaitu percobaan

penanaman padi sawah dengan media dalam pot di rumah kaca, dan didukung

dengan analisis di laboratorium. Perlakuan percobaan pupuk kandang sapi, pupuk

Azolla dan inokulum Azolla didasarkan dari hasil inventarisasi teknik pengelolaan

yang sudah biasa dilakukan oleh petani dan kajian referensi penelitian sebelumnya

yang telah disampaikan pada sub bab sebelumnya.

2. Waktu dan Tempat

Percobaan penanaman dilakukan pada bulan April sampai dengan Juli

2012. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Rumah Kaca Fakultas Pertanian

UNS Surakarta. Analisis sifat pupuk organik dan Azolla, analisis sifat fisika,

kimia dan biologi tanah dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan, Jurusan

Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UNS Surakarta. Analisis Gas Chromatography

(GC) dilaksanakan di Laboratorium Gas Rumah Kaca (GRK), Balai Penelitian

Lingkungan Pertanian, Jakenan, Pati dan di Laboratorium MIPA Pusat UNS.

3. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi; bahan input

produksi padi sawah organik (media tanah dari sawah organik, benih padi IR-64,

pupuk kandang sapi, Azolla, pestisida organik, dan lainnya), khemikalia untuk

analisis sampel tanaman, tanah dan pupuk organik, dan khemikalia analisis GC.

Kebutuhan alat yang digunakan meliputi; seperangkat alat persiapan media tanah,

alat pemeliharaan padi sawah, alat tulis, timbangan, alat untuk analisis

laboratorium sampel tanaman, tanah dan pupuk organik, dan analisis GC.
43

4. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan menggunakan RAL (Rancangan Acak Lengkap)

(Steel and Torie, 1981) dengan 9 (sembilan) macam perlakuan yang masing-

masing diulang 3 kali.

Tabel 1. Macam perlakuan percobaan rumah kaca dengan pupuk kandang sapi,
pupuk Azolla, inokulum Azolla dan kombinasinya
Dosis Perlakuan Penyediaan N
Total
(ton ha-1) (kg N ha-1)
Kode Penyediaan
No. Pupuk Pupuk
Perlakuan Pupuk Inokulum Pupuk Inokulum N
Kandang Kandang
Azolla Azolla Azolla Azolla (kg N ha-1)
Sapi Sapi
A. Kontrol (Tanpa N) - - - - - - -

B. PKS 8 8 - - 120 - - 120

C. PA 5 - 5 - - 120 - 120

D. IA 4 - - 4 - - 120 120

E. PKS 4 + PA 2,5 4 2,5 - 60 60 - 120

F. PKS 4 + IA 2 4 - 2 60 - 60 120

G. PA 2,5 + IA 2 - 2,5 2 - 60 60 120

H. PKS 2,67 + PA 8/3 5/3 4/3 40 40 40 120


1,67 + IA 1,33 (2,67) (1,67) (1,33)
I. PKS 8 + PA 5 + 8 5 4 120 120 120 360
IA 4
Keterangan;
1. Total penyediaan 120 kg N ha-1 didasarkan dari kebutuhan tanaman padi sawah (Sanchez,
1975), yang dicukupi dari N dalam tanah dan N dalam pupuk.
2. Kandungan N pupuk kandang sapi 1,2% (Syamsiyah et al., 2010, Mujiyo et al., 2010 dan
Hartati et al., 2010). Asumsi efisiensi pemupukan 80%.
3. Kandungan N pupuk Azolla (segar) 2% (Mujiyo et al., 2010 dan Hartati et al., 2010). Asumsi
efisiensi pemupukan 80%.
4. Inokulum Azolla 1 ton ha-1 yang diaplikasikan 5 hari setelah tanam padi, selama 30 hari (pada
saat tanaman padi masa puncak pertumbuhan vegetatif) akan dapat menyediakan 30 kg N ha-1
(Bharati et al., 2000).
5. PKS 8 = Pupuk Kandang Sapi 8 ton ha-1, PA 5 = Pupuk Azolla 5 ton ha-1, IA 4 = Inokulum
Azolla 4 ton ha-1, PKS 4 + PA 2,5 = Pupuk Kandang Sapi 4 ton ha-1 + Pupuk Azolla 2,5 ton ha-
1
, PKS 4 + IA 2 = Pupuk Kandang Sapi 4 ton ha-1 + Inokulum Azolla 2 ton ha-1, PA 2,5 + IA 2
= Pupuk Azolla 2,5 ton ha-1 + Inokulum Azolla 2 ton ha-1, PKS 2,67 + PA 1,67 + IA 1,33 =
Pupuk Kandang Sapi 2,67 ton ha-1 + Pupuk Azolla 1,67 ton ha-1 + Inokulum Azolla 1,33 ton ha-
1
, PKS 8 + PA 5 + IA 4 = Pupuk Kandang Sapi 8 ton ha-1 + Pupuk Azolla 5 ton ha-1 + Inokulum
Azolla 4 ton ha-1.
44

Media tanam berupa media tanah 38,4 kg (berat kering angin kadar lengas

13,23%) dalam pot ember plastik berukuran diameter 58 cm dan tinggi 30 cm.

Media tanam disusun secara acak lengkap. Pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla

sesuai perlakuan diberikan 3 (tiga) hari sebelum tanam, dicampur merata ke dalam

media tanam. Inokulum Azolla ditebar secara merata 5 (lima) hari setelah tanam

padi. Denah/layout percobaan adalah sebagai berikut;

C3 F2 G3

D1 H2 F1

D2 C2 F3

C1 I1 A2

A3 I2 B1

I3 E2 G2

B2 G1 H1

D3 E1 E3

A1 B3 H3

Gambar 7. Denah penempatan satuan percobaan rumah kaca.


Penempatan secara acak lengkap.
45

5. Tata Laksana Penelitian

Tahap penelitian; (a) persiapan tanah, (b) persiapan pupuk kandang sapi,

(c) persiapan Azolla, (d) analisis tanah awal, (e) percobaan penanaman, (f)

pengukuran emisi metana, Eh, pH, dan suhu tanah, oksigen terlarut, populasi

mikrobia, dan (g) analisis tanah akhir.

a. Persiapan Tanah

Tanah diambil dari lahan sawah organik (lahan percobaan lapangan) secara

komposit pada kedalaman lapis olah 0 - 20 cm. Tanah dikeringanginkan dan

ditumbuk, kemudian diayak diameter 0,5 mm dan 2 mm (untuk analisis

laboratorium), dan 5 mm (untuk media tanam percobaan).

b. Persiapan Pupuk Kandang Sapi

Pupuk kandang yang digunakan berasal dari kotoran sapi yang diperoleh dari

petani pemilik lahan percobaan.

Parameter pupuk kandang sapi: C-organik, C/N rasio, N, P, dan K total.

c. Persiapan Azolla

Azolla mycrophylla L. berasal dari Jurusan Mikrobiologi Pertanian, Fakultas

Pertanian, UGM Yogyakarta. Perbanyakan inokulum dengan model kolam.

Parameter Azolla: C-organik, C/N rasio, N, P, dan K total.

d. Analisis Tanah Awal

Pengamatan sifat tanah sebelum penanaman, menggunakan data dari penelitian

tahap pertama pada tanah sawah organik lapisan olah + 20 cm. Data sifat tanah

awal; warna, tekstur, konsistensi, pH (H2O, KCl), C-organik, humat, fulvat, N

total, C/N rasio, KPK (Kapasitas Pertukaran Kation), KB (Kejenuhan Basa),


46

P2O5 tersedia, P2O5 total, K2O tersedia, K2O total, dan Fe bebas, amorf, dan

kompleks organik, serta C dan N biomassa. Analisis sifat tanah mengikuti

referensi yang disebutkan pada Lampiran 1.

e. Percobaan

Tahap percobaan penanaman meliputi persiapan tanah dan media, pembibitan,

pemupukan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Pemupukan dilakukan

sesuai perlakuan. Penanaman dilakukan setelah bibit berumur 22 hari, 4 bibit

per rumpun, dan setiap pot ditanami 4 rumpun tanaman dengan jarak tanam 20

cm x 20 cm. Air dijaga ketinggiannya + 5 cm sampai dengan panen.

Parameter tanaman: tinggi tanaman, jumlah total anakan, jumlah anakan

produktif, kandungan dan serapan C, N, P, K akar, tajuk dan gabah, hasil gabah

kering panen (GKP), berat gabah per malai, berat 1.000 biji, berat segar

brangkasan (BSB), dan indeks panen (IP). GKP adalah berat gabah setelah

dirontokkan pada saat panen. BSB adalah berat tanaman bagian atas tanah

setelah gabah dirontokkan. Rumus perhitungan IP adalah sebagai berikut;

GKP
IP = ------------------ x 100%
(GKP + BSB)

(Bharati et al., 2000).

f. Pengamatan selama Percobaan

Pengamatan emisi metana, suhu, pH, Eh, oksigen terlarut, amonia, nitrit, nitrat,

aktivitas methanogen-methanotrof, dan C biomassa mikrobia dilakukan secara

bersamaan sebanyak 3 (tiga) kali, pada saat umur tanaman 38, 70 dan 95 HST

(Setyanto, 2004 dalam: Susilawati dan Kartikawati, 2008).


47

1) Pengambilan sampel gas untuk pengukuran emisi metana dengan teknik

sungkup tertutup (closed chamber) berbahan pleksiglass p = 40 cm, l = 40 cm,

dan t = 100 cm. Penyungkupan dilakukan pada semua rumpun (4 rumpun).

Sampel gas diambil dengan jarum injeksi volume 5 ml, dan kemudian

dianalisis menggunakan gas cromatography (GC) dengan flame ionization

detector (FID).

Rumus penghitungan laju emisi (Susilawati dan Kartikawati, 2008):

dc Vch mW 273,2
E= x x x
dt Ach
Keterangan ; mV 273,2 +T

Keterangan;
E : Emisi gas CH4 (mg m-2 menit-1)
dc/dt : Perbedaan konsentrasi CH4 per waktu (ppm menit-1)
Vch : Volume closed chamber (m3)
Ach : Luas closed chamber (m2)
mW : Berat molekul CH4 (16,123 g)
mV : Volume molekul CH4 pada STP (= 22,41 L)
T : Temperatur rata-rata selama pengambilan sampel (0C)

Pengambilan contoh gas pada jam 06.00 – 07.00 pada menit ke-4, 8, 12, dan 16

setelah penyungkupan, kemudian nilai emisi dikonversi menjadi mg m-2 hari-1

(Susilawati dan Kartikawati, 2008).

Konversi ke jumlah CH4 dalam satu musim tanam:


2
E1 + E2 x+ E3 x (H – N) x 10.000 m
E = x
HT - N 1.000.000 kg

Keterangan;
E : Total emisi gas CH4 (kg ha-1 musim tanam-1)
E1+E2+E3 : Kumulatif flux pada pengamatan E1, E2 dan E3 (mg m-2 hari-1)
N : Umur bibit (hari)
HT : HST terakhir dilakukan pengamatan (hari)
H : Umur tanaman dari persemaian sampai panen (hari)
48

2) Pengukuran suhu dengan soil temperatur, pH dan Eh dengan pH/Eh meter

dan oksigen terlarut dengan DO meter. Suhu, pH, Eh dan oksigen terlarut tanah

pada kedalaman daerah perakaran (+ 20 cm) di tengah rumpun tanaman. Suhu,

pH dan oksigen terlarut air pada tengah antara permukaan tanah dan air di

tengah rumpun tanaman.

3) Analisis laboratorium nitrit, nitrat, amonia, C biomassa mikrobia, aktivitas

methanogen-methanotrof, sampel tanah diambil pada kedalaman daerah

perakaran (+ 20 cm) di tengah rumpun tanaman, sampel air diambil pada

tengah antara permukaan tanah dan air di tengah rumpun tanaman.

g. Analisis Tanah Akhir

Sampel tanah pada saat panen diambil secara komposit, dan sifat tanah akhir

yang diamati: pH (H2O, KCl), C-organik, humat, fulvat, N total, C/N rasio,

P2O5 tersedia, P2O5 total, K2O tersedia, K2O total, KPK dan KB. Analisis sifat

tanah mengikuti referensi yang disebutkan pada Lampiran 1.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data percobaan dengan menggunakan uji F dengan taraf

kepercayaan 95%, dan apabila ada beda nyata dilanjutkan dengan Duncan’s

Multiple Range Test (DMRT) untuk mengetahui perbedaan antar rerata perlakuan.

Penentuan keeratan hubungan antara sifat tanah dan air, parameter tanaman, dan

nilai emisi menggunakan analisis korelasi (Steel and Torie, 1981).


49

E. Penelitian Tahap III: Percobaan Lapangan

Penanaman padi sawah organik di lahan dengan perlakuan pupuk kandang

sapi dan Azolla. Diagram alir sistematika penelitian adalah sebagai berikut;

SPL SAWAH ORGANIK

Sifat Tanah ; Iklim ; Tanaman Budidaya ;


Bahan organik Curah hujan Varietas Pengolahan tanah
Bahan mineralogi Cara tanam
Suhu
Status hara Pemupukan
Tekstur •pH • Eh Pengairan
Suhu Panen

KONDISI TANAH PENGELOLAAN


DAN LAHAN TANAMAN DAN LAHAN

PERCOBAAN
LAPANGAN RAK

MACAM PERLAKUAN CARA PERLAKUAN TARAF PERLAKUAN

PERTUMB. DAN
SIFAT TANAH EMISI METANA
HASIL TANAMAN

ANALISIS DATA

Cara, macam dan taraf perlakuan/pengelolaan ;


Memperbaiki sifat/kesuburan tanah
Meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman
Menurunkan emisi metana

Gambar 8.Tahap percobaan lapangan. Penentuan rancangan,


percobaan penanaman padi sawah organik dan analisis data.
50

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan metode experiment yaitu percobaan

lapangan penanaman padi sawah, dan didukung dengan analisis di laboratorium.

Perlakuan percobaan pupuk kandang sapi, pupuk Azolla dan inokulum Azolla

didasarkan dari hasil inventarisasi teknik pengelolaan yang sudah biasa dilakukan

oleh petani, kajian referensi penelitian sebelumnya, dan hasil penelitian pertama

dan kedua.

2. Waktu dan Tempat

Percobaan lapangan penanaman padi sawah dilakukan pada bulan Juli

sampai dengan Desember 2012. Analisis dan persiapan pemetaan petak-petak

percobaan dilaksanakan di Laboratorium Pedologi dan Survei Tanah, Jurusan

Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UNS Surakarta. Analisis sifat kimia dan fisika

tanah dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan, Jurusan Ilmu Tanah,

Fakultas Pertanian UNS Surakarta. Analisis Gas Chromatography (GC)

dilaksanakan di Laboratorium Gas Rumah Kaca (GRK), Balai Penelitian

Lingkungan Pertanian, Jakenan, Pati dan di Laboratorium MIPA Pusat UNS

3. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi; bahan input

produksi padi sawah organik (lahan, benih padi IR-64, pupuk kandang sapi,

Azolla, pestisida nabati, dan lainnya), khemikalia untuk analisis sampel tanaman,

tanah dan pupuk organik, dan khemikalia analisis GC. Kebutuhan alat yang

digunakan meliputi; seperangkat alat pengolah tanah sawah, alat pemeliharaan


51

padi sawah, alat tulis, timbangan, alat untuk analisis laboratorium sampel

tanaman, tanah dan pupuk organik, dan analisis GC.

4. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan menggunakan RAKL (Rancangan Acak Kelompok

Lengkap) (Steel and Torie, 1981) dengan 9 (sembilan) macam perlakuan yang

masing-masing diulang pada 3 blok.

Tabel 2. Macam perlakuan percobaan lapangan dengan pupuk kandang sapi,


pupuk Azolla, inokulum Azolla dan kombinasinya
Dosis Perlakuan Penyediaan N
Total
(ton ha-1) (kg N ha-1)
Kode Penyediaan
No. Pupuk Pupuk
Perlakuan Pupuk Inokulum Pupuk Inokulum N
Kandang Kandang
Azolla Azolla Azolla Azolla (kg N ha-1)
Sapi Sapi
A. Kontrol (Tanpa N) - - - - - - -

B. PKS 8 8 - - 120 - - 120

C. PA 5 - 5 - - 120 - 120

D. IA 4 - - 4 - - 120 120

E. PKS 4 + PA 2,5 4 2,5 - 60 60 - 120

F. PKS 4 + IA 2 4 - 2 60 - 60 120

G. PA 2,5 + IA 2 - 2,5 2 - 60 60 120

H. PKS 2,67 + PA 8/3 5/3 4/3 40 40 40 120


1,67 + IA 1,33 (2,67) (1,67) (1,33)
I. PKS 8 + PA 5 + 8 5 4 120 120 120 360
IA 4
Keterangan;
1. Total penyediaan 120 kg N ha-1 didasarkan dari kebutuhan tanaman padi sawah (Sanchez,
1975), yan dicukupi dari N dalam tanah dan N dari pupuk
2. Kandungan N pupuk kandang sapi 1,2% (Syamsiyah et al., 2010, Mujiyo et al., 2010 dan Hartati
et al., 2010). Asumsi efisiensi pemupukan 80%.
3. Kandungan N pupuk Azolla (segar) 2% (Mujiyo et al., 2010 dan Hartati et al., 2010). Asumsi
efisiensi pemupukan 80%.
4. Inokulum Azolla 1 ton ha-1 yang diaplikasikan 5 hari setelah tanam padi, selama 30 hari (pada
saat tanaman padi masa puncak pertumbuhan vegetatif) akan dapat menyediakan 30 kg N ha-1
(Bharati et al., 2000).
5. PKS 8 = Pupuk kandang sapi 8 ton ha-1, PA 5 = Pupuk Azolla 5 ton ha-1, IA 4 = Inokulum
Azolla 4 ton ha-1, PKS 4 + PA 2,5 = Pupuk kandang sapi 4 ton ha-1 + Pupuk Azolla 2,5 ton ha-1,
PKS 4 + IA 2 = Pupuk kandang sapi 4 ton ha-1 + Inokulum Azolla 2 ton ha-1, PA 2,5 + IA 2 =
Pupuk Azolla 2,5 ton ha-1 + Inokulum Azolla 2 ton ha-1, PKS 2,67 + PA 1,67 + IA 1,33 = Pupuk
kandang sapi 2,67 ton ha-1 + Pupuk Azolla 1,67 ton ha-1 + Inokulum Azolla 1,33 ton ha-1, PKS 8
+ PA 5 + IA 4 = Pupuk kandang sapi 8 ton ha-1 + Pupuk Azolla 5 ton ha-1 + Inokulum Azolla 4
ton ha-1.
52

t
BLOK BLOK BLOK
I II III

D1 I2 F3

I1 B2 H3

C1 G2 E3

B1 E2 G3

A1 A2 I3

F1 D2 C3

H1 C2 D3

G1 F2 A3

E1 H2 B3

Gambar 9. Denah/layout penempatan satuan percobaan lapangan.


Penempatan secara acak kelompok lengkap.

Masing-masing plot satuan percobaan luas 10 m2 (2 m x 5 m). Pupuk

kandang sapi dan pupuk Azolla sesuai perlakuan diberikan 3 (tiga) hari sebelum
53

tanam, dicampur merata ke dalam lapisan olah tanah. Inokulum Azolla ditebar

secara merata 5 (lima) hari setelah tanam padi.

5. Tata Laksana Penelitian

Tahap penelitian; (a) penentuan lahan dan denah percobaan, (b) persiapan

pupuk kandang sapi, (c) persiapan Azolla, (d) karakterisasi tanah awal, (e)

percobaan penanaman, (f) pengukuran emisi metana, Eh, pH, dan suhu tanah,

oksigen terlarut, populasi mikrobia, dan (g) karakterisasi tanah akhir.

a. Penentuan Lahan dan Denah Percobaan

Dasar pemilihan lahan percobaan: (1) SPL padi sawah organik, (2) SPL

dominan, paling luas dibandingkan yang lainnya, (3) Kemudahan

keterjangkauan dan aksesbilitas, (4) Kemudahan penyusunan rancangan

percobaan, dan (5) Ketersediaan lahan oleh petani. Berdasarkan pertimbangan

tersebut maka dipilih lahan P1 yang ditunjukkan oleh Gambar 10.

b. Persiapan Pupuk Kandang Sapi

Pupuk kandang sapi diperoleh dari petani pemilik lahan percobaan.

Parameter pupuk kandang sapi: C-organik, C/N rasio, N, P, dan K total.

c. Persiapan Azolla

Azolla mycrophylla L. berasal dari Jurusan Mikrobiologi Pertanian, Fakultas

Pertanian, UGM Yogyakarta. Perbanyakan inokulum dengan model kolam.

Parameter Azolla: C-organik, C/N rasio, N, P, dan K total.

d. Analisis Tanah Awal

Pengamatan sifat tanah sebelum penanaman, menggunakan data dari penelitian

tahap pertama pada tanah sawah organik lapisan olah + 20 cm. Data sifat tanah
54

awal; warna, tekstur, konsistensi, pH (H2O, KCl), C-organik, humat, fulvat, N

total, C/N rasio, KPK (Kapasitas Pertukaran Kation), KB (Kejenuhan Basa),

P2O5 tersedia, P2O5 total, K2O tersedia, K2O total, dan Fe bebas, amorf, dan

kompleks organik, serta C dan N biomassa. Analisis sifat tanah mengikuti

referensi yang disebutkan pada Lampiran 1.

e. Percobaan

Tahap ini meliputi pengolahan tanah, pembuatan petak-petak percobaan,

pembibitan, pemupukan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan.

Pemupukan dilakukan sesuai dengan perlakuan. Penanaman dilakukan setelah

bibit berumur 21 hari, 3 bibit per lubang dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm.

Parameter tanaman: tinggi tanaman, jumlah total anakan, jumlah anakan

produktif, kandungan dan serapan C, N, P, K, hasil gabah kering panen (GKP),

berat gabah per malai, berat 1.000 biji, berat segar brangkasan (BSB), dan

indeks panen (IP). GKP adalah berat gabah setelah dirontokkan pada saat

panen. BSB merupakan berat tanaman bagian atas tanah setelah gabah

dirontokkan. Rumus perhitungan IP adalah sebagai berikut;


GKP
IP = ------------------ x 100%
(GKP + BSB)
(Bharati et al., 2000).

f. Pengamatan selama Percobaan

Pengamatan emisi metana, suhu, pH, Eh, oksigen terlarut, amonia, nitrit, nitrat,

aktivitas methanogen-methanotrof, dan C biomassa mikrobia dilakukan secara

bersamaan sebanyak 3 (tiga) kali, pada saat umur tanaman 35, 68 dan 96 HST

(Setyanto, 2004 dalam: Susilawati dan Kartikawati, 2008).


55

1) Pengambilan sampel gas untuk pengukuran emisi metana dengan teknik

sungkup tertutup (closed chamber) berbahan pleksiglass p = 40 cm, l = 40 cm,

dan t = 100 cm. Penyungkupan pada 4 (empat) rumpun padi. Sampel gas

diambil dengan jarum injeksi volume 5 ml, dan kemudian dianalisis

menggunakan gas cromatography (GC) dengan flame ionization detector

(FID).

Rumus penghitungan laju emisi (Susilawati dan Kartikawati, 2008):

dc Vch mW 273,2
E= x x x
dt Ach mV 273,2 + T
Keterangan;
E : Emisi gas CH4 (mg m-2 menit-1)
dc/dt : Perbedaan konsentrasi CH4 per waktu (ppm menit-1)
Vch : Volume closed chamber (m3)
Ach : Luas closed chamber (m2)
mW : Berat molekul CH4 (16,123 g)
mV : Volume molekul CH4 pada STP (= 22,41 L)
T : Temperatur rata-rata selama pengambilan sampel (0C)

Pengambilan contoh gas pada jam 06.00 – 07.00 pada menit ke-4, 8, 12, dan 16

setelah penyungkupan, kemudian nilai emisi dikonversi menjadi mg m-2 hari-1

(Susilawati dan Kartikawati, 2008).

Konversi ke jumlah CH4 dalam satu musim tanam:

E1 + E2 x+ E3 x (H – N) x 10.000 m2
E = x
HT - N 1.000.000 kg

Keterangan;
E : Total emisi gas CH4 (kg ha-1 musim tanam-1)
E1+E2+E3 : Kumulatif flux pada pengamatan E1, E2 dan E3 (mg m-2 hari-1)
N : Umur bibit (hari)
HT : HST terakhir dilakukan pengamatan (hari)
H : Umur tanaman dari persemaian sampai panen (hari)
56

2) Pengukuran suhu dengan soil temperatur, pH dan Eh dengan pH/Eh meter

dan oksigen terlarut dengan DO meter. Suhu, pH, Eh dan oksigen terlarut tanah

pada kedalaman daerah perakaran (+ 20 cm) di tengah rumpun tanaman. Suhu,

pH dan oksigen terlarut air pada tengah antara permukaan tanah dan air di

tengah rumpun tanaman.

3) Analisis laboratorium nitrit, nitrat, amonia, C biomassa mikrobia, aktivitas

methanogen-methanotrof, sampel tanah diambil pada kedalaman daerah

perakaran (+ 20 cm) di tengah rumpun tanaman, sampel air diambil pada

tengah antara permukaan tanah dan air di tengah rumpun tanaman.

g. Analisis Tanah Akhir

Sampel tanah pada saat panen diambil secara komposit, dan sifat tanah akhir

yang diamati: pH (H2O, KCl), C-organik, humat, fulvat, N total, C/N rasio,

P2O5 tersedia, P2O5 total, K2O tersedia, K2O total, KPK dan KB. Analisis sifat

tanah mengikuti referensi yang disebutkan pada Lampiran 1.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data percobaan dengan menggunakan uji F dengan taraf

kepercayaan 95%, dan apabila ada beda nyata dilanjutkan dengan Duncan’s

Multiple Range Test (DMRT) untuk mengetahui perbedaan antar rerata perlakuan.

Penentuan keeratan hubungan sifat tanah dan air, parameter tanaman, dan nilai

emisi menggunakan analisis korelasi (Steel and Torie, 1981).


57

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penelitian Tahap I: Karakterisasi Lahan dan Potensi Emisi Metana

1. Keadaan Umum Wilayah

Secara administratif wilayah penelitian adalah Desa Sukorejo, Kecamatan

Sambirejo, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Secara geografis terletak pada posisi

lintang 111o07’06,09” - 111o09’13,55” BT dan 07o30’04,34” - 07o31’30,90” LS,

terletak di lereng Gunung Lawu bagian utara agak ke barat.

Topografi sebagian besar lahan sawah berombak sampai bergelombang,

bahkan pada daerah tertentu sampai berbukit, dengan tingkat kemiringan lereng 4

- 50 % dan tinggi tempat 266 – 486 m dpl. Luas wilayah Desa Sukorejo sekitar

412,08 ha dengan penggunaan lahan sawah sekitar 130,24 ha (BAPPEDA dan

BPS Sragen, 2008). Pola tanam padi sawah dalam 1 (satu) tahun bervariasi

tergantung kepada musim (curah hujan) dan ketersediaan air irigasi. Pada musim

penghujan hampir semua lahan ditanami padi sawah, sementara pada musim

kemarau sebagaian lahan ditanami padi sawah dengan sumber air dari Gunung

Lawu, dan sebagian lainnya ditanami palawija (jagung, kacang tanah, kedelai, dan

lainnya) atau diberokan.


58

Gambar 10. Peta titik pengamatan profil dan pengambilan sampel. P1 sawah organik,
P2 sawah semi organik, P3 sawah konvensional dan P4 hutan jati.
59

2. Karakterisasi Tanah dan Lahan

a. Satuan Peta Lahan

Overlay (tumpang susun) peta tematik memperoleh 4 (empat) satuan peta

lahan (SPL): sawah organik, semi organik, konvensional dan hutan alami (hutan

jati). Titik profil dan pengambilan sampel telah diplotkan seperti ditunjukkan oleh

Gambar 10. Penamaan titik profil selanjutnya sawah organik P1, sawah semi

organik P2, sawah konvensional P3, dan hutan jati P4.

Tabel 3. Keterangan titik profil P1 (sawah organik), P2 (sawah semi organik),


P3 (sawah konvensional) dan P4 (hutan jati)

SPL:
No. Pengelolaan Pemilik /
Geologi – Tanah – Lokasi Lahan
Site Lahan Pengelola
Topografi
P1 Lahar Lawu – Mediteran Sawah Pak Ngadi LS 07031’08,2”
Coklat Kemerahan – Agak Organik Pondok, BT 111008’44,6”
Curam (15-25%), Berombak Sukorejo. h = 464 m dpl
– 454 mdpl s = 15%
P2 Lahar Lawu – Mediteran Sawah Pak Ngadi LS 07031’16,5”
Coklat Kemerahan – Agak Semi Pondok, BT 111008’34,6”
Curam (15-25%), Berombak Organik Sukorejo. h = 485 m dpl
– 454 mdpl s = 20%
P3 Lahar Lawu – Mediteran Sawah Pak LS 07030’35,9”
Coklat Kemerahan – Agak Konvensional Suroso BT 111008’04,3”
Curam (15-25%), Berombak Gempol, h = 354 m dpl
– 357 mdpl Sukorejo. s = 15%
P4 Lahar Lawu – Mediteran Hutan Jati Pak Yoso LS 070 30’ 53,6”
Coklat Kemerahan – Sangat Wiyono BT 111008’06,3”
Curam (> 60%), Berbukit – Cengklik, h = 430 m dpl
400 mdpl Sukorejo. s = 52%
Jenis geologi menurut Datun et al. (1997) dan jenis tanah menurut Supraptohardjo et al. (1966)

b. Geologi dan Iklim

Bahan induk berupa batuan vulkanik dari Gunung Lawu (Lahar Lawu)

yang tergolong andesitik – basaltik (Datun et al., 1997). Gunung Lawu menurut

sejarah geologi terbagi menjadi Gunung Lawu Tua dan Gunung Lawu Muda.
60

Posisi puncak Gunung Lawu Tua menurut Hartono (1994) di sebelah selatan

Cemorosewu, Magetan. Gunung Lawu Muda adalah Gunung Lawu yang sampai

sekarang ini berada. Bahan induk di wilayah penelitian Desa Sukorejo berasal dari

kegiatan magmatis Gunung Lawu Muda ini (Subagjo and Buurman, 1980;

Hartono, 1994; Datun et al., 1997).

Dames (1975) dalam Subagjo and Buurman (1980) menyatakan bahwa

batuan dari Gunung Lawu Muda hampir sama dengan dari Gunung Lawu Tua,

tetapi tidak mengandung kuarsa. Pada semua horison tanah P1 – P4 tidak

ditemukan pasir kuarsa, yang menunjukkan bahan induk termasuk basaltik dan

semakin menguatkan dugaan berasal dari Gunung Lawu Muda.

Mineral primer yang mendominasi adalah plagioklas ((Ca, Na)-feldspar),

piroksin, olivin, dan amfibol (Hartono, 1994). Plagioklas merupakan mineral

primer silikat yang mempunyai struktur jaringan tetrahedral SiO4 (phyllosilicates),

sementara itu piroksin struktur rantai tunggal (inosilicates single chain), olivin

struktur tetrahedral terpisah (nesosilicates), dan amfibol struktur rantai ganda

(inosilicates double chain). Mineral-mineral tersebut apabila diurutkan dari yang

mudah lapuk ke sukar lapuk; olivin, piroksin, amfibol, dan plagioklas.

Mineral sekunder yang mendominasi adalah kaolinit, kaolinit disorder,

haloisit, smektit dan goethit (Lampiran 11, 18, 25 dan 32). Mineral kaolinit,

kaolinit disorder, dan haloisit termasuk famili kaolinit golongan mineral klei tipe

1 : 1, perbandingan jumlah lapisan Si tetrahedral dan Al oktahedral 1 : 1 (Tan,

1992; van Rants, 1995). Mineral smektit termasuk golongan mineral klei tipe 2 :

1, perbandingan jumlah lapisan Si tetrahedral dan Al oktahedral 2 : 1 (Tan, 1992;


61

van Rants, 1995). Mineral goethit tidak termasuk filosilikat (lapisan silikat), tetapi

merupakan oksida Fe mengandung air yang berasosiasi dengannya (Tan, 1992).

Gambar 11. Grafik rata-rata curah hujan*) dan evapotranspirasi**) bulanan.


*)
Sumber: Stasiun Pacet No. 19 Waduk Gebyar Sambirejo 2001 – 2012,
h = 390 m dpl, jarak dengan lokasi penelitian 1,5 km arah utara-barat,
diolah. **)Sumber: Stasiun Klimatologi Jumantono FP UNS 2009 -
2012, diolah.

Rata-rata curah hujan tahunan selama 12 tahun terakhir (2001 – 2012)

sebesar 2.358 mm. Iklim di wilayah penelitian menurut Schimdt-Ferguson

termasuk tipe iklim C, yaitu agak basah, dengan rata-rata bulan basah (CH > 100

mm) 8 bulan dan bulan kering (CH < 60 mm) 3 bulan. Klasifikasi iklim menurut

Oldeman termasuk tipe iklim C3, rata-rata bulan basah (CH > 200 mm) 6 bulan

dan bulan kering (CH < 100 mm) 4 bulan.

Data suhu udara tidak tersedia, namun demikian dapat dihitung dengan

menggunakan rumus Braak: T = a – bh. T = suhu, a = 26,3 0C, b = 0,006 0C m-1,


62

dan h = ketinggian tempat. Ketinggian lokasi penelitian 415 m dpl, sehingga hasil

perhitungan T = 23,8 0C. Rata-rata suhu tanah dapat diperkirakan menurut Soil

Survey Staff (2010) dengan cara rata-rata suhu udara ditambah 1 0C, sehingga

rata-rata suhu tanah sebesar 24,8 0C. Secara umum daerah penelitian yang bersifat

tropis mempunyai selisih suhu tanah musim dingin (rata-rata bulan Desember,

Januari dan Februari) dan musim panas (rata-rata bulan Juni, Juli dan Agustus)

kurang dari 6 0C (Soil Survey Staff, 2010). Tanah di lokasi penelitian oleh karena

itu mempunyai rejim suhu tanah isohyperthermic. Tanah tidak pernah mengalami

kekeringan selama lebih dari 90 hari kumulatif, sehingga rejim kelembaban tanah

termasuk udik.

c. Pengelolaan Lahan

1) Pengelolaan Sawah Organik (P1)

Pola tanam padi sepanjang tahun dengan irigasi teknis dengan sumber air

dari Gunung Lawu. Pengelolaan dengan sistem organik sudah dimulai sejak tahun

2001. Varietas yang biasa ditanam IR-64 dan mentik wangi. Varietas mentik

wangi lebih sering ditanam akhir-akhir ini. Pupuk kandang yang digunakan adalah

pupuk kandang sapi, dengan dosis rata-rata per musim tanam 6 ton ha-1, yang

disebarkan 2 atau 3 hari sebelum tanam. Pengolahan tanah dengan cangkul

(tamping dan mopok pematang) dan traktor (pembalikan tanah/mluku dan

pelumpuran/garu). Cara tanam tidak menggunakan blak, sehingga jarak tanam

tidak beraturan. Jumlah batang setiap rumpun 5 – 7 batang. Penyiangan gulma

dengan manual tangan sebanyak 3 kali pada umur 10 HST (Hari Setelah Tanam),

21 HST, dan 35 HST. Penyiangan pada umur 35 HST dilakukan hanya apabila
63

gulma masih ada. Pengendalian hama dan penyakit menggunakan ramuan

pestisida organik berbahan empon-empon yang disemprotkan dengan hand

sprayer. Panen menggunakan sabit untuk pemangkasan batang dan pedal thraser

untuk perontokkan gabah. Rata-rata GKP per musim tanam 8 ton ha-1.

2) Pengelolaan Sawah Semi Organik (P2)

Pengelolaan dengan sistem semi organik sudah dimulai sejak tahun 2003.

Pengelolaan lahan hampir mirip dengan sawah organik, tetapi berbeda dalam

penggunaan pupuk kandang dan pupuk kimia. Dosis pupuk kandang rata-rata per

musim tanam 0,4 ton ha-1. Pupuk kimia yang digunakan adalah Urea per musim

tanam 400 kg ha-1. Rata-rata GKP per musim tanam 8 ton ha-1.

3) Pengelolaan Sawah Konvensional (P3)

Varietas yang sering ditanam IR-64 dan kadang-kadang diselingi mentik

wangi. Penggunaan pupuk kandang hanya kadang-kadang saja dengan dosis tidak

tentu setiap musim tanam. Pupuk kimia yang digunakan adalah Urea per musim

tanam 100 kg ha-1, phonska 50 kg ha-1, dan SP’36 100 kg ha-1. Pengelolaan lahan

yang lain hampir sama dengan sawah organik dan semi organik. Rata-rata GKP

per musim tanam 7 ton ha-1.

4) Pengelolaan Hutan Jati (P4)

Topografi lahan curam (s = 52%), berbukit, dan ketinggian tempat 430 m

dpl. Pohon jati ditanam dengan jarak tanam + 6 m x 5 m, dan disela-selanya

ditumbuhi semak-semak belukar. Penanaman jati tidak menggunakan pupuk sama

sekali, pemeliharaan hanya berupa pemangkasan pada batang sekunder dengan

menyisakan batang pokok yang lurus ke atas. Perawatan lahan dengan


64

pembabatan semak di antara pohon jati yang dilakukan dengan frekuensi tidak

tentu. Selama 40 tahun terakhir sudah dilakukan penebangan/panen sebanyak 3

kali.

d. Pemerian dan Klasifikasi Tanah

Profil dibuat dengan ukuran lebar 1,5 m, panjang 2 m dan kedalaman 1,5

m dan kemudian dilakukan pencandraan profil; lokasi profil, morfologi luar /

lingkungan, sketsa penampang profil dan morfologi dakhil tanah.

1) Profil 1 (P1)

1. Nama Lokasi : Dusun Pondok, Desa Sukorejo


2. No. Profil : P1
3. Koordinat : LS : 070 31’ 07,60” BT : 1110 08’ 43,80”
4. Ketinggian : 457 m dpl
5. Kelerengan
a. Arah Lereng : Utara – Timur (NE)
b. Posisi : Lereng atas
c. Bentuk Lereng : Bergelombang
d. Kemiringan : 9%
6. Vegetasi / Penggunaan Lahan : Padi Sawah (Organik)
7. Fisiografi : Lereng atas cukup tertoreh
8. Bahan Induk : Batuan volkanik andesitik – basaltik
(lahar Gunung Lawu Muda)
9. Klasifikasi Tanah : Umbric Epiaqualf, Fine Loam, Mixed,
Nonacid, Isohyperthermic
65

Gambar 12. Penampang profil P1. Apg (pengolahan dan akuik),


Bt (iluviasi klei), Bw1 dan Bw2 (belum nyata).

Epipedon P1 memenuhi syarat sebagai epipedon umbrik yang dicirikan

tebal 18 - 22 cm (> 18 cm), kandungan C-organik 2,09% (> 0,6%), value (lembab)

3 (< 3,5), KB 35,96% (< 50%), dan tidak pernah kering > 3 bulan. Endopedon

memenuhi syarat sebagai endopedon argilik yang dicirikan horison iluviasi

kandungan klei 40,16%, 31,58%, dan 37,62% atau 1,2x lebih tinggi dari pada

horison eluviasi (klei 24,56%) (Lampiran 12). Kutan klei ditemukan pada struktur

di horison II (Lampiran 7). Keunikan dari P1 ditunjukkan dengan adanya

endopedon tepat dibawah epipedon yang memenuhi syarat sebagai endopedon


66

sombrik. Endopedon ini dicirikan dengan kandungan C-organik 1,65%, (> 0,6%),

value (lembab) 3 (< 3,5) dan KB 40,28% (< 50%) (Lampiran 12).

Kandungan C-organik di horison I yang tinggi diduga meningkatkan

proses eluviasi (pelindian) bahan-bahan tanah, termasuk klei, yang kemudian

diendapkan di horison II (B). Asam-asam organik meningkatkan dispersi fraksi

klei, sehingga lebih mudah terlindi ke horison di bawahnya (Wilding et al., 1983).

Dispersi partikel klei dari mikro agregat disebabkan oleh adsorpsi komplek asam

organik yang meningkatkan muatan negatif pada klei (Durgin and Chaney, 1984;

Oades, 1984), dan kemudian menyebabkan terjadinya pelepasan partikel klei

(Wilding et al., 1983).

Klei demikian juga sebaliknya, melalui mekanisme pembentukan

kompleks klei-organik, meningkatkan resistensi bahan organik terhadap proses

peruraiannya, sehingga bahan organik akan lebih tahan di dalam tanah. Tekstur

tanah berpengaruh terhadap stabilisasi bahan organik (Plante et al., 2006),

kandungan bahan organik meningkat dengan meningkatnya kandungan klei.

Stabilisasi secara kimia molekul organik melalui ikatan antara bahan organik

dengan mineral klei sudah banyak dilaporkan (Gonzales and Laird, 2003).

Mekanisme perlindungan bahan organik oleh mineral klei terhadap proses

peruraiannya melalui; (1) perlindungan secara kimia melalui assosiasi bahan

organik dengan permukaan mineral klei, (2) proteksi secara fisik dengan

menyelimuti di dalam agregat, dan (3) proteksi secara kimia oleh rekalsitran (Six

et al., 2002). Bahan organik yang mudah didekomposisi bahkan dapat dilindungi
67

dari dekomposisi karena berasosiasi sangat erat dengan partikel debu dan klei

(Sorensen, 1972).

P1 masuk ke dalam ordo Alfisol, karena memenuhi syarat endopedon

argilik dan kejenuhan basa > 35%. Sub Ordo Aqualf karena mempunyai horison

kondisi akuik. Great Group Epiaqualf karena mengalami penjenuhan air pada satu

atau lebih horison pada kedalaman 200 cm dan reaksi positif terhadap α ,α -

dipyridyl pada horison I. Sub Group termasuk Umbric Epiaqualf karena

mempunyai epipedon umbrik. Besar butir berdasarkan rata-rata imbang, pasir

31,94%, debu 32,96%, klei 35,10%, termasuk Fine Loam. Komposisi mineral

sekunder smektit dan kaolinit disorder seimbang (Mixed) (Lampiran 11), pH H2O

6,7 (Nonacid), dan rejim suhu tanah Isohyperthermic, sehingga klasifikasi tanah

P1 sampai dengan tingkat famili: Umbric Epiaqualf, Fine Loam, Mixed, Nonacid,

Isohyperthermic (Lampiran 13).

2) Profil 2 (P2)

1. Nama Lokasi : Dusun Pondok, Desa Sukorejo


2. No. Profil : P2
3. Koordinat : LS : 070 31’ 13,00” BT : 1110 08’ 36,00”
4. Ketinggian : 469 m dpl
5. Kelerengan
a. Arah Lereng : Timur (E)
b. Posisi : Lereng tengah
c. Bentuk Lereng : Bergelombang
d. Kemiringan : 20%
6. Vegetasi / Penggunaan Lahan : Padi Sawah (Semi Organik)
7. Fisiografi : Lereng tengah cukup tertoreh
68

8. Bahan Induk : Batuan volkanik andesitik – basaltik


(lahar Gunung Lawu Muda)
9. Klasifikasi Tanah : Humic Epiaquept, Coarse Loam,
Kaolinitic, Nonacid, Isohyperthermic

Gambar 13. Penampang profil P2. Apg (pengolahan dan akuik),


Bw1, Bw2 dan Bw3 (belum nyata).

Epipedon P2 memenuhi syarat sebagai epipedon umbrik yang dicirikan

tebal 19 - 22 cm (> 18 cm), kandungan C-organik 1,78% (> 0,6%), value (lembab)

3 (< 3,5), KB 37,28% (< 50%), dan tidak pernah kering > 3 bulan. Endopedon

memenuhi syarat sebagai endopedon kambik yang dicirikan horison iluviasi klei

belum nyata, kandungan klei horison I - IV berturut-turut; 29,63%, 28,07%,

30,41%, 9,36% (Lampiran 19).


69

P2 masuk ke dalam ordo Inceptisol, karena tidak memenuhi syarat

endopedon yang lain selain kambik. Sub Ordo Aquept karena mempunyai horison

kondisi akuik. Great Group termasuk Epiaquept karena mengalami penjenuhan air

pada satu atau lebih horison pada kedalaman 200 cm dan reaksi positif terhadap

α ,α -dipyridyl pada horison I. Sub Group termasuk Humic Epiaquept karena value

3 (lembab) (3 atau kurang) dan KB 37,28% (<50%). Besar butir berdasarkan rata-

rata imbang, pasir 48,73%, debu 25,59%, klei 25,68%, termasuk Coarse Loam.

Komposisi mineral sekunder kaolinit banyak, smektit sedikit dan goethit sangat

sedikit (Kaolinitic) (Lampiran 18), pH H2O 6,5 (Nonacid), dan rejim suhu tanah

Isohyperthermic, sehingga klasifikasi tanah P2 tingkat famili: Humic Epiaquept,

Coarse Loam, Kaolinitic, Nonacid, Isohyperthermic (Lampiran 20).

3) Profil P3

1. Nama Lokasi : Dusun Gempol, Desa Sukorejo


2. No. Profil : P3
3. Koordinat : LS : 070 30’ 35,80” BT : 1110 08’ 04,40”
4. Ketinggian : 324 m dpl
5. Kelerengan
a. Arah Lereng : Barat – Utara (WN)
b. Posisi : Lereng bawah
c. Bentuk Lereng : Berombak
d. Kemiringan : 5%
6. Vegetasi / Penggunaan Lahan : Padi Sawah (Konvensional)
7. Fisiografi : Lereng bawah cukup tertoreh
8. Bahan Induk : Batuan volkanik andesitik – basaltik
(lahar Gunung Lawu Muda)
9. Klasifikasi Tanah : Humic Epiaquept, Coarse Loam,
Kaolinitic, Nonacid, Isohyperthermic
70

Gambar 14. Penampang profil P3. Apg (pengolahan dan akuik),


Bw1, Bw2 dan Bw3 dan Bw4 (belum nyata).

Epipedon P3 memenuhi syarat sebagai epipedon umbrik yang dicirikan

tebal 27 - 32 cm (> 18 cm), kandungan C-organik = 1,08% (> 0,6%), value

(lembab) 3 (< 3,5), KB 35,43% (< 50%), dan tidak pernah kering > 3 bulan.

Endopedon memenuhi syarat sebagai endopedon kambik yang dicirikan tidak

adanya horison iluviasi klei, kandungan klei horison I - IV berturut-turut; 37,82%,

33,92%, 24,17%, 33,14%, 26,90% (Lampiran 26).

P3 masuk ke dalam ordo Inceptisol, karena tidak memenuhi syarat

endopedon yang lain selain kambik. Sub Ordo Aquept karena mempunyai horison

kondisi akuik. Great Group termasuk Epiaquept karena mengalami penjenuhan air
71

pada satu atau lebih horison pada kedalaman 200 cm dan reaksi positif terhadap

α ,α -dipyridyl pada horison I. Sub Group termasuk Humic Epiaquept karena value

3 (lembab) (3 atau kurang) dan KB 35,43% (<50%). Besar butir berdasarkan rata-

rata imbang, pasir 43,36%, debu 25,46%, klei 31,18%, termasuk Coarse Loam.

Komposisi mineral sekunder kaolinit disorder banyak, smektit sedang dan goethit

sedang (Kaolinitic) (Lampiran 25), pH H2O 6,7 (Nonacid), dan rejim suhu tanah

Isohyperthermic, sehingga klasifikasi tanah P3 sampai dengan tingkat famili:

Humic Epiaquept, Coarse Loam, Kaolinitic, Nonacid, Isohyperthermic (Lampiran

27).

4) Profil 4 (P4)

1. Nama Lokasi : Dusun Cengklik, Desa Sukorejo


2. No. Profil : P4
3. Koordinat : LS : 070 30’ 52,60” BT : 1110 08’ 06,30”
4. Ketinggian : 408 m dpl
5. Kelerengan
a. Arah Lereng : Selatan – Barat (SW)
b. Posisi : Lereng atas
c. Bentuk Lereng : Berbukit
d. Kemiringan : 52%
6. Vegetasi / Penggunaan Lahan : Hutan jati
7. Fisiografi : Lereng atas agak tertoreh
8. Bahan Induk : Batuan volkanik andesitik – basaltik
(lahar Gunung Lawu Muda)
9. Klasifikasi Tanah : Typic Humudept, Coarse Loam,
Halloysitic, Acid, Isohyperthermic
72

Gambar 15. Penampang profil P4. Ap (pengolahan), Bw1, Bw2,


Bw3, Bw4 dan Bw5 (belum nyata).

Epipedon P4 memenuhi syarat sebagai epipedon umbrik yang dicirikan

tebal 23 - 33 cm (> 18 cm), kandungan C-organik 1,83% (> 0,6%), value (lembab)

3 (< 3,5), KB 27,89% (< 50%), dan tidak pernah kering > 3 bulan. Endopedon

memenuhi syarat sebagai endopedon kambik. Horison iluviasi (horison III dan

IV) walaupun kandungan klei 26,12% dan 28,07% atau 1,2x lebih tinggi dari pada

horison eluviasi (memenuhi argilik), tetapi tidak menunjukkan adanya kutan klei

(Lampiran 33).

P4 masuk ke dalam ordo Inceptisol, karena tidak memenuhi syarat

endopedon yang lain selain kambik. Sub Ordo Udept karena tidak memenuhi

syarat sub ordo yang lain dan mempunyai rejim kelembaban tanah udik. Great
73

Group termasuk Humudept yang dicirikan mempunyai epipedon umbrik. Sub

Group termasuk Typic Humudept karena tidak memenuhi syarat sebagai

Humudept yang lain. Besar butir berdasarkan rata-rata imbang, pasir 48,13%,

debu 29,76%, klei 22,11%, termasuk Coarse Loam. Komposisi mineral sekunder

haloisit banyak, smektit sedang dan goethit sangat sedikit (Halloysitic) (Lampiran

32), pH H2O 5,3 (Acid), dan rejim suhu tanah Isohyperthermic, sehingga

klasifikasi tanah P4 sampai dengan tingkat famili: Typic Humudept, Coarse

Loam, Halloysitic, Acid, Isohyperthermic (Lampiran 34).

e. Indeks Kemiripan Tanah

Kelompok horison tingkat pelapukan lebih lambat mempunyai rasio

debu/klei tinggi (Tabel 4), yang menunjukkan belum ada perubahan secara nyata

dari fraksi lebih kasar (debu) menjadi lebih halus (klei). Rasio KPK/klei dan

debu/Fe bebas juga tinggi yang lebih disebabkan karena kandungan debu yang

lebih tinggi dari pada klei, walaupun kandungan debunya hampir sama dengan

yang lainnya, tetapi justru horison ini masih didominasi oleh fraksi pasir. Horison

P2 IV kandungan klei 9,36%, debu 26,90% dan pasir 63,74%, kelas tekstur lom

berpasir (Lampiran 15), merupakan tekstur terkasar dari semua horison yang

diamati. Hal ini menunjukkan bahwa pelapukan belum berjalan intensif untuk

menghancurkan fraksi kasar menjadi fraksi halus.

Kelompok horison tingkat pelapukan lanjut mempunyai rata-rata rasio

debu/klei rendah (Tabel 4), yang menunjukan telah terjadi penurunan fraksi debu

menjadi klei. Proses pembentukan tanah menghancurkan fraksi debu menjadi

fraksi klei yang berukuran lebih halus, sehingga menurunkan fraksi debu dan
74

meningkatkan fraksi klei (Subagjo and Buurman, 1980). Rasio KPK/klei pada

kelompok tingkat pelapukan lanjut demikian juga lebih rendah dibandingkan yang

lain. Pelapukan lebih lanjut akan mengubah fraksi klei tipe 2 : 1 menjadi tipe 1 : 1

dan oksida-hidrousoksida, dengan demikian akan berdampak kepada penurunan

KPK tanah. Penurunan fraksi debu dan peningkatan fraksi klei tidak diikuti

dengan peningkatan KPK yang nyata, yang disebabkan sebagai contoh komposisi

mineral sekunder yang mendominasi pada P3 adalah kaolinit disorder yang

mempunyai potensi KPK rendah.

Tabel 4. Rasio debu/klei, KPK/klei dan debu/Fe bebas tanah P1 (sawah organik),
P2 (sawah semi organik), P3 (sawah konvensional) dan P4 (hutan jati)

Debu/ NN
Profil Horison Jeluk (cm) Debu/Klei KPK/Klei
Fe bebas Rasio
P1 Apg 0 – 18/22 1,41 1,13 8,10 53b
Bt 18/22 – 52/58 0,90 0,79 8,38 38b
Bw1 52/58 – 78/100 1,15 0,79 9,61 45b
Bw2 78/100 - > 150 0,76 0,74 6,90 30b
P2 Apg 0 – 19/22 0,88 0,91 8,84 43b
Bw1 19/22 – 46/62 0,99 0,90 7,99 41b
Bw2 46/62 – 91/108 0,90 0,77 8,78 39b
Bw3 91/108 - 150 2,87 1,90 6,57 87c
P3 Apg 0 – 27/32 1,03 0,80 7,79 38b
Bw1 27/32 – 56/75 0,95 0,75 8,52 38b
Bw2 56/75 – 75/96 1,53 0,89 9,00 50b
Bw3 75/96 – 102/108 0,09 0,73 0,78 1a
Bw4 102/108 – 150 0,58 0,80 4,55 21a
P4 Apg 0 – 23/33 1,44 1,31 8,83 61b
Bw1 23/33 – 50/70 1,36 1,20 10,33 62b
Bw2 50/70 – 80/95 0,99 1,09 8,15 47b
Bw3 80/95 – 100/123 1,08 1,13 9,39 53b
Bw4 100/123 – 143/168 1,93 1,69 9,22 79c
Bw5 143/168 - 180 1,29 1,09 6,96 46b
Angka yang diikuti notasi huruf sama berarti mirip (I > 80%)

Kelompok horison tingkat pelapukan sedang mempunyai rasio debu/klei

mendekati nilai 1 (Tabel 4) yaitu perbandingan fraksi debu dan klei yang
75

seimbang, penurunan fraksi debu diikuti oleh peningkatan fraksi klei. Penurunan

fraksi debu diikuti oleh peningkatan Fe bebas yang dicirikan rasio debu/Fe bebas

tergolong sedang. Peningkatan fraksi klei juga diikuti oleh peningkatan KPK yang

dicirikan rasio KPK/klei tergolong sedang.

Kelompok horison dengan pelapukan sedang mendominasi semua horison

tanah pada P1 – P4, menunjukkan proses pelapukan telah berjalan cukup intensif.

Fraksi debu mulai berubah menjadi fraksi lebih halus klei. Mineral klei mulai

terjadi perubahan dominasi dari tipe 2 : 1 menjadi 1 : 1, bahkan sudah ada yang

terbentuk goethit (Fe2O3.H2O). Fe bebas (oksida dan hidrous oksida) juga mulai

mendominasi dari Fe total, sekitar 51,25 – 67,39% dari Fe total adalah Fe bebas.

Tingkat pelapukan yang sudah cukup intensif di daerah penelitian

disebabkan oleh beberapa faktor: (1) Rata-rata curah hujan tinggi 2.358 mm per

tahun menyediakan agen air yang cukup untuk berlangsungnya proses pelapukan

dan pembentukan tanah, (2) Bahan / batuan induk andesitik-basaltik mengandung

unsur Fe dan Mg sedang – tinggi yang lebih mudah lapuk dengan kondisi

lingkungan netral - basa, ikatan Fe-O dan Mg-O merupakan titik lemah yang lebih

mudah dipatahkan dari pada ikatan Si-O dan Al-O (Tan, 1992), dan (3) Topografi

lahan P1, P2 dan P3 berombak - bergelombang dengan kemiringan lereng agak

melandai – agak curam (3 – 20%), namun demikian karena penggunaan lahan

sawah dengan bentuk teras-teras memungkinkan infiltrasi air ke dalam tanah

semakin besar dan didukung tidak adanya lapisan hardpan (ploughpan) semakin

memperbesar perkolasi air ke bawah, dengan demikian akan mendorong pelindian

unsur-unsur ke horison lebih bawah.


76

3. Emisi CH4

Rata-rata potensi produksi dan oksidasi CH4 pada tanah P1 (sawah

organik) paling tinggi dari pada yang lain. Tertinggi kedua adalah P2 (sawah semi

organik), dan berikutnya P4 (hutan jati) dan P3 (sawah konvensional). Emisi CH4

(selisih antara potensi produksi dan oksidasi CH4) demikian juga sama berurutan

dari yang paling tinggi: sawah organik, sawah semi organik, hutan jati dan sawah

konvensional (Tabel 5). Kecenderungan data potensi produksi dan oksidasi CH4

adalah sama, keduanya berkorelasi positif sangat nyata (0,92**) (Tabel 6), tanah

yang mempunyai potensi produksi (pembentukan) CH4 tinggi, juga mempunyai

potensi oksidasi (perubahan) CH4 yang tinggi pula. Hal ini diduga pada tanah

yang mempunyai kelompok bakteri methanogen (pembentuk CH4) tinggi, maka

kelompok bakteri methanotrof (perubah CH4) juga tinggi.

Korelasi tersebut oleh Joulian et al. (1997) sangat jelas disebabkan

kelompok bakteri pertama menghasilkan substrat (CH4) yang digunakan oleh

kelompok bakteri kedua. Brzezińska et al. (2012) menyebutkan pada tanah yang

mempunyai tingkat produksi CH4 tinggi juga mempunyai tingkat konsumsi

(oksidasi) CH4 yang tinggi pula. Tanah yang mempunyai potensi produksi CH4

tinggi dengan demikian belum tentu akan menghasilkan emisi CH4 yang tinggi

pula.
77

Tabel 5. C-organik, C biomassa mikrobia, potensi produksi dan oksidasi CH4 tanah P1 (sawah organik), P2 (sawah semi organik),
P3 (sawah konvensional) dan P4 (hutan jati)

Kedalaman*) CO Rata-Rata CBM Rata-Rata NBM Rata-Rata PP Rata-Rata PO Rata-Rata PP - PO Rata-Rata


Profil Horison
(cm)
(%) (µg C g-1 tanah) (µg N g-1 tanah) (µg CH4 kg-1 tanah hari-1)
P1 Apg 10,0 2,09 1,67 498,39 277,91 72,59 48,09 1,81 1,36 0,73 0,61 1,08 0,75
Bt1 37,5 2,00 418,01 59,11 1,67 0,66 1,01
Bw1 72,0 1,31 84,98 30,07 1,05 0,53 0,52
Bw2 124,5 1,30 110,24 30,59 0,92 0,51 0,40
P2 Apg 10,3 1,78 1,62 475,42 292,26 59,37 46,99 1,23 0,92 0,52 0,42 0,71 0,50
Bw1 37,8 1,65 199,82 56,00 0,98 0,48 0,50
Bw2 77,3 1,56 172,26 38,89 0,82 0,39 0,42
Bw3 124,8 1,48 321,54 33,70 0,66 0,31 0,36
P3 Apg 14,8 1,08 0,91 367,48 291,23 49,26 28,21 0,84 0,65 0,43 0,34 0,41 0,32
Bw1 47,5 1,00 257,23 20,74 0,59 0,25 0,34
Bw2 75,5 1,01 303,17 27,48 0,63 0,37 0,26
Bw3 95,3 0,68 261,83 27,22 0,66 0,34 0,32
Bw4 127,5 0,78 266,42 16,33 0,53 0,28 0,25
P4 Apg 14,0 1,83 1,58 468,53 324,99 66,11 42,52 1,21 0,85 0,51 0,40 0,70 0,46
Bw1 44,0 1,88 443,27 57,04 1,12 0,47 0,65
Bw2 73,8 1,63 271,02 45,89 0,80 0,36 0,44
Bw3 99,5 1,52 282,50 36,30 0,67 0,22 0,44
Bw4 133,5 1,35 197,52 22,30 0,73 0,46 0,26
Bw5 167,5 1,24 287,09 27,48 0,61 0,35 0,26
*) kedalaman horison diambil titik tengah masing-masing horison
CO = C-organik, CBM = C Biomassa Mikrobia, NBM = N Biomassa Mikrobia, PP = potensi produksi CH4, PO = potensi oksidasi CH4, PP – PO = emisi CH4.
78

Tabel 6. Korelasi potensi produksi CH4 dengan beberapa parameter terpilih hasil
analisis sifat tanah sawah organik, sawah semi organik, sawah
konvensional dan hutan jati

PP PO D CO HM FV CBM NBM FeO NaF NTot PTot KTot


PO 0,92**
D -0,66** -0,53*
*
CO 0,80** 0,66** -0,50
** *
HM 0,82** 0,74** -0,70 0,47
* ** ** **
FV 0,68** 0,56 -0,87 0,58 0,62
** * ns
CBM 0,56* 0,35ns -0,59 0,52 0,37 0,70**
** ** **
NBM 0,84 0,70 -0,79 0,84 0,62 0,81** 0,71**
** **
** ns **
FeO 0,71 0,64 -0,58 0,42 0,73 0,59** 0,65** 0,67**
** **
** ** ** **
NaF -0,76 -0,56 0,77 -0,62 -0,72 -0,83** -0,85** -0,77** -0,69
** *
** ** ** * ** ** * ** * **
NTot 0,67 0,65 -0,90 0,52 0,67 0,79 0,47 0,74 0,55 -0,69
** ** ** ns *
PTot 0,79 0,73 -0,63 0,65 0,64 0,50 0,27 0,65 0,34 -0,50 0,64**
** ** * ns **
ns * ** ** *
KTot -0,67 -0,62 0,44 -0,57 -0,62 -0,52 -0,40 -0,61 -0,58 0,53 -0,45ns -0,43ns
** ** * ns **

PTer 0,50* 0,37ns -0,87** 0,54* 0,50* 0,85** 0,59** 0,75** 0,47* -0,71** 0,80** 0,35ns -0,50*
PP = potensi produksi CH4, PO = potensi oksidasi CH4, D = kedalaman horison, CO = C organik,
HM = humat, FV = fulvat, CBM = C biomassa mikrobia, NBM = C biomassa mikrobia, FeO = Fe
asosiasi organik, NaF = pH NaF, NTot = N total, PTot = P total, KTot = K total, PTer = P tersedia

Sifat tanah yang paling nyata mempunyai keeratan hubungan dengan

potensi produksi CH4 adalah kandungan C-organik (c = 0,80**), dan juga dengan

komponen bahan organik humat (0,82**) dan fulvat (0,68**) (Tabel 6). Kandungan

C-organik (bahan organik) tanah apabila meningkat, maka potensi produksi CH4

juga akan meningkat. Tanah P1 (sawah organik) mempunyai rata-rata C-organik

paling tinggi, dan rata-rata potensi produksi CH4-nya juga paling tinggi di antara

tanah yang lain (Tabel 5). Hasil ini sama dengan yang disimpulkan oleh Joulian et

al. (1996), Oelbermann dan Schiff (2008) dan Liu et al. (2011) bahwa pada tanah

dengan C-organik tinggi menghasilkan produksi CH4 yang tinggi pula.

Sanchez (1976) menyampaikan bahwa dekomposisi bahan organik pada

tanah tergenang dengan tidak tergenang sama sampai pada tahap pembentukan

asam piruvat. Asam piruvat yang terbentuk pada tanah tidak tergenang dengan
79

drainase baik selanjutnya akan teroksidasi menjadi CO2, NO3-, SO4- dan material

humat resisten. Asam piruvat yang terbentuk pada tanah tergenang dengan kondisi

anaerobik tereduksi menjadi alkohol dan asam-asam organik, dan tereduksi lebih

lanjut menjadi CO2 dan CH4.

Gambar 16. Garis regresi potensi produksi CH4 dengan C-organik.


Tanah dengan C-organik tinggi menghasilkan potensi
produksi CH4 tinggi. Dua titik paling kanan atas adalah
sampel tanah horison I dan II dari sawah organik.

Bahan organik akan meningkatkan produksi CH4 melalui pengaruhnya

terhadap penurunan Eh dan penyediaan sumber C (Schutz et al., 1990). Kelompok

bakteri methanogen pada tanah dapat menghasilkan CH4 dari hasil reduksi CO2

dan H2 (hydrogenotrophic), atau dari fermentasi CH3COOH (asetat) menjadi CH4

dan CO2 (acetoclastic) (Nieder dan Benbi, 2008; Thauer et al., 2008), atau reduksi

CH3OH (metanol) menjadi CH4 (Reddy and DeLaune, 2008).


80

P1 Horison II P2 Horison II
Gambar 17. Penampang profil P1 sawah organik dan P2 sawah semi
organik (atas) dan perbandingannya di horison II (bawah).
Tanah sawah organik warna matriks lebih gelap dan
konsentrasi massa humus lebih banyak.

Penampang pada horison II pada lahan padi sawah organik (P1) dan semi

organik (P2), seperti pada Gambar 17, digunakan sebagai perbandingan

kandungan C-organik yang berbeda. Pemilihan P1 dan P2 ini didasarkan kedua

tanah mempunyai kemiripan perkembangan horisonisasi (Gambar 17, atas).

Karakteristik horison II pada lahan padi sawah organik dengan semi organik

menunjukkan perbedaan yang nyata (Gambar 17, bawah). Kandungan C-organik

horison II pada P1 2,00% (sedang) dan pada P2 1,65% (rendah), yang berdampak

terhadap perbedaan karakteristik tanah warna matriks dan konsentrasi massa


81

humus. P1 warna matriks tanah coklat kekuningan gelap (10 YR 3/4) dan terdapat

konsentrasi massa humus dengan warna hitam (10 YR 2/1), jumlah sedang (5 –

15%) dan ukuran halus (< 2 mm), sementara itu P2 warna matriks tanah coklat

kekuningan (10 YR 5/6) dan terdapat konsentrasi massa humus dengan warna

hitam (10 YR 2/1), jumlah sedikit (<5%) dan ukuran halus (< 2 mm).

Potensi produksi CH4 juga berkorelasi nyata dengan C biomassa mikrobia

(0,56*) dan N biomassa organik (0,84**). C dan N biomassa mikrobia berkorelasi

nyata dengan C-organik (0,52* dan 0,84**) (Tabel 6). Korelasi ini memperkuat

dugaan pada tanah yang mengandung C-organik tinggi, populasi mikrobia

(diasumsikan termasuk mikrobia bakteri methanogen dan methanotrof) juga

tinggi, sehingga potensi produksi dan oksidasi CH4 juga tinggi. Tanah dengan C-

organik tinggi memungkinkan perkembangan populasi methanogen untuk

memproduksi CH4 dan karena tersedianya substrat CH4 mendorong

perkembangan populasi methanotrof untuk mengoksidasinya.

Populasi bakteri methanogen dan methanotrof tidak diamati dalam

penelitian ini. Pendekatan yang digunakan untuk mengetahui populasi kedua

kelompok bakteri tersebut adalah dengan mengamati C dan N biomassa mikrobia

yang menggambarkan populasi mikrobia di dalam tanah. Tanah yang mempunyai

C-organik tinggi maka populasi mikrobianya juga tinggi. C-organik mengandung

komponen hidup dan mati. Komponen hidup terdiri dari berbagai macam

biomassa mikrobia tanah Dalal et al. (2011). Tanah dengan C-organik tinggi

mampu menyokong kehidupan dan aktivitas metabolisme berbagai jenis mikroba

dengan beragam tipe morfologi dan fisiologi.


82

C biomassa mikrobia berkorelasi nyata dengan potensi produksi CH4

(0,56*) dan berkorelasi tidak nyata dengan potensi oksidasi CH4 (0,35ns). Korelasi

antara C biomassa mikrobia dengan potensi oksidasi CH4 walaupun tidak nyata,

tetapi ada kecenderungan setiap peningkatan C biomassa mikrobia juga diikuti

dengan peningkatan potensi oksidasi CH4. N biomassa mikrobia demikian juga

berkorelasi nyata dengan potensi produksi dan oksidasi CH4. Peningkatan C

biomassa mikrobia sebagai gambaran total mikrobia juga diikuti dengan jumlah

mikrobia yang memproduksi dan mengoksidasi CH4. Labat and Gracia (1986)

menyatakan yang mendominasi proses fermentasi glukosa 90% dilakukan oleh

kelompok bakteri, khususnya bakteri anaerob, dan 10% di antaranya adalah

bakteri methanogen. Kisaran jumlah methonogen 10% dari total mikrobia juga

disampaikan oleh Dar et al. (2008).

Kedalaman horison juga berkorelasi sangat nyata negatif dengan potensi

produksi CH4 (-0,66**). Potensi produksi CH4 menurun apabila kedalaman

horison meningkat (semakin dalam). Kandungan C-organik berkorelasi nyata

negatif dengan kedalaman horison (-0,50*) (Tabel 6), C-organik menurun apabila

kedalaman horison meningkat. Kedua korelasi tersebut menunjukkan bahwa

kedalaman horison mempengaruhi potensi produksi CH4 melalui pengaruhnya

terhadap kandungan C-organik. Semakin dalam horison tanah, semakin rendah

kandungan C-organik, dan semakin rendah pula potensi produksi CH4 (Whalen

and Reeburg, 2000; Brzezińska et al., 2012). Pengaruh kedalaman tanah ini juga

disebabkan karena pengaruhnya terhadap C biomassa mikrobia. Inubushi et al.


83

(2010) menjelaskan C biomassa mikrobia pada tanah permukaan secara nyata

lebih tinggi dibandingkan pada tanah bagian bawah.

C-organik meningkatkan Fe asosiasi organik, N total, P total, P tersedia

dan potensi produksi CH4, sehingga berdampak paramater-parameter tersebut

berkorelasi nyata positif. pH NaF berkorelasi sangat nyata negatif dengan potensi

produksi CH4, yang disebabkan sebagai dampak pH NaF berkorelasi sangat nyata

dengan kedalaman tanah. Kedalaman semakin meningkat (semakin dalam) maka

pH NaF meningkat, sementara itu potensi produksi CH4 semakin menurun.

Kandungan C-organik menentukan potensi produksi CH4 tidak hanya

terhadap jumlahnya, tetapi juga menentukan pola produksi sejalan dengan waktu

inkubasi genangan. Tanah dengan kandungan C-organik tinggi, rata-rata produksi

CH4 maksimum terjadi pada hari ke-20 setelah inkubasi (Gambar 18), sementara

itu tanah dengan C-organik lebih rendah produksi maksimum pada hari ke-15

(Gambar 19), dan paling rendah pada hari ke-10 (Gambar 20).

Tanah dengan kandungan C-organik tergolong lebih tinggi dari pada yang

lain mempunyai pola produksi CH4 maksimal pada hari ke-20 setelah inkubasi

(Gambar 18), diwakili oleh P1 horison I dan II, P2 horison I, dan P4 horison I dan

II. Tanah dengan kandungan C-organik tergolong sedang mempunyai pola

produksi CH4 maksimal pada hari ke-15 setelah inkubasi (Gambar 19), diwakili

oleh P1 horison IV, P2 horison II, III dan IV, dan P4 horison IV dan V. Tanah

dengan kandungan C-organik tergolong lebih rendah dari pada yang lain

mempunyai pola produksi CH4 maksimal pada hari ke-10 setelah inkubasi

(Gambar 20), diwakili oleh P3 horison II, III, IV dan V, dan P4 horison VI.
84

Gambar 18. Pola produksi CH4 pada tanah C-organik tinggi.


Produksi CH4 maksimum terjadi pada hari ke-20 setelah
inkubasi.

Gambar 19. Pola produksi CH4 pada tanah C-organik sedang.


Produksi CH4 maksimum terjadi pada hari ke-15 setelah
inkubasi.
85

Gambar 20. Pola produksi CH4 pada tanah C-organik rendah.


Produksi CH4 maksimum terjadi pada hari ke-10 setelah
inkubasi.

Tanah dengan C-organik tinggi mempunyai substrat C yang cukup untuk

memproduksi CH4 dengan jumlah tinggi dan terjadinya puncak produksi lebih

lama. Tanah dengan C-organik lebih rendah sementara itu mempunyai substrat C

lebih sedikit, sehingga hanya dapat memproduksi CH4 dengan jumlah lebih

sedikit dan terjadinya puncak produksi lebih cepat.

Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian oleh Tsutsuki (1984) dan

Brzezińska et al. (2012), tanah mempunyai C-organik tinggi, memproduksi CH4

tinggi dan puncak produksi lebih lama. Joulian et al. (1996) sementara itu

memperoleh hasil penelitian yang berbeda. Tanah diinkubasi genangan dengan

perlakuan kontrol, jerami (C/N 40) dan algae (C/N 12), menghasilkan puncak

aktivitas methanogen yang sama pada hari ke-15.


86

4. Pilihan Lokasi Percobaan Penelitian

Pengelolaan lahan padi sawah organik telah menyebabkan perubahan sifat

fisika, kimia dan biologi tanah. Perbedaan sifat tanah yang nyata adalah

meningkatnya kandungan C-organik tanah. Penggunaan pupuk organik berupa

pupuk kandang sapi sejak tahun 2001 sampai sekarang, dengan rata-rata

penggunaan 6 ton ha -1 setiap musim tanam, diduga kuat sebagai faktor yang

meningkatkan C-organik yang secara nyata lebih tinggi dari pada sawah semi

organik dan konvensional. C-organik yang tinggi menyebabkan potensi emisi CH4

juga lebih tinggi dari pada lahan yang lain, karena berdasarkan hasil analisis

faktor yang paling menentukan potensi produksi CH4 adalah C-organik tanah.

Pengelolaan sistem padi sawah organik dari segi upaya reklamasi lahan

sudah dapat dilakukan dengan baik, produktivitas tanaman rata-rata 8 ton ha-1 dan

kandungan C-organik tanah > 2%. Lahan sawah organik namun demikian

berpotensi mengemisikan CH4 yang tinggi, sehingga perlu mendapat perhatian

bagaimana pengelolaan lahan agar produktivitas tanaman dapat ditingkatkan,

namun emisi CH4 dapat diturunkan. Percobaan penelitian (rumah kaca dan

lapangan) selanjutnya oleh karena itu dipilih di lahan sawah organik, agar

nantinya dapat memberikan manfaat rekomendasi pengelolaan lahan dengan

menggunakan potensi Azolla yang dapat memperbaiki sifat/kesuburan tanah,

meningkatkan produktivitas tanaman, dan menurunkan emisi CH4.


87

B. Penelitian Tahap II: Percobaan Rumah Kaca

1. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman

Inokulum Azolla mulai menutup 100% luas media (pot) paling lama pada

hari ke-25 (Gambar 21).

0 Hari 6 Hari 12 Hari 25 Hari


Inokulum Azolla 1,33 ton ha-1

0 Hari 6 Hari 12 Hari 25 Hari


Inokulum Azolla 2 ton ha-1

0 Hari 6 Hari 12 Hari 25 Hari


Inokulum Azolla 4 ton ha-1
Gambar 21. Penutupan inokulum Azolla 1,33 ton ha-1 (atas), 2 ton
ha-1 (tengah), dan 4 ton ha-1 (bawah). Inokulum Azolla
1,33 ton ha-1 menutup 100% pada hari ke-25, 2 ton ha-1
hari ke-20, dan 4 ton ha-1 hari ke-12.

Perhitungan berdasarkan jumlah Azolla awal, jumlah Azolla akhir, dan

waktu yang diperlukan, maka waktu penggandaan pada perlakuan inokulum

Azolla 1,33 ton ha-1, 2 ton ha-1, dan 4 ton ha-1 masing-masing adalah selama 5,8
88

hari, 5,4 hari, dan 4,4 hari, atau rata-rata selama 5,2 hari. Rata-rata waktu

penggandaan ini lebih lama dari pada hasil penelitian oleh Liu et al. (2008) pada

Azolla yang ditumbuhkan pada media pot tanpa tanaman padi, yaitu selama 4,7

hari.

Tinggi tanaman dan jumlah anakan tanaman padi diamati setiap 10 hari

dan tersaji pada Gambar 22 dan 23. Pengamatan tinggi tanaman dan jumlah

anakan pada umur 40, 70 dan 90 HST yang mendekati dengan waktu pengamatan

emisi CH4 (38, 70 dan 95 HST) tersaji pada Tabel 7.

Gambar 22. Grafik pertumbuhan tinggi tanaman padi sawah organik


pada percobaan rumah kaca. Tinggi tanaman 0 HST
rata-rata 17,8 cm, 40 HST 78,7 cm, 70 HST puncak
tertinggi 93,8 cm dan setelah itu menurun sampai panen
97 HST 92,8 cm.
89

Gambar 23. Grafik pertumbuhan jumlah anakan tanaman padi sawah


organik pada percobaan rumah kaca. Jumlah batang saat
tanam (0 HST) 4 batang, 40 HST rata-rata 13 batang, 50
HST 15 batang, dan panen 97 HST 15 batang.

Rata-rata tanaman membentuk anakan sampai dengan umur 50 HST

(Gambar 23). Tanaman mulai bunting (penggembungan pelepah daun bendera)

umur 50 HST, keluar malai pada umur 55 HST, pembungaan umur 60 HST,

gabah matang susu umur 80 HST, dan gabah matang penuh umur 97 HST.

Tinggi tanaman berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 7). Pupuk kandang

sapi 4 ton ha-1 + inokulum Azolla 2 ton ha-1 menghasilkan tinggi tanaman lebih

tinggi dari pada lainnya. Jumlah anakan demikian juga berbeda nyata antar

perlakuan (Tabel 7). Pupuk kandang sapi 4 ton ha-1 + pupuk Azolla 2,5 ton ha-1

menghasilkan jumlah anakan lebih tinggi dari pada lainnya.


90

Tabel 7. Tinggi dan jumlah anakan tanaman padi sawah organik pada percobaan
rumah kaca

Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Anakan (Batang)


No. Perlakuan
40 HST 70 HST 97 HST 40 HST 70 HST 97 HST Produktif
A. Kontrol 78,1ab 91,9abc 91,9ab 13bc 16a 16a 14ab
B. PKS 8 77,1ab 92,8abc 92,7ab 15cd 16a 16a 15bc
C. PA 5 74,8a 88,9a 90,2a 9a 12a 12a 12a
D. IA 4 76,6ab 91,2ab 91,0ab 11ab 14a 14a 14ab
E. PKS 4 + PA 2,5 80,0ab 92,4abc 93,0ab 18d 20b 20b 17c
F. PKS 4 + IA 2 85,8c 100,1d 99,2c 12abc 14a 14a 15abc
G. PA 2,5 + IA 2 79,0ab 97,1cd 96,0bc 13abc 15a 15a 14abc
H. PKS 2,67 + PA 1,67 + IA 1,33 76,9ab 95,7bcd 93,0ab 13abc 16a 16a 14ab
I. PKS 8 + PA 5 + IA 4 80,4b 94,1abc 88,6a 13abc 15a 15a 15bc
Rata-Rata 78,7 93,8 92,8 13 15 15 14
Angka pada kolom sama yang diikuti notasi huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Pupuk Azolla 5 ton ha-1 menghasilkan tinggi tanaman dan jumlah anakan

paling rendah dari pada lainnya, termasuk apabila dibandingkan dengan kontrol.

Hal ini diduga pada perlakuan tersebut mengalami hambatan pertumbuhan karena

terjadi akumulasi nitrit (NO2-) di tanah pada awal pertumbuhan. Pengamatan pada

umur 38 HST kandungan nitrit (NO2-) pada perlakuan tersebut paling tinggi (0,41

mg N kg-1 tanah, data tidak ditampilkan), sementara rata-rata perlakuan lainnya

lebih rendah (0,17 mg N kg-1 tanah, data tidak ditampilkan). Hasil penelitian

Sustiprijatno et al. (2007) menyebutkan bahwa pemberian sumber N berupa NO2-

pada tanaman padi, yang tidak direkayasa genetis untuk tahan terhadap NO2-,

menyebabkan kerusakan pada sel akar, dan pada akhirnya menyebabkan kematian

tanaman. Akumulasi NO2- menyebabkan terjadinya oksidasi larutan asam dan

netral sehingga menyebabkan kerusakan sel.

Pupuk kandang sapi 8 ton ha-1 + pupuk azolla 5 ton ha-1 + inokulum azolla

4 ton ha-1 pada umur panen 97 HST menghasilkan tinggi tanaman yang paling
91

rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain (Tabel 7). Hal ini disebabkan

perlakuan tersebut merupakan perlakuan yang menggunakan pupuk kandang sapi,

pupuk Azolla dan inokulm Azolla dengan dosis berlebih, sehingga tanaman lebih

sukulen, mudah rebah dan patah yang berdampak pertumbuhan di akhir agak

terhambat dan ujung daun mati. Gejala ini jelas terlihat pada tanaman mulai

berumur 70 HST.

Tabel 8. Berat gabah per malai, berat 1.000 biji, berat segar brangkasan, gabah
kering panen, dan indeks panen padi sawah organik pada percobaan
rumah kaca

BGM B 1.000 BSB GKP IP


No. Perlakuan
(gram) (gram) (ton ha-1) (ton ha-1) (%)
A. Kontrol 1,70a 24,59a 14,86b 5,91ab 28,49a
B. PKS 8 1,91abc 26,19a 15,71b 7,04bc 31,06abc
C. PA 5 1,62a 24,05a 9,72a 4,82a 33,95c
D. IA 4 1,77ab 24,14a 14,51ab 6,15abc 29,94ab
E. PKS 4 + PA 2,5 1,88abc 26,31a 19,66b 8,01c 29,02a
F. PKS 4 + IA 2 1,87abc 26,55a 15,30b 6,78bc 30,73abc
G. PA 2,5 + IA 2 2,14c 25,27a 15,56b 7,62bc 32,90bc
H. PKS 2,67 + PA 1,67 + IA 1,33 2,05bc 26,56a 15,06b 7,04bc 32,06abc
I. PKS 8 + PA 5 + IA 4 2,07bc 26,38a 17,99b 7,96c 30,63abc
Rata-Rata 1,89 25,56 15,37 6,82 30,97
GKP = gabah kering panen, B1.000 = berat 1.000 biji, BGM berat gabah per malai, BSB = berat
segar brangkasan, IP = indeks panen = (GKP/(GKP+BSB))x100%
Angka pada kolom sama yang diikuti notasi huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Berat gabah per malai berbeda nyata antar perlakuan, rata-rata perlakuan

menghasilkan lebih tinggi dari pada kontrol (Tabel 8). Berat 1.000 biji sementara

itu tidak berbeda nyata, rata-rata 25,56 gram. Deskripsi tanaman padi varietas IR-

64 menurut Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Departemen Pertanian Republik

Indonesia (2008) menyebutkan bahwa rata-rata berat 1.000 biji sebesar 27 gram.

Hal ini berarti hasil gabah pada semua perlakuan mempunyai kualitas lebih rendah

dari potensinya. Kondisi lingkungan media pot dalam rumah kaca diduga kurang
92

optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman dibandingkan apabila

tanaman ditumbuhkan langsung di lahan.

Berat segar brangkasan tidak berbeda nyata, kecuali pada perlakuan pupuk

Azolla 5 ton ha-1. Secara umum pertumbuhan dan perkembangan pada pupuk

Azolla 5 ton ha-1 lebih rendah dari pada yang lain termasuk apabila dibandingkan

dengan kontrol, yang disebabkan pengaruh penghambatan oleh akumulasi NO 2- di

awal pertumbuhan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Indeks panen berbeda nyata antar perlakuan. Hal ini disebabkan karena

berat segar brangkasan hampir tidak berbeda nyata antar perlakuan (kecuali

perlakuan pupuk Azolla 5 ton ha-1) dan gabah kering panen berbeda nyata antar

perlakuan, sehingga indeks panen berbeda nyata antar perlakuan. Berat segar

brangkasan dengan indeks panen berkorelasi antara nyata negatif (-0,63**) (Tabel

9), yang menunjukkan bahwa peningkatan berat segar brangkasan berdampak

menurunkan indeks panen.

Tabel 9. Korelasi parameter tanaman dan sifat tanah terpilih sistem padi sawah
organik pada percobaan rumah kaca

PKS PA IA NO3- NH4+ TT AT AP BGM 1000 BSB GKP


- ** ns ns
NO3 0,52 0,36 0,07
NH4+ 0,63** 0,44* 0,17ns 0,60**
TT 0,09ns -0,31ns 0,08ns 0,11ns 0,15ns
AT 0,26ns -0,10ns -0,21ns 0,25ns 0,27ns 0,08ns
AP 0,41* -0,10ns 0,04ns 0,33ns 0,41* 0,19ns 0,79**
BGM 0,32ns 0,12ns 0,32ns 0,10ns 0,54** 0,47* 0,29ns 0,37ns
1000 0,47* -0,02ns 0,01ns 0,31ns 0,52** 0,34ns 0,40* 0,55** 0,61**
BSB 0,41* -0,08ns 0,14ns 0,21ns 0,46* 0,26ns 0,74** 0,88** 0,61** 0,65**
GKP 0,45* 0,05ns 0,21ns 0,27ns 0,59** 0,36ns 0,67** 0,84** 0,80** 0,69** 0,91**
IP -0,12ns 0,37ns -0,02ns 0,12ns 0,07ns -0,02ns -0,42* -0,43* -0,02ns -0,28ns -0,63** -0,28ns
Notasi = tidak nyata, * = nyata, ** = sangat nyata.
ns

PKS = pupuk kandang sapi, PA = pupuk Azolla, IA = inokulum Azolla, NO3- = NO3- tanah, NH4+
= NH4+ tanah, TT = tinggi tanaman, AT = anakan total, AP = anakan produktif, BSB = berat segar
brangkasan (tajuk), BGM = berat gabah per malai, 1000 = berat 1.000 biji, GKP = gabah kering
panen, IP = indeks panen.
93

GKP berkorelasi nyata dengan anakan total (0,67**), anakan produktif

(0,84**), berat segar brangkasan (0,91**), berat gabah per malai (0,80**) dan berat

1.000 biji (0,69**), sementara itu berkorelasi tidak nyata dengan tinggi tanaman

(0,36ns) (Tabel 9). Korelasi tinggi tanaman dan GKP walaupun kurang nyata,

tetapi ada kecenderungan setiap peningkatan tinggi tanaman akan diikuti oleh

peningkatan GKP. Kecukupan unsur hara mendukung tanaman dapat

menyelengarakan proses fotosintesa lebih tinggi, dengan demikian dapat

menghasilkan tanaman yang tinggi, jumlah anakan banyak dan brangkasan besar,

sehingga akan menghasilkan gabah per malai dan berat biji gabah yang lebih

tinggi, dan berdampak kepada GKP yang lebih tinggi pula.

Hasil GKP berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 8). Pupuk kandang sapi,

pupuk Azolla, inokulum Azolla dan kombinasinya menghasilkan GKP lebih

tinggi dari pada kontrol, kecuali perlakuan pupuk Azolla 5 ton ha-1 yang lebih

rendah dari pada kontrol. Penggunaan dosis penuh pupuk kandang sapi 8 ton ha-1

+ pupuk Azolla 5 ton ha-1 + inokulum Azolla 4 ton ha-1 menghasilkan GKP yang

tidak berbeda nyata dengan beberapa perlakuan lainnya. Hal ini memberi petunjuk

bahwa penambahan dosis perlakuan melebihi dosis optimum tidak nyata

memberikan peningkatan hasil GKP.

Rata-rata GKP pada perlakuan pupuk kandang sapi walaupun tidak

berbeda nyata, tetapi ada kecenderungan rata-rata GKP yang menggunakan pupuk

kandang sapi lebih tinggi dari pada yang tidak menggunakan (Tabel 10). Pupuk

kandang sapi dan GKP berkorelasi nyata (0,45*) (Tabel 9), yang menunjukkan

bahwa penggunaan pupuk kandang sapi dapat meningkatkan GKP. Pupuk


94

kandang sapi meningkatkan NH4+ dan NO3-. Rata-rata NH4+ dan NO3- yang

menggunakan pupuk kandang sapi lebih tinggi dari pada yang tidak menggunakan

(Tabel 10). GKP berkorelasi sangat nyata dengan NH4+ (0,59**). GKP walaupun

berkorelasi kurang nyata dengan NO3- (0,27ns), tetapi ada kecenderungan setiap

peningkatan NO3- akan meningkatkan GKP. Hasil ini menunjukkan bahwa

penggunaan pupuk kandang sapi meningkatkan NH4+ dan NO3, dan berdampak

meningkatkan GKP (Duan et al., 2007).

Tabel 10. Rata-rata NH4+, NO3- tanah dan GKP sistem padi sawah organik pada
perlakuan pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla hasil percobaan rumah
kaca

PKS NH4+ NO3- GKP PA NH4+ NO3- GKP


-1 -1 -1 -1 -1 -1
(ton ha ) (mg N kg ) (mg N kg ) (ton ha ) (ton ha ) (mg N kg ) (mg N kg-1) (ton ha-1)
0 23,64a 2,18a 6,13a 0 23,91a 2,32a 6,47a
2,67 25,30ab 2,65ab 7,04a 1,67 25,30a 2,65a 7,04a
4 25,75ab 2,92ab 7,40a 2,5 26,44a 2,76a 7,82a
8 28,03b 3,13b 7,50a 5 26,79a 3,01a 6,39a
Rerata1) 26,57 2,95 7,37 Rerata2) 26,35 2,84 7,09
PKS = pupuk kandang sapi, PA = pupuk Azolla.
1)
rata-rata yang menggunakan pupuk kandang sapi, 2) rata-rata yang menggunakan pupuk Azolla.
Angka dalam kolom sama diikuti oleh notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%.

Rata-rata GKP pada perlakuan pupuk Azolla walaupun tidak berbeda

nyata, tetapi ada kecenderungan rata-rata GKP yang menggunakan pupuk Azolla

lebih tinggi dari pada yang tidak menggunakan (Tabel 10). Pupuk Azolla

berkorelasi nyata dengan NH4+ tanah (0,44*) dan berkorelasi kurang nyata dengan

NO3- tanah (0,36ns) (Tabel 9). Korelasi pupuk Azolla dan NO3- tanah walaupun

kurang nyata, tetapi ada kecenderungan penggunaan pupuk Azolla meningkatkan

NO3- tanah. Pupuk Azolla dengan demikian meningkatkan NH4+ dan NO3-.

Rata-rata NH4+ dan NO3- pada perlakuan pupuk Azolla walaupun tidak

berbeda nyata, tetapi ada kecenderungan yang menggunakan pupuk Azolla lebih
95

tinggi dari pada yang tidak menggunakan (Tabel 10). Penggunaan pupuk Azolla

dengan demikian meningkatkan kandungan NH4+ dan NO3-, dan berdampak

meningkatkan GKP (Duan et al., 2007), walaupun pengaruhnya lebih lemah dari

pada pupuk kandang sapi. Pengaruh pupuk Azolla yang lebih lemah ini

disebabkan pada perlakuan pupuk Azolla 5 ton ha-1 yang justru menghasilkan

GKP lebih rendah dari pada kontrol.

Inokulum Azolla berkorelasi tidak nyata dengan GKP (0,21ns) (Tabel 9),

dan juga tidak ada korelasi melalui parameter tanah terhadap GKP. Hasil ini

menunjukkan bahwa inokulum Azolla tidak berpengaruh terhadap GKP.

Inokulum Azolla 4 ton ha-1 menghasilkan GKP yang lebih rendah dari pada rata-

rata (Tabel 8).

Pupuk kandang sapi + pupuk Azolla, pupuk kandang sapi + inokulum

Azolla, pupuk Azolla + inokulum Azolla, dan pupuk kandang sapi + pupuk Azolla

+ inokulum Azolla menghasilkan GKP yang tidak berbeda nyata dengan pupuk

kandang sapi 8 ton ha-1 (Tabel 8). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan

Azolla, baik sebagai pupuk (dibenamkan) maupun inokulum (ditumbuhkan

bersama tanaman padi), yang juga dapat dikombinasikan dengan pupuk kandang

sapi, dapat menghasilkan GKP yang menyamai kebiasaan petani di lokasi

penelitian (pupuk kandang sapi 8 ton ha-1).

Rata-rata kandungan N tajuk (jerami) 1,52%, P tajuk (jerami) 1,01%, K

tajuk (jerami) 2,46%, N gabah 2,16%, P gabah 0,98% dan K gabah 0,93% (Tabel

11) secara umum lebih tinggi dari pada rata-rata menurut Dobermann dan

Fairhurst (2000), Ibrahim et al. (2010) dan Nader dan Robinson (2010).
96

Tabel 11. Kandungan C, N, P dan K pada akar, tajuk dan gabah tanaman padi sawah organik pada percobaan rumah kaca
C (%) N (%) P (%) K (%)
No. Perlakuan
Akar Tajuk Gabah Akar Tajuk Gabah Akar Tajuk Gabah Akar Tajuk Gabah
A. Kontrol 41,54ab 61,77ab 56,71bc 1,08a 1,32ab 2,08abc 2,12a 1,00a 0,83a 0,30a 2,34ab 0,88a
B. PKS 8 36,74a 59,22a 55,28b 1,05a 1,47bc 1,93a 1,95a 0,87a 0,77a 0,34a 2,31ab 0,87a
C. PA 5 48,08cd 61,21ab 59,63cd 1,23a 1,78e 2,48c 2,06a 0,62a 0,80a 0,37a 2,07a 0,71a
D. IA 4 43,79bcd 64,33ab 50,43a 1,21a 1,76e 2,47c 2,13a 1,12a 0,99a 0,35a 2,20a 0,89a
E. PKS 4 + PA 2,5 49,53d 67,14b 58,44bc 0,99a 1,53cd 1,99ab 1,84a 1,47a 0,82a 0,42a 2,71bc 0,97a
F. PKS 4 + IA 2 41,76abc 60,45ab 63,10d 1,13a 1,67de 2,21abc 1,78a 1,29a 1,61a 0,40a 2,92c 1,05a
G. PA 2,5 + IA 2 42,88abc 65,24ab 59,63cd 1,05a 1,23a 1,92a 1,80a 0,61a 0,97a 0,32a 2,42ab 0,88a
H. PKS 2,67 + PA 1,67 + IA 1,33 42,71abc 60,04ab 56,59bc 1,12a 1,39abc 1,95a 2,39a 0,99a 1,10a 0,53a 2,68bc 0,94a
I. PKS 8 + PA 5 + IA 4 46,93bcd 66,19ab 67,32e 1,12a 1,49bc 2,41bc 1,85a 1,12a 0,92a 0,41a 2,48ab 1,22a
Rata-Rata 43,77 62,85 58,57 1,11 1,52 2,16 1,99 1,01 0,98 0,38 2,46 0,93
Tajuk = Brangkasan
Angka pada kolom sama yang diikuti notasi huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%
97

Tabel 12. Serapan C, N, P dan K pada tajuk dan akar tanaman padi sawah organik pada percobaan rumah kaca
Serapan C Serapan N Serapan P Serapan K

No. Perlakuan g rumpun-1


Tajuk/ Tajuk/ Tajuk/ Tajuk/
Tajuk Akar Tajuk Akar Tajuk Akar Tajuk Akar
Akar Akar Akar Akar
A. Kontrol 12,71ab 2,20a 5,78a 0,27a 0,06a 4,81a 0,21ab 0,11ab 1,93ab 0,49bc 0,02a 31,28a
B. PKS 8 12,98ab 2,39ab 5,45a 0,32abc 0,07a 4,72a 0,19ab 0,13ab 1,56ab 0,50bc 0,02a 22,82a
C. PA 5 9,30a 1,79a 5,19a 0,27a 0,05a 5,89a 0,09a 0,08a 1,24a 0,32a 0,01a 23,30a
D. IA 4 11,98ab 2,00a 6,07a 0,33abc 0,06a 6,02a 0,20ab 0,10ab 2,21ab 0,42ab 0,02a 26,23a
E. PKS 4 + PA 2,5 17,01c 3,40b 5,10a 0,39c 0,07a 5,79a 0,37c 0,13ab 3,15b 0,69d 0,03a 25,92a
F. PKS 4 + IA 2 12,98ab 2,30a 5,76a 0,36bc 0,06a 5,94a 0,28bc 0,10ab 2,92ab 0,63cd 0,02a 29,17a
G. PA 2,5 + IA 2 14,32bc 2,78ab 5,31a 0,27a 0,07a 4,15a 0,14ab 0,12ab 1,21a 0,53bcd 0,02a 26,73a
H. PKS 2,67 + PA 1,67 + IA 1,33 12,23bc 2,47ab 5,31a 0,28ab 0,06a 4,65a 0,21ab 0,14b 1,44ab 0,54bcd 0,03a 23,36a
I. PKS 8 + PA 5 + IA 4 15,15bc 2,84ab 5,49a 0,34abc 0,07a 5,22a 0,26bc 0,11ab 2,39ab 0,57bcd 0,02a 23,68a
Rata-Rata 13,18 2,46 5,50 0,31 0,06 5,24 0,22 0,11 2,01 0,52 0,02 25,83
Tajuk = Brangkasan
Angka pada kolom sama yang diikuti notasi huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%
98

Rata-rata kandungan C tertinggi pada bagian tajuk. Kandungan C pada

akar dan gabah namun demikian juga relatif jauh lebih tinggi dari pada kandungan

N, P dan K, mengingat unsur C secara umum merupakan bagian terbesar

penyusun jaringan hidup termasuk tanaman. Rata-rata lebih dari 50% penyusun

tubuh tanaman (akar, tajuk dan gabah) terdiri atas unsur C. Rata-rata kandungan C

pada akar, tajuk dan gabah sebesar 55% (Tabel 11). Nieder and Benbi (2008)

menyampaikan bahwa tanaman padi rata-rata mempunyai kandungan C sebesar

41,40%. Unsur C adalah penyusun bangunan utama kehidupan di bumi, termasuk

bagi tanaman. Unsur C merupakan kerangka utama penyusun tubuh tanaman

dalam bentuk karbohidrat, protein dan lemak.

C akar berbeda nyata antar perlakuan, dan berkorelasi nyata dengan

penggunaan pupuk Azolla (0,59**). C gabah juga berbeda nyata antar perlakuan,

dan berkorelasi nyata dengan penggunaan pupuk kandang sapi (0,41*) dan pupuk

Azolla (0,57**). Hal ini diduga kuat karena perlakuan pupuk kandang sapi dan

pupuk Azolla meningkatkan NO3- dan NH4+ tanah, dan berdampak meningkatkan

kandungan C dalam tanaman.

Rata-rata kandungan N tertinggi pada bagian gabah (Tabel 11). Hal ini

menunjukkan bahwa hara N lebih banyak terakumulasi pada gabah. Secara umum

gabah (beras) mengandung protein yang lebih tinggi dari pada bagian akar dan

tajuk. Ibrahim et al. (2010) menunjukkan bahwa kandungan N di gabah 1,30%

lebih tinggi dari pada di tajuk (jerami) 0,85%. N adalah salah satu komponen

utama penyusun protein. Protein tersusun atas asam amino yang mengandung N

dalam bentuk senyawa amina (-NH2). Hara N sangat penting bagi pertumbuhan
99

tanaman karena sebagai penyusun sebagian besar bagian-bagian sel dan

pembentukan protein. Unsur N juga merupakan kerangka utama penyusun tubuh

tanaman dalam bentuk protein (asam amino, enzim dan asam nukleat) (Nieder and

Benbi, 2008).

Kandungan N pada tajuk dan gabah berbeda nyata antar perlakuan, namun

demikian perlakuan pupuk kandang sapi, pupuk Azolla dan inokulum Azolla

berkorelasi tidak nyata dengan kandungan N pada semua bagian tanaman. Hal ini

menunjukkan bahwa perbedaan kandungan N tidak dipengaruhi oleh perlakuan.

Kandungan N pada akar, tajuk dan gabah masing-masing berkorelasi nyata positif,

peningkatan kandungan N pada salah satu bagian tanaman akan diikuti oleh

peningkatan kandungan N pada bagian yang lain.

Kandungan P pada akar, tajuk dan gabah tidak berbeda nyata antar

perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh terhadap

kandungan P pada semua bagian tanaman tersebut. Hasil ini sama dengan yang

ditemukan oleh Ibrahim et al. (2010), kandungan P di gabah dan jerami tidak

berbeda nyata antar perlakuan. Rata-rata kandungan P tertinggi pada akar (Tabel

11). P adalah bagian dari senyawa pembawa energi dan selalu terkait dengan

pertumbuhan akar tanaman. P memacu pertumbuhan akar, khususnya akar

benih/tanaman muda.

Kandungan K pada tajuk berbeda nyata antar perlakuan, namun demikian

perlakuan pupuk kandang sapi, pupuk Azolla dan inokulum Azolla berkorelasi

tidak nyata dengan kandungan K tersebut. Perbedaan kandungan K pada tajuk

dengan demikian tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Rata-rata kandungan K


100

tertinggi pada tajuk (Tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa unsur K merupakan

komponen utama dalam penyusunan vigor tanaman (Hakim et al., 1986). K lebih

banyak terakumulasi dalam tajuk (batang dan daun) tanaman. Hasil penelitian

Ibrahim et al. (2010) juga menunjukkan K lebih banyak terakumulasi di bagian

jerami sebesar 1,69% dari pada di gabah yang hanya 0,36%. Nader and Robinson

(2010) menyampaikan jerami mengandung K pada kisaran 1,10 – 2,70%,

sementara itu N 0,53 – 1,12% dan P 0,05 – 0,17%. Aplikasi jerami ke lahan oleh

karena itu merupakan bentuk daur ulang K ke dalam tanah (Ranamukhaarachchi

and Ratnayake, 2006).

Perlakuan tidak berpengaruh terhadap kandungan C, N, P dan K pada

bagian tanaman akar, tajuk dan gabah, namun demikian ada kecenderungan

penggunaan pupuk kandang sapi, pupuk Azolla dan inokulum Azolla berpengaruh

lebih baik dibandingkan kontrol. Rata-rata kandungan C, N, P dan K pada semua

bagian tanaman yang dihasilkan oleh perlakuan lebih tinggi dari pada kontrol. Hal

ini diduga kuat karena NO3- dan NH4+ tanah pada perlakuan lebih tinggi dari pada

kontrol (Tabel 10), yang berdampak lebih baik terhadap pertumbuhan dan hasil

tanaman.

Serapan hara C, N, P dan K pada tajuk dan akar dipengaruhi secara tidak

langsung oleh penggunaan pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla, sementara itu

tidak dipengaruhi oleh inokulum Azolla. Penggunaan pupuk kandang sapi dan

pupuk Azolla meningkatkan kandungan NH4+ dan NO3- dalam tanah, yang

kemudian meningkatkan serapan N pada tajuk dan akar. NH4+ tanah berkorelasi

nyata dengan serapan N pada tajuk (0,40*) (Tabel 13), setiap peningkatan NH4+
101

tanah meningkatkan serapan N pada tajuk. NH4+ tanah walaupun berkorelasi tidak

nyata dengan serapan N pada akar (0,37ns), tetapi ada kecenderungan juga setiap

peningkatan NH4+ tanah meningkatkan serapan N pada akar. NO3- tanah demikian

juga berkorelasi nyata dengan serapan N pada tajuk (0,42*), tetapi berkorelasi

tidak nyata dengan serapan N pada akar (0,16ns).

Tabel 13. Korelasi serapan hara dan parameter terpilih sistem padi sawah organik
pada percobaan rumah kaca

PKS PA IA NH4+T NO3-T SCT SCA SNT SNA SPT SPA SKT SKA
+ ** * ns
NH4 T 0,63 0,44 0,17
NO3-T 0,52** 0,36ns 0,07ns 0,63**
SCT 0,36ns 0,03ns 0,10ns 0,39* 0,16ns
SCA 0,30ns 0,15ns -0,01ns 0,51** 0,29ns 0,79**
SNT 0,43* -0,07ns 0,15ns 0,40* 0,42* 0,68** 0,54**
SNA 0,30ns -0,12ns 0,04ns 0,37ns 0,16ns 0,60** 0,83** 0,38*
SPT 0,034ns -0,13ns 0,04ns 0,08ns 0,18ns 0,62** 0,40* 0,61** 0,23ns
SPA 0,28ns -0,14ns -0,08ns 0,30ns 0,12ns 0,61ns 0,77** 0,46* 0,84** 0,25ns
SKT 0,40* -0,14ns 0,03ns 0,31ns 0,16ns 0,85** 0,72** 0,68** 0,58** 0,62** 0,55**
SKA 0,22ns 0,04ns 0,08ns 0,50** 0,20ns 0,45* 0,75** 0,42* 0,75** 0,25ns 0,71** 0,56**
GKP 0,45* 0,05ns 0,21ns 0,59** 0,27ns 0,84** 0,67** 0,60** 0,58** 0,55** 0,51** 0,79** 0,61**
Notasi ns = tidak nyata, * = nyata, ** = sangat nyata.
PKS = pupuk kandang sapi, PA = pupuk Azolla, IA = inokulum Azolla, NH4+ T = NH4+ tanah,
NO3- T = NO3- tanah, SCT = serapan C tajuk, SCA = serapan C akar, SNT = serapan N tajuk, SNA
= serapan N akar, SPT = serapan P tajuk, SPA = serapan P akar, SKT = serapan K tajuk, SKA =
serapan K akar, GKP = gabah kering panen.

Peningkatan serapan N pada tajuk dan akar berdampak meningkatkan

serapan hara yang lain seperti C, P dan K. Serapan N pada tajuk dan akar

berkorelasi nyata dan sangat nyata dengan serapan C, P dan K pada tajuk dan akar

(Tabel 13). Korelasi tersebut menunjukkan bahwa metabolisme N dalam tanaman

akan diikuti dengan metabolisme hara yang lain seperti C, P dan K, dan

berdampak kepada peningkatan hasil GKP. GKP berkorelasi sangat nyata dengan

semua parameter serapan C, N, P dan K baik pada tajuk maupun pada akar.
102

2. Sifat Tanah Akhir

Hasil analisis laboratorium tanah sawah organik awal sebelum tanam:

KPK 27,75 cmol(+) kg-1 (tinggi), C-organik 2,09% (sedang), P2O5 tersedia 9,70

ppm (sedang), dan K2O tersedia 0,30 cmol(+) kg-1 (rendah), tekstur lom dan pH

6,26. Hasil gabah kering giling (GKG, kadar air 14%) 6,68 ton ha-1 (tanpa

dipupuk). Status kesuburan tanah tersebut menurut Pusat Penelitian Tanah (1983)

termasuk sedang, menurut Dobermann and Fairhurst (2000) termasuk subur. Sifat

tanah awal secara lengkap tersaji pada Tabel 14, dan sifat tanah akhir pada Tabel

15.

Tabel 14. Sifat tanah sawah organik awal sebelum percobaan penanaman
No. Parameter Satuan Nilai Harkat
1. pH H2O 6,26*) Rendah
2. pH KCl 5,76
3. C-organik % 2,09*) Sedang
4. Humat ppm C 1.675,26
5. Fulvat ppm C 2.448,45
6. N total % 0,15**) Rendah
7. C/N 13,93**) Sedang
8. C biomassa µg C g-1 tanah 498,39
9. N biomassa µg N g-1 tanah 72,59
10. P2O5 total mg 100 g-1 46,86**) Tinggi
11. K2O total mg 100 g-1 20,03**) Rendah
12. P2O5 tersedia ppm 9,70*) Sedang
13. K2O tersedia cmol(+) kg-1 0,30*) Sedang
14. KPK cmol(+) kg-1 27,75*) Tinggi
15. KB % 35,96**) Rendah
16. Tekstur Lom*) Sedang
17. GKG***) ton ha-1 6,68*) Tinggi
*)
Harkat menurut Dobermann and Fairhurst (2000)
**)
Harkat menurut Balai Penelitian Tanah (2009)
***)
GKG = hasil gabah kering giling (kandungan air 14%) tanpa pemupukan, data diperoleh dari
hasil percobaan lapangan pada perlakuan kontrol
103

Tabel 15. Sifat tanah sawah organik akhir setelah percobaan penanaman di rumah kaca
C- N P2O5 K2 O P2O5 K2 O
pH pH Humat Fulvat KPK KB
No. Perlakuan Organik Total C/N Total Total Tesedia Tersedia
H2 O KCl
% ppm C ppm C % mg 100-1g mg 100-1g ppm cmol(+) kg-1 cmol(+) kg-1 %
A. Kontrol 6,25 5,60 1,81 1.282,82 1.805,67 0,16 11,68 47,31 11,16 5,70 0,26 24,23 35,79
B. PKS 8 6,17 5,59 2,01 1.502,06 2.360,48 0,18 10,53 37,41 11,42 12,53 0,27 28,53 39,14
C. PA 5 6,08 5,38 1,86 1.322,85 1.870,10 0,19 10,11 52,59 11,16 8,58 0,24 25,00 35,99
D. IA 4 6,11 5,47 1,79 1.368,73 1.834,54 0,18 9,80 52,08 13,54 8,42 0,24 29,31 35,82
E. PKS 4 + PA 2,5 6,25 5,57 1,87 1.459,11 2.418,21 0,18 10,41 48,31 13,80 14,06 0,29 28,49 36,55
F. PKS 4 + IA 2 6,27 5,74 2,29 1.587,97 2.335,40 0,17 13,60 48,92 14,60 13,88 0,27 28,95 37,40
G. PA 2,5 + IA 2 6,40 5,98 2,36 1.591,75 2.243,47 0,19 12,73 53,74 13,54 14,42 0,32 29,17 37,18
H. PKS 2,67 + PA 1,67 + IA 1,33 6,32 5,78 2,03 1.560,65 2.210,83 0,20 10,26 57,36 13,28 11,63 0,39 28,73 37,61
I. PKS 8 + PA 5 + IA 4 6,24 5,67 2,26 1.631,79 2.569,24 0,18 12,45 55,70 14,07 10,19 0,28 28,84 37,18
Rata-Rata 6,23 5,64 2,02 1.478,64 2.183,10 0,18 11,29 50,38 12,95 11,04 0,28 27,92 36,96
104

Tabel 16. Sifat tanah sawah organik akhir setelah percobaan penanaman di rumah kaca dan harkat kesuburannya
C- KPK P2O5 K2 O
Status
No. Perlakuan Tekstur Harkat Organik Harkat (cmol(+) Harkat Tersedia Harkat Tersedia Harkat pH Harkat GKG Harkat
-1 -1 -1 Kesuburan
(%) kg ) (mg 100 g) (cmol(+) kg )
A Kontrol Lom Sedang 1,81 Tinggi 24,23 Tinggi 5,70 Sedang 0,31 Tinggi 6,25 Rendah 5,28 Tinggi Subur
B PKS 8 Lom Sedang 2,01 Tinggi 28,53 Tinggi 12,53 Tinggi 0,36 Tinggi 6,17 Rendah 6,67 Tinggi Subur
C PA 5 Lom Sedang 1,86 Tinggi 25,00 Tinggi 8,58 Sedang 0,33 Tinggi 6,08 Rendah 4,62 Sedang Subur
D IA 4 Lom Sedang 1,79 Tinggi 29,31 Tinggi 8,42 Sedang 0,31 Tinggi 6,11 Rendah 5,77 Tinggi Subur
E PKS 4 + PA 2,5 Lom Sedang 1,87 Tinggi 28,49 Tinggi 14,06 Tinggi 0,36 Tinggi 6,25 Rendah 7,62 Tinggi Subur
F PKS 4 + IA 2 Lom Sedang 2,29 Tinggi 28,95 Tinggi 13,88 Tinggi 0,36 Tinggi 6,27 Rendah 6,50 Tinggi Subur
G PA 2,5 + IA 2 Lom Sedang 2,36 Tinggi 29,17 Tinggi 14,42 Tinggi 0,34 Tinggi 6,40 Rendah 7,11 Tinggi Subur
H PKS 2,67 + PA 1,67 + IA 1,33 Lom Sedang 2,03 Tinggi 28,73 Tinggi 11,63 Tinggi 0,36 Tinggi 6,32 Rendah 6,49 Tinggi Subur
I PKS 8 + PA 5 + IA 4 Lom Sedang 2,26 Tinggi 28,84 Tinggi 10,19 Tinggi 0,38 Tinggi 6,24 Rendah 7,39 Tinggi Subur
Rata-Rata Lom Sedang 2,03 Tinggi 27,92 Tinggi 11,04 Tinggi 0,35 Tinggi 6,23 Rendah 6,38 Tinggi Subur
Harkat menurut Dobermann and Fairhurst (2000)
105

Tabel 14 dan 15 menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang signifikan

antara sifat tanah awal dan akhir. Rata-rata sifat tanah setelah perlakuan tidak jauh

berbeda dengan sifat tanah awal. Hal ini diduga karena waktu percobaan yang

relatif pendek hanya 1 musim tanam belum memberikan dampak perubahan yang

nyata terhadap sifat tanah. Rata-rata sifat tanah akhir pada perlakuan namun

demikian relatif lebih tinggi dari pada kontrol, yang menunjukkan bahwa

pemberian pupuk kandang sapi, pupuk Azolla, inokulum Azolla, dan

kombinasinya berpengaruh lebih baik terhadap sifat tanah.

Tabel 17. Korelasi status kesuburan tanah dan parameter terpilih sistem padi
sawah organik pada percobaan rumah kaca

PKS PA IA CO KPK PT KT pH GKG


ns ns ns
CO 0,33 0,18 0,36
KPK 0,28ns -0,09ns 0,38ns 0,46*
PT 0,37ns 0,01ns -0,02ns 0,58** 0,48*
KT 0,51** 0,25ns 0,04ns 0,28ns 0,10ns 0,47*
pH -0,01ns -0,05ns 0,03ns 0,30ns 0,17ns 0,39* 0,25ns
GKG 0,46* 0,06ns 0,20ns 0,38ns 0,34ns 0,59** 0,33ns 0,41*
ST 0,16ns 0,26ns 0,16ns 0,67** 0,15ns 0,45* 0,38ns 0,23ns 0,15ns
PKS = pupuk kandang sapi, PA = pupuk azolla, IA = inokulum azolla, CO = C-organik, KPK =
kapasitas pertukaran kation, PT = P2O5 tersedia, KT = K2O tersedia, GKG = gabah kering panen,
ST = status kesuburan

Status kesuburan tanah akhir pada semua perlakuan sama yaitu tergolong

subur (Tabel 16). Pupuk kandang sapi, pupuk Azolla, inokulum Azolla dan

kombinasinya berpengaruh tidak nyata terhadap kesuburan tanah. Perlakuan

kontrol menyebabkan penurunan KPK, C-organik dan P2O5 tersedia, namun

demikian oleh Dobermann and Fairhurst (2000) masih tergolong sebagai tanah
106

subur. Perlakuan kontrol tanpa pupuk menghasilkan GKG 5,28 ton ha -1 yang oleh

Dobermann and Fairhurst (2000) tergolong tinggi.

Status kesuburan tanah berkorelasi tidak nyata dengan pupuk kandang sapi

0,16ns), pupuk Azolla (0,26ns) dan inokulum Azolla (0,16ns) (Tabel 17), yang

menunjukkan bahwa pupuk kandang sapi, pupuk Azolla dan inokulum Azolla

tidak berpengaruh nyata terhadap kesuburan tanah. Pupuk kandang sapi namun

demikian berkorelasi sangat nyata dengan K2O tersedia (0,51**) dan berkorelasi

nyata dengan GKG (0,46*). Korelasi tersebut menunjukkan walaupun pupuk

kandang sapi meningkatkan P2O5 tersedia dan GKG, tetapi tidak berpengaruh

meningkatkan status kesuburan tanah.

3. Emisi CH4

Suhu tanah dan air tidak berbeda nyata pada semua perlakuan (Tabel 18),

yang diduga suhu ini lebih dominan disebabkan oleh kondisi cuaca, sehingga suhu

di semua perlakuan hampir sama. pH tanah demikian juga tidak berbeda nyata,

rata-rata 7,50 (netral), hal ini diduga kuat disebabkan pada tanah yang digenangi

(disawahkan) akan menuju ke arah netral (Sanchez, 1976; van Rants, 1991).

pH air berbeda nyata antar perlakuan, dan berkorelasi nyata dengan

inokulum Azolla (-0,43*), sementara dengan pupuk kandang sapi dan pupuk

Azolla berkorelasi tidak nyata (0,09ns dan 0,181ns). Rata-rata pH air pada

perlakuan yang menggunakan inokulum Azolla lebih rendah dari pada yang tidak

menggunakan, yang menunjukkan bahwa inokulum Azolla menurunkan pH air.


107

Tabel 18. Sifat tanah dan air (rata-rata pada umur 38, 70 dan 95 HST) sistem padi sawah organik pada percobaan rumah kaca
Suhu (0C) pH Eh (mV) DO (mg L-1) NO2- (mg N L-1) NO3- (mg N L-1) NH4+ (mg N L-1) CBM (mg C L-1)
No. Perlakuan
Tanah Air Tanah Air Tanah Tanah Air Tanah Air Tanah Air Tanah Air Tanah Air
A. Kontrol 26,90a 27,39a 7,49a 8,25b -136,11ab 4,67a 8,48c 0,18a 0,10a 1,49a 0,49a 20,04a 2,51a 201,95a 44,87a
B. PKS 8 26,91a 27,14a 7,53a 8,20b -158,06a 4,89a 6,34bc 0,17a 0,10a 2,95b 1,10b 27,48cd 2,46a 332,48bc 58,11a
C. PA 5 27,04a 27,43a 7,51a 8,16b -155,28a 3,54a 6,34bc 0,21a 0,11a 2,70b 1,63c 25,01bc 2,58a 333,12bc 51,47a
D. IA 4 27,20a 27,66a 7,49a 8,08ab -124,44b 4,09a 3,72ab 0,16a 0,16bc 2,36ab 3,19e 23,61b 3,70b 235,73a 96,23b
E. PKS 4 + PA 2,5 27,00a 27,32a 7,53a 8,19b -155,56a 5,47a 7,61c 0,16a 0,12ab 3,36b 1,87cd 26,98cd 2,74a 328,66bc 58,29a
F. PKS 4 + IA 2 27,19a 27,29a 7,49a 7,85a -123,89b 3,74a 3,35a 0,17a 0,16bc 2,47ab 2,11d 24,51cd 3,65b 307,15b 94,94b
G. PA 2,5 + IA 2 26,86a 27,31a 7,48a 8,07ab -126,39b 4,43a 3,81ab 0,23a 0,16bc 2,15ab 2,16d 25,90bcd 3,39b 336,63bc 91,65b
H. PKS 2,67 + PA 1,67 + IA 1,33 27,03a 27,27a 7,48a 8,01ab -131,11b 5,11a 4,47ab 0,19a 0,15abc 2,65ab 3,82f 25,30bc 3,48b 392,60c 91,48b
I. PKS 8 + PA 5 + IA 4 27,20a 27,54a 7,52a 8,12b -158,89a 5,01a 4,43ab 0,19a 0,17c 3,31b 3,15e 28,57d 3,68b 349,98bc 100,65b
Rata-Rata 27,04 27,37 7,50 8,10 -141,08 4,55 5,40 0,18 0,14 2,61 2,17 25,27 3,13 313,14 76,41
DO = dissolved oxygen = oksigen terlarut, CBM = C biomassa mikrobia, Satuan mg L-1 (air) = mg kg-1 (tanah) = ppm
Angka pada kolom sama diikuti notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%
108

Penurunan pH air oleh inokulum Azolla tersebut diduga kuat oleh dampak

perubahan amonium menjadi nitrit dan nitrat yang menyebabkan peningkatan

konsentrasi ion H+ di dalam air, menurut reaksi: 2NH4+ + 3O2 + 2NO2- + 2H2O

+ 4H+ yang dilanjutkan 2NO2- + O2 2NO3- (Sanchez, 1976; Vance, 1996).

Persamaan tersebut menunjukkan setiap oksidasi 2 molekul NH4+ menghasilkan 2

molekul NO3- dengan melepaskan 4 ion H+. Peningkatan konsentrasi ion H+

tersebut menyebabkan pH air menjadi menurun.

Eh berbeda sangat nyata antar perlakuan (Tabel 18), dan berkorelasi nyata

negatif dengan pupuk kandang sapi (-0,45*) dan pupuk Azolla (-0,44*), tetapi

berkorelasi tidak nyata dengan inokulum Azolla (0,29ns) (Tabel 20). Pemberian

pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla menyumbang kandungan bahan organik

tanah yang akan berdampak kepada penurunan Eh (van Rants, 1991).

Oksigen terlarut (DO) tanah tidak berbeda nyata antar perlakuan.

Genangan air terus-menerus akan membatasi suplai oksigen dan bahkan mengusir

oksigen yang terdapat di dalam tanah, sehingga oksigen terlarut dalam tanah pada

semua perlakuan tidak berbeda nyata. van Rants (1991) menjelaskan genangan

pada tanah sawah menyebabkan proses reduksi, karena terhambatnya difusi udara

ke dalam tanah.

Oksigen terlarut (DO) air berbeda nyata antar perlakuan, dan berkorelasi

nyata negatif dengan inokulum Azolla (-0,64**), sementara itu dengan pupuk

kandang sapi dan pupuk Azolla berkorelasi tidak nyata (-0,03ns dan -0,002ns)

(Tabel 20). Rata-rata DO air pada perlakuan yang menggunakan inokulum Azolla

lebih rendah dari pada perlakuan yang tidak menggunakan inokulum Azolla
109

(Tabel 22), yang menunjukkan bahwa inokulum Azolla menurunkan DO air. Hasil

ini berbeda dengan hasil penelitian oleh Bharati et al. (2000), Bennicelli et al.

(2005) dan Liu et al. (2008) yang menyimpulkan inokulum Azolla meningkatkan

oksigen terlarut dalam air.

Ada dugaan bahwa pada perlakuan yang menggunakan inokulum Azolla

sebenarnya meningkatkan oksigen terlarut dalam air seperti yang disampaikan

oleh Bharati et al. (2000), Bennicelli et al. (2005) dan Liu et al. (2008), tetapi O2

dikonsumsi oleh mikrobia untuk mengoksidasi NH4+ menjadi NO2- dan NO3-

(Vance, 1996). Korelasi C biomassa mikrobia air dengan DO air sangat nyata

negatif (-0,75**) (Tabel 20), semakin memperkuat dugaan tersebut, yang berarti

telah terjadi konsumsi O2 oleh mikrobia air. Oksigen apabila tidak tersedia atau

jumlahnya terbatas, maka oksidasi NH4+ (nitrifikasi) tidak akan terjadi atau masih

dapat berlangsung tetapi dengan laju yang sangat rendah, bahkan kemudian NO3-

mengalami denitrifikasi menjadi N2O dan N2 (Patrick and Reddy, 1976).

Kandungan NO2- tanah tidak berbeda nyata antar perlakuan, sementara itu

NO3- dan NH4+ tanah berbeda nyata antar perlakuan. Hasil korelasi menunjukkan

bahwa NO3- dan NH4+ tanah berkorelasi nyata dengan pupuk kandang sapi (0,52**

dan 0,63**), NH4+ tanah berkorelasi nyata dengan pupuk Azolla (0,44*), sementara

itu NO3- tanah berkorelasi tidak nyata dengan pupuk Azolla (0,36ns). NO3- dan

NH4+ tanah berkorelasi tidak nyata dengan inokulum Azolla (0,07ns; 0,17ns) (Tabel

9 dan 13). Hasil ini menunjukkan penggunaan pupuk kandang sapi dapat

meningkatkan kandungan NO3- dan NH4+ dalam tanah. Penggunaan pupuk Azolla

demikian juga dapat meningkatkan kandungan NH4+ dalam tanah, sementara itu
110

walaupun tidak berkorelasi nyata, tetapi ada kecenderungan juga meningkatkan

kandungan NO3- dalam tanah. Penggunaan pupuk organik yang langsung

dibenamkan ke dalam tanah mengalami mineralisasi yang berdampak kepada

peningkatan kandungan NO3- dan NH4+ tanah, sementara itu penggunaan

inokulum Azolla belum berdampak kepada peningkatan parameter tersebut.

Kandungan NO2-, NO3- dan NH4+ air berbeda nyata antar perlakuan, dan

ketiganya berkorelasi nyata dengan inokulum Azolla (0,71**, 0,70** dan 0,81**),

sementara dengan pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla berkorelasi tidak nyata

(0,03ns; 0,08ns; 0,03ns dan 0,08ns; 0,24ns; 0,02ns). Rata-rata NO2-, NO3- dan NH4+

air pada perlakuan yang menggunakan inokulum Azolla lebih tinggi dari pada

yang tidak menggunakan (Tabel 22), yang menunjukkan bahwa inokulum Azolla

meningkatkan kandungan NO2-, NO3- dan NH4+ air. Azolla memfiksasi N udara,

kelebihan unsur N dari kebutuhan hidupnya akan dilepaskan ke media dalam

bentuk NH4+ (amonium) (Hamdi, 1982; Arifin, 1996), yang kemudian sebagian

akan diubah menjadi NO2- dan NO3- (Sanchez, 1976; Vance, 1996).

C biomassa mikrobia tanah berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 18).

Perlakuan yang tidak menggunakan pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla

(kontrol dan inokulum Azolla 4 ton ha-1) mempunyai C biomassa mikrobia tanah

secara nyata lebih rendah dari pada yang lain. Pemberian pupuk organik

meningkatkan kandungan C-organik tanah, dan berdampak meningkatkan C

biomassa mikrobia tanah, hal ini ditunjukkan keduanya berkorelasi positif (0,45*)

(Tabel 20).
111

C biomassa mikrobia air berbeda sangat nyata antar perlakuan, dan

berkorelasi sangat nyata dengan inokulum Azolla (0,84**), sementara dengan

pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla berkorelasi tidak nyata (0,14ns dan 0,04ns)

(Tabel 20). Rata-rata C biomassa mikrobia air pada perlakuan yang menggunakan

inokulum Azolla lebih tinggi dari pada yang tidak menggunakan (Tabel 22), yang

menunjukkan bahwa inokulum Azolla meningkatkan C biomassa mikrobia air.

Pelepasan O2 dan NH4+ oleh Azolla diduga kuat sebagai faktor yang mendorong

meningkatnya jumlah mikrobia di dalam air. Lingkungan air yang mengandung

O2 dan nutrisi seperti NO2-, NO3- dan NH4+ akan mendorong mikrobia melakukan

proses biokimia anabolisme dan katabolisme yang menghasilkan populasi

mikrobia lebih banyak, energi dan produk metabolit.

Pengamatan methanogen dan methanotrof dalam tanah didekati dengan

pengukuran hasil aktivitasnya. Indikator jumlah (populasi) methanogen dan

methanotrof tidak efektif untuk menduga besarnya potensi emisi CH4 yang

dihasilkan (Liu et al., 2011). Pengamatan methanogen dan methanotrof oleh

karena itu dalam penelitian ini didekati dengan pengukuran hasil aktivitasnya,

methanogen dipresentasikan oleh jumlah produksi CH4 dan methanotrof oleh

jumlah oksidasi CH4.

Methanogen dan methanotrof berkorelasi sangat nyata (0,81**) (Tabel 20),

yang berarti kedua kelompok mikrobia ini sangat berkaitan satu sama lain dalam

melakukan aktivitasnya. Pembentukan CH4 oleh methanogen akan diikuti

aktivitas methanotrof untuk mengoksidasinya. Jumlah CH4 yang meningkat


112

menyebabkan semakin banyak substrat bagi methanotrof untuk dioksidasi menjadi

CO2 dan H2O (Joulian et al., 1997; Brzezińska et al., 2012).

Tabel 19. Methanogen dan methanotrof (rata-rata 38, 70 dan 97 HST), emisi 38,
70 dan 97 HST, dan emisi 1 MT sistem padi sawah organik pada
percobaan rumah kaca

MG MT Emisi CH4 Harian Emisi


No. Perlakuan (mg CH4 (mg CH4 (mg CH4 m-2 hari-1) (kg CH4
kg-1 tanah) kg-1 tanah) 38 HST 70 HST 95 HST ha-1)
A. Kontrol 8,71b 6,99b 6,58c 14,04cd 11,99c 11,01d
B. PKS 8 5,97ab 2,90a 4,27abc 12,37cd 9,49bc 9,03cd
C. PA 5 6,40ab 4,09ab 5,88bc 15,75d 11,81c 11,50d
D. IA 4 8,50b 6,73b 2,56a 8,74bc 6,68ab 6,28abc
E. PKS 4 + PA 2,5 7,97b 3,08a 11,40d 20,91e 16,54d 16,31e
F. PKS 4 + IA 2 3,64a 2,45a 2,64a 4,45ab 3,63a 3,55ab
G. PA 2,5 + IA 2 4,99a 2,47a 4,22abc 2,54a 3,62a 3,10a
H. PKS 2,67 + PA 1,67 + IA 1,33 3,62a 2,42a 3,08ab 3,57ab 3,79a 3,34ab
I. PKS 8 + PA 5 + IA 4 4,07a 2,20a 3,17ab 8,72bc 6,88ab 6,46bc
Rata-Rata 5,99 3,70 4,87 10,12 8,27 7,84
MG = methanogen, MT = methanotrof
Angka pada kolom sama diikuti notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Methanogen berkorelasi tidak nyata dengan pupuk kandang sapi, pupuk

Azolla dan inokulum Azolla. Sifat tanah, air dan tanaman juga tidak ada yang

berkorelasi nyata (Tabel 20). Perbedaan data yang nyata tidak menunjukkan

pengaruh faktor perlakuan yang diberikan. Methanogen namun demikian pada

pengamatan 70 HST berkorelasi nyata negatif dengan Eh (-0,43*), sementara itu

Eh berkorelasi nyata negatif dengan pupuk kandang sapi (-0,47*) dan pupuk

Azolla (-0,44*). Pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla mempengaruhi secara

tidak langsung terhadap methanogen melalui pengaruhnya terhadap Eh. Pupuk


113

kandang sapi dan pupuk Azolla meningkatkan kandungan bahan organik tanah

yang berdampak menurunkan Eh, dan berdampak meningkatkan methanogen.

Gambar 24. Rata-rata emisi harian. Umur 38 HST rata-rata emisi


4,87 mg CH4 m-2 hari-1, 70 HST puncak 10,12 mg CH4
m-2 hari-1, dan 95 HST menurun 8,27 mg CH4 m-2 hari-1.
Emisi sebanding dengan tingkat pertumbuhan tanaman.

Emisi CH4 harian (Gambar 24) selama 1 musim tanam rendah pada awal

pertumbuhan sampai pada tahap pertumbuhan anakan (pengamatan 38 HST),

kemudian mengalami puncak tertinggi pada saat anakan maksimum sampai

pengisian malai (pengamatan 70 HST), dan setelah itu agak menurun kembali

pada tahap pengisian malai sampai panen (pengamatan 95 HST). Hal ini

menunjukkan bahwa besarnya emisi CH4 sebanding dengan tingkat pertumbuhan

tanaman, yang ditunjukkan emisi berkorelasi nyata positif (0,39*) dengan jumlah

anakan total (Tabel 20).


114

Tabel 20. Korelasi emisi dengan parameter terpilih sistem padi sawah organik
pada percobaan rumah kaca

PKS PA IA Emisi MG MT pH A Eh DO A NO2-A NO3-A NH4+A CBM A AT


ns ns **
Emisi 0,02 0,17 -0,57
ns ns
MG -0,36 -0,22 -0,22ns 0,52**
MT -0,47* -0,32ns -0,02ns 0,18ns 0,81**
pH A 0,09ns 0,18ns -0,43* 0,64** 0,28ns 0,07ns
Eh -0,47* -0,44* 0,29ns -0,48* -0,12ns 0,16ns -0,36ns
OD A -0,03ns -0,00ns -0,64** 0,63** 0,43* 0,21ns 0,63** -0,28ns
NO2-A 0,03ns 0,08ns 0,71** -0,47* -0,38ns -0,27ns -0,42* 0,48* -0,52**
NO3-A 0,08ns 0,24ns 0,70** -0,52** -0,40* -0,24ns -0,39* 0,22ns -0,60** 0,57**
NH4+A 0,03ns 0,02ns 0,81** -0,69** -0,43* -0,20ns -0,60** 0,36ns -0,61** 0,62** 0,71**
CBM A 0,14ns 0,04ns 0,84** -0,73** -0,46* -0,28ns -0,62** 0,32ns -0,75** 0,67** 0,77** 0,91**
AT 0,26ns -0,10ns -0,21ns 0,39* 0,21ns -0,09ns 0,37ns -0,23ns 0,22ns -0,23ns -0,07ns -0,15ns -0,12ns
GKP 0,45* 0,05ns 0,21ns -0,06ns -0,10ns -0,23ns -0,01ns -0,08ns -0,18ns 0,19ns 0,22ns 0,29ns 0,39* 0,67**
Notasi ns = tidak nyata, * = nyata, ** = sangat nyata.
PKS = pupuk kandang sapi, PA = pupuk Azolla, IA = inokulum Azolla, MG = methanogen,
MT = methanotrof, pH A = pH air, Eh = potensial redoks, DO A = oksigen terlarut dalam air, NO2-
A = NO2- air, NO3- A = NO3- air, NH4+ A = NH4+ air, CBM A = C biomassa air, AT = anakan
total, GKP = gabah kering panen.

Emisi CH4 selama satu musim tanam berbeda sangat nyata antar perlakuan

(Tabel 19). Emisi tidak nyata dipengaruhi oleh pupuk kandang sapi (0,02ns) dan

pupuk Azolla (0,17ns) (Tabel 20). Rata-rata emisi oleh perlakuan yang

menggunakan pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla tidak berbeda nyata dengan

yang tidak menggunakan pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla (Tabel 21).

Emisi berkorelasi sangat nyata dengan methanogen (0,52 **), setiap

peningkatan methanogen akan diikuti oleh peningkatan emisi. Methanogen

merupakan kelompok bakteri yang dapat menggunakan substrat organik melalui

serangkaian proses reduksi-oksidasi menghasilkan produk akhir CH4.


115

Emisi berkorelasi nyata negatif dengan potensial redoks (Eh) (-0,48*).

Penurunan Eh akan meningkatkan emisi CH4 melalui pengaruhnya memacu

kondisi anaerobik yang sesuai untuk bakteri methanogen pembentuk CH4 (Hou et

al., 2000; Li, 2007). Pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla mempengaruhi emisi

melalui pengaruhnya terhadap Eh. Pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla

berkorelasi nyata negatif dengan Eh (-0,47* dan 0,44*) (Tabel 20), yang berarti

pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla menurunkan Eh, dan dengan demikian

meningkatkan emisi.

Tabel 21. Rata-rata emisi oleh sistem padi sawah organik pada perlakuan pupuk
kandang sapi dan pupuk Azolla hasil percobaan rumah kaca

PKS Emisi PA Emisi


(ton ha-1) (kg CH4 ha-1) (ton ha-1) (kg CH4 ha-1)
0 7,97ab 0 7,47ab
2,67 3,34a 1,67 3,34a
4 9,93b 2,5 9,70b
8 7,75ab 5 8,98ab
1) 2)
Rerata 7,74 Rerata 8,14
PKS = pupuk kandang sapi, PA = pupuk Azolla.
1)
rata-rata yang menggunakan pupuk kandang sapi, 2) rata-rata yang menggunakan pupuk Azolla.
Angka dalam kolom sama diikuti oleh notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%.

Tabel 22. Rata- rata sifat air terpilih dan emisi oleh sistem padi sawah organik
pada perlakuan inokulum Azolla hasil percobaan rumah kaca

Inokulum
OD NO2- NO3- NH4+ CBM Emisi
Azolla pH
(mg O2 L-1) (mg N L ) (mg N L ) (mg N L-1) (mg C L-1) (kg CH4 ha-1)
-1 -1
(ton ha-1)
0 8,20b 7,19b 0,11a 1,27a 2,57a 53,18a 11,96b
1,33 8,01a 4,47a 0,15b 3,82d 3,48b 91,48b 3,34a
2 7,96a 3,58a 0,16b 2,14b 3,52b 93,30b 3,32a
4 8,10ab 4,08a 0,16b 3,17c 3,69b 98,44b 6,37a
Rata-Rata*) 8,02 3,96 0,16 2,89 3,58 94,99 4,54
*)
Rata-rata perlakuan yang menggunakan inokulum Azolla
Angka dalam kolom sama diikuti notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%
116

Perlakuan yang mempengaruhi besarnya emisi adalah inokulum Azolla,

keduanya berkorelasi sangat nyata negatif (-0,57**) (Tabel 20), yang menunjukkan

bahwa inokulum Azolla secara sangat nyata menurunkan emisi CH4. Perlakuan

yang menggunakan inokulum Azolla menghasilkan rata-rata emisi CH4 secara

nyata lebih rendah dari pada yang tidak menggunakan (Tabel 22).

Tabel 20 menunjukkan bahwa inokulum Azolla berkorelasi sangat nyata

dengan kandungan NO2-, NO3- dan NH4+ dalam air (0,71**, 0,70** dan 0,81**),

yang menunjukkan inokulum Azolla meningkatkan NO2-, NO3- dan NH4+ air.

Azolla akan melepaskan N hasil fiksasinya ke media tumbuh (air) dalam bentuk

amonia (NH3) (Hamdi, 1982), yang selanjutnya dalam media air berubah menjadi

bentuk amonium (NH4+). Arifin (1996) menyebutkan hasil penyematan N

langsung dalam bentuk NH4+.

NH4+ di dalam air kemudian teroksidasi melalui proses nitrifikasi menjadi

NO2- dan NO3- (Sanchez, 1976; Vance, 1996). NO2- dan NO3- inilah yang menurut

(Slonczewski, 2009; Ettwig et al., 2010) merupakan agen pengoksidasi CH4

melalui serangkaian proses:

3CH4 + 8NO2- + 8H+ 3CO2 + 4N2 + 10H2O


5CH4 + 8NO3- + 8H+ 5CO2 + 4N2 + 14H2O

Proses ini dikenal dengan nitrite and nitrate methane oxidation yang

dilakukan oleh konsorsium mikrobia kelompok archaea (Methanosarcinal) dan

bakteri methanotrof Candidatus Methylomirabolis oxyfera (M. oxyfera)

(Raghoebarsing et al., 2006). Mekanisme proses oksidasi CH4 oleh NO3- menjadi

CO2 + N2 dengan peranan kelompok bakteri methanotrof di dalam tanah juga

telah disampaikan oleh Thauer et al. (2008).


117

CH4 yang akan diemisikan melalui cara difusi (difusi molekul) dan

ebulisiasi (gelembung gas) melewati air genangan, dengan demikian pada

perlakuan inokulum Azolla akan mengalami oksidasi oleh NO2- dan NO3-,

sehingga mengurangi CH4 yang akan diemisikan ke atmosfer.

Emisi berkorelasi sangat nyata dengan pH air (0,64**), dan berkorelasi

negatif sangat nyata dengan C biomassa mikrobia air (-0,73**) (Tabel 20), hal ini

sebagai dampak dari perlakuan inokulum Azolla yang mampu menurunkan emisi

dan pH air, dan meningkatkan C biomassa mikrobia air. Emisi berkorelasi sangat

nyata dengan oksigen terlarut (DO) air. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian

oleh Bharati et al. (2000) yang menyebutkan emisi berkorelasi nyata negatif

dengan DO air. Hal ini diduga kuat oleh dampak dari perlakuan inokulum Azolla

yang mampu menurunkan emisi dan DO air.

Emisi dipengaruhi oleh jumlah anakan total, keduanya berkorelasi nyata

(0,39*) (Tabel 20). Penyebab tingginya emisi pada penggunaan pupuk kandang

sapi 4 ton ha-1 + pupuk Azolla 2,5 ton ha-1 adalah tingginya jumlah anakan yang

dihasilkan oleh perlakuan tersebut. Salah satu mekanisme pelepasan CH4 ke

atmosfer adalah melalui tanaman (Nieder and Benbi, 2008; Reddy and DeLaune,

2008). Tanaman yang mempunyai anakan lebih tinggi dengan demikian akan

dapat mengemisikan CH4 lebih tinggi.

4. Alternatif Pilihan Rekomendasi

Pilihan rekomendasi didasarkan pada perlakuan yang meningkatkan

produktivitas tanaman dan kesuburan tanah, dan menurunkan emisi CH4. Status

kesuburan tanah semua sama yaitu termasuk subur, yang sama dengan tanah awal.
118

GKP berkorelasi tidak nyata dengan emisi CH4 (Tabel 20), setiap peningkatan

GKP tidak tentu diikuti oleh peningkatan emisi CH4. Hasil GKP tinggi dan emisi

CH4 rendah dengan demikian sebagai bahan pertimbangan utama menentukan

pilihan rekomendasi.

Tabel 23. GKP, status kesuburan tanah akhir dan emisi CH4 oleh sistem padi
sawah organik pada percobaan rumah kaca

Emisi
GKP Status
No. Perlakuan (kg CH4
(ton ha-1) Kesuburan Tanah
ha-1)
A. Kontrol 5,91ab Subur 11,01d
B. PKS 8 7,04bc Subur 9,03cd
C. PA 5 4,82a Subur 11,50d
D. IA 4 6,15abc Subur 6,28abc
E. PKS 4 + PA 2,5 8,01c Subur 16,31e
F. PKS 4 + IA 2 6,78bc Subur 3,55ab
G. PA 2,5 + IA 2 7,62bc Subur 3,10a
H. PKS 2,67 + PA 1,67 + IA 1,33 7,04bc Subur 3,34ab
I. PKS 8 + PA 5 + IA 4 7,96c Subur 6,46bc
Rata-Rata 6,82 Subur 7,84
Angka pada kolom sama diikuti notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Kontrol dan pupuk Azolla 5 ton ha-1 tidak dapat menjadi pilihan karena

GKP rendah dan emisi tinggi. Pupuk kandang sapi 8 ton ha-1 walaupun GKP

cukup tinggi tetapi emisinya juga tinggi. Inokulum Azolla 4 ton ha-1 walaupun

emisinya rendah, tetapi GKP rendah di bawah rata-rata. Pupuk kandang sapi 4 ton

ha-1 + pupuk Azolla 2,5 ton ha-1 walaupun GKP paling tinggi, tetapi emisinya juga

paling tinggi.

Pupuk kandang sapi 8 ton ha-1 + pupuk Azolla 5 ton ha-1 + inokulum

Azolla 4 ton ha-1 secara teknis dapat menjadi pilihan, GKP tinggi, status
119

kesuburan subur dan emisi rendah. Perlakuan tersebut namun demikian dari sisi

ekonomis harus dipertimbangkan lagi, karena merupakan dosis berlebih yang

berdampak input produksi tinggi. Dosis berlebih ini juga berdampak tanaman

lebih sukulen, mudah rebah, dan waktu panen mundur.

Pupuk kandang sapi 4 ton ha-1 + inokulum Azolla 2 ton ha-1, pupuk Azolla

2,5 ton ha-1 + inokulum Azolla 2 ton ha-1, dan pupuk kandang sapi 2,67 ton ha-1 +

pupuk Azolla 1,67 ton ha-1 + inokulum Azolla 1,33 ton ha-1 merupakan perlakuan

yang dapat menjadi pilihan rekomendasi. GKP tinggi yang tidak berbeda nyata

dengan GKP tinggi lainnya. Status kesuburan tanah termasuk subur. Emisi rendah

yang berbeda sangat nyata dengan emisi yang termasuk tinggi.


120

C. Penelitian Tahap III: Percobaan Lapangan

1. Pertumbuhan dan Hasil Tanaman

Inokulum Azolla rata-rata mulai menutup 100% lahan paling lama pada

hari ke-14. Pertumbuhan Azolla di percobaan lapangan jauh lebih cepat

dibandingkan dengan di percobaan rumah kaca. Inokulum Azolla 1,33 ton ha-1

telah menutup 100% pada hari ke-14, inokulum Azolla 2 ton ha-1 pada hari ke-12,

dan inokulum Azolla 4 ton ha-1 pada hari ke-9.

Gambar 25. Penutupan inokulum Azolla 4 ton ha-1 setelah 9 hari


penebaran (tanaman padi umur 14 HST).
Waktu penggandaan selama 3,3 hari yang lebih cepat dari
pada percobaan rumah kaca

Perhitungan berdasarkan jumlah Azolla awal, jumlah Azolla akhir, dan

waktu yang diperlukan, maka waktu penggandaan inokulum Azolla 1,33 ton ha-1,

2 ton ha-1, dan 4 ton ha-1 masing-masing adalah selama 3,2 hari, 3,2 hari, dan 3,3
121

hari, atau rata-rata selama 3,2 hari. Rata-rata waktu penggandaan ini lebih cepat

dari pada yang disampaikan oleh Arifin (2003) dalam Kaimuddin et al. (2008)

pada Azolla yang ditumbuhkan di lahan sawah bersama-sama dengan tanaman

padi, yaitu selama 4 - 5 hari. Djojosuwito (2000) bahkan menyebutkan waktu

penggandaan Azolla tersebut selama 7,2 hari. Hidayat et al. (2011) sementara itu

menyebutkan bahwa waktu penggandaan Azolla sekitar 3 – 5 hari.

Gambar 26. Azolla masih bertahan pada saat panen padi sawah
organik (tanda panah), tampak atas (insert). Azolla ini
bisa dimanfaatkan untuk musim tanam berikutnya.

Inokulum Azolla tumbuh dan berkembang di lahan bersama-sama dengan

tanaman padi, bahkan sampai dengan dilakukan panen tanaman padi, Azolla

tersebut masih bertahan (Gambar 26). Azolla inilah yang masih dapat

dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya berikutnya.


122

Gambar 27. Tanaman padi sistem organik pada percobaan lapangan.


Umur 0, 20, 40, 68, 80 dan 90 HST. Hasil GKP rata-rata
9,14 ton ha-1 lebih tinggi dari rata-rata hasil IR-64
tingkat nasional 5 ton ha-1.

Tinggi tanaman dan jumlah anakan tanaman padi tersaji pada Gambar 28

dan 29. Tinggi tanaman dan jumlah anakan pada pengamatan umur 40, 70 dan 90

HST yang mendekati dengan waktu pengamatan emisi CH4 (35, 68 dan 96 HST)

tersaji pada Tabel 24. Jumlah anakan mengalami penurunan pada umur 50 HST
123

yang disebabkan anakan kecil (anakan tersier) mati, yang diduga terjadi

persaingan pertumbuhan secara internal dalam rumpun tanaman.

Gambar 28. Grafik pertumbuhan tinggi tanaman padi sawah organik


pada percobaan lapangan. Tinggi tanaman 0 HST rata-
rata 16,2 cm, 40 HST 62,1 cm, 80 HST puncak tertinggi
93,1 cm, dan setelah itu sampai panen 99 HST menurun
menjadi 92,9 cm.

Rata-rata tanaman membentuk anakan sampai dengan umur 50 HST

(Gambar 29). Tanaman mulai bunting (penggembungan pelepah daun bendera)

umur 55 HST, keluar malai pada umur 63 HST, pembungaan umur 70 HST,

gabah matang susu umur 81 HST, dan gabah matang penuh umur 99 HST.
124

Gambar 29. Grafik pertumbuhan jumlah anakan tanaman padi sawah


organik pada percobaan lapangan. Jumlah batang saat
tanam (0 HST) 3 batang, 40 HST rata-rata 22 batang, 50
HST 24 batang, dan panen 97 HST menurun menjadi16
batang.

Tinggi tanaman dan jumlah anakan relatif tidak berbeda nyata pada semua

umur tanaman (Tabel 24). Hasil penelitian ini sama dengan yang diperoleh Arsana

(2012), perlakuan pengairan dan varietas menghasilkan tinggi tanaman dan

jumlah anakan yang tidak berbeda nyata. Tinggi tanaman pada umur 70 HST ada

perbedaan nyata antara perlakuan kontrol (tanpa pupuk) dengan perlakuan

lainnya. Hal ini disebabkan pada kontrol tidak ada masukan unsur hara, sehingga

tinggi tanamannya lebih rendah.


125

Jumlah anakan sementara itu tidak berbeda nyata pada semua umur

tanaman. Jumlah anakan oleh kontrol ada kecenderungan lebih banyak dari pada

perlakuan lainnya, tetapi ukurannya lebih kecil. Kontrol dengan tidak adanya

masukan unsur hara, walaupun anakan terbentuk banyak tetapi perkembangan

selanjutnya terhambat, sehingga ukuran anakan tidak dapat berkembang.

Tabel 24. Tinggi dan jumlah anakan tanaman padi sawah organik pada percobaan
lapangan

Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Anakan (Batang)


No. Perlakuan
40 HST 70 HST 90 HST 40 HST 70 HST 90 HST Produktif
A. Kontrol 54,5a 68,0a 82,5a 24a 21a 15a 13a
B. PKS 8 66,9a 87,2b 95,2a 25a 20a 16a 14a
C. PA 5 63,1a 84,7ab 94,5a 22a 19a 16a 12a
D. IA 4 57,8a 77,4ab 89,7a 21a 20a 16a 14a
E. PKS 4 + PA 2,5 59,8a 79,4ab 92,8a 21a 20a 17a 14a
F. PKS 4 + IA 2 63,9a 79,6ab 94,7a 22a 19a 16a 14a
G. PA 2,5 + IA 2 64,0a 83,8ab 98,1a 22a 19a 16a 14a
H. PKS 2,67 + PA 1,67 + IA 1,33 63,3a 81,1ab 91,6a 22a 19a 15a 13a
I. PKS 8 + PA 5 + IA 4 65,4a 88,2b 98,9a 21a 19a 15a 13a
Rata-Rata 62,1 81,0 93,1 22 20 16 13
Angka pada kolom sama diikuti notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Berat gabah per malai berbeda nyata, penggunaan pupuk kandang sapi,

pupuk Azolla, inokulum Azolla dan kombinasinya rata-rata menghasilkan lebih

tinggi dari pada kontrol (Tabel 25). Pupuk kandang sapi, pupuk Azolla, inokulum

Azolla dan kombinasinya memberikan masukan unsur hara setara 120 kg N ha -1,

sehingga dapat menghasilkan berat gabah per malai lebih tinggi dari pada kontrol.

Berat segar brangkasan mempunyai kecenderungan yang sama dengan berat


126

gabah per malai. Pupuk kandang sapi, pupuk Azolla, inokulum Azolla dan

kombinasinya rata-rata menghasilkan berat segar brangkasan lebih tinggi dari

pada kontrol (Tabel 25).

Berat 1.000 biji tidak berbeda nyata, rata-rata 27,48 gram (Tabel 25).

Deskripsi tanaman padi varietas IR-64 menurut Departemen Pertanian Republik

Indonesia menyebutkan bahwa rata-rata berat 1.000 biji sebesar 27 gram (Balai

Penelitian Padi, 2008). Hal ini berarti hasil gabah pada semua perlakuan

mempunyai kualitas sedikit lebih baik dari rata-rata nasional. Kondisi lahan yang

lebih baik dengan indikator kandungan C-organik > 2% diduga yang berpengaruh

baik terhadap kualitas gabah.

Tabel 25. Berat gabah per malai, berat 1.000 biji, berat segar brangkasan, gabah
kering panen dan indeks panen tanaman padi sawah organik pada
percobaan lapangan
BGM B 1.000 BSB GKP IP
No. Perlakuan
(gram) (gram) (ton ha-1) (ton ha-1) (%)
A. Kontrol 1,98a 25,83a 20,03a 7,29a 26,54a
B. PKS 8 3,05bcd 26,94a 29,29b 9,83bc 25,10a
C. PA 5 3,01bcd 27,96a 25,14ab 9,26bc 26,96a
D. IA 4 2,60b 26,56a 23,32ab 8,09ab 26,06a
E. PKS 4 + PA 2,5 2,67bc 27,96a 25,57ab 9,40bc 27,39a
F. PKS 4 + IA 2 3,02bcd 28,34a 28,51b 9,57bc 25,14a
G. PA 2,5 + IA 2 2,79bcd 28,62a 27,11b 9,16bc 25,14a
H. PKS 2,67 + PA 1,67 + IA 1,33 3,16cd 28,05a 27,80b 9,51bc 25,52a
I. PKS 8 + PA 5 + IA 4 3,20d 27,07a 28,16b 10,18c 26,58a
Rata-Rata 2,83 27,48 26,10 9,14 26,05
BGM = berat gabah per malai, B1.000 = berat 1.000 biji, BSB = berat segar brangkasan, GKP =
gabah kering panen, IP = indeks panen = (GKP/(GKP+BSB))x100%
Angka pada kolom sama diikuti notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%
127

Indeks panen tidak berbeda nyata (Tabel 25). Gabah kering panen dan

berat segar brangkasan walaupun berbeda nyata antar perlakuan, tetapi indeks

panennya tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa setiap peningkatan

berat segar brangkasan akan diikuti dengan peningkatan hasil gabah kering panen,

demikian juga sebaliknya, sehingga indeks panen menjadi tidak berbeda nyata.

GKP berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 25), semua perlakuan kecuali

inokulum Azolla 4 ton ha-1, menghasilkan GKP secara nyata lebih tinggi dari pada

kontrol. Inokulum Azolla menghasilkan GKP tidak berbeda nyata dengan kontrol.

Hal ini disebabkan rata-rata NH4+ dalam tanah pada perlakuan tersebut lebih

rendah dari pada rata-rata dan tidak berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 34).

Kecukupan pasokan hara bagi tanaman merupakan faktor utama yang

menyebabkan hasil gabah lebih tinggi dari pada kontrol. Penggunaan pupuk

kandang sapi, pupuk Azolla, inokulum Azolla dan kombinasinya mendasarkan

pada penyediaan unsur hara N yang cukup bagi tanaman sebesar 120 kg N ha-1.

Penggunaan dosis penuh pupuk kandang sapi (120 kg N ha-1) + pupuk Azolla

(120 kg N ha-1) + inokulum Azolla (120 kg N ha-1) menghasilkan GKP relatif

paling tinggi, tetapi tidak berbeda nyata dengan penggunaan yang mendasarkan

pada penyediaan unsur hara N 120 kg N ha-1. Hal ini menunjukkan bahwa

penggunaan dosis penuh tersebut sudah melewati batas dosis optimum.

Hasil gabah kering panen berkorelasi nyata dengan tinggi tanaman

(0,68**), berat 1.000 biji (0,48*), berat segar brangkasan (0,79**), dan berat gabah

per malai (0,61**), sementara itu berkorelasi tidak nyata dengan jumlah anakan

(0,29ns) (Tabel 26). Kecukupan unsur hara mendukung tanaman dapat


128

menyelengarakan proses fotosintesa lebih tinggi, dengan demikian dapat

menghasilkan tanaman yang tinggi dan mempunyai brangkasan yang lebih besar,

sehingga akan menghasilkan gabah per malai dan berat biji gabah yang lebih

tinggi, dan berdampak kepada hasil gabah yang lebih tinggi pula.

Tabel 26. Korelasi parameter tanaman dan sifat tanah terpilih sistem padi sawah
organik pada percobaan lapangan

PKS PA IA NH4+ TT AT AP BGM 1000 BSB GKP


+ ** * ns
NH4 0,66 0,39 0,24
TT 0,31ns 0,40* 0,13ns 0,18ns
AT 0,09ns -0,17ns 0,10ns -0,26ns 0,40*
AP 0,03ns -0,23ns -0,02ns -0,36ns 0,35ns 0,93**
BGM 0,45* 0,35ns 0,18ns 0,58** 0,50** -0,30ns -0,29ns
1000 -0,01ns 0,19ns -0,03 ns 0,20ns 0,50* -0,31ns -0,29ns 0,67**
BSB 0,47* 0,13ns 0,11ns 0,30ns 0,71** 0,65** 0,35ns 0,39* 0,39*
GKP 0,51** 0,33ns 0,07ns 0,40* 0,68** 0,29ns 0,31ns 0,61** 0,48* 0,79**
IP -0,05ns 0,21 ns -0,07 ns 0,07ns -0,19ns -0,61** -0,56** 0,24ns 0,35ns -0,49** 0,14ns
Notasi = tidak nyata, * = nyata, ** = sangat nyata.
ns

PKS = pupuk kandang sapi, PA = pupuk Azolla, IA = inokulum Azolla, NH4+ = NH4+ tanah, AT =
anakan total, AP = anakan produktif, TT = tinggi tanaman, BSB = berat segar brangkasan, BGM =
berat gabah per malai, 1000 = berat 1.000 biji, GKP = gabah kering panen, IP = indeks panen.

Tabel 27. Rata-rata NH4+ tanah dan GKP oleh padi sawah organik pada perlakuan
pupuk kandang sapi, pupuk azolla dan inokulum Azolla hasil percobaan
lapangan

PKS NH4+ GKP PA NH4+ GKP IA NH4+ GKP


(ton ha-1) (mg kg-1) (ton ha-1) (ton ha-1) (mg kg-1) (ton ha-1) (ton ha-1) (mg kg-1) (ton ha-1)
0 26,67a 8,45a 0 27,62a 8,70a 0 28,06a 8,95a
2,67 30,51bc 9,51ab 1,67 30,51a 9,51a 1,33 30,51a 9,51a
4 28,83ab 9,49ab 2,5 28,56a 9,28a 2 28,69a 9,36a
8 33,02c 10,01b 5 31,40a 9,72a 4 30,39a 9,14a
Rerata1) 30,84 9,70 Rerata2) 30,08 9,50 Rerata3) 29,73 9,30
PKS = pupuk kandang sapi, PA = pupuk Azolla, IA = inokulum Azolla. 1) rata-rata yang
menggunakan pupuk kandang sapi, 2) rata-rata yang menggunakan pupuk Azolla, 3) rata-rata yang
menggunakan inokulum Azolla. Angka pada kolom sama diikuti notasi huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada taraf 5%.

Jumlah anakan yang banyak belum tentu dapat menghasilkan gabah yang

lebih tinggi, karena ada kemungkinan jumlah anakan yang banyak berdampak
129

kepada gabah per malai yang rendah. Hal ini disebabkan pada rumpun dengan

jumlah anakan yang banyak terjadi persaingan internal untuk pertumbuhannya.

Pupuk kandang sapi dan GKP berkorelasi nyata (0,51**) (Tabel 26), yang

menunjukkan penggunaan pupuk kandang sapi dapat meningkatkan GKP. Rata-

rata GKP yang menggunakan pupuk kandang sapi 14,77% lebih tinggi dari pada

yang tidak menggunakan (Tabel 27). Pupuk Azolla dan GKP berkorelasi kurang

nyata (0,33ns) (Tabel 26). Korelasi ini walaupun kurang nyata tetapi ada

kecenderungan penggunaan pupuk Azolla juga dapat meningkatkan GKP. Rata-

rata GKP yang menggunakan pupuk Azolla lebih tinggi 9,24% dari pada yang

tidak menggunakan (Tabel 27). Korelasi inokulum Azolla dan GKP sementara itu

tidak nyata (0,07ns) (Tabel 26), yang menunjukkan tidak ada pengaruh inokulum

Azolla terhadap GKP.

Pupuk kandang sapi berkorelasi sangat nyata dengan NH4+ tanah (0,66**)

(Tabel 26). Rata-rata NH4+ tanah pada perlakuan pupuk kandang sapi berbeda

nyata, yang menggunakan pupuk kandang sapi lebih tinggi dari pada yang tidak

menggunakan (Tabel 27). GKP berkorelasi nyata dengan NH4+ tanah (0,40*)

(Tabel 26). Korelasi tersebut menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kandang

sapi meningkatkan kandungan NH4+ tanah, yang berdampak meningkatkan GKP

(Duan et al., 2007). Pupuk Azolla demikian juga berkorelasi nyata dengan NH4+

tanah (0,39*) (Tabel 26). Rata-rata NH4+ tanah pada perlakuan pupuk Azolla

walaupun tidak berbeda nyata, tetapi ada kecenderungan yang menggunakan

pupuk Azolla lebih tinggi dari pada yang tidak menggunakan (Tabel 27).

Penggunaan pupuk Azolla dengan demikian juga meningkatkan kandungan NH4+

tanah, yang berdampak meningkatkan GKP (Duan et al., 2007), walaupun

pengaruhnya lebih lemah dibandingkan dengan pupuk kandang sapi.


130

Pupuk Azolla, pupuk kandang sapi + pupuk Azolla, pupuk kandang sapi +

inokulum Azolla, pupuk Azolla + inokulum Azolla, dan pupuk kandang sapi +

pupuk Azolla + inokulum Azolla menghasilkan GKP yang tidak berbeda nyata

dengan pupuk kandang sapi 8 ton ha-1 (Tabel 25). Hal ini menunjukkan bahwa

penggunaan Azolla, baik sebagai pupuk (dibenamkan) maupun inokulum

(ditumbuhkan bersama tanaman padi), yang juga dapat dikombinasikan dengan

pupuk kandang sapi, dapat menghasilkan GKP yang menyamai kebiasaan petani

di lokasi penelitian (pupuk kandang sapi 8 ton ha-1).

Data hasil pengamatan kandungan C, N, P, dan K pada bagian akar, tajuk

dan gabah hampir sama dengan yang diperoleh pada percobaan rumah kaca (Tabel

11 dan 28). C paling banyak terdapat dalam tajuk, N paling banyak terdapat dalam

gabah, P paling banyak dalam akar, dan K paling banyak dalam tajuk (Tabel 28).

Beberapa hasil penelitian oleh peneliti lain sebelumnya telah disampaikan pada

pembahasan percobaan rumah kaca, yang menjelaskan kesesuaian hasil tersebut,

fungsi hara bagi tanaman dan konsentrasi kandungan hara pada bagian tanaman.

Rata-rata kandungan N tajuk (jerami) 0,81%, P tajuk (jerami) 0,77%, K

tajuk (jerami) 1,09%, N gabah 1,18%, P gabah 0,43% dan K gabah 0,36% (Tabel

28) secara umum lebih rendah dari pada hasil percobaan di rumah kaca, dan

secara umum mempunyai kisaran lebih tinggi dari pada yang disampaikan oleh

Dobermann dan Fairhurst (2000), Ibrahim et al. (2010) dan Nader and Robinson

(2010), kecuali K tajuk (jerami). K jerami 1,09% lebih rendah dari pada nilai

kritis defisiensi K yaitu < 1,2% (Dobermann and Fairhurst, 2000). Beberapa

perlakuan namun demikian masih dapat menghasilkan kandungan K tajuk (jerami)

yang termasuk dalam kisaran 1,17 – 1,68% seperti yang disampaikan oleh

Dobermann dan Fairhurst (2000).


131

Tabel 28. Kandungan C, N, P dan K pada akar, tajuk dan gabah padi sawah organik pada percobaan lapangan
C (%) N (%) P (%) K (%)
No. Perlakuan
Akar Tajuk Gabah Akar Tajuk Gabah Akar Tajuk Gabah Akar Tajuk Gabah
A. Kontrol 39,35ab 61,36ab 52,90b 0,73abc 0,75a 0,94a 1,28a 0,75a 0,38a 0,25a 0,76a 0,35a
B. PKS 8 36,88a 60,50ab 53,90b 0,81bc 0,88a 1,27ab 1,42a 0,69a 0,39a 0,23a 1,07a 0,38a
C. PA 5 45,89cd 58,87ab 55,74b 0,81c 0,81a 1,05a 1,50a 0,79a 0,54a 0,21a 1,11a 0,39a
D. IA 4 41,94abc 56,71a 46,21a 0,84ab 0,75a 1,11a 1,33a 0,89a 0,53a 0,21a 1,19a 0,27a
E. PKS 4 + PA 2,5 48,01d 60,82ab 53,90b 0,70a 0,90a 1,11a 1,37a 0,81a 0,50a 0,16a 1,00a 0,30a
F. PKS 4 + IA 2 39,57ab 69,81ab 57,03b 0,65a 0,79a 1,51b 1,44a 0,69a 0,42a 0,22a 1,25a 0,38a
G. PA 2,5 + IA 2 41,69abc 71,75b 54,00b 0,72abc 0,75a 1,25ab 1,36a 0,75a 0,39a 0,19a 0,97a 0,40a
H. PKS 2,67 + PA 1,67 + IA 1,33 40,52abc 72,62b 53,68b 0,67a 0,83a 1,12a 1,50a 0,73a 0,39a 0,17a 1,29a 0,43a
I. PKS 8 + PA 5 + IA 4 44,07bcd 58,98ab 58,66b 0,68ab 0,83a 1,27ab 1,56a 0,82a 0,36a 0,30a 1,19a 0,34a
Rata-Rata 41,99 63,49 54,00 0,73 0,81 1,18 1,42 0,77 0,43 0,22 1,09 0,36
Tajuk = Jerami = Brangkasan
Angka pada kolom sama diikuti notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%
132

Tabel 29. Serapan C, N, P dan K pada tajuk dan akar padi sawah organik pada percobaan lapangan
Serapan C Serapan N Serapan P Serapan K

No. Perlakuan g rumpun-1


Tajuk/ Tajuk/ Tajuk/ Tajuk/
Tajuk Akar Tajuk Akar Tajuk Akar Tajuk Akar
Akar Akar Akar Akar
A. Kontrol 16,49a 1,64ab 10,08a 0,20a 0,03a 6,63a 0,20a 0,05a 3,79a 0,21a 0,01a 19,01a
B. PKS 8 22,75ab 1,40a 16,21b 0,33b 0,03a 10,66b 0,26ab 0,05a 4,80a 0,40b 0,01a 47,17bc
C. PA 5 19,17ab 1,80ab 11,00ab 0,26ab 0,03a 8,51ab 0,26ab 0,06a 4,44a 0,36b 0,01a 44,78bc
D. IA 4 18,45ab 1,99b 9,12a 0,25ab 0,04a 6,11a 0,29ab 0,06a 4,64a 0,38b 0,01a 37,45bc
E. PKS 4 + PA 2,5 19,41ab 1,95b 9,93a 0,29ab 0,03a 10,12b 0,26ab 0,06a 4,74a 0,32ab 0,01a 49,98cd
F. PKS 4 + IA 2 26,17b 1,79ab 14,64bc 0,30ab 0,03a 10,05b 0,26ab 0,07a 3,98a 0,48b 0,01a 46,62bc
G. PA 2,5 + IA 2 25,47b 1,66ab 15,38c 0,26ab 0,03a 9,35b 0,27ab 0,05a 4,95a 0,34ab 0,01a 44,71bc
H. PKS 2,67 + PA 1,67 + IA 1,33 25,10b 1,70ab 15,15c 0,29ab 0,03a 10,49b 0,25ab 0,06a 4,09a 0,45b 0,01a 63,65d
I. PKS 8 + PA 5 + IA 4 22,16ab 2,03b 10,96ab 0,31b 0,03a 9,96b 0,31b 0,07a 4,31a 0,44b 0,01a 31,98a
Rata-Rata 21,69 1,77 12,50 0,28 0,03 9,10 0,26 0,06 4,42 0,37 0,01 42,82
Tajuk = Jerami = Brangkasan
Angka pada kolom sama yang diikuti notasi huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%
133

Sebagian besar parameter, kecuali kandungan C akar, C gabah, N akar dan

N gabah, tidak berbeda nyata antar perlakuan, yang berarti perlakuan berpengaruh

tidak nyata terhadap parameter tersebut. Perlakuan walaupun tidak berpengaruh

terhadap sebagian besar parameter, namun ada kecenderungan penggunaan pupuk

kandang sapi, pupuk Azolla dan inokulum Azolla berpengaruh lebih baik dari

pada kontrol. Rata-rata kandungan C, N, P dan K pada semua bagian tanaman

yang dihasilkan oleh perlakuan lebih tinggi dari pada kontrol.

C akar berbeda nyata antar perlakuan, dan berkorelasi nyata dengan

penggunaan pupuk Azolla (0,54**). C gabah juga berbeda nyata antar perlakuan,

dan berkorelasi nyata dengan penggunaan pupuk kandang sapi (0,38 *) dan pupuk

Azolla (0,40*). Hal ini diduga kuat karena perlakuan pupuk kandang sapi dan

pupuk Azolla meningkatkan NH4+ tanah, dan berdampak meningkatkan

kandungan C dalam tanaman.

Kandungan N pada akar berbeda nyata, namun demikian perlakuan pupuk

kandang sapi, pupuk Azolla dan inokulum Azolla berkorelasi tidak nyata dengan

N akar. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan N akar tidak dipengaruhi oleh

perlakuan. Kandungan N pada akar, tajuk dan gabah masing-masing berkorelasi

tidak nyata, peningkatan atau penurunan N pada salah satu bagian tanaman tidak

diikuti oleh peningkatan atau penuruan N pada bagian yang lain.

Kandungan N di dalam gabah sementara itu berbeda nyata antar perlakuan.

Kandungan N gabah berkorelasi nyata dengan perlakuan yang menggunakan

pupuk kandang sapi (0,39*). Hal ini menunjukkan pupuk kandang sapi

berpengaruh lebih baik terhadap kandungan N gabah. Pupuk kandang sapi, seperti

telah dijelaskan sebelumnya, mempunyai kecenderungan berbengaruh lebih baik


134

terhadap hasil gabah kering panen. Pupuk kandang sapi berkorelasi nyata dengan

N gabah (0,39*) dan NH4+ tanah (0,66**), dan N gabah berkorelasi nyata dengan

NH4+ tanah (0,39*) dan gabah kering panen (0,48*). Korelasi ini menunjukkan

penggunaan pupuk kandang sapi mampu meningkatkan NH4+ dalam tanah dan

berdampak kepada peningkatan kuantitas hasil (GKP), yang secara simultan

diikuti oleh peningkatan kualitas hasil (kandungan N gabah).

Pupuk kandang sapi, pupuk Azolla dan inokulum Azolla tidak

berpengaruh terhadap serapan C, N, P dan K pada akar. Pupuk kandang sapi dan

pupuk Azolla berpengaruh tidak langsung terhadap serapan C, N, P dan K pada

tajuk, sementara itu inokulum Azolla tidak berpengaruh. Pupuk kandang sapi dan

pupuk Azolla meningkatkan kandungan NH4+ tanah, yang kemudian

meningkatkan serapan N pada tajuk. NH4+ tanah berkorelasi nyata dengan serapan

N pada tajuk (0,38*) (Tabel 30), setiap peningkatan NH4+ tanah meningkatkan

serapan N pada tajuk.

Tabel 30. Korelasi serapan hara dan parameter terpilih sistem padi sawah organik
pada percobaan lapangan

PKS PA IA NH4+T SCT SCA SNT SNA SPT SPA SKT SKA
+
NH4 T 0,66** 0,39* 0,24ns
SCT 0,23ns -0,01ns 0,15ns 0,16ns
SCA -0,04ns 0,30ns 0,40* 0,04ns 0,09ns
SNT 0,53** 0,13ns 0,06ns 0,38* 0,64** 0,21ns
SNA 0,08ns -0,14ns 0,31ns -0,21ns 0,15ns 0,53** 0,26ns
SPT 0,22ns 0,25ns 0,42* 0,22ns 0,51** 0,59** 0,69** 0,41*
SPA 0,30ns 0,24ns 0,50** 0,36ns 0,31ns 0,53** 0,16ns 0,26ns 0,37ns
SKT 0,41* 0,11ns 0,37ns 0,45* 0,56** 0,32ns 0,61** 0,18ns 0,57** 0,43*
SKA 0,32ns 0,32ns 0,32ns 0,10ns 0,28ns 0,22ns -0,02ns 0,28ns 0,23ns 0,43* 0,15ns
GKP 0,51** 0,33ns 0,07ns 0,40* 0,55** 0,17ns 0,71** -0,02ns 0,57** 0,15ns 0,43* 0,23ns
Notasi ns = tidak nyata, * = nyata, ** = sangat nyata.
PKS = pupuk kandang sapi, PA = pupuk Azolla, IA = inokulum Azolla, NH4+ T = NH4+ tanah,
SCT = serapan C tajuk, SCA = serapan C akar, SNT = serapan N tajuk, SNA = serapan N akar,
SPT = serapan P tajuk, SPA = serapan P akar, SKT = serapan K tajuk, SKA = serapan K akar,
GKP = gabah kering panen.
135

Peningkatan serapan N pada tajuk berdampak meningkatkan serapan hara

yang lain seperti C, P dan K pada tajuk. Serapan N pada tajuk berkorelasi sangat

nyata dengan serapan C, P dan K pada tajuk (Tabel 30). Korelasi tersebut

menunjukkan bahwa metabolisme N dalam tanaman akan diikuti dengan

metabolisme hara yang lain seperti C, P dan K, dan berdampak kepada

peningkatan hasil GKP. GKP berkorelasi nyata dan sangat nyata dengan serapan

C, N, P dan K pada tajuk.

2. Sifat Tanah Akhir

Sifat tanah awal pada percobaan lapangan sama dengan sifat tanah awal

pada percobaan rumah kaca (Tabel 14). Status kesuburan tanah menurut Pusat

Penelitian Tanah (1983) tergolong sedang, dan menurut Dobermann and Fairhurst

(2000) tergolong subur. Data sifat tanah akhir tersaji dalam Tabel 31.

Tabel 14 dan 31 menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang signifikan

antara sifat tanah awal dan akhir. Rata-rata sifat tanah setelah perlakuan tidak jauh

berbeda dengan sifat tanah awal. Hal ini diduga karena waktu percobaan yang

relatif pendek hanya 1 musim tanam belum memberikan dampak perubahan yang

nyata terhadap sifat tanah. Rata-rata sifat tanah akhir C-organik, KPK dan P2O5

tersedia, pada penggunaan pupuk kandang sapi, pupuk Azolla, inokulum Azolla

dan kombinasinya namun demikian relatif lebih tinggi dari pada kontrol, yang

menunjukkan perlakuan tersebut sebenarnya berpengaruh lebih baik terhadap sifat

tanah. Rata-rata GKG oleh pupuk kandang sapi, pupuk Azolla, inokulum Azolla

dan kombinasinya lebih tinggi dari pada kontrol.


136

Tabel 31. Sifat tanah sawah organik akhir setelah percobaan penanaman di lapangan
C- N P2O5 K2O P2O5 K2 O
pH pH Organik Humat Fulvat KPK KB
No. Perlakuan H2 O KCl
Total C/N Total Total Tesedia Tersedia
% ppm C ppm C % mg 100 g mg 100 g ppm cmol(+) kg cmol(+) kg-1
-1 -1 -1
%
A Kontrol 5,89 4,88 1,81 959,11 2.421,13 0,14 13,28 55,35 6,40 5,70 0,33 25,21 33,55
B PKS 8 5,73 4,66 2,03 1.152,41 2.978,18 0,19 10,56 57,06 7,19 12,53 0,27 26,17 35,35
C PA 5 5,48 4,45 1,95 1.076,12 2.775,26 0,18 11,23 53,54 8,51 5,25 0,21 23,29 34,46
D IA 4 5,58 4,59 1,82 1.052,41 2.569,24 0,17 10,87 59,07 7,19 6,42 0,24 27,27 34,29
E PKS 4 + PA 2,5 5,50 4,32 1,98 1.078,73 3.057,87 0,19 10,91 65,10 9,84 14,06 0,29 26,47 34,12
F PKS 4 + IA 2 5,88 4,53 2,02 1.016,15 2.938,66 0,19 10,54 58,06 11,16 13,88 0,27 26,91 34,24
G PA 2,5 + IA 2 5,45 4,52 1,80 1.004,30 2.976,63 0,17 10,89 56,41 9,84 14,42 0,32 27,07 36,76
H PKS 2,67 + PA 1,67 + IA 1,33 5,36 4,33 2,01 1.042,10 2.881,79 0,19 10,61 64,50 9,57 11,63 0,39 26,67 34,64
I PKS 8 + PA 5 + IA 4 5,54 4,31 2,11 1.212,54 2.969,07 0,21 9,94 61,94 7,45 10,19 0,28 26,81 34,76
Rata-Rata 5,60 4,51 1,95 1.065,98 2.840,87 0,18 10,98 59,00 8,57 10,54 0,29 26,21 34,69
137

Tabel 32. Sifat tanah sawah organik akhir setelah percobaan penanaman di lapangan dan harkat kesuburannya
C- KPK P2O5 K2O
Status
No. Perlakuan Tekstur Harkat Organik Harkat (cmol(+) Harkat Tersedia Harkat Tersedia Harkat pH Harkat GKG Harkat
-1 -1 -1
(cmol(+) kg ) Kesuburan
(%) kg ) (mg 100 g)
A Kontrol Lom Sedang 1,81 Tinggi 25,21 Tinggi 7,97 Sedang 0,33 Tinggi 5,89 Rendah 6,68 Tinggi Subur
B PKS 8 Lom Sedang 2,03 Tinggi 26,17 Tinggi 14,83 Tinggi 0,27 Sedang 5,73 Rendah 9,17 Tinggi Subur
C PA 5 Lom Sedang 1,95 Tinggi 23,29 Tinggi 9,33 Sedang 0,21 Sedang 5,48 Rendah 8,77 Tinggi Subur
D IA 4 Lom Sedang 1,82 Tinggi 27,27 Tinggi 8,99 Sedang 0,24 Sedang 5,58 Rendah 7,56 Tinggi Subur
E PKS 4 + PA 2,5 Lom Sedang 1,98 Tinggi 26,47 Tinggi 16,70 Tinggi 0,29 Sedang 5,50 Rendah 8,81 Tinggi Subur
F PKS 4 + IA 2 Lom Sedang 2,02 Tinggi 26,91 Tinggi 16,11 Tinggi 0,27 Sedang 5,88 Rendah 8,99 Tinggi Subur
G PA 2,5 + IA 2 Lom Sedang 1,80 Tinggi 27,07 Tinggi 15,43 Tinggi 0,32 Tinggi 5,45 Rendah 8,43 Tinggi Subur
H PKS 2,67 + PA 1,67 + IA 1,33 Lom Sedang 2,01 Tinggi 26,67 Tinggi 14,04 Tinggi 0,39 Tinggi 5,36 Rendah 8,73 Tinggi Subur
I PKS 8 + PA 5 + IA 4 Lom Sedang 2,11 Tinggi 26,81 Tinggi 15,37 Tinggi 0,28 Sedang 5,54 Rendah 9,38 Tinggi Subur
Rata-Rata Lom Sedang 1,95 Tinggi 26,21 Tinggi 13,20 Tinggi 0,29 Sedang 5,60 Rendah 8,50 Tinggi Subur
Harkat menurut Dobermann and Fairhurst (2000)
138

Tabel 33. Korelasi status kesuburan tanah dan parameter terpilih sistem padi
sawah organik pada percobaan lapangan

PKS PA IA CO KPK PT KT pH GKG


** ns ns
CO 0,70 0,29 0,05
ns ns
KPK 0,15 -0,20 0,33ns -0,16ns
PT 0,63** -0,10ns -0,01ns 0,29ns 0,33ns
KT 0,01ns -0,14ns -0,06ns 0,02ns 0,25ns 0,23ns
pH 0,09ns -0,43* -0,11ns -0,12ns -0,01ns -0,12ns 0,13ns
GKG 0,49* 0,33ns 0,05ns 0,40* 0,20ns 0,48* -0,03ns -0,12ns
ST -0,02ns -0,02ns -0,02ns 0,66** 0,17ns 0,40* 0,16ns -0,27ns 0,09ns
PKS = pupuk kandang sapi, PA = pupuk azolla, IA = inokulum azolla, CO = C-organik, KPK =
kapasitas pertukaran kation, PT = P2O5 tersedia, KT = K2O tersedia, GKG = gabah kering panen,
ST = status kesuburan

Status kesuburan tanah akhir pada semua perlakuan sama yaitu tergolong

subur (Tabel 32). Perlakuan kontrol menyebabkan penurunan C-organik, KPK,

P2O5 tersedia dan GKG, namun demikian oleh Dobermann and Fairhurst (2000)

masih tergolong sebagai tanah subur. Kontrol menghasilkan GKG (gabah kering

giling) 6,68 ton ha-1 yang oleh Dobermann and Fairhurst (2000) tergolong tinggi.

Status kesuburan tanah berkorelasi tidak nyata dengan pupuk kandang sapi

(-0,02ns), pupuk Azolla (-0,02ns) dan inokulum Azolla (-0,20ns) (Tabel 33), yang

menunjukkan bahwa pupuk kandang sapi, pupuk Azolla dan inokulum Azolla

tidak berpengaruh nyata terhadap kesuburan tanah. Pupuk kandang sapi namun

demikian berkorelasi sangat nyata dengan C-organik (0,70**) dan P2O5 tersedia

(0,63**), serta berkorelasi nyata dengan GKG. Korelasi tersebut menunjukkan

walaupun pupuk kandang sapi meningkatkan C-organik, P2O5 tersedia dan GKG,

tetapi tidak berpengaruh meningkatkan status kesuburan tanah.


139

3. Emisi CH4

Suhu tanah dan air tidak berbeda nyata pada semua perlakuan (Tabel 34),

yang diduga suhu ini lebih dominan disebabkan oleh kondisi cuaca lingkungan,

sehingga suhu di semua perlakuan hampir sama. pH tanah demikian juga tidak

berbeda nyata, rata-rata 6,43 (agak masam) (Tabel 34). Hasil pH tanah yang tidak

berbeda nyata ini sama dengan yang diperoleh pada percobaan rumah kaca, tetapi

pH pada percobaan rumah kaca rata-rata lebih tinggi yaitu 7,50 (netral) (Tabel

18). Penggenangan yang sempurna pada percobaan rumah kaca menyebabkan pH

tanah menjadi netral (Sanchez, 1976; van Rants, 1991).

pH air berbeda nyata dan berkorelasi sangat nyata negatif dengan

inokulum Azolla (-0,52**) (Tabel 36), sementara dengan pupuk kandang sapi dan

pupuk Azolla berkorelasi tidak nyata (-0,31ns dan -0,20ns). Rata-rata pH air yang

menggunakan inokulum Azolla lebih rendah dari pada yang tidak menggunakan

(Tabel 38), yang menunjukkan bahwa inokulum Azolla dapat menurunkan pH air.

Hasil ini sama dengan yang diperoleh pada percobaan rumah kaca. Rata-rata

kandungan NO2- dan NO3- yang lebih tinggi pada perlakuan inokulum Azolla

berkaitan langsung dengan menurunnya pH air, yaitu selama terjadi oksidasi NH 4+

menjadi NO2- dan NO3- menghasilkan ion H+, dengan demikian pH air akan

menurun.

Eh tidak berbeda nyata antar perlakuan rata-rata -76,76 mV. Hasil ini

berbeda dengan hasil percobaan di rumah kaca yang menghasilkan rata-rata Eh

jauh lebih rendah yaitu -141,08 mV (Tabel 18), penggenangan yang lebih

sempurna pada percobaan rumah kaca mendorong terbentuknya lingkungan


140

semakin reduktif (Eh rendah). Terjadinya aerasi dan drainase yang disebabkan

oleh sirkulasi air genangan pada lahan menyebabkan tanah tidak dapat mencapai

kondisi maksimal reduktif, sehingga Eh tanah tidak dapat mencapai titik terendah.

Rata-rata Eh -76,76 mV namun demikian masih merupakan kondisi yang

berpotensi untuk pembentukan CH4 (Hou et al., 2000). Oksigen terlarut (DO)

tanah tidak berbeda nyata antar perlakuan. Hasil ini sama dengan yang diperoleh

pada percobaan rumah kaca. Genangan akan mengusir oksigen di dalam tanah dan

memotong difusi udara ke dalam tanah.

Oksigen terlarut (DO) air berbeda sangat nyata (Tabel 34), dan berkorelasi

negatif sangat nyata dengan inokulum Azolla (-0,81**), sementara dengan pupuk

kandang sapi dan pupuk Azolla berkorelasi tidak nyata (-0,09ns dan -0,18ns) (Tabel

36). Rata-rata DO air yang menggunakan inokulum Azolla lebih rendah dari pada

yang tidak menggunakan (Tabel 38), yang menunjukkan inokulum Azolla

menurunkan DO air. Hasil ini demikian juga sama yang diperoleh pada percobaan

rumah kaca, peningkatan aktivitas mikrobia air mengoksidasi NH4+ menjadi NO2-

dan NO3- menyebabkan penurunan DO air.

Kandungan NO2-, NO3- dan NH4+ air berbeda nyata, dan ketiganya

berkorelasi nyata dengan inokulum Azolla (0,59**, 0,54** dan 0,79**), sementara

dengan pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla berkorelasi tidak nyata (0,12ns,

0,17ns dan 0,02ns; -0,01ns, 0,12ns dan -0,05ns) (Tabel 36). Rata-rata NO2-, NO3- dan

NH4+ air menunjukkan kesesuaian dengan hasil percobaan rumah kaca, bahwa

inokulum Azolla meningkatkan NO2-, NO3- dan NH4+ air (Tabel 38).
141

Tabel 34. Sifat tanah dan air (rata-rata pada umur 35, 68 dan 96 HST) padi sawah organik pada percobaan lapangan
Suhu (0C) pH Eh (mV) DO (mg L-1) NO2- (mg N L-1) NO3- (mg N L-1) NH4+ (mg N L-1) CBM (mg L-1)
No. Perlakuan
Tanah Air Tanah Air Tanah Tanah Air Tanah Air Tanah Air Tanah Air Tanah Air
A. Kontrol 29,29a 29,22a 6,50a 7,54c -90,00a 1,23a 5,31b 0,09a 0,11a 1,32a 2,35a 23,30a 3,62a 376,68a 58,16a
B. PKS 8 28,20a 28,43a 6,43a 7,47c -77,22a 1,20a 5,20b 0,10a 0,12a 2,31a 3,44ab 31,74cd 3,67a 445,16a 55,18a
C. PA 5 29,22a 29,34a 6,41a 7,48c -85,56a 1,15a 4,65b 0,07a 0,11a 1,66a 3,39ab 28,49bc 3,53a 424,00a 68,78a
D. IA 4 29,26a 28,87a 6,42a 7,43bc -69,72a 1,42a 3,04a 0,08a 0,16ab 1,84a 3,70ab 26,49ab 5,37b 397,12a 101,15b
E. PKS 4 + PA 2,5 28,89a 29,13a 6,38a 7,53c -86,67a 1,48a 4,68b 0,11a 0,12a 1,31a 3,46ab 28,70bc 3,12a 402,17a 63,49a
F. PKS 4 + IA 2 28,59a 28,68a 6,42a 7,28ab -71,94a 1,04a 2,73a 0,10a 0,17b 1,68a 5,30b 28,95bc 5,09b 434,45a 100,97b
G. PA 2,5 + IA 2 28,57a 28,58a 6,39a 7,37abc -66,11a 0,82a 3,05a 0,14a 0,15ab 1,84a 4,89b 28,42bc 4,91b 417,94a 111,34b
H. PKS 2,67 + PA 1,67 + IA 1,33 28,94a 29,13a 6,39a 7,37abc -75,83a 1,39a 3,01a 0,11a 0,15ab 1,56a 5,28b 30,51bcd 4,95b 427,67a 107,33b
I. PKS 8 + PA 5 + IA 4 27,58a 27,83a 6,51a 7,20a -67,78a 1,10a 2,35a 0,11a 0,16ab 1,93a 5,15b 34,30d 5,27b 451,16a 106,35b
Rata-Rata 28,73 28,80 6,43 7,41 -76,76 1,20 3,78 0,10 0,14 1,72 4,11 28,99 4,39 419,59 85,86
-1 -1
CBM = C biomassa mikrobia, Satuan mg L (air) = mg kg (tanah) = ppm
Angka pada kolom sama diikuti notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%
142

C biomassa mikrobia tanah tidak berbeda nyata antar perlakuan (Tabel

34). Lingkungan tanah seperti suhu, pH, Eh, oksigen terlarut, NO2- dan NO3- yang

tidak berbeda nyata menyebabkan C biomassa mikrobia tersebut juga tidak

berbeda nyata (Anderson and Joergensen, 1997; Nieder and Benbi, 2008; Piao et

al., 2001; Curtin et al., 2012). Kandungan C-organik tanah akhir diduga kuat juga

mempengaruhi C biomassa mikrobia tanah, karena secara umum keduanya

berkorelasi positif sangat nyata (0,61**). Kandungan C-organik tanah akhir (Tabel

31 dan 32) pada semua perlakuan mempunyai kisaran nilai yang sempit antara

1,81 – 2,11% yang berdampak C biomassa mikrobia tanah tidak berbeda nyata.

Tabel 35. Methanogen dan methanotrof (rata-rata 35, 68 dan 96 HST),


emisi 35, 68 dan 96 HST, dan emisi 1 MT oleh padi sawah organik
pada percobaan lapangan

Emisi CH4 Emisi


MG MT
No. Perlakuan (mg CH4 (mg CH4 (mg CH4 m-2 hari-1) (kg CH4
kg-1 tanah) kg-1 tanah) 35 HST 68 HST 96 HST ha-1)
A Kontrol 47,32a 33,64a 30,57bc 54,81b 54,70b 46,85b
B PKS 8 50,39a 38,37a 36,10c 76,90d 73,15c 63,29c
C PA 5 41,21a 28,71a 35,76c 69,25cd 62,61bc 56,52c
D IA 4 41,51a 33,49a 17,67a 26,62a 24,78a 22,69a
E PKS 4 + PA 2,5 50,43a 33,74a 50,75d 62,05bc 58,03b 54,74bc
F PKS 4 + IA 2 42,90a 33,21a 19,26a 33,98a 29,12a 27,52a
G PA 2,5 + IA 2 43,75a 32,94a 20,51ab 29,74a 24,60a 24,47a
H PKS 2,67 + PA 1,67 + IA 1,33 41,45a 29,15a 20,64ab 30,34a 26,99a 25,54a
I PKS 8 + PA 5 + IA 4 41,31a 33,53a 24,56ab 37,08a 29,98a 30,10a
Rata-Rata 44,47 32,97 28,24 46,75 42,66 39,08
MG = methanogen, MT = methanotrof
Angka pada kolom sama diikuti notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%
143

C biomassa mikrobia air berbeda nyata (Tabel 34), dan berkorelasi nyata

dengan inokulum Azolla (0,71**), sementara dengan pupuk kandang sapi dan

pupuk Azolla berkorelasi tidak nyata (-0,07ns dan 0,14ns) (Tabel 36). Hasil C

biomassa mikrobia air menunjukkan kesamaan dengan hasil percobaan rumah

kaca, bahwa inokulum Azolla meningkatkan C biomassa mikrobia air (Tabel 38).

Pelepasan O2 dan NH4+ oleh inokulum Azolla diduga kuat sebagai faktor yang

mendorong meningkatnya jumlah mikrobia di dalam air.

Methanogen dan methanotrof tidak berbeda nyata, yang menunjukkan

perlakuan tidak berpengaruh terhadap parameter tersebut (Tabel 35). Methanogen

dan methanotrof berkorelasi sangat nyata (0,70**) (Tabel 36), yang berarti kedua

kelompok mikrobia ini sangat berkaitan satu sama lain dalam melakukan

aktivitasnya, sama seperti yang diperoleh pada percobaan rumah kaca.

Pembentukan CH4 oleh methanogen akan diikuti aktivitas methanotrof untuk

mengoksidasinya (Joulian et al., 1997; Brzezińska et al., 2012).

Sifat tanah, air dan tanaman tidak ada yang berkorelasi nyata dengan

methanogen dan methanotrof (Tabel 36). Methanogen namun demikian cenderung

berkorelasi negatif dengan Eh (c = -0,36; P-value = 0,07). Penurunan Eh

cenderung meningkatkan aktivitas methanogen (Hou et al., 2000; Li, 2007).

Emisi CH4 harian (Tabel 35 dan Gambar 30) selama 1 musim tanam

rendah pada awal pertumbuhan sampai pada tahap pertumbuhan anakan

(pengamatan 35 HST), kemudian mengalami puncak tertinggi pada saat anakan

maksimum sampai pengisian malai (pengamatan 68 HST), dan setelah itu agak

menurun kembali pada tahap pengisian malai sampai panen (pengamatan 96

HST). Hal ini menunjukkan bahwa besarnya emisi CH4 sebanding dengan tingkat
144

pertumbuhan tanaman, yang ditunjukkan pola emisi (Gambar 30) ada kemiripan

dengan pola pertumbuhan jumlah anakan (Gambar 29).

Gambar 30. Rata-rata emisi harian. Umur 35 HST 28,24 mg CH4 m-2
hari-1, 68 HST puncak 46,75 mg CH4 m-2 hari-1 dan
96 HST menurun menjadi 42,66 mg CH4 m-2 hari-1.
Emisi sebanding dengan tingkat pertumbuhan tanaman.

Methanogen berkorelasi tidak nyata dengan emisi (C = 0,33; P = 0,09)

(Tabel 36). Beberapa hal yang dapat menjelaskan korelasi ini adalah: (1) Korelasi

ini walaupun masih lemah (P = 0,09) menunjukkan ada kecenderungan setiap

peningkatan methanogen akan meningkatkan emisi. Peningkatan produksi CH4

oleh aktivitas methanogen akan meningkatkan peluang CH4 yang dapat

diemisikan ke atmosfer, dan (2) Methanogen berkorelasi sangat nyata positif

dengan methanotrof (0,70**) (Tabel 36), pembentukan CH4 oleh methanogen akan

diikuti aktivitas methanotrof untuk mengoksidasinya, sehingga memperkecil

peluang CH4 untuk dapat diemisikan. Emisi dengan demikian tidak dapat

ditentukan hanya oleh korelasinya dengan aktivitas methanogen (Liu et al., 2011).
145

Tabel 36. Korelasi emisi dengan parameter terpilih sistem padi sawah organik pada percobaan lapangan
PKS PA IA Emisi MG MT pH A Eh DO A NO2-A NO3-A NH4+A CBM A AT AP TT BSB BGM 1000
Emisi 0,23ns 0,08ns -0,78**
MG 0,13ns -0,16ns -0,27ns 0,33ns
MT 0,32ns -0,29ns -0,01ns 0,16ns 0,70**
pH Air -0,31ns -0,20ns -0,52** 0,51** 0,19ns 0,00ns
Eh 0,11ns 0,01ns 0,45* -0,45* -0,36ns -0,30ns -0,37ns
OD A -0,09ns -0,18ns -0,81** 0,82** 0,27 ns 0,17 ns 0,63** -0,35ns
NO2-A 0,12ns -0,01ns 0,59** -0,60** -0,15ns -0,07ns -0,44* 0,29ns -0,73**
NO3-A 0,17ns 0,12ns 0,54** -0,62** -0,07ns 0,02ns -0,66** 0,36ns -0,64** 0,68**
NH4+A 0,02ns -0,05ns 0,79** -0,82** -0,34ns -0,01ns -0,54** 0,38ns -0,75** 0,57** 0,69**
CBM A -0,07ns 0,14ns 0,71** -0,84** -0,25ns 0,02ns -0,54* 0,32ns -0,78** 0,61** 0,71** 0,82**
AT 0,09ns -0,17ns 0,10ns -0,00ns 0,52** 0,29ns 0,08ns 0,20ns -0,05ns 0,08ns 0,07ns -0,14ns -0,13ns
AP 0,03ns -0,23ns -0,02ns 0,02ns 0,44* 0,10ns 0,15ns 0,23ns -0,00ns 0,05ns 0,01ns -0,25ns -0,25ns 0,93**
TT 0,31ns 0,40* 0,13ns 0,01ns 0,15ns 0,05ns -0,40* 0,34ns -0,29ns 0,09ns 0,34ns 0,05ns 0,11ns 0,40* 0,35ns
BSB 0,47* 0,13ns 0,11ns -0,03ns 0,21ns 0,01ns -0,26ns 0,40* -0,31ns 0,25ns 0,41* 0,04ns 0,05ns 0,65** 0,35ns 0,71**
BGM 0,45* 0,35ns 0,18ns -0,09ns -0,19ns -0,07ns -0,50* 0,09ns -0,39* 0,17ns 0,48* 0,34ns 0,31ns -0,30ns -0,29ns 0,50** 0,39*
1000 -0,01ns 0,19ns -0,03 ns -0,09 ns -0,06ns -0,15 ns -0,49* 0,09ns -0,39* 0,16ns 0,32ns 0,22ns 0,20ns -0,31ns -0,29ns 0,50* 0,39* 0,67**
GKP 0,51** 0,33ns 0,07ns 0,08ns 0,07ns -0,16ns -0,28ns 0,39* -0,25ns 0,27ns 0,42* 0,03ns 0,04ns 0,29ns 0,31ns 0,68** 0,79** 0,61** 0,48*
Notasi ns = tidak nyata, * = nyata, ** = sangat nyata. PKS = pupuk kandang sapi, PA = pupuk Azolla, IA = inokulum Azolla, MG = methanogen, MT =
methanotrof, pH A = pH air, Eh = potensial redoks, DO A = oksigen terlarut dalam air, NO2- A = NO2- air, NO3- A = NO3- air, NH4+ A = NH4+ air, CBM A = C
biomassa air, AT = anakan total, AP = anakan produktif, TT = tinggi tanaman, BSB = berat segar brangkasan (tajuk), BGM = berat gabah per malai, 1000 =
berat 1.000 biji, GKP = gabah kering panen.
146

Emisi CH4 selama satu musim tanam berbeda sangat nyata antar perlakuan

(Tabel 35). Pupuk kandang sapi 8 ton ha-1, pupuk Azolla 5 ton ha-1, dan pupuk

kandang sapi 4 ton ha-1 + pupuk Azolla 2,5 ton ha-1 menghasilkan emisi yang

lebih tinggi dari pada kontrol (Tabel 35), yang menunjukkan pemberian pupuk

organik berupa pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla merupakan sumber C untuk

pembentukan CH4 pada tanah sawah (Schutz et al., 1990; Le Mer and Roger,

2001; Nieder and Benbi, 2008).

Emisi oleh pupuk kandang sapi 8 ton ha-1 (63,29 kg CH4 ha-1) walaupun

secara nilai angka lebih tinggi, tetapi berbeda tidak nyata dengan emisi oleh pupuk

Azolla 5 ton ha-1 (56,52 kg CH4 ha-1) (Tabel 35). Perbedaan C/N rasio pupuk

kandang sapi (19,81) dan pupuk Azolla (9,94) (Lampiran 35) yang digunakan

diduga belum nyata mempengaruhi perbedaan emisi seperti disampaikan oleh

Agnihotri et al. (1998) dan Joulian et al. (1996).

Tabel 37. Rata-rata emisi oleh padi sawah organik pada perlakuan pupuk kandang
sapi dan pupuk Azolla hasil percobaan lapangan

PKS Emisi PA Emisi


(ton ha-1) (kg CH4 ha-1) (ton ha-1) (kg CH4 ha-1)
0 37,63a 0 40,09a
2,67 25,54a 1,67 25,54a
4 41,13a 2,5 39,60a
8 46,70a 5 43,31a
1) 2)
Rerata 40,24 Rerata 38,27
PKS = pupuk kandang sapi, PA = pupuk Azolla.
1)
rata-rata yang menggunakan pupuk kandang sapi, 2) rata-rata yang menggunakan pupuk Azolla.
Angka dalam kolom sama diikuti oleh notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%.

Emisi berkorelasi sangat nyata negatif (-0,45*) dengan potensial redoks

(Eh) (Tabel 36). Penurunan Eh akan meningkatkan emisi melalui pengaruhnya


147

memacu kondisi anaerobik yang sesuai untuk bakteri methanogen pembentuk

CH4. Emisi tidak nyata dipengaruhi oleh pupuk kandang sapi (0,23ns) dan pupuk

Azolla (0,08ns) (Tabel 36). Rata-rata emisi oleh perlakuan yang menggunakan

pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla tidak berbeda nyata dengan yang tidak

menggunakan pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla (Tabel 37).

Lemahnya pengaruh pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla ini disebabkan

karena lebih kuatnya pengaruh inokulum Azolla terhadap emisi. Setiap

penggunaan pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla yang dikombinasikan dengan

inokulum Azolla akan menghasilkan emisi yang lebih rendah. Penggunaan pupuk

kandang sapi 8 ton ha-1 + pupuk Azolla 5 ton ha-1 + inokulum Azolla 4 ton ha-1

menghasilkan emisi secara nyata lebih rendah dari pada pupuk kandang sapi 8 ton

ha-1 dan atau pupuk Azolla 5 ton ha-1 (Tabel 35).

Emisi berkorelasi sangat nyata negatif dengan inokulum Azolla (-0,78**)

(Tabel 36), yang menunjukkan inokulum Azolla sangat nyata menurunkan emisi.

Perlakuan yang menggunakan inokulum Azolla menghasilkan rata-rata emisi

secara nyata lebih rendah 52,91% dari pada yang tidak menggunakan (Tabel 38).

Tabel 38. Rata-rata sifat air terpilih dan emisi oleh sistem padi sawah organik pada
perlakuan inokulum Azolla hasil percobaan lapangan

Inokulum
OD NO2- NO3- NH4+ CBM Emisi
Azolla pH
(ton ha-1) (mg L-1) (mg L-1) (mg L-1) (mg L-1) (mg L-1) (kg CH4 ha-1)
0 7,50b 4,96b 0,12a 3,16a 3,49a 61,40a 55,35b
1,33 7,37ab 3,01a 0,15b 5,28b 4,95b 107,33b 25,54a
2 7,32a 2,89a 0,16b 5,09b 5,00b 106,15b 25,99a
4 7,31a 2,69a 0,16b 4,77b 5,32b 103,75b 26,39a
Rata-Rata*) 7,33 2,84 0,16 5,00 5,12 105,43 26,06
*)
Rata-rata perlakuan yang menggunakan inokulum Azolla
Angka pada kolom sama diikuti notasi huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%
148

Tabel 36 menunjukkan inokulum Azolla berkorelasi nyata dengan

kandungan NO2-, NO3- dan NH4+ air (0,71**, 0,70** dan 0,81**). Penurunan emisi

oleh peranan inokulum Azolla mempunyai kecenderungan yang sama dengan

hasil percobaan rumah kaca. Inokulum Azolla meningkatkan kandungan NO2-,

NO3- dan NH4+ dalam air. NO2- dan NO3- merupakan agen pengoksidasi CH4

dengan proses nitrite and nitrate methane oxidation, sehingga mengurangi CH4

yang dapat diemisikan ke atmosfer.

Emisi berkorelasi sangat nyata dengan pH air (0,51**) dan oksigen terlarut

(DO) air (0,81**), dan berkorelasi negatif sangat nyata dengan C biomassa

mikrobia air (-0,84**) (Tabel 36), hal ini disebabkan dampak dari penggunaan

inokulum Azolla yang mampu menurunkan emisi, pH air dan DO air, dan

meningkatkan C biomassa mikrobia air.

4. Alternatif Pilihan Rekomendasi

Pilihan rekomendasi didasarkan pada perlakuan yang meningkatkan

produktivitas tanaman dan kesuburan tanah, dan menurunkan emisi CH4. Status

kesuburan tanah subur semua yang sama dengan tanah awal. GKP berkorelasi

tidak nyata dengan emisi, peningkatan GKP tidak diikuti peningkatan emisi. GKP

tinggi dan emisi rendah dengan demikian menjadi pertimbangan utama

menentukan pilihan. Emisi CH4 walaupun semua masih di bawah nilai ambang

100 kg CH4 ha-1, tetapi pemilihan tetap menggunakan kriteria emisi rendah yang

bertujuan untuk menurunkan emisi serendah-rendahnya.

Kontrol tidak dapat menjadi pilihan karena GKP rendah dan emisi tinggi

(Tabel 39). Pupuk kandang sapi 8 ton ha-1, yang merupakan kebiasaan petani,
149

walaupun GKP tinggi, tetapi emisinya tinggi, sehingga tidak dapat menjadi

pilihan. Emisi oleh pupuk kandang sapi 8 ton ha-1 sebesar 63,29 kg CH4 ha-1

merupakan emisi yang paling mendekati nilai ambang 100 kg CH4 ha-1.

Tabel 39. GKP, status kesuburan tanah akhir dan emisi CH4 oleh sistem padi
sawah organik hasil percobaan lapangan

GKP Status Emisi


No. Perlakuan
(ton ha-1) Kesuburan Tanah (kg CH4 ha-1)
A. Kontrol 7,29a Subur 46,85b
B. PKS 8 9,83bc Subur 63,29c
C. PA 5 9,26bc Subur 56,52c
D. IA 4 8,09ab Subur 22,69a
E. PKS 4 + PA 2,5 9,40bc Subur 54,74bc
F. PKS 4 + IA 2 9,57bc Subur 27,52a
G. PA 2,5 + IA 2 9,16bc Subur 24,47a
H. PKS 2,67 + PA 1,67 + IA 1,33 9,51bc Subur 25,54a
I. PKS 8 + PA 5 + IA 4 10,18c Subur 30,10a
Rata-Rata 9,14 Subur 39,08
Angka pada kolom sama diikuti notasi huruf sama tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Pupuk Azolla 5 ton ha-1 sama dengan pupuk kandang sapi 4 ton ha-1 +

pupuk Azolla 2,5 ton ha-1, keduanya tidak dapat menjadi pilihan, walaupun GKP

tinggi, tetapi emisinya tinggi. Inokulum Azolla 4 ton ha-1 juga tidak dapat sebagai

pilihan, GKP masih rendah, walaupun emisinya rendah. Pupuk Azolla 2,5 ton ha-1

+ inokulum Azolla 2 ton ha-1 tidak dapat sebagai pilihan, GKP hanya sedikit di

atas rata-rata, walaupun emisinya sudah rendah.

Pupuk kandang sapi 8 ton ha-1 + pupuk Azolla 5 ton ha-1 + inokulum

Azolla 4 ton ha-1 secara teknis dapat menjadi pilihan, karena GKP termasuk
150

tinggi, kesuburan tanah subur dan emisinya rendah. Perlakuan tersebut namun

demikian harus dipertimbangkan lagi untuk menjadi pilihan dari sisi ekonomis,

mengingat perlakuan ini merupakan dosis melebihi batas optimum yang

berdampak kepada input produksi tinggi dan tidak diimbangi dengan kenaikan

hasil GKP yang nyata.

Pupuk kandang sapi 4 ton ha-1 + inokulum Azolla 2 ton ha-1, pupuk Azolla

2,5 ton ha-1 + inokulum Azolla 2 ton ha-1, dan pupuk kandang sapi 2,67 ton ha-1 +

pupuk Azolla 1,67 ton ha-1 + inokulum Azolla 1,33 ton ha-1 merupakan perlakuan

potensial menjadi pilihan. Ketiga perlakuan mampu menghasilkan GKP tinggi dan

tidak berbeda nyata dengan GKP tertinggi. Status kesuburan tanah termasuk

subur. Ketiga perlakuan juga mampu menurunkan emisi dan berbeda sangat nyata

dengan emisi yang lebih tinggi. Hasil pilihan ini sama dengan yang diperoleh

pada percobaan rumah kaca.


151

D. Pembahasan Umum

Sebagian besar horison tanah pada lahan sawah organik, semi organik,

konvensional dan hutan jati termasuk ke dalam kategori mirip dengan tingkat

pelapukan sedang, yang menunjukkan bahwa proses pelapukan telah berjalan

cukup intensif. Fraksi debu mulai berubah menjadi fraksi lebih halus klei. Mineral

klei mulai terjadi perubahan dominasi dari tipe 2 : 1 menjadi 1 : 1, bahkan sudah

ada yang terbentuk goethit (Fe2O3.H2O) (Lampiran 11, 18, 25 dan 32). Fe bebas

(oksida dan hidrous oksida) juga mulai mendominasi dari Fe total, lebih dari 50%

dari Fe total adalah Fe bebas (Lampiran 10, 17, 24 dan 31).

Pengelolaan lahan padi sawah organik telah nyata menyebabkan

perubahan sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Perbedaan sifat tanah yang nyata

adalah meningkatnya kandungan C-organik tanah. Penggunaan pupuk organik

berupa pupuk kandang sapi sapi sejak tahun 2001 sampai sekarang, dengan rata-

rata penggunaan 6 ton ha-1, diduga kuat merupakan faktor yang menyebabkan

kandungan C-organik lebih tinggi dari pada lahan sawah di sekitarnya yang

dikelola dengan semi organik dan konvensional.

Kandungan C-organik yang tinggi pada lahan padi sawah organik tidak

hanya sebatas pada lapisan olah horison A, tetapi juga pada horison B tepat di

bawahnya. Kandungan C-organik pada horison I (A) 2,09% dan horison II (B)

2,00% (Lampiran 9), lebih tinggi dari pada semua horison tanah di lahan sawah

semi organik, konvensional dan kontrol hutan jati.

Kandungan C-organik yang tinggi menyebabkan perubahan terhadap sifat

fisik dan biologi tanah. Gambar 17 menunjukkan perbedaan yang nyata pada
152

horison II antara tanah sawah organik dan semi organik. Kandungan C-organik

horison II pada sawah organik 2,00% (sedang) dan semi organik 1,65% (rendah).

Perbedaan ini berdampak kepada karakteristik (sifat fisik) tanah, yaitu warna

matriks dan konsentrasi massa humus.

Horison II pada sawah organik juga nyata sebagai iluviasi (pengendapan)

klei. Kandungan klei pada horison ini sebesar 40,16%, sementara di horison I

sebesar 24,56% (Lampiran 8). Asam-asam organik meningkatkan dispersi klei,

sehingga lebih mudah terlindi ke horison di bawahnya. Horison ini secara

taksonomi selain memenuhi syarat sebagai endopedon argilik, juga memenuhi

syarat sebagai endopedon sombrik (Lampiran 12).

Sifat biologi tanah yang berbeda pada lahan sawah organik dibandingkan

dengan sawah semi organik dan konvensional adalah kandungan C dan N

biomassa mikrobia, khususnya pada horison I dan II. Kandungan C dan N

biomassa mikrobia pada lahan sawah organik lebih tinggi dari pada sawah semi

organik dan sawah konvensional (Tabel 5).

Potensi produksi CH4 pada tanah sawah organik lebih tinggi dari pada

tanah lainnya (Tabel 5). Sifat tanah yang mempengaruhi potensi produksi CH4

adalah kandungan C-organik tanah (0,80**), dan komponen bahan organik humat

(0,82**) dan fulvat (0,68**) (Tabel 6), semakin tinggi C-organik maka semakin

tinggi emisi CH4.

Kandungan C-organik juga berdampak kepada pola produksi CH4 yang

berbeda. Tanah dengan kandungan C-organik tinggi, seperti tanah pada horison I

dan II pada tanah sawah organik, produksi CH4 maksimum terjadi pada hari ke-20
153

setelah inkubasi (Gambar 18). Tanah dengan C-organik tinggi mempunyai

substrat C yang cukup untuk memproduksi CH4 dengan jumlah tinggi dan

terjadinya puncak produksi lebih lama.

Potensi emisi CH4 pada lahan sawah organik dapat memberikan petunjuk

awal apabila lahan digunakan untuk budidaya padi sawah organik, dengan

kandungan C-organik sudah tinggi dan ada lagi penambahan bahan (pupuk)

organik pada setiap musim tanam, akan menghasilkan emisi CH4 yang tinggi.

Lahan padi sawah organik oleh karena itu perlu mendapat perhatian bagaimana

pengelolaan lahan agar produktivitas lahan tetap terjaga, namun emisi CH4 dapat

diturunkan.

Percobaan rumah kaca dan dilanjutkan dengan percobaan lapangan dengan

penggunaan pupuk kandang sapi, pupuk Azolla, inokulum Azolla dan

kombinasinya sebagai usaha untuk memperoleh rekomendasi pengelolaan lahan

padi sawah organik, khususnya penggunaan Azolla, yang diharapkan dapat

memperbaiki sifat tanah, meningkatkan produktivitas tanaman dan menurunkan

emisi CH4.

Percobaan di rumah kaca dan lapangan memperoleh hasil yang cenderung

sama. Hasil gabah kering panen (GKP) berkorelasi nyata dengan tinggi tanaman,

anakan total, anakan produktif, berat segar brangkasan, berat gabah per malai,

berat 1.000 biji (Tabel 8 dan 25). Kecukupan unsur hara mendukung tanaman

dapat menyelengarakan proses fotosintesa lebih tinggi, dengan demikian dapat

menghasilkan tanaman yang tinggi, jumlah anakan banyak dan brangkasan besar,
154

sehingga akan menghasilkan gabah per malai dan berat biji gabah yang lebih

tinggi, dan berdampak kepada hasil gabah yang lebih tinggi pula.

GKP berbeda nyata antar perlakuan. Rata-rata GKP oleh perlakuan secara

nyata lebih tinggi dari pada kontrol. Rata-rata GKP pada percobaan rumah kaca

(6,82 ton ha-1) (Tabel 8) lebih rendah dari pada percobaan lapangan (9,41 ton ha-1)

(Tabel 25). Rata-rata berat gabah per malai dan berat 1.000 biji pada percobaan

rumah kaca 1,89 gram dan 25,56 gram (Tabel 8), lebih rendah dari pada

percobaan lapangan 2,83 gram dan 27,48 gram (Tabel 25). Kondisi lingkungan

untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman di media pot rumah kaca diduga

kurang optimal dari pada di lapangan, sehingga berat gabah per malai dan berat

1.000 biji lebih rendah, dan berdampak juga terhadap GKP lebih rendah.

Pengaruh pupuk kandang sapi, pupuk Azolla dan inokulum Azolla

terhadap GKP mempunyai kecenderungan yang sama antara percobaan rumah

kaca dan lapangan. GKP pada perlakuan yang menggunakan pupuk kandang sapi

lebih tinggi dari pada yang tidak menggunakan (Tabel 8 dan 25). GKP pada

perlakuan yang menggunakan pupuk kandang sapi pada percobaan lapangan

14,77% lebih tinggi dari pada yang tidak menggunakan. Pupuk kandang sapi dan

GKP berkorelasi nyata (Tabel 25 dan 40), yang menunjukkan penggunaan pupuk

kandang sapi meningkatkan GKP.

Pupuk kandang sapi berkorelasi sangat nyata dengan NH4+ tanah (Tabel 9

dan 26), dan pada percobaan rumah kaca juga berkorelasi sangat nyata dengan

NO3- tanah (Tabel 9). NH4+ pada perlakuan yang menggunakan pupuk kandang

sapi lebih tinggi dari pada yang tidak menggunakan (Tabel 10 dan 27), dan pada
155

percobaan rumah kaca NO3- pada perlakuan yang menggunakan pupuk kandang

sapi juga lebih tinggi dari pada yang tidak menggunakan (Tabel 10). GKP

berkorelasi sangat nyata dengan NH4+ (Tabel 9 dan 26). Korelasi tersebut

menunjukkan penggunaan pupuk kandang sapi meningkatkan kandungan NH4+

tanah, yang berdampak meningkatkan GKP. Pupuk kandang sapi mempunyai

kecenderungan berpengaruh terhadap peningkatan NO3- (Tabel 9), dan kemudian

berdampak terhadap peningkatan GKP. Kecenderungan tersebut pada percobaan

rumah kaca lebih kuat dari pada percobaan lapangan.

GKP pada perlakuan yang menggunakan pupuk Azolla lebih tinggi dari

pada yang tidak menggunakan (Tabel 8 dan 25). GKP pada perlakuan yang

menggunakan pupuk Azolla pada percobaan lapangan 9,24% lebih tinggi dari

pada yang tidak menggunakan. Pupuk Azolla berkorelasi nyata dengan NH4+

tanah (Tabel 9 dan 26). NH4+ pada perlakuan yang menggunakan pupuk Azolla

ada kecenderungan lebih tinggi dari pada yang tidak menggunakan (Tabel 10 dan

27). Penggunaan pupuk Azolla dengan demikian juga meningkatkan kandungan

NH4+ tanah yang berdampak meningkatkan GKP. Pengaruh pupuk Azolla ini lebih

lemah dibandingkan dengan pupuk kandang sapi. Pupuk Azolla pada percobaan

rumah kaca mempunyai kecenderungan berpengaruh terhadap peningkatan NO 3-

(Tabel 10), dan kemudian berdampak terhadap peningkatan GKP.

Pengaruh pupuk Azolla terhadap GKP yang lebih lemah dari pada pupuk

kandang sapi disebabkan penggunaan pupuk Azolla 5 ton ha-1 pada percobaan

rumah kaca justru menghasilkan GKP lebih rendah dari pada kontrol, yang diduga

disebabkan pengaruh penghambatan NO2- pada awal pertumbuhan seperti telah


156

dijelaskan sebelumnya. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman pada

penggunaan pupuk Azolla 5 ton ha-1 pada percobaan lapangan tidak menunjukkan

gejala seperti pada percobaan rumah kaca.

Perbedaan kandungan NO3- tanah oleh perlakuan pupuk kandang sapi dan

pupuk Azolla, serta pengaruhnya terhadap GKP pada percobaan rumah kaca dan

lapangan diduga disebabkan kondisi media tanam yang berbeda di antara

keduanya. Media tanam di rumah kaca tidak memungkinkan NO3- terlindi

bersama aliran air ke luar media, sementara kondisi di lapangan memungkinkan

NO3- terlindi bersama aliran air. Rata-rata NO3- tanah di rumah kaca 2,61 ppm

(Tabel 18), lebih tinggi dari pada di lapangan 1,72 ppm (Tabel 34). NO3- tanah di

rumah kaca berbeda nyata antar perlakuan, sementara di lapangan tidak berbeda

nyata. Pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla di lapangan diduga sebenarnya juga

meningkatkan NO3-, tetapi karena terlindi menyebabkan tidak berbeda nyata

dengan kontrol.

Inokulum Azolla berkorelasi tidak nyata dengan GKP, dan juga tidak ada

korelasi melalui parameter lain terhadap GKP, yang menunjukkan inokulum

Azolla tidak berpengaruh terhadap GKP. Inokulum Azolla tidak nyata

meningkatkan kandungan NH4+ dan NO3- tanah, sehingga berdampak tidak nyata

meningkatkan GKP. Hasil ini berbeda dengan yang telah disampaikan oleh

Bharati et al. (2000), bahwa pemberian inokulum Azolla 1 ton ha-1 selama 30 hari

(saat tanaman padi masa puncak pertumbuhan vegetatif) dapat menyumbang 30

kg N ha-1, yang diharapkan dapat meningkatkan GKP.


157

Pupuk Azolla, pupuk kandang sapi + pupuk Azolla, pupuk kandang sapi +

inokulum Azolla, pupuk Azolla + inokulum Azolla, dan pupuk kandang sapi +

pupuk Azolla + inokulum Azolla pada percobaan lapangan menghasilkan GKP

yang tidak berbeda nyata dengan pupuk kandang sapi 8 ton ha-1 (Tabel 25). Hal

ini menunjukkan bahwa penggunaan Azolla, sebagai pupuk (dibenamkan) dan

inokulum (ditumbuhkan bersama tanaman padi), yang juga dapat dikombinasikan

dengan pupuk kandang sapi, dapat menghasilkan GKP yang menyamai kebiasaan

petani di lokasi penelitian (pupuk kandang sapi 8 ton ha-1).

Kandungan C, N, P, dan K pada bagian akar, tajuk dan gabah pada

percobaan rumah kaca hampir sama dengan yang diperoleh pada percobaan

lapangan (Tabel 11 dan 28). C paling banyak terdapat dalam tajuk, N paling

banyak terdapat dalam gabah, P paling banyak dalam akar, dan K paling banyak

dalam tajuk. Unsur C secara umum merupakan bagian terbesar penyusun jaringan

hidup termasuk tanaman. Rata-rata lebih dari 50% penyusun tubuh tanaman (akar,

tajuk dan gabah) terdiri atas unsur C. Rata-rata kandungan C pada akar, tajuk dan

gabah pada percobaan rumah kaca 55,06% (Tabel 11), sementara itu pada

percobaan lapangan sebesar 53,31% (Tabel 28).

Kandungan N tertinggi pada bagian gabah, yang menunjukkan hara N

lebih banyak terakumulasi pada gabah. Secara umum gabah (beras) mengandung

protein yang lebih tinggi dari pada bagian akar dan tajuk. N adalah salah satu

komponen utama penyusun protein. Protein tersusun atas asam amino yang

mengandung N dalam bentuk senyawa amina (-NH2). Kandungan P tertinggi pada

akar. P adalah bagian dari senyawa pembawa energi dan selalu terkait dengan
158

pertumbuhan akar tanaman. P memacu pertumbuhan akar, khususnya akar

benih/tanaman muda. Kandungan K tertinggi pada tajuk, yang menunjukkan

unsur K merupakan komponen utama dalam penyusunan vigor tanaman.

Pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla pada percobaan rumah kaca

berpengaruh tidak langsung terhadap serapan hara C, N, P dan K pada tajuk dan

akar, sementara itu pada percobaan lapangan berpengaruh tidak langsung terhadap

serapan hara C, N, P dan K hanya pada tajuk. Inokulum Azolla pada percobaan

rumah kaca dan lapangan tidak berpengaruh terhadap serapan hara C, N, P dan K

pada tajuk dan akar.

Pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla pada percobaan rumah kaca

meningkatkan kandungan NH4+ dan NO3- tanah, yang berdampak meningkatnya

serapan N pada tajuk dan akar. NH4+ tanah berkorelasi nyata dengan serapan N

pada tajuk (0,40*) (Tabel 13). NH4+ tanah walaupun berkorelasi tidak nyata

dengan serapan N pada akar (0,37ns), tetapi ada kecenderungan peningkatan NH4+

tanah meningkatkan serapan N pada akar. NO3- tanah demikian juga berkorelasi

nyata dengan serapan N pada tajuk (0,42*), tetapi berkorelasi tidak nyata dengan

serapan N pada akar (0,16ns).

Pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla pada percobaan lapangan

meningkatkan kandungan NH4+ tanah, yang kemudian berdampak meningkatkan

serapan N pada tajuk. NH4+ tanah berkorelasi nyata dengan serapan N pada tajuk

(0,38*) (Tabel 30). Peningkatan serapan N pada tajuk berdampak meningkatkan

serapan hara yang lain seperti C, P dan K pada tajuk. Serapan N pada tajuk

berkorelasi sangat nyata dengan serapan C, P dan K pada tajuk (Tabel 30).
159

Korelasi tersebut menunjukkan bahwa metabolisme N dalam tanaman akan diikuti

dengan metabolisme hara yang lain seperti C, P dan K, dan berdampak kepada

peningkatan hasil GKP. GKP berkorelasi nyata dan sangat nyata dengan serapan

C, N, P dan K pada tajuk.

Sifat tanah awal dan akhir tidak ada perubahan yang nyata, baik pada

percobaan rumah kaca maupun lapangan. Rata-rata sifat tanah setelah perlakuan

tidak berbeda dengan sifat tanah awal (Tabel 14, 15 dan 31). Status kesuburan

tanah akhir pada semua perlakuan sama yaitu tergolong subur (Tabel 16 dan 32).

Waktu percobaan yang relatif pendek hanya 1 musim tanam diduga belum

memberikan dampak perubahan yang nyata terhadap sifat tanah. Beberapa sifat

tanah akhir oleh penggunaan pupuk kandang sapi, pupuk azolla, inokulum azolla

dan kombinasinya relatif lebih tinggi dari pada kontrol, yang menunjukkan bahwa

perlakuan berpengaruh lebih baik terhadap sifat tanah. Perlakuan kontrol

walaupun menurunkan beberapa sifat tanah dan GKG, tetapi belum sampai

menurunkan status kesuburan tanahnya.

Status kesuburan tanah berkorelasi tidak nyata dengan pupuk kandang

sapi, pupuk azolla dan inokulum azolla (Tabel 17 dan 33), yang menunjukkan

pupuk kandang sapi, pupuk Azolla dan inokulum Azolla tidak berpengaruh nyata

terhadap kesuburan tanah. Pupuk kandang sapi pada percobaan rumah kaca

berkorelasi sangat nyata dengan K2O tersedia (0,51**) dan berkorelasi nyata

dengan GKG (0,46*) (Tabel 17). Pupuk kandang sapi pada percobaan lapangan

berkorelasi sangat nyata dengan C-organik (0,70**) dan P2O5 tersedia (0,63**),

serta berkorelasi nyata dengan GKG (0,49*) (Tabel 33). Korelasi tersebut
160

menunjukkan walaupun pupuk kandang sapi meningkatkan C-organik, P2O5

tersedia, K2O tersedia dan GKG, tetapi belum berpengaruh meningkatkan status

kesuburan tanah.

Emisi CH4 berbeda nyata antar perlakuan, dan mempunyai kecenderungan

yang sama antara percobaan rumah kaca dan lapangan. Penggunaan pupuk

kandang sapi 8 ton ha-1 yang merupakan kebiasaan petani di lokasi penelitian,

menghasilkan emisi lebih tinggi dari pada rata-rata, baik pada percobaan rumah

kaca (Tabel 19) maupun lapangan (Tabel 35). Hasil ini memperlihatkan

kesesuaian dengan hasil penelitian pada tahap I (karakterisasi tanah dan lahan),

yang menyebutkan tanah sawah organik mempunyai emisi CH4 yang tinggi.

Emisi CH4 walaupun berbeda nyata antar perlakuan, tetapi semuanya

masih di bawah nilai ambang 100 kg CH4 ha-1. Penggunaan pupuk kandang sapi 8

ton ha-1 pada percobaan lapangan, yang merupakan kebiasaan petani di lokasi

penelitian, menghasilkan emisi paling tinggi sebesar 63,29 kg CH4 ha-1, tetapi

masih di bawah nilai ambang.

Rata-rata emisi pada percobaan lapangan 39,08 kg CH4 ha-1 (Tabel 35),

yang jauh lebih tinggi dari pada yang dihasilkan pada percobaan rumah kaca yang

hanya 7,84 kg CH4 ha-1 (Tabel 19). Hal tersebut dapat terjadi karena diduga rata-

rata oksigen terlarut dalam tanah dan air pada percobaan rumah kaca (Tabel 18)

lebih tinggi dari pada percobaan lapangan (Tabel 34). Oksigen terlarut

meningkatkan oksidasi CH4 (Bharati et al., 2000), sehingga akan mengurangi

peluang CH4 yang dapat diemisikan ke atmosfer. Rata-rata NO3- tanah pada

percobaan rumah kaca (Tabel 18) lebih tinggi dari pada percobaan lapangan
161

(Tabel 34). NO3- demikian juga meningkatkan oksidasi CH4. Bouwman (1990)

menambahkan bahwa NO3- memberikan efek toksik terhadap methanogen.

Dugaan berikutnya adalah karena pertumbuhan tanaman pada percobaan

rumah kaca lebih rendah dari pada lapangan, khususnya pada parameter berat

segar brangkasan (BSB). Rata-rata BSB pada percobaan rumah kaca (Tabel 8),

jauh lebih rendah dari pada percobaan lapangan (Tabel 25). Pertumbuhan tanaman

yang kurang baik pada percobaan rumah kaca dengan demikian akan menurunkan

fungsi tanaman sebagai perantara perjalanan CH4, sehingga CH4 yang berhasil

diemisikan juga lebih rendah.

Penggunaan media tanam juga diduga berpengaruh terhadap perbedaan

besarnya emisi pada percobaan rumah kaca dan lapangan. Media tanam pada

percobaan rumah kaca adalah tanah hanya pada lapisan olah, emisi yang

dihasilkan berasal dari proses di dalam tanah tersebut. Percobaan lapangan

sementara itu menggunakan media tanah langsung di lahan, emisi yang dihasilkan

tidak hanya berasal dari proses di dalam lapisan olah (horison A) saja, tetapi juga

mendapat sumbangan dari tanah di bawahnya (horison B). Produksi CH4 yang

tinggi pada horison B tepat di bawah horison A (Tabel 5) memberikan sumbangan

terhadap CH4 yang diemisikan.

Pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla tidak berpengaruh terhadap emisi

CH4. Pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla berkorelasi tidak nyata dengan emisi

(Tabel 20 dan 36). Emisi oleh perlakuan yang menggunakan pupuk kandang sapi

dan pupuk Azolla tidak berbeda nyata dengan yang tidak menggunakan pupuk

kandang sapi dan pupuk Azolla (Tabel 21 dan 37). Pupuk kandang sapi 8 ton ha-1,
162

pupuk Azolla 5 ton ha-1, dan pupuk kandang sapi 4 ton ha-1 + pupuk Azolla 2,5

ton ha-1 pada percobaan lapangan menghasilkan emisi lebih tinggi dari pada

kontrol (Tabel 35), yang menunjukkan pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla

merupakan sumber C untuk pembentukan CH4 (Schutz et al., 1990; Le Mer and

Roger, 2001; Nieder and Benbi, 2008).

Lemahnya pengaruh pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla tersebut

disebabkan lebih kuatnya pengaruh inokulum Azolla terhadap emisi. Setiap

penggunaan pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla yang dikombinasikan dengan

inokulum Azolla menghasilkan emisi yang rendah. Pupuk kandang sapi 8 ton ha-1

+ pupuk Azolla 5 ton ha-1 + inokulum Azolla 4 ton ha-1 pada percobaan lahan

menghasilkan emisi secara nyata lebih rendah dari pada hanya pupuk kandang

sapi 8 ton ha-1 atau hanya pupuk Azolla 5 ton ha-1 (Tabel 35).

Pupuk kandang sapi 8 ton ha-1 dan pupuk Azolla 5 ton ha-1, baik pada

percobaan rumah kaca maupun lapangan, menghasilkan emisi yang tidak berbeda

nyata (Tabel 19 dan 35). Perbedaan C/N rasio pupuk kandang sapi dan pupuk

Azolla (Lampiran 35) diduga belum nyata mempengaruhi perbedaan hasil emisi

seperti disampaikan oleh Agnihotri et al. (1998) dan Joulian et al. (1996).

Pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla namun demikian pada percobaan

rumah kaca berpengaruh tidak langsung terhadap emisi, melalui pengaruhnya

terhadap potensial redoks (Eh). Pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla berkorelasi

nyata negatif dengan Eh, dan emisi juga berkorelasi nyata negatif dengan Eh.

Korelasi tersebut menunjukkan penggunaan pupuk kandang sapi dan pupuk

Azolla menurunkan Eh, dan berdampak meningkatkan emisi.


163

Eh pada percobaan rumah kaca berbeda nyata antar perlakuan dengan rata-

rata -141,08 mV (Tabel 18). Eh pada percobaan lapangan sementara itu lebih

tinggi dari pada percobaan rumah kaca, dan tidak berbeda nyata antar perlakuan

dengan rata-rata -76,76 mV (Tabel 34). Penggenangan yang lebih sempurna pada

percobaan rumah kaca mendorong terbentuknya lingkungan semakin reduktif (Eh

rendah). Pemberian pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla menyumbang bahan

organik tanah yang berdampak terhadap penurunan Eh (van Rants, 1991). Eh pada

percobaan lapangan sementara itu dengan adanya aerasi dan drainase lebih lancar

oleh sirkulasi air genangan menyebabkan tanah tidak dapat mencapai kondisi

maksimal reduktif, sehingga Eh tidak dapat mencapai titik terendah.

Emisi CH4 sangat dipengaruhi oleh perlakuan inokulum Azolla, baik pada

percobaan rumah kaca maupun lapangan. Emisi berkorelasi sangat nyata negatif

dengan inokulum Azolla (Tabel 20 dan 36), yang menunjukkan inokulum Azolla

secara sangat nyata menurunkan emisi. Rata-rata emisi pada perlakuan yang

menggunakan inokulum Azolla lebih rendah dari pada yang tidak menggunakan

(Tabel 22 dan 38). Emisi pada perlakuan yang menggunakan inokulum Azolla

pada percobaan lapangan 52,91% lebih rendah dari pada yang tidak

menggunakan.

Inokulum Azolla berkorelasi positif sangat nyata dengan kandungan NO2-,

NO3- dan NH4+ air (Tabel 20 dan 36), yang menunjukkan inokulum Azolla

meningkatkan NO2-, NO3- dan NH4+ air. Azolla akan melepaskan N hasil

fiksasinya ke media tumbuh (air) dalam bentuk amonia (NH3) (Hamdi, 1982),
164

yang selanjutnya dalam media air berubah menjadi bentuk amonium (NH 4+).

Arifin (1996) menyebutkan hasil penyematan N langsung dalam bentuk NH4+.

NH4+ air kemudian teroksidasi melalui proses nitrifikasi menjadi NO2- dan

NO3- (Sanchez, 1976; Vance, 1996). NO2- dan NO3- inilah yang menurut

(Slonczewski, 2009; Ettwig et al., 2010) merupakan agen pengoksidasi CH4 yang

dikenal dengan proses nitrite and nitrate methane oxidation. Proses tersebut

dilakukan oleh konsorsium mikrobia kelompok archaea (Methanosarcinal) dan

bakteri methanotrof Candidatus Methylomirabolis oxyfera (M. oxyfera)

(Raghoebarsing et al., 2006). CH4 yang akan diemisikan melewati air genangan

dengan demikian teroksidasi oleh NO2- dan NO3-, sehingga mengurangi CH4 yang

berhasil diemisikan.

Inokulum Azolla pada penelitian ini sebenarnya juga diharapkan dapat

meningkatkan oksigen terlarut air (DO), yang kemudian berperan sebagai agen

pengoksidasi CH4 seperti yang disampaikan oleh Bharati et al. (2000). Inokulum

Azolla justru menurunkan DO air, kedua parameter berkorelasi nyata negatif

(Tabel 20 dan 36). Rata-rata DO air pada perlakuan yang menggunakan inokulum

Azolla lebih rendah dari pada yang tidak menggunakan (Tabel 22 dan 38).

Ada dugaan pada perlakuan yang menggunakan inokulum Azolla

sebenarnya meningkatkan DO air seperti yang disampaikan oleh Bharati et al.

(2000), Bennicelli et al. (2005) dan Liu et al. (2008), tetapi DO air ini kemudian

dikonsumsi oleh mikrobia untuk mengoksidasi NH4+ menjadi NO2- dan NO3-.

Korelasi C biomassa mikrobia air dengan DO air sangat nyata negatif (Tabel 20
165

dan 36), semakin memperkuat dugaan tersebut, yang berarti telah terjadi konsumsi

O2 oleh mikrobia air untuk aktivitas nitrifikasi (Vance, 1996).

Pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla meningkatkan hasil GKP,

sementara itu inokulum Azolla menurunkan emisi CH4. Pemilihan rekomendasi

pengelolaan lahan padi sawah organik untuk meningkatkan produktivitas lahan

dan menurunkan emisi CH4 oleh karena itu didasarkan dari penggunaan

kombinasi pupuk kandang sapi, pupuk Azolla dan inokulum Azolla tersebut.

Pupuk kandang sapi 8 ton ha-1 + pupuk Azolla 5 ton ha-1 + inokulum

Azolla 4 ton ha-1 secara teknis dapat menjadi pilihan, hasil GKP tinggi, status

kesuburan subur dan emisinya rendah (Tabel 23 dan 39). Pilihan tersebut namun

demikian harus dipertimbangkan lagi dari sisi ekonomis, mengingat perlakuan ini

merupakan dosis berlebih yang berdampak kepada input produksi tinggi yang

tidak diikuti kenaikan GKP yang nyata. Penggunaan tersebut pada percobaan

rumah kaca dan lapangan menghasilkan GKP tidak berbeda nyata dengan

beberapa perlakuan lainnya.

Pupuk kandang sapi 4 ton ha-1 + inokulum Azolla 2 ton ha-1, pupuk Azolla

2,5 ton ha-1 + inokulum Azolla 2 ton ha-1, dan pupuk kandang sapi 2,67 ton ha-1 +

pupuk Azolla 1,67 ton ha-1 + inokulum Azolla 1,33 ton ha-1 merupakan perlakuan

yang potensial menjadi pilihan rekomendasi. GKP yang dihasilkan tinggi,

kesuburan tanah termasuk subur, dan emisi rendah (Tabel 23 dan 39). Hasil

pilihan tersebut sama antara yang diperoleh pada percobaan rumah kaca dan

lapangan.
166

V. KESIMPULAN DAN SARAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

1. a. Sifat tanah sawah organik berbeda dengan tanah sawah semi organik,

konvensional dan hutan jati. Tanah sawah organik mempunyai C-organik

lebih tinggi, warna matriks lebih gelap, konsentrasi massa humus lebih

banyak dan C dan N biomassa mikrobia lebih tinggi.

b. Potensi emisi CH4 pada tanah sawah organik lebih tinggi dari pada lahan

sawah semi organik, konvensional dan hutan jati.

c. Sifat tanah yang paling mempengaruhi emisi CH4 adalah kandungan C-

organik.

2. a. Pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla berpengaruh meningkatkan GKP

masing-masing sebesar 14,77% dan 9,24%.

b. Pupuk kandang sapi dan pupuk Azolla tidak berpengaruh terhadap emisi

CH4.

c. Inokulum Azolla tidak berpengaruh terhadap GKP.

d. Inokulum Azolla berpengaruh menurunkan emisi CH4 sebesar 52,92%.

3. Penggunaan pupuk kandang sapi 4 ton ha-1 + inokulum Azolla 2 ton ha-1,

pupuk Azolla 2,5 ton ha-1 + inokulum Azolla 2 ton ha-1, dan pupuk kandang

sapi 2,67 ton ha-1 + pupuk Azolla 1,67 ton ha-1 + inokulum Azolla 1,33 ton ha-1

dapat meningkatkan GKP dan menurunkan emisi CH4.

B. Saran Rekomendasi

1. Karakteristik dan pengelolaan padi sawah organik berpotensi mengemisikan

CH4 yang tinggi. Kandungan C-organik pada tanah sawah organik yang tinggi
167

meningkatkan potensi produksi CH4. Pengelolaan lahan yang sudah biasa

dilakukan oleh petani, dalam penelitian ini dipresentasikan dengan penggunaan

pupuk kandang sapi 8 ton ha-1, walaupun menghasilkan GKP tinggi tetapi juga

menghasilkan emisi yang tinggi. Pengelolaan padi sawah organik oleh karena

itu harus berdasarkan kepada upaya meningkatkan produktivitas lahan dan

menurunkan emisi.

2. Pupuk kandang sapi yang dikombinasikan dengan inokulum Azolla (seperti

pada perlakuan pupuk kandang sapi 4 ton ha-1 + inokulum Azolla 2 ton ha-1),

yang juga dapat dikombinasikan lagi dengan pupuk Azolla (seperti pada

perlakuan pupuk kandang sapi 2,67 ton ha-1 + pupuk Azolla 1,67 ton ha-1 +

inokulum Azolla 1,33 ton ha-1), dan kombinasi antara pupuk Azolla dan

inokulum Azolla (seperti pada perlakuan pupuk Azolla 2,5 ton ha -1 + inokulum

Azolla 2 ton ha-1) dapat diterapkan untuk meningkatkan produktivitas lahan

dan menurunkan emisi CH4.

3. Pemanfaatan Azolla dapat sebagai sumber pupuk organik pada budidaya padi

sawah organik. Pupuk Azolla (dibenamkan) dan inokulum Azolla

(ditumbuhkan bersama tanaman padi) dapat untuk melengkapi penggunaan

pupuk kandang sapi. Penggunaan pupuk Azolla dan atau inokulum Azolla yang

dapat dikombinasikan dengan pupuk kandang sapi dapat menghasilkan GKP

yang tidak berbeda nyata dengan kebiasaan petani di lokasi penelitian yang

menggunakan pupuk kandang sapi 8 ton ha-1.


168

RINGKASAN

Sebagian besar lahan sawah di Indonesia berkadar bahan organik sangat

rendah, dengan kandungan C-organik < 2% (Karama, 2001; Syamsiyah dan

Mujiyo, 2006), yang berdampak terjadinya leveling off produktivitas. Kandungan

C-organik rendah merupakan ciri khas tanah-tanah di daerah tropika yang

disebabkan oleh tingginya suhu dan laju dekomposisi, serta kurangnya

pengembalian bahan organik ke dalam tanah (Sanchez, 1976). Petani di Indonesia

mengatasi permasalahan tersebut dengan melakukan sistem padi sawah organik,

yang salah satu komponen utamanya dengan penggunaan pupuk (bahan) organik.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik

pada tanah sawah ternyata meningkatkan produksi gas metana (CH4). Rangkaian

proses dekomposisi bahan organik melalui proses oksidasi-reduksi akan diakhiri

dengan pembentukan CO2 dan CH4 (Le Mer and Roger, 2001; Nieder and Benbi,

2008). Bahan organik akan meningkatkan produksi CH4 melalui pengaruhnya

terhadap penyediaan sumber C (Schutz et al., 1990).

CH4 merupakan salah satu gas rumah kaca (GRK) utama yang dapat

menyerap radiasi infra-merah sehingga berkontribusi terhadap fenomena

pemanasan global. Potensi pemanasan global (GWP = global warming potential)

CH4 dapat mencapai 10x (sepuluh kali) lebih besar dari pada potensi pemanasan

global oleh CO2 (Boeckx and Cleemput, 1996). Nieder and Benbi (2008)

sementara itu menyampaikan bahwa CH4 mempunyai kemampuan memancarkan

panas 21x (dua puluh satu kali) lebih tinggi dari pada CO2. Emisi CH4
169

menyumbang 20% dari total emisi gas rumah kaca (Inubushi et al., 2001). Adachi

et al. (2006) menyatakan 7% dari total emisi gas rumah kaca adalah emisi CH4

yang berasal dari ekosistem padi sawah. Reddy and DeLaune (2008) sementara itu

menyampaikan bahwa emisi CH4 global sebesar 5.108 ton tahun-1, dan tanah

sawah menyumbang 5.107 ton tahun-1 atau sebesar 10% nya.

Lahan pertanian yang telah dinilai sebagai salah satu penghasil emisi

GRK, akan menimbulkan polemik pro-kontra terhadap keberlanjutan pengelolaan

lahan pertanian, dan akan berdampak pula terhadap penurunan manfaat sistem

pertanian. Salah satu strategi yang dapat diterapkan untuk mengatasi

permasalahan tersebut adalah dengan penggunaan Azolla. Azolla dapat ditanam

bersama-sama dengan tanaman padi, mampu menghasilkan biomassa yang besar

dalam waktu singkat, mempunyai kemampuan menambat N 2 udara, sehingga

selain sebagai sumber bahan organik dapat digunakan juga sebagai pupuk N,

teknik ini lebih mudah dan murah untuk diaplikasikan ke lapangan (Arifin, 1996),

serta efek penggunaannya dapat menurunkan emisi CH4 dari lahan sawah (Bharati

et al., 2000; Prasanna et al., 2002; Sasa et al., 2003).

Beberapa uraian di atas menjadi pijakan dilakukan kajian yang mendalam

tentang emisi GRK oleh sistem lahan pertanian yang berpotensi menghasilkan

emisi metana, yaitu pada lahan padi sawah organik, seperti di lahan padi sawah

organik di Desa Sukorejo, Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen. Salah satu

strategi yang diperlukan adalah upaya menurunkan emisi GRK CH4 secara

periodik melalui karakterisasi lahan dan pengukuran besarnya emisi CH4,

bagaimana pengelolaan lahan agar dapat meminimalisasi emisi CH4, namun masih
170

dapat menjaga dan atau meningkatkan produktivitas lahan. Teknologi

pengelolaan, khususnya penggunaan Azolla, yang diperoleh dapat memberikan

solusi bagaimana upaya reklamasi lahan sawah berkadar bahan organik rendah

dapat terus dilakukan secara berkelanjutan melalui sistem padi sawah organik,

namun tetap dapat meminimalkan emisi CH4.

Tahap pertama kajian adalah dengan melakukan karakterisasi lahan dan

emisi CH4 pada lahan padi sawah organik, yang dibandingkan dengan lahan padi

sawah semi organik, konvensional dan kontrol hutan jati. Emisi CH 4 dari lahan

merupakan akumulasi yang dihasilkan pada kedalaman profil tanah dari horison

atas sampai bawah yang dapat mencapai ke permukaan dan akhirnya diemisikan

ke atmosfer. Penelitian ini oleh karena itu bertujuan untuk mengetahui potensi

masing-masing horison tanah memproduksi dan mengoksidasi CH4. Potensi

produksi dan oksidasi CH4 ditentukan dengan mengukur CH4 yang dihasilkan

oleh sampel tanah dari masing-masing horison dengan perlakuan inkubasi

genangan di laboratorium.

Tahap kedua kajian adalah melakukan budidaya padi sawah organik pada

lingkungan terkontrol di laboratorium rumah kaca, bertujuan untuk mengetahui

pengaruh penggunaan Azolla terhadap sifat tanah, hasil tanaman dan emisi CH4.

Bahan tanah diambil dari lahan sawah organik di Desa Sukorejo, Sambirejo,

Sragen, secara komposit pada kedalaman lapis olah 0 – 20 cm. Rancangan

percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 9 macam perlakuan

yang masing-masing diulang 3 kali. Macam perlakuan adalah penggunaan pupuk


171

kandang sapi, pupuk Azolla, inokulum Azolla, dan kombinasinya yang didasarkan

pada pemenuhan kebutuhan hara 120 kg N ha-1.

Tahap ketiga kajian adalah melakukan penanaman padi sawah di lahan

sawah organik Desa Sukorejo, Sambirejo, Sragen, bertujuan untuk mengetahui

pengaruh penggunaan Azolla terhadap sifat tanah, hasil tanaman dan emisi CH4.

Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak kelompok lengkap dengan 9

macam perlakuan yang masing-masing diulang 3 blok. Macam perlakuan adalah

penggunaan pupuk kandang sapi, pupuk Azolla, inokulum Azolla, dan

kombinasinya yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan hara 120 kg N ha -1.

Sifat tanah pada lahan sawah organik, khususnya pada horison I dan II,

mempunyai perbedaan dengan tanah pada lahan semi organik, konvensional dan

hutan jati. Sifat kimia tanah pada lahan sawah organik yang berbeda dengan tanah

lainnya adalah kandungan C-organik. Kandungan C-organik pada horison I (A)

2,09% dan horison II (B) 2,00%, lebih tinggi dari pada semua horison tanah di

lahan sawah semi organik, konvensional dan hutan jati.

Sifat fisika tanah pada lahan sawah organik yang berbeda dengan tanah

lainnya adalah warna matriks dan konsentrasi massa humus. Warna matriks

horison II pada tanah sawah organik lebih gelap (coklat kekuningan gelap / 10 YR

3/4) dan terdapat konsentrasi massa humus lebih banyak (5 – 15%), yang berbeda

dengan horison II pada tanah sawah semi organik yang mempunyai warna matriks

tanah lebih terang (coklat kekuningan / 10 YR 5/6) dan konsentrasi massa humus

lebih sedikit (<5%).


172

Sifat biologi tanah yang berbeda adalah kandungan C dan N biomassa

mikrobia pada horison I dan II. Kandungan C biomassa mikrobia pada lahan

sawah organik pada horison I 498,39 µg C g-1 tanah dan II 418,01 µg C g-1 tanah,

yang lebih tinggi dari pada lainnya. Kandungan N biomassa mikrobia pada lahan

sawah organik pada horison I 72,59 µg N g-1 tanah dan II 59,11 µg N g-1 tanah,

yang juga lebih tinggi dari pada lainnya.

Emisi CH4 pada lahan padi sawah organik lebih tinggi dari pada yang lain.

Potensi produksi CH4 oleh tanah pada lahan sawah organik (1,36 µg CH4 kg-1

tanah hari-1) lebih tinggi dari pada lahan sawah semi organik (0,92 µg CH4 kg-1

tanah hari-1), konvensional (0,65 µg CH4 kg-1 tanah hari-1) dan hutan jati (0,85 µg

CH4 kg-1 tanah hari-1). Potensi oksidasi CH4 pada lahan padi sawah organik

demikian juga lebih tinggi.

Sifat tanah yang paling mempengaruhi potensi produksi CH4 adalah

kandungan C-organik tanah (0,80**), dan komponen bahan organik humat (0,82 **)

dan fulvat (0,68**), semakin tinggi C-organik maka semakin tinggi potensi

produksi CH4. Kandungan C-organik pada lapisan olah lahan padi sawah organik

paling tinggi (2,09%), sehingga potensi produksi CH4 paling tinggi (18,1 µg CH4

kg-1 tanah hari-1). C dan N biomassa mikrobia dan kedalaman horison

mempengaruhi potensi produksi CH4 karena dampak dari kandungan C-organik.

Tanah pada horison atas kandungan C-organik lebih tinggi dari pada horison

bawah, berdampak C dan N biomassa mikrobia juga lebih tinggi, sehingga

meningkatkan potensi produksi CH4.


173

Kandungan C-organik juga menentukan pola produksi sejalan dengan

waktu inkubasi genangan. Tanah dengan kandungan C-organik tinggi, produksi

CH4 maksimum terjadi pada hari ke-20 setelah inkubasi, sementara itu tanah

dengan C-organik lebih rendah pada hari ke-15, dan paling rendah pada hari ke-

10. Tanah dengan C-organik tinggi mempunyai substrat C yang cukup untuk

memproduksi CH4 dengan jumlah tinggi dan terjadinya puncak produksi lebih

lama.

Pupuk kandang sapi, pupuk Azolla dan inokulum Azolla tidak

berpengaruh terhadap status kesuburan tanah. Rata-rata status kesuburan tanah

akhir termasuk harkat subur, yang sama dengan status kesuburan tanah awal.

Pupuk kandang sapi walaupun meningkatkan C-organik, P2O5 tersedia, K2O

tersedia dan GKG, tetapi tidak berpengaruh nyata meningkatkan status kesuburan

tanah.

Pupuk kandang sapi berpengaruh meningkatkan GKP, tetapi tidak

berpengaruh terhadap emisi CH4. Pupuk kandang sapi meningkatkan kandungan

NH4+ dan NO3- tanah yang berdampak kepada peningkatan GKP. Pupuk Azolla

berpengaruh meningkatkan GKP, tetapi tidak berpengaruh terhadap emisi CH4.

Pupuk Azolla meningkatkan kandungan NH4+ dan NO3- tanah yang berdampak

kepada peningkatan GKP. Pengaruh pupuk Azolla ini namun demikian lebih

lemah dari pada pengaruh pupuk kandang sapi. Pupuk kandang sapi dan pupuk

Azolla meningkatkan GKP masing-masing sebesar 14,77% dan 9,24%. Pupuk

kandang sapi dan pupuk Azolla tidak berpengaruh terhadap emisi CH4 disebabkan

lebih kuatnya pengaruh inokulum Azolla terhadap emisi CH4.


174

Inokulum Azolla tidak berpengaruh terhadap GKP, tetapi berpengaruh

menurunkan emisi CH4. Inokulum Azolla meningkatkan kandungan NO2- dan

NO3- dalam air genangan, yang kemudian NO2- dan NO3- tersebut mengoksidasi

CH4, sehingga menyebabkan penurunan emisi CH4. Inokulum Azolla menurunkan

emisi CH4 sebesar 52,91%.

Pupuk kandang sapi 2,67 ton ha-1 + pupuk Azolla 1,67 ton ha-1 + inokulum

Azolla 1,33 ton ha-1 pada percobaan rumah kaca dapat menghasilkan GKP 7,04

ton ha-1, status kesuburan tanah termasuk subur, dan emisi CH4 3,34 kg CH4 ha-1,

dan pada percobaan lapangan dapat menghasilkan GKP 9,51 ton ha -1, status

kesuburan tanah termasuk subur, dan emisi CH4 25,54 kg CH4 ha-1. Hasil GKP

tersebut termasuk tinggi di atas rata-rata, dan tidak berbeda nyata dengan

perlakuan lainnya yang menghasilkan lebih tinggi. Status kesuburan tanah

termasuk subur yang sama dengan tanah awal. Emisi CH4 yang dihasilkan

tersebut di bawah rata-rata dan berbeda nyata dengan perlakuan yang

menghasilkan emisi lebih tinggi. Pupuk kandang sapi 4 ton ha-1 + inokulum

Azolla 2 ton ha-1 dan pupuk Azolla 2,5 ton ha-1 + inokulum Azolla 2 ton ha-1

demikian juga menghasilkan GKP tinggi, status kesuburan tanah termasuk subur

dan emisi CH4 rendah.

Saran rekomendasi: (1) Karakteristik dan pengelolaan padi sawah organik

berpotensi mengemisikan CH4 yang tinggi. Kandungan C-organik pada tanah

sawah organik yang tinggi meningkatkan potensi produksi CH4. Pengelolaan

lahan yang sudah biasa dilakukan oleh petani, dalam penelitian ini dipresentasikan

dengan penggunaan pupuk kandang sapi 8 ton ha-1, walaupun menghasilkan GKP
175

tinggi tetapi juga menghasilkan emisi yang tinggi. Pengelolaan padi sawah

organik oleh karena itu harus berdasarkan kepada upaya meningkatkan

produktivitas lahan dan menurunkan emisi, (2) Pupuk kandang sapi yang

dikombinasikan dengan inokulum Azolla (seperti pada perlakuan pupuk kandang

sapi 4 ton ha-1 + inokulum Azolla 2 ton ha-1), yang juga dapat dikombinasikan lagi

dengan pupuk Azolla (seperti pada perlakuan pupuk kandang sapi 2,67 ton ha-1 +

pupuk Azolla 1,67 ton ha-1 + inokulum Azolla 1,33 ton ha-1), dan kombinasi

antara pupuk Azolla dan inokulum Azolla (seperti pada perlakuan pupuk Azolla

2,5 ton ha-1 + inokulum Azolla 2 ton ha-1) dapat diterapkan untuk meningkatkan

produktivitas lahan dan menurunkan emisi CH4, dan (3) Pemanfaatan Azolla

dapat sebagai sumber pupuk organik pada budidaya padi sawah organik. Pupuk

Azolla (dibenamkan) dan inokulum Azolla (ditumbuhkan bersama tanaman padi)

dapat untuk melengkapi penggunaan pupuk kandang sapi. Penggunaan pupuk

Azolla dan atau inokulum Azolla yang dikombinasikan dengan pupuk kandang

sapi dapat menghasilkan GKP yang tidak berbeda nyata dengan kebiasaan petani

di lokasi penelitian yang menggunakan pupuk kandang sapi 8 ton ha-1.


176

SUMMARY

Most of the paddy field in Indonesia are very low levels of organic matter,

with the C-organic content < 2% (Karama, 2001; Syamsiyah and Mujiyo, 2006),

which affected the leveling off of rice productivity. Low C-organic content is

typical of soils in the tropics caused by the high temperature and the rate of

decomposition, as well as the lack of return of organic matter to the soil (Sanchez,

1976). Farmers in Indonesia to overcome these problems by doing organic rice

system, which is one of its main components with the use of organic fertilizer

(material).

Some research indicated that the use of organic fertilizers in paddy soil

appears to increase the production of methane (CH4). The series of the

decomposition process of organic matter through oxidation-reduction process

ends with the formation of CO2 and CH4 (Le Mer and Roger, 2001; Nieder and

Benbi, 2008). The organic matter will increase CH4 production through its

influence on the provision of C resources and decreased Eh (Schutz et al., 1990).

CH4 is one of the greenhouse gases (GHG) in particular could absorb

infra-red radiation, thereby contributing to the phenomenon of global warming.

Global warming potential (GWP) by CH4 can reach 10x (ten times) greater than

the potential global warming by CO2 (Boeckx and Cleemput, 1996). Nieder and

Benbi (2008) stated that the ability to emit heat by CH4 21x (twenty one times)

higher than CO2. CH4 emission contributed 20% of total greenhouse gas emission

(Inubushi et al., 2001). Adachi et al. (2006) reported 7% of total greenhouse gas
177

emission are the CH4 emission from rice ecosystems. Reddy and DeLaune (2008)

stated that global CH4 emission were 5.108 tons year-1, and paddy field

contributed 5.107 tons year-1 or 10% of it.

Agricultural land has been rated as one of the greenhouse gases (GHG),

will cause polemics pros and cons to the sustainability of agricultural land

management, and will impact on the decline in the benefit of agricultural system.

One of the strategies that can be applied to solve this problem is by the use of

Azolla. Azolla can be grown together with rice plants, capable of producing a

large biomass in a short time, have the ability to fix the N2 from the air, so it can

be a source of organic matter as well as fertilizer N, the technique is easier and

cheaper to be applied to the field (Arifin , 1996), and the effects of its use can

reduce CH4 emission from paddy field (Bharati et al., 2000; Prasanna et al., 2002;

Sasa et al., 2003).

Some descriptions above became the basis of in-depth study conducted

GHG emission by farm system that could potentially result in emission of

methane, which is the organic paddy field, such as in organic paddy field in the

village of Sukorejo, Sambirejo District, Sragen. One strategy that is needed is an

effort to reduce GHG emission of methane periodically through land

characterization and measurement of the amount of methane emission, how land

management in order to minimize methane emission, yet still able to maintain and

or improve land productivity. Management technology, in particular the use of

Azolla, which is obtained can provide a solution how wetland reclamation efforts
178

that low levels of organic matter can continue to be sustained through a system of

organic rice, but still can minimize methane emission.

The first phase of the study was to conduct soil characterization and CH4

emission in the field of organic rice compared to semi-organic, conventional and

teak forest control. CH4 emission from the land is the resulting accumulation on

the soil depth profile from top to bottom horizon that can reach to the surface and

finally emitted to the atmosphere. This study therefore aimed to determine the

potential of each soil horizon to produce and oxidize CH4. CH4 production and

oxidation potentials determined by measuring CH4 produced by incubating soil

samples from each horizon with puddle treatment in the laboratory.

The second phase of the study was to conduct organic rice cultivation in

the laboratory in a controlled environment greenhouse, aimed to determine the

effect of the use of Azolla to soil properties, rice yield and CH4 emission. Soil

material taken from organic paddy field in the village of Sukorejo, Sambirejo,

Sragen, by way of composite topsoil 0-20 cm. The design of the experiment using

a completely randomized design with 9 kinds of treatment, each repeated 3 times.

Kind of treatment was the use of cow manure, Azolla fertilizer, Azolla inoculum,

and combinations thereof were based on the fulfillment of nutrient requirements

of 120 kg N ha-1.

The third phase of the study was to conduct organic rice cultivation in

organic paddy field village Sukorejo, Sambirejo, Sragen, aimed to determine the

effect of the use of Azolla to soil properties, rice yield and CH4 emission.

Experimental design using a completely randomized block design with 9 kinds of


179

treatment, each repeated in 3 blocks. Kind of treatment was the use of cow

manure, Azolla fertilizer, Azolla inoculum, and combinations thereof were based

the fulfillment of nutrient requirements of 120 kg N ha-1.

Soil properties on organic paddy field, especially in the horizon I and II,

had differences with the soil at semi-organic, conventional and teak forests.

Chemical property of the soil on the organic paddy field that was different from

any other was C-organic content. C-organic content of the horizon I (A) 2.09%

and horizon II (Bt) 2.00%, were higher than in all soil horizons in lowland semi-

organic, conventional and teak forest.

Soil physical properties in different organic paddy field with the other

were the color of soil matrix and the mass concentration of humus. Color of soil

matrix in the horizon II in organic paddy soil was darker (dark brown yellowish /

10 YR 3/4) and more contained humus mass concentrations (5-15%), which were

different from the horizon II in semi-organic paddy that color of soil matrix was

brighter (yellowish brown / 10 YR 5/6) and less contained humus mass

concentrations (<5%).

Soil biological properties in different organic paddy field with the other

were the content of microbial biomass C and N on the horizon I and II. Microbial

biomass C content in organic paddy field on the horizon I 498.39 mg C g-1 soil

and II 418.01 mg C g-1 soil, which were higher than the other. Microbial biomass

N content in organic paddy field on the horizon I 72.59 mg N g-1 soil and II 59.11

mg N g-1 soil, which were also higher than the other.


180

CH4 emission by the soil in the organic paddy field was higher than the

others. CH4 production potential by the soil in the organic paddy field (1.36 mg

kg-1 soil CH4 day-1) was higher than in the the semi-organic paddy field (0.92 mg

kg-1 soil CH4 day-1), conventional (0, 65 mg CH4 kg-1 soil day-1) and teak forests

(0.85 mg kg-1 soil CH4 day-1). CH4 oxidation potential by the soil in the organic

paddy field was also higher.

Soil properties that affect the CH4 production potential were C-organic

content of the soil (0.80**), and organic matter components of humic (0.82**) and

fulvic (0.68**), the higher the C-organic, the more high for CH4 production

potential. Microbial biomass C and N and depth horizon affect CH4 production

potential due to the impact of C-organic content. Soil on the top horizon had the

C-organic content was higher than the lower horizon, affects microbial biomass C

and N were also higher, thus increasing for CH4 production potential.

The content of C-organic also determines patterns of CH4 production in

accordance with the incubation time of puddle. Soil with high content of C-

organic produced maximum CH4 on day 20 after incubation, while the soil with

lower C-organic on day 15, and the lowest on day 10. Soil with high C-organic

had sufficient C substrates to produce CH4 with high amount and occurrence of

peak production longer.

Cow manure, Azolla fertilizer and Azolla inoculum had no effect on the

soil fertility status. Soil fertility status by the end of the treatment were

categorized as fertile soil, which were the same as the initial soil fertility status.

Although cow manure increased C-organic, available P2O5, available K2O, and
181

dry grain (moisture content 14%), but had no effect to increase the soil fertility

status.

Cow manure increased the harvest dry grain (HDG), but had no effect on

CH4 emission. Cow manure increased the content of NH4+ and NO3- in the soil,

which affected the increase of HDG. Azolla fertilizer increased the HDG, but had

no effect on CH4 emission. Azolla fertilizer increased the content of NH4+ and

NO3- in the soil, which affected the increase of HDG. Azolla fertilizer had weaker

influence of the cow manure. Cow manure and Azolla fertilizer increased the

HDG 14.77% and 9.24%, respectively. Cow manure and Azolla fertilizer had no

effect on CH4 emission caused by the effect of Azolla inoculum on CH4 emission

was stronger.

Azolla inoculum had no effect on HDG, but reduced CH4 emission. Azolla

inoculum increased content of NO2- and NO3- in the pool of water, which then

NO2- and NO3- were thought to oxidize the CH4, thereby reduced CH4 emission.

Azolla inoculum reduced CH4 emission 52.91%.

Cow manure 2.67 tons ha-1 + Azolla fertilizer 1.67 tons ha-1 + Azolla

inoculum 1.33 tons ha-1 in greenhouse experiments could produce HDG 7.04

ton ha-1, soil fertility status was categorized as fertile, and CH4 emission 3.34 kg

CH4 ha-1, and in field experiment could produce HDG 9.51 ton ha-1, soil fertility

status was categorized as fertile, and CH4 emission 25.54 kg ha-1. The HDG result

was higher than average, and not significantly different from other treatments

producing higher yield. CH4 emission was lower than average and significantly

different from treatments producing higher emission. Similarly, cow manure 4


182

tons ha-1 + Azolla inoculum 2 tons ha-1 and Azolla fertilizer 2.5 tons ha-1 + Azolla

inoculum 2 tons ha-1 could produce high HDG, soil fertility status was categorized

as fertile and low CH4 emission.

Suggestions and recommendations: (1) Characteristics and management of

organic paddy field emit potentially high CH4. High content of C-organic in the

organic paddy field increase CH4 production potential. Land management which

was commonly practiced by farmers, in this study presented with using cow

manure 8 tons ha-1, although produced high HDG, but also produced high

emission. Management of organic rice should therefore be based on the increase

in land productivity and reduce emission, (2) Cow manure in combination with

Azolla inoculum (as in the treatment: cow manure 4 tons ha-1 + Azolla inoculum 2

tons ha-1), which could also be combined again with Azolla fertilizer (as in the

treatment: cow manure 2.67 tons ha-1 + Azolla fertilizer 1.67 tons ha-1 + Azolla

inoculum 1.33 tons ha-1), and combination of Azolla fertilizer and Azolla

inoculum (as in the treatment: Azolla fertilizer 2.5 tons ha-1 + Azolla inoculum 2

tons ha-1) could be applied to increase land productivity and to reduce CH4

emission, and (3) Utilization of Azolla could be a source of organic fertilizer on

organic rice cultivation. Azolla fertilizer (incorporated into the soil) and Azolla

inoculum (dual cropping with rice plant) could be complement the use of cow

manure. Use of Azolla fertilizer and or Azolla inoculum combined with cow

manure could produce HDG that were not significantly different with commonly

practiced by farmers in the research site, which used cow manure 8 ton ha-1.
183

DAFTAR PUSTAKA

Adachi, M., Y. S., Bekku, W. R. Kadir, T. Okuda, and H. Koizumi, 2006.


Differences in soil respiration between different tropical ecosystems. Appl.
Soil Ecol. 34:258–265.
Agnihotri, S., K. Kulshreshtha, and S. N. Singh. 1998. Mitigation strategy to
contain methane emission from rice fields. Environ. Monitoring and
Assesment. Kluwer Ac. Publ. Netherlands.
Anderson, T. H. and R. G. Joergensen. 1997. Relationship between sir and fe
estimates of microbial biomass C in deciduous forest soils at different pH.
Soil Biol. Biochem. 29:1033–1042.
Anonim. 2008. Sertifikat pangan organik diberikan kepada asosiasi petani organik
di Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen Jateng. Lembaga Sertifikasi
Organik Indonesian Organic Farming Certification (INOFICE).
Ariani, M., P. Setyanto, dan T. Sopiawati. 2011. Identifikasi emisi metana (CH4)
pada sistem integrasi tanaman-ternak (SITT).
www.balingtan.litbang.deptan.go.id. Selasa, 15 November 2011 09:21
Arifin, Z. 1996. Azolla, pembudidayaan dan pemanfaatan pada tanaman padi.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Arifin, Z. 2003. Substitusi pupuk nitrogen anorganik dengan Azolla pada padi
sawah. dalam: Kaimuddin, B. Ibrahim dan L. Tangko. 2008. Budidaya padi
sawah irigasi dengan aplikasi Azolla dan ikan nila. J. Agrivigor 7:242-253.
Arsana, I. G. K. D. 2012. Efisiensi pemanfaatan air tanaman padi pada bagian
hulu, tengah dan hilir daerah aliran sungai Yeh Ho Provinsi Bali. Disertasi.
Program Pascasarjana FP UGM. Yogyakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 2004. Standar Nasional Indonesia. Air dan air
limbah. Bagian 9: Cara uji nitrit (NO2-N) secara spektrofotometri. BSN.
Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 2004. Standar Nasional Indonesia. Air dan air
limbah. Bagian 14: Cara uji oksigen terlarut secara yodometri (modifikasi
azida). BSN. Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 2010. Standar Nasional Indonesia. Sistem pangan
organik. SNI 6729:2010. Departemen Pertanian Indonesia. Jakarta.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2008. Deskripsi padi varietas IR64.
Departemen Pertanian Republik Indonesia.
Bennicelli, R. P., T. I. Balakhnina, K. Szajnocha, and A. Banach. 2005. Aerobic
conditions and antioxidative system of Azolla caroliniana Willd. in the
presence of Hg in water solution. Int. Agrophysics. 19:27-30.
184

Bharati, K., S. R. Mohanty, D. P. Singh, V. R. Rao, and T. K. Adhya. 2000.


Influence of incorporation or dual cropping of Azolla on methane emission
from a flooded alluvial soil planted to rice in eastern India. Agri. Eco.
Environ. 79:73 – 83.
Boeckx, P., and O. V. Cleemput. 1996. Flux estimates from soil methanogenesis
and methanotrophy : landfills, rice paddles, natural wetlands and aerobic
soils. Environ. Monitoring Assessment. 42:189-207.
Bond, D. R. and D. R. Lovley. 2002. Reduction of Fe(III) oxide by methanogens
in the presence and absence of extracellular quinones. Environ. Microbiol.
4:115-124.
Brzezińska, M., M. Nosalewicz, M. Pasztelan, and T. Włodarczyk. 2012. Methane
production and consumption in loess soil at different slope position. The
Scientific World Journal. Article ID 620270:1-8.
Buol, S. W., F. D. Hole, and R. J. McCaracken. 1980. Soil genesis and
classification. The Iowa State University. Press America. 406p.
Bouwman A. F. 1990. Exchange of greenhouse gases between terrestrial
ecosystems and the atmosphere. In Bouwman A. F. (ed.) Soils and the
greenhouse effects. John Wiley & Sons, Chichester, New York, Brisbane,
Toronto, Singapore.
BPS dan BAPPEDA Sragen. 2008. Kabupaten Sragen dalam angka tahun 2008.
Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Sragen dengan Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Sragen.
Chan, A. S. K., and T. B. Parkin. 2000. Evaluation of potential inhibitors of
methanogenesis and methane oxidation in a landfill cover soil. Soil Biol.
Biochem. 32:1581-1590.
Changseng, L. I. 2007. Quantifying greenhouse gas emission from soils :
scientific basis and modelling approach. Soil Sci. and Plant Nutr. 53:344-
352.
Conrad, R. 1989. Control of methane production in terrestrial ecosystems.
Facultät für Biologie, Univertität Konstanz. Germany. In Andreae, M. O.,
and Schimel, D. S. (ed.) Exchange of trace gases between terrestrial
ecosystems and the atmosphere. p39-58. John Wiley & Sons Ltd.
Chichester, New York, Brisbane, Toronto, Singapore.
Conrad, R., and H. Schutz. 1988. Methods of studying methanogenic bacteria and
methanogenic activities in aquatic environments. In Austin B. (ed.) Methods
in aquatic bacteriology. John Wiley & Sons, Chichester, New York,
Brisbane, Toronto, Singapore.
Conrad, R., H. Schutz, and M. Babbel. 1987. Temperature limitation of hydrogen
turn over and methanogenesis in anoxic paddy soils. FEM Microbiol. Ecol.
45:281-289.
185

Conrad, R., M. Klose, and P. Claus. 2000. Phospahate inhibits acetotrophic


methanogenesis on rice roots. Applied and Environ. Microbiol. Am. Soc.
Microbiol. 66:828-831.
Curtin, D., M. H. Beare and G. H. Ramirez. 2012. Temperature and moisture
effects on microbial biomass and soil organic matter mineralization. Soil
Sci. Soc. Am. J. 76:2055-2067.
Dalal, R. C., D. E. Allen, K. Y. Chan, and B. P. Singh. 2011. Soil organic matter,
soil health and climate change. In: Singh, B. P., A. L. Cowie, and K. Y.
Chan. Soil health and climate change. Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
p87-106.
Dames, T. W. G. 1951. The soils of east central Java. Contrib. Gen. Agric. Res.
Sta., Bogor. No. 148. in : Subagjo and P. Buurman. 1980. Soil catenas on
the west and north-east slopes of the Lawu volcano, east Java. In Buurman,
P. (ed.). 1980. Red soils in Indonesia. Agric. Res. Rep. (Versl. landbouwk.
Onderz) 889, ISBN 90 220 0715 4, Buletin No. 5. Soil Research Institute,
Bogor. 169p.
Dar, S. A., R. Kleerebezem, A. J. M. Stams, J. G. Kuenen, and G. Muyzer. 2008.
Competition and coexistence of sulfate-reducing bacteria, acetogens and
methanogens in a lab-scale anaerobic bioreactor as affected by changing
substrate to sulfate ratio. Appl. Microbiol. Biotechnol. 78:1045–1055.
Datun, M., Sukandarrumidi, B. Hermanto, dan N. Suwarna. 1997. Peta geologi
lembar Ponorogo, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Bandung.
Djojosuwito, S. 2000. Azolla: Pertanian organik dan multiguna. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta.
Dobermann, A., and T. Fairhurst. 2000. Rice: Nutrient disorder and nutrient
management. Handbook Series. PPI & PPIC Canada and IRRI Philippines.
191p.
Draper, N. and H. Smith. 1981. Applied regression analysis. Second Edition. John
Wiley and Sons, Inc.
Duan, Y. H., Y. L. Zhang, L. T. Ye, X. R. Fan, G. H. Xu and Q. R. Shen. 2007.
Responses of rice cultivars with different nitrogen use efficiency to partial
nitrate nutrition. Annals of Botany. 99:1153–1160.
Durgin, P. B., and J. G. Chaney. 1984. Dispersion of kaolinite by dissolved
organic from Douglas-FIR roots. Can. J. Soil Sci. 64:445-455.
Ettwig, K. F., Butler, M. K., Le Paslier, D., Pelletier, E., Mangenot, S, Kuypers,
M. M. M., Schreiber, F, Dutilh, B. E., Zedelius, J., de Beer, D., Gloerich, J.,
Wessels, H. J. C. T., van Alen, T., Luesken, F., Wu, M. L., van de Pas-
Schoonen, K.T., Op den Camp, H. J. M., Janssen-Megens, E. M., Francoijs,
K. J., Stunnenberg, H, Weissenbach, J, Jetten, M. S. M., and M., Strous.
186

2010. Nitrite-driven anaerobic methane oxidation by oxygenic bacteria.


Nature. Macmillan Publ. Limited. 464:543-548.
Eviati dan Sulaeman. 2009. Petunjuk teknis edisi 2: Analisis kimia tanah,
tanaman, air, dan pupuk. Balai Penelitian Tanah. Balai Besar Litbang
Sumber Daya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
FAO. 1990. Guidelines for Soil Description. 3rd Edition (Revised). Soil resources,
management and conservation service. Land and Water Development
Division. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome.
Freitag, T. E., Toet, S., Ineson, P., and J. I. Prosser. 2010. Links between methane
flux and transcriptional activities of methanogens and methane oxidizers in
a blanket peat bog. FEMS Microbiol. Ecol. 73:157-165.
Foth, H. D. 1994. Dasar-dasar ilmu tanah. Terjemahan oleh Soenartono
Adisoemarto. Erlangga. Jakarta.
Furukawa, Y. and K. Inubushi. 2002. Feasible supression technique of methane
emission from paddy soil by iron amendment. Nutrient Cycling in
Agroecosystems. 64:193-201.
Gonzales, J. M., and D. A. Laird. 2003. Carbon sequestration in clay mineral
fraction from C-14 labelled plant residues. Soil Sci. Soc. Am. J. 67:1715-
1720.
Graham, S. 2002. Rice paddy methane emissions depend on crops’ success. Sci.
Am. News: August 20.
Greenland, D. J. 1997. The sustainability of rice farming. CAB International, New
York, USA and IRRI, Los Banos, Laguna, Philippines. 273p.
Hakim, N., M. Y. Nyakpa, A. M. Lubis, S. G. Nugroho, M. R. Saul, M. A. Diha,
G. B. Hong dan H. H. Bailey. 1986. Dasar-dasar ilmu tanah. Penerbit
Universitas Lampung. Lampung.
Hamdi, Y. A. 1982. Application of nitrogen-fixing systems in soil improvement
and management. FAO. Rome.
Hartati, S., H. Widijanto, dan D. P. Ariyanto, 2010. Dual system Azolla – padi:
sebagai strategi mitigasi emisi GRK metana di lahan padi organik
Kabupaten Sragen. Laporan Penelitian. DIPA BLU FP UNS TA 2010.
Hartono, U. 1994. The petrology and geochemistry of the Wilis and Lawu
volcanoes, east Java, Indonesia. Thesis. Submitted in fulfilment of the
requirements for the degree of doctor of philosophy (geology) University of
Tasmania. 317p.
Hidayat, A., D. Djaenudin, H. Subardjo, dan D. Subardja. 2004. Petunjuk teknis
pengamatan tanah. Balai Penelitian Tanah. Balai Besar Litbang Sumber
Daya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian. Bogor.
187

Hidayat, C., A. Fanindi, S. Sopiyana, dan Komarudin. 2011. Peluang pemanfaatan


tepung Azolla sebagai bahan pakan sumber protein untuk ternak ayam.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Hal:678-683.
Holzapfel-Pschorn A., R. Conrad, and W. Seiler. 1985. Production, oxidation
and emission of methane in rice paddies. FEMS Microbiol. Ecol. 31: 343-
351.
Holzapfel-Pschorn A., R. Conrad, and W. Seiler. 1986. Effects of vegetation on
the emission of methane from submerged paddy soils. Plant and Soil.
92:223-233.
Hou, A. X., G. X. Chen, Z. P. Wang, O. van Cleemput, and W. H. Patrick, Jr.
2000. Methane and nitrous oxide emissions from a rice field in relation to
soil redox and microbiological processes. Soil Sci. Soc. Am. J.
64:2180−2186.
Husnain dan H. Syahbuddin. 2005. Mungkinkah pertanian organik di Indonesia ?
Peluang dan tantangan. Buletin Inovasi. Edisi Vol. 4/XVII Agustus 2005.
Jakarta.
Ibrahim, M., A. ul-Hasan, M. Arshad, and A. Tanveer. 2010. Variation in root
growth and nutrient element concentration in wheat and rice: Effect of rate
and type of organic materials. Soil Environ. J. 29:47 - 52.
Inubushi, K., T. Mizuno, Y. Lou, T. Hasegawa, Y. Lin, W. Cheng, K. Kobayashi
and M. Okada. 2010. Microbial biomass and activities in a Japanese paddy
soil with ddifferences in atmospheric CO2 enrichment, soil/water warming
and rice cultivars. 19th World Congress of Soil Science, Soil Solutions for a
Changing World. 1 – 6 August 2010, Brisbane, Australia. Published on
DVD.
Inubushi, K., Y. Furukawa, A. Hadi, E. Purnomo, and H. Tsuruta. 2001. Methane
emission from rice cultivation. Agriculture: Rice Cultivation. Chapter 4.3.
OECD Paris-France.
Jiang, N., Y. Wang and X. Dong. 2009. Methanol as the primary methanogenic
and acetogenic precursor in the cold zoige wetland at Tibetan plateau.
Microbiol. Ecol. DOI:10.1007/s00248-009-9602-0. Publised online 23
Oktober 2009. Springer Science + Business Media.
Joulian, C., B. Olliver, H. U. Neu, and P. A. Roger. 1996. Microbiological aspects
of methane emission by a ricefield soil from the Camargue (France):
Methanogenesis and related microflora. Eur. J. Soil Biol. 32:61-70.
Joulian, C., S. Escoffier, J. L. Mer, H. E. Neue, and P. A. Roger. 1997.
Populations and potential activities of methanogens and methanotrophs in
rice fields: Relations with soil properties. Eur. J. Soil Biol. 33:105-116.
Karama, S. 2001. Pertanian organik Indonesia kini dan nanti. Makalah Seminar.
Disajikan pada Seminar Penggunaan Cendawan Mikoriza dalam Sistem
Pertanian Organik dan Rehabilitasi Lahan Kritis. UNPAD Bandung.
188

Khan, M. M. 1988. Azolla agronomy. IBS – UPLB – SEAMO – Searca.


Phillipine.
Kiene, R. P., R. S. Oremland, A. Catena, L. G. Miller, and D. G. Capone. 1986.
Metabolism of reduced methylated sulfur compounds in anaerobic
sediments and by a pure culture on an estuarine methanogens. Appl.
Environ. Microbiol. 52:1037-1045.
Kurnia, U., F. Agus, A. Adimihardja, dan A. Dariah. 2006. Sifat fisik tanah dan
metode analisisnya. Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Labat, M., and J. L. Garcia. 1986. Study on the development of methanogenic
microflora during anaerobic digestion of sugar beet pulp. Appl. Microbiol.
Biotech. 25:163-168.
Lales, J. S. and R. S. Marte. 1986. Long-term utilization of Azolla as organic
fertilizer for low land rice. Philliphine Agriculture 69.
Las, I., K. Subagyono, dan A. P. Setyanto, 2006. Isu dan pengelolaan lingkungan
dalam revitalisasi pertanian. Jurnal Litbang Pertanian. 25:106-113.
Le Mer, J. and P. Roger. 2011. Production, oxidation, emission and consumption
of methane by soils: A review. Eur. J. Soil Biol. 37:25-50.
Li, C. 2007. Quantifying green house gas emission from soils: Scientific basis and
modeling approach. Jap. Soil Sci. Plant Nutr. 53:344-352.
Liu, D. Y., W. X. Ding, Z. J. Jia, and Z. C. Cai. 2011. Relation between
Methanogenic archaea and methane production potential in selected natural
wetland ecosystems across China. Biogeosciences. 8:329–338.
Liu, X., C. Min, L. Xia-shi, and L. Chungchu. 2008. Research on some functions
of Azolla in CELSS System (controlled ecological life support system).
Acta Astronautica. 63:1061-1066.
Lumpkin, T. A. and D. L. Plucknett. 1980. Azolla: Botany, physiology and use
green manure. Econ. Botany. 34:89-100.
McCoy, S. 2001. Organic vegetable. A Guide to Production. Department of
Agriculture. Western Australia.
Montgomery, D. C., and E. A. Peck. 1991. Introduction to linear regression
analysis. Variable selection and model building. John Wiley and Sons, Inc.
Mueller, T., R. G. Joergensen, and B. Meyer. 1992. Estimation of soil microbial
biomass C in the presence of fresh roots by fumigation extraction. Soil Biol.
Biochem. 24:179-181.
Mujiyo dan J. Syamsiyah. 2006. Status kesuburan lahan sawah di Desa Palur,
Mojolaban, Sukoharjo. Makalah Sosialisasi kepada Petani Desa Palur.
Pengabdian DIPA Fakultas Pertanian UNS.
Mujiyo, J. Syamsiyah, dan B. H. Sunarminto. 2010. Mitigasi emisi GRK (gas
rumah kaca) sebagai strategi menjaga keberlanjutan produksi padi organik
189

di Kabupaten Sragen. Laporan Penelitian Hibah Penelitian Strategis


Nasional. Dikti TA 2010.
Mujiyo, Suntoro, Supriyono, dan Sudadi. 1998. Pengaruh jenis tanah dan tinggi
genangan terhadap efektivitas penambatan N2, penyerapan N dan
pertumbuhan Azolla (Azolla microphylla K.). Skripsi S1 Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Nader, G. A., and P. H. Robinson. 2010. Rice producers’ guide to marketing rice
straw. Agriculture and Natural Resources. University of California.
http://unrcatalog.ucdavis.edu Publ. 8425 October 2010.
Neue, H. 1993. Methane emission from rice fields: wetland rice fields may make a
major contribution to global warming. BioScience. 43:466-473.
Nieder, R., and D. K. Benbi. 2008. Carbon and nitrogen in the terrestrial
environment. Springer Science + Bussines Media B. V.
Oades, J. M. 1984. Soil organic matter and structural stability: Mechanisms and
implications for management. Plant and Soil. 76:319-337.
Oelbermann, M., and S. L. Schiff. 2008. Quantifying carbon dioxide and methane
emissions and carbon dynamics from flooded boreal forest soil. J. Environ.
Qual. 37:2037-2047.
Patrick, W. M. Jr., and C. N., Reddy. 1976. Nitrification-denitrification reaction in
flooded soils and water bottoms: Dependence on oxygen supply and
ammonium diffusion. J. Environ. Qual. 5:469-472.
Patrick, W. M. Jr., and C. N., Reddy. 1978. Chemical changes in rice soils. In
IRRI, Soil and Rice. IRRI, Los Banos, Philippines. p.361-379.
Piao, H. C., G. S. Liu, Y. Y. Wu, and W. B. Xu. 2001. Relationships of soil
microbial biomass carbon and organic carbon with environmental
parameters in mountainous soils of southwest China. Biol. Fertil. Soils.
33:347-350.
Plante, A. F., R. T. Connan, C. E.Stewart, K. Paustian, and J. Six. 2006. Impact
of soil texture on the distribution of soil organic matter in physical and
chemical fraction. Soil Sci. Soc. Am. J. 70:287-296.
Poerwowidodo. 1992. Metode selidik tanah. Cetakan I. Edisi 1992. Penerbit
Usaha Nasional. Surabaya.
Ponnamperuma, F. N. 1985. Chemical kinetics of wetland rice soils relative to soil
fertility. In: IRRI, Wetland soils: characterization, classification, and
utilization. Proc. IRRI Workshop 1984. Philippines. p.59-94.
Prasanna, R., V. Kumar, S. Kumar, A. K. Yadav, U. Tripathi, A. K. Singh, M. C.
Jain, P. Gupta, P. K. Singh, and N. Sethunathan. 2002. Methane production
in rice soil is inhibited by Cyanobacteria. J. Microbiol. Research. 157:1-6.
Pusat Penelitian Tanah. 1983. Tabel kunci untuk perkiraan kimia tanah dan
tingkat kesuburan tanah. Litbang Deptan Indonesia. Bogor.
190

Raghoebarsing, A. A., A. Pol, K. T. van de Pas-Schoonen, A. J. P Smolders, K. F.


Ettwig, I. C. Rijpstra, S. Schouten, J. S. S. Damste, H. J. M. Op den Camp,
M. S. M. Jetten, and M. Strous. 2006. A microbial consortium couples
anaerobic methane oxidation to denitrification. Nature. 440:918-921.
Ranamukhaarachchi, S. L., and W. M. Ratnayake. 2006. The effect of straw,
stubble and potassium on grain yield of rice in rice-rice cropping systems in
the mid-country wet zone of Sri Lanka. ScienceAsia. 32:151-158.
Reddy, K. R. and R. D. DeLaune. 2008. Biogeochemistry of wetlands: Science
and applications. CRC PressTaylor & Francis Group. ISBN: 978-1-56670-
678-0.
Rennenberg H, R. Wassmann, H. Papen, and W. Seiler. 1992. Trace gases
exchange in rice cultivation. Ecol. Bull. Copenhagen.
Roden, E. E. 2003. Diversion of electron flow from methanogenesis to crystalline
Fe(III) oxide reduction in carbon-limited cultures of wetland sediment
microorganisms. Am. Soc. Microbiol. 69:5702–5706.
Roesmarkam, A. 2001. Ilmu kesuburan tanah. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas
Pertanian UGM. Yogyakarta.
Sanchez, P. A. 1976. Properties and management of soils in the tropics. A Wiley-
Intersscience Publ. John Wiley and Sons. New York. London. Sydney.
Toronto. 617p.
Santoso, E, dan S. Widati 2007. Analisis biologi tanah. Balai Penelitian Tanah.
Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
Sasa, J., S. Partohardjono, dan A. M. Fagi. 2003. Azolla pada minapadi dan
pengaruhnya terhadap produktivitas dan emisi gas metan di lahan sawah
irigasi. Loka Penelitian Pencemaran Lingkungan Pertanian, Jakenan, Pati.
Volume/Nomor : PP22/02.
Schütz, H., W. Seiler, and W. Rennenberg. 1990. Soil and land use related sources
and sinks of methane (CH4) in the context of the global methane budget. In
Bouwman, A. F. (ed.) Soils and the Greenhouse Effects. John Wiley &
Sons, Chichester, New York, Brisbane, Toronto, Singapore.
Setyanto, P. 2004. Methane emission and its mitigation in rice fields under
different management practices in central Java. Thesis for the degree of
doctor of philosophy. Universiti Putra Malaysia.
Setyanto, P. 2010. Emisi GRK pada Lahan Sawah. (Komunikasi Pribadi).
Balingtan. Departemen Pertanian. Jakenan. Pati.
Setyanto, P., A. B. Rosenani, R. Boer, C. I. Fauziah, and M. J. Khanif. 2004. The
effect of rice cultivars on methane emission from irrigated rice field. Ind. J.
Agric. Sci. 5:20-31.
191

Setyorini, D., S. Rochayati, dan S. J. Adiningsih. 2002. Peranan uji tanah dalam
meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Balitbang Pertanian.
Departemen Pertanian Indonesia.
Shin, Y. K., S. H. Yun, M. E. Park, and B. L. Lee. 1996. Mitigation options for
methane emission from rice fields in Korea. Ambio. 25:289-291.
Six, J., R. T. Conant, E. A. Paul, and K. Paustian. 2002. Stabilization mechanisms
of soil organic matter: Implications for C-saturation of soils. Plant Soil.
241:155-176.
Slonczewski, J. 2009. Nitrate/nitrite methane oxidation. (ed.) BIOL 238
Microbiology. Kenyon College.
Snyder, C. H. 2004. Organic compounds: Alkanes and cycloalkanes. Chemistry
Department. University of Miami.
Soil Survey Staff. 2010. Keys to soil taxonomy, 11th ed. USDA-Natural
Resources Conservation Service, Washington, DC.
Sorensen, L. H. 1972. Stabilization of newly formed amino-acid metabolites in
soil by clay minerals. Soil Sci. 114:5-11.
Steel, R. G. D., and J. H. Torrie. 1978. Principles and procedures of statistics.
Biometrical Approach Mac Graw Hill Inc. Book Co. Tokyo.
Subagjo and P. Buurman. 1980. Soil catenas on the west and north-east slopes of
the Lawu volcano, east Java. In Buurman, P. (ed) Red soils in Indonesia.
Agric. Res. Rep. (Versl. landbouwk. Onderz) 889. ISBN 90 220 0715 4.
Buletin No. 5. Soil Research Ins. Bogor. 169p.
Sudadi, U. 2002. Produksi padi dan pemanasan global. Makalah Pengantar
Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Sumani, D. P. Ariyanto, J. Syamsiyah, H. Widijanto, dan Mujiyo. 2009. Pengaruh
imbangan pupuk organik dan anorganik terhadap emisi gas metana (CH4) di
lahan sawah Palur, Sukoharjo, Jawa Tengah. Makalah disampaikan dalam
Seminar dan Lokakarya Nasional Inovasi Sumberdaya Lahan. Balitbang
Deptan. Bogor.
Supraptohardjo, M. Suwarjo, R. Dudal, Hardjono As, dan Suhardjo. 1966. Peta
Tanah Tindjau Kabupaten Sragen. Lembaga Penelitian Tanah. Bogor.
Suryanto, A. 2005. Penerapan sistem pertanian organik pada tanaman sayuran
dataran tinggi di kebun percobaan Cangar. Makalah pelatihan
kewirausahaan berbasis pengelolaan limbah organik. Universitas Brawijaya.
Malang.
Susilawati, H., L. dan R. Kartikawati. 2008. Petunjuk teknis menghitung total
emisi CH4 dengan pengambilan contoh terbatas. Balingtan. Departemen
Pertanian. Jakenan. Pati.
192

Susilowati, H., L. 2007. Pengukuran potensi produksi gas CH4, CO2 dan N2O
dengan teknik inkubasi tanah. Balingtan. Departemen Pertanian. Jakenan.
Pati.
Sustiprijatno, M. Sugiura, K. Ogawa, and M. Takahashi. 2006. Improvement of
nitrate- and nitrite-dependent growth of rice by the introduction of a
constitutively expressing chloroplastic nitrite transporter. Plant Biotech.
23:47-54.
Sutanto, R. 2002. Penerapan pertanian organik. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Sutrisno, A. 2009. Pengelolaan lahan padi sawah organik di Desa Sukorejo,
Sambirejo, Sragen. (Komunikasi Pribadi). Desa Sukorejo, Kecamatan
Sambirejo, Kabupaten Sragen.
Syamsiyah, J. dan Mujiyo. 2006. Studi reklamasi lahan sawah berkadar bahan
organik rendah. Laporan Kegiatan. Kerjasama Dirjen PLA Deptan Indonesia
– FP UNS Surakarta.
Syamsiyah, J., B. H. Sunarminto, dan Mujiyo. 2010. Pemetaan ”Carbon Budget”
sebagai dasar strategi mitigasi emisi karbondioksida (CO2) dan metana
(CH4) di lahan padi sawah organik Kabupaten Sragen. Laporan Penelitian
Riset Dasar Menristek.
Syekhfani. 2003. Sistem pertanian organik: Prospek dan permasalahan. Makalah
pelatihan pembangunan pertanian berkelanjutan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Kerjasama Bagpro PKSDM Ditjen Dikti
Depdiknas - FP UB. Malang.
Tan, Kim H. 1992. Dasar-dasar kimia tanah. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Thauer, R. K., A. K. Kaster, H. Seedorf, W. Buckel and R. Hedderich. 2008.
Methanogenic archaea: Ecologically relevant differences in energy
conservation. Nature Reviews Microbiol. 6:579-591.
Tsutsuki, K. 1984. Volatile products and low-molecular-weight phenolic products
of the anaerobic decomposition of organic matter. In Organic matter and
rice. IRRI. Philippines.
USEPA. 2006. Global antropogenic non-CO2 GHG emission: 1990-2020. United
States EPA. http://www.epa.gov.
Vance, D. B. 1996. Redox reactions in remediation. Environ. Tech. 6:24-25.
van Ranst, E. 1991. Soil genesis. Concepts of soil development formation of
diagnostic horizons and materials. Lab. Soil Sci. ITC for Post-Graduate Soil
Scientist. State Univ. Gent. Belgium.
van Ranst, E. 1995. Clay mineralogy. Crystal, structure, identification, analysis,
and chemistry of clay minerals and clays. Lab. Soil Sci. ITC for Post-
Graduate Soil Scientist. State Univ. Gent. Belgium.
193

Vogels, G. D., J. T. Keltjens, and C. Van der Drift. 1988. Biochemistry of


methane production. In Zehnder A. J. B. (ed.) Biology of anaerobic
organisms. John Wiley & Sons, Chichester, New York, Brisbane, Toronto,
Singapore.
Wassmann, R., Y. Hosen, and K. Sumfleth. 2009. Reducing methane emissions
from irrigated rice. Agriculture and climate change: An agenda for
negotiation in Copenhagen. International Food Policy Research Ins.
Washington, DC.
Watanabe, I., G. Takada, T. Hashimoto, and K. Inubushi. 1995. Evaluation of
alternative substrates for determining methane-oxidizing activities and
methanotrophic populations in soils. Bio. Fertil. Soils. 20:101-106.
Watanabe, I., T. Hashimoto, and A. Shimoyama. 1997. Methane-oxidizing
activities and methanotrophic populations associated with wetland rice
plants. Bio. Fertil. Soils. 24:261–265.
Whalen, S. C. and W. S. Reeburgh. 2000. Methane oxidation, production, and
emission at contrasting sites in a boreal bog. Geomicrobiol. J. 17:237-251.
Wilding, L. P., N. E. Smeck, and G. F. Hall. 1983. Pedogenesis and soil
taxonomy. Elsevier Sci. Publ. B. V.
Yagi, K. 2002. Methane emission in rice, mitigation options. In Encylopedia of
Soil Sci. New York.
Yagi, K., H. Tsuruta, and K. Minami. 1997. Possible options for mitigating
methane emission from rice cultivation. Nutrient Cycling in
Agroecosystems. 49:213-220.
Yagi, K., K. Minami, G. A. Breitenbeck, and H. Takayama. 1990. Emission and
production of methane from paddy fields. In Transaction 14th Int. Congress
Soil Sci. Kyoto II:238-243.
Ying, Z., P. Boecks, G. X. Chen, and O. Van Cleemput. 2000. Influence of Azolla
on CH4 emission from rice fields. Nutrient Cycling in Agroecosystems.
58:321-326.
Yue, J., W. Liang, J. Wu, Y. Shi, and G. Huang. 2010. Methane and nitrous oxide
emissions from rice field soil in phaeozem and mitigative measures. Lab.
Terrestrial Ecol. Process. Ins. Appl. Ecol. Chinese Ac. Sci. Shenyang,
China. p.8.
194

LAMPIRAN

Lampiran 1. Metode analisis sifat tanah

No. Sifat Tanah Metode/Alat/Ekstrasi Rujukan


1. Warna Buku MSCC USDA
2. Tekstur Pemipetan Eviati dan Sulaeman
(2009)
3. Struktur Pengamatan agregat tunggal Poerwowidodo
(1992)
4. Konsistensi Pengamatan keliatan dan Poerwowidodo
kelekatan (1992)
5. Permeabilitas Permeameter Kurnia et al. (2006)
6. Ketahanan penetrasi Penetrometer Kurnia et al. (2006)
8. pH H2O, KCl, NaF H2O, KCl 1 M, NaF 5% Eviati dan Sulaeman
pH meter (2009)
10. Gleisasi Reaksi redoks Poerwowidodo
HCl 1,2 N, KCNS 10%, (1992)
K4Fe(CN)6 0,5%
11. C-organik K2Cr2O7 1 N, H2SO4 (p) Eviati dan Sulaeman
Spektrofotometer λ 561 nm (2009)
12. Humat dan fulvat Natrium pirofosfat, NaOH0,1N Eviati dan Sulaeman
K2Cr2O7 1 N, H2SO4 (p) (2009)
Spektrofotometer λ 561 nm
13. N-total H2SO4 pekat Eviati dan Sulaeman
Sangga tartrat, Na-fenat, (2009)
NaOCl 5%
Spektrofotometer λ 636 nm
14. P2O5 tersedia Olsen: NaHCO3 0,5 M pH 8,5 Eviati dan Sulaeman
Bray I: NH4F 0,03 N (2009)
Spektrofotometer λ 889 nm
15. P2O5 total HCl 25% Eviati dan Sulaeman
Spektrofotometer λ 889 nm (2009)
16. K2O tersedia NH4Oac 4 M pH 7,0 Eviati dan Sulaeman
Flamefotometer (2009)
17. K2O total HCl 25% Eviati dan Sulaeman
Flamefotometer (2009)
18. KPK NH4Oac 1 M pH 7,0 Eviati dan Sulaeman
Sangga tartrat, Na-fenat, (2009)
NaOCl 5%
Spektrofotometer λ 636 nm
19. KB; kation K, Na, NH4Oac 1 M pH 7,0 Eviati dan Sulaeman
Ca, Mg Flamefotometer dan AAS (2009)
20. Fe oksida bebas Dithionit sitrat bikarbonat Eviati dan Sulaeman
AAS (2009)
195

No. Sifat Tanah Metode/Alat/Ekstrasi Rujukan


21. Fe amorf Amonium oksalat Eviati dan Sulaeman
AAS (2009)
22. Fe asosiasi organik Natrium pirofosfat Eviati dan Sulaeman
AAS (2009)
23. C biomass Fumigasi kloroform (CHCl3) Santosa, E dan
Pra-ekstraksi K2SO4 0,05 M Widati, S (2007)
Ekstrasi K2SO4 0,5 M Mueller et al. (1992)
K2Cr2O7 1 N, H2SO4 (p)
Spektrofotometer λ 561 nm
24. N biomass Fumigasi kloroform (CHCl3) Santosa, E dan
Pra-ekstraksi K2SO4 0,05 M Widati, S (2007)
Ekstrasi K2SO4 0,5 M Eviati dan Sulaeman
H2SO4 pekat (2009)
Spektrofotometer λ 636 nm Mueller et al. (1992)
25. Mineral sekunder Difraksi Sinar-X Tan, Kim H. (1992)
27. Oksigen terlarut DO meter / Oxymeter
28. Suhu tanah DO meter / Oxymeter
with temperatur sensor

Lampiran 2. Metode analisis sifat air

No. Sifat Air Metode/Alat/Ekstrasi Rujukan

1. Suhu air DO meter / Oxymeter


with temperatur sensor
2. pH pH meter
3. Oksigen terlarut DO meter / Oxymeter
4. Nitrit Sulfanilamid (SA) dan BSN 2004
N- (1-naphthyl) ethylene SNI 06-6989.9-2004
diamine dihydrochloride
(NED dihydrochloride)
Spektrofotometer λ 543 nm
5. Nitrat Brusin 2%, H2SO4 pekat Eviati dan Sulaeman
Spektrofotometer λ 432 nm (2009)
6. Amonium Metode Biru Indofenol Eviati dan Sulaeman
Sangga tartrat, Na-fenat, (2009)
NaOCl 5%
Spektrofotometer λ 636 nm
7. C biomass Fumigasi kloroform (CHCl3) Santosa, E dan
K2Cr2O7 1 N, H2SO4 (p) Widati, S (2007)
Spektrofotometer λ 561 nm
196

Lampiran 3. Metode analisis jaringan tanaman dan Azolla


Sifat Jaringan
No. Metode/Ekstrasi/Alat Rujukan
Tanaman dan Azolla
1. C organik Pengabuan Eviati dan
Penimbangan kadar abu Sulaeman (2009)
2. N total Pengabuan basah Eviati dan
H2SO4 pekat Sulaeman (2009)
Sangga tartrat, Na-fenat,
NaOCl 5%
Spektrofotometer λ 636 nm
3. P total Pengabuan basah Eviati dan
Campuran asam pekat Sulaeman (2009)
HNO3 dan HClO4
Pewarna P asam askorbat
Spektrofotometer λ 889 nm
4. K total Pengabuan basah Eviati dan
Campuran asam pekat Sulaeman (2009)
HNO3 dan HClO4
AAS

Lampiran 4. Metode analisis pupuk kandang sapi

No. Sifat Pupuk Kandang Metode /Ekstrasi/Alat Rujukan


Sapi
1. C organik K2Cr2O7 1 N, H2SO4 98% Eviati dan
Spektrofotometer λ 561 nm Sulaeman, 2009
2. N total H2SO4 98% Eviati dan
Sangga tartrat, Na-fenat, Sulaeman, 2009
NaOCl 5%
Spektrofotometer λ 636 nm
3. P total HNO3 65%, HClO4 70% Eviati dan
Spektrofotometer λ 889 nm Sulaeman (2009)
4. K total HNO3 65%, HClO4 70% Eviati dan
AAS Sulaeman (2009)
197

Lampiran 5. Metode analisis emisi CH4

No. Emisi CH4 Metode/Alat/Detektor Rujukan

1. Potensi Produksi CH4 Inkubasi tanah + acetylene Susilowati (2007);


GC/FID Watanabe et al.,
1995; Watanabe
et al. (1997)
2. Potensi Oksidasi CH4 Inkubasi tanah Susilowati (2007)
GC/FID
3. Total Emisi CH4 Closed Chamber Susilawati dan
GC/FID Kartikawati
(2008)

Lampiran 6. Metode analisis methanogen dan methanotrof

No. Aktivitas Mikrobia Metode/Alat/Detector Rujukan

1. Methanogen Inkubasi sampel tanah segar Watanabe et al.,


+ acetylene 1995;
Pengukuran produksi CH4 Watanabe et al.
GC/FID (1997);
Susilowati (2007)
2. Methanotrof Inkubasi sampel tanah segar Susilowati (2007)
Pengukuran produksi CH4
GC/FID
198

Lampiran 7. Pemerian horison tanah sawah organik (P1)

Horison Jeluk (cm) Pemerian


Apg 0 – 18/22 Warna matriks coklat kekuningan gelap (10 YR 3/4);
terdapat bercak/konsentrasi massa humus, warna hitam
(10 YR 2/1), jumlah sedang, ukuran halus, kekontrasan
baur, bentuk tidak beraturan; terdapat konsentrasi
massa Fe, warna merah (2,5 YR 5/8), jumlah sedang,
ukuran sedang, bentuk tidak beraturan, derajat
sementasi lemah; tekstur lom; struktur gumpal
membulat; ukuran halus, derajat lemah; konsistensi
agak lekat (basah) dan plastis; pori mikro (banyak),
meso (sedang), makro (sedikit); perakaran mikro
(sedang), meso (sedikit), makro (tidak ada); daya
topang 0,1 kg m-2; batas sangat jelas; bentuk rata; pH
(H2O) 6,26; pH (KCl) 5,76; reaksi positif dengan α ,α -
dipyridyl; beralih ke
Bt 18/22 – 52/58 Warna matriks coklat kekuningan gelap (10 YR 3/4);
terdapat bercak/konsentrasi massa humus, warna hitam
(10 YR 2/1), jumlah sedang, ukuran halus, kekontrasan
jelas, bentuk tidak beraturan; terdapat nodul Fe/plintit,
warna merah (2,5 YR 5/8), jumlah sedang, ukuran
sedang, bentuk tidak beraturan, derajat sementasi
lemah; terdapat nodul Mn, warna abu-abu kemerahan
gelap (2,5 YR 3/1), jumlah sedikit, ukuran halus,
bentuk bulat, derajat sementasi lemah; tekstur lom
klei; struktur gumpal membulat; ukuran halus, derajat
lemah; konsistensi gembur (lembab) dan plastis; kutan
klei dalam struktur (sedang); pori mikro (banyak),
meso (sedang), makro (sedikit); perakaran mikro
(banyak), meso (sedikit), makro (tidak ada); daya
topang 0,3 kg m-2; batas jelas; bentuk rata; pH (H2O)
7,36; pH (KCl) 4,89; beralih ke
Bw1 52/58 – 78/100 Warna matriks coklat kekuningan gelap (10 YR 4/6);
terdapat bercak, warna merah kekuningan (5 YR 5/6),
jumlah sedang, ukuran halus, kekontrasan jelas, bentuk
bintik berganda; terdapat nodul Fe, warna kuning
kemerahan (7,5 YR 7/8), jumlah sedikit, ukuran
sedang, bentuk bulat, derajat sementasi agak kuat;
terdapat nodul Mn, warna hitam (7,5 YR 2,5/1)),
jumlah sedang, ukuran sedang, bentuk bulat, derajat
sementasi agak kuat; tekstur lom; struktur gumpal
membulat; ukuran sedang, derajat sedang; konsistensi
teguh (lembab) dan agak plastis; pori mikro (banyak),
meso (sedikit), makro (sedikit); perakaran mikro (tidak
ada), meso (tidak ada), makro (tidak ada); daya topang
0,9 kg m-2; batas baur; bentuk berombak; pH (H2O)
199

6,51; pH (KCl) 5,09; beralih ke


Bw2 78/100 – 150 Warna matriks coklat kekuningan (10 YR 5/6);
terdapat bercak, warna kuning kemerahan (7,5 YR
7/8), jumlah sedang, ukuran halus, kekontrasan jelas,
bentuk tidak beraturan; terdapat nodul Fe, warna
kuning kemerahan (7,5 YR 7/8), jumlah sedang,
ukuran sedang, bentuk bulat, derajat sementasi agak
kuat; terdapat nodul Mn, warna hitam (7,5 YR 2,5/1),
jumlah sedang, ukuran sedang, bentuk bulat, derajat
sementasi agak kuat; tekstur lom; struktur gumpal
membulat; ukuran sedang, derajat sedang; konsistensi
teguh (lembab) dan agak plastis; pori mikro (banyak),
meso (sedikit), makro (sedikit); perakaran mikro (tidak
ada), meso (tidak ada), makro (tidak ada); daya topang
0,8 kg m-2; batas baur; bentuk berombak; pH (H2O)
6,60; pH (KCl) 5,98; belum ada batuan yang
mendasari
200

Lampiran 8. Sifat fisika dan biologi tanah tanah sawah organik (P1)
C Biomassa N Biomassa
Horison Pasir Debu Klei Kelas BV BJ Porositas Permeabilitas
-3 -3 -1 Mikrobia Mikrobia
Jeluk (cm) (%) (%) (%) Tekstur (g cm ) (g cm ) (%) (cm jam )
(µg C g tanah) (µg N g-1 tanah)
-1

Apg
40,74 34,70 24,56 Lom 1,17 1,93 39,16 8,72 498,39 72,59
0 – 18/22
Bt1
23,59 36,26 40,16 Lom klei 1,32 2,03 34,99 5,04 418,01 59,11
18/22 – 52/58
Bw1
32,16 36,26 31,58 Lom 1,55 1,97 21,38 2,12 84,98 30,07
52/58 – 78/100
Bw2
33,72 28,65 37,62 Lom 1,38 1,93 28,56 4,94 110,24 30,59
78/100 - 150

Lampiran 9. Sifat kimia tanah tanah sawah organik (P1)


C- N P2O5 K2O P2O5 K2O K- Na- Ca- Mg-
Horison pH pH Organik KPK KB
Total Total Total TesediaTersedia dd dd dd dd
Jeluk (cm) H2O KCl
% % mg 100-1gmg 100-1g ppm ppm cmol(+) kg-1
%
Apg
6,26 5,76 2,09 0,15 46,86 20,03 9,70 117,11 0,30 0,71 6,52 2,44 27,75 35,96
0 – 18/22
Bt1
7,36 4,89 2,00 0,12 53,79 22,00 8,97 122,70 0,31 0,87 8,65 2,97 31,80 40,28
18/22 – 52/58
Bw1
6,51 5,09 1,31 0,12 41,46 48,49 7,50 86,73 0,22 0,72 5,65 2,16 24,89 35,16
52/58 – 78/100
Bw2
6,60 5,98 1,30 0,09 32,82 54,87 5,30 171,06 0,44 0,86 6,64 2,36 27,86 36,96
78/100 - 150
201

Lampiran 10. Kandungan Fe tanah tanah sawah organik (P1)


Fe Fe Fe
Fe Fe Fe Fe
Horison Bebas / Organik / Amorf /
Bebas Organik Amorf Total Fe Total Fe Total Fe Total
Jeluk (cm)
% % % % % % %
Apg
4,28 1,33 2,64 8,24 51,93 16,10 31,97
0 – 18/22
Bt1
4,33 1,11 2,19 7,63 56,76 14,52 28,72
18/22 – 52/58
Bw1
3,77 0,85 1,96 6,58 57,31 12,93 29,76
52/58 – 78/100
Bw2
4,15 0,91 1,70 6,76 61,39 13,43 25,18
78/100 - 150

Lampiran 11. Gambar hasil difraksi sinar-X tanah tanah sawah organik (P1)
202

Lampiran 12. Horison diagnostik tanah tanah sawah organik (P1)


Horison Syarat Pemerian Nama
Diagnostik
Epipedon 1. Tebal > 18 cm 1. Tebal 18 - 22 cm Umbric
2. Kandungan C-organik 2. Kandungan C-
> 0,6% organik 2,09%
3. Value < 3,5 (lembab) 3. Value = 3 (lembab)
4. KB < 50% 4. KB = 35,96%
5. Tidak pernah kering > 5. Tidak pernah
3 bulan kering > 3 bulan
Endopedon 1. Horison eluviasi 1. Horison iluviasi Argilic
kandungan klei 15- kandungan klei
40% (24,56%), maka 40,16%, 31,58%,
horison iluviasi dan 37,62%
kandungan klei > 1,2x 2. Ditemukan kutan
(> 29,47%) pada horison II
2. Terdapat kutan
1. Kandungan C-organik 1. Kandungan C- Sombric
> 0,6% organik 1,65%
2. Value < 3,5 (lembab) 2. Value = 3 (lembab)
3. KB < 50% 3. KB = 40,28%
203

Lampiran 13. Klasifikasi tanah tanah sawah organik (P1)

Tingkat Pemerian Nama


Ordo 1. Argilik Alfisol
2. KB > 35%
Sub Ordo Alfisol yang mempunyai horison Aqualf
kondisi akuik, besi aktif (fero)
memberikan reaksi positif
terhadap α ,α -dipyridyl
Great Group 1. Aqualf yang mengalami Epiaqualf
penjenuhan air pada satu atau
lebih horison pada kedalaman
200 cm
2. Reaksi positif terhadap α ,α -
dipyridyl pada horison I
Sub Group Epiaqualf yang mempunyai Umbric Epiaqualf
epipedon umbrik
Besar butir Rata-rata imbang pasir 31,94%, Fine Loam
debu 32,96%, klei 35,10%; klei
lom termasuk besar butir lom
halus
Mineralogi Smektit (sedang, ++) Mixed
Kaolinit disorder (sedang, ++)
Smectitic = Kaolinitik
Reaksi tanah pH H2O 6,7 Nonacid
Rejim suhu tanah Rata-rata suhu tanah tahunan pada Isohyperthermic
kedalaman 50 cm > 22 0C dan
selisih rata-rata musim panas dan
musim dingin < 6 0C
Famili Umbric Epiaqualf,
Fine Loam, Mixed,
Nonacid,
Isohyperthermic
204

Lampiran 14. Pemerian horison tanah sawah semi organik (P2)

Horison Jeluk (cm) Pemerian


Apg 0 – 19/22 Warna matriks coklat kekuningan gelap (10 YR 3/4);
terdapat bercak, warna coklat kuat (7,5 YR 5/6),
jumlah sedang, ukuran halus, kekontrasan baur, bentuk
bintik berganda; terdapat konsentrasi massa Fe, warna
merah (2,5 YR 5/8), jumlah sedikit, ukuran halus,
bentuk tidak beraturan, derajat sementasi lemah;
tekstur lom klei berpasir; struktur gumpal membulat;
ukuran halus, derajat lemah; konsistensi sangat gembur
(lembab) dan plastis; pori mikro (banyak), meso
(sedang), makro (sedang); perakaran mikro (sedang),
meso (sedikit), makro (tidak ada); daya topang 0,1 kg
m-2; batas sangat jelas; bentuk rata; pH (H2O) 5,96; pH
(KCl) 6,02; reaksi positif dengan α ,α -dipyridyl; beralih
ke
Bw1 19/22 – 46/62 Warna matriks coklat kekuningan (10 YR 5/6);
terdapat konsentrasi massa humus, warna hitam (10
YR 2/1), jumlah sedikit (<5%), ukuran halus (< 2
mm), terdapat bercak, warna merah kekuningan (5 YR
5/6), jumlah banyak, ukuran halus, kekontrasan baur,
bentuk bintik berganda; terdapat nodul Fe, warna
merah (2,5 YR 5/8), jumlah sedang, ukuran halus,
bentuk tidak beraturan, derajat sementasi kuat; terdapat
nodul Mn, warna hitam (7,5 YR 2,5/1), jumlah sedang,
ukuran sangat halus, bentuk bulat, derajat sementasi
kuat; tekstur lom klei berpasir; struktur gumpal
membulat; ukuran sedang, derajat sedang; konsistensi
teguh (lembab) dan tidak plastis; pori mikro (banyak),
meso (sedang), makro (sedikit); perakaran mikro
(sedikit), meso (tidak ada), makro (tidak ada); daya
topang 1 kg m-2; batas berangsur; bentuk berombak;
pH (H2O) 6,80; pH (KCl) 6,14; beralih ke
Bw2 46/62 – 91/108 Warna matriks coklat kekuningan (10 YR 5/6);
terdapat bercak, warna merah kekuningan (5 YR 5/6),
jumlah sedang, ukuran halus, kekontrasan jelas, bentuk
bintik berganda; terdapat nodul Fe, warna merah
kekuningan (5 YR 5/6), jumlah sedang, ukuran halus,
bentuk tidak beraturan, derajat sementasi kuat; terdapat
nodul Mn, warna hitam (7,5 YR 2,5/1), jumlah sedang,
ukuran sangat halus, bentuk bulat, derajat sementasi
kuat; tekstur lom klei; struktur gumpal membulat;
ukuran kasar, derajat sedang; konsistensi teguh
(lembab) dan tidak plastis; pori mikro (banyak), meso
(sedang), makro (sedikit); perakaran mikro (tidak ada),
205

meso (tidak ada), makro (tidak ada); daya topang 0,9


kg m-2; batas baur; bentuk berombak; pH (H2O) 6,60;
pH (KCl) 6,10; beralih ke
Bw3 91/108 - 150 Warna matriks coklat kekuningan (10 YR 5/6);
terdapat bercak, warna kuning kemerahan (7,5 YR
6/8), jumlah sedikit, ukuran halus, kekontrasan jelas,
bentuk bintik berganda; terdapat nodul Fe, warna
coklat kuat (7,5 YR 4/6), jumlah sedang, ukuran halus,
bentuk bulat dan tidak beraturan, derajat sementasi
kuat; terdapat nodul Mn, warna hitam (7,5 YR 2,5/1),
jumlah sedikit, ukuran sangat halus, bentuk bulat,
derajat sementasi kuat; tekstur lom berpasir; struktur
gumpal membulat; ukuran kasar, derajat sedang;
konsistensi sangat teguh (lembab) dan tidak plastis;
pori mikro (sedang), meso (sedang), makro (tidak ada);
perakaran mikro (tidak ada), meso (tidak ada), makro
(tidak ada); daya topang 2,1 kg m-2; batas baur; bentuk
berombak; pH (H2O) 6,55; pH (KCl) 5,33; belum ada
batuan yang mendasari
206

Lampiran 15. Sifat fisika dan biologi tanah sawah semi organik (P2)
Horison Pasir Debu Klei Kelas BV BJ Porositas Permeabilitas C Biomassa N Biomassa
-3 -3 -1 Mikrobia Mikrobia
Jeluk (cm) (%) (%) (%) Tekstur (g cm ) (g cm ) (%) (cm jam ) (µg C g-1 tanah) (µg N g-1 tanah)
Apg Lom klei
44,25 26,12 29,63 1,08 1,95 44,70 4,31 475,42 59,37
0 – 19/22 berpasir
Bw1 Lom klei
44,25 27,68 28,07 1,39 1,92 27,77 2,09 199,82 56,00
19/22 – 46/62 berpasir
Bw2
42,30 27,29 30,41 Lom klei 1,23 1,90 35,38 1,63 172,26 38,89
46/62 – 91/108
Bw3 Lom
63,74 26,90 9,36 1,27 1,97 35,23 1,86 321,54 33,70
91/108 - 150 berpasir

Lampiran 16. Sifat kimia tanah sawah semi organik (P2)


C- N P2O5 K2O P2O5 K2O K- Na- Ca- Mg-
Horison pH pH Organik KPK KB
Total Total Total TesediaTersedia dd dd dd dd
Jeluk (cm) H2O KCl
% % mg 100-1g mg 100-1g ppm ppm cmol(+) kg-1
%
Apg
5,96 6,02 1,78 0,17 49,27 53,23 9,98 122,30 0,31 0,69 6,37 2,68 26,99 37,28
0 – 19/22
Bw1
6,80 6,14 1,65 0,14 50,24 35,98 9,06 96,69 0,25 0,77 5,58 3,39 25,27 39,52
19/22 – 46/62
Bw2
6,60 6,10 1,56 0,10 32,11 48,06 8,51 178,20 0,46 0,90 5,20 2,75 23,33 39,90
46/62 – 91/108
Bw3
6,55 5,33 1,48 0,07 23,14 58,75 5,76 199,89 0,51 0,66 4,26 1,18 17,80 37,14
91/108 - 150
207

Lampiran 17. Kandungan Fe tanah sawah semi organik (P2)


Fe Fe Fe
Fe Fe Fe Fe
Horison Bebas / Organik / Amorf /
Bebas Organik Amorf Total
Jeluk (cm) Fe Total Fe Total Fe Total
% % % % % % %
Apg
2,96 0,98 1,59 5,53 53,48 17,76 28,76
0 – 19/22
Bw1
3,46 0,79 1,64 5,89 58,78 13,45 27,77
19/22 – 46/62
Bw2
3,11 0,91 1,63 5,65 55,08 16,09 28,83
46/62 – 91/108
Bw3
4,09 0,88 1,64 6,60 61,96 13,26 24,78
91/108 - 150

Lampiran 18. Gambar hasil difraksi sinar-X tanah sawah semi organik (P2)
208

Lampiran 19. Horison diagnostik tanah sawah semi organik (P2)


Horison Syarat Pemerian Nama
Diagnostik
Epipedon 1. Tebal > 18 cm 1. Tebal 19 - 22 cm Umbric
2. Kandungan C-organik 2. Kandungan C-
> 0,6% organik 1,78%
3. Value < 3,5 (lembab) 3. Value = 3 (lembab)
4. KB < 50% 4. KB = 37,28%
5. Tidak pernah kering > 5. Tidak pernah
3 bulan kering > 3 bulan
Endopedon 1. Iluviasi klei tidak Kandungan klei Cambic
nyata horison I-IV; 29,63%,
2. Perkembangan 28,07%, 30,41%,
horison belum nyata 9,36%
209

Lampiran 20. Klasifikasi tanah sawah semi organik (P2)

Tingkat Pemerian Nama


Ordo 1. Tidak memenuhi syarat Inceptisol
endopedon lain selain kambik,
atau
2. Mempunyai epipedon umbrik
Sub Ordo Inceptisol yang mempunyai Aquept
horison kondisi akuik, besi aktif
(fero) memberikan reaksi positif
terhadap α ,α -dipyridyl
Great Group 1. Aquept yang mengalami Epiaquept
penjenuhan air pada satu atau
lebih horison pada kedalaman
200 cm
2. Reaksi positif terhadap α ,α -
dipyridyl pada horison I
Sub Group 1. Value = 3 (lembab) (3 atau Humic Epiaquept
kurang)
2. KB = 37,28% (<50%)
Besar butir Rata-rata imbang pasir 48,73%, Coarse Loam
debu 25,59%, klei 25,68%; lom
termasuk besar butir lom kasar
Mineralogi Smektit (sedikit, +) Kaolinitic
Kaolinit (banyak, +++)
Goethit (sangat sedikit, +)
Reaksi tanah pH H2O 6,5 Nonacid
Rejim suhu tanah Rata-rata suhu tanah tahunan pada Isohyperthermic
kedalaman 50 cm > 22 0C dan
selisih rata-rata musim panas dan
musim dingin < 6 0C
Famili Humic Epiaquept,
Coarse Loam,
Kaolinitic, Nonacid,
Isohyperthermic
210

Lampiran 21. Pemerian horison tanah sawah konvensional (P3)

Horison Jeluk (cm) Pemerian


Apg 0 – 27/32 Warna matriks coklat kekuningan gelap (10 YR 4/6);
terdapat bercak glei, warna abu-abu kebiruan terang
(2N 7/1), jumlah banyak, ukuran kasar, kekontrasan
jelas, bentuk bintik berganda; tekstur lom klei; struktur
gumpal membulat; ukuran sedang, derajat lemah;
konsistensi gembur (lembab) dan tidak plastis; pori
mikro (banyak), meso (banyak), makro (sedang);
perakaran mikro (banyak), meso (banyak), makro
(tidak ada); daya topang 0,25 kg m-2; batas berangsur;
bentuk rata; pH (H2O) 5,48; pH (KCl) 5,30; reaksi
positif dengan α ,α -dipyridyl; beralih ke
Bw1 27/32 – 56/75 Warna matriks coklat kekuningan gelap (10 YR 4/4);
terdapat bercak, warna merah kekuningan (5 YR 5/8),
jumlah sedang, ukuran halus, kekontrasan baur, bentuk
bintik berganda; terdapat nodul Fe, warna merah (2,5
YR 5/8), jumlah sedikit, ukuran sedang, bentuk tidak
beraturan, derajat sementasi kuat; tekstur lom klei;
struktur gumpal membulat; ukuran sedang, derajat
sedang; konsistensi gembur (lembab) dan agak plastis;
pori mikro (banyak), meso (banyak), makro (sedikit);
perakaran mikro (sedang), meso (sedikit), makro (tidak
ada); daya topang 0,4 kg m-2; batas jelas; bentuk
berombak; pH (H2O) 6,62; pH (KCl) 5,58; beralih ke
Bw2 56/75 – 75/96 Warna matriks merah lemah (2,5 YR 5/2); terdapat
bercak, warna merah (2,5 YR 4/8), jumlah sedang,
ukuran sedang, kekontrasan jelas, bentuk pipa;
terdapat nodul Fe, warna merah (2,5 YR 5/8), jumlah
sedang, ukuran kasar, bentuk tidak beraturan, derajat
sementasi kuat; tekstur lom; struktur gumpal
membulat; ukuran sedang, derajat sedang; konsistensi
gembur (lembab) dan plastis; pori mikro (sedang),
meso (sedang), makro (tidak ada); perakaran mikro
(tidak ada), meso (tidak ada), makro (tidak ada); daya
topang 0,5 kg m-2; batas baur; bentuk terputus; pH
(H2O) 6,99; pH (KCl) 5,63; beralih ke
Bw3 75/96 – 102/108 Warna matriks merah (2,5 YR 4/6); terdapat bercak,
warna kuning kemerahan (7,5 YR 6/8), jumlah sedikit,
ukuran sedang, kekontrasan jelas, bentuk api; terdapat
nodul Fe, warna merah (2,5 YR 5/8), jumlah sedikit,
ukuran sedang, bentuk tidak beraturan, derajat
sementasi kuat; tekstur lom klei berpasir; struktur
gumpal membulat; ukuran halus, derajat sedang;
konsistensi gembur (lembab) dan plastis; pori mikro
211

(sedikit), meso (sedikit), makro (tidak ada); perakaran


mikro (tidak ada), meso (tidak ada), makro (tidak ada);
daya topang 0,1 kg m-2; batas baur; bentuk berombak;
pH (H2O) 6,97; pH (KCl) 5,99; beralih ke
Bw4 102/108 – 150 Warna matriks coklat kemerahan (2,5 YR 5/3);
terdapat bercak, warna kuning kemerahan (7,5 YR
6/8), jumlah sedang, ukuran halus, kekontrasan jelas,
bentuk api; terdapat nodul Fe, warna merah (2,5 YR
5/8), jumlah sedikit, ukuran halus, bentuk tidak
beraturan, derajat sementasi kuat; tekstur lom klei
berpasir; struktur gumpal membulat; ukuran halus,
derajat sedang; konsistensi gembur (lembab) dan
plastis; pori mikro (sedikit), meso (sedikit), makro
(tidak ada); perakaran mikro (tidak ada), meso (tidak
ada), makro (tidak ada); daya topang 0,1 kg m-2; batas
baur; bentuk berombak; pH (H2O) 7,17; pH (KCl)
6,06; belum ada batuan yang mendasari
212

Lampiran 22. Sifat fisika dan biologi tanah sawah konvensional (P3)
N Biomassa
Horison Pasir Debu Klei Kelas BV BJ Porositas Permeabilitas C Biomassa
-3 -3 Mikrobia Mikrobia
Jeluk (cm) (%) (%) (%) Tekstur (g cm ) (g cm ) (%) (cm jam-1) (µg C g-1 tanah)
(µg N g-1 tanah)
Apg
0 – 27/32
23,20 38,99 37,82 Lom klei 1,09 1,94 43,53 4,14 367,48 49,26
Bw1
27/32 – 56/75
33,72 32,36 33,92 Lom klei 1,57 2,12 25,87 5,01 257,23 20,74
Bw2
56/75 – 75/96
38,79 37,04 24,17 Lom 1,39 1,86 25,27 1,95 303,17 27,48
Bw3 Lom klei
75/96 – 102/108 63,74 3,12 33,14 1,40 1,96 28,69 1,65 261,83 27,22
berpasir
Bw4 Lom klei
102/108 – 150 57,50 15,59 26,90 1,50 1,98 24,38 6,24 266,42 16,33
berpasir

Lampiran 23. Sifat kimia tanah sawah konvensional (P3)


C- N P2O5 K2O P2O5 K2O K- Na- Ca- Mg-
Horison pH pH Organik KPK KB
Total Total Total TesediaTersedia dd dd dd dd
Jeluk (cm) H2O KCl
% % mg 100-1g mg 100-1g ppm ppm cmol(+) kg-1 %
Apg
0 – 27/32
5,48 5,30 1,08 0,15 17,27 40,57 11,45 116,13 0,30 0,81 5,44 4,21 30,35 35,43
Bw1
27/32 – 56/75
6,62 5,58 1,00 0,12 27,40 45,99 9,25 123,19 0,32 1,00 4,93 3,28 25,53 37,32
Bw2
56/75 – 75/96
6,99 5,63 1,01 0,10 25,53 55,19 7,78 71,11 0,18 1,33 4,85 2,78 21,40 42,69
Bw3
75/96 – 102/108
6,97 5,99 0,68 0,07 20,36 59,63 6,04 66,08 0,17 1,28 6,27 3,10 24,35 44,44
Bw4
102/108 – 150
7,17 6,06 0,78 0,06 21,97 46,74 5,40 168,26 0,43 0,92 5,73 3,17 21,40 47,89
213

Lampiran 24. Kandungan


gan Fe tanah sawah konvensional (P3)
Fe Fee Fe
Fe Fe Fe Fe
Horison Bebas / Organi
anik / Amorf /
Beb
ebas Organik Amorf Total
Jeluk (cm) Fe Total Fe Tot
otal Fe Total
% % % % % % %
Apg
0 – 27/32
5,00
5, 1,22 2,63 8,85 56,52 13,8
3,82 29,66
Bw1
27/32 – 56/75
3,80
3, 0,79 2,46 7,04 53,92 11,1
1,19 34,89
Bw2
56/75 – 75/96
4,12
4, 0,90 2,77 7,78 52,90 11,5
1,52 35,58
Bw3
75/96 – 102/108
4,00
4, 0,84 1,58 6,42 62,29 13,0
3,01 24,70
Bw4
102/108 – 150
3,43
3, 0,89 2,08 6,40 53,56 13,9
3,93 32,51

Lampiran 25. Gambar hasil


ha difraksi sinar-X tanah sawah konvensionall ((P3)
214

Lampiran 26. Horison diagnostik tanah sawah konvensional (P3)


Horison Syarat Pemerian Nama
Diagnostik
Epipedon 1. Tebal > 18 cm 1. Tebal 27 – 32 cm Umbric
2. Kandungan C-organik 2. Kandungan C-
> 0,6% organik 1,08%
3. Value < 3,5 (lembab) 3. Value = 3 (lembab)
4. KB < 50% 4. KB = 35,43%
5. Tidak pernah kering > 5. Tidak pernah
3 bulan kering > 3 bulan
Endopedon 1. Iluviasi klei tidak Kandungan klei Cambic
nyata horison I-V; 37,82%,
2. Perkembangan 33,92%, 24,17%,
horison belum nyata 33,14%, 26,90%
215

Lampiran 27. Klasifikasi tanah sawah konvensional (P3)

Tingkat Pemerian Nama


Ordo 1. Tidak memenuhi syarat Inceptisol
endopedon lain selain kambik,
atau
2. Mempunyai epipedon umbrik
Sub Ordo Inceptisol yang mempunyai Aquept
horison kondisi akuik, besi aktif
(fero) memberikan reaksi positif
terhadap α ,α -dipyridyl
Great Group 1. Aquept yang mengalami Epiaquept
penjenuhan air pada satu atau
lebih horison pada kedalaman
200 cm
2. Reaksi positif terhadap α ,α -
dipyridyl pada horison I
Sub Group 1. Value = 3 (lembab) (3 atau Humic Epiaquept
kurang)
2. KB = 35,43% (<50%)
Besar butir Rata-rata imbang pasir 43,36%, Coarse Loam
debu 25,46%, klei 31,18%; lom
termasuk besar butir lom kasar
Mineralogi Smektit (sedang, ++) Kaolinitic
Kaolinit disorder (banyak, +++)
Goethit (sedang, ++)
Reaksi tanah pH H2O 6,7 Nonacid
Rejim suhu tanah Rata-rata suhu tanah tahunan pada Isohyperthermic
kedalaman 50 cm > 22 0C dan
selisih rata-rata musim panas dan
musim dingin < 6 0C
Famili Humic Epiaquept,
Coarse Loam,
Kaolinitic, Nonacid,
Isohyperthermic
216

Lampiran 28. Pemerian horison tanah hutan jati (P4)


Horison Jeluk (cm) Pemerian
Ap 0 – 23/33 Warna matriks coklat gelap (7,5 YR 3/3); terdapat
bercak, warna kuning kemerahan (7,5 YR 6/8), jumlah
sedikit, ukuran sangat halus, kekontrasan jelas, bentuk
bintik; tekstur lom; struktur gumpal membulat; ukuran
halus, derajat sedang; konsistensi gembur (lembab)
dan plastis; pori mikro (banyak), meso (banyak),
makro (banyak); perakaran mikro (banyak), meso
(banyak), makro (banyak); daya topang 0,75 kg m-2;
batas sangat jelas; bentuk rata; pH (H2O) 5,41; pH
(KCl) 3,57; beralih ke
Bw1 23/33 – 50/70 Warna matriks coklat (7,5 YR 4/4); terdapat bercak,
warna kuning kemerahan (7,5 YR 6/8), jumlah sedikit,
ukuran sangat halus, kekontrasan baur, bentuk bintik;
tekstur lom; struktur gumpal membulat; ukuran halus,
derajat kuat; konsistensi teguh (lembab) dan plastis;
pori mikro (banyak), meso (banyak), makro (sedikit);
perakaran mikro (banyak), meso (banyak), makro
(sedikit); daya topang 1,25 kg m-2; batas jelas; bentuk
berombak; pH (H2O) 5,12; pH (KCl) 3,39; beralih ke
Bw2 50/70 – 80/95 Warna matriks coklat kuat (7,5 YR 5/6); terdapat
bercak, warna merah (2,5 YR 4/6), jumlah banyak,
ukuran sedang, kekontrasan sangat jelas, bentuk pipa;
terdapat konsentrasi massa Fe / plintit, warna merah
(2,5 YR 5/8), jumlah sedikit, ukuran halus, bentuk
tidak beraturan, derajat sementasi lemah; tekstur lom;
struktur gumpal menyudut; ukuran halus, derajat
sedang; konsistensi teguh (lembab) dan agak plastis;
pori mikro (banyak), meso (banyak), makro (sedikit);
perakaran mikro (banyak), meso (banyak), makro
(sedikit); daya topang 1,75 kg m-2; batas berangsur;
bentuk berombak; pH (H2O) 5,32; pH (KCl) 3,46;
beralih ke
Bw3 80/95 – 100/123 Warna matriks coklat kuat (7,5 YR 5/8); terdapat
bercak, warna merah (2,5 YR 4/6), jumlah sangat
sedikit, ukuran halus, kekontrasan baur, bentuk lidah;
terdapat konsentrasi massa Fe, warna merah (2,5 YR
5/8), jumlah sedikit, ukuran halus, bentuk tidak
beraturan, derajat sementasi lemah; tekstur lom;
struktur gumpal menyudut; ukuran halus, derajat kuat;
konsistensi teguh (lembab) dan tidak plastis; pori
mikro (sedang), meso (sedikit), makro (tidak ada);
perakaran mikro (sedang), meso (sedikit), makro
(sedikit); daya topang 2 kg m-2; batas baur; bentuk
217

berombak; pH (H2O) 5,03; pH (KCl) 3,75; beralih ke


Bw4 102/108 – 150 Warna matriks coklat kuat (7,5 YR 5/6); terdapat
bercak, warna abu-abu (5 YR 6/1), jumlah banyak,
ukuran sedang, kekontrasan sangat jelas, bentuk lidah;
terdapat konsentrasi massa Fe, warna merah (2,5 YR
5/8), jumlah sedang, ukuran sedang, bentuk tidak
beraturan, derajat sementasi lemah; tekstur lom;
struktur gumpal menyudut; ukuran halus, derajat
sedang; konsistensi gembur (lembab) dan tidak plastis;
pori mikro (sedang), meso (sedikit), makro (sedikit);
perakaran mikro (sedang), meso (sedikit), makro (tidak
ada); daya topang 1,75 kg m-2; batas baur; bentuk
berombak; pH (H2O) 5,52; pH (KCl) 3,72; beralih ke
Bw5 143/168 – 180 Warna matriks kuning kemerahan (7,5 YR 6/8);
terdapat bercak, warna abu-abu (5 YR 6/1), jumlah
banyak sekali, ukuran kasar, kekontrasan sangat jelas,
bentuk lidah; terdapat konsentrasi massa Fe, warna
merah (2,5 YR 5/8), jumlah sedikit, ukuran halus,
bentuk tidak beraturan, derajat sementasi lemah;
tekstur lom; struktur gumpal menyudut; ukuran halus,
derajat kuat; konsistensi gembur (lembab) dan tidak
plastis; pori mikro (sedang), meso (sedang), makro
(tidak ada); perakaran mikro (sedikit), meso (tidak
ada), makro (tidak ada); daya topang 1,75 kg m-2; batas
baur; bentuk berombak; pH (H2O) 5,60; pH (KCl)
3,48; belum ada batuan yang mendasari
218

Lampiran 29. Sifat fisika dan biologi tanah hutan jati (P4)
N Biomassa
Horison Pasir Debu Klei Kelas BV BJ Porositas Permeabilitas C Biomassa
Jeluk (cm) (%) (%) (%) Tekstur (g cm ) (g cm-3) (%)
-3
(cm jam-1) Mikrobia Mikrobia
-1
(µg C g tanah) (µg N g-1 tanah)
Ap
0 – 23/33 47,76 30,80 21,44 Lom 1,31 2,10 37,62 12,46 468,53 66,11
Bw1
23/33 – 50/70 44,83 31,77 23,39 Lom 1,25 2,03 38,60 13,90 443,27 57,04
Bw2
50/70 – 80/95 48,15 25,73 26,12 Lom 1,28 1,91 32,58 2,46 271,02 45,89
Bw3
80/95 – 100/123 41,52 30,41 28,07 Lom 1,33 1,88 29,04 2,15 282,50 36,30
Bw4
100/123-143/168 53,80 30,41 15,79 Lom 1,27 2,03 37,58 7,81 197,52 22,30
Bw5
143/168 – 180 49,12 28,65 22,22 Lom 1,40 2,13 34,29 9,33 287,09 27,48

Lampiran 30. Sifat kimia tanah hutan jati (P4)


C- N P2O5 K2O P2O5 K2O K- Na- Ca- Mg-
Horison pH pH Organik Total Total KPK KB
Total TesediaTersedia dd dd dd dd
Jeluk (cm) H2O KCl
% % mg 100-1g mg 100-1g ppm ppm cmol(+) kg-1 %
Ap
0 – 23/33 5,41 3,57 1,83 0,14 28,93 39,64 12,09 187,55 0,48 0,61 4,37 2,38 28,10 27,89
Bw1
23/33 – 50/70 5,12 3,39 1,88 0,11 41,22 44,07 10,44 253,68 0,65 0,63 3,41 2,90 28,14 27,00
Bw2
50/70 – 80/95 5,30 3,46 1,63 0,10 22,89 30,42 9,98 103,87 0,27 0,72 5,77 3,20 28,51 34,90
Bw3
80/95 – 100/123 5,03 3,75 1,52 0,07 17,79 58,59 7,50 94,92 0,24 0,80 5,12 3,70 31,75 31,04
Bw4
100/123-143/168 5,52 3,72 1,35 0,09 13,67 48,60 7,23 109,51 0,28 0,69 4,91 4,35 26,64 38,42
Bw5
143/168 – 180 5,60 3,48 1,24 0,07 13,73 38,21 6,04 84,43 0,22 0,71 4,82 3,36 24,12 37,77
219

Lampiran 31. Kandungan Fe pada tanah hutan jati (P4)


Fe Fe Fe
Fe Fe Fe Fe
Horison Bebas / Organik / Amorf /
Bebas Organik Amorf Total
Jeluk (cm) Fe Total Fe Total Fe Total
% % % % % % %
Ap
0 – 23/33
3,49 1,01 2,19 6,68 52,22 15,05 32,73
Bw1
23/33 – 50/70
3,07 0,90 2,03 6,00 51,25 14,99 33,76
Bw2
50/70 – 80/95
3,16 0,87 1,65 5,67 55,66 15,31 29,03
Bw3
80/95 – 100/123
3,24 0,83 2,08 6,15 52,70 13,51 33,79
Bw4
100/123-143/168
3,30 0,75 1,66 5,71 57,74 13,20 29,06
Bw5
143/168 – 180
4,12 0,87 1,13 6,11 67,39 14,18 18,43

Lampiran 32. Gambar hasil difraksi sinar-X tanah hutan jati (P4)
220

Lampiran 33. Horison diagnostik tanah hutan jati (P4)


Horison Syarat Pemerian Nama
Diagnostik
Epipedon 1. Tebal > 18 cm 1. Tebal 23 – 33 cm Umbric
2. Kandungan C-organik 2. Kandungan C-
> 0,6% organik 1,83%
3. Value < 3,5 (lembab) 3. Value = 3 (lembab)
4. KB < 50% 4. KB = 27,89%
5. Tidak pernah kering > 5. Tidak pernah
3 bulan kering > 3 bulan
Endopedon 1. Iluviasi klei tidak Kandungan klei Cambic
nyata horison I-VI; 21,44%,
2. Perkembangan 23,99%, 26,12%,
horison belum nyata 28,07%, 15,79%,
22,22%

Lampiran 34. Klasifikasi tanah hutan jati (P4)


Tingkat Pemerian Nama
Ordo 1. Tidak memenuhi syarat endopedon Inceptisol
lain selain kambik, atau
2. Mempunyai epipedon umbrik
Sub Ordo 1. Inceptisol lain yang tidak Udept
memenuhi sub ordo yang lain
2. Rejim kelembaban tanah udik
Great Group Epipedon umbrik Humudept
Sub Group Tidak memenuhi syarat sebagai Typic Humudept
Humudept yang lain
221

Besar butir Rata-rata imbang pasir 48,13%, debu Coarse Loam


29,76%, klei 22,11%; lom termasuk
besar butir lom kasar
Mineralogi Smektit (sedang, ++) Halloysitic
Haloisit (banyak, +++)
Goethit (sangat sedikit, +)
Reaksi tanah pH H2O 5,3 Acid
Rejim suhu tanah Rata-rata suhu tanah tahunan pada Isohyperthermic
kedalaman 50 cm > 22 0C dan selisih
rata-rata musim panas dan musim
dingin < 6 0C
Famili Sub group, besar butir, mineralogi, Typic Humudept,
reaksi tanah Coarse Loam,
Halloysitic, Acid,
Isohyperthermic

Lampiran 35. Sifat kimia pupuk kandang sapi dan Azolla yang digunakan
dalam percobaan penanaman di rumah kaca dan lapangan

Pupuk
Parameter Kandang Azolla
Sapi
C-Organik (%) 23,77 19,88
N Total (%) 1,20 2,00
C/N Rasio 19,81 9,94
P Total (%) 0,25 0,34
K Total (%) 0,83 1,88

Anda mungkin juga menyukai