Anda di halaman 1dari 6

Kesesuian lahan dan iklim tanaman kelapa sawit

Indonesia punya banyak jenis tanah yang cocok untuk dimanfaatkan sebagai media tanam
berbagai komoditas perkebunan bernilai ekonomis tinggi seperti kelapa sawit. Bahkan khusus
untuk buah emas yang satu ini, ada beberapa jenis tanah yang dapat dijadikan lahan tanam.

Hal ini tentunya menjadi keuntungan tersendiri karena makin banyaknya kemungkinan
dilakukannya pembukaan lahan baru untuk pemanfaatan kebun kelapa sawit. Jika dilakukan
dengan tepat dan bijak, aktivitas tersebut akan turut mendongkrak perekonomian baik lokal
maupun nasional

Jenis Tanah yang Cocok untuk Kelapa Sawit

Kelapa sawit pada umumnya membutuhkan lahan yang relatif datar dengan struktur lapisan
cukup tebal, tidak mudah tergenang, dan subur. Adapun ditinjau dari jenis tanah yang dapat
menjadi media budidaya kelapa sawit juga beragam, yakni aluvial, latosol, dan organosol.

- Tanah Aluvial

Jenis tanah yang satu ini juga sering dikenal dengan sebutan tanah endapan dan hanya akan
ditemukan di lokasi sekitar aliran sungai. Pasalnya, aluvial berasal dari sedimen lumpur yang
dibawa oleh air di sungai maupun danau pada kawasan dataran rendah maupun hilir.

Dalam kata lain, tanah aluvial terbentuk sebagai hasil erosi dari tanah pada kawasan tinggi yang
terbawa aliran air sungai dan mengendap serta bercampur dengan lumpur di sungai di dasar
lereng.

Tanah aluvial banyak ditemukan di kawasan timur Sumatera, utara Jawa, Kalimantan Selatan dan
Tengah, dan utara serta selatan Papua. Untuk mengetahui lebih detail tentang tentang aluvial,
berikut adalah beberapa karakter utamanya :

1. Subur dan Kaya Mineral

Tanah aluvial bersifat subur dan cocok untuk keperluan pertanian maupun perkebunan. Namun,
tingkat kesuburan dari tanah aluvial satu dengan yang lainnya sangat mungkin berbeda
tergantung dari material apa yang terbawa hingga mengalami proses pengendapan tersebut.
Kendati begitu, aluvial secara umum memiliki kandungan mineral yang banyak kandungan air
yang tinggi karena berada di sekitar sungai sehingga membuatnya subur.

2. Tekstur Mirip Tanah Liat

Banyak yang masih sulit membedakan antara tanah liat dan tanah aluvial karena kemiripan
keduanya. Tekstur tanah aluvial tergolong lembut dan mudah digarap sehingga menjadi salah
satu keuntungan tersendiri. Adapun strukturnya agak longgar atau sedikit lepas-lepas.

3. Kandungan pH, Kalium, dan Fosfor Rendah

Aluvial umumnya mempunyai pH di bawah 6. Selain itu, pada area dengan curah hujan yang
rendah, kadar kalium dan fosfor aluvial juga turut rendah.

4. Berwarna Cokelat dan Agak Kelabu

Warna jenis tanah ini cokelat tetapi cenderung agak kelabu. Adapun warna tersebut diperoleh
karena tingginya kandungan mineral pada aluvial.

- Tanah Latosol

Warna tanah latosol yang berwarna kemerahan sering membuat orang kemudian menyebutnya
dengan istilah tanah merah. Tanah ini terbentuk dari pelapukan
batuan sedimen dan metamorf sehingga bersifat cenderung asam dengan kandungan bahan
organiknya yang tergolong rendah hingga sedang.

Tanah latosol banyak terdapat di wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bali, Jawa, dan
Papua. Sebagai pembeda dari jenis tanah lainnya, berikut adalah beberapa karakter utama
latosol :

1. Mempunyai pH Asam

Latosol mempunyai kadar pH relatif asam, yakni 4,5 hingga 6,5. Kondisi tanah yang agak asam
tersebut terjadi karena material utama pembentuk latosol telah mengalami pelapukan berat
sehingga banyak kation-kation basa yang tercuci.

2. Kandungan Bahan Organik Rendah


Tanah latosol mempunyai bahan organik sekitar 3 hingga 9 persen, tetapi secara umum hanya
mencapai angka 5 persen saja. Adapun tingkat tinggi atau rendahnya unsur hara latosol dapat
diamati dari warna tanah: makin merah warna tanah latosol, maka makin sedikit pula unsur hara
yang dimiliki.

3. Tekstur Liat dan Struktur Gembur

Seperti aluvial, latosol secara umum mempunyai tekstur tanah liat. Namun, struktur tanah latosol
remah dengan konsistensi gembur. Dalam kaitannya dengan infiltrasi, tingkat aliran air ke dalam
tanah latosol bervariasi mulai dari agak cepat hingga agak lambat.

4. Mempunyai Solum Tebal

Solum pada latosol terbilang cukup tebal, yakni 130 cm hingga lebih dari 5 meter. Adapun solum
terdiri dari lapisan permukaan dan subsoil yang telah mengalami proses pembentukan tanah yang
sama dengan bagian dasarnya berupa bahan induk yang mayoritas belum lapuk.

- Tanah Organosol

Organosol merupakan tanah yang terbentuk dari hasil pelapukan bahan organik. Namun perlu
diketahui, tanah organosol sendiri masih terbagi lagi menjadi dua, yakni tanah humus dan tanah
gambut. Seperti namanya, tanah humus mempunyai banyak kandungan unsur yang baik untuk
pertumbuhan tanaman, sedangkan tanah gambut sebaliknya.

Kendati begitu, tanah gambut yang bersifat asam justru dapat menjadi media tanam bagi kelapa
sawit dengan beberapa penyesuaian. Jenis tanah ini banyak terdapat di kawasan beriklim basah
dan curah hujan tinggi. Selain di daerah pantai, tanah ini juga dapat ditemukan di nyaris seluruh
wilayah nusantara dengan beberapa karakternya sebagai berikut :

1. Berwarna Cokelat Tua Kehitaman

Organosol mempunyai warna cokelat tua hingga kehitaman. Hal ini dapat menjadi indikasi pula
tentang seberapa banyak kandungan unsur organiknya. Makin banyak kandungan organik pada
tanah organosol, makin gelap pula warna yang dihasilkan.

2. Memiliki Tingkat Keasaman Berbeda


Jenis tanah organosol gambut mempunyai tingkat pH tanah yang relatif asam, berkebalikan
dengan humus. Guna memanfaatkannya sebagai media tanam, perlu dilakukan beberapa
penyesuaian agar kebutuhan nutrisi tumbuhan tersebut tetap terpenuhi.

Iklim

Iklim merupakan rata-rata perubahan unsur-unsur cuaca dalam jangka panjang yang mencakup
suatu tempat yang luas.

a. Curah hujan
Tanaman kelapa sawit tumbuh dengan baik di areal dengan curah hujan tahunan antara
1750 - 3000 mm dan menyebar merata sepanjang tahun (Adiwiganda et. al., 1999) (dalam
Siregar dkk, 2015). Penyebaran curah hujan merata yang dimaksud adalah tidak terdapat
perbedaan mencolok dari satu bulan ke bulan berikutnya dan tidak terdapat curah hujan
bulanan di bawah 60 mm sehingga tanaman tidak mengalami cekaman. Berdasarkan
pengamatan yang dilakukan pada perkebunan-perkebunan kelapa sawit di Indonesia,
telah diketahui curah hujan tahunan minimal untuk tanaman kelapa sawit adalah 1.250
mm tanpa bulan kering (curah hujan bulanan kurang dari 60 mm) (Siregar dkk, 2015).

b. Radiasi Matahari
Tanaman kelapa sawit di lapang membutuhkan penyinaran matahari yang optimum untuk
fotosintesinya, karena kelapa sawit merupakan jenis tanaman heliofit (penyuka matahari).
Penyinaran matahari dibutuhkan sedikitnya 4 jam/hari sehingga diharapkan hujan turun
pada sore atau malam hari. Sumber lain menyatakan bahwa kelapa sawit dapat tumbuh
optimal dengan lama penyinaran 5 – 7 jam/hari atau 1.800 – 2.200 jam/tahun (Verheye,
2010) (dalam siregar dkk, 2015). Lama penyinaran erat kaitannya dengan energi radiasi
surya yang tersedia untuk fotosintesis tanaman. Semakin pendek lama penyinaran, tentu
energi dari radiasi surya yang diabsorbsi tanaman akan semakin sedikit. Apabila hal ini
berlangsung secara terus-menerus tentu akan menyebabkan terganggunya pertumbuhan
dan perkembangan tanaman (Siregar dkk, 2015)

c. Suhu Udara
Tanaman kelapa sawit tumbuh dan berkembang baik pada Kawasan yang mempunyai
suhu udara rata-rata tahunan 24 – 28. Untuk produksi yang tinggi dibutuhkan suhu udara
maksimum rata-rata pada kisaran 29 -32 C dan suhu udara minimum rata-rata pada
kisaran 22 – 24 C. Batas temperatur udara minimum rata-rata untuk syarat pertumbuhan
dan perkembangan kelapa sawit adalah 18 C, bila kurang akan menghambat pertumbuhan
dan mengurangi hasil. Temperatur udara yang rendah pada bulan- bulan tertentu akan
menghambat penyerbukan bunga yang akan menjadi buah. Temperatur udara rendah akan
meningkatkan aborsi bunga betina sebelum antesis dan memperlambat pematangan buah
(Ferwerda, 1977) (dalam Siregar dkk. 2015).

d. Kecepatan angin
Tanaman sawit membutuhkan kecepatan angin sekitar 5 – 6 km per jam untuk membantu
proses penyerbukannya.

e. Kelembapan udara
Tanaman kelapa sawit tumbuh dengan baik di daerah tropis dengan kelembaban relatif 75
- 80% (Hartley, 1977), dimana kelembaban optimal untuk pertumbuhan dan
perkembangan kelapa sawit adalah sekitar 75% (Ferwerda, 1977) (dalam Siregar dkk.
2015)

Daftar Pustaka
Adiwiganda, R., H. H. Siregar and E. S. Sutarta. 1999. Agroclimatic zones for oil palm (Elaeis
guineensis Jacq.) plantation in Indonesia. In Proceedings 1999 PORIM International
Palm Oil Congress, “Emerging technologies and opportunities in next millennium”. Palm
Oil Research Institute of Malaysia, Kuala Lumpur.
Ferwerda, J. D. 1977. Oil Palm in Alvim, P de T and T.T. Kozlowski (ed.). Ecophysiology of
Tropical Crops. Acad. Press. New York.
Hartley, C. W. S. 1977. The Oil Palm. Longman Inc. New York.
Siregar, Hasril Hasan, Nurul Hijri Dahlan dan Iput Pradiko. 2015. Pemanfaatan Data Iklim
Untuk Perekbunan Kelapa Sawit.
https://mutuinstitute.com/post/jenis-tanah-yang-cocok-untuk-kelapa-sawit/

Anda mungkin juga menyukai