Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

Tanaman lamtoro (leucaena glauca) banyak ditemukan di semua tempat di Indonesia,


terbukti dari sebutan nama tanaman ini yang berbeda-beda di suatu daerah. Meskipun sebarannya
cukup luas, namun lamtoro bukanlah tanaman asli Indonesia. Dari mana asal usul dan jenis-jenis
lamtoro yang dikenal di tanah air, akan diuraikan berikut ini.
1.1. Asal Usul Lamtoro
Lamtoro (leucaena glauca), berasal dari Amerika Tengah dan Meksiko (Brewbaker et
al.,1985). Dijelaskan lebih lanjut bahwa lamtoro mempunyai banyak nama tergantung Negara
tempat tumbuhnya, seperti Leucaena (Australia, Amerika Serikat), Ipil-ipil, Elena, Kariskis
(Philippina), Lamtoro (Indonesia), Petai Jawa (Malaysia), Yin ho huan (Tiongkok), White
Leadtree (Inggris), Fauxmimosa (Perancis), Krathin (Thailand), Kubabul atau Subabul (India),
Koa hoa le (Hawaii), Tangantangan (beberapa Kepulauan di Pasifik), Cassis (Vanuatu), Guaje
(Mexico), Huaxin (Amerika Tengah), Lamandro (Papua Nugini). Di Indonesia nama lamtoro
juga dikenal dengan sebutan Petai Cina. Di beberapa daerah di Indonesia lamtoro disebut dengan
nama lain Kemlandingan (Jawa), Belandingan (Lombok), dan Kawa Manila (Sumbawa),
Lamentoro, Petai Selong (Manggarai Flores). Tanaman lamtoro termasuk familia mimosa. Orang
menyebut tanaman ini sebagai “the miracle tree”, pohon ajaib. Hal ini karena kegunaan tanaman
ini yang begitu banyak. Lamtoro digunakan sebagai tanaman pencegah erosi, meningkatkan
kesuburan lahan, pohon peneduh pada perkebunan kopi dan kakao, sumber kayu bakar, penahan
angin, tanaman jalur hijau, pohon tempat merambat tanaman yang melilit seperti lada, vanili,
markisa, biasa dipakai untuk tanaman pagar karena tanaman ini berupa pohon, dengan ketinggian
mencapai 18 meter, tergantung jenisnya. Petai Cina juga merupakan tanaman penghasil pulp
untuk produksi kertas, kulit batangnya (pepagan) sebagai penghasil zat samak dan zat pewarna
merah, coklat, dan hitam. Daun dan polong serta tangkainya yang masih muda merupakan
sumber pakan potensial bagi sapi. Daun lamtoro majemuk menyirip, beranak daun 20 – 30
dengan bentuk lonjong. Bunga lamtoro berbentuk bola berwarna putih yang tumbuh di ketiak
daun. Buah petai cina berpolong mengandung 15-30 biji, berwarna hijau ketika masih muda dan
setelah tua berubah menjadi coklat mengkilap. Polong dan biji yang masih muda digunakan
untuk lalap, ataupun untuk bahan baku pembuatan botok (masakan khas Jawa); sedangkan biji
yang sudah tua digunakan untuk membuat tempe lamtoro.
Klasifikasi Lamtoro (Leucaena leucocephala) seperti ditulis Ruslin (2011) dan Yahya (2014)
adalah sebagai berikut:
Kindom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Class : Dicotyledoneae
Family : Leguminoseae
Subfamily : Papilionaceae
Genus : Leucaena
Spesies : Leucanena leucocephala
Spesies Leucanena leucocephala inilah yang banyak dibudidayakan di tanah air. Penyebaran
Lamtoro di Asia dilakukan oleh Bangsa Spanyol. Mereka membawa biji tanaman ini pertama
kali ke Pilipina pada akhir Abad XVI. Biji tersebut mereka jadikan bibit dan setelah tumbuh,
tanaman lamtoro ditanam di areal perkebunan guna dijadikan sebagai peneduh tanaman kopi.
Selain itu, daun lamtoro digunakan sebagai pakan ternak. Tanaman lamtoro yang sudah tua
dijadikan sebagai kayu bakar. Dari Pilipina kemudian tanaman lamtoro menyebar luas ke
pelbagai bagian dunia. Keberadaan lamtoro di Indonesia, pertama kali ditemukan di Pulau Jawa
untuk kepentingan pertanian dan kehutanan. Kemudian menyebar ke tempat lain termasuk
Malaysia. Itulah sebabnya di Malaysia tanaman ini di sebut sebagai”petai jawa”.

1.2. Lamtoro mini (Desmanthus virgatus)


Asal dari Amerika. Tanaman belukar dengan ketinggian 2 – 3 meter, pada curah hujan
1000 – 1500 mm/tahun. Tanaman ini bersifat perennial, dapat tumbuh di tanah berpasir pada
ketinggian 0 – 300 meter dari permukaan laut. Lamtoro mini tahan panas dan kering. Produksi
daun dapat mencapai 7 ton BK/ha/tahun; sedangkan produksi biji antara 500 – 600 kg/ha.
Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 60 x 60 cm dengan kebutuhan biji 2 – 3 kg/ha.
Tanaman lamtoro minni ( desmantus vergantus) termasuk sub family mimosidae dan tergolong
pada tanaman legum parenial. Tanaman inni tidak mengandung anti nutrisi mimosin tahan
terhadap kutu loncat dan kekeringan. Lmtoro mini dapat dipanen 4 kali setahun dengan produksi
7,59 ton bahan kering/ha/thn. Satu pohon lamtoro dapat menghasilkan 0,3kg hijau yang segar.
(Reksohadi prodjo, 1990)
Hasil analisis laboratorium nutrisi ruminansia fakultas perternakan Unand ( 1999),lamtoro mini
mengandung air 15,58%, protein kasar 27,62%, lemak kasar 1,95%, serat kasar16,75%, abu
3,62%, kalsium 0,52% dan fosfor 0,17%.
BAB II
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERSEDIAN PAKAN TERNAK

Jenis, produksi, dan mutu hasil hijauan pakan ternak yang dapat hidup di suatu daerah
dipengaruhi oleh berbagai faktor,yaitu: iklim, tanah, spesies, pengelolaan,
2.1. Iklim
2.1.1. Curah Hujan
Pada musim hujan, produksi hijauan pakan biasanya tinggi, tetapi mutunya rendah. Hal ini
karena pada musim hujan, pertumbuhan tanaman lebih cepat dibandingkan pada musim
kemarau. Akibatnya peternak kelebihan pasokan sehingga banyak rumput yang terlambat
dipotong. Apabila rumput dipotong terlalu tua, kandungan serat kasarnya meningkat, sedangkan
kandungan protein kasarnya menurun. Sebaliknya pada musim kemarau, pertumbuhan rumput
lebih lambat sehingga rumput lebih lambat dipanen, atau kalau cepat dipanen rumputnya masih
muda. Pada saat itu, kandungan protein kasar cukup tinggi sementara serat kasarnya rendah.
Namun pada musim kemarau, daya hasil hijauan pakan juga rendah, sehingga banyak peternak
yang mencari hijauan ke tempat lain untuk ternaknya.
2.1.2. Suhu Udara
Suhu udara dipengaruhi oleh ketinggian tempat dari permukaan laut, setiap kenaikan tinggi
tempat 100 m, suhu udara menurun 1oC. Beberapa jenis hijauan pakan tumbuh baik di dataran
tinggi, tetapi sebagian lainnya hanya tumbuh baik di dataran rendah. Namun, ada juga yang
tumbuh baik mulai dari pinggir laut sampai ke pegunungan.
2.2. Lahan
Berdasarkan tingkat kesuburannya, lahan juga bisa digolongkan ke dalam lahan subur dan lahan
tidak subur. Faktor-faktor yang memengaruhi kesuburan tanah antara lain pH tanah dan salinitas.
Kesuburan tanah juga di pengaruhi kemasaman tanah dan salinitas. Tanah-tanah di sekitar
gunung berapi biasanya lebih subur, sehingga apabila tidak ada kendala air, tanah tersebut bisa
ditanami hijauan pakan dengan hasil yang tinggi. Sebaliknya tanah yang tidak dipengaruhi
gunung berapi, seperti tanah Podsolik Merah Kuning, biasanya kekurangan unsur hara dan
bersifat masam sehingga hanya tanaman tertentu yang bisa tumbuh dengan baik.
2.3. Spesies
Kesuburan tanah juga di pengaruhi kemasaman tanah dan salinitas. Tanah-tanah di sekitar
gunung berapi biasanya lebih subur, sehingga apabila tidak ada kendala air, tanah tersebut bisa
ditanami hijauan pakan dengan hasil yang tinggi. Sebaliknya tanah yang tidak dipengaruhi
gunung berapi, seperti tanah Podsolik Merah Kuning, biasanya kekurangan unsur hara dan
bersifat masam sehingga hanya tanaman tertentu yang bisa tumbuh dengan baik.
2.4. Pengelolaan
Pengelolaan atau manajemen hijauan pakan sering diabaikan oleh sebagian besar peternak di
Indonesia. Pengelolaan pakan yang kurang baik, tidak dapat menjamin pasokan hijauan pakan
sepanjang tahun sehingga pertumbuhan dan perkembangan ternak tidak akan baik. Prinsip
utama yang perlu diperhatikan adalah mendekatkan tanaman pakan ternak (TPT) dengan
kandang. peternak tidak perlu menghabiskan waktu sehingga untuk mencari hijauan pakan.
Caranya adalah dengan menanami lahan di sekitar kandang dengan tanaman pakan, baik rumput
maupun leguminosa. Namun, menanam hijauan pakan saja tidak cukup. tetapi Tanaman harus
dipelihara dengan baik, dan dipupuk.
2.5. Panen
. Lmtoro mini dapat dipanen 4 kali setahun dengan produksi 7,59 ton bahan kering/ha/thn. Satu
pohon lamtoro dapat menghasilkan 0,3kg hijau yang segar. (Reksohadi prodjo, 1990)
2.6. Kondisi sosial ekonomi peternak/petani
Walaupun peternak mempunyai dana untuk membeli ternak, belum tentu mereka mempunyai
kebun rumput. Kalaupun memiliki lahan, biasanya digunakan untuk tanaman pangan, sementara
tanaman pakan ditanam di lahan-lahan yang tidak dapat ditanami tanaman pangan seperti di
lahan yang kurang subur, berbatu-batu, dan tampingan teras. Dengan demikian, hasil tanaman
pakan juga rendah, sehingga berpengaruh terhadap produktivitas ternak yang dipeliharanya.
2.7. Lahan Sub-Optimal di Indonesia
Lahan marginal sub-optimal adalah lahan yang mempunyai potensi rendah sampai sangat rendah
untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, namun dengan penerapan suatu teknologi dan
sistem pengelolaan yang tepat, lahan tersebut dapat menjadi lebih produktif dan berkelanjutan.
Lahan sub-optimal di Indonesia terdiri atas lahan pasang surut, lahan salin, gambut, dan lahan-
lahan yang berada di dekat area pertambangan (Yuniati, 2004).
Lahan pertanian di Indonesia luasnya mencapai 188 juta ha, terdiri atas lahan kering 148 juta ha
dan lahan basah 40 juta ha. Sebagian besar (sekitar 103 juta ha) lahan kering merupakan lahan
kering masam dengan pH < 5, sedangkan lahan kering tidak masam hanya 45 juta ha.
Walaupun lahan sub-optimal di Indonesia sangat luas, pemanfaatannya untuk pertanian belum
optimal. Ketersediaan inovasi teknologi untuk pengembangan lahan sub-optimal juga masih
terbatas. Pemanfaatan lahan sub-optimal memerlukan upaya dan teknologi spesifik lokasi agar
lahan dapat berproduksi secara optimal dan berkelanjutan.
2.7.1. Lahan Kering
Beberapa definisi lahan kering yang umum dijadikan acuan di Indonesia adalah:
2.7.1.1. Hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau tidak digenangi air pada sebagian
besar waktu dalam setahun atau sepanjang waktu (Hidayat dan Mulyani, 2005).
2.7.1.2. Lahan yang sumber pengairannya semata-mata berasal dari air hujan. Lahan ini bisa
berupa sawah tadah hujan, pekarangan, hutan, kebun, dan tegal (Semaoen et al., 1991)
2.7.1.3. Lahan yang hampir sepanjang tahun tidak tergenang secara permanen (Muljadi, 1977)
2.7.1.4. Lahan yang dalam keadaan alamiah lapisan atas dan bawah tubuh tanah (top soil dan
sub-soil) tidak jenuh air dan tidak tergenang sepanjang tahun, serta kelembapan tanah sepanjang
tahun atau hampir sepanjang tahun berada di bawah kapasitas lapang (Satari et al., 1977)
2.7.1.5. Lahan yang pemenuhan kebutuhan airnya untuk tanaman bergantung sepenuhnya pada
air hujan dan tidak pernah tergenang sepanjang tahun (Guritno et al., 1997)
Walaupun lahan kering didefinisikan bermacam-macam, secara umum oleh Badan Pusat Statistik
(BPS, 2003) dikelompokkan menjadi pekarangan, tegal/kebun/ladang/huma, padang rumput, dan
lahan perkebunan.
Lahan kering di Indonesia tersebar di semua pulau besar. Kalimantan merupakan pulau dengan
lahan kering terluas, yaitu 42,5 juta ha, diikuti oleh Papua dan Sumatera dengan luas masing-
masing sekitar 33 juta ha (Hidayat dan Mulyani, 2005). Berdasarkan ketinggian tempat, lahan
kering bisa digolongkan menjadi lahan kering dataran rendah, yaitu lahan yang berada pada
elevasi sampai 700 m dpl, dan lahan kering dataran tinggi dengan batas ketinggian di atas 700 m
dpl. Sebagian besar lahan kering dataran rendah mempunyai bentuk wilayah (relief) datar,
berombak, bergelombang dan berbukit. Di Indonesia lahan kering dataran rendah pada umumnya
terdapat di Kalimantan dan Sumatera (Hidayat dan Mulyani, 2005).
2.7.2. Lahan Rawa
Lahan rawa di Indonesia cukup luas sekitar 33,4 – 39,4 juta ha (Widjaja-Adhi et al., 2000),
menyebar dominan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Lahan rawa tersebut terdiri
atas lahan rawa pasang surut 23,1 juta ha dan lahan rawa lebak 13,3 juta ha (Subagyo dan
Widjaja-Adhi, 1998). Lahan rawa pasang surut merupakan rawa pantai pasang surut di dekat
muara sungai besar yang dipengaruhi secara langsung oleh aktivitas air laut. Di wilayah pasang
surut, karena lingkungannya selalu jenuh air dan tergenang, terdapat dua jenis utama tanah, yaitu
tanah mineral (mineral soils) jenuh air dan tanah gambut (peat soils).
2.7.3. Lahan Salin
Dalam rangka peningkatan produksi dan penyebaran pusat-pusat produksi pertanian guna
memenuhi kebutuhan pangan dan pakan, perhatian terhadap lahan-lahan bermasalah menjadi
semakin penting, mengingat lahan berpengairan makin terbatas Lahan salin di Indonesia sangat
potensial dikembangkan apabila dikelola dengan baik, Upaya menanam tanaman pakan dan
memelihara ternak ruminansia dilahan salin adalah alternatif diversifikasi usaha untuk
meningkatkan taraf hidup para nelayan di sekitar pantai. Kendala utama yang dihadapi dalam
usaha pemanfaatan lahan salin (lahan sawah pasang surut dan sawah lebak) ialah keadaan lahan
yang basah berlebihan sepanjang tahun tingkat kesuburan tanah rendah, tingkat salinitas tanah
tinggi akibat adanya intrusi air laut sewaktu terjadi pasang, kemasaman tanah yang tinggi, dan
adanya ion-ion yang bersifat toksik yang merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman
(Hardjowigeno dan Rayes, 2005).
Jenis leguminosa pakan yang banyak dijumpai di Indonesia adalah lamtoro, turi, dan
kalopogonium, serta sedikit sentrosema. Bakteri rhizobium yang diisolasi dari keempat jenis
leguminosa tersebut mampu bertahan hidup pada media dengan konsentrasi garam NaCI sangat
tinggi yaitu 12.000 ppm. Leguminosa pohon lebih tahan terhadap salinitas dibandingkan dengan
leguminosa penutup tanah.
2.7.4. Lahan Bekas Tambang
Masalah utama pada wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi
terutama berdampak terhadap air tanah dan air permukaan, berlanjut secara fisik perubahan
morfologi dan topografi lahan. Lebih jauh lagi adalah perubahan iklim mikro serta penurunan
produktivitas tanah dengan akibat menjadi tandus atau gundul. Mengacu kepada perubahan
tersebut perlu dilakukan upaya reklamasi. Selain bertujuan untuk mencegah erosi atau
mengurangi kecepatan aliran air limpasan, reklamasi dilakukan untuk menjaga lahan agar tidak
labil dan lebih produktif. Akhirnya reklamasi diharapkan menghasilkan nilai tambah bagi
lingkungan dan menciptakan keadaan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan
sebelumnya
Perbaikan kondisi tanah meliputi perbaikan ruang tumbuh, pemberian tanah pucuk dan bahan
organik serta pemupukan dasar dan pemberian kapur. Kendala yang dijumpai dalam merestorasi
lahan bekas tambang yaitu masalah fisik, kimia (nutrients dan toxicity), dan biologi. Masalah
fisik tanah mencakup tekstur dan struktur tanah. Masalah kimia tanah berhubungan dengan
reaksi tanah (pH), kekurangan unsur hara dan keracunan mineral.
Menurut Hanura (2005), pemberian kompos 200 ton/ha pada sandy tailing dan humic tailing
memberikan pengaruh terbaik terhadap sifat-sifat kimia bahan tailing. Dari penelitian Santi
(2005) diperoleh kesimpulan bahwa perbaikan tailing dengan overburden dan kompos dapat
meningkatkan pertumbuhan nilam. Komposisi media terbaik yaitu 50% tailing, 30%
overburden dan 20% kompos. Jenis bahan organik yang lazim digunakan untuk reklamasi lahan
pasca tambang timah adalah pupuk kotoran ternak seperti kotoran sapi dan ayam. Kotoran ternak
dikomposkan bersama-sama dengan seresah dengan menggunakan aktivator untuk mempercepat
pelapukan. Selain dari kotoran ternak, potensi bahan organik yang dapat dimanfaatkan adalah
sampah organik dan limbah padat dari pabrik pengolahan kelapa sawit. Tanaman leguminosa
yang dapat digunakan antara lain adalah sentro (Centrosema pubescens), puero
(Puerariajavanica), dan kalopo (Calopogonium mucunoides) serta untuk rumput adalah akar
wangi (Vetiveria zizanoides), Paspalum sp., Brachiaria decumbens, dan Panicum maximum.
Penanaman dilakukan pada guludan atau bedengan.
BAB III
PENGGUNAAN UNTUK TERNAK

3.1. Penggunaan untuk pakan Ruminansia


Daun lamtoro merupakan sumber pakan bermutu tinggi bagi sapi. Tidak hanya
daun. Buah polong dan bahkan ranting yang masih muda juga disukai ternak. Sebagai
sumber pakan, daun lamtoro dapat dipangkas/dipanen pertama kali setelah tanaman
berumur 8 (delapan) bulan. Akan tetapi lebih baik dipangkas setelah tanaman lamtoro
berumur 2 (dua) tahun, karena batang sudah agak besar, kuat, dan perakarannya sudah
agak dalam. Selanjutnya dapat dipanen setiap bulan sekali dengan produksi daun
sebanyak 0,85 kg basah/pohon. Jika dipangkas setiap 60 hari maka jumlah produksi daun
segar 2 kg/pohon, dan apabila frekuensi pemangkasan dilakukan dengan selang 90 hari,
diperoleh daun segar sebanyak 3 kg/pohon. Tegasnya, produksi biomasakan meningkat
seiring dengan meningkatnya umur pemangkasan dan umur tanaman. Produksi biomas
(daun, ranting muda, dan buah polong) juga bergantung musim. Pada musim hujan
produksi biomas terbanyak apabila pemotongan dilakukan setiap 2 bulan sekali yaitu
rata-rata 2,5 kg/ pohon. Produksi yang sama akan diperoleh pada musim kemarau apabila
dipangkas setiap 2,5 bulan. Pemangkasan biomas dapat dilakukan sampai tanaman
lamtoro berumur 30 tahun. Berikut dikemukakan beberapa hasil percobaan pemberian
daun lamtoro pada sapi. Percobaan dilakukan pada sapi Sumbawa yang dipelihara di
padang penggembalaan. Penggunaan sapi Sumbawa karena sapi ini selain menghasilkan
daging juga dapat diperah susunya. Sapi ini sudah terbiasa makan rumput dan hijauan
lainnya yang tumbuh di pasture.
3.1.1. Sapi bunting
Pada periode ini, sapi bunting membutuhkan energi (TDN) 52% dan protein kasar (PK)
8,8% (Tillman et al. 1984). Hal ini dapat dipenuhi oleh lamtoro yang kandungan TDNnya
60% dan PK 23,7% (Hartadi, et al., 2005). Bandingkan dengan induk sapi Kelompok-2
yang hanya mendapatkan asupan gizi dari rumput alam padang penggembalaan yang
mengandung TDN dan PK berturut-turut 56,2% dan dan 8,2% (Sutardi, 1981).
3.1.2. Sapi perah
Percobaan pemberian lamtoro sebagai suplemen untuk meningkatkan produksi susu sapi
dual purpose yang dipelihara di padang penggembalaan yang ditumbuhi rumput Bermuda
telah dilakukan oleh Saucedo et al. (1980). Hasilnya adalah sapi Brown Swiss dan
persilangan Holstein-Zebu yang diberi tambahan pakan lamtoro sebelum digembalakan
meningkat produksi susunya dibanding produksi susu sapi yang hanya diberi rumput
Bermuda yang ada di pasture yaitu berturut-turut 7,15 dan 6,54 liter/hari. Fenomena yang
sama juga diperoleh Dilaga et al. (2015) yang membandingkan produksi susu sapi
Sumbawa yang digembalakan di pasture dengan vegetasi rumput + lamtoro (Kelompok-
1) dan produksi susu sapi Sumbawa yang digembalakan di pastura yang vegetasinya
hanya rumput (Kelompok-2). Hasilnya, sapi Kelompok-1 menghasilkan air susu lebih
banyak 1,13 liter/ekor/hari dibanding sapi Kelompok-2, yaitu 3,86 ± 0,9 liter vs 2,73 ±
0,8 liter/ekor/hari. Harga air susu di lokasi penelitian dilaksanakan adalah Rp
15.000/liter, dan kalau dinyatakan dalam rupiah, Kelompok-1 menerima keuntungan
Rp16.950 dari setiap ekor sapi yang diperah susunya. Hal ini membuktikan bahwa
lamtoro sangat bermanfaat sebagai pakan sapi laktasi karena kandungan nutrisi daun
lamtoro yang kaya akan protein dan energi.
3.1.3. Sapi potong Pemberian lamtoro kepada sapi potong dapat dimulai setelah pedet
disapih oleh induknya, atau setelah pedet dapat mengkonsumsi hijauan, atau setelah
berumur lebih dari 6 bulan. Untuk membiasakan pedet mengkonsumsi daun lamtoro,
maka pemberiannya dilakukan sedikit demi sedikit. Jumlah pemberiannya tergantung
pada bobot badan. Pemberian daun lamtoro dan hijauan lainnya biasanya dalam keadaan
segar sebanyak 10% dari bobot badan ternak. Pada percobaan pemberian daun lamtoro
segar dibandingkan dengan rumput kepada pedet jantan sapi Sumbawa lepas sapih
diperoleh hasil bahwa, pedet yang mendapat pakan daun lamtoro memberikan
pertumbuhan lebih besar dibanding yang diberi rumput (Dilaga, et al. 2016). Mutu pakan
sangat berpengaruh kepada pertambahan bobot badan harian (PBBH) pedet sapi
sumbawa. Dalam penelitian ini kelompok pedet yang diberi pakan daun lamtoro
(kelompok II) memberikan pertumbuhan lebih tinggi daripada pedet yang diberi rumput
(kelompok I). Hal ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan Panjaitan et al.
(2013) pada sapi bali jantan dewasa yang ditambahkan lamtoro dalam komponen pakan,
PBBH bertambah sebesar 0,42± 0,12 kg/hari dibanding hanya diberi rumput 0,20 kg/hari.
Demikian pula Dahlanuddin et al. (2014b) memberi pakan lamtoro pada sapi bali jantan
dewasa menghasilkan pertambahan bobot badan 0.47 ± 0,05 kg/hari. Pertumbuhan pedet
pasca sapih berbeda dengan setelah dewasa yakni pertumbuhannya sangat pesat.
Pertumbuhan harian sapi sumbawa jantan yang dipelihara di pastura 0,5 kg/ekor/hari.
Kalau diberi tambahan pakan seperti dedak padi, lamtoro, dan legume lainnya, sapi ini
mau berterima kasih. Terbukti pemberian 1 kg dedak padi/ekor/hari pada sapi jantan,
bobot badan naik sebesar 0,7 kg/ekor/hari (Dilaga, et al., 2002). ..
Sejak lahir sampai disapih, pakan pedet berupa air susu induk. Air susu induk
mengandung Protein Kasar (PK) 26,8% dan Energi (TDN) 129%. Tentu saja sebelum
disapih, pakannya kaya gizi. Akan tetapi begitu disapih pada umur 6 bulan, pedet
langsung mencari sendiri pakan di pasture. Tegasnya, pertumbuhan pedet jantan sapi
sumbawa pasca sapih sangat tergantung kepada pakan.
Setelah disapih, pakan pedet langsung berubah sama sekali. Mula-mula dari air susu
induk kemudian berubah menjadi pakan kaya serat yang banyak terdapat pada rumput
padang penggembalaan. Rumput alam mempunyai kandungan PK 8,2% dan TDN 56,2%.
Pertumbuhan pedet pasca sapih meningkat apabila diberi pakan lamtoro. Hal ini karena
kandungan gizi daun lamtoro cukup tinggi dibanding rumput, yaitu lamtoro mengandung
PK 23,7% dan TDN 74,7% . Kandungan zat nutrisi yang tinggi inilah yang mampu
menopang pertumbuhan ternak. Mengapa lamtoro mampu memberikan bobot lahir,
produksi susu, dan pertumbuhan yang lebih baik jika dibandingkan dengan rumput?
Jawabannya selain karena mutu nutrisi lamtoro yang lebih baik dibanding rumput, juga
karena lamtoro di dalam rumen sapi mengalami proses fermentasi menjadi asam lemak
volatile (Volatile Fatty Acid,VFA). Asam Lemak Volatil terdiri atas Asam Propionat
merupakan asam lemak berkerangka karbon ganjil (CH3CH2COOH), sedangkan Asetat
(CH3COOH) dan Butirat (CH3CH2CH2COOH) berkerangka karbon genap. Asam
Lemak Volatil disebut pula asam lemak terbang, atau asam lemak mudah menguap,
terutama yang berantai cabang, esensial bagi pertumbuhan mikroba rumen. Umumnya
perbandingan VFA dalam rumen berkisar antara 70% Asetat, 20% Propionat, dan 10%
Butirat. Menurut Sutardi (1981), VFA merupakan sumber utama energy untuk kebutuhan
tubuh ternak ruminansia, terutama asam Asetat, Propionat, dan Butirat. Kandungan
energi asam Asetat, Propionat, dan asam Butirat berturut-turut adalah 209,4; 367,2; dan
524,3 kkal pergrammolekul. Kandungan energi Glukosa dan Metan adalah 673,0 dan
210,8 kkal/grol. Di antara komponen VFA yang telah disebutkan sebelumnya, maka asam
Propionatlah yang berperan besar dalam menghasilkan bobot lahir, produksi susu, dan
pertumbuhan ternak. Produksi asam Propionat lebih tinggi jika ternak diberi pakan
lamtoro dibanding rumput. Rumput gajah digunakan sebagai pembanding karena nilai
gizi rumput ini lebih baik dibanding rumput alam, yaitu rumput gajah mengandung PK
11.5% dan TDN 52.0% (Hartadi, et al., 2005), sedangkan rumput alam mengandung PK
8,2% dan TDN 56,2% (Sutardi, 1981), dan rumput gajah sudah dikenal oleh peternak.
Tampak bahwa produksi asam Propionat asallamtoro lebih besar daripada asam Propionat
dari rumput gajah. Didalam rumen proses fermentasi dapat diketahui melalui perhitungan
Stoichiometry fermentasi seperti dikemukakan oleh Hungate (1966)berikut ini.

3.2. Penggunaan untuk pakan unggas


Daging ayam dan telur mengkontribusi 20-30% dari total suplai protein hewani
yang dibutuhkan manusia di negara-negara berkembang (FAO, 2014). Namun
pertumbuhan industri unggas di negara-negara berkembang mengalami hambatankarena
harga bahan pakan yang mahal yang merupakan faktor pembatas bagi pengembangan
usaha. Karena itu diperlukan penelitian untuk mencari sumber bahan pakan lokal yang
berpotensi untuk ternak, seperti tepung daun, yang selalu tersedia, merupakan sumber
protein yang murah dan dapat ditambahkan dalam pakan unggas (Atawodi, et al., 2008).
Tetapi penggunaan tepung daun sebagai sumber protein memiliki kendala yaitu
kandungan serat kasarnya tinggi dan memiliki faktor antinutrisi (Zanu, et al., 2012).
Lamtoro atauLeucaena leucocephala menurut Agbede (2003) adalah satu di antara tepung
daun yang dapat digunakan sebagai bahan pakan alternatif untuk unggas di daerah tropis.
Tanaman ini adalah leguminosa pohon yang keras dan tahan kering, mengandung protein
yang tinggi dan biasa digunakan sebagai bahan pakan ruminansia di daerah tropis
(Nuttaporn and Naiyatat, 2009). Eniolorunda (2011) melaporkan komposisi proksimat
tepung daun leucaena adalah 88,2% bahan kering, 21,8% protein kasar, 15,1% serat
kasar, 3,1% abu, 8,6% ekstrak eter, dan 50,7% BETN.Ayssiwede, et al. (2010)
melaporkan hasil penelitian dari beberapa peneliti bahwa lamtoro penting sebagai sumber
bahan pakan karena kaya akan protein, asam-asam amino esensial, mineral, karotenoid
dan vitamin. Meskipun terdapat mimosin sebagai faktor toksik penting yang sering
disebutkan sebagai penghambat dalam pemanfaatan secara intensif, tetapi lamtoro sudah
lama digunakan pada ternak ruminansia dan monogastrik. Berbagai variasi dalam
performans yang dihasilkan adalah tergantung pada level dan nilai nutrisi lamtoro yang
digunakan. Bahan pakan daun lamtoro diharapkan merupakan sumberdaya yang tersedia
sepanjang waktu untuk pakan ayam pedaging

Berdasarkan kandungan proteinnya yang cukup tinggi, lamtoro mini dapat dijadikan
sebagai salah satu barang pakan alternative sumber protein nabati. Penelitian maharta dkk
(1999) memperlihatkan lamtoro mini dapat digunakan sampai 7% dalam ransung broiler,
sedangkan pada ternak itik local campusran jatan dan itik betina priode pertumbuhan ( 0-
7minggu) dapat diberikan sampai 20% dalam ransum (unpublished).keterbatsan
penggunaan lamtoro mini dalam ransung ungags diduga karna kandungan serat kassarnya
yang tinggi. Menurut scoot et. Al. (1982) ungags tidak mencerna bahan pakan yang
berserat tinggi karena saluran pencernaannya tidak menhasilkaan enzim selluse.
Untuk membedayakan potensi gizi yang ada terutama zat protein lamtoro mini,
perlu dilakukan suatu pengolahan yang dapat menurukan kandungan serat kasar tanpa
merusak zat gizi yang lain. Salah satu penggolahan yang dapat dilakukan adalah dengan
bantuan dengan tekanan uap panas menggunakan auto clape. Menurut zang dan parson
(1994) pengolahan dengan cara ini cukup efektif dalam meningkatkan kecernaan dan
palatabilitas pakan. Selanjtnya Dafendra (1988) menejlaskan kerusakan zat makanan
dengan pengolahan tekanan uap panas lebih sedikit karena adanya uap air meemproteksi
zat makan dari kerusakan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

AZLAN.2018.HIJAUAN PAKAN TERNAK UNTUK LAHAN SUB-


OPTIMAL.(MAKALAH)

Prawiradiputra, B.R., E. Sutedi, S. A. Fanindi, 2012 . Hijauan Pakan Ternak Untuk


Lahan sub-Optimal. BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PERTANIAN.KEMENTERIAN PERTANIAN

Dilaga, Syamsul Hidayat.2016.LAMTORO SUMBER PAKAN


POTENSIAL.Bandung: Pustaka Reka Cipta (BUKU)

Scott, M. L., M. C. Neshiem and R.J Young.1982.Nutrilion of The Chiken Ed, M. L.


Scott and Associated Ithaca. New York

Davendra, C. 1988.Non-Conventional Feed Resources and Fibrous Agricultural

Anda mungkin juga menyukai