PENDAHULUAN
Jenis, produksi, dan mutu hasil hijauan pakan ternak yang dapat hidup di suatu daerah
dipengaruhi oleh berbagai faktor,yaitu: iklim, tanah, spesies, pengelolaan,
2.1. Iklim
2.1.1. Curah Hujan
Pada musim hujan, produksi hijauan pakan biasanya tinggi, tetapi mutunya rendah. Hal ini
karena pada musim hujan, pertumbuhan tanaman lebih cepat dibandingkan pada musim
kemarau. Akibatnya peternak kelebihan pasokan sehingga banyak rumput yang terlambat
dipotong. Apabila rumput dipotong terlalu tua, kandungan serat kasarnya meningkat, sedangkan
kandungan protein kasarnya menurun. Sebaliknya pada musim kemarau, pertumbuhan rumput
lebih lambat sehingga rumput lebih lambat dipanen, atau kalau cepat dipanen rumputnya masih
muda. Pada saat itu, kandungan protein kasar cukup tinggi sementara serat kasarnya rendah.
Namun pada musim kemarau, daya hasil hijauan pakan juga rendah, sehingga banyak peternak
yang mencari hijauan ke tempat lain untuk ternaknya.
2.1.2. Suhu Udara
Suhu udara dipengaruhi oleh ketinggian tempat dari permukaan laut, setiap kenaikan tinggi
tempat 100 m, suhu udara menurun 1oC. Beberapa jenis hijauan pakan tumbuh baik di dataran
tinggi, tetapi sebagian lainnya hanya tumbuh baik di dataran rendah. Namun, ada juga yang
tumbuh baik mulai dari pinggir laut sampai ke pegunungan.
2.2. Lahan
Berdasarkan tingkat kesuburannya, lahan juga bisa digolongkan ke dalam lahan subur dan lahan
tidak subur. Faktor-faktor yang memengaruhi kesuburan tanah antara lain pH tanah dan salinitas.
Kesuburan tanah juga di pengaruhi kemasaman tanah dan salinitas. Tanah-tanah di sekitar
gunung berapi biasanya lebih subur, sehingga apabila tidak ada kendala air, tanah tersebut bisa
ditanami hijauan pakan dengan hasil yang tinggi. Sebaliknya tanah yang tidak dipengaruhi
gunung berapi, seperti tanah Podsolik Merah Kuning, biasanya kekurangan unsur hara dan
bersifat masam sehingga hanya tanaman tertentu yang bisa tumbuh dengan baik.
2.3. Spesies
Kesuburan tanah juga di pengaruhi kemasaman tanah dan salinitas. Tanah-tanah di sekitar
gunung berapi biasanya lebih subur, sehingga apabila tidak ada kendala air, tanah tersebut bisa
ditanami hijauan pakan dengan hasil yang tinggi. Sebaliknya tanah yang tidak dipengaruhi
gunung berapi, seperti tanah Podsolik Merah Kuning, biasanya kekurangan unsur hara dan
bersifat masam sehingga hanya tanaman tertentu yang bisa tumbuh dengan baik.
2.4. Pengelolaan
Pengelolaan atau manajemen hijauan pakan sering diabaikan oleh sebagian besar peternak di
Indonesia. Pengelolaan pakan yang kurang baik, tidak dapat menjamin pasokan hijauan pakan
sepanjang tahun sehingga pertumbuhan dan perkembangan ternak tidak akan baik. Prinsip
utama yang perlu diperhatikan adalah mendekatkan tanaman pakan ternak (TPT) dengan
kandang. peternak tidak perlu menghabiskan waktu sehingga untuk mencari hijauan pakan.
Caranya adalah dengan menanami lahan di sekitar kandang dengan tanaman pakan, baik rumput
maupun leguminosa. Namun, menanam hijauan pakan saja tidak cukup. tetapi Tanaman harus
dipelihara dengan baik, dan dipupuk.
2.5. Panen
. Lmtoro mini dapat dipanen 4 kali setahun dengan produksi 7,59 ton bahan kering/ha/thn. Satu
pohon lamtoro dapat menghasilkan 0,3kg hijau yang segar. (Reksohadi prodjo, 1990)
2.6. Kondisi sosial ekonomi peternak/petani
Walaupun peternak mempunyai dana untuk membeli ternak, belum tentu mereka mempunyai
kebun rumput. Kalaupun memiliki lahan, biasanya digunakan untuk tanaman pangan, sementara
tanaman pakan ditanam di lahan-lahan yang tidak dapat ditanami tanaman pangan seperti di
lahan yang kurang subur, berbatu-batu, dan tampingan teras. Dengan demikian, hasil tanaman
pakan juga rendah, sehingga berpengaruh terhadap produktivitas ternak yang dipeliharanya.
2.7. Lahan Sub-Optimal di Indonesia
Lahan marginal sub-optimal adalah lahan yang mempunyai potensi rendah sampai sangat rendah
untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, namun dengan penerapan suatu teknologi dan
sistem pengelolaan yang tepat, lahan tersebut dapat menjadi lebih produktif dan berkelanjutan.
Lahan sub-optimal di Indonesia terdiri atas lahan pasang surut, lahan salin, gambut, dan lahan-
lahan yang berada di dekat area pertambangan (Yuniati, 2004).
Lahan pertanian di Indonesia luasnya mencapai 188 juta ha, terdiri atas lahan kering 148 juta ha
dan lahan basah 40 juta ha. Sebagian besar (sekitar 103 juta ha) lahan kering merupakan lahan
kering masam dengan pH < 5, sedangkan lahan kering tidak masam hanya 45 juta ha.
Walaupun lahan sub-optimal di Indonesia sangat luas, pemanfaatannya untuk pertanian belum
optimal. Ketersediaan inovasi teknologi untuk pengembangan lahan sub-optimal juga masih
terbatas. Pemanfaatan lahan sub-optimal memerlukan upaya dan teknologi spesifik lokasi agar
lahan dapat berproduksi secara optimal dan berkelanjutan.
2.7.1. Lahan Kering
Beberapa definisi lahan kering yang umum dijadikan acuan di Indonesia adalah:
2.7.1.1. Hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau tidak digenangi air pada sebagian
besar waktu dalam setahun atau sepanjang waktu (Hidayat dan Mulyani, 2005).
2.7.1.2. Lahan yang sumber pengairannya semata-mata berasal dari air hujan. Lahan ini bisa
berupa sawah tadah hujan, pekarangan, hutan, kebun, dan tegal (Semaoen et al., 1991)
2.7.1.3. Lahan yang hampir sepanjang tahun tidak tergenang secara permanen (Muljadi, 1977)
2.7.1.4. Lahan yang dalam keadaan alamiah lapisan atas dan bawah tubuh tanah (top soil dan
sub-soil) tidak jenuh air dan tidak tergenang sepanjang tahun, serta kelembapan tanah sepanjang
tahun atau hampir sepanjang tahun berada di bawah kapasitas lapang (Satari et al., 1977)
2.7.1.5. Lahan yang pemenuhan kebutuhan airnya untuk tanaman bergantung sepenuhnya pada
air hujan dan tidak pernah tergenang sepanjang tahun (Guritno et al., 1997)
Walaupun lahan kering didefinisikan bermacam-macam, secara umum oleh Badan Pusat Statistik
(BPS, 2003) dikelompokkan menjadi pekarangan, tegal/kebun/ladang/huma, padang rumput, dan
lahan perkebunan.
Lahan kering di Indonesia tersebar di semua pulau besar. Kalimantan merupakan pulau dengan
lahan kering terluas, yaitu 42,5 juta ha, diikuti oleh Papua dan Sumatera dengan luas masing-
masing sekitar 33 juta ha (Hidayat dan Mulyani, 2005). Berdasarkan ketinggian tempat, lahan
kering bisa digolongkan menjadi lahan kering dataran rendah, yaitu lahan yang berada pada
elevasi sampai 700 m dpl, dan lahan kering dataran tinggi dengan batas ketinggian di atas 700 m
dpl. Sebagian besar lahan kering dataran rendah mempunyai bentuk wilayah (relief) datar,
berombak, bergelombang dan berbukit. Di Indonesia lahan kering dataran rendah pada umumnya
terdapat di Kalimantan dan Sumatera (Hidayat dan Mulyani, 2005).
2.7.2. Lahan Rawa
Lahan rawa di Indonesia cukup luas sekitar 33,4 – 39,4 juta ha (Widjaja-Adhi et al., 2000),
menyebar dominan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Lahan rawa tersebut terdiri
atas lahan rawa pasang surut 23,1 juta ha dan lahan rawa lebak 13,3 juta ha (Subagyo dan
Widjaja-Adhi, 1998). Lahan rawa pasang surut merupakan rawa pantai pasang surut di dekat
muara sungai besar yang dipengaruhi secara langsung oleh aktivitas air laut. Di wilayah pasang
surut, karena lingkungannya selalu jenuh air dan tergenang, terdapat dua jenis utama tanah, yaitu
tanah mineral (mineral soils) jenuh air dan tanah gambut (peat soils).
2.7.3. Lahan Salin
Dalam rangka peningkatan produksi dan penyebaran pusat-pusat produksi pertanian guna
memenuhi kebutuhan pangan dan pakan, perhatian terhadap lahan-lahan bermasalah menjadi
semakin penting, mengingat lahan berpengairan makin terbatas Lahan salin di Indonesia sangat
potensial dikembangkan apabila dikelola dengan baik, Upaya menanam tanaman pakan dan
memelihara ternak ruminansia dilahan salin adalah alternatif diversifikasi usaha untuk
meningkatkan taraf hidup para nelayan di sekitar pantai. Kendala utama yang dihadapi dalam
usaha pemanfaatan lahan salin (lahan sawah pasang surut dan sawah lebak) ialah keadaan lahan
yang basah berlebihan sepanjang tahun tingkat kesuburan tanah rendah, tingkat salinitas tanah
tinggi akibat adanya intrusi air laut sewaktu terjadi pasang, kemasaman tanah yang tinggi, dan
adanya ion-ion yang bersifat toksik yang merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman
(Hardjowigeno dan Rayes, 2005).
Jenis leguminosa pakan yang banyak dijumpai di Indonesia adalah lamtoro, turi, dan
kalopogonium, serta sedikit sentrosema. Bakteri rhizobium yang diisolasi dari keempat jenis
leguminosa tersebut mampu bertahan hidup pada media dengan konsentrasi garam NaCI sangat
tinggi yaitu 12.000 ppm. Leguminosa pohon lebih tahan terhadap salinitas dibandingkan dengan
leguminosa penutup tanah.
2.7.4. Lahan Bekas Tambang
Masalah utama pada wilayah bekas tambang adalah perubahan lingkungan. Perubahan kimiawi
terutama berdampak terhadap air tanah dan air permukaan, berlanjut secara fisik perubahan
morfologi dan topografi lahan. Lebih jauh lagi adalah perubahan iklim mikro serta penurunan
produktivitas tanah dengan akibat menjadi tandus atau gundul. Mengacu kepada perubahan
tersebut perlu dilakukan upaya reklamasi. Selain bertujuan untuk mencegah erosi atau
mengurangi kecepatan aliran air limpasan, reklamasi dilakukan untuk menjaga lahan agar tidak
labil dan lebih produktif. Akhirnya reklamasi diharapkan menghasilkan nilai tambah bagi
lingkungan dan menciptakan keadaan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan
sebelumnya
Perbaikan kondisi tanah meliputi perbaikan ruang tumbuh, pemberian tanah pucuk dan bahan
organik serta pemupukan dasar dan pemberian kapur. Kendala yang dijumpai dalam merestorasi
lahan bekas tambang yaitu masalah fisik, kimia (nutrients dan toxicity), dan biologi. Masalah
fisik tanah mencakup tekstur dan struktur tanah. Masalah kimia tanah berhubungan dengan
reaksi tanah (pH), kekurangan unsur hara dan keracunan mineral.
Menurut Hanura (2005), pemberian kompos 200 ton/ha pada sandy tailing dan humic tailing
memberikan pengaruh terbaik terhadap sifat-sifat kimia bahan tailing. Dari penelitian Santi
(2005) diperoleh kesimpulan bahwa perbaikan tailing dengan overburden dan kompos dapat
meningkatkan pertumbuhan nilam. Komposisi media terbaik yaitu 50% tailing, 30%
overburden dan 20% kompos. Jenis bahan organik yang lazim digunakan untuk reklamasi lahan
pasca tambang timah adalah pupuk kotoran ternak seperti kotoran sapi dan ayam. Kotoran ternak
dikomposkan bersama-sama dengan seresah dengan menggunakan aktivator untuk mempercepat
pelapukan. Selain dari kotoran ternak, potensi bahan organik yang dapat dimanfaatkan adalah
sampah organik dan limbah padat dari pabrik pengolahan kelapa sawit. Tanaman leguminosa
yang dapat digunakan antara lain adalah sentro (Centrosema pubescens), puero
(Puerariajavanica), dan kalopo (Calopogonium mucunoides) serta untuk rumput adalah akar
wangi (Vetiveria zizanoides), Paspalum sp., Brachiaria decumbens, dan Panicum maximum.
Penanaman dilakukan pada guludan atau bedengan.
BAB III
PENGGUNAAN UNTUK TERNAK
Berdasarkan kandungan proteinnya yang cukup tinggi, lamtoro mini dapat dijadikan
sebagai salah satu barang pakan alternative sumber protein nabati. Penelitian maharta dkk
(1999) memperlihatkan lamtoro mini dapat digunakan sampai 7% dalam ransung broiler,
sedangkan pada ternak itik local campusran jatan dan itik betina priode pertumbuhan ( 0-
7minggu) dapat diberikan sampai 20% dalam ransum (unpublished).keterbatsan
penggunaan lamtoro mini dalam ransung ungags diduga karna kandungan serat kassarnya
yang tinggi. Menurut scoot et. Al. (1982) ungags tidak mencerna bahan pakan yang
berserat tinggi karena saluran pencernaannya tidak menhasilkaan enzim selluse.
Untuk membedayakan potensi gizi yang ada terutama zat protein lamtoro mini,
perlu dilakukan suatu pengolahan yang dapat menurukan kandungan serat kasar tanpa
merusak zat gizi yang lain. Salah satu penggolahan yang dapat dilakukan adalah dengan
bantuan dengan tekanan uap panas menggunakan auto clape. Menurut zang dan parson
(1994) pengolahan dengan cara ini cukup efektif dalam meningkatkan kecernaan dan
palatabilitas pakan. Selanjtnya Dafendra (1988) menejlaskan kerusakan zat makanan
dengan pengolahan tekanan uap panas lebih sedikit karena adanya uap air meemproteksi
zat makan dari kerusakan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA