Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KEGIATAN SURVEY

DAMPAK KEARIFAN LOKAL Hading Mulung TERHADAP


PENGELOLAAN LOLA (Trochus niloticus L) DAN PERIKANAN
LAINNYA DI PULAU LAPANG KABUPATEN ALOR

Paulus Edison Plaimo, S.Pi., M. Sc


Andri P Timung, SP., M. Si
Universitas Tribuana Kalabahi

KERJA SAMA WWF-INDONESIA


DAN UNIVERSITAS TRIBUANA KALABAHI
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas anugerah,
hikmat serta kasih sayang yang diberikan kepada kami, sehinga kegiatan survey Dampak kearifan
lokal Hading Mulung terhadap pengelolaan Lola (Trochus niloticus L) dan perikanan lainnya
dikawasan pesisir sekitar Pulau Lapang Kabupaten Alor yang diselengarakan pada tanggal 16 –
21 Oktober 2018 dapat berjalan dengan baik. Rasa hormat pun kami tujukan kepada semua pihak
yang berkontribusi demi terlaksananya baik itu upaya konservasi habitat melalui ritual Hading
Mulung maupun survey untuk mengukur aspek kebermanfaatannya.
Kami menyadari masih terdapat banyak kelemahan-kelemahan dalam penyajian data yang
tidak kami ketahui, oleh karena itu dengan kerendahan hati kami mengharapkan kritik, saran dan
masukan yang membangun demi perbaikan-perbaikan kedepan.

Kalabahi, 1 November 2018

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ....................................................................................................................................i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................................................1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................................................1
1.2. Tujuan ................................................................................................................................2
1.3. Hasil ...................................................................................................................................2
BAB II. PELAKSANAAN KEGIATAN ...............................................................................3
2.1. Lokasi/Tempat dan waktu ..................................................................................................3
2.2. Format Kegiatan.................................................................................................................3
2.3. Fasilitator ...........................................................................................................................3
2.4. Kepanitiaan ........................................................................................................................3
2.5. Peserta ................................................................................................................................3
2.6. Agenda Kegiatan ................................................................................................................3
BAB III. PEMBAHASAN ......................................................................................................4
3.1. Hading Mulung ..................................................................................................................4
3.2. Dampak sebelum Hading Mulung terhadap pengelolaan Pesisir dan Laut .......................7
3.3.Dampak setelah Hading Mulung terhadap pengelolaan Pesisir dan Laut...........................8
3.4. Perubahan Pola Pemanfaatan……………………………………………………………10
3.5. Perubahan Hasil Tangkapan ..............................................................................................12
3.6. Perubahan Jarak Tangkap dan Alat Tangkap.....................................................................14
3.7. Perubahan Target Tangkapan ............................................................................................ 17
3.8.Perubahan Target Tangkapan ............................................................................................. 18
BAB IV. PENUTUP .............................................................................................................. 19
4.1. Kesimpulan ...................................................................................................................... 19
4.2. Saran ................................................................................................................................ 19
Daftar Pustaka ......................................................................................................................... 21
LAMPIRAN-LAPIRAN .........................................................................................................22

iii
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


WWF-Indonesia merupakan yayasan independen yang terdaftar sesuai hukum Indonesia.
Dikelola oleh Dewan Penyantun yang terdiri dari Dewan Penasihat, Dewan Pengawas dan Dewan
Pelaksana. WWF-Indonesia merupakan bagian independen dari jaringan dari WWF dan
afiliasinya, organisasi pelestarian global yang bekerja di 100 negara di dunia yang bergerak di
bidang penelitian dan pelestarian alam. Kegiatan WWF di Indonesia didasari oleh Nota
Kesepahaman (Memorandum of Understanding) dengan Pemerintah Republik Indonesia c.q.
Kementrian Kelautan dan Perikanan (15/SJ-KKP/KB/X/2014, tanggal 17 Oktober 2014).
Pada tahun 2006, WWF-Indonesia Lesser Sunda Program (LSS) mulai mendukung
kebijakan pemerintah daerah kabupaten Nusa Tenggara Timur dalam peningkatan efektivitas
pengelolaan kawasan konservasi perairan. Beberapa wilayah kerja WWF-ID LSS antara lain di
SAP (Suaka Alam Perairan) Selat Pantar dan Laut Sekitarnya Kabupaten Alor, SAP Flores Timur
di Kabupaten Flores Timur dan Taman Nasional Komodo Kabupaten Manggarai Barat.
Kawasan Konservasi Perairan merupakan kawasan yang dikelola dengan sistem zonasi
untuk menjaga keseimbangan antara pemanfaatan kawasan perairan dengan perlindungan
sumberdaya laut yang terdapat di wilayah tersebut, dengan tujuan utama adalah kesejahteraan
masyarakat yang ada di dalam kawasan maupun di luar kawasan. Berdasarkan Permen KP No. 47
tahun 2016 tentang Pemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan, terdapat 4 jenis pemanfaatan yang
dapat dilakukan di dalam kawasan konservasi yaitu: Penangkapan ikan, pembudidayaan ikan,
pariwisata alam perairan, dan penelitian dan Pendidikan.
Kawasan Konservasi Perairan Daerah Suaka Alam Perairan Selat Pantar Kabupaten Alor
telah ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan pada tanggal 16 juni 2015 melalui
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 35 tahun 2015. Dengan luas kawasan 276.693,38
hektar. Tujuan pembentukan SAP ini adalah pengelolaan dan perlindungan ekosistem terumbu
karang, padang lamun, mangrove, perikanan berkelanjutan, dan biota dilindungi seperti penyu, hiu
dan pari manta, serta mamalia laut meliputi paus, lumba-lumba dan dugong.
Banyak potensi yang dimiliki maka banyak pula ancaman dan permasalahanya diantaranya
pemanfaatan ekosisitem yang tidak ramah lingkungan seperti, penangkapan ikan menggunakan
alat bantu bom, potasium dan lainya. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi mendorong
tumbuhnya berbagai kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir. Hal ini akan berdampak positif

2
terhadap peningkatan kondisi perekonomian masyarakat, namun disisi lain hal ini dapat
menyebabkan berbagai dampak negatif. Adanya kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir akan
mengakibatkan kerusakan lingkungan (Fauzi dan Anna, 2005; Mulyadi, 2007; Supriharyono,
2009; Harahap, 2010; Tuwo, 2011.
Pulau Lapang Salah satu Pulau yang berada di Pulau Pantar Kabupaten Alor Propinsi Nusa
Tenggara Timur, pulau ini termasuk dalam zona inti Kawasan Konservasi SAP Selat Pantar
Kabupaten Alor yang dimana memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) perairan yang cukup
tinggi.
Pengelolaan dan pelestarian pulau lapang berbasis kearifan local yang sudah di kembangkan
semenjak tahun 2015. Kearifan Lokal yang dimaksud adalah Hading Mulung (Buka Air). Hadi
Mulung adalah peratruran adat dari Kerajaan Barnusa, yang difokuskan dalam melakukan
penjagaan lingkungan dan alam sekitarnya terutama ikan karang dan lola (Trochus niloticus L).
Penelitian ini difokuskan untuk, berapa besar dapak penetapan Hading Mulung untuk dalam
pelestarian ekosistem pesisir dan laut di Pulau Lapang terkhususnya perlindungan Lola (Trochus
niloticus L) serta perikanan lainnya. Hasil dari kajian ini diharapkan menjadi umpan balik pada
siklus pengelolaan selanjutnya.
1.2. Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah:
1. Untuk mendapatkan data dari dampak hading mulung terhadap pengkapan lola dan ikan
karang lainya periode Agutus 2018
2. Untuk terlaksananya sosialisasi kearifan local hading mulung terhadap masyarakat nelayan
yang melakukan aktifitas penangkapan di Pulau Lapang dan sekitarnya.
1.3.Hasil
Hasil yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kegiatan ini adalah:
1. Tersedianya data dampak hading mulung terhadap pengkapan lola dan ikan karang lainya
periode Agutus 2018.
2. Terlaksananya sosialisasi kearifan local hading mulung terhadap masyarakat nelayan yang
melakukan aktivitas pengkapan di Pulau Lapang dan sekitarnya.
3. Tersedianya data sosial ekonomi dan sistem pemasaran Ikan di Pulau Lapang

3
BAB II. PELAKSANAAN KEGIATAN
Pelaksanaan kegiatan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
2.1. Lokasi/Tempat dan Waktu
Pelaksanan kegiatan survey ini dailaksanakan pada tanggal 16-21 Oktober Tahun 2018
bertempat di Desa Baranusa, Desa Blangmerang, Desa Baraler dan Pulau Lapang.
2.2. Format Kegiatan
Format kegiatan ini dilakukan dengan cara: Observasi lapangan dengan menggunakan
kuisoner dan wawancara
2.3. Fasilitator
4. Dosen Universitas Tribuana (2 orang).
5. Staff dinas pariwisata kabupaten Alor (1 orang)
6. Staff dinas kelautan dan perikanan kabupaten Alor (2 orang)
2.4. Kepanitiaan
WWF-Indonesia Lesser Sunda Program Informasi yang berhubungan dengan dapat
menghubungi panitia:
I Made Dharma Jaya Ariawan/WWF(idharmajaya@wwf.id/081290452019), Zakaria
Atapada/WWF (zatapada@wwf.id/081338261154), Paulus Edison Plaimo
(ediplaimo.untrib@gmail.com/082300001955)& Andri P Timung/
(andremorango58@gmail.com/081237758949) Universitas Tribuana Kalabahi.
2.5. Peserta
Tabel 1. Daftar Anggota masyarakat dan Universitas yang tergabung dalam survey Dampak
Hading Mulung di Pulau Lapang Tanggal 23-29 Agustus 2018.
Unsur 1. Dosen Universitas Tribuana. 2 orang
Pemerintah 2. Mahasiswa Universitas Tribuana. 2 orang
Unsur 1. Masyarakat Nelayan Pulau Lapang dan 26 orang
Masyarakat Baranusa
Total 30 orang

2.6. Agenda Kegiatan


Agenda pengambilan data:
1. Desa Baranusa, Desa Blangmerang, Desa Baraler, Desa Illu, dan Desa Piringsina pada
tanggal 16-22 Oktober 2018.

4
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemulihan habitat atau konsevasi habitat (konservasi kawasan ekosistem) adalah suatu cara
yang tepat untuk mengembalikan kondisi paling tidak mendekati kondisi seperti sediakala (Tjut
Sugandawati, 2016). Kondisi ini berbanding positif dengan pemulihan kawasan pesisir Pulau
Lapang, yang telah diberlakukan oleh masyarakat kecamatan pantar barat tepatnya 5 desa pesisir
diwilayah itu yaitu Desa Baranusa, Desa Baraler, Desa Blangmerang, Desa Piringsina dan Desa
Illu yang mengembalikan tradisi leluhur untuk melestarikan keberlangsungan ekosistem sebagai
penyedia sumber daya (ikan dan lola), bagi mereka yang berprofesi sebagai nelayan maupun
generasi yang akan datang yaitu budaya Hading Mulung.
Sejalan dengan itu Dahuri, (2003), menyatakan keberadaan budaya (kearifan lokal) yang
berada ditengah-tengah masyarakat tentang perlindungan alam dapat digali serta digunakan
sebagai upaya konservasi. Proses Hading Mulung (menutupi kawasan tertentu sebagai areal
konservasi) telah diberlakukan sejak 31 oktober tahun 2016 dan sebaliknya telah dilakukan Hoba
Mulung (areal konservasi dibuka kembali untuk dilakukan penangkapan bebas) pada bulan mei
2018. Untuk mengetahui sejauh mana kebermanfaatan program Mulung kami melakukan survey
dan sebagai target populasi responden adalah nelayan yang melakukan aktivitas penangkapan
dikawasan pesisir Pulau Lapang dan Pulau Batang.
Data mengenai persepsi nelayan dapat dilihat pada informasi yang disajikan berikut ini:
3.1 Hading Mulung
Pola pikir berperan penting dalam sebuah tindakan (Nurachman, 2008), sejalan dengan itu
perlu diketahui sikap nelayan mengenai mulung oleh karena nelayan sebagai pelaku utama sebuah
interaksi dengan lingkungan kawasan mulung di pulau lapang memberikan respon 92% (24 orang)
menyatakan sangat setuju dan 8% (2 orang) menyatakan setuju, dengan jumlah responden 26
orang.
Kondisi ini menggambarkan seluruh responden yang diwawancarai, mengetahui secara
mendetail tentang mulung yaitu suatu ritual secara adatia untuk melarang (Hading) untuk tidak
diperbolehkan melakukan penangkapan ikan ataupun mengambil lola bahkan segala sesuatu
dikawasan pesisir Pulau Lapang-Batang. Sebaliknya setelah dibuka (Hoba Mulung) itulah saatnya
semua nelayan dapat mencari atau mengambil ikan dan lola atau sumber daya apapun dikawasan
perairan Pulau Lapang-Batang.

5
Beberapa pelanggar ritual adat Hading Mulung yang dilakukan oleh suku Sandiata ini
mendapat ganjaran menderita beberapa penyakit seperti kebutaan, badan gatal-gatal bahkan
berujung pada kematian. Tingkat pemahaman nelayan tentang Hading Mulung dapat dilihat pada
gambar 1.

Pernah mendengar Hading Mulung ?

8%
Sangat Setuju (SS)
Setuju (S)
Ragu-Ragu/Netral (N)
Tidak Setuju (TS)
Sangat Tidak Setuju (STS)
92%

Gambar 1. Tingkat pemahaman nelayan tentang Hading Mulung

Selanjutnya seluruh responden (26 orang) diwawancarai mengenai peran Hading Mulung
dalam pengelolaan pesisir dan laut, 22 orang responden atau 85% menyatakan sangat setuju dan 4
orang responden lainnya atau 15%, menyatakan setuju. Selebihnya para responden mengatakan
ritual Hading Mulung adalah sebuah upaya untuk melindungi habitat serta ekosistem didalamnya
dan menjadi zona paenyanggah dan penyuplai lola dan ikan bagi daerah disekitar Hading Mulung.
Pengetahuan nelayan peran Hading Mulung dalam pengelolaan pesisir dan laut dapat dilihat pada
gambar 2.

6
Mengetahui peran Hading Mulung dalam
pengelolaan pesisir & laut ?

15% Sangat Setuju (SS)


Setuju (S)
Ragu-Ragu/Netral (N)
Tidak Setuju (TS)
85% Sangat Tidak Setuju (STS)

Gambar 2. Pengetahuan nelayan mengenai peran Hading Mulung dalam pengelolaan pesisir dan
laut

Hading Mulung merupakan ritual adat untuk perlindungan alam yang telah terpendam
difungsikan kembali memberikan dampak yang signifikan terhadap pemulihan habitat dan
ekosistem dikawasan pesisir Pulau Lapang-Batang sebagai areal Mulung. Oleh karena itu seluruh
responden (26 orang) yang diwawancarai mengungkapkan rasa kepuasan mereka dan sangat setuju
atau 100% menyatakan ada pemulihan habitat dan ekosistem dapat terjaga. Dampak dari Hading
Mulung terhadap pemulihan habitat dan ekosistem di perairan Pulau Lapang-Batang dapat dilihat
pada gambar 3.

Akibat Hading Mulung ekosistem disekitar


perairan P. Lapang dapat terjaga ?

Sangat Setuju (SS)


Setuju (S)
Ragu-Ragu/Netral (N)
100%
Tidak Setuju (TS)
Sangat Tidak Setuju (STS)

Gambar 3. Dampak dari Hading Mulung terhadap pemulihan habitat dan ekosistem di perairan
Pulau Lapang-Batang sebagai kawasan Mulung.

7
3.2 Dampak sebelum Hading Mulung terhadap pengelolaan pesisir dan laut
Pemulihan habitat dan ekosistem dikawasan perairan Pulau Lapang dan Batang secara adatia
yang dikenal dengan istilah Mulung merupakan sebuah proses yang dilatar belakangi oleh rasa
keprihatinan dengan pola penangkapan yang sering dilakukan oleh nelayan setempat atau nelayan
dari daerah disekitar nya seperti nelayan pulau buaya, nelayan dari sumbawa, nelayan dari labuhan
bajo (kabir) menggunakan bahan atau alat bantu yang tidak ramah lingkungan (bom, potassium,
dll) sehingga populasi ikan karang dan lola bahkan seluruh aspek sumber daya termasuk terumbu
karang, lamun, teripang dan seluruh asosiasi organisme disekitarnya mengalami degradasi atau
penurunan yang siginifikan. Kondisi ini nampak ketika para responden diwawancarai, 85% atau
22 responden menyatakan sangat setuju dan 12% atau 4 responden menyatakan setuju bahwa
sebelum penerapan Mulung tahun 2015 populasi lola dan ikan karang dikawasan perairan Pulau
Lapang dan sekitarnya memprihatinkan dan sulit diperoleh. Selanjutnya dapat dilihat pada gambar
4 persentase jawaban responden terhadap pola pengambilan lola dan penangkapan ikan karang
dengan cara tidak ramah lingkungan sebelum penerapan Mulung.

Sebelum Hading Mulung diperairan P. Lapang


pengambilan lola & ikan karang secara tidak
ramah lingkungan/merusak ?

Sangat Setuju (SS)


12%
Setuju (S)
Ragu-Ragu/Netral (N)
Tidak Setuju (TS)
88%
Sangat Tidak Setuju (STS)

Gambar 4. Jawaban responden terhadap pola pengambilan lola dan penangkapan ikan karang
dengan cara tidak ramah lingkungan sebelum penerapan mulung.

Secara eksplisit para responden tatkala diwawancarai 62% (16 orang) sangat setuju dan 38%
(10 orang) setuju, menyatakan secara jujur bahwasanya profesi nelayan yang mereka jalani
manakala melakukan pengambilan lola maupun penangkapan ikan dikawasan perairan Pulau

8
Lapang dan sekitarnya sangat buruk dan hal ini diperparah oleh pengambilan tanpa disesuaikan
dengan jenis dan ukuran serta dieksploitasi tanpa batas waktu yang dilakukan tidak saja nelayan
setempat tetapi nelayan yang berasal dari berbagai daerah seperti nelayan dari sumbawa. Pola
persentase jawaban responden terhadap pola pengambilan lola dan penangkapan ikan karang
secara liar sebelum penerapan Mulung dapat dilihat pada gambar 5.

Sebelum Hading Mulung diperairan


P. Lapang pengambilan lola & ikan karang masih
secara liar ?

Sangat Setuju (SS)


Setuju (S)
38%
Ragu-Ragu/Netral (N)
62% Tidak Setuju (TS)
Sangat Tidak Setuju (STS)

Gambar 5. Jawaban responden terhadap pola pengambilan lola dan penangkapan ikan karang
secara liar sebelum penerapan Mulung.

3.3 Dampak setelah Hading Mulung terhadap pengelolaan pesisir dan laut
Akibat yang timbul setelah kegiatan Hading Mulung dikawasan pesisir Pulau Lapang dan
sekitarnya terlaksana, berbanding positf dengan semakin rendah atau bahkan tidak ditemukan
kegiatan pengambilan lola dan penagkapan ikan dengan cara yang tidak ramah lingkungan kondisi
ini terekam juga pada jawaban responden dimana 65% atau (18 orang) responden menyatakan
tidak setuju, 16% atau (4 orang) memberikan pendapat sangat tidak setuju dan 16% atau (4 orang)
responden mengambil sikap ragu-ragu. Walaupun demikian pengawasan terhadap areal kawasan
mulung mestinya dilakukan oleh karena areal kawasan ini seringkali menjadi target daerah
penangkapan bagi nelayan luar seperti nelayan sumbawa, nelayan pulau buaya, nelayan labuhan
bajo (kabir), nelayan pulau pura. Berikut ini adalah persentase jawaban oleh responden mengenai
pasca Hading Mulung apakah masih ditemukan cara pengambilan ikan & lola dengan tidak ramah
lingkungan di Pulau Lapang pada gambar 6.

9
Pasca Hading Mulung masih ditemukan cara
pengambilan ikan & lola dengan tidak ramah
lingkungan di P. Lapang ?

15%
16% Sangat Setuju (SS)
Setuju (S)
Ragu-Ragu/Netral (N)
Tidak Setuju (TS)

69% Sangat Tidak Setuju (STS)

Gambar 6. Pasca Hading Mulung apakah masih ditemukan cara pengambilan ikan & lola dengan
tidak ramah lingkungan di Pulau Lapang

Kebermanfaatan Hading Mulung secara ekologis sangat signifikan terutama munculnya


keragaman asosiasi yang begitu cepat, kondisi ini tercipta oleh karena terjadinya keseimbangan
ekosistem sebagaimana sesuai dengan pernyataan, Tjut Sugandawati (2016) bahwasanya
keseimbangan ekosistem sebuah kawasan dapat terjadi jika semua unsur didalamnya berkontribusi
tanpa dominasi. Larangan melakukan pengambilan dan penangkapan dikawasan Mulung adalah
upaya untuk merehabilitasi dan tumbuh secara alami. Pernyataan responden ketika diwawancarai
menyatakan untuk mencari lola dan ikan cukup diluar areal Mulung oleh karena lola dan ikan
cukup padat ini terbukti melalui jawaban responden 73% atau (19 orang) sangat setuju dan 27%
atau (7 orang) setuju. Hal ini sesuai dengan pendapat Koesbiono (2007) bahwa faktor pembatas
populasi suatu organisme adalah nutrisi dan ruang, walaupun nutrisi melimpah tetapi ruang
terbatas organisme akan keluar dari habitatnya. Persentase jawaban responden tentang pasca
Hading Mulung ekosistem diperairan Pulau Lapang dan sekitarnya semakin membaik dapat
diamati pada gambar 7.

10
Adanya Hading Mulung ekosistem diperairan P.
Lapang semakin membaik ?

Sangat Setuju (SS)


27%
Setuju (S)
Ragu-Ragu/Netral (N)
Tidak Setuju (TS)
73%
Sangat Tidak Setuju (STS)

Gambar 7. Persentase jawaban responden tentang pasca Hading Mulung ekosistem diperairan
Pulau Lapang dan sekitarnya semakin membaik.

3.4 Perubahan pola pemanfaatan


Pola pemanfaatan sumber daya di areal Mulung yaitu kawasan pesisir Pulau Lapang dan
Pulau Batang setelah Hading Mulung ditetapkan atau diberlakukan, nelayan lokal melakukan
pengambilan lola atau penangkapan ikan diluar areal Mulung baik siang ataupun malam sedangkan
nelayan non lokal biasanya beraksi menunggu sampai waktu malam tiba tanpa sepengatahuan
nelayan lokal, sehingga ketika mendapat jawaban responden dengan pertanyaan pasca Hading
Mulung aktivitas apakah penangkapan ikan dilakukan pada siang hari, 69% atau (18 orang) tidak
setuju, 19% atau (5 orang) sangat tidak setuju dan 12% atau (3 orang) ragu-ragu. Berikut ini
persentase jawaban tentang aktivitas penangkapan pasca Hading Mulung apakah dilakukan hanya
pada siang hari dapat dilihat pada gambar 8.

11
Setelah Hading Mulung aktivitas penangkapan
hanya siang hari ?

19% 12% Sangat Setuju (SS)


Setuju (S)
Ragu-Ragu/Netral (N)
Tidak Setuju (TS)

69% Sangat Tidak Setuju (STS)

Gambar 8. Persentase jawaban tentang aktivitas penangkapan pasca Hading Mulung apakah
dilakukan hanya pada siang hari.

Setelah Hading Mulung diberlakukan aktivitas penangkapan yang dilakukan menggunakan


bom, potassium ataupun bahan berbahaya lainya hampir tidak ditemukan lagi, apalagi oleh nelayan
lokal hal ini didasari oleh semangat memelihara dan melestarikan sumber daya hayati, beberapa
nelayan lokal juga mendapat musibah atau berujung pada kematian ketika melanggar sumpah
Mulung ketika memancing di areal Hading Mulung. Walaupun demikian faktor pengawasan harus
terus diberlakukan, sebab menurut beberapa responden pernah terjadi penggunaan potassium oleh
nelayan non lokal untuk menangkap ikan yang berdampak pada pembusukan rumput laut. Kendati
demikian secara mayoritas respon menyatakan tidak setuju yaitu 77% (20 orang), 8% (2 orang)
dan 15% (4 orang) ragu-ragu. Berikut ini persentase jawaban mengenai aktivitas penangkapan
menggunakan bom, potassium dan bahan berbahaya lainnya pasca Hading Mulung dapat dilihat
pada gambar 9.

12
Pasca Hading Mulung aktivitas penangkapan
masih menggunakan bom, potassium atau bahan
berbahaya lainnya ?

8% 15% Sangat Setuju (SS)


Setuju (S)
Ragu-Ragu/Netral (N)
Tidak Setuju (TS)
77% Sangat Tidak Setuju (STS)

Gambar 9. Jawaban mengenai aktivitas penangkapan menggunakan bom, potassium dan bahan
berbahaya lainnya pasca Hading Mulung.

3.5 Perubahan hasil tangkapan


Areal Mulung dikawasan pesisir pulau lapang dan sekitarnya berdampak positif bagi jumlah
tangkapan hal ini disebabkan oleh larangan penangkapan sementara waktu melalui proses Hadi
Mulung sehingga ada waktu pertumbuhan bagi semua biota yang mendiami kawasan mulung
selain itu kerusakan habitat terhindarkan oleh karena penggunaan bahan destruktif dalam proses
penangkapan tidak terjadi. Faktor-faktor ini menyebabkan populasi ikan dan lola cukup tinggi
selanjutnya oleh karena keterbatasn ruang ikan dan lola akan berpindah mencari relung ekologi
atau niche diluar kawasan mulung sehingga tertangkap oleh nelayan, ini pun dalam jumlah yang
banyak bahkan tangkapannya juga dapat dilakukan berualng-ulang dalam sehari. Adapun petikan
wawancara yang lampirkan sebagai berikut:
Pekerjaan saya ada dua:
1. Nelayan pemanah ikan
2. Budiaya agar-agar.
Lokasi tangkap:
1. Lokasi Mulung
2. Lokasi agar-agar dan perairan sekitarnya

13
Alat tangkap: Panah
Armada: Sampan Layar. Milik Pribadi
Waktu melaut:
1. Subuh sampai jam 9 pagi
2. Soreh sekitar jam 3 – magrib
3. Kadang-kadang seharian di laut
Jenis tangkapan:
1. Ikan hitam
2. Ikan putih
3. Ikan kulit pasir
Hasil tangkapan/jenis/trip dalam sehari. Hasil tangkapan bervariasi (campuran) ukuran tangkapan
juga bervariasi (besar, sedang, kecil)
1. Per trip 20 ekor. Sehari 2x trip = 40 ekor
2. Sebulan 24 hari melaut. Maka 24x2 trip x 20 ekor = 960 ekor
3. Ikan untuk makan sehari 1 ekor = 30 ekor
4. 930 ekor yang dikeringkan dan di jual
5. 930 ekor dibagi 3 (sesuai ukuran besar, sedang, dan kecil) = 310 ekor (masing-masing
ukuran)
6. ikan belah dua/tiga ukuran besar dapat 103 ikat/ikat Rp.50.000 Total Rp. 5.150.000
7. Ikan belah dua/tiga ukuran sedang dapat 16 ikat/ikat Rp.50.000. Total Rp. 800.000
8. Ikan belah dua/tiga ukuran kecil dapat 11 ikat/ikat Rp.50.000 Total Rp. 550.000
Total Pendapatan dalam sebulan Rp. 6.450.000
Pengakuan adanya peningkatan volume penangkapan yang mendongkrak pendapatan dapat
terlihat pada jawaban mayoritas responden yaitu 77% atau (22 orang) setuju, 19% (5 orang) sangat
setuju dan 4% (1 orang) ragu-ragu. Berikut ini persentase jawaban mengenai peningkatan hasil
tangkapan pasca Hading Mulung dapat dilihat pada gambar 10.

14
Pasca Hading Mulung ada peningkatan
hasil tangkapan ?

4% Sangat Setuju (SS)


19%
Setuju (S)
Ragu-Ragu/Netral (N)
Tidak Setuju (TS)
77% Sangat Tidak Setuju (STS)

Gambar 10. Jawaban mengenai peningkatan hasil tangkapan pasca hading mulung.

3.6 Perubahan jarak tangkap dan alat tangkap


Salah satu faktor pembatas adalah ruang oleh sebab itu manakala terjadi kepadatan pada
zona penyanggah atau daerah yang diisolir dengan program Mulung maka ikan akan melakukan
ruaya untuk menghindari kompetisi ruang. Pada saat ikan atau lola melakukan ruaya keluar dari
zona Mulung maka dapat menjadi komoditas yang dapat dieksploitasi. Dengan kepadatan yang
tinggi tersebut ikan dan lola akan sangat mudah ditemukan tanpa harus ke zona inti atau zona
Mulung. Hal ini membuat jarak daerah penagkapan juga semakin dekat, lebih memudahkan, serta
menghemat tenaga dan biaya operasional. Tentang jawaban responden mengenai adanya jarak
penangkapan yang semakin dekat secara mayoritas menyatakan setuju dan sangat setuju dengan
areal pesisir dimana 69% atau (18 orang) setuju dan 31% atau (8 orang) sangat setuju. Berikut ini
persentase jawaban mengenai perubahan jarak penangkapan pasca Hading Mulung dapat dilihat
pada gambar 11.

15
Pasca Hading Mulung ada perubahan
jarak penangkapan ?

Sangat Setuju (SS)


31% Setuju (S)
Ragu-Ragu/Netral (N)
Tidak Setuju (TS)
69%
Sangat Tidak Setuju (STS)

Gambar 11. Jawaban mengenai ada perubahan jarak penangkapan pasca Hading Mulung.

Lebih lanjut dalam aktivitas sehari-hari sebagai nelayan, secara mayoritas responden
menyatakan tidak setuju 73% (19 orang), sangat tidak setuju 12% (3 orang) dan ragu-ragu 15% (4
orang) tatkala ditanyakan mengenai adanya peningkatan jumlah hari/trip penangkapan pasca
hading mulung. Hal ini disebabkan oleh peningkatan populasi sumber daya hayati di kawasan
pesisir Pulau Lapang dan sekitarnya kepadatan ini akan berdampak pada imigrasi akibat
keterbatasan ruang atau relung ekologi dengan kata lain areal Mulung merupakan zona penyangga
dan penyuplai ikan dan lola sehingga keterangan responden sekali melaut hasil yang diperoleh
sangat berlimpah dapat meningkatkan pendapatan ekonomi. Berikut ini persentase jawaban
mengenai peningkatan jumlah hari/trip penangkapan sejak 2015-2018 pasca Hading Mulung dapat
dilihat pada gambar 12.

16
Ada peningkatan jumlah hari/trip
penangkapan sejak 2015-2018 ?

Sangat Setuju (SS)


12% 15%
Setuju (S)
Ragu-Ragu/Netral (N)
Tidak Setuju (TS)
Sangat Tidak Setuju (STS)
73%

Gambar 12. Jawaban mengenai peningkatan jumlah hari/trip penangkapan sejak 2015-2018 pasca
Hading Mulung.
Responden yang dipilih juga berprofesi sebagai nelayan menyatakan selama ini aktivitas
penangkapan mereka masih sangat sederhana yaitu memanah, mancing (hand line) pukat atau
jaring (gill-net). Keterangan ini terlihat pada jawaban didapat melalui kuisioner dengan persentase
65% (17 orang) atau menyatakan setuju dan 35% (9 orang) menyatakan sangat setuju. Berikut ini
persentase jawaban mengenai alat tangkap yang dugunakan apakah masih sederhana (pancing,
panah, pukat atau jaring) pasca Hading Mulung dapat dilihat pada gambar 13.

Alat tangkap yang di gunakan masih sederhana


(pancing, panah, pukat atau jaring) ?

Sangat Setuju (SS)


35% Setuju (S)
Ragu-Ragu/Netral (N)

65% Tidak Setuju (TS)


Sangat Tidak Setuju (STS)

Gambar 13. Persentase jawaban mengenai alat tangkap yang dugunakan apakah masih sederhana
(pancing, panah, pukat atau jaring) pasca Hading Mulung

17
3.7 Perubahan target tangkapan
Jenis tangkapan dikawasan areal Mulung sangat variativ oleh karena tingkat kesuburan yang
tinggi. Sejalan dengan Tjut Sugandawati (2016) menyatakan semakin tinggi tingkat kesuburan
suatu perairan merupakan penyedia nutrisi bagi biota yang berada diperairan tersebut maupun
biota lain dapat beremigrasi masuk kekawasan tersebut untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.
Keterangan para responden yang juga berprofesi sebagai nelayan mengungkapkan tangkapan
mereka selain siput, lola dan teripang, jenis ikan bermacam-macam antara lain: ikan putih (kakap),
ikan hitam (kerapu), ikan merah, ikan kuwe, ikan tuna, ikan tongkol, ikan tenggiri, yang semunya
masuk dalam kategori biota ekonomi penting dan harga atau nilai jual tinggi. Oleh sebab itu
responden 73% (19 orang) sangat setuju dan 27% (7 orang) setuju bahwa volume tangkapan pasca
Hading Mulung mengalami kenaikan jenis ikan yang diperoleh pun sangat variativ namun
memiliki nilai jual yang tinggi. Berikut ini persentase jawaban mengenai volume tangkapan dan
variasi jenis tangkapan pasca Hading Mulung dapat dilihat pada gambar 14.

Volume tangkapan cukup tinggi dan bervariasi ?

Sangat Setuju (SS)


27%
Setuju (S)
Ragu-Ragu/Netral (N)
Tidak Setuju (TS)
73% Sangat Tidak Setuju (STS)

Gambar 14. Persentase jawaban mengenai volume tangkapan dan variasi jenis tangkapan pasca
Hading Mulung

18
3.8 Aspirasi dan peran
Sebuah paradigma lama yang terlanjur menghiasi alam pikir masyarakat nelayan yang sering
melakukan penangkapan dikawasan pulau lapang dan sekitarnya adalah laut milik negara atau
pemerintah sehingga pengawasan dan perlindungan sumber daya itu bukan urusan masyarakat,
oleh sebab itu etika penangkapan dan pengambilan hasil laut tidak perlu memikirkan dampak
buruknya, sekalipun proses penangkapannya menggunakan bahan-bahan yang bersifat destruktif
seperti bom, potassium dan bahan berbahaya lainnya. Selanjutnya Nurachman (2008) menyatakan
bahwa karakter terbentuk oleh konstruksi pikiran, konsep ini turut menjadi kerangka berpikir
masyarakat nelayan di beberapa desa di kecamatan pantar barat yang aktivitasnya dikawasan
pesisir dan perairan Pulau Lapang dan Batang, namun sejak mengikuti progres yang muncul akibat
Hading Mulung diterapkan para nelayan merasa senang dan sesekali menyesali perlakukan mereka
sebelumnya, bahkan meminta untuk areal Mulung diperluas cakupannya. Oleh karena itu ketika
disodorkan pertanyaan melalui kuisioner apakah pengelolaan Hading Mulung berjalan dengan
baik sebanyak 77% (20 orang) menyatakan sangat setuju dan 23% (6 orang) menyatakan setuju.
Berikut ini persentase jawaban mengenai apakah pengelolaan Hading Mulung berjalan dengan
baik dapat dilihat pada gambar 15.

Pengelolaan Hadi Mulung berjalan


dengan baik ?

Sangat Setuju (SS)


23% Setuju (S)
Ragu-Ragu/Netral (N)
Tidak Setuju (TS)

77% Sangat Tidak Setuju (STS)

Gambar 15. Persentase jawaban mengenai apakah pengelolaan Hading Mulung berjalan dengan
baik

19
Budaya mufakat menjadi tradisi bangsa Indonesia yang sulit ditiadakan bahkan sampai
menembus sekat dan ruang, membangun kesepakatan mengenai upaya pemulihan habitat dengan
ritual Mulung memang tidak mudah sebab merupakan ruang privacy dan sensitiv oleh masyarakat
nelayan yang juga berprofesi sebagai petani rumput laut, dianggap akan menutup lahan yang
digunakan budi daya rumput laut awalnya menolak namun dengan kegigihan para missioner dari
wwf yang didukung oleh pemerintah berhasil meyakinkan tokoh adat, tokoh masyarakat bahkan
tokoh agama. Sejalan dengan itu. Koentjoro (2005) mengomentari bahwasanya mufakat adalah
jalan yang baik untuk mencari atau menemukam solusi demi kemaslahatan masyarakat banyak.
Lebih lanjut, setelah mendapatkan persetujuan dari berbagai pihak missioner wwf dengan
sepengetahuan pemerintah mengundang seluruh nelayan untuk melakukan sosialisasi dan
menemukan kesepakatan menentukan wilayah areal Mulung. Keterlibatan para nelayan yang juga
sebagai responden terbaca dalam jawaban yaitu 73% (19 orang) menyatakan setuju dan 27% (7
orang) menyatakan setuju. Berikut ini persentase jawaban mengenai keterlibatan pengelolaan
Hading Mulung dapat dilihat pada gambar 16.

Terlibat dalam penentuan lokasi Hading Mulung ?

Sangat Setuju (SS)


27%
Setuju (S)
Ragu-Ragu/Netral (N)
Tidak Setuju (TS)
73% Sangat Tidak Setuju (STS)

Gambar 16. Persentase jawaban mengenai keterlibatan dalam penentuan lokasi Hading Mulung

20
BAB IV. SIMPULAN DAN SARAN

4.1. Simpulan
Adapun kesimpulan yang diambil setelah melakukan survey terhadap dampak kearifan lokal
Hading Mulung terhadap pengelolaan Lola (Trochus niloticus L) dan perikanan lainnya di
kawasan pesisir Pulau Lapang Kabupaten Alor antara lain:
a. Progress perlindungan kawasan pesisir Pulau Lapang dan Pulau Batang melalui ritual adat
Hading Mulung meningkatkan populasi lola dan ikan karang, kemudian menyuplai ke areal
perairan sekitar yang bebas penangkapan dalam jumlah atau volume yang tinggi sehingga
mendongkrak pendapatan nelayan perbulan mencapai Rp. 6.450.00.
b. Penerapan kearifan lokal (local wisdom) Hading Mulung berkorelasi positif dengan
peningkatan pendapatan oleh karena itu keinginan masyarakat adalah proses Hading
Mulung kembali dapat dilakukan yang barengi dengan faktor pengawasan melekat
terhadap kawasan Mulung terutama aktifitas penangkapan oleh nelayan non lokal yang
cenderung mencari di areal Mulung pada waktu malam hari.

4.2. Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan adalah:
a. Membentuk satuan pengawas perlindungan yang terdiri dari nelayan maupun aparat linmas
untuk menjaga areal Mulung dari kehadiran nelayan non lokal yang mencari atau
melakukan penangkapan di kawasan pesisir Pulau Lapang dan Pulau Batang (areal
Mulung).
b. Untuk mendapatkan informasi yang lebih konfrehensif maka survey tentang korelasi ritual
adat Hading Mulung dengan perilaku profesi sebagai nelayan juga perlu dilanjutkan.
Informasi ini bisa lebih detail tentang kesiapan perilaku, dan tidak semata-mata hanya
terbatas untuk trend pendapatan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan, Salinan Orasi
Ilmiah. Institut Pertanian Bogor.

Koentjoro. 2005. Arti penting perubahan paradigma dan pendekatan dalam pembelajaran dan
penerapan psikologi social di Indonesia. Salinan Pidato Pengukuhan Guru Besar, UGM
Yogyakarta; Universitas Gadjah Mada.

Nurachman, N. 2008. Integrase Psikologi: Antara The Knower dan The Known. Buleti Psikologi.
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Tjut Sugandawati. 2016. Vokal Point, Kuliah Pasca Sarjana Biologi Konservasi. Fakultas Biologi.
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

22
BAB V. LAMPIRAN
1. Kuisioner

23
24
25
26
2. Dokumentasi

27
2. Dokumentasi Kegiatan

Gambar 1. Berdiskusi dengan Tokoh Adat Gambar 2. Mewawancarai Responden


sebelum melakukan kegiatan. (Nelayan) Dokumentasi 17-
Dokumentasi tanggal 17-10- 10-2018
2018

Gambar 3. Mewawancarai Responden Gambar 4. Melihat dari dekat aktivitas Nelayan


(Nelayan) Dokumentasi 17- sekaligus petani rumput laut di
10-2018 Pulau Lapang Dokumentasi 19-10-
2018

28
Gambar 5. Pancing Tangan (Hand Line) Gambar 6. Setelah melaut, Nelayan (Responden)
sebagai Alat tangkap yang di membuat produk perikanan ikan
gunakan untuk penangkapan belah tiga. Dokumentasi 19-10-2018
Ikan. Dokumentasi tanggal 19-
10-2018

Gambar 7. Produk perikanan ikan belah tiga, Gambar 8. Produk perikanan ikan belah tiga,
yang sedang di jemur dan siap yang sedang dijemur dan siap
dipasarkan. Dokumentasi 19-10- dipasarkan. Dokumentasi 19-10-
2018 2018

29

Anda mungkin juga menyukai