Anda di halaman 1dari 15

KAJIAN PERBEDAAN KONSTRUKSI MULUT BUBU LIPAT

TERHADAP HASIL TANGGKAPAN KEPITING BAKAU


(Scylla serrata) DI DESA TANAH MERAH,
KECAMATAN KUPANG TENGAH, KABUPATEN KUPANG

PROPOSAL PENELITIAN

OLEH

MARIA GORETI LURUK KLAU


1713020009

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN


FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut data dari BPS (Bada Pusat Statistik), alat tangkap yang berada di Kota Kupang
dan Kecamatan Kupang Tengah, yaitu : sampan 86, perahu motor tempel 607, kapal motor
1.005. dan hasil tangkapan kepiting bakau sebanyak 0,83 %. Kecamatan Kupang Tengah
khususnya di desa Tanah Merah merupakan kawasan yang merasakan dampak akibat dari
rusaknya ekosistem mangrove, diantaranya jumlah tangkapan nelayan setempat. Oleh sebab itu
masyarakat setempat melakukan pelestarian ekosistem mangrove dengan melakukan penanaman
mangrove, selain itu juga lahan-lahan bekas tambak yang tidak produksi juga tidak ditanami
mangrove. Penanaman ini diharapkan dapat membantu melestarikan dan memperbaiki perairan
pantai yang layak bagi organisme khususnya kepiting yang hidup di wilayah tersebut. Mangrove
merupakan habitat bagi kepiting dan diperkirakan kepiting memainkan peran ekologi yang
signifikan dalam struktur dan fungsi dari mangrove (Elisabethet, 2003).
Bubu lipat merupakan alat tangkap yang saat ini popular digunakan oleh nelayan untuk
menangkap kepiting. Alat tangkap ini mulai digunakan oleh nelayan untuk menangkap kepiting
bakau. Di berbagai tempat di wilayah Indonesia kepiting ditangkap dengan menggunakan
berbagai jenis alat tangkap. Sebelum penggunaan bubu popular di kalangan nelayan, nelayan
Tanah Merah menangkap rajungan dengan menggunakan jaring kejer (Nurhakim, 2000). Bubu
lipat menjadi alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan karena mudah dioperasikan, bisa
dilipat sehingga mudah untuk dibawa di kapal dengan jumlah yang banyak dan harga relatif
murah dibanding jenis alat tangkap lainnya. Penggunaan bubu lipat selanjutnya semakin luas
tidak hanya digunakan untuk menangkap kepiting bakau, namun juga digunakan untuk
menangkap kepiting bakau.
Konstruksi mulut bubu lipat merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan
usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bubu. Berdasarkan beberapa pustaka dengan
mengubah sudut kemiringan lintasan masuk atau mulut bubu dapat meningkatkan hasil
tanggkapan. Desain alat tanggkap harus sesuai dengan target tangkapan dan memperhatikan
tingkat selektivitasnya. Mengetahui kecepatan merayap kepiting bakau pada pintu masuk
perangkap (bubu) dengan kemiringan sudut pintu masuk bubu yang berbeda diperlukan agar
dapat memberikan rekomendasi sudut yang tepat untuk digunakan dalam operasi penangkapan.
Konstruksi pintu masuk merupkan aspek paling penting yang berpengaruh terhadap efektifitas
penangkapan ikan menggunakan bubu (Yamane and Flores, 1989; Yamane 1995; dan Sugimoto,
et al., 1996 dalam Supadminingsih, 2015). Desain dan konstruksi pintu masuk yang tepat akan
memudahkan kepiting bakau untuk menemukan jalan masuk dan terperangkap di dalam bubu.
Ragam konstruksi mulut bubu lipat adalah bentuk bulat dan ditempatkan pada posisi di
tengah, sehingga kepiting bakau dapat masuk kedalam bubu, tapi sulit untuk keluar karena sulit
menjangkau ketinggian mulut bubu. Pada kondisi tersebut, maka bubu harus memiliki ukuran
tinggi yang cukup untuk menempatkan posisi mulut bubu yang tidak dapat dijangkau dengan
mudah oleh kepiting bakau. Bila tidak mengikuti kondisi tersebut, dimana bentuk mulut bubu
tidak lagi berbentuk bulat dan ketinggian posisi mulut bubu tidak terlalu tinggi dari dasar bubu,
maka kepiting bakau akan mudah masuk dan juga meloloskan diri. Bahan dan konstruksi bubu
sangat beragam, tergantung pada target tanggkapan dan kebiasaan nelayan setempat. Salah satu
jenis bubu yang banyak digunakan untuk penangkapan crustacea, terutama kepiting bakau
(Scyllia serrata) adalah bubu lipat (Susanto dan Irnawati, 2012).
Semakin rendah sudut kemiringan, maka kepiting akan semakin mudah saat berusaha
memasuki bubu lipat. Bubu lipat yang biasa digunakan oleh nelayan memiliki sudut kemiringan
30°, oleh karena itu penelitian sudut kemiringan mulut bubu akan di uji coba dengan sudut
kemiringan 40° dan 20° hasil uji coba laboraturium. Bentuk konstruksi mulut dengan kemiringan
20°, 30° dan 40° dimaksudkan untuk memperoleh hasil tanggkapan yang signifikan dengan
mengubah konstruksi di bagian mulut bubu lipat (Mutiara, 2012). Perbedaan sudut kemiringan
bubu dapat berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan kepiting baku maka dari itu
permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah apakah kemiringan sudut pada konstruksi mulut
bubu lipat dapat berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan kepiting bakau.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka di rumuskan masalah sebagai berikut apakah kemiringan
sudut pada konstruksi mulut bubu lipat dapat berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan
kepiting bakau?.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui kemiringan sudut pada konstruksi
mulut bubu lipat dapat berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan kepiting bakau?.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan manfaat antara lain :
1. Bagi peneliti dalam meningkatkan pemahaman mengenai kajian perbedaan konstruksi mulut
bubu terhadap hasil tangkapan ranjungan, sekaligus sebagai acuan di masa mendatang bagi
peneliti lain.
2. Bagi akademik dapat dijadikan masukan untuk penelitian lebih lanjut dan pengembangan
informasi mengenai perbedaan konstruksi mulut bubu.
3. Bagi nelayan diharapkan dari hasil penelitian ini nelayan nantinya dapat mengetahui
konstruksi mulut bubu yang lebih efektif untuk penangkapan rajungan pada alat tangkap bubu.
4. Bagi kalangan umum dapat dijadikan sebagai bahan informasi tentang perbedaan konstruksi
mulut bubu lipat.

E. Kerangka Pikir
Konstruksi mulut bubu lipat merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan
usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bubu. Berdasarkan beberapa pustaka dengan
mengubah sudut kemiringan lintasan masuk atau mulut bubu lipat dapat meningkatkan hasil
tanggkapan. Desain alat tanggkap harus sesuai dengan target tangkapan dan memperhatikan
tingkat selektivitasnya. Mengetahui kecepatan merayap kepiting bakau pada pintu masuk
perangkap (bubu) dengan kemiringan sudut pintu masuk bubu lipat yang berbeda diperlukan agar
dapat memberikan rekomendasi sudut yang tepat untuk digunakan dalam operasi penangkapan.
Desain konstruksi kemiringan bubu lipat merupakan cara pembuatan sudut kemiringan pada alat
tangkap bubu lipat untuk menangkap kepiting bakau. Penentuan konstruksi pintu masuk dan
lintasan masuk bubu lipat merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha
penangkapan kepiting bakau dengan menggunakan bubu lipat. daerah penangkapan bubu lipat
adalah perairan yang mempunyai dasar perairan berlumpur maupun pasir ataupun daerah
berkarang tergantung spesies yang menjadi tujuan penangkapan.
Kepiting Bakau

Tangkapan Nelayan

Desain Alat Tangkap


Bubu Lipat

Konstruksi Mulut Bubu


Lipat

Kemiringan 20° Kemiringan 30° Kemiringan 40°

Hasil Tangkapan

Gambar 1. Kerangka Berpikir


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Alat Tangkap Bubu Lipat


Bubu lipat merupakan alat tangkap yang saat ini popular digunakan oleh nelayan untuk
menangkap kepiting. Alat tangkap ini mulai digunakan oleh nelayan untuk menangkap kepiting
bakau. Di berbagai tempat di wilayah Indonesia kepiting ditangkap dengan menggunakan
berbagai jenis alat tangkap. Sebelum penggunaan bubu popular di kalangan nelayan, nelayan
tanah merah menangkap rajungan dengan menggunakan jaring kejer (Nurhakim, 2000). Bubu
lipat menjadi alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan karena mudah dioperasikan, bisa
dilipat sehingga mudah untuk dibawa di kapal dengan jumlah yang banyak dan harga relatif
murah dibanding jenis alat tangkap lainnya. Penggunaan bubu lipat selanjutnya semakin luas
tidak hanya digunakan untuk menangkap kepiting bakau, namun juga digunakan untuk
menangkap rajungan.
Nelayan di desa Tanah Merah saat ini telah banyak yang menggunakan bubu lipat untuk
menangkap kepiting bakau. Bubu lipat yang digunakan oleh nelayan di desa tanah merah
mempunyai bentuk segi empat yang dipasang secara pasif terbuat dari rangka besi dan ditutup
dengan menggunakan jaring polyethylene (PE) dengan ukuran mata jaring 1 x 1 cm. Penutupan
badan bubu menggunakan jaring dengan ukuran mata jaring 1 cm ukuran panjang bubu 37 cm,
tinggi bubu 18 cm, dan lebar bubu 33 cm, dan ukuran lebar mulut bubu 22 cm, dan tinggi mulut
bubu 10 cm menyebabkan kepiting bakau yang masih berukuran kecil (under size crab) turut
tertangkap dan sulit meloloskan diri. Biota lainnya yang berukuran kecil yang bukan merupakan
target penangkapan juga turut tertangkap.
Gambar 2. Alat Tangkap Bubu Lipat

B. Bentuk Bubu Lipat


Bentuk bubu bermacam-macam ada bubu yang berbentuk kotak, silinder, dan kerucut.
Menurut Subani dan Barus (1989), beberapa bubu berbentuk seperti sangkar, silinder, gendang,
segitiga memanjang atau segi banyak, bulat setengah lingkaran dan lain-lain. Bentuk bubu yang
digunakan di Indonesia sangat beraneka ragam, mulai dari yang berbentuk trapezium seperti
pada bubu keong macan dan bubu kepiting, slinder pada bubu paralon dan bubu cumi-
cumi,lonjong pada bubu wadong, bulat setengah lingkaran pada bubu pintur, empat persegi
panjang pada bubu kakap merah dan bubu uadang warong serta bentuk bubu lainya
(Martasuganda, 2003).
Bubu di Kronja adalah jenis bubu lipat yang berbentuk empat persegi panjang yang
banyak dikenal nelayan di pulau Jawa untuk menangkap rajungan (Butarbutar, 2005). Selain di
Indonesia bubu juga digunakan di beberapa daerah di luar negeri, seperti halnya di Norwegia,
India, Malaysia, Jepang, Cina, bagian pantai timur dan barat Amerika Utara yaitu di wilayah
Karibia dan Teluk Persia, bagia garis pantai Australia yaitu di wilayah New Zealand serta di
sekitar laut utara. Norwegia mengembangkan bubu jenis collapsible fish pot yang berukuran
kecil dan berbentuk empat persegi panjang. Bubu yang digunakan di Karibia berbentuk empat
persegi panjang yaitu Antillean z-pot. Namun selain itu Karibia juga menggunakan bubu
berbentuk panah yaitu Arrowhead Pot. King krab pot merupakan bubu berbentuk segi empat
yang digunakan di pantai barat laut Amerika Utara. Adapun bubu yang berbentuk slinder yaitu o-
design fish pot umumnya digunakan di Australia (Ferno dan Olsen, 1994). India dan Thailand
menggunakan bubu berbentuk pipa yaitu tubular traps tanpa funnel dengan bagian ujung bubu
terbelah-belah (Brandt, 1984).

C. Deskripsi Konstruksi Mulut Bubu Lipat


Konstruksi mulut bubu merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha
penangkapan ikan dengan menggunakan bubu. Berdasarkan beberapa pustaka dengan mengubah
sudut kemiringan lintasan masuk atau mulut bubu dapat meningkatkan hasil tanggkapan. Desain
alat tanggkap harus sesuai dengan target tangkapan dan memperhatikan tingkat selektivitasnya.
Mengetahui kecepatan merayap kepiting bakau pada pintu masuk perangkap (bubu) dengan
kemiringan sudut pintu masuk bubu yang berbeda diperlukan agar dapat memberikan
rekomendasi sudut yang tepat untuk digunakan dalam operasi penangkapan. Konstruksi pintu
masuk merupakan aspek paling penting yang berpengaruh terhadap efektifitas penangkapan ikan
menggunakan bubu (Yamane and Flores, 1989).

D. Bahan Dan Konstruksi Mulut Bubu Lipat


Bahan bubu dapat berupa anyaman bambu (bamboos netting), anyaman rotan (rottan
netting), anyaman kawat (wire netting) dan kere bambu (bamboos screen) (Subani dan Barus,
1989). Perangkap yang dirancang untuk menangkap udang dan kepiting terbuat dari bahan kayu,
rotan, bilah besi, kawat anyam, bambu dan sebagainya (Fauzi, et al., 1989).
Sudirman dan Malla (2004) menyatakan bahwa bubu terbuat dari bahan alami seperti
bambu, kayu, atau bahan buatan lainya seperti jaring. Ada juga beberapa jenis bubu yang
memakai bahan keramik, cangkang karang, dan potongan paralon. Pada bagian rangka biasanya
terbuat dari bahan lempengan besi, besi behel, bambu serta kayu. Berbeda dengan bagian badan
bubu ada yang terbuat dari anyaman kawat, jaring, waring maupun anyaman bambu. Adapun
untuk kantong umpan kebanyakkan memakai bahan kawat kasa (Martasuganda, 2003).
Saat ini bubu mempergunakan besi sebagai kerangka dan jala sintetis sebagai badanya
(Monintja dan Martasuganda, 1991). Pada umumnya konstruksi bubu terdiri dari tiga bagian
yaitu mulut (funnel), badan (body), dan pintu bubu. Mulut yang berbentuk corong berfungsi
sebagai tempat dimana ikan dapat masuk kedalam bubu tetapi sulit untuk keluar. Adapun bagian
badan bubu berfungsi sebagai rongga dimana ikan-ikan terkurung dan terperangkap didalamnya.
Melalui pintu bubu maka dapat memudahkan dalam pengambilan hasil tangkapan yang ada di
dalam bubu (Subani dan Barus, 1989).
Martasuganda (2003) menambahkan bahwa kantung umpan merupakan bagian dari
konstruksi bubu yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan umpan. Kontruksi pintu masuk
dan lintasan masuk bubu merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha
penangkapan dengan menggunakan alat tangkap bubu. Beberapa pustaka menyatakan bahwa
dengan mengubah sudut kemiringan lintasan masuk atau mulut bubu dapat meningkatan hasil
tangkapan nelayan. Menurut Mutiara (2012) semakin rendah sudut kemiringan lintasan atau
mulut bubu maka kepiting akan semakin mudah saat berusaha memasuki bubu. Bubu yang biasa
digunakan oleh nelayan biasanya memiliki sudut kemiringan 30°.

Gambar 3. Kerangka Bubu Lipat Sudut Kemiringan 20°

Gambar 4. Kerangka Bubu Lipat Sudut Kemiringan 30°


Gambar 5. Kerangka Bubu Lipat Sudut Kemiringan 40°

E. Gambaran Umum Mengenai Kepiting Bakau (Scyllia serrata)


Kepiting bakau merupakan salah satu biota laut dari kelas crustacea dan juga merupakan
salah komoditas perikanan pada habitat perairan pantai, khususnya di daerah hutan mangrove.
Komoditas ini mempunyai kelebihan yaitu mempunyai kandungan nilai gizi tinggi karena
tersusun atas 18 asam amino esensial yang penting bagi kesehatan tubuh manusia. Setiap 100
gram daging kepiting mengandung protein sebesar 13,6 gram, lemak 3,8 gram dan air sebanyak
68,1 gram (Kordi, 2000).
Menurut Kanna (2002) kepiting bakau (S. serrata) berdasarkan taksonominya dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phyllum : Arthropoda
Class : Crustaceae
Sub Class : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Sub Ordo : Brachyuran
Familia : Portunidae
Genus : Scylla
Species : Scylla serrata
BAB lll
METODE PENELITIAN

A. Waktu Dan Tempat Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan di sekitar perairan Tanah Merah Kabupaten Kupang.
Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan adanya ekosistem mangrove dan penelitian ini
dilaksanakan pada bulan September – Oktober 2021, letak lokasi penelitian ini terletak di desa
Tanah Merah di wilayah Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, sebagaimana dilihat pada
peta lokasi penelitian.

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

B. Alat Dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dilihat pada tabel berikut ini.
Table 1. Alat Dan Bahan Dalam Penelitian
No Alat Dan Bahan Kegunaan
1. 6 Unit Bubu Lipat Untuk Menangkap Kepiting Bakau
2. Ikan Pepetek Sebagai Umpan
3. Pelampung Sebagai Penanda
4. GPS Untuk Mengetahui Kordinat Titik Penelitian
5. Alat Tulis Untuk Mencatat Data Hasil Penelitian
6. Kamera Digital Untuk Mengambil Gambar
7. Laptot Untuk Mengolah Data

C. Rancangan Penelitian
Pada umumnya konstruksi bubu lipat terdiri dari tiga bagian yaitu mulut (funnel), badan
(body), dan pintu bubu. Mulut yang berbentuk corong berfungsi sebagai tempat dimana kepiting
dapat masuk kedalam bubu tetapi sulit untuk keluar. Menurut Mutiara (2012) semakin rendah
sudut kemiringan lintasan atau mulut bubu maka kepiting akan semakin mudah saat berusaha
memasuki bubu, maka dari itu penelitian ini dilakukan 3 perbedaan sudut kemiringan mulut bubu
lipat dengan masing-masing ukuran yang berbeda. perbedaan sudut kemiringan yaitu dengan
sudut kemiringan 20°, 30°, 40°. Dalam penelitian ini juga dilakukan 3 perlakuan dengan masing-
masing perbedaan sudut kemiringan.

D. Parameter Yang Dihitung


Parameter yang dihitung yaitu jumlah hasil tangkapan kepiting bakau dari ke 3 konstruksi
mulut bubu lipat yaitu 20°, 30°, 40°.

E. Hipotesis Statistik
Perbedaaan sudut kemiringan bubu lipat dapat berpengaruh terhadap jumlah hasil
tangkapan kepiting bakau.
Hipotesis :
HO = perbedaan alat tangkap tidak berpengaruh pada hasil tanggkapan.
H1 = perbedaan alat tangkap berpengaruh terhadap hasil tanggkapan.
F. Analisis Data
Metode yang digunakan adalah metode eksperimental dengan 3 perlakuan yaitu bubu
dengan sudut 20°, 30°dan 40°. Data yang diambil berupa data primer dan data sekunder.
Parameter yang diamati dalam penelitini ini adalah bobot, panjang dan jumlah hasil tangkapan
kepiting bakau yang tertangkap. Hasil yang diperoleh dipisahkan berdasarkan sudut kemiringan
mulut bubu yang dilakukan dalam penelitian. Data hasil tangkapan kepiting bakau yang
diperoleh dari hasil penelitian dianalisa menggunakan analisis ragam (Anova) dengan Uji F.
Apabila terdapat perbedaaan antara pelakuan maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Duncan
dengan taraf kepercayaan 95 %. Data hasil parameter pendukung dianalisa secara deskriptif
kuantitaif. Penentuan sudut kemiringan bubu lipat didasarkan pada hasil penelitian
dilaboratorium yaitu sebesar 40° dengan ukuran bubu 50 × 30 × 20 cm³, sudut 20° dengan
ukuran 50 × 30 × 10 cm³ , sedangkan untuk ukuran bubu nelayan dengan sudut 30° memiliki
ukuran bubu 40 × 20 × 15 cm³
Dengan rumus sebagai berikut :
Total kepiting bakau
Total trip × total bubu lipat
DAFTAR PUSTAKA

Komarudin, D., 2012. Rancang Bangun Bubu Lipat Untuk Menangkap Kepiting Bakau (Scylla
serrata). Tesis dipublikasi. Institut Pertanian Bogor. 61 hlm.

Muldiani, D., 2007. Analisis Hasil Tangkapan Kepiting Bakau Pada Bubu Lipat Dengan
Konstruksi Yang Berbeda Di Perairan Kronjo, Kabupaten Tangerang. Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor.

Mutiara, J. F., 2012. Modifikasi Konstruksi Pintu Masuk Bubu Lipat Untuk Menangkap Kepiting
Bakau. Tesis dipublikasi. Institu Pertanian Bogor. 64 hlm.

Susanto, A. dan Irnawati, R., 2012. Penggunaan Celah Pelolosan Pada Bubu Lipat Kepiting
Bakau (Skala Laboratorium). Jurnal Perikanan dan Kelautan. 2(2): 71-78.

Siahainenia, L., 2008. Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Di Ekosistem Institut Mangrove
Kabupaten Subang Jawa Barat. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Pertanian Bogor. Bogor.

Suseno, 2008. Konstruksi Alat Tangkap Bubu Lipat, Indonesian Angling Tabloid, Jakarta. (http:
//ikanmania. wordpres. com / category / tekno-alattangkap / page / 2). [13 Maret 2012].

Wibyasatoto, B., 1994. Studi Tentang Pengaruh Perbedaan Konstruksi Mulut Bubu (Funnel)
Pada Bubu Lipat Terhadap Hasil Tangkapan Di Bengkulu. Institut Pertanian Bogor,
Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Depart, Bogor.

Susanto Adi, Ririn Irnawati Dan Angga Sasmita. 2014. Identifikasi Kecepatan Merayap Kepiting
Bakau (Scyllia serrate) Pada Bentuk Mata Jarring Dan Sudut Kemiringan Yang Berbeda.
Jurnal Ilmu Pertanian Dan Perikanan. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa. Banten.

Anda mungkin juga menyukai