Anda di halaman 1dari 21

VII.

BUBU DASAR DAN BUBU LIPAT

7.1. Pengertian Bubu Dasar dan Bubu Lipat

7.1.1. Pengetian bubu dasar

Bubu dasar adalah perangkap yang mempunyai satu atau dua pintu masuk

dan dapat diangkat ke beberapa daerah penangkapan dengan mudah, dengan atau

tanpa perahu. Bubu dasar adalah alat tangkap yang sangat efektif untuk

menangkap organisme yang bergerak lambat di dasar perairan, baik laut maupun

danau (Rumajar, 2002).

Bubu dasar adalah bubu yang daerah operasionalnya berada di dasar

perairan. Untuk bubu dasar, ukuran bubu dasar bervariasi, menurut besar kecilnya

yang dibuat menurut kebutuhan. Untuk bubu kecil, umumnya berukuran panjang

1 m, lebar 50-75 cm, tinggi 25-30 cm. Untuk bubu besar dapat mencapai ukuran

panjang 3,5 m , lebar 2 m, tinggi 75-100 cm. Hasil tangkapan dengan bubu dasar

umumnya terdiri dari jenis – jenis ikan, udang kualitas baik seperti Kwe,

Baronang , dll (Anonim, 2007).

Kadangkala nama bubu dan perangkap disamakan, tetapi sebuah

perangkap berbeda dari bubu dalam hal dilengkapi dengan satu atau lebih jaring

penuntun yang berakhir pada sebuah kamar, biasanya dengan dua atau lebih pintu

masuk dengan ukuran yang menuntun yang memuncak satu dengan yang lainnya.

Juga perangkap umumnya tidak diberi umpan. Bubu dikerjakan sekali waktu saja,

menghasilkan produk yang berkualitas tinggi, akan tetapi juga mengijinkan hasil

tangkapan sampingan yang tidak dikehendaki untuk dibuang dengan kesempatan

hidup yang sangat baik. Perikanan bubu dapat dibagi menjadi dua klasifikasi
umum : 1. Perikanan bubu pantai, yang mana digunakan di estuari, raguna, in let,

teluk dan dekat pantai dengan kedalaman hingga sekitar 75 m ; 2. Perikanan bubu

lepas pantai ( laut dalam), yang mana melibatkan kapal yang jauh lebih besar dan

berat dengan kedalaman hingga 730 m atau lebih. ( Baskoro et al., 2011).

7.1.2. Pengertian bubu lipat

Bubu lipat merupakan bubu (perangkap) yang terbuat dari rangkaian besi

yang dihubungkan dengan sebuah pengait utama yang juga berfungsi sebagai

pintu pembuka untuk mengambil hasil tangkapan. Biasanya bubu semacam ini

dioperasikan pada laut dengan kedalaman 2-3 meter. Bubu lipat berukuran lebih

kecil dari pada bubu dasar. Bubu lipat ini ditujukan untuk mempermudah

penyimpanan dan pengangkutan (Kanna, 2006).

Bubu lipat merupakan alat tangkap yang bersifat pasif, dipasang menetap

di tempat yang diperkirakan akan dilewati oleh rajungan. Supaya rajungan

tersebut mau masuk maka di dalamnya diberi umpan yang diikat supaya tidak

terbawa arus atau terjatuh dari bubu. Jenis penangkapan dengan menggunakan

bubu lipat dapat dilakukan sebagai mata pencaharian sambilan atau sebagai mata

pencaharian utama (Suseno, 2008).

7.2. Klasifikasi Bubu Dasar dan Bubu Lipat

Menurut Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan (2007),

pengklasifikasian bubu dasar berdasarkan fungsinya sebagai perangkap ikan.

Pengoperasian bubu dasar terletak pada dasar perairan yang biasanya perairan

berkarang dan fungsinya untuk menjebak ikan yang masuk agar tidak bisa keluar
dari bubu. Bubu lipat termasuk dalam klasifikasi alat tangkap perangkap (DKP,

2008).

Menurut Sainsbury (1996) dalam Baskoro et al (2011), bahwa bubu

merupakan perangkap kecil yang dapat dipasang dan diambil kembali oleh kapal

yang beroperasi. bubu secara luas digunakan di atas paparan benua diseluruh

dunia untuk menangkap bermacam- macam jenis crustacea dan ikan, dan juga

gurita dan kerang seperti whelks. Prinsip dasar dari semua bubu dan perangkap

adalah menarik spesies yang diinginkan ke dalam bubu tersebut, dan menyediakan

pintu masuk yang mudah akan tetapi dengan jalan keluar yang sulit.

7.3. Konstruksi Bubu Dasar dan Bubu Lipat

7.3.1. Konstruksi bubu dasar

a. konstruksi bubu dasar

Konstruksi bubu dasar memiliki rangka yang terbuat dari besi dan

biasanya dilapisi chrome agar tidak mudah karatan. Bahan jaring terbuat dari

bahan polyetilen (PE). Pada jaring terdapat arah pilinan Z.

Menurut Sudirman dan Mallawa (2004), umumnya bubu yang digunakan

terdiri dari tiga bagian, yaitu:

1. Badan atau tubuh bubu : umumnya terbuat dari anyaman bambu yang

berbentuk empat persegi panjang. Bagian ini dilengkapi dengan pemberat

dari batu bata (bisa juga pemberat lain) yang berfungsi untuk

menenggelamkan bubu ke dasar perairan yang terletak pada keempat sudut

bubu.
2. Lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan : terletak pada sisi bagian

bawah bubu. Lubang ini dilengkapi dengan penutup.

3. Mulut bubu : berfungsi untuk tempat masuknya ikanyang terletak pada

bagian depan badan bubu. Posisi mulut bubu menjorok ke dalam badan

atau tubuh bubu berbentuk silinder. Semakin ke dalam diameter lubangnya

semakin mengecil.

b. hasil dan pembahasan

Hasil pengamatan alat tangkap bubu dasar dan bubu lipat pada praktikum

Metode Penangkapan Ikan dapat dilihat pada tabel :

Tabel . Hasil pengukuran alat tangkap bubu dasar


Bagian Arah Ukuran Diameter Jenis Jumlah Jumlah Mesh
yang pilinan (cm) (cm) bahan mata size
diukur (cm)
Panjang Z 67,5 0,14 PE - 26 4,41
bubu

Lebar Z 40 0,14 PE - 11 4,41


bubu

Tinggi Z 49 0,14 PE - 9 4,41


bubu

Bahan - - - PE - - -
jaring

Material - - 0,62 Besi 21 - -


bubu

Pemberat - - - - - - -

Funnel - - 12 Besi 2 - -
Sumber: Praktikum Metode Penangkapan Ikan 2013

Pada praktikum bubu dasar (Ground Fish Pots) diperoleh ukuran

panjang dari bubu 67,5 cm, lebar yang di miliki berkisar 40 cm, tinggi bubu dasar

49 cm. Memiliki dua mulut yang ukuran diameter sama yaitu 12 cm, jenis bahan
dari bubu dasar terdiri dari PE (polyethylen), dan besi. Jumlah mata yang ada di

bubu dasar pada bagian panjang berkisar 26 buah, lebar berkisar 11 buah dan

tinggi berkisar 9 buah. Mesh size pada bubu dasar berukuran 4,41 cm.

Bubu dasar adalah bubu yang daerah operasionalnya berada di dasar perairan.

Untuk bubu dasar, ukuran bubu dasar bervariasi, menurut besar kecilnya yang

dibuat menurut kebutuhan. Untuk bubu kecil, umumnya berukuran panjang 1 m,

lebar 50-75 cm, tinggi 25-30 cm. Untuk bubu besar dapat mencapai ukuran

panjang 3,5 m , lebar 2 m, tinggi 75-100 cm. Hasil tangkapan dengan bubu dasar

umumnya terdiri dari jenis – jenis ikan, udang kualitas baik seperti Kwe,

Baronang , dll (Anonim, 2007).

7.3.2. Konstruksi bubu lipat

a. konstruksi bubu lipat

Bubu dibuat dari kerangka besi (kawat seng) tahan karat, kerangka

tersebut ditutup / disulam dengan jaring PE, benang D6 disulam sehingga jarak

antar jaring maupun dengan kerangka besi rapat dan kuat, mulut jaring bubu ada 2

terletak disisi kiri dan kanan. Bentuknya mengkerucut ke dalam dan berfungsi

sebagai jalan masuk rajungan, kepiting totol ataupun kerang (keong) dan lobster.

Rangka bubu dibuat tidak permanen dan dapat mudah untuk dibuka dan ditutup,

sehingga memudahkan nelayan memasang umpan pada pengait umpan dan

menebarnya ke laut yang merupakan alat tangkap yang ramah lingkungan

(Suseno, 2008).
b. hasil dan pembahasan

Hasil pengamatan alat tangkap bubu pada praktikum Metode Penangkapan

Ikan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel . Hasil pengukuran alat tangkap bubu lipat


Bagian Arah Ukuran Diameter Jenis Jumlah Jumlah Mesh
yang pilinan (cm) (cm) bahan mata size
diukur (cm)
Panjang Z 45 0,025 PE - 26 2,11
bubu

Lebar Z 30 0,025 PE - 19 2,11


bubu

Tinggi Z 18 0,025 PE 10 2,11


bubu

Bahan - - - PE - - -
jarring

Material - - 0,44 Besi 18 - -


bubu galfanis

Pemberat - - - - - - -

Sumber : Praktikum Metode Penangkapan Ikan 2013

Bubu lipat pada praktikum yang kami amati pada praktikum Metode

Penangkapan Ikan ini memiliki panjang bubu 45 cm, lebar 30 cm, dan tingginya

sebesar 18 cm. Bubu lipat memiliki bahan jaring PE (polyethylen) dan material

dasar yand terbuat dari besi galfanis. Jumlah mata bubu berdasarkan panjang bubu

sebanyak 26, lebar bubu 18 dan tinggi bubu 10. Mesh size atau lebar tiap jaring

sebesar 2,11 cm.

Konstruksi bubu lipat terdiri atas pintu masuk, badan, dan rangka. Pintu

masuknya hanya berupa celah. Bubu yang terbuat dari polyethyelene (PE) dengan

ukuran mata jaring 1 inchi dan sudut kemiringan lintasan 400 lebih mudah
dilewati kepiting. Pintu masuk bubu yang mudah dilewati kepiting berbentuk

empat persegi panjang dengan ukuran 30,5 x 5 cm. (FPIK IPB, 2012)

7.4. Gambar Konstruksi dan Desain Bubu Dasar dan Bubu Lipat

7.4.1. Gambar konstruksi bubu dasar

Gambar . Konstruksi Bubu Dasar

Keterangan :

1. Tempat umpan
2. Mulut tempat mengeluarkan ikan
3. Mulut tempat masuk ikan
7.4.2. Gambar desain bubu dasar

Gambar . Desain Bubu Dasar


7.4.3. Gambar konstuksi bubu lipat

Sumber: http://m.olx.co.id/item/show/453523446

Gambar . Konstruksi Bubu Lipat

Keterangan:

1. Pengait untuk membuka dan menutup bubu


2. Tempat menaruh umpan
3. Pintu untuk kepiting masuk

7.4.4. Gambar desain bubu lipat

Gambar . Desain Bubu Lipat


7.5. Metode Pengoperasian Bubu Dasar dan Bubu Lipat

7.5.1. Metode pengoperasian bubu dasar

Teknik operasi penangkapan :

Sebelum alat tangkap bubu dimasukkan ke dalam perairan maka terlebih

dahulu dilakukan penentuan daerah penangkapan. Penentuan daerah penangkapan

tersebut didasarkan pada tempat yang diperkirakan banyak terdapat ikan demersal,

yang biasanya ditandai dengan banyaknya terumbu karang atau pengalaman dari

nelayan (Sudirman dan Mallawa , 2004).

Metode pengoperasian untuk semua jenis bubu pada umumnya hampir

sama, yaitu dipasang di daerah penangkapan yang sudah diperkirakan banyak

hidup ikan (ikan dasar, kepiting, udang, keong, belut, cumi-cumi, gurita atau

habitat perairan lainnya yang bias ditangkap dengan bubu) yang akan dijadikan

target tangkapan. Pemasangan bubu ada yang dipasang satu demi satu, ada juga

yang dipasang secara beruntai. Waktu pemasangan(setting) dan pengangkatan

(hauling) ada yang dilakukan waktu pagi hari, siang hari, sore hari, sebelum

matahari terbenam atau malam hari tergantung dari nelayan yang

mengoperasikannya (Martasuganda, 2003 dalam Baskoro dan Turusman, 2011).

Bagi bubu yang tidak menggunakan umpan, setelah tiba di daerah

penangkapan, maka dilakukan penurunan pelampung tanda dilanjutkan penurunan

bubu beserta pemberatnya. Sedangkan bubu yang menggunakan umpan terlebih

dahulu diberi umpan lalu dimasukkan ke dalam perairan. Kemudian (1-3 hari)

pengangkatan bubu dilakukan (Sudirman dan Mallawa , 2004).


7.5.2. Hasil dan pembahasan

Hasil pengoperasian alat tangkap bubu dasar pada praktikum Metode

Penangkapan Ikan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel . Hasil pengamatan pada pengoperasian bubu dasar


Kondisi
Tahap operasi Waktu (WIB) Lama (s)
Air Udara
Setting 14 30 26
Immersing 30 26
Hauling 7:30 29 30 26
Sumber: Praktikum Metode Penangkapan Ikan 2013

Dari tabel di atas terdapat hasil dari praktikum pengoperasian bubu dasar

yang kemudian kami melakukan setting pada pukul (-) WIB selama 14 detik,

mulai dari diturunkan atau ditenggelamkannya bubu dasar ke dalam perairan.

Setelah dilakukan perendaman, bubu tersebut diangkat (hauling) untuk diambil

hasil tangkapannya pada pukul 07.30 WIB selama 29 detik. Suhu udara pada saat

setting dan immersing mencapai 26oC dan suhu perairan 30oC.

Pertama-tama bubu dasar diberi pelampung berupa botol plastik kosong di

kedua sisi bagian atas, kemudian bubu dasar diberi pemberat berupa batu di satu

sisi bagian bawah. Bagian dalam bubu dasar diberi umpan berupa ikan segar.

Bubu dasar dibawa ke daerah penangkapan (fishing ground) yang sudah

ditentukan, selanjutnya bubu dasar dimasukkan ke dalam air. Pengangkatan

dilakukan setelah bubu dasar direndam didalam air selama satu malam.

Pada saat hauling (pengangkatan) menunjukan suhu pada perairan

mencapai 30oC dan tercatat suhu udara mencapai 26oC terjadi perbedaan suhu

karena air merupakan salah satu media penyimpan suhu yang baik. Bubu dasar

kami letakan pada tempat yang sesuai dan sebelumnya telah dilakukan

pembaringan dengan menggunakan kompas yang diarahkan ke dua tempat yaitu


pelabuhan dan teluk awur yang dianggap dapat memudahkan dalam proses

pengangkatan alat tangkap (hauling). Tercatat posisi pada kompas untuk Teluk

awur yaitu 190º sedangkan pelabuhan 310º.

Pemberian pelampung berupa botol plastik kosong bertujuan untuk

mempermudah pencarian bubu di air saat hauling dilakukan. Batu yang digunakan

sebagai pemberat berguna untuk mempertahankan posisi bubu dasar agar tidak

berubah posisi karena adanya arus air laut.

Tempat pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang

atau diantara pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang atau

diantara karang-karang atau bebatuan. (Sudirman dan Mallawa, 2004).

7.5.3. Metode Pengoperasian Bubu Lipat

Menurut Nugroho (2004), Pengoperasian bubu lipat dilakukan sekali yang

dilakukan sore hari secara penangkapan dilakukan satu kali operasi penangkapan.

Operasi pemasangan bubu dilakukan pada sore hari sedangkan pengangkatan

bubu (hauling) dilakukan pada pagi keesokan harinya. Dengan demikin lama

perendaman (soaking time) bubu adalah ±15 jam. Pengoperasian bubu dilakukan

dengan sistem tunggal pada kedalaman 1-5 meter. Metode pengoperasian untuk

semua jenis bubu biasannya sama, yaitu dipasang di daerah penangkapan yang

sudah diperkirakan adanya stok ikan seperti ikan dasar, udang, kepiting, keong,

cumi-cumi dan biota lainnya yang bisa ditangkap oleh bubu. Pemasangan bubu

ada yang dipasang secara tunggal dan juga ada yang beruntai (seperti

pemasangan, rawai).

Menurut Direktorat Jendral Perikanan (1992), cara pengoperasiaan bubu lipat

dapat dimulai antara lain pemberian umpan, selanjutnya perahu berangkat menuju
daerah operasi (fishing ground) sambil mengamati kondisi perairan. selanjutnya

Bubu lipat dipasang di perairan karang (imersing) dan merupakan habitat ikan

karang. Ada dua cara dalam pengoperasian bubu lipat, Cara pertama, bubu lipat

dipasang secara terpisah (umumnya bubu berukuran besar), satu bubu lipat

dengan satu pelampung. Cara kedua dipasang secara bergandengan (umumnya

bubu lipat ukuran kecil sampai sedang) dengan menggunakan tail utama, sehingga

cara ini dinamakan longline trap. Untuk cara kedua ini dapat dioperasikan

beberapa bubu lipat sampai puluhan bahkan ratusan bubu lipat. Biasanya

dioperasikan dengan menggunakan kapal yang bermesin serta dilengkapi dengan

katrol. Tempat pemasangan bubu lipat biasanya dilakukan di perairan karang atau

diantara karang-karang atau bebatuan.Kemudian pengangkatan bubu lipat

(houling) harus dilakukan dengan perlahan-lahan untuk memberikan kesempatan

ikan dalam beradaptasi terhadap perbedaan tekanan air dalam perairan.

7.5.4. Hasil dan pembahasan

Hasil tangkapan alat tangkap bubu lipat pada praktikum Metode

Penangkapan Ikan dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel . Hasil pengamatan pada pengoperasian bubu lipat


Kondisi
Tahap operasi Waktu (WIB) Lama (s)
Air Udara
Setting 14 30 26
Immersing 30 26
Hauling 7:30 29 30 26
Sumber: Praktikum Metode Penangkapan Ikan 2013

Berdasarkan tabel di atas terdapat hasil dari praktikum pengoperasian

bubu lipat yang kemudian kami melakukan setting pada pukul (-) WIB selama 14

detik, mulai dari diturunkan atau ditenggelamkannya bubu lipat ke dalam

perairan. Setelah dilakukan perendaman, bubu tersebut diangkat (hauling) untuk


diambil hasil tangkapannya pada pukul 07.30 WIB selama 29 detik. Suhu udara

pada saat setting dan immersing mencapai 26oC dan suhu perairan 30oC.

Pertama-tama bubu lipat diberi pelampung berupa botol plastik kosong di

kedua sisi bagian atas, kemudian bubu lipat diberi pemberat berupa batu di satu

sisi bagian bawah. Bagian dalam bubu lipat diberi umpan berupa ikan segar. Bubu

lipat dibawa ke daerah penangkapan (fishing ground) yang sudah ditentukan,

selanjutnya bubu lipat dimasukkan ke dalam air. Pengangkatan dilakukan setelah

bubu lipat direndam didalam air selama satu malam.

Pada saat hauling (pengangkatan) menunjukan suhu pada perairan

mencapai 30oC dan tercatat suhu udara mencapai 26oC terjadi perbedaan suhu

karena air merupakan salah satu media penyimpan suhu yang baik. Bubu lipat

kami letakan pada tempat yang sesuai dan sebelumnya telah dilakukan

pembaringan dengan menggunakan kompas yang diarahkan ke dua tempat yaitu

pelabuhan dan teluk awur yang dianggap dapat memudahkan dalam proses

pengangkatan alat tangkap (hauling). Tercatat posisi pada kompas untuk Teluk

awur yaitu 190º sedangkan pelabuhan 310º.

Pemberian pelampung berupa botol plastik kosong bertujuan untuk

mempermudah pencarian bubu di air saat hauling dilakukan. Batu yang digunakan

sebagai pemberat berguna untuk mempertahankan posisi bubu dasar agar tidak

berubah posisi karena adanya arus air laut. Sebab arus air dapat menghanyutkan

bubu.

Operasi penangkapan dengan menggunakan bubu lipat adalah dengan cara

mengangkat bubu lipat dimana di dalamnya diperkirakan terdapat ikan-ikan yang

terperangkap, kemudian menenggelamkan bubu kembali ke dalam perairan. Hal


terpenting yang perlu diperhatikan saat menenggelamkan bubu adalah mencatat

posisi kapal dengan menggunakan GPS (Direktorat Jendral Perikanan, 2005).

7.6. Hasil Tangkapan Bubu Dasar dan Bubu Lipat

7.6.1. Hasil tangkapan bubu dasar dan bubu lipat

Hasil tangkapan yang diperoleh pada alat tangkap bubu lipat adalah udang

ronggeng atau yang biasa juga disebut dengan udang lipan atau mentadak. Pada

alat tangkap bubu lipat ini juga terdapat jenis gastropoda. Sedangkan pada alat

tangkap bubu dasar tidak mendapatkan hasil tangkapan apapun. Hal ini

dikarenakan posisi alat tangkap yang ditempatkan bukan pada daerah

penangkapan (fishing ground) yang tepat .

Menurut Martasuganda (2002), habitat perairan yang pada umumnya

dijadikan target tangkapan bubu adalah ikan dasar, udang, kepiting, keong,

lindung, belut laut, cumi-cumi atau gurita baik yang masih hidup di perairan

pantai, lepas pantai maupun yang hidup di perairan laut dalam.

7.6.2. Hasil dan pembahasan

Hasil penangkapan yang diperoleh pada bubu dasar tidak ada, hal ini

dikarenakan beberapa hal yang kurang mendukung dalam pengoperasian bubu

dasar diantaranya adalah :

1. Letak dimana bubu dioperasikan karena berdekatan dengan jalur pelayaran

kapal yang akan mempengaruhi dari pergerakan ikan baik secara

bergerombol ataupun sendiri.

2. Bubu diletakkan bukan di daerah penangkapan (fishing ground) yang

sesuai kriteria.
3. Kurangnya waktu perendaman (immersing), sebaiknya bubu didalam

perendamannya membutuhkan watu setindaknya 1-3 hari untuk

mendapatkan hasil tangkapan yang diinginkan dan diharapkan.

Hal ini turut diperkuat oleh pendapat Martasuganda (2002), penyebab ikan

tidak dapat terperangkap dalam bubu dikarenakan :

1. Letak penempatan bubu kurang tepat.

2. Waktu penangkapan terlalu singkat.

3. Daerah penangkapan (fishing ground) yang kurang baik.

Hasil tangkapan pada alat tangkap bubu lipat terdapat udang ronggeng

serta beberapa gastropoda tetapi hasil ini tergolong jumlah yang sangat sedikit.

Hal ini terjadi dapat dikarenakan beberapa hal yang kurang mendukung dalam

pengoperasian bubu lipat :

1. Dekatnya tempat pengoperasian bubu lipat dengan jalur pelayaran kapal

yang dapat mengganggu migrasi atau pergerakan ikan.

2. Umpan yang digunakan kemungkinan kurang menarik dan menggoda bagi

ikan untuk masuk kedalam bubu dan memakannya.

3. Posisi diletakannya bubu yang mungkin tidak sesuai dengan daerah

penangkapan yang membuat kepiting dan sejenisnya sedikit yang masuk

dalam bubu lipat.

Hal ini turut diperkuat oleh pendapat Mulyono (1986), yaitu berbagai

faktor penyebab kurang atau tidak adanya hasil tangkapan ikan pada bubu lipat di

antaranya:

1. Umpan. Umpan merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya

terhadap keberhasilan usaha penangkapan ikan untuk menarik perhatian ikan.


2. Area penangkapan (Fishing ground). Menurut Martasuganda (2002), area

tersebut kurang cocok sebagai fishing ground karena pantai adalah area

nursery ground sehingga ikan-ikan hasil tangkapan sedikit dan ukurannya

kecil.

3. Waktu perendaman yang terlalu singkat. Pada praktikun yang kami

laksanakan, perendaman bubu kurang dari 1 hari dan hal ini merupakan salah

satu faktor penyebab gagalnya mendapatkan organisme target. Menurut

Martasuganda (2002), Setelah bubu diletakkan di daerah operasi, bubu

ditinggalkan, untuk kemudian diambil 2-3 hari setelah dipasang, kadang

hingga beberapa hari.

7.7. Plotting posisi penangkapan Bubu Dasar dan Bubu Lipat

7.7.1. Plotting dengan baringan

Membaring adalah salah satu cara untuk menentukan posisi suatu tempat

berdasarkan koordinat garis lintang dan garis bujur bumi. Kegiatan ini dilakukan

dengan cara menentukan arah atau sudut suatu benda dari kapal dengan

mempergunakan pedoman (kompas baring). Dengan cara membaring ini akan

diperoleh sudut baringan dari dua target baringan yang dikenal dan terdapat di

peta laut serta dapat dilihat secara visual dengan atau alat bantu. Dengan mencari

titik potong dari perpanjangan kedua sudut tersebut diperoleh posisi kapal pada

peta (Syahrudin, 1984)


Perhitungan Pengoperasian bubu lipat dan bubu dasar pada praktikum

Metode Penangkapan Ikan :

Variasi peta (V peta) : 0°30’0” (pada tahun 1995)

Variasi : 0°30’0” + (0°30’0” x (2013 – 1995)

: 0°30’0” + (0°30’0” x (18) )

: 0°0’30” + 9°0’0”

: 9°30’0”

a. Bubu dasar

 Bp Pelabuhan (Bubu Dasar) : 310°

 Bp Teluk Awur (Bubu Dasar) : 190°

 Bs Pelabuhan : 310° + 9°

319°

 Bs Teluk Awur : 190° + 9°

199°

 Ba LPWP : 319° - 180°

: 139°

 Ba Teluk Awur : 199° - 180°

: 19°

b. Bubu lipat

 Bp Pelabuhan (Bubu Dasar) : 310°

 Bp Teluk Awur (Bubu Dasar) : 190°

 Bs Pelabuhan : 310° + 9°

319°

 Bs Teluk Awur : 190° + 9°


199°

 Ba LPWP : 319° - 180°

: 139°

 Ba Teluk Awur : 199° - 180°

: 19°

7.7.2. Plotting dengan GPS

Global Positioning System (GPS) adalah satu-satunya sistem navigasi

satelit yang berfungsi dengan baik. Sistem ini menggunakan 24 satelit yang

mengirimkan sinyal gelombang mikro ke Bumi. Sinyal ini diterima oleh alat

penerima di permukaan, dan digunakan untuk menentukan posisi, kecepatan, arah,

dan waktu (Syahrudin, 1984).

Hasil plotting dengan penggunaan GPS pada praktikum metode

penangkapan ikan alat tangkap bubu dasar dan bubu lipat, didapatkan hasil

sebagai berikut :

Tabel . Hasil plotting dengan GPS


Alat Tangkap Posisi
Bubu dasar dan bubu lipat 06°35’31” Selatan
110°8’21,7” Timur
Sumber : Praktikum Metode Penangkapan Ikan 2013
Gambar . Plotting GPS Bubu Dasar dan Bubu Lipat
Daftar Pustaka

Balai Pengembangan Penangkapan Ikan. 2007. Klasifikasi Alat Penangkapan


Ikan Indonesia. Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan. Semarang.

Rumajar, T.P. 2002. Pendekatan Sistem Urituk Pengembangan Usaha Perikanan


Ikan Karang dengan Alat Tangkap Bubu di Perairan Tanjung Manin Baya
Kab. Donggala. Sulawesi Tengah.

Sudirman, dan Achmar Mallawa. 2004. Teknik Penangkapan Ikan. Rineka Cipta.
Jakarta.

SEMANGAT !!!! TINGGAL :


Hasil tangkapan bubu dasar dan bubu lipat

7.7.1. Plotting dengan baringan

7.7.2. Plotting dengan GPS

Anda mungkin juga menyukai